Anda di halaman 1dari 74

ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA

PADA BAYI BARU LAHIR

I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen (O 2) dan
berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat
gangguan pertukaran antara oksigen (udara) dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam
darah kapiler paru-paru. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut
hiperkapnia.
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan
teratur setelah lahir.
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu ke
janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2, saat janin
di uterus hipoksia. . Apgar skor yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir
akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi.
Dalam kenyataan sehari-hari, hipoksia ternyata merupakan gabungan dari empat kelompok,
dimana masing-masing kelompok tersebut memang mempunyai ciri tersendiri. Walaupun ciri atau
mekanisme yang terjadi pada masing-masing kelompok akan menghasilkan akibat yang sama bagi
tubuh. Kelompok tersebut adalah :
a. Hipoksik-hipoksia,
Dalam keadaan ini oksigen gagal untuk masuk ke dalam sirkulasi darah.
b. Anemik-hipoksia,
Keadaan dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen yang cukup untuk metabolisme
dalam jaringan.
c. Stagnan-hipoksia,
Keadaan dimana oleh karena suatu sebab terjadi kegagalan sirkulasi.

d. Histotoksik-hipoksia,
Suatu keadaan dimana oksigen yang terdapat dalam darah, oleh karena suatu hal, oksigen tersebut
tidak dapat dipergunakan oleh jaringan.
Asfiksia neonartum ialah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini oleh karena hipoksia janin intra uterin dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul di dalam kehamilan, persalinan atau segera setelah
lahir. (Tim FK Unair 1995).

B. Etiologi
Faktor ibu Cacat bawaan Hipoventilasi selama anastesi Penyakit jantung sianosis Gagal
bernafas Keracunan CO Tekanan darah rendah Gangguan kontraksi uterus Usia ibu kurang
dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun Sosial ekonomi rendah Hipertensi pada penyakit eklampsia
Faktor janin / neonatorum Kompresi umbilikus Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat
Kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir Prematur Gemeli Kelainan congential
Pemakaian obat anestesi Trauma yang terjadi akibat persalinan
Faktor plasenta Plasenta tipis Plasenta kecil Plasenta tidak menempel Solusio plasenta
Faktor persalinan Partus lama Partus tindakan
C. Patofisiologi
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan / persalinan,
akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan
menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat
badan dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang terjadi dimulai dengan suatu periode appnoe,
disertai penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan menunjukan usaha nafas, yang kemudian
diikuti pernafasan teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi
berada dalam periode appnoe yang kedua, dan ditemukan pula bradikardi dan penurunan tekanan
darah.
Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam dan basa
pada neonatus.
Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi
metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh pada hati dan
jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan gangguan
fungsi jantung. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan
resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat
menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
D. Manifestasi Klinis
Appnoe primer : Pernafasan cepat, denyut nadi menurun dan tonus neuromuscular menurun
Appnoe sekunder : Apabila asfiksia berlanjut , bagi menunjukan pernafasan megapmegap
yang dalam, denyut jantung terus menerus, bayi terlihat lemah (pasif), pernafasan makin lama makin
lemah
TANDA-TANDA STADIUM I STADIUM II STADIUM III
Tingkat kesadaran Sangat waspada Lesu (letargia) Pinsan (stupor),
koma
Tonus otot Normal Hipotonik Flasid
Postur Normal Fleksi Disorientasi
Refleks tendo / Hyperaktif Hyperaktif Tidak ada
klenus
Mioklonus Ada Ada Tidak ada
Refleks morrow Kuat Lemah Tidak ada
Pupil Midriasis Miosis Tidak sama, refleks
cahaya jelek
Kejang-kejang Tidak ada Lazim Deserebrasi
EEG Normal 1aktifitas Voltase Supresi ledakan
rendah kejang- sampai isoelektrik
kejang
Lamanya 24 jam jika ada 24 jam sampai 14 Beberapa hari
kemajuan hari sampai beberapa
minggu
Hasil akhir Baik Bervariasi Kematian, defisit
berat

E. APGAR Score
Penilaian menurut score APGAR merupakan tes sederhana untuk memutuskan apakah
seorang bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan. Tes ini dapat dilakukan dengan mengamati
bayi segera setelah lahir (dalam menit pertama), dan setelah 5 menit. Lakukan hal ini dengan cepat,
karena jika nilainya rendah, berarti tersebut membutuhkan tindakan.
Observasi dan periksa :
A = Appearance (penampakan) perhatikan warna tubuh bayi.
P = Pulse (denyut). Dengarkan denyut jantung bayi dengan stetoskop atau palpasi denyut jantung
dengan jari.
G = Grimace (seringai). Gosok berulang-ulang dasar tumit ke dua tumit kaki bayi dengan jari.
Perhaitkan reaksi pada mukanya. Atau perhatikan reaksinya ketika lender pada mukanya. Atau
perhatikan reaksinya ketika lender dari mulut dan tenggorokannya dihisap.
A = Activity. Perhatikan cara bayi yang baru lahir menggerakkan kaki dan tangannya atau tarik
salah satu tangan/kakinya. Perhatikan bagaimana kedua tangan dan kakinya bergerak sebagai reaksi
terhadap rangsangan tersebut.
R = Repiration (pernapasan). Perhatikan dada dan abdomen bayi. Perhatikan pernapasannya.
TANDA 0 1 2 JUMLAH
NILAI
Frekwensi Tidak ada Kurang dari 100 Lebih dari 100
jantung x/menit x/menit
Usaha bernafas Tidak ada Lambat, tidak Menangis kuat
teratur
Tonus otot Lumpuh / Ekstremitas Gerakan aktif
lemas fleksi sedikit
Refleks Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
respon batuk
Warna Biru / pucat Tubuh: Tubuh dan
kemerahan, ekstremitas
ekstremitas: biru kemerahan
Apgar Skor : 7-10; bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa
Apgar Skor 4-6; (Asfiksia Neonatorum sedang); pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekwensi jantung
lebih dari 100 X / menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada
Apgar Skor 0-3 (Asfiksia Neonatorum berat); pada pemeriksaan fisik ditemukan frekwensi jantung kurang
dari 100 X / menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak
ada.

