Anda di halaman 1dari 44

TUGAS 6

Operasi dan Manajemen Pelabuhan


KL 4211

Dosen :
Andojo Wurjanto, Ph. D

oleh :
Rebeka Naibaho
15511047

PROGRAM STUDI TEKNIK KELAUTAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015
1. Pelajari cara kota di Indonesia menangani sampah padat, sajikan ringkasannya.

Besarnya penduduk dan keragaman aktivitas di kota-kota metropolitan di Indonesia seperti


Jakarta, mengakibatkan munculnya persoalan dalam pelayanan prasarana perkotaan, seperti
masalah sampah. Diperkirakan hanya sekitar 60 % sampah di kota-kota besar di Indonesia
yang dapat terangkut ke Tempat Pemerosesan Akhir (TPA), yang operasi utamanya adalah
landfilling. Banyaknya sampah yang tidak terangkut kemungkinan besar tidak terdata secara
sistematis, karena biasanya dihitung berdasarkan ritasi truk menuju TPA. Jarang
diperhitungkan sampah yang ditangani masyarakat secara swadaya, ataupun sampah yang
tercecer dan dibuang ke badan air.

Sampai saat ini paradigma pengelolaan sampah yang digunakan adalah: KUMPUL
ANGKUT dan BUANG, dan andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah
sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA. Pengelola kota
cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut, sehingga muncullah
kasus-kasus kegagalan TPA. Pengelola kota tampaknya beranggapan bahwa TPA yang
dipunyainya dapat menyelesaikan semua persoalan sampah, tanpa harus memberikan
perhatian yang proporsional terhadap sarana tersebut. TPA dapat menjadi bom waktu bagi
pengelola kota.
Penyingkiran dan pemusnahan sampah atau limbah padat lainnya ke dalam tanah merupakan
cara yang selalu digunakan, karena alternatif pengolahan lain belum dapat
menuntaskanpermasalahan yang ada. Cara ini mempunyai banyak resiko, terutama akibat
kemungkinan pencemaran air tanah. Di negara majupun cara ini masih tetap digunakan
walaupun porsinya tambah lama tambah menurun.

Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah yang dikenal sebagai landfilling merupakan cara
yang sampai saat ini paling banyak digunakan, karena biayanya relatif murah,
pengoperasiannya mudah dan luwes dalam menerima limbah. Namun fasilitas ini berpotensi
mendatangkan masalah pada lingkungan, terutama dari lindi (leachate) yang dapat
mencemari air tanah serta timbulnya bau dan lalat yang mengganggu, karena biasanya sarana
ini tidak disiapkan dan tidak dioperasikan dengan baik.
Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah
tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik. Sampah yang
tergolong hayati ini untuk kota-kota besar bisa mencapai 70 % dari total sampah, dan sekitar
28 % adalah sampah non-hayati yang menjadi obyek aktivitas pemulung yang cukup
potensial, mulai dari sumber sampah (dari rumah-rumah) sampai ke TPA. Sisanya (sekitar
2%) tergolong B3 yang perlu dikelola tersendiri.
Berdasarkan hal itulah di sekitar tahun 1980-an Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)
ITB memperkenalkan konsep Kawasan Industri Sampah (KIS) pada tingkat kawasan dengan
sasaran meminimalkan sampah yang akan diangkut ke TPA sebanyak mungkin dengan
melibatkan swadaya masyarakat dalam daur-ulang sampah. Konsep ini sempat diuji coba di
beberapa kota termasuk di Jakarta. Konsep sejenis sudah dikembangkan di Jakarta yaitu
Usaha Daur-ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang dimulai sekitar tahun 1991. Tetapi
konsep ini tidak berjalan lancar karena membutuhkan kesiapan semua fihak untuk merubah
cara fikir dan cara pandang dalam penanganan sampah, termasuk cara pandang Pengelola
Kota setempat.

Konsep yang sejenis diperkenalkan oleh BPPT dengan zero-waste nya. Secara teknis
keberhasilan cara ini banyak tergantung pada bagaimana memilah dan memisahkan sampah
sedini mungkin, yaitu dimulai dari sampah di rumah yang telah dipisah, gerobah sampah
yang terdiri dari beberapa kompartemen serta truk sampah yang akan mengangkut sampah
sejenis menuju pemerosesan.

Berikut ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi system pengelolan sampah perkotaan,
antara lain:
1) Kepadatan dan penyebaran penduduk.
2) Karakteristik fisik lingkungan dan sosial ekonomi.
3) Karakteristik sampah.

Bagaimana cara agar mengurangi penumpukan sampah yang ada di Indonesia ini?

1) Metode penghindaran dan pengurangan


Sebuah metode yang penting dari pengelolaan sampah adalah pencegahan zat sampah
terbentuk , atau dikenal juga dengan "pengurangan sampah". Metode pencegahan termasuk
penggunaan kembali barang bekas pakai , memperbaiki barang yang rusak , mendesain
produk supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali (seperti tas belanja katun
menggantikan tas plastik ), mengajak konsumen untuk menghindari penggunaan barang
sekali pakai (contohnya kertas tissue) ,dan mendesain produk yang menggunakan bahan yang
lebih sedikit untuk fungsi yang sama (contoh, pengurangan bobot kaleng minuman).

2) Metoda Pembuangan
Pembuangan sampah pada penimbunan darat termasuk menguburnya untuk membuang
sampah, metode ini adalah metode paling populer di dunia. Penimbunan ini biasanya
dilakukan di tanah yg tidak terpakai , lubang bekas pertambangan , atau lubang lubang dalam.
Sebuah lahan penimbunan darat yang dirancang dan dikelola dengan baik akan menjadi
tempat penimbunan sampah yang hiegenis dan murah. Sedangkan penimbunan darat yg tidak
dirancang dan tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan berbagai masalah lingkungan ,
diantaranya angin berbau sampah , menarik berkumpulnya Hama , dan adanya genangan air
sampah. Efek samping lain dari sampah adalah gas methan dan karbon dioksida yang juga
sangat berbahaya. (di Bandung kandungan gas methan ini meledak dan melongsorkan gunung
sampah)
3) Daur Ulang
Proses pengambilan barang yang masih memiliki nilai dari sampah untuk digunakan kembali
disebut sebagai daur ulang Contoh kegiatan daur ulang adalah antara lain adalah :

