Anda di halaman 1dari 20

Pembiayaan Pendidikan Islam di Indonesia dari masa ke

masa.

Oleh.

Nasrul Syarif

NIM.F08312017

Pendahuluan

Sejak awal kedatangannya ke Indonesia, pada abad ke-6 M, Islam telah mengambil
peran yang amat signifikan dalam kegiatan pendidikan. Secara historis pertumbuhan
dan perkembangan pendidikan di Indonesia sangat terkait erat dengan kegiatan
dakwah islamiyah. Pendidikan Islam berperan sebagai mediator di mana ajaran Islam
dapat disosialisasikan kepada masyarakat dalam berbagai tingkatannya.Melalui
pendidikan inilah masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran islam sesuai dengan ketentuan al-Quran dan as-Sunnah.

Islam memiliki karakter sebagai agama dakwah dan pendidikan. Dengan karakter ini,
maka Islam dengan sendirinya berkewajiban mengajak,membimbing, dan membentuk
kepribadian umat manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.1

Namun hingga hari ini pendidikan Islam di Indonesia masih dihadapkan pada
berbagai problematika yang tidak ringan. Berbagai komponen pendidikan Islam dari
tujuan, kurikulum, guru, sarana dan prasarana, pembiayaan, dan sebagainya masih
dihadapkan pada permasalahan-permasalahan mendasar yang berakibat pada mutu
pendidikan Islam yang seringkali menunjukkan keadaan yang kurang
menggemberakan.

Permasalahan klasik yang masih kerap menghinggapi lembaga-lembaga pendidikan


Islam di negeri ini terutama terkait dengan pembiayaan pendidikan yang minim. Hal
ini berimbas pada hampir semua komponen pendidikan lainnya. Padahal biaya
pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental (instrumental
input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah maupun
madrasah. Dalam segala upaya pencapaian tujuan pendidikan biaya dan pembiayaan

1 Dengan inisiatifnya sendiri, umat Islam berusaha membangun system


dan lembaga pendidikan sesuai dengan keadaan zaman, mulai dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi, yakni pesantren, madrasah, akademi,
sekolah tinggi, institute, universitas, dan sebagainya. Melalui lembaga
pendidikan ini telah dilahirkan para ulama,tokoh agama, para pemimpin
masyarakat yang telah memberikan sumbangan yang besar bagi
kemajuan bangsa. Lihat Prof.Dr.H. Abuddin Nata,M.A., Kapita Selekta
Pendidikan Islam, Rajawali Press. Jakarta. 2012. h.7-8

1
pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya
pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa
tanpa biaya, proses pendidikan tidak akan berjalan secara maksimal.

Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan adalah membutuhkan biaya. Hal ini


disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah maupun Madrasah dalam segala
aktifitasnya perlu sarana dan prasarana untuk proses pengajaran, layanan, pelaksanaan
program, dan kesejahteraan para guru dan karyawan yang ada, kesemua itu
memerlukan anggaran dana. Sehubungan dengan itu setiap manajer pendidikan Islam
hendaknya memahami sejarah pembiayaan pendidikan Islam di Indonesia beserta
teori dan praktik manajemen pembiyaan yang terbaik bagi lembaga pendidikannya.

Sejarah Pembiayaan pendidikan Islam pada masa Pra-Kemerdekaan.

Pendidikan Islam telah mulai berlangsung di Indonesia sejak masuknya para


pedagang muslim ke negeri ini pada abad VII M. Mula-mula pendidikan agama hanya
berlangsung antara individu dengan individu lainnya. Materi yang diajarkan pun
hanya berkisar pada prasyarat seseorang menjadi muslim. Proses pendidikan Islam
kemudian berkembang ke arah kolektif ketika sudah memberi pengaruh yang
signifikan di masyarakat Indonesia.

Pengaruh pendidikan agama yang dilaksanakan oleh para dai muslim menemukan
hasilnya ketika pada abad X berdiri kerajaan Islam pertama di Aceh yang bernama
Pase atau kerajaan samudra (kerajaan ini juga dikenal dengan samudera pasai). Di
kerajaan ini dilangsungkan pendidikan agama dengan menggunakan bahasa Arab
sebagai pengantarnya

Hal ini sesuai dengan laporan Ibnu Batutah dalam bukunya Rihlah Ibnu Batutah
bahwa ketika ia berkunjung ke samudra pasai pada tahun 1354 ia mengikuti raja
mengadakan halaqah setelah shalat jumat sampai waktu asar. Dari keterangan itu
diduga kerajaan samudra pasai ketika itu sudah merupakan pusat agama Islam dan
tempat berkumpul ulama dari berbegai negara Islam untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah keagamaan dan keduniawian sekaligus.

Zuhairi dkk. melihat bahwa pendidikan agama semi formal pertama yang berlangsung
di Indonesia adalah majlis ilmu yang berlansung di kerajaan samudera pasai. Sistem
pendidikan agama yang berlasung di kerajaan ini adalah sebagai berikut:
1. Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang syariat ialah fiqh Madzhab
Syafii.
2. Sistem pendidikannya secara nonformal berupa majelis taklim dan halaqah.
3. Tokoh pemerintahan merangkap sebagai tokoh ulama.

4. Biaya pendidikan agama bersumber dari negara.

2
Jadi, pada masa kerajaan Islam Pasai ini, pendidikan agama dilangsungkan oleh
kerajaan dan dibiayai oleh kerajaan itu sendiri. Bahkan, setelah berdirinya Kerajaan
Perlak pendidikan agama berkembang sangat baik. Sultah Mahdum Alaudin
Muhammad Amin, Raja keenam Perlak, mendirikan perguruan tinggi Islam yang
diperuntukkan bagi siswa yang telah alim. Dengan dukungan pendanaan dari
kerajaan, perguruan ini dapat mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang
berbobot pengetahuan tinggi seperti Kitab al-Umm karangan Imam Syafii dan
sebagainya.