F. Pemeriksaan Penunjang
- Foto polos dada
- USG kepala
- Laboratorium : darah rutin, analisa gas darah, serum elektrolit
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa gas darah
2. Elektrolit darah
3. Gula darah
4. Baby gram
5. USG ( Kepala )
6. Penilaian APGAR score
7. Pemeriksaan EGC dab CT- Scan
8. Pengkajian spesifik
H. Penatalaksanaan
Tindakan dilakukan pada setiap bayi tanpa memandang nilai apgar. Segera setelah lahir,
usahakan bayi mendapat pemanasan yang baik, harus dicegah atau dikurangi kehilangan panas pada
tubuhnya, penggunaan sinar lampu untuk pemanasan luar dan untuk meringankan tubuh bayi,
mengurangi evaporasi.
Bayi diletakkan dengan kepala lebih rendah, pengisapan saluran nafas bagian atas, segera
dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari timbulnya kerusakan mukosa jalan nafas, spasmus
larink atau kolaps paru. Bila bayi belum berusaha untuk nafas, rangsangan harus segera dikerjakan,
dapat berupa rangsangan nyeri dengan cara memukul kedua telapak kaki, menekan tendon Achilles
atau pada bayi tertentu diberikan suntikan vitamin K.

I. Komplikasi
Edema otal, perdarahan otak, anusia dan oliguria, hiperbilirubinumia, enterokolitis, nekrotikans,
kejang, koma.Tindakan bag and mask berlebihan dapat menyebabkan pneumotoraks.
1. Otak : Hipokstik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi serebralis.
2. Jantung dan paru: Hipertensi pulmonal persisten pada neonatorum, perdarahan paru, edema paru.
3. Gastrointestinal: enterokolitis, nekrotikans.
4. Ginjal: tubular nekrosis akut, siadh.
5. Hematologi: dic

J. Diagnosis
Diagnosis hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda
gawat janin. Tiga hal yang perlu diperhatikan
Denyut jantung janin. Frekuensi normal adalah antara120 dan 160 denyut/menit selama his frekuensi
turun, tetapi diluar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung
umumnya tidak besar, artinya frekuensi turun sampai dibawah 100 x/ menit diluar his dan lebih-lebih
jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
Mekonium dalam air ketuban. Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada, artinya akan
tetapi pada presentasi kepala mungkin menunjukan gangguan. Oksigenisasi dan harus menimbulkan
kewaspadaan. Biasanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepaladapat merupakan indikasi
untuk mengakhir persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
Pemeriksaan pH darah janin. Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat serviks
dibuat sayatan kecil pada kulit pada kulit kepala janin dan diambil contoh darah janin. Darah ini
diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu sampai turun dibawah
7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya.
K. Prognosis
Asfiksia Ringan :Tergantung pada kecepatan penatalaksanaan.
Asfikisia Berat : Dapat menimbulkan kematian pada hari-hari pertama kelainan saraf. Asfiksia
dengan PH 6,9 dapat menyababkan kejang sampai koma dan kelainan neurologis permanen,misalnya
retardasi mental.

L. Prinsip Dasar Resusitasi


Ada beberapa tahap: ABC resusitasi,
A= memastikan saluran nafas terbuka.
B= memulai pernafasan .
C= mempertahankan sirkulasi (peredaran darah).
Membersihkan dan menciptakan lingkungan yang baik bagi bayi serta mengusahakan saluran
pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernafasan, yaitu agar oksigenisasi dan
pengeluaran CO2 berjalan lancar.
Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukan usaha pernafasan lemah.
Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi.
Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik

M. Tindakan
1. Pengawasan suhu: jangan biarkan bayi kedinginan, penurunan suhu tubuh akan mempertinggi
metabolisme sel jaringan sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
2. Pembersihan jalan napas: saluran napas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion. Tindakan
dilakukan dengan hati hati tidak perlu tergesa gesa. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh
akan timbul penyulit seperti spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan napas. Pada
Asfiksia berat dilakukan resusitasi kardio pulmonal
3. Rangsangan untuk menimbulkan pernapasan: Bayi yang tidak menunjukkan usaha bernapas 20 detik
setelah lahir menunjukkan depresi pernapasan. Maka setelah dilakukan penghisapan diberi O2 yang
cepat kedalam mukosa hidung. Bila tidak berhasil dilakukan rangsang nyeri dengan memukul telapak
kaki. Bila tidak berhasil pasang ET.
4. Therapi cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksia.
II. ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA
A. Pengkajian
1. Biodata
Terdiri dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak keberapa, jumlah saudara dan
identitas orang tua. Yang lebih ditekankan pada umur bayi karena berkaitan dengan diagnosa Asfiksia
Neonatorum.
2. Keluhan Utama
Pada klien dengan asfiksia yang sering tampak adalah sesak nafas
3. Riwayat kehamilan dan persalinan
Bagaimana proses persalinan, apakah spontan, premature, aterm, letak bayi belakang kaki atau
sungsang
4. Kebutuhan dasar
a. Pola Nutrisi
Pada neonatus dengan asfiksia membatasi intake oral, karena organ tubuh terutama lambung belum
sempurna, selain itu juga bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia
b. Pola Eliminasi
Umumnya klien mengalami gangguan b.a.b karena organ tubuh terutama pencernaan belum sempurna
c. Kebersihan diri
Perawat dan keluarga pasien harus menjaga kebersihan pasien, terutama saat b.a.b dan b.a.k, saat b.a.b
dan b.a.k harus diganti popoknya
d. Pola tidur
Biasanya istirahat tidur kurang karena sesak nafas
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada umumnya pasien dengan asfiksia dalam keadaan lemah, sesak nafas, pergerakan tremor, reflek
tendon hyperaktif dan ini terjadi pada stadium pertama.
b. Tanda-tanda Vital
Pada umunya terjadi peningkatan respirasi
c. Kulit
Pada kulit biasanya terdapat sianosis
d. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala bukit, fontanela mayor dan minor masih cekung, sutura belum menutup dan
kelihatan masih bergerak
e. Mata
Pada pupil terjadi miosis saat diberikan cahaya
f. Hidung
Yang paling sering didapatkan adalah didapatkan adanya pernafasan cuping hidung.
g. Dada
Pada dada biasanya ditemukan pernafasan yang irregular dan frekwensi pernafasan yang cepat
h. Neurology / reflek
Reflek Morrow : Kaget bila dikejutkan (tangan menggenggam)
6. Gejala dan tanda
a. Aktifitas; pergerakan hyperaktif
b. Pernafasan ; gejala sesak nafas Tanda : Sianosis
c. Tanda-tanda vital; Gejala hypertermi dan hipotermi Tanda : ketidakefektifan termoregulasi
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 b.d ekspansi yang kurang adekuat.
2. Hipertermi b.d transisi lingkungan ekstra uterin neonatus.
3. Penurunan kardiak out put b.d
4. Gangguan perfusi jaringan b.d kebutuhan Oksigen yang tidak adekuat.
5. Intoleransi aktifitas b.d
6. Ansietas b.d kurang pengetahuan tentang kondisi yang dialami dan proses
pengobatan.
7. Resiko tinggi terjadi infeksi