Pemanfaatan kembali kertas bekas yang dapat digunakan terutama untuk keperluan
eksternal
Plastik bekas diolah kembali untuk dijadikan sebagai bijih plastik untuk dijadikan
berbagai peralatan rumah tangga seperti ember dll
Peralatan elektronik bekas dipisahkan setiap komponen pembangunnya (logam,
plastik/kabel, baterai dll) dan dilakukan pemilahan untuk setiap komponen yang dapat
digunakan kembali
Gelas/botol kaca dipisahkan berdasarkan warna gelas (putih, hijau dan gelap) dan
dihancurkan

4) Pengolahan biologis
Material sampah organik , seperti zat tanaman , sisa makanan atau kertas , bisa diolah dengan
menggunakan proses biologis untuk kompos, atau dikenal dengan istilah
pengkomposan.Hasilnya adalah kompos yang bisa digunakan sebagi pupuk dan gas methana
yang bisa digunakan untuk membangkitkan listrik

5) Pemulihan energi
Kandungan energi yang terkandung dalam sampah bisa diambil langsung dengan cara
menjadikannya bahan bakar, atau secara tidak langsung dengan cara mengolahnya menajdi
bahan bakar tipe lain. Daur-ulang melalui cara "perlakuan panas" bervariasi mulai dari
menggunakannya sebakai bahan bakar memasak atau memanaskan sampai menggunakannya
untuk memanaskan boiler untuk menghasilkan uap dan listrik dari turbin-generator. Pirolisa
dan gasifikasi adalah dua bentuk perlakukan panas yang berhubungan , dimana sampah
dipanaskan pada suhu tinggi dengan keadaan miskin oksigen. Proses ini biasanya dilakukan
di wadah tertutup pada Tekanan tinggi. Pirolisa dari sampah padat mengubah sampah
menjadi produk berzat padat , gas, dan cair. Produk cair dan gas bisa dibakar untuk
menghasilkan energi atau dimurnikan menjadi produk lain. Padatan sisa selanjutnya bisa
dimurnikan menjadi produk seperti karbon aktif. Gasifikasi danGasifikasi busur plasma yang
canggih digunakan untuk mengkonversi material organik langsung menjadi Gas
sintetis (campuran antara karbon monoksida dan hidrogen). Gas ini kemudian dibakar untuk
menghasilkan listrik dan uap.

6) Pemilahan Sampah
Sampah yang dikumpulkan di TPA pada umumnya bercampur antara bahan-bahan organik
maupun non organik sehingga pemilahan perlu dilakukan secara teliti untuk mendapatkan
bahan organik yang dapat dikomposkan seperti dauan-daunan, sisa makanan, sayuran dan
buah-buahan.

7) Tempat Pembuangan Akhir (TPA)


TPA tipe open dumping sudah tidak tepat untuk menuju Indonesia sehat. Oleh sebab itu,
secara bertahap semua Kota dan Kabupaten harus segera mengubah TPA tipe open dumping
menjadi sanitary landfill. Dianjurkan untuk membuat TPA yang memenuhi kriteria minimum,
seperti adanya zona, blok dan sel, alat berat yang cukup, garasi alat berat, tempat pencucian
alat berat, penjaga, truk, pengolahan sampah, dan persyaratan lainnya.

8) Peranan Masyarakat dan Swasta


A. Peranan Masyarakat
Diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat yang tinggi dalam pengelolaan sampah.
Upaya yang dilakukan meliputi :
Masyarakat memiliki kesadaran untuk mengurangi jumlah sampah dari sumbernya.
Masyarakat memiliki kesadaran (willingness to pay) yang tinggi terhadap biaya
pengelolaan sampah.
Masyarakat merasa bangga dapat menjaga lingkungan tetap bersih.

9)Peningkatan Kapasitas Peraturan


Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan dengan ketentuan pengelolaan sampah
harus realistis, sistematis dan menjadi acuan dalam pelaksanaan penanganan sampah di
lapangan baik oleh pihak pengelola maupun masyarakat.Seperti Undang-Undang no 18 tahun
2008 tentang pengelolaan persampahan secara resmi sudah diundangkan, tercatat sebagai
Lembaran Negara RI Tahun 2008, Nomor 69.
Dengan begitu, undang-undang itu sudah efektif berlaku. Ada banyak hal yang perlu
difahami dari undang-undang dimaksud. Kali ini salah satu subyek yang akan dikupas adalah
asas nilai ekonomi sampah.
Pasal 3 UU 18/2008 berbunyi selengkapnya: Pengelolaan sampah diselenggarakan
berdasarkan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas
kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi.
2. Berbasis pemahaman Anda, atas materi soal 1, usulkan cara penanganan sampah
padat di lingkungan pelabuhan, dengan atau tanpa memanfaatkan sistem penanganan
sampah.

Pengelolaan limbah di pelabuhan berupa pelayanan untuk kegiatan penyimpanan dan


pengumpulan limbah dari hasil kegiatan kapal atau disebut juga dengan fasilitas
penyimpanan dan pengumpulan/Reception Facilities (RF) di pelabuhan. Klasifikasi limbah
yang dapat diserahkan ke reception facilities (RF) sesuai dengan klasifikasi limbah menurut
MARPOL 73/78. Jika limbah-limbah yang disimpan dan dikumpulkan juga termasuk limbah
B3 maka reception facilities (RF) tersebut dapat dikategorikan sebagai penyimpan dan
pengumpul limbah B3 dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 jo 85 tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah B3, maka persyaratan sebagai penyimpanan dan pengumpulan
limbah B3 wajib diberlakukan.

Reception Facilities (RF) di pelabuhan dapat menerima limbah dari hasil kegiatan kapal,
kendaraan pengumpul limbah di darat serta dari kendaraan pengumpul limbah di laut.
Umumnya pada kapal-kapal, limbah-limbah tersebut terlebih dahulu sudah dilakukan
pemisahan menurut klasifikasinya sebelum diserahkan ke Reception Facilities (RF) di
pelabuhan. Sedangkan limbah yang berasal dari kendaraan pengumpul limbah di laut,
pemisahan limbah-limbah berdasarkan klasifikasinya dilakukan di kendaraan pengumpul
limbah di laut tersebut (on board) setelah menerima limbah dari sumbernya. Limbah yang
berasal dari kendaraan pengumpul limbah di darat dapat langsung diserahkan ke 12
Reception Facilities (RF) di pelabuhan, karena kendaraan pengumpul limbah di darat hanya
dapat mengangkut limbah sesuai dengan izin yang dimilikinya. Dalam proses perizinannya,
maka jenis-jenis limbah B3 yang diizinkan untuk disimpan dan di kumpulkan di Reception
Facilities (RF) di pelabuhan ini terbatas hanya untuk limbah-limbah B3 yang telah diketahui
secara pasti dan dijamin ketersediaan fasilitas pengelolaan lanjutannya. Izin yang perlu
dimiliki oleh Reception Facilities (RF) limbah B3 di pelabuhan adalah:
1. Penyimpanan.
2. Pengumpulan.
3. Pengangkutan
Evaluasi kelayakan teknis dan administratif untuk fasilitas ini dapat mengacu pada Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : KEP-01/BAPEDAL/09/1995
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan Pengumpulan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya
berkaitan dengan bagian penyimpanan dan pengumpulan limbah B3. Sedangkan pelaporan
dalam bentuk neraca limbah B3 dapat dilihat pada Lampiran 9 dan 10. Mengingat pelabuhan
merupakan kawasan khusus dengan luas terbatas, penyesuaian persyaratan dengan kondisi
lokal kemungkinan perlu dilakukan dengan ketentuan tidak mengurangi kinerja keselamatan
kegiatan pengelolaan yang dilakukan.