Berawal dari Aceh, Pendidikan Islam terus berkembang ke penjuru nusantara. Di


Jawa, misi ini diusung oleh Sunan Giri menitikberatkan kegiatannya pada bidang
pendidikan. Dalam hal kurikulumnya ia mengadakan kontak dengan kerajaan Pasai
yang bermadzhab Syafii.

Pendidikan Islam selanjutnya berkembang dari majlis taklim di kerajaan terus


berkembang ke surau-surau dan masjid.

Di Sumatera Barat surau-surau berkembang menjadi tempat pengajian untuk pemuda-


pemuda muslim. Salah satunya surau besar yang mirip konsep pesantren muncul di
Batuhampar Payakumbuh yang didirikan oleh Syaikh Abdurrahman pada tahun 1777.
Kompleks ini kemudian dikenal sebagai Kampung Dagang. Kampung Dagang
dibangun dengan sarana dan fasilitas penunjang yang cukup lengkap. Di dalam
kawasan yang luasnya sekitar 3 hektare ini ada sebuah pasar kecil, di mana terdapat
beberapa kedai tempat menjual berbagai kebutuhan murid sehari-hari. Jumlah orang
siak (santri) yang belajar di Kampung Dagang ini berkisar antara 1000 sampai 2000
orang.

Untuk mengikuti pelajaran di surau santri tidak dikenakan pungutan atau pembayaran
apapun; tidak dikenakan uang sekolah, uang asrama atau uang makan. Jarang sekali
santri memberikan uang kepada syaikh. Kalaupun ada, di samping oleh keluarga yang
bersangkutan, diberikan atas dasar kerelaan dan keikhlasan. Biaya hidup dari santri
berasal dari orang kampung yang berdekatan dengan surau, biasanya dijemput sendiri
atau diantarkan oleh orang tua mereka. dalam menunjang pemenuhan kebutuhan
hidup santri, masyarakat kota yang berdekatan, seperti payakumbuh, juga tidak
kurang pula partisipasinya. Setiap hari minggu mereka mengantarkan beras, sayur dan
kebutuhan pokok lainnya ke surau dengan pedati. Sedangkan santri yang datang dari
negeri yang jauh, biasanya tiap hari kamis menyebar ke negeri-negeri sekitar
Batuhampar dengan membawa buntil (tempat beras seperti kantong terigu) dan sore
harinya kembali dengan membawa buntilan beras dan uang untuk biaya seminggu.

3
Akan halnya syaikh sendiri, tidak mempunyai pekerjaan selain mengajar di surau
untuk memenuhi kebutuhan hidup kelurganya. Jadi ia cukup mengajar saja, karena
kebutuhan hidupnya sehari-hari sudah dipenuhi dari sedekah dan sumbangan
masyarakat, yang terus mengalir bahkan lebih dari cukup sehingga syaikhpun mampu
menunaikan ibadah haji.

Seiring dengan perubahan yang terjadi pada lembaga pendidikan pada umumnya,
maka perubahan institusi pendidikan rupanya juga merubah surau-surau yang ada di
Sumatera menjadi sekolah-sekolah Islam. Pada tahun 1918 berdiri pula perkumpulan
Sumatera Thawalib yang mendirikan sekolah-sekolah agama di Padang Panjang,
Bukittinggi dan sekitarnya. Selanjutnya pada tahun 1920 berdirilah organisasi guru-
guru Islam (PGAI) di Padang, yang kemudian mendirikan Normal Islam, sekolah
modern untuk mempersiapkan guru-guru agama Islam. Sementara pada tanggal 10
Oktober 1915 di Padang Panjang Zainuddin Labbay El Yunusi mendirikan Diniyah
School kemudian adiknya, Rahman El Yunusiyah mendirikan pula Diniyah School
Putri tanggal 1 Nopember 1923. Kedua lembaga pendidikan tersebut mengispirasi
berdirinya sekolah-sekolah Islam formal lain yang secara tidak langsung mengikis
peran pendidikan yang dilangsungkan oleh surau-surau. Sehingga selepas tahun 1940-
an surau dan sekolah-sekolah agama tradisional menjadi minoritas dibandingkan
sekolah-sekolah modern.

Selanjutnya pembaruan sistem pendidikan agama, ditambah perubahan-perubahan


ekonomi yang dilancarkan pemerintahan kolonial juga mengubah watak dasar santri
dan surau. Santri yang pada masa kejayaan surau belajar agama dari suatu surau ke
surau lain dengan biaya yang diperoleh dari sedekah umat kini terpaksa menjadi
madrasah modern atas biaya keluarganya. Perubahan ini berarti pecahnya integrasi
santri dengan masyarakat, karena sebelumnya terjalin hubungan saling membutuhkan
antara keduanya. Santri membutuhkan bantuan biaya masyarakat sementara yang
terakhir ini memerlukan santri untuk mengajarkan agama, menjalankan upacara-
upacara di negeri, dan kembali ke kampungnya untuk menjadi guru agama setelah
menyelesaikan pelajarannya di surau.