C. Perencanaan Keperawatan
Dx. I : Gangguan pemenuhan kebutuhan O2 b.d ekspansi yang kurang adekuat.

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam kebutuhan O2 terpenuhi dengan kriteria
tidak ada pernafasan cuping hidung dan tidak sianosis.

Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Beri penjelasan pada keluarga tentang Agar keluarga tahu tentang
penyebab sesak yang dialami oleh penyebab sesak yang dialami oleh
pasien. bayinya.
2. Atur kepala bayi dengan posisi ekstensi. Melonggarkan jalan nafas.
3. Batasi intake per oral, bila perlu Mencegah aspirasi.
dipuasakan.
4. Longgarkan jalan nafas. Memudahkan untuk bernafas.
5. Observasi tanda-tanda kekurangan O2. Mengetahui tingkat kekurangan
O2.
6. Hangatkan bayi dalam incubator. Mencegah sianosis.
7. Kolaborasi dengan tim medis untuk Mendukung perawatan dan
pemberian O2. penatalaksanaan medis.

Dx. II : Hipertermi b.d transisi lingkungan ekstra uterin neonatus.

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam, suhu tubuh kembali normal dengan
kriteria suhu tubuh antara 36.5C 37.4C, kelembaban cukup

Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Beri penjelasan kepada keluarga Keluarga menjadi tahu tentang
tentang penyebab panas yang dialami penyebab panas yang dialami
oleh bayinya. bayinya.
2. Berikan pakaian tipis yang mudah Mencegah penguapan yang
menyerap keringat. berlebihan.
3. Berikan kompres hangat. Menurunkan suhu tubuh.
4. Observasi tanda-tanda vital terutama Menentukan tindakan keperawatan
suhu tubuh. selanjutnya.
5. Kolaborasi medis untuk pemberian Mendukung perawatan dan
infuse dan obat-obatan antipiretik. penatalaksanaan medis.

Dx. III : Penurunan kardiak out put

Tujuan :
Kardiak output normal.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Monitoring jantung paru.
2. Mengkaji tanda vital.
3. Memonitoring perfusi jaringan tiap 2-4
jam.
4. Monitor denyut nadi.
5. Memonitoring ontake dan out put.
6. Kolaborasi dalam pemberian
vasodilator.

Dx. IV : Gangguan perfusi jaringan

Tujuan :
Perfusi jaringan kembali normal.
Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Pemberian diuretic sesuai dengan
indikasi.
2. monitor laboraturium urine.
3. pemeriksaan darah.
4. Ajarkan pasien/ anggota keluarga
tentang prosedur perawatan luka.
5.

Dx. V : Intoleransi aktifitas


Tujuan :
Pasien menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas.

Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Menyediakan stimulasi lingkungan
yang minimal.
2. menyediakan monitoring jantung paru
3. mengurangi sentuhan
4. memberikan posisi yang nyaman
5. kolaborasi analgetiksesuai kondisi,

Dx. VI : Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kondisi yang dialami dan proses
pengobatan.

Tujuan :
Mendemonstrasikan hilangnya ansietas dan memberikan informasi tentang proses penyakit, program
pengobatan.

Intervensi:
No. Intervensi Rasional
1. Jelaskan tujuan pengobatan pada Mengorientasi program
keluarga. pengobatan.
2. Kaji ulang tanda / gejala yang Berulangnya memerlukan
memerlukan evaluasi medik cepat. intervensi medik untuk mencegah /
menurunkan potensial komplikasi.
3. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik, Mempertahanan kesehatan umum
istirahat. meningkatkan penyembuhan dan
dapat mencegah kekambuhan.
4. Dorong pasien / orang terdekat untuk
menyatakan masalah / perasaan.
5. Beri penguatan informasi pasien yang
telah diberikan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: FKUI.

Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi. 8. Jakarta: EGC.

Doengoes, Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. Jakarta: EGC.

Markum. AN. 1991. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jilid I. BCS. IKA Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.

Wong. Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediktif. EGC. Jakarta.


ASKEP PADA KASUS BAYI HIPERBILIRUBINEMIA
A. Batasan-Batasan

Ikterus Fisiologis

Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki
karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):

Timbul pada hari kedua-ketiga


Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan
10 mg % pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia

Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai
hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar
Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly
menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

Kern Ikterus

Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus
Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar
Ventrikulus IV.

B. Etiologi

1. Peningkatan produksi :

Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan
anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi
Hipoksia atau Asidosis .
Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya
pada berat lahir rendah.
Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.

2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia


atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat
langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

C . Metabolisme Bilirubin

Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak
menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi
tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin
(Albumin binding site).

Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim
Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
D. Patofisiologi Hiperbilirubinemia

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering
ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal
ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.

Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh.
Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan
konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran
empedu.

Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas
terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam
lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat
menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin
Indirek lebih dari 20 mg/dl.

Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada
keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

E. Penata Laksanaan Medis

Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk
mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :

1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin
dan Therapi Obat.

Fototherapi

Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan
Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent
light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi
menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal
ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua
isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui
mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang
bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi
terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat
mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang
sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5
mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam
pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Tranfusi Pengganti

Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :

1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.


2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.