Reception Facilities (RF) di pelabuhan, selain melakukan kegiatan pengumpulan dan


penyimpanan limbah B3, juga dapat memiliki fasilitas pengolahan ( antara lain : oil separator,
waste water treatment plant/WWTP) dan landfill residu atau limbah B3 lainnya (antara lain :
incinerator) baik yang berlokasi di kawasan pelabuhan maupun di luar kawasan pelabuhan.
Hal ini disebut dengan Fasilitas Pengelolaan Limbah di Pelabuhan, dan izin yang perlu
dimiliki oleh fasilitas semacam ini adalah :
1. Pengoperasian alat pengolahan.
2. Penyimpanan.
3. Pengumpulan.
4. Pengangkutan.
5. Pengolahan.
6. Pemanfaatan.
7. Landfill.
Kriteria Pengadaan Fasilitas Pengelolaan Limbah di Pelabuhan
1. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga dimana minyak mentah dimuat ke dalam tanker
minyak yang mana tanker tersebut mempunyai prioritas untuk segera melakukan ballast tidak
lebih dari 72 jam atau lego jangkar pada perairan pelabuhan (DLKR dan atau DLKP) atau
yang menempuh perjalanan minimal 1200 mil laut.
2. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga di mana minyak selain minyak mentah curah
dimuat pada tingkat rata-rata lebih dari 1000 metrik ton perhari.
3. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga yang mempunyai halaman untuk perbaikan kapal
atau fasilitas tank cleaning dan atau jenis pengusahaan tank cleaning.
4. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga yang menangani kapal-kapal harus di lengkapi
pula dengan tangki sludge sebagaimana dalam peraturan 17 Annex I MARPOL 73/78.
5. Semua pelabuhan yang berhubungan dengan air kotor berminyak dan jenis-jenis residu
lainnya, yang tidak dapat dibuang sesuai ketentuan peraturan 9 Annex I MARPOL 73/78 dan
peraturan perundangundangan
yang berlaku.
6. Semua pelabuhan untuk pemuatan kargo curah dan yang berhubungan dengan residu
minyak yang tidak dapat dibuang sesuai dengan ketentuan peraturan 9 Annex I MARPOL
73/78 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kapal Tanker
Kapal Kargo
Kapal Curah
Kapal Penumpang
Fasilitas Penyimpanan
dan Pengumpulan
Truck Sampah
Truck Tangki
Separator
Residu Air Olahan Hasil Olahan
WWTP
Pemanfaatan
Media Lingkungan Incinerator 17
7. Pelabuhan, terminal dan dermaga perbaikan kapal yang melakukan kegiatan perbaikan dan
pembersihan tangki kapal tanker pengangkut bahan kimia.

Persyaratan Lokasi
1. Memiliki area yang cukup (sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar ) untukkemudahan
penanganan dan perlindungan dari situasi darurat.
2. Area secara geologis dan geografis merupakan daerah bebas banjir,longsor dan genangan
serta mempunyai sistem drainase yang baik.
3. Lokasi berada di luar area kepabeanan pelabuhan.
4. Memiliki akses yang baik, baik dari laut (bila berlokasi di pelabuhan itusendiri) maupun
dari darat, yang memungkinan untuk operasi maneuver kapal secara aman dan mencegah
penundaaan yang tidak diinginkan.
5. Memiliki akses yang mudah terhadap berbagai keperluan yang dibutuhkan seperti listrik,
uap dan lain sebagainya.
6. Memiliki jarak yang cukup aman (minimum 50 meter) dari lokasi pemukiman, lingkungan
yang sensitive serta lingkungan untuk kepentingan tertentu guna meminimalisasi dampak
lingkungan dan
kesehatan.

3. Persyaratan Bangunan
1. Fasilitas pada bangunan penyimpanan dan pengumpulan harus dilengkapi dengan berbagai
sarana penunjang dengan tata ruang yang tepat sehingga kegiatan penyimpanan dan
pengumpulan limbah B3 dapat berlangsung dengan baik dan aman bagi lingkungan (Gambar
5);
2. Setiap bangunan penyimpanan dan pengumpulan limbah B3 di rancangkhusus, dan di
lengkapi dengan bak pengumpul tumpahan/ceceran limbah yang dirancang sedemikian rupa
sehingga memudahkan dalam pengangkatannya;
3. Fasilitas pada bangunan penyimpanan dan pengumpulan harus dilengkapi dengan:
a. peralatan dan sistem pemadam kebakaran;
b. pembangkit listrik cadangan;
c. fasilitas pertolongan pertama;
d. peralatan komunikasi;
e. gudang tempat penyimpanan peralatan dan perlengkapan;
f. pintu darurat dan alarm.

4. Fasilitas Tambahan
Fasilitas pengelolaan limbah B3 di pelabuhan harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana
tambahan antara lain : laboratorium, pencucian, bongkar muat, kolam pengumpul, dan
peralatan penanganan tumpahan.
1. Laboratorium
Laboratorium yang tersedia harus mampu:
a) Melakukan pengujian jenis dan karakteristik dari limbah B3 yang diterima, sehingga
penanganan lebih lanjut seperti pencampuran, pengemasan ulang atau pengolahan awal (pre
treatment) dapat dilakukan dengan tepat.
b) Melakukan pengujian kualitas terhadap timbulan dari kegiatan pengelolaan limbah yang di
lakukan (misalnya cairan dari fasilitas pencucian atau dari kolam pengumpul darurat)
sehingga dapat dilakukan penanganan dengan tepat.
c) Melakukan pengujian Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dari limbah B3
yang akan dikelola, sehingga dapat dilakukan pengawasan dalam pemanfaatan lebih lanjut.