Perubahan mendasar lainnya adalah yang menyangkut kepemilikan lembaga


pendidikan. Jika surau dimiliki pendiri dan anak cucunya maka madrasah, dimiliki
lembaga-lembaga yang mempunyai sistem manajemen kependidikan dan regenerasi
kepemimpinan yang relatif teratur karena diatur oleh birokrasi organisasi. Surau-suaru
besar yang kebanyakan didirikan sebelum abad ke-20, ketika sistem pendidikan Islam
dimodernisasi, sedang mengalami krisis kepemimpinan, karena banyak pendirinya
telah wafat sementara regenerasi kepemimpinan kepada anak sang pendiri tak bisa
diharapkan. Akibatnya banyak surau ditutup atau menciut fungsinya menjadi sekedar
tempat mengaji al-Quran. Sebagian lain meneruskan kelangsungan hidupnya

4
terpaksa berafiliasi dengan organisasi Islam tertentu yang menyelenggarakan
pendidikan Islam seperti Muhammadiyah, Permi, Diniyah, Thawalib, dan sebagainya.

Pesantren di Jawa

Ketika surau-surau di Sumatera terkikis oleh sekolah-sekolah Islam, tidak demikin


halnya dengan pesantren-pesantren di jawa. Meski gerakan pendidikan Islam formal
berlangsung deras, namun eksistensi pesantren sebagai pendidikan Islam pertama di
jawa tetap survive dan eksis. Pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam
tertua di Jawa.

Munculnya pesantren sekitar abad ke-15 oleh para penyebar agama Islam di Jawa, di
antaranya Wali songo. Sebagaimana halnya surau-surau di Sumatera, pesantren
awalnya juga merupakan masjid yang menjadi tempat belajar para santri yang
kemudian terintegrasi dengan asrama untuk penginapan para santri tersebut.

Setiap pondok pesantren memiliki tiga unsur minimal2:

1) Kyai yang mendidik dan mengajar;

2) Santri yang belajar; dan

3) Masjid.

Pesantren pertama di Jawa diperkirakan dibangun oleh Sunan Ampel di Surabaya.


Pada tahun selajutnya pesantren telah meyebar ke penjuru tanah Jawa.Sebelum abad
ke-18, pembiayaan pesantren dari tingkat rendah hingga tinggi ditanggung oleh
masyarakat Islam sendiri. Pembiayaan tersebut dipungut dari uang zakat, srakah
(iuran waktu pernikahan), wakaf dan palagara (pembayaran sesuatu hajat dari
penduduk desa). Pengaturan pembagian tersebut diatur oleh pemerintah kerajaan.

Pada masa kerajaan Kartasura (sekitar tahun 1700 M) ada beberapa pesantren besar
yang dijadikan perdikan, yang dikaruniai tanah sawah dan tempat tinggal sebagai hak
milik turun temurun yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah. Tetapi
perdikan ini akhirnya dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1916-
1917. Tanah hak milik itu diambil alih oleh pemerintah kolonial.

2 Klasifikasi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren: Salaf/klasik,Semi


berkembang, Berkembang,Khalaf/Modern dan Ideal . Lihat Prof.DR. HM.
Ridlwan Nasir,M.A, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok
Pesantren di tengah Arus Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Cet.II
Januari 2010. h.366-367

5
Meski pada awal abad ke-20 Pemerintah Kolonial berlaku represif terhadap lembaga-
lembaga pendidikan Islam di Jawa, ternyata pada abad ini pesantren justru mengalami
kebangkitan hebat. Muncul pesantren-pesantren baru yang masih tampak kokoh
hingga saat ini. Pada periode ini pengelolaan pesantren dilaksanakan oleh kyai dengan
bantuan masyarakat tanpa peran pemerintah.

Kedatangan Jepang pada fase selanjutnya tidak memberi banyak perubahan kepada
lembaga-lembaga pendidikan Islam. Hanya saja kebijakan-kebijakan pemerintah
Jepang yang tidak peduli terhadap agama memberi keleluasaan terhadap dakwah dan
pendidikan Islam di Indonesia. Kantor Urusan Agama yang pada masa Belanda
dipimpin oleh seorang orientalis, pada masa ini digantikan oleh ulama pribumi.
Beberapa pesantren besar juga dikunjungi dan dibantu oleh pemerintah Jepang.

Peran Organisasi Islam dalam pendidikan Islam.

Beberapa organisasi Islam sangat berperan untuk memajukan pendidikan Islam ,


misalnya Muhammadiyah, terus membuka sekolah-sekolah di pelosok jawa. Pendiri
Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, melihat bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam
gagal dalam memproduksi kader-kader Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi
tuntutan zaman. Untuk itu salah satu amal usaha yang digalakkan oleh
Muhammadiyah pada mulanya adalah pada lapangan pendidikan. Amal usaha
pendidikan diharapkan memajukan dan memperbaharui pendidikan dan pengajaran
serta memperluas ilmu menurut tuntutan Islam.

Lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah bersifat formal, baik


umum maupun keagamaan. Tiap sekolah/madrasah dan perguruan tinggi yang
dimiliki oleh Muhammadiyah sepenuhnya milik muhammadiyah, dan bukan milik
individu. Sehingga di antara lembaga-lembaga pendidikan tersebut kerjasama dapat
dilakukan dengan lebih mudah karena adanya organisasi induk yang mendirikannya.
Manajemen pendidikan yang dilangsungkan Muhammadiyah pada mulanya juga
terpusat. Kurikulum pengajaran, pelasanaan ujian dan pembiayaan di sekolah-sekolah
muhammadiyah kesemuanya di bawah kendali majelis pengajaran Pengurus Pusat
Muhammadiyah.

Di samping Muhammadiyah, Organisasi Islam lain yang juga turut membantu


penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam di Jawa adalah Nahdlatul Ulama.
Organisasi yang digagas oleh Wahab Chasbullah ini berdiri pada tahun 1926.
Organisasi ini memiliki departemen kependidikan yang disebut dengan Lembaga
Pendidikan Maarif (LP Maarif). Raisul Akbar NU pertama, Hasyim Asyari, adalah
tokoh paling berpengaruh di organisasi ini. Dialah yang memperkenalkan sistem

6
madrasah dan kurikulum yang memuat pelajaran umum dalam lembaga pendidikan
Islam yang bernaung di bawah NU.