Therapi Obat

Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi
Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari
sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih
menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).

Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan
siklus Enterohepatika.

Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:

Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.

Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb:

Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.


Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:

Kadar Bilirubin Serum berkala.


Darah tepi lengkap.
Golongan darah ibu dan bayi.
Test Coombs.
Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.

Ikterus yang timbul 24 72 jam sesudah lahir.

Biasanya Ikterus fisiologis.


Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga
kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
Polisetimia.
Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).

Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:

Pemeriksaan darah tepi.


Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
Pemeriksaan lain bila perlu.

Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.

Sepsis.
Dehidrasi dan Asidosis.
Defisiensi Enzim G6PD.
Pengaruh obat-obat.
Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.

Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:

Karena ikterus obstruktif.


Hipotiroidisme
Breast milk Jaundice.
Infeksi.
Hepatitis Neonatal.
Galaktosemia.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:

ASUHAN KEPERAWATAN

Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses keperawatan yang meliputi
Pengkajian, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.

Pengkajian

Riwayat orang tua :

Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma,
Obstruksi Pencernaan dan ASI.

Pemeriksaan Fisik :

Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah,
Iritabilitas.

Pengkajian Psikososial :

Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah
Bonding, perpisahan dengan anak.

Pengetahuan Keluarga meliputi :

Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang
memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith
Greenberg. 1988)

2. Diagnosa, Tujuan , dan Intervensi

Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan
kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang
diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang
diperoleh.

Diagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan sehubungan dengan tidak adekuatnya intake
cairan, fototherapi, dan diare.

Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat

Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara
menyusui atau memberi botol.

Diagnosa Keperawatan : Gangguan suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan efek fototerapi

Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan

Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5 37 C, cek tanda-tanda
vital tiap 2 jam.

1. Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit sehubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare

Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan

Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam,
masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.

Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting sehubungan dengan pemisahan

Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku Attachment , orang tua dapat
mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.

Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial
dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan
bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.

Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada
bayi.
Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk
menyampaikan pada tim kesehatan

Intervensi :

Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan
perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.

1. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan efek fototherapi

Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi

Intervensi :

Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang
kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya;
usahakan agar penutup mata tida menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata
untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak
bicara dan beri sentuhan setiap

1. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan tranfusi tukar

Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi

Intervensi :

Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30
menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh
bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau
tanda-tanda vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan
cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.

Aplikasi Discharge Planing.

Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti
rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya
dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan
perawatan lanjutan dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi
hiperbilirubinimea (warley &Wong, 1994):

1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran


seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan
kelancaran air susu.
3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin
bayi.
4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah
peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :

Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.


Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak.
Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena
gesekan
Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan
.
Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.
Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit, capilari reffil.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :

1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38 celsius)


2. Perawatan tali pusat / umbilikus
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang
baru
5. Temperatur / suhu
6. Pernapasan
7. Cara menyusui
8. Eliminasi
9. Perawatan sirkumsisi
10. Imunisasi
11. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
letargi ( bayi sulit dibangunkan )
demam ( suhu > 37 celsius)
muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
diare ( lebih dari 3 x)
tidak ada nafsu makan.

1. Keamanan

Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau
oleh bayi / balita.
Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara saudaranya.

KEJANG DEMAM SEDERHANA

A. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal
lebih dari 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Secara umum kejang demam diklasifikasikan menjadi:
1. Kejang demam sederhana (KDS)
Beberapa criteria modifikasi Livingstone adalah sbb:
a. Umur anak waktu kejang pertama 6 bulan-4 tahun
b. Kejang terjadi dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
c. Kejang bersifat umum
d. Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit
e. Frekuensi bangkitan kejang tidak lebih dari 4x/tahun.
f. Pemeriksaan EEG yang dibuat 10-14 hari sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan
g. Tidak ditemukan kelainan neurologik
2. Kejang demam kompleks, ditandai dengan:
a. Kejang disertai demam
b. Bersifat fokal dan umum
c. Kejang berlangsung lebih dari 15 menit
Kejang multiple (lebih dari 4x dalam 24 jam), anak dapat memiliki kelainan neurologist sebelumnya
atau riwayat kejang demam atau kejang tanpa demam.

B. Patofisiologi dan manifestasi klinik


Pada keadaan umum demam, kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi K+
dan Na+ melalui membrane, terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun membrane sel sekitarnya dengan bantuan bahan neuron
transmitter dan terjadilah kejang. Setiap anak memiliki ambang kejang yang berbeda.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan
gejala sisa, tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya terjadi disertai
apnea, meningkatnya kebutuhan O2 dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme anaerobic, hipertensi arteria disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin tinggi disebabkan meningkatnya aktivitas
otot dan selanjutnya menyebabkan peningkatan metabolisme otak. Kerusakan neuron otak terjadi
karena adanya gangguan peredaran darah menyebabkan hipoksia sehingga meningkatnya
permeabilitas kapiler dan timbulnya edema otak.
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik, atonik klonik bilateral,
fokal atau akinetik, dapat terjadi seperti mata terbalik ke atas seperti kekakuan atau kelemahan,
gerakan sentakan berulang tanpa disertai kekakuan atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak bereaksi ataupun sejenak dan
setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa deficit neurologis.

C. Etiologi dan factor resiko


Penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti, sering disebabkan ISPA, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan ISK. Kejang tidak selalu timbul pada suhu tinggi.
Factor resiko kejang demam antara lain:
1. Demam
2. Riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung
3. Perkembangan terhambat
4. Problema pada masa neonatus
5. Anak dalam perawatan khusus
6. Kadar Na rendah
Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih
dari kira-kira 9% anak mengalami 3x rekurensi atau lebih.
Resiko rekurensi meningkat dengan:
1. usia dini
2. Cepatnya nak mengalami kejang setelah demam timbul
3. Tempertaur yang rendah saat kejang
4. Riwayat keluarga kejang demam
5. Riwayat keluarga epilepsy
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan cairan cerebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan organis
didalam susunan saraf pusat (otak). Kelainan bisa karena infeksi, misalnya meningitis, encephalitis,
abses otak, dll
Fungsi lumbal teridentifikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis, terutama pada bayi kurang
dari 6 bilan, karena gejala meningitis tidak jelas.
EEG kurang memiliki nilai prognostic. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga
kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam terulang di kemudian hari.