2. Sarana pencucian:
a) Setiap pencucian peralatan atau perlengkapan yang digunakan dalam kegiatan
pengumpulan limbah B3 harus dilakukan di dalam sarana pencucian. Sarana tersebut harus
dilengkapi bak pengumpul dengan kapasitas yang memadai dan harus kedap air.
b) Sebelum dapat dibuang ke media lingkungan, maka terhadap cairan dalam bak pengumpul
tersebut harus dilakukan analisis laboratorium guna memperoleh kepastian pemenuhan
terhadap baku mutu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c) Setiap kendaraan pengangkut yang akan meninggalkan lokasi pengumpulan harus
dibersihkan atau dicuci terlebih dahulu, terutama bagian-bagian yang diduga kuat
terkontaminasi limbah B3 (misalnya bak kendaraan pengangkut, roda, dll).

3. Sarana untuk bongkar- muat:


a) Sarana bongkar-muat harus dirancang sehingga memudahkan kegiatan pemindahan limbah
B3 dari dan ke kendaraan pengangkut atau receptacels;
b) Lantai untuk kegiatan bongkar-muat harus kuat dan kedap air serta dilengkapi dengan
saluran pembuangan menuju bak pengumpul untuk menjamin tidak ada tumpahan atau
ceceran limbah B3 yang lepas ke media lingkungan.

4. Kolam pengumpul :
a) Kolam pengumpul dimaksudkan untuk menampung cairan atau bahan yang terkontaminasi
oleh limbah B3 dalam jumlah besar (misalnya cairan dari bekas pemakaian bahan pemadam
kebakaran, dll);
b) Kolam pengumpul harus dirancang kedap air (sesuai dengan persyaratan teknis yang
berlaku) dan mampu menampung cairan atau bahan yang terkontaminasi limbah B3 dalam
jumlah memadai.
5. Peralatan penanganan tumpahan:
a) Pemilik atau operator harus memiliki dan mengoperasikan alat-alat atau bahan-bahan yang
digunakan untuk mengumpulkan dan membersihkan ceceran atau tumpahan limbah B3;
b) Bekas alat atau bahan pembersih tersebut, jika tidak dapat digunakan kembali harus di
perlakukan sebagai limbah B3.
KENDARAAN PENGUMPUL LIMBAH DI DARAT (TRUCK TANGKI)
Di pelabuhan-pelabuhan yang besar, pengumpulan limbah dengan menggunakan kendaraan
(truck) banyak dilakukan karena memiliki fleksibilitas untuk bongkar muat dan
menghindarkan dari kebutuhan untuk merelokasi tempat pengumpul limbah. Pelaporan dalam
bentuk manifest dan neraca limbah B3 (Lampiran 9) wajib disampaikan kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang pengelolaan hidup, segera setelah melakukan kegiatan
penyerahan limbah ke fasilitas penyimpanan dan pengumpulan di pelabuhan.

1. Persyaratan Lokasi
1. Harus mempertimbangkan askes jalan bagi kendaraan, contohnya untuk
pengiriman limbah ke fasilitas pengelolaan limbah di pelabuhan
2. Umumnya beroperasi pada pelabuhan kecil/pelabuhan rakyat.
3. Tidak diizinkan beroperasi pada tempat yang menangani produksi minyak, gas cair, bahan
kimia curah dan paket barang berbahaya.

2. Fasilitas Tambahan
1. Alat angkut berbentuk mobil tangki yang dilengkapi dengan sistem pompa vakum.
2. Layak sebagai kendaraan pengangkut limbah.
3. Tersedia alat pemadam kebakaran dan peralatan penunjang situasi darurat lainnya.
4. Dilengkapi dengan penandaan/labelling B3.

KENDARAAN PENGUMPUL LIMBAH DI LAUT (KAPAL)


Jika cara pengumpulan limbah dilakukan menggunakan tongkang, perhatian khusus perlu
diberikan pada desain peralatan untuk mencegah tumpahan atau ceceran yang harus
dilengkapi dengan peralatan untuk penanganan jika terjadi tumpahan atau ceceran, terutama
untuk limbah Annex I, II, dan V MARPOL 73/78.
Sistem Fendering perlu ada disetiap tongkang. Sarana pemasukan limbah kedalam tongkang
harus bisa melayani kapal-kapal, baik yang berlokasi di dok ataupun kapal yang mengapung
dimana tidak tersedia fasilitas pengumpul ataupun tidak dapat dijangkau oleh kendaraan.
Untuk kendaraan pengumpul limbah di laut seperti tongkang (Gambar 7), potensi untuk
terjadinya ceceran dan atau tumpahan pada saat pelayanan, pengosongan dan atau pencucian
tongkang harus diperhatikan.
Konvensi ini juga mengeluarkan prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh
penghasil/pembuang limbah :
The polluter pays principle
Penghasil limbah bertanggungjawab secara legal dan finansial untuk penanganan limbah
yang aman, ramah lingkungan dan memberikan insentif untuk menghindari limbah.
The precautionaryprinciple
Prinsip yang mengatur masalah perlindungan kesehatan dan keselamatan.
The duty of care principle
Penghasil limbah bertanggungjawab membuang limbah secara aman
The proximity principle
Pengolahan dan pembuangan harus diusahakan sedekat mungkin dengan sumber dimana
limbah tersebut dihasilkan
3. Usulkan pengolahan grey water di lingkungan pelabuhan, berbasis pengetahuan
yang Anda kumpulkan dan ringkas tentang pengolahan grey water.
Pemenuhan kebutuhan air bersih yang selama ini dilakukan hanya dapat digunakan pada
waktu waktu tertentu. Pemenuhan kebutuhan air bersih dilakukan dengan menggunakan
dua alternatif, yaitu dengan menggunakan air PDAM untuk shower dan faucet, serta air hasil
pengolahan yang berasal dari grey water. Air hasil pengolahan kemudian digunakan untuk
menggantikan air bersih pada alat saniter yang membutuhkan penggelontoran, seperti
watercloset dan urinoir.

Tangki yang akan digunakan dalam perencanaan adalah tangki untuk penyimpanan air bersih
harus selalu dibersihkan secara teratur agar dapat menjaga kualitas air bersih yang disimpan.
Tangki air bersih yang digunakan antara lain fresh water tank dan tangki tekan, sedangkan
tangki yang digunakan untuk air buangan yaitu tangki air buangan untuk grey water dan
black water.