Nahdlatul Ulama memberikan perhatian yang besar bagi pendidikan, khususnya


pendidikan tradisional yang harus dipertahankan keberadaannya. Pada awal
berdirinya, NU tidak membicarakan secara tegas tentang pembaharuan pesantren.
Namun, NU juga terjun dalam pembaharuan pendidikan dengan mendirikan
madrasah-madrasah model Barat sebagaimana terlihat di beberapa pesantren saat ini.

Pembiayaan Pendidikan Islam Pada Masa Pasca-kemerdekaan

Pada masa ini telah muncul pesantren-pesantren yang berupaya mengadaptasi


perubahan sistem pendidikan konvensional. Sedikitnya terdapat dua cara yang
dilakukan pesantren dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi kurikulumnya
dengan memasukkan sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum. Kedua,
membuka kelembagan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan
umum.

Dengan kedua cara tersebut maka persentuhan antara sistem pesantren dengan sistem
madrasah sudah sangat terasa. Untuk itu, setidak-tidaknya pada masa ini muncul lima
klasifikasi pondok pesantren menurut Prof.Dr. Ridlwan Nasir,M.A.di Nusantara3:

1.Ponpes salaf/Klasik adalah pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional;


2.Ponpes Semi berkembang adalah pondok yang menyelenggarakan pengajaran
secara klasikal (madrasi);dengan kurikulum 90% Agama dan 10% umum

3.Ponpes berkembang adalah pondok yang seperti semi berkembang hanya saja
sudah lebih bervariasi dalam bidang kurikulumnya; yakni 70% agama dan 30%
umum.

4.Ponpes Khalaf/Modern adalah pondok yang menyelenggarakan sistem ponpes


sekaligus sistem sekolah dan madrasah sudah lebih lengkap bahkan sampai perguruan
tinggi baik umum maupun agama dilengkapi dengan takhasus (bahasa arab dan
bahasa Inggris).

5. Ponpes Ideal yaitu sebagaimana bentuk ponpes modern hanya saja lebih lengkap
lembaga pendidikan yang ada ,terutama bidang ketrampilan yang meliputi
pertanian,teknik, perikanan, perbankan dan benar-benar memperhatikan kualitasnya
3 Bisa di baca lebih lengkap Prof.DR. HM. Ridlwan Nasir,M.A, Mencari
Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di tengah Arus
Perubahan, Pustaka Pelajar, Yogjakarta. Cet.II Januari 2010. h.86-87

7
dengan tidak menggeser cirri khusus kepesantreannya yang masih relevan dengan
kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.

Namun dari segi manajemen pembiayaan belum muncul konsep yang baru dari
beberapa tipe pesantren yang muncul. Meski kemandirian telah menjadi pola hidup
pesantren, tetapi pada umumnya pembiyaan pesantren masih bergantung pada usaha
yang dilakukan oleh kyai dan sumbangan pihak luar. Rata-rata pesantren tidak
memiliki usaha yang dapat menjamin keberlangsungan pesantren.

Hal ini tentu bukan realitas yang menggembirakan, mengingat usaha yang dilakukan
kyai secara individu tidak berjalan selamanya. Di samping itu, pada dasarnya setiap
lembaga pendidikan membutuhkan penopang dana abadi demi memenuhi kebutuhan-
kebutuhan pesantren di masa yang akan datang

Beberapa pengasuh pesantren yang mencoba menggagas alternatif sumber pendanaan


lembaga pendidikannya. Di antaranya adalah dilakukan oleh Pesantren Pertanian
Darul Falah Bogor, Pesantren Al Zaitun, Pesantren Gontor dan lain-lain.

Sebagai gambaran, penulis uraikan di sini salah satu gagasan dari konsep pembiayaan
berbasis wakaf yang ditawarkan oleh pesantren Gontor.

Pesantren Gontor meniru apa yang dilakukan oleh pengelola al-Azhar di Mesir dan
Aligarh di India yang terjamin kelangsungan lembaganya karena kekayaan wakaf
yang di miliki, maka di pesantren ini juga berupaya mengelola perekonomiannya
dengan basis wakaf.

Pesantren ini memulai pewakafan pondok pada tanggal 28 Rabiul Awwal 1378/12
Oktober 1958. Pewakafan dilakukan oleh pendiri pesantren Gontor kepada Ikatan
Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor yang diwakili oleh 15 orang yang
dipercaya sebagai nadhir. Para nadhir yang berjumlah 15 orang tersebut kemudian
dilembagakan menjadi Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor.
Badan Wakaf Gontor kemudian menjadi badan tertinggi yang membawahi beberapa
lembaga di pesantren tersebut. Demi menjaga dan mengembangkan harta wakaf yang
dimiliki maka Badan Wakaf Gontor membentuk Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan
Wakaf Pondok Modern (YPPWPM) yang merupakan salah satu lembaga yang
mempunyai tanggung jawab besar dalam mengatur jalur perekonomian, khususnya
berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan wakaf, sehingga dapat menjadi
sumber dana yang halal serta dapat menjamin kemandirian Pondok. Lembaga ini
berada di bawah kendali langsung badan tertinggi pondok, yaitu Badan Wakaf
Pesantren Gontor.