E. Penatalaksanaan
Anak yang mengalami kejang demam pertama kali dan harus dirawat di RS, untuk dilakukan
fungsi lumbal dan pemeriksaan penunjang lain. Penderita baru harus dirawat inap bila:
1. Kejang pertama perlu dilakukan fungsi lumbal dan observasi sehari.
2. Kejang lebih dari 20 menit
3. Dalam sehari terjadi 2x/lebih serangan kejang tidak beruntun
4. Ada penurunan kesadaran dan kelainan neurologik yang meragukan.

Penatalaksanaan kejang meliputi 3 hal yaitu:


1. Pengobatan fase akut
Saat kejang:
a. Pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan
b. Membebaskan jalan napas dan memberikan oksigenasi yang cukup
c. Mengukur suhu tubuh yang tinggi dengan kompres dan antipiretik
d. Memonitor keadaan vital: kesadaran, tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung
e. Memberikan cairan yang cukup bila berlangsung cukup lama (>10 menit)
2. Mencari penyebab dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis
Terdapat 2 cara profilaksis yaitu profilaksis intermiten saat demam dan profilaksis terus
menerus dengan anti konvultan setiap hari.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat
menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah epilepsy. Diberikan antikonvultan rumatan:
fenitoin (Difenilhidantoin 5-8 mg/kgBB/hari) dalam 2 x pemberian atau dengan fenobarbitol: 5-8
mg/kgBB/hari dalam 2x pemberian. Profilaksis terus menerus dipertimbangkan bila ada criteria:
a. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau perkembangan (ex.
Serebral palsy, RM atau mikrosefal)
b. KD lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurology sementara atau menetap
c. Ada riwayat kejang tanpa demam pada keluarga
d. Bila kejang demam terjadi pada bayi < 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam 1 episode demam

F. Diagnosa Diagnosa Tujuan Intervensi


dan Rencana
Keperawatan

No
1 Hipertermia Suhu tubuh dalam batas Fever treatment:
b.d proses normal. Indikator: 1. Monitor warna dan suhu kulit M
infeksi. Suhu tubuh 36 OC - 37 OC 2. Anjurkan klien untuk minum yang banyak M
3. Monitor TTV M
4. Anjurkan untuk kompres dengan air hangat M
5. Ciptakan lingkungan yang aman dan hangat
6. Anjurkan klien menggunakan pakaian yang M
tipis dan menyerap keringat m
7. Kolaborasi antipyretik M

2. Resiko cedera Pengetahuan: Kontrol1. Hitung lamanya periode kejang U


b.d penurunan resiko. hi
kesadaran Indiaktor: kh
pada saat 2. Hindari penggunaan pengikatan. Diskusikan
kejang. dengan dokter bila diperlukan K
pe
ke
3. Pertimbangkan penggunaan pengaman tempat ko
tidur khusus di sekeliling klien
T
al
m
4. Minta keluarga untuk menemani klien ke
M
5. Jelaskan semua kemungkinan bahaya seperti ti
benda-benda keras dis ekeliling anak
M
6. Hindarkan menaruh apapun di mulut anak
seperti spatel lidah, makanan atau minuman M
saat kejang m

M
3 Cemas b.d Koping keluarga meningkat. Mengurangi cemas:
krisis Kriteria hasil: 1. Jelaskan semua prosedur, meliputi sensasi P
situasional 1. Verbalisasi pengontrolan yang mungkin dialami selama prosedur te
perasaan m
2. Verbalisasi penerimaan2. Sediakan informasi faktual tentang diagnosis, M
stuasi penanganan dan prognosis an
3. Melaporkan penurunan3. Dukung klien untuk menemani anak dengan
pikiran negatif cara yang tepat
4. Dengarkan dengan penuh perhatian
5. Bantu klien untuk mengidentifikasikan M
situasi yang menciptakan cemas M
6. Bantu klien untuk menjelaskan deskripsi
realistik tentang kejadian yang akan dialami
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,LJ, 1999, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan Masalah
Kolaboratif, EGC, Jakarta.
Markum, AH., 1991, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta

McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi, By Mosby-Year


book.Inc,Newyork

NANDA, 2005-2006, Nursing Diagnosis: Definitions and classification, Philadelphia, USA

University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications, Philadelphia, USA

Wong, 2003, Keperawatan Pediatrik, EGC, Jakarta


ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) SPINA BIFIDA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau tanpa tingkatan protusi
jaringan melalui celah tulang (Donna L. Wong, 2003). Penyakit spina bifida atau sering dikenal
sebagai sumbing tulang belakang adalah salah satu penyakit yang banyak terjadi pada bayi. Penyakit
ini menyerang medula spinalis dimana ada suatu celah pada tulang belakang (vertebra). Hal ini terjadi
karena satu atau beberapa bagian dari vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh dan
dapat menyebabkan cacat berat pada bayi, ditambah lagi penyebab utama dari penyakit ini masih
belum jelas. Hal ini jelas mengakibatkan gangguan pada sistem saraf karena medula spinalis termasuk
sistem saraf pusat yang tentunya memiliki peranan yang sangat penting dalam sistem saraf manusia.
Jika medula spinalis mengalami gangguan, sistem-sistem lain yang diatur oleh medula spinalis pasti
juga akan terpengaruh dan akan mengalami ganggusn pula. Hal ini akan semakin memperburuk kerja
organ dalam tubuh manusia, apalagi pada bayi yang sistem tubuhnya belum berfungsi secara
maksimal.
Fakta mengatakan dari 3 kasus yang sering terjadi pada bayi yang baru lahir di Indonesia yaitu
ensefalus, anensefali, dan spina bifida, sebanyak 65% bayi yang baru lahir terkena spina
bifida.Sementara itu fakta lain mengatakan 4,5% dari 10.000 bayi yang lahir di Belanda menderita
penyakit ini atau sekitar 100 bayi setiap tahunnya. Bayi-bayi tersebut butuh perawatan medis intensif
sepanjang hidup mereka. Biasanya mereka menderita lumpuh kaki, dan dimasa kanak-kanak harus
dioperasi berulang kali.
Dalam hal ini perawat dituntut untuk dapat profesional dalam menangani hal-hal yang terkait dengan
spina bifida misalnya saja dalam memberikan asuhan keperawatan harus tepat dan cermat agar dapat
meminimalkan komplikasi yang terjadi akibat spina bifida.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dari spina bifida?