Tangki Air Buangan


Tangki air buangan menampung air buangan yang berasal dari kegiatan domestik, antara lain
berupa black water atau grey water. Besaran air buangan ini umumnya antara 70-80% dari
pemakaian air bersih.

Air Buangan
Air buangan domestik yang dihasilkan dari aktivitas kapal diasumsikan sebesar 80% dari
kebutuhan air bersih yang digunakan untuk fasilitas sanitair, konsumsi dan kebutuhan air
bersih saat kapal sandar di pelabuhan, setelah dilakukan perhitungan air buangan yang
dihasilkan sebesar 97 m3. Air buangan yang telah diketahui volumenya kemudian
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya yaitu greywater dan blackwater. Pengklasifikasian air
buangan bertujuan karena limbah greywater yang dihasilkan akan diolah kembali dan akan
difungsikan untuk air penggelontor (flushing) water closet dan urinoir. Komposisi
perbandingan volume greywater dan blackwater yang dihasilkan
sebesar 80 % dan 20 %. Sehingga dari komposisi tersebut dapat diketahui jumlah greywater
yang dihasilkan yaitu sebesar 54,5 m3 dan 13,5 m3. Setelah diketahui volume masing-masing
jenis limbah, kemudian direncanakan holding tank untuk greywater dan blackwater secara
terpisah.
Sistem Ven
Perencanaan sistem ven pada KM. Musthika Kencana II dilakukan untuk menjaga aliran
dalam pipa pembuangan agar dapat mengalir dengan lancar serta memberi saluran sirkulasi
udara dalam pipa pembuangan agar tidak menganggu aliran air buangan dan kenyamanan
penumpang dalam memanfaatkan fasilitas saniter. Penentuan diameter untuk pipa ven dalam
perencanaan ini direncanakan menggunakan 2 pipa tegak ven yang disambungkan dengan
pipa tegak dari saluran pembuangan, selain itu pipa ven juga pengaruhi oleh Unit Alat
Plambing yang menjadi beban dari sistem tersebut.

Air Hasil Pengolahan


Perhitungan kebutuhan air hasil pengolahan digunakan untuk memenuhi kuantitas air yang
dapat didaur ulang menjadi air hasil pengolahan. Air yang di daur ulang berasal dari air
buangan 10 grey water dan hanya dimanfaatkan dalam aktifitas penggelontoran pada alat
saniter water closet dan urinoir. Air buangan berupa grey water bersumber dari 80 % volume
air buangan total, yaitu sebesar 37 m3. Volume grey water yang dihasilkan kemudian
dialirkan pada mesin pengolah air limbah.

Alat saniter terdiri dari water closet sejumlah 91 buah dan urinoir sejumlah 4 buah.
Berdasarkan jumlah alat saniter tersebut, maka untuk mengetahui besarnya air limbah yang
akan diolah dapat diketahui melalui perhitungan kebutuhan air penggelontor pasa masing
masing alat saniter. Kebutuhan air ini akan dipenuhi dengan alat daur ulang yang memiliki
kapasitas daur ulang air limbah 23 m3, sedangkan sisa grey water lainnya ditampung dalam
grey water tank untuk selanjutnya dipompa keluar melalui shore connection pada saat kapal
sandar di pelabuhan.

Pengadaan alat pengolahan limbah grey water sebagai pemenuhan persyaratan Maritim
Policy (MARPOL) Annex IV tentang tata cara pembuangan kotoran (sewage). Maritim
Policy (MARPOL)mensyaratkan kapal yang memiliki Gross Tonnage lebih dari 400 GT dan
membawa 15 orang maka wajib dilengkapi holding tank ataupun sistm pengolahan limbah.
Sistem pengolahan limbah yang dipakai dalam perencanaan ulang KM. Musthika Kencana II
yaitu alat pengolahan milik Aco Marine, perusahaan yang khusus bergerak di bidang
perlengkapan kapal. Alat pengolahan ini memiliki berbagai serangkaian proses dalam
mengolah air grey water yaitu proses membrane dan biologi. Alat pengolah grey water Aco
Marine mampu mengolah limbah antara 5,75 - 57,5 m3/hari bergantung pada tipe dan
dimensinya. Berikut ini adalah gambar alat pengolah grey water Aco Marine yang akan
ditampilkan pada Gambar 1

Fire Hydrant
Sistem fire hydrant yang direncanakan dalam KM. Musthika Kencana II direncanakan
memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Untuk bagian dalam kapal
Sistem pengendalian kebakaran di bagian dalam kapal menggunakan fire hose reel, fire
hose reel merupakan sistem pemadam kebakaran dengan menggunakan selang pipa hydrant
yang memiliki jangkauan jangkauan maksimum 50 feet atau 15 m dan diameter 2.5 inchi.
Sistem ini dapat memancarkan air untuk memadamkan api dengan kecepatan aliran dalam
pipa 2 m/detik.
2. Untuk bagian geladak kendaraan
Sistem pengendalian jika terjadi kebakaran pada Kapal Musthika Kencana II di geladak
kendaraan ini direncanakan dengan menggunakan post hydrant dan sprinkler system. Post
hydrant merupakan alat pemadam kebakaran yang berupa selang pipa hydrant dalam kotak
besi berukuran 1 m. Sedangkan sistem sprinkler diletakkan setiap 5 meter dengan debit
sebesar 0.7 l/det.
Kebutuhan air fire hydrant yang direncanakan dalam sistem fire hydrant untuk bagian dalam
dan luar kapal berasal dari air laut. Air laut dipilih sebagai suplai air fire hydrant karena air
laut dapat mensuplai kebutuhan selama 24 jam secara terus menerus, suplai selama 24 jam
untuk 12 memadamkan api sangat penting karena pada saat-saat tertentu tidak
memungkinkan terdapat bantuan pemadaman api oleh pihak lain jika terjadi kebakaran di
tengah laut. Peletakan dan penentuan jumlah fire hydrant dalam gedung direncanakan
berdasarkan jarak jangkau alat terhadap luas keseluruhan dalam kapal.Penentuan dimensi
pipa fire hydrant ini bergantung pada debit aliran dan kecepatan air yang mengalir
dalam pipa. Pada saat terjadi kebakaran, maka jalur yang digunakan untuk melakukan
pemadaman bergantung pada posisi terjadinya kebakaran. Berdasarkan denah pada gambar
8.1, dapat dilakukan perhitungan dimensi pipa fire hydrant yang terdiri dari pipa mendatar
dan pipa tegak. Pompa pada sistem fire hydrant digunakan untuk mensuplai air dari sea chest
(saluran masuknya air laut ke dalam kapal) ke alat-alat fire hydrant yang ada, yaitu post
hydrant dan Fire Hose Reel. Pada perencanaan ini pompa fire hydrant diasumsikan pada
kondisi dimana alat pemadam kebakaran bekerja seluruhnya. Perencanaan pada kondisi ini
dilakukan agar pompa dapat mengaliri seluruh alat pemadam kebakaran. Direncanakan
terdapat tiga jenis pompa, yaitu pompa elektrik, pompa diesel dan pompa tambahan