Hingga saat ini YPPWPM terus menambah dan mengelola berbagai bentuk kekayaan
bumi dan bangunan demi menjamin kebutuhan ekonomi Gontor. Kekayaan bumi yang

8
dikelola YPPWPM hingga akhir tahun 2007 dalam m2 adalah sebagai berikut:
1. Di Kab. Ponorogo : 549.301

2. Di Kab. Madiun : 7.059

3. Di Kab. Ngawi : 2.048.505

4. Di Kab. Kediri : 182.336

5. Di Kab. Jombang : 20.160

6. Di Kab. Nganjuk : 104.893

7. Di Kab. Jember : 22.830

8. Di Kab. Lumajang : 1.630

9. Di Kab. Banyuwangi : 61.510

10. Di Kab. Trenggalek : 20.314

11. Di Kab. Tuban : 10.600

12. Di Kab. Magelang : 51.854

13. Di Kab. Bantul -Yogyakarta : 680

14. Di Kab. Bogor : 500.000

15. Di Kab. Lampung Timur : 80.000

16. Di Kab. Lampung Selatan : 109.246

17. Di Kab. Konawe Selatan : 3.337.710

18. Kab. Aceh Besar : 101.163

Total tanah yang dikelola sejumlah 7.209.791 m2.

Sampai tahun 2009, luas tanah wakaf dalam hitungan YPPWPM mencapai 825,184
Ha atau 8.251.840 m2, tersebar di 19 kabupaten di seluruh Indonesia. Dengan segala
kemampuan yang ada, program perluasan tanah diperoleh melalui penerimaan tanah
wakaf dan pembelian tanah baru.4

4 Pondok Pesantren Darussalam Gontor, Warta Dunia Pondok Modern


Darussalam Gontor, vol 62 (syaban,1430H)31.

9
Adapun harta wakaf berbentuk sarana dan prasarana lainnya seperti bangunan masjid,
asrama, madrasah, kampus dn sebagainya tersebar ke penjuru pondok-pondok cabang
Gontor, baik Gontor putra sampai 11 cabang maupun Gontor putrid sekitar 5 cabang.
Selain itu untuk wakaf pondok Gontor banyak sekali usaha yang dilakukan seperti
menggarap sawah dengan system bagi hasil, investasi melalui unit-unit usaha
produktif dan penggalangan dana dengan pola langsung. Khusus untuk unit usaha
produktif, wakaf gontor sampai tahun 2009, telah mendayakan 30 ragam usaha.

Pertumbuhan madrasah

Di awal kemerdekaan, tidak dengan sendirinya madrasah dimasukkan ke dalam


sistem pendidikan nasional. Pada masa ini madrasah berkembang cukup pesat, tetapi
tidak memperoleh bantuan sepenuhnya dari pemerintah. Madrasah dan dunia
pendidikan Islam pada umumnya dibiarkan hidup meskipun dalam keadaan yang
sangat sederhana dan apa adanya.

Perhatian pemerintah pada masa Orde Lama terhadap madrasah sangat rendah.
Bantuan pembiayaan dari pemerintah juga belum dapat dirasakan oleh para pengelola
madrasah. Pada masa ini pemeritah tidak mendirikan satupun madrasah negeri.
Penegerian madrasah hanya dilakukan ketika beberapa Pemerintah Daerah
menyerahkan beberapa madrasah ke Departemen Agama.

Harapan baru muncul ketika pada tahun 1975 departemen agama di bawah pimpinan
Mukti Ali mengeluarkan keputusan bersama antara Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan serta menteri dalam negeri. Namun ternyata SKB tiga
menteri ini masih menyisakan persoalan terkait dengan pembiayaan madrasah-
madrasah yang mayoritas masih berstatus swasta.

Pendidikan Islam dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

Langkah-langkah strategis dalam rangka mengembangkan kebijaksanaan agar


madrasah pada gilirannya menjadi sekolah umum dapat diwujudkan setelah
berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sebagai pelaksana undang-undang tersebut di dalam Peraturan Pemerintah No. 28
tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dalam Bab III pasal 4 ayat (3) disebutkan
bahwa: Sekolah dasar dan sekolah lanjutan pertama yang berciri khas Islam yang
diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madrasah
Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah. Demikian pula halnya dengan madrasah
aliyah. Namun pada masa ini pendidikan Islam belum dikatakan sebagai bagian dari
sistem pendidikan nasional tetapi hanya satu bagian/urusan yang berada di bawah
Departemen Agama.

10
Selanjutnya harapan baru muncul seiring dengan bergulirnya era reformasi yang
menuntut penataan ulang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian melahirkan
sistem otonomi daerah. Otonomi Daerah memberi peluang pada lembaga-lembaga
pendidikan untuk lebih mandiri dengan tetap berharap bantuan pemerintah meski
dalam era ini pemerintah daerah dan pusat hanya berperan sebagai funding agency,
pemicu dana, untuk selanjutnya sekolah sendiri yang mengembangkannya.

Pada era otonomi ini lahir pula UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. UU Sisdiknas baru
ini berusaha menempatkan madrasah ekuivalen dengan sekolah termasuk dalam
perlakukan anggarannya. Dalam UU Sisdiknas 2003 ini pesantren juga dinyatakan
sebagai bagian dari subsistem pendidikan nasional.

Saat lembaga pendidikan Islam telah mendapatkan bantuan pembiayaan yang cukup
signifikan dari pemerintah. Di samping itu, madrasah dan pesantren juga didorong
untuk mengelola pembiayaan pendidikannya berbasis madrasah dan pesantren.
Metode ini mencakup tiga kegiatan poko yang harus diupayakan oleh para pengelola
lembaga pendidikan Islam yaitu: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pertanggungjawaban.