1. Bagaimana etilogi dari spina bifida?
2. Apakah manifestasi klinis dari spina bifida?
3. Bagaimana patofisiologi pada spina bifida?
4. Bagaimana penatalaksaan serta pencegahan pada spina bifida?
5. Bagaimana pengkajian pada klien dengan spina bifida?
6. Bagaimana diagnosa pada klien dengan spina bifida?
7. Bagaimana intervensi pada klien dengan spina bifida?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit spina bifida serta pendekatan asuhan keperawatannya.
Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi definisi dari spina bifida.


1. Mengidentifikasi etilogi spina bifida.
2. Mengidentifikasi manifestasi klinis spina bifida.
3. Menguraikan patofisiologi spina bifida
4. Mengidentifikasi penatalaksaan serta pencegahan pada spina bifida
1. Mengidentifikasi pengkajian pada klien dengan spina bifida.
2. Mengidentifikasi diagnosa pada klien dengan spina bifida.
3. Mengidentifikasi intervensi pada klien dengan spina bifida.

1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit neurologis spina bifida serta mampu menerapkan
asuhan keperawatan pada klien dengan spina bifida dengan pendekatan Student Centre Learning.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Spina Bifida


Spina bifida merupakan suatu kelainan bawaan berupa defek pada arkus pascaerior tulang belakang
akibat kegagalan penutupan elemen saraf dari kanalis spinalis pada perkembangan awal embrio
(Chairuddin Rasjad, 1998). Keadaan ini biasanya terjadi pada minggu ke empat masa embrio. Derajat
dan lokalisasi defek bervariasi, pada keadaan yang ringan mungkin hanya ditemukan kegagalan fungsi
satu atau lebih dari satu arkus pascaerior vertebra pada daerah lumosakral. Belum ada penyebab yang
pasti tentang kasus spina bifida. Spina bifida juga bias disebabkan oleh gagal menutupnya columna
vertebralis pada masa perkembangan fetus. Defek ini berhubugan dengan herniasi jaringan dan
gangguan fusi tuba neural.Gangguan fusi tuba neural terjadi beberapa minggu (21 minggu sampai
dengan 28 minggu) setelah konsepsi, sedangkan penyebabnya belum diketahui dengan jelas.
Spina bifida adalah defek pada penutupan kolumna vertebralis dengan atau tanpa tingkatan protusi
jaringan melalui celah tulang (Donna L. Wong, 2003). Spina bifida (Sumbing Tulang Belakang)
adalah suatu celah pada tulang belakang (vertebra), yang terjadi karena bagian dari satu atau beberapa
vertebra gagal menutup atau gagal terbentuk secara utuh.
(http:// www.medicasatore.com). Spina bifida adalah kegagalan arkus vertebralis untuk berfusi di
posterior (Rosa.M.Sacharin,1996).
2.2 Klasifikasi
Kelainan pada spina bifida bervariasi, sehingga dikelompokkan menjadi beberapa jenis yaitu :

1. Spina Bifida Okulta

Merupakan spina bifida yang paling ringan. Satu atau beberapa vertebra tidak terbentuk secara
normal, tetapi korda spinalis dan selaputnya (meningens) tidak menonjol. Spina bifida okulta
merupakan cacat arkus vertebra dengan kegagalan fusi pascaerior lamina vertebralis dan seringkali
tanpa prosesus spinosus, anomali ini paling sering pada daerah antara L5-S1, tetapi dapat melibatkan
bagian kolumna vertebralis, dapat juga terjadi anomali korpus vertebra misalnya hemi vertebra. Kulit
dan jaringan subkutan diatasnya bisa normal atau dengan seberkas rambut abnormal, telangietaksia
atau lipoma subkutan. Spina bifida olkuta merupakan temuan terpisah dan tidak bermakna pada
sekitar 20% pemerikasaan radiografis tulang belakang. Sejumlah kecil penderita bayi mengalami
cacat perkembangan medula dan radiks spinalis fungsional yang bermakna. Secara patologis kelainan
hanya berupa defek yang kecil pada arkus pascaerior.
1. Meningokel

Meningokel melibatkan meningen, yaitu selaput yang bertanggung jawab untuk menutup dan
melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Jika Meningen mendorong melalui lubang di tulang
belakang (kecil, cincin-seperti tulang yang membentuk tulang belakang), kantung disebut
Meningokel. Meningokel memiliki gejala lebih ringan daripada myelomeningokel karena korda
spinalis tidak keluar dari tulang pelindung, Meningocele adalah meningens yang menonjol melalui
vertebra yang tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit dan ditandai
dengan menonjolnya meningen, sumsum tulang belakang dan cairan serebrospinal. Meningokel
seperti kantung di pinggang, tapi disini tidak terdaoat tonjolan saraf corda spinal. Seseorang dengan
meningocele biasanya mempunyai kemampuan fisik lebih baik dan dapat mengontrol saluran kencing
ataupun kolon.

1. Myelomeningokel

Myelomeningokel ialah jenis spina bifida yang kompleks dan paling berat, dimana korda spinalis
menonjol dan keluar dari tubuh, kulit diatasnya tampak kasar dan merah. Penaganan secepatnya
sangat di perlukan untuk mengurangi kerusakan syaraf dan infeksi pada tempat tonjolan tesebut. Jika
pada tonjolan terdapat syaraf yamg mempersyarafi otot atau extremitas, maka fungsinya dapat
terganggu, kolon dan ginjal bisa juga terpengaruh. Jenis myelomeningocale ialah jenis yang paling
sering dtemukan pada kasus spina bifida. Kebanyakan bayi yang lahir dengan jenis spina bifida juga
memiliki hidrosefalus, akumulasi cairan di dalam dan di sekitar otak.