Kapal menghasilkan 25% limbah dari seluruh kegiatan pelabuhan. Limbah kapal terdiri dari :
Blackwater (dari toilet & klinik non B3)
dari kapal dengan 3.000 penumpang dan petugas menghasilkan sekitar 5.000 hingga 30.000
gallon per hari
Greywater (dari sink, shower, dapur, laundry, dan aktivitas pembersihan)
diperkirakan berkisar antara 30 sampai 85 gallon per hari per orang, atau 90.000 sampai
255.000 gallon per hari untuk kapal dengan kapasitas 3.000 person
Hazardous waste (proses fotografi, klinik, dry cleaning, and pembersihan alat)
Oily bilge water (minyak dari mesin dan ruang mesin atau dari kegiatan pemeliharaan mesin
tercampur dengan air di bilge)hasil/timbulannya rata-rata 8 metrik ton oily bilge water dalam
waktu24 jam operasi
Oil & oil spillage
Ballast water (dari kegiatan ballast/penyeimbang)
Limbah padat (kertas, kardus, plastik, pecahan gelas/kaca, sisa makanan, elektronik, batere
bekas, dll)
Sistem pengolahan air limbah cair diterapkan untuk semua sumber air kecuali dari toilet.Air
limbah cair ini masuk ke septic tank dimana septic tanknya sudah siap digunakan. Septic
Tank diperkirakan akan kosong setiap 14 tahun sekali. Aliran air dari septic tank dibuang ke
tanky bawah tanah melalui bebatuan alam yang menyediakan penyaringan standard yang
baik. Pembuangan kemudian masuk ke dalam tanky kedua dengan kerikil yang meresapkan
air itu ke dalam tanah.

Gambar II.16. Pengolahan Limbah cair lanjut.


(Sumber: Greywater.com)

Gambar II.17. Penyaringan Limbah cair


(Sumber: Greywater.com)

Sistim Greywater ini memerlukan sistim pembuangan yang terpisah antara greywater dengan
blackwater dimana nantinya air bekas cucian dan lainnya akan masuk ke pipa pembuangan
air khusus yang kemudian akan ditampung di sebuah bak penampungan yang biasanya
dilengkapi dengan filter untuk membersihkan air buangan tersebut.
Setelah air bekas tersebut menjadi bersih atau setidaknya tidak berbahaya maka air
akan digunakan kembali untuk keperluan lain seperti mencuci mobil, menyiram tanaman
sampai air untuk toilet. Menurut data yang didapat, setidaknya 50-80% air yang kita buang
adalah air yang berasal dari cucian (pakaian dan piring) dan mandi jadi bila semuanya itu bisa
kita gunakan kembali, pasti lebih hemat bayar PAM.
Pengelolaan Greywater Dengan Tanaman Penyerap
Tanaman resapan dapat meresapi air limbah cair atau padat hingga standard air bersih seperti
pengolahan pada mekanikal pengolahan limbah air kotor pada umumnya. Salah satunya yang
ada di Eropa adalah tanaman disekitar danau yang merupakan area tempat berenang dan
rekreasi masyarakat.

Gambar II.18. Penyaringan Greywater dengan Tanaman Resapan


(Sumber: Greywater.com)

Kesimpulan dari tinjauan khusus topik ini adalah, air bersih yang dibutuhkan tempat
menginap dalam rata-rata perhari yaitu 10 liter. Koefisien macam-macam penutup tanah
menggunakan pengerasan bangunan dengan nilai 0.9. Septic Tank terbuat dari semen dan
didesain kuat untuk menampung air. Kapasitas dari Tanky yaitu 4m3untuk rumah bertipe 3
kamar, sedangkan rumah yang berisikan 1 keluarga, septic tanknya berkapasitas 15m 3,
tergantung dari jumlah kamar dalam rumah.
Tanaman resapan dapat meresapi air limbah cair atau padat hingga standard air bersih seperti
pengolahan pada mekanikal pengolahan limbah air kotor pada umumnya
Sumber:

Pengolahan Grey water melalui beberapa tahap di bawah basement. Pengolahan melewati
beberapa tahap yaitu batu, ijuk, pasur halus, arang tempurung kelapa, kerikil, batu, dan
terakhir masuk ke bak penampungan.

Detail
bak penyaringan.
Bahan material yang digunakan untuk penyaringan disangga terlebih dahulu menggunakan
rangka kayu dibawahnya. Air masuk melalui celah rangka yang diletakkan dibak lalu
ditampung dibawahnya.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa pemisahan grey water dari black water sangat
dianjurkan mengingat resiko polusi yang diakibatkan. Untuk selanjutnya pengolahan grey
water dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Sedangkan untuk penanganan limbah yang berupa sampah dapur dapat dilakukan melalui
proses pengkomposan sendiri. Jadi jenis sampah yang dapat dikomposkan adalah sisa
makanan, rumput, daun-daunan kering, jerami, kayu, dan kertas. Pengkomposan dapat
dilakukan pada lubang di tanah atau membuat kotak pengkomposan sendiri. Pada prinsipnya
harus dipastikan agar udara dapat masuk hingga bagian terbawah tumpukan. Adapun sampah-
sampah yang tidak dapat dikomposkan adalah produk-produk hewani seperti daging, ikan,
keju, margarin, susu, selai, dan minyak. Untuk lebih lanjut artikel mengenai pengomposan
sampah organik akan saya paparkan dalam artikel yang berbeda.

Daur ulang greywater mbr sistem pengolahan air limbah air hujan sbr ubf mbr membran

Sistem pengolahan air limbah mbr:


Mbr ini sistem (membran bioreactor) pengobatan tanaman dirancang untuk perkotaan dan
industri pengolahan air limbah, Kombinasi proses membran seperti mikrofiltrasi atau
ultrafiltrasi dengan ditangguhkan. Sistem menyediakan aerobik yang mbr mikrobiologi
pengolahan limbah air dalam Efisiensi yang baik diperoleh dan air murni berkualitas baik
adalah Dicapai.