Terkait dengan sumber pendanaan, saat ini rata-rata anggaran lembaga pendidikan
Islam diperoleh dari:

1. Bantuan Pemerintah

Besarnya bantuan keuangan dari pemerintah bervariasi untuk madrasah negeri dan
swasta
a.untuk madrasah negeri berkisar antara 8090 % dari anggaran sekolah;
b untuk madrasah swasta berkisar antara 15 40 %. Besar kecilnya bantuan
pemerintah dihitung secara seimbang dengan besar kecilnya pungutan sekolah dari
orang tua siswa. Semakin besar pungutan dari orang tua, maka berakibat semakin
kecil jumlah bantuan dari pemerintah.

2. Uang Madrasah

Iuran/bantuan orang tua siswa yang besarnya bervariasi menurut jenis madrasah,
keunggulan madrasah dan besar kecilnya program madrasah tersebut :
- untuk madrasah negeri antara 5 15 %;

- untuk madrasah swasta 60 85 %

3. Kegiatan bazar madrasah, pameran dan lain lain

4. Kerjasama dengan perusahaan.

11
Kerja sama dengan perusahaan-perusahaan terkenal dengan cara memasang
iklan/poster perusahaan pada madrasah atau dalam penerbitan madrasah. Upaya ini
bisa dilakukan oleh sebagian madrasah untuk membiayai program program unggulan
dalam meningkatkan kinerja dan out put madrasah. Apalagi saat ini persaingan cukup
ketat dalam penerimaan siswa berkaitan semakin selektifnya orang tua dalam memilih
sekolah untuk anak-anaknya. Hal ini tidak terlepas dari semakin kompleknya jenis
profesi dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh lapangan kerja di samping makin
ketatnya persaingan masuk perguruan tinggi yang favorit. Walaupun dapat
mendatangkan dana yang besar, namun kerjasama dengan perusahaan ini masih
menimbulkan kontroversi, karena dapat berakibat buruk pada siswa maupun citra
madrasah, terutama iklan untuk produk rokok dan sejenisnya.

Pendidikan Tanggung Jawab Negara

"Orang miskin dilarang sekolah," demikian jeritan pilu masyarakat saat ini
menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Betapa
tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik
Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun
harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada
mahasiswa. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui
"jalur khusus", ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar
(www.wikimu.com).

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan pemerintah yang mengadopsi
ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neoliberalisme. Sebagai salah satu varian
kapitalisme --seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi pemerintah--
neoliberalisme justru sebaliknya. Neoliberalisme merupakan bentuk baru liberalisme
klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme
(Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah


berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri.
Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat
tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan
pemerintah sekuler saat ini.

Beda dengan neoliberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh


tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan
pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur
serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.
Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-
Ta'lim Al-Manhaji, hal. 12).

Mengapa demikian? Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok


masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan
pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan

12
tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara
bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma
sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963).

Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma' Sahabat. Nabi SAW bersabda :

"Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas
gembalaannya itu." (HR Muslim).

Setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus


pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah
sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).

Ijma' Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan
pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin,
dan imam sholat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan
negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur
(pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995;
Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan
pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai
perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan
prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan
"iwan" (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu,
perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan
ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-
Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-
Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir
abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan
perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang
dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M)
juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan
membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap
dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk
para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh
pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara,
Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan
serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak
orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar,

13
seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga
pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang
tertentu. Seperti wakaf untuk ilmuwan hadits, wakaf khusus untuk dokter, wakaf
khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf khusus untuk
pendalaman fikih dan ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf
khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga
diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan,
termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari
negara. Sedangkan melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat
akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau paling tidak murah
bagi rakyat.

Pertanyaannya adalah, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang


dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?

Dalam penerimaan APBN P 2012 Indonesia yang hanya sekitar Rp. 1.358,2 triliun
dimana 74.5 %nya bersumber dari pajak yakni Rp 1.012 triliun, selain itu APBN
Indonesia mengalami defisit karena belanja negara sekitar Rp. 1.548,3 triliun,- yang
harus ditutupi melalui utang. Anggaran untuk sektor pendidikan katakan 20% adalah
sebesar 270 triliun belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian
dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang
pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 270 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun
2012 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya
alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 270 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan
penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya
yang diolah dari berbagai sumber :

1. Potensi hasil hutan : Yang paling menarik adalah produksi hutan. Luas hutan
Indonesia adalah 94.432.000 hektar. Untuk mempertahankan agar lestari dengan
siklus 20 tahun, maka setiap tahun hanya 5 persen tanamannya yang diambil. Bila
dalam 1 hektar hutan, hitungan minimalisnya ada 400 pohon, itu berarti setiap tahun
hanya 20 pohon per hektar yang ditebang. Kalau kayu pohon berusia 20 tahun itu
nilai pasarnya Rp. 2 juta dan nett profit-nya Rp. 1 juta, maka nilai ekonomis dari
hutan Indonesia adalah 94 juta hektar x 20 pohon per hektar x Rp 1 juta per pohon =
Rp 1.880 triliun.

Namun tentu saja ini tidak mudah didapat, karena saat ini lebih dari separuh hutan
Indonesia telah rusak oleh illegal logging. Harga kayu yang legal pun juga telah
dimainkan dengan transfer pricing untuk menghemat pajak. Tapi Rp 900 triliun juga
masih sangat besar. Dan jika dikelola dengan baik, masih banyak hasil hutan lain
yang bernilai ekonomis tinggi, misalnya untuk obat-obatan.

14
Dari perhitungan di atas penerimaan Negara dari kekayaan alamnya saja sudah sangat
besar yakni sekitar Rp. 1.642 triliun,-. Belum lagi bila memperhitungkan penerimaan
negara dari fai, ghanimah, shadaqah, tanah-tanah milik Negara dan lainnya.