2.3 Etiologi

1. Resiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan kekurangan asam
folat, terutama yang terjadi pada awal kehamilan.
2. Penonjolan dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan pada korda spinalis
dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau gangguan fungsi pada bagian tubuh yang
dipersarafi oleh saraf tersebut atau di bagian bawahnya.
3. Gejalanya tergantung kepada letak anatomis dari spina bifida. Kebanyakan terjadi di
punggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau sakral, karena penutupan vertebra di
bagian ini terjadi paling akhir.
4. Faktor genetik dan lingkungan (nutrisi atau terpapar bahan berbahaya) dapat menyebabkan
resiko melahirkan anak dengan spina bifida.
Pada 95 % kasus spina bifida tidak ditemukan riwayat keluarga dengan defek neural tube.
Resiko akan melahirkan anak dengan spina bifida 8 kali lebih besar bila sebelumnya pernah
melahirkan anak spina bifida.

Kelainan yang umumnya menyertai penderita spina bifida antara lain:

1.
1. Hidrosefalus
2. Siringomielia
3. Dislokasi pinggul.
2.4 Manifestasi Klinis
Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang
terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala; sedangkan yang lainnya mengalami
kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.
Gejalanya berupa:

1. Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir jika
disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya
1. Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki
2. Penurunan sensasi.
3. Inkontinensia urin (beser) maupun inkontinensia tinja
4. Korda spinalis yang terkena rentan terhadap infeksi (meningitis).
5. Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).
6. Lekukan pada daerah sakrum.
7. Abnormalitas pada lower spine selalu bersamaan dengan abnormalitas upper spine
(arnold chiari malformation) yang menyebabkan masalah koordinasi
8. Deformitas pada spine, hip, foot dan leg sering oleh karena imbalans kekuatan otot
dan fungsi
9. Masalah bladder dan bowel berupa ketidakmampuan untuk merelakskan secara
volunter otot (sphincter) sehingga menahan urine pada bladder dan feses pada rectum.
10. Hidrosefalus mengenai 90% penderita spina bifida. Inteligen dapat normal bila
hirosefalus di terapi dengan cepat.
11. Anak-anak dengan meningomyelocele banyak yang mengalami tethered spinal cord.
Spinal cord melekat pada jaringan sekitarnya dan tidak dapat bergerak naik atau turun
secara normal. Keadaan ini menyebabkan deformitas kaki, dislokasi hip atau
skoliosis. Masalah ini akan bertambah buruk seiring pertumbuhan anak dan tethered
cord akan terus teregang.
12. Obesitas oleh karena inaktivitas
13. Fraktur patologis pada 25% penderita spina bifida, disebabkan karena kelemahan atau
penyakit pada tulang.
14. Defisiensi growth hormon menyebabkan short statue
15. Learning disorder
16. Masalah psikologis, sosial dan seksual
17. Alergi karet alami (latex)

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan dapat dilakukan
pada ibu hamil dan bayi yang baru dilahirkan, pada ibu hamil, dapat dilakukan pemeriksaan :

1. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang disebut triple screen
yang terdiri dari pemeriksaan AFP, ultrasound dan cairan amnion.
2. Pada evaluasi anak dengan spina bifida, dilakukan analisis melalui riwayat medik, riwayat
medik keluarga dan riwayat kehamilan dan saat melahirkan. Tes ini merupakan tes
penyaringan untuk spina bifida, sindroma Down dan kelainan bawaan lainnya. Pemeriksaan
fisik dipusatkan pada defisit neurologi, deformitas muskuloskeletal dan evaluasi psikologis.
Pada anak yang lebih besar dilakukan asesmen tumbuh kembang, sosial dan gangguan
belajar.
3. Pemeriksaan x-ray digunakan untuk mendeteksi kelainan tulang belakang, skoliosis,
deformitas hip, fraktur pathologis dan abnormalitas tulang lainnya.
4. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda spinalis maupun
vertebra dan lokasi fraktur patologis.
5. CT scan kepala untuk mengevaluasi hidrosepalus dan MRI tulang belakang untuk
memberikan informasi pada kelainan spinal cord dan akar saraf.
6. 85% wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida atau defek neural tube, akan
memiliki kadar serum alfa fetoprotein (MSAP atau AFP) yang tinggi. Tes ini memiliki angka
positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya positif, perlu dilakukan pemeriksaan
lanjutan untuk memperkuat diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat menemukan
adanya spina bifida. Kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairan ketuban).

Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan berikut:

1. Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.


2. USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pda korda spinalis maupun vertebra
3. CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk menentukan lokasi dan luasnya
kelainan.

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penderita spina bifida memerlukan koordinasi tim yang terdiri dari spesialis
anak, saraf, bedah saraf, rehabilitasi medik, ortopedi, endokrin, urologi dan tim terapi fisik, ortotik,
okupasi, psikologis perawat, ahli gizi sosial worker dan lain-lain.

1. Urologi

Dalam bidang urologi, terapi pada disfungsi bladder dimulai saat periode neonatal sampai sepanjang
hidup. Tujuan utamanya adalah :

1. Mengontrol inkotinensia
2. Mencegah dan mengontrol infeksi
3. Mempertahankan fungsi ginjal

Intermiten kateterisasi dapat dimulai pada residual urin > 20 cc dan kebanyakan anak umur 5 - 6 tahun
dapat melakukan clean intermittent catheterization (CIC) dengan mandiri. Bila terapi konservatif
gagal mengontrol inkontinensia, prosedur bedah dapat dipertimbangkan. Untuk mencegah refluk
dapat dilakukan ureteral reimplantasi, bladder augmentation, atau suprapubic vesicostomy.

1. Orthopedi
Tujuan terapi ortopedi adalah memelihara stabilitas spine dengan koreksi yang terbaik dan mencapai
anatomi alignment yang baik pada sendi ekstremitas bawah. Dislokasi hip dan pelvic obliquity sering
bersama-sama dengan skoliosis paralitik. Terapi skoliosis dapat dengan pemberian ortesa body jacket
atau Milwaukee brace. Fusi spinal dan fiksasi internal juga dapat dilakukan untuk memperbaiki
deformitas tulang belakang. Imbalans gaya mekanik antara hip fleksi dan adduksi dengan kelemahan
abduktor dan fungsi ekstensor menghasilkan fetal coxa valga dan acetabulum yang displastik, dangkal
dan parsial. Hip abduction splint atau Pavlik harness digunakan 2 tahun pertama untuk counter gaya
mekaniknya.
Pemanjangan tendon Achilles untuk deformitas equinus, flexor tenodesis atau transfer dan plantar
fasciotomi untuk deformitas claw toe dan pes cavus yang berat. Subtalar fusion, epiphysiodesis, triple
arthrodesis atau talectomi dilakukan bila operasi pada jaringan lunak tidak memberikan hasil yang
memuaskan.