Mbr sistem termasuk:


Mbr membran dan mbr skid
Sistem kolektor pipa dan aerator
Blower udara
Saution pompa
Pompa air umpan
Pompa dosing dan sistem
Sistem kontrol plc
Mbr sistem aplikasi:

Pengolahan air limbah teknologi untuk industri dan pemerintahan kota pengolahan air limbah
atau reklamasi air menggunakan kembali.

Mbr sistem pengolahan pengobatan


greywater daur ulang mbr sistem pengolahan air limbah air hujan sbr ubf mbr membran
Mbr sistem cartridge & mbr membran
greywater daur ulang mbr sistem pengolahan air limbah air hujan sbr ubf mbr membran

Sumber:
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab5HTML/2012100925ARBab5001/page3.html
http://sigitwijionoarchitects.blogspot.com/2012/04/greywater-dan-blackwater.html
http://www.attayaya.net/2009/02/kapal-asing-buang-limbah-di-laut.html
http://indonesian.alibaba.com/product-gs/greywater-recycling-mbr-wastewater-treatment-
system-rainwater-sbr-ubf-mbr-membrane-60030858961.html
4. Idem soal 3, namun untuk black water.

Prinsip pengolahan air kotor jenis black water dilakukan di basement di ruangan STP. Air
kotor jenis black water yang telah diproses menggunakan beberapa tahap penyaringan air
kotor jenis black water diproses seperti yang sudah dijelaskan pada soal sebelumnya, hasil
proses penyaringan tersebut adalah air yang ditampung ke dalam kolam penampungan
tersendiri sebelum dipompa ke atas.

Sumber:
Sumber:
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab5HTML/2012100925ARBab5001/page3.html
http://sigitwijionoarchitects.blogspot.com/2012/04/greywater-dan-blackwater.html
http://www.attayaya.net/2009/02/kapal-asing-buang-limbah-di-laut.html
http://indonesian.alibaba.com/product-gs/greywater-recycling-mbr-wastewater-treatment-
system-rainwater-sbr-ubf-mbr-membrane-60030858961.html
5. Berbekal materi RF dan konsep Anda di soal 2, 3, 4, rancang RF pelabuhan Anda.
a) Diagram alir limbah
Fasilitas Pengelolaan Limbah di Kawasan Pelabuhan

Diagram Pelaporan Penyerahan Limbah

b) Denah RF (tidak skalatis)


Proses Bongkar Muat Limbah dari Kendaraan Pengumpul di Darat ke
Fasilitas Pengelolaan Limbah di Pelabuhan.
c) Narasi yang menjelaskan butir a dan b

Reception Facilities (RF) di pelabuhan, selain melakukan kegiatan pengumpulan dan


penyimpanan limbah B3, juga dapat memiliki fasilitas pengolahan ( antara lain : oil separator,
waste water treatment plant/WWTP) dan landfill residu atau limbah B3 lainnya (antara lain :
incinerator) baik yang berlokasi di kawasan pelabuhan maupun di luar kawasan pelabuhan.
Hal ini disebut dengan Fasilitas Pengelolaan Limbah di Pelabuhan, dan izin yang perlu
dimiliki oleh fasilitas semacam ini adalah :
1. Pengoperasian alat pengolahan.
2. Penyimpanan.
3. Pengumpulan.
4. Pengangkutan.
5. Pengolahan.
6. Pemanfaatan.
7. Landfill.
Kriteria Pengadaan Fasilitas Pengelolaan Limbah di Pelabuhan
1. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga dimana minyak mentah dimuat ke dalam tanker
minyak yang mana tanker tersebut mempunyai prioritas untuk segera melakukan ballast tidak
lebih dari 72 jam atau lego jangkar pada perairan pelabuhan (DLKR dan atau DLKP) atau
yang menempuh perjalanan minimal 1200 mil laut.
2. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga di mana minyak selain minyak mentah curah
dimuat pada tingkat rata-rata lebih dari 1000 metrik ton perhari.
3. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga yang mempunyai halaman untuk perbaikan kapal
atau fasilitas tank cleaning dan atau jenis pengusahaan tank cleaning.
4. Semua pelabuhan, terminal dan dermaga yang menangani kapal-kapal harus di lengkapi
pula dengan tangki sludge sebagaimana dalam peraturan 17 Annex I MARPOL 73/78.
5. Semua pelabuhan yang berhubungan dengan air kotor berminyak dan jenis-jenis residu
lainnya, yang tidak dapat dibuang sesuai ketentuan peraturan 9 Annex I MARPOL 73/78 dan
peraturan perundangundangan
yang berlaku.
6. Semua pelabuhan untuk pemuatan kargo curah dan yang berhubungan dengan residu
minyak yang tidak dapat dibuang sesuai dengan ketentuan peraturan 9 Annex I MARPOL
73/78 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kapal Tanker
Kapal Kargo
Kapal Curah
Kapal Penumpang
Fasilitas Penyimpanan
dan Pengumpulan
Truck Sampah
Truck Tangki
Separator
Residu Air Olahan Hasil Olahan
WWTP
Pemanfaatan
Media Lingkungan Incinerator 17
7. Pelabuhan, terminal dan dermaga perbaikan kapal yang melakukan kegiatan perbaikan dan
pembersihan tangki kapal tanker pengangkut bahan kimia.

Persyaratan Lokasi
1. Memiliki area yang cukup (sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar ) untukkemudahan
penanganan dan perlindungan dari situasi darurat.
2. Area secara geologis dan geografis merupakan daerah bebas banjir,longsor dan genangan
serta mempunyai sistem drainase yang baik.
3. Lokasi berada di luar area kepabeanan pelabuhan.
4. Memiliki akses yang baik, baik dari laut (bila berlokasi di pelabuhan itusendiri) maupun
dari darat, yang memungkinan untuk operasi maneuver kapal secara aman dan mencegah
penundaaan yang tidak diinginkan.
5. Memiliki akses yang mudah terhadap berbagai keperluan yang dibutuhkan seperti listrik,
uap dan lain sebagainya.
6. Memiliki jarak yang cukup aman (minimum 50 meter) dari lokasi pemukiman, lingkungan
yang sensitive serta lingkungan untuk kepentingan tertentu guna meminimalisasi dampak
lingkungan dan
kesehatan.