Sehingga Menurut DR. Ihsanudin Noorsy Doktor Ekonomi Islam Lulusan S-3 Unair
dalam suatu seminar di UNAIR jadi bukan hanya menutup biaya anggaran sektor
pendidikan tetapi seluruh APBN-P 2012 tanpa pajak dan tanpa utang. Padahal ini baru
dari potensi kekayaan hutan di negeri ini.

2. Potensi hasil laut : Nah, di luar hasil hutan, ada potensi laut yang tak kalah besar.
Menurut Rokhmin Dahuri, nilai potensi lestari laut Indonesia baik hayati, non hayati,
maupun wisata adalah sekitar US$ 82 miliar atau Rp. 738 triliun. Bila ada BUMN
kelautan yang ikut bermain di sini dengan ceruk 10 persen saja, maka nilainya sudah
sekitar Rp. 73 triliun.

3. Potensi hasil pertambangan : Produksi pertambangan terutama emas seperti


Freeport atau Newmont kita lakukan perhitungan dengan taksiran dari setoran pajak
mereka. Bila kita percaya kebenaran nilai pajak Freeport yang Rp 6 triliun per tahun,
dan ini baru 20 persen dari nett profititu artinya nett profit-nya adalah Rp. 30 triliun
per tahun. Sumber lain menyebut produksi emas di Freeport adalah sekitar 200 ton
emas murni per harimaka secara kasar, bersama perusahaan tambang mineral logam
lainnya, yakni emas/Newmont juga timah, bauxit, besin juga kapur, pasir, dan lain-
lain nett profit sektor pertambangan adalah minimal Rp. 50 triliun per tahun.

4.Potensi sektor energi : Produksi minyak di Indonesia saat ini sekitar 900.000 barrel
per hari (bpd) sementara kebutuhan konsumsi minyak sekitar 1.300.000 barel per hari,
maka Indonesia harus mengimpor sedikitnya 400.000 barel per hari untuk memenuhi
kebutuhan BBM di Indonesia.

Bila asumsi harga minyak impor adalah US$ 100/barrel dan Biaya Lifting, Refining
dan Transportasi (LRT) minyak dalam negeri sekitar $ 15/ barel sampai di SPBU
dengan nilai tukar rupiah Rp. 9.000/US$ maka biaya yang dikeluarkan pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan BBM per hari :

1. Minyak Impor : 400.000 barel x [$ 100 + $ 2.55 (RT)*] = $ 41.020.000


*biaya refining dan transportasi (RT) sekitar 17 % dari total biaya LRT
2. Minyak Dalam Negeri : 900.000 barel x $ 15 (LRT) = $ 13.500.000
Total = $ 54.520.000
Setara = Rp. 490.680.000.000,-

Adapun penerimaan dari menjual BBM kepada masyarakat dengan harga saat ini (Rp.
4.500,- per liter) adalah

- 1.300.000 barel x 159 liter / barel x Rp. 4.500,- = Rp. 930.150.000.000,- per
hari

15
Keuntungan dari penjualan BBM per hari sekitar Rp. 439.700.000.000,-, atau setara
dengan Rp. 160.4 triliun,- per tahun.
Keuntungan ini di masukan kedalam pos penerimaan kepemilikan umum di Baitul
Maal dan akan dikembalikan kepada masyarakat.

Penerimaan ini masih mungkin bertambah karena lifting minyak Indonesia dapat
ditingkatkan bila dikelola oleh Negara, dengan model pengelolaan sekarang kita tidak
bisa mengawasi berapa lifting riil yang dihasilkan oleh tambang-tambang perusahaan
swasta dan asing. BP Migas sebagai pengawas hanya menerima data yang dibuat oleh
masing-masing perusahaan tersebut, bahkan Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany
(Vivanews.com, Senin 2 April 2012) menjelaskan, seiring dengan pembentukan
kantor pelayanan pajak (KPP) khusus wajib pajak sektor minyak dan gas bumi serta
pertambangan, selama ini produksi migas tidak pernah ada yang memeriksa sehingga
bisa saja kontraktor mengakali dengan memperlambat alat pengukur produksi migas.

"Jadi jangan bilang nggak mungkin perusahaan besar berani menipu. Mereka telah
menerapkan good corporate governance, sehingga tak berani menipu. Justru bodoh
mereka kalau nggak menipu kita," katanya

Sekadar informasi, lifting minyak Indonesia pada 2011 ini hanya 898 ribu barel per
hari, jauh di bawah target APBN-P 2011 sebesar 945 ribu barel per hari. Sedangkan
pada APBN-P 2012 ditargetkan 930 ribu barel per hari.

Produksi gas (LNG) adalah setara sekitar 5,6 juta barrel minyak per hari, namun
harganya di pasar dunia hanya 25 persen dari harga minyak. Jadi nilainya sekitar Rp
297 triliun atau nett profit-nya sekitar Rp 268 triliun. Produksi batubara setara 2 juta
barrel minyak per hari, dengan harga di pasar dunia sekitar 50 persen harga minyak.
Jadi nilainya sekitar Rp. 212 triliun, atau nett profit-nya sekitar Rp 191 triliun.

Produksi listrik tidak signifikan kecuali bila dilakukan pembangkitan listrik dari
energi terbarukan (air, angin, dan geothermal) atau nuklir. Energi listrik seperti ini
biasanya impas dikonsumsi sendiri.

Akumulasi penerimaan negara dari sektor energi saja sekitar Rp. 619.4 triliun,-

Dari empat potensi di atas saja dan dengan melihat pos penerimaan bila dikelola
dengan cara Islam dibandingkan dengan penerimaan dan belanja dalam APBN saat
ini, tampak nyata adanya surplus penerimaan. Surplus ini dapat digunakan untuk
melesatkan ekonomi menuju kesejahteraan dengan system ekonomi Islam. Ini bukan
mimpi, tapi sebuah kenyataan yang akan terbuktikan jika sistem ekonomi Islam
diterapkan. Itulah penjelasan Dr. Ichsanudin Noorsy pakar ekonomi Islam.

Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah


dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi
pembiayaan, melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara.

16
Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan
disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup.

PENUTUP
1. Pada mulanya pembiayaan pendidikan Islam diupayakan oleh individu-individu
penyebar ajaran Islam di Indonesia. Beberapa dekade setelahnya muncul kerajaan-
kerajaan Islam yang mendukung penuh pembiayaan pendidikan agama. Namun pada
masa pemerintahan kolonial pendidikan Islam dianggap sebagai pendidikan liar
sehingga sejak saat itu pembiyaan pendidikan diupayakan dari swadaya masyarakat.
2. Setelah masa kemerdekaan pendidikan Islam belum mendapat bantuan berarti dari
pemerintah. Orde Lama dan Orde Baru belum sepenuhnya mempertimbangkan
lembaga pendidikan Islam sebagai bagian dari aset negara. Hingga pada masa
pemerintahan reformasi terbit UU Sisdiknas tahun 2003 yang memberi harapan pada
pendidikan Islam untuk mendapatkan anggaran yang setara dengan lembaga
pendidikan lainnya dari pemerintah.

Saran bagi Negara dan lembaga pendidikan dan masyarakat :

1. Negara memahami betul bahwa pendidikan adalah tanggung jawab Negara


dan amanah UUD 1945 bukankah dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan
salah tugas Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan
pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang
menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan,
melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan
mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan
disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup.
2. Perlu ditingkatkannya peran serta (keterlibatan) masyarakat dalam membantu
tercapainya tujuan pendidikan Islam.
3. Perlunya konsep pendanaan yang kreatif bagi lembaga-lembaga pendidikan
Islam demi menjamin keberlangsungan proses pendidikan.
4. Perlunya peningkatan bantuan dana bagi madrasah swasta dan pesantren.
sebagai perbandingan di Australia, semua sekolah swasta mendapat bantuan
dari pemerintah sebesar 76% dari anggaran biaya, yang pengelolaannya
diserahkan sepenuhnya kepada kepala sekolah yang dibantu oleh Dewan
Sekolah, dan untuk sekolah negeri 90% dana ditanggung oleh pemerintah.

17
Daftar Pustaka

Asrahah, Hanun, 1999, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Al-Maliki, Abdurrahman, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, (Hizbut Tahrir : t.p.),
1963

Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali
Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004

Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Ad-


Dawlah Al-Utsmaniyah 'Awamil al-Nuhudh wa Asbab as-Suquth), Penerjemah
Samson Rahman, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar), 2004

An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, (Beirut : Darul


Ummah), 1990

Azmi, Sabahuddin, Islamic Economics, (New Delhi : Goodword Books), 2002

Depdikbud, 2001, KBBI Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.


Departemen Agama RI, 2005, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional:
Paradigma Baru, Jakarta: Depag RI.

____________________, 2005, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah (Jakarta:


Depag RI.

____________________, 2003, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah


Perkembangan dan Pertumbuhannya, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan
Agama Islam.
____________________, 2005, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.

____________________, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Direktorat


Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Hasan, M. Ali, et.al., 2003, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya.

Karim, Adiwarman (Ed.), Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT), 2001

18
Muhammad, Quthb Ibrahim, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab (As-Siayasah
Al-Maliyah Li 'Umar bin Khaththab), Penerjemah Ahmad Syarifuddin Shaleh,
(Jakarta : ustaka Azzam), 2002

Madjid, Nurcholis, 1997, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:


Paramadina.

Masyhud, Sulthon, et.al., 2003, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka

Nasir,Ridlwan Prof,DR,M.A, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal


Pondok Pesantren di tengah Arus Perubahan, Pustaka Pelajar,
Yogjakarta. Cet.II Januari 2010

Nata, Abuddin, 2005, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan


Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana.

Nata, Abuddin, 2004, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,


Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Noer, Deliar, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta: LP3ES.


Portal Departemen Agama RI, Grand Design Madrasah, www.depag.go.id., diakses
pada 20 Nopermber 2008.

Portal Informasi Pondok Modern Gontor, YPPWPM, , diakses pada 20 Nopermber


2008.

Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif (Al-Waqf Al-Islami Tathawwuruhu


Idaratuhu Tanmiyatuhu), Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta : Khalifa), 2005

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam (Economics Doctrines of Islam), Jilid 1,


Penerjemah Soeroyo & Nastangin, (Yogyakarta : PT. Dhana Bhakti Wakaf), 1995

Rahardjo, Dawam, (ed.), 1985, Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari


Bawah, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

_______________, (ed.), 1988, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES.


Salam, Junus, 1968, K.H.A. Dahlan: Amal Dan Perdjoangannja, Jakarta: Depot
Pengadjaran Muhammadijah.

Saridjo, Marwan, et.al, 1982, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Jakarta:


Dharma Bhakti.

Shaleh, Abdul Rachman, 2004, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, Jakarta: Raja
Grafindo Persada

19
Supriyadi, Dedi, 1999, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung:
Remaja Rosda Karya

Sunarto, Nusyrifah, 2005, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo


Persada.

Yunus, Mahmud, 1985, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya


Agung.

Yurino, Ari, Privatisasi Dunia Pendidikan: Hancurnya Pendidikan Bangsa,


http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1533&post=3

Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, (Beirut : Darul 'Ilmi lil
Malayin), 1983

Ziemek, Manfred, 1986, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Jakarta: Perhimpunan


Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Zuhairini, et.al., 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI.

20

Anda mungkin juga menyukai