3. Persyaratan Bangunan
1. Fasilitas pada bangunan penyimpanan dan pengumpulan harus dilengkapi dengan berbagai
sarana penunjang dengan tata ruang yang tepat sehingga kegiatan penyimpanan dan
pengumpulan limbah B3 dapat berlangsung dengan baik dan aman bagi lingkungan (Gambar
5);
2. Setiap bangunan penyimpanan dan pengumpulan limbah B3 di rancangkhusus, dan di
lengkapi dengan bak pengumpul tumpahan/ceceran limbah yang dirancang sedemikian rupa
sehingga memudahkan dalam pengangkatannya;
3. Fasilitas pada bangunan penyimpanan dan pengumpulan harus dilengkapi dengan:
a. peralatan dan sistem pemadam kebakaran;
b. pembangkit listrik cadangan;
c. fasilitas pertolongan pertama;
d. peralatan komunikasi;
e. gudang tempat penyimpanan peralatan dan perlengkapan;
f. pintu darurat dan alarm.

4. Fasilitas Tambahan
Fasilitas pengelolaan limbah B3 di pelabuhan harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana
tambahan antara lain : laboratorium, pencucian, bongkar muat, kolam pengumpul, dan
peralatan penanganan tumpahan.
1. Laboratorium
Laboratorium yang tersedia harus mampu:
a) Melakukan pengujian jenis dan karakteristik dari limbah B3 yang diterima, sehingga
penanganan lebih lanjut seperti pencampuran, pengemasan ulang atau pengolahan awal (pre
treatment) dapat dilakukan dengan tepat.
b) Melakukan pengujian kualitas terhadap timbulan dari kegiatan pengelolaan limbah yang di
lakukan (misalnya cairan dari fasilitas pencucian atau dari kolam pengumpul darurat)
sehingga dapat dilakukan penanganan dengan tepat.
c) Melakukan pengujian Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) dari limbah B3
yang akan dikelola, sehingga dapat dilakukan pengawasan dalam pemanfaatan lebih lanjut.

2. Sarana pencucian:
a) Setiap pencucian peralatan atau perlengkapan yang digunakan dalam kegiatan
pengumpulan limbah B3 harus dilakukan di dalam sarana pencucian. Sarana tersebut harus
dilengkapi bak pengumpul dengan kapasitas yang memadai dan harus kedap air.
b) Sebelum dapat dibuang ke media lingkungan, maka terhadap cairan dalam bak pengumpul
tersebut harus dilakukan analisis laboratorium guna memperoleh kepastian pemenuhan
terhadap baku mutu sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c) Setiap kendaraan pengangkut yang akan meninggalkan lokasi pengumpulan harus
dibersihkan atau dicuci terlebih dahulu, terutama bagian-bagian yang diduga kuat
terkontaminasi limbah B3 (misalnya bak kendaraan pengangkut, roda, dll).

3. Sarana untuk bongkar- muat:


a) Sarana bongkar-muat harus dirancang sehingga memudahkan kegiatan pemindahan limbah
B3 dari dan ke kendaraan pengangkut atau receptacels;
b) Lantai untuk kegiatan bongkar-muat harus kuat dan kedap air serta dilengkapi dengan
saluran pembuangan menuju bak pengumpul untuk menjamin tidak ada tumpahan atau
ceceran limbah B3 yang lepas ke media lingkungan.

4. Kolam pengumpul :
a) Kolam pengumpul dimaksudkan untuk menampung cairan atau bahan yang terkontaminasi
oleh limbah B3 dalam jumlah besar (misalnya cairan dari bekas pemakaian bahan pemadam
kebakaran, dll);
b) Kolam pengumpul harus dirancang kedap air (sesuai dengan persyaratan teknis yang
berlaku) dan mampu menampung cairan atau bahan yang terkontaminasi limbah B3 dalam
jumlah memadai.
5. Peralatan penanganan tumpahan:
a) Pemilik atau operator harus memiliki dan mengoperasikan alat-alat atau bahan-bahan yang
digunakan untuk mengumpulkan dan membersihkan ceceran atau tumpahan limbah B3;
b) Bekas alat atau bahan pembersih tersebut, jika tidak dapat digunakan kembali harus di
perlakukan sebagai limbah B3.

KENDARAAN PENGUMPUL LIMBAH DI DARAT (TRUCK TANGKI)


Di pelabuhan-pelabuhan yang besar, pengumpulan limbah dengan menggunakan kendaraan
(truck) banyak dilakukan karena memiliki fleksibilitas untuk bongkar muat dan
menghindarkan dari kebutuhan untuk merelokasi tempat pengumpul limbah. Pelaporan dalam
bentuk manifest dan neraca limbah B3 (Lampiran 9) wajib disampaikan kepada instansi yang
bertanggungjawab di bidang pengelolaan hidup, segera setelah melakukan kegiatan
penyerahan limbah ke fasilitas penyimpanan dan pengumpulan di pelabuhan.

1. Persyaratan Lokasi
1. Harus mempertimbangkan askes jalan bagi kendaraan, contohnya untuk
pengiriman limbah ke fasilitas pengelolaan limbah di pelabuhan
2. Umumnya beroperasi pada pelabuhan kecil/pelabuhan rakyat.
3. Tidak diizinkan beroperasi pada tempat yang menangani produksi minyak, gas cair, bahan
kimia curah dan paket barang berbahaya.

2. Fasilitas Tambahan
1. Alat angkut berbentuk mobil tangki yang dilengkapi dengan sistem pompa vakum.
2. Layak sebagai kendaraan pengangkut limbah.
3. Tersedia alat pemadam kebakaran dan peralatan penunjang situasi darurat lainnya.
4. Dilengkapi dengan penandaan/labelling B3.

KENDARAAN PENGUMPUL LIMBAH DI LAUT (KAPAL)


Jika cara pengumpulan limbah dilakukan menggunakan tongkang, perhatian khusus perlu
diberikan pada desain peralatan untuk mencegah tumpahan atau ceceran yang harus
dilengkapi dengan peralatan untuk penanganan jika terjadi tumpahan atau ceceran, terutama
untuk limbah Annex I, II, dan V MARPOL 73/78.
Sistem Fendering perlu ada disetiap tongkang. Sarana pemasukan limbah kedalam tongkang
harus bisa melayani kapal-kapal, baik yang berlokasi di dok ataupun kapal yang mengapung
dimana tidak tersedia fasilitas pengumpul ataupun tidak dapat dijangkau oleh kendaraan.
Untuk kendaraan pengumpul limbah di laut seperti tongkang (Gambar 7), potensi untuk
terjadinya ceceran dan atau tumpahan pada saat pelayanan, pengosongan dan atau pencucian
tongkang harus diperhatikan.
Sumber:
http://bapelkescikarang.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=828

Anda mungkin juga menyukai