1. Rehabilitasi Medik
2. Sistem Muskuloskeletal

Latihan luas gerak sendi pasif pada semua sendi sejak bayi baru lahir dilakukan seterusnya untuk
mencegah deformitas muskuloskeletal. Latihan penguatan dilakukan pada otot yang lemah, otot
partial inervation atau setelah prosedur tendon transfer.

1. Perkembangan Motorik

Stimulasi motorik sedini mungkin dilakukan dengan memperhatikan tingkat dari defisit neurologis.

1. Ambulasi

Alat bantu untuk berdiri dapat dimulai diberikan pada umur 12 18 bulan. Spinal brace diberikan
pada kasus-kasus dengan skoliosis. Reciprocal gait orthosis (RGO) atau Isocentric Reciprocal gait
orthosis (IRGO) sangat efektif digunakan bila hip dapat fleksi dengan aktif. HKAFO digunakan untuk
mengkompensasi instabilitas hip disertai gangguan aligment lutut. KAFO untuk mengoreksi fleksi
lutut agar mampu ke posisi berdiri tegak. Penggunaan kursi roda dapat dimulai saat tahun kedua
terutama pada anak yang tidak dapat diharapkan melakukan ambulasi.

1. Bowel training

Diet tinggi serat dan cairan yang cukup membantu feses lebih lunak dan berbentuk sehingga mudah
dikeluarkan. Pengeluaran feses dilakukan 30 menit setelah makan dengan menggunakan reflek
gastrokolik. Crede manuver dilakukan saat anak duduk di toilet untuk menambah kekuatan
mengeluarkan dan mengosongkan feses Stimulasi digital atau supositoria rektal digunakan untuk
merangsang kontraksi rektal sigmoid. Fekal softener digunakan bila stimulasi digital tidak berhasil.

1. Pembedahan

Pembedahan dilakukan secepatnya pada spina bifida yang tidak tertutup kulit, sebaiknya dalam
minggu pertama setelah lahir. Kadang-kadang sebagai akibat eksisi meningokel terjadi hidrosefalus
sementara atau menetap, karena permukaan absorpsi CSS yang berkurang. Kegagalan tabung neural
untuk menutup pada hari ke-28 gestasi, atau kerusakan pada strukturnya setelah penutupan dapat
dideteksi in utero dengan pemeriksaan ultrasonogrfi. Pada 90% kasus, kadar alfa-fetoprotein dalam
serum ibu dan cairan amnion ditemukan meningkat; penemuan ini sering digunakan sebagai prosedur
skrining. Keterlibatan baik kranial maupun spinal dapat terjadi; terminology spina bifida digunakan
pada keterlibatan spinal, apabila malformasi SSP disertai rachischisis maka terjadi kegagalan lamina
vertebrata.
Posisi tengkurap mempengaruhi aspek lain dari perawatan bayi. Misalnya, posisi bayi ini, bayi lebih
sulit dibersihkan, area-area ancaman merupakan ancaman yang pasti, dan pemberian makanan
menjadi masalah.
Bayi biasanya diletakkan di dalam incubator atau pemanas sehingga temperaturnya dapat
dipertahankan tanpa pakaian atau penutup yang dapat mengiritasi lesi yang rapuh. Apabila digunakan
penghangat overhead, balutan di atas defek perlu sering dilembabkan karena efek pengering dari
panas yang dipancarkan. Sebelum pembedahan, kantung dipertahankan tetap lembap dengan
meletakkan balutan steril, lembab, dan tidak lengket di atas defek tersebut. Larutan pelembab yang
dilakukan adalah salin normal steril. Balutan diganti dengan sering (setiap 2 sampai 4 jam). Dan sakus
tersebut diamati dengan cermat terhadap kebocoran, abrasi, iritasi, atau tanda-tanda infeksi. Sakus
tersebut harus dibersihkan dengan sangat hati-hati jika kotor atau terkontaminasi. Kadang-kadang
sakus pecah selama pemindahan dan lubang pada sakus meningkatkan resiko infeksi pada system
saram pusat.
Latihan rentang gerak ringan kadang-kadang dilakukan untuk mencegah kontraktur, dan meregangkan
kontraktur dilakukan, bila diindikasikan. Akan tetapi latihan ini dibatasi hanya pada kaki, pergelangan
kaki dan sendi lutut. Bila sendi panggul tidak stabil, peregangan terhadap fleksor pinggul yang kaku
atau otot-otot adductor, mempererat kecenderungan subluksasi.
Penurunan harga diri menjadi ciri khas pada anak dan remaja yang menderita keadaan ini. Remaja
merasa khawatir akan kemampuan seksualnya, penguasaan social, hubungan kelompok remaja
sebaya, dan kematangan serta daya tariknya. Beratnya ketidakmampuan tersebut lebih berhubungan
dengan persepsi diri terhadap kemampuannya dari pada ketidakmampuan yang sebenarnya ada pada
remaja itu.

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang lain dari spina bifida yang berkaitan dengan kelahiran antara lain adalah:
1. Paralisis cerebri
2. Retardasi mental
3. Atrofi optic
4. Epilepsi
5. Osteo porosis
6. Fraktur (akibat penurunan massa otot)
7. Ulserasi, cidera, dikubitus yang tidak sakit.
Infeksi urinarius sangat lazim pada pasien inkontinen. Meningitis dengan organisme campuran lazim
ditemukan bila kulit terinfeksi atau terdapat sinus. Pada beberapa kasus, filum terminale medulla
spinalis tertambat atau terbelah oleh spur tulang (diastematomielia), yang dapat menimbulkan
kelemahan tungkai progresif pada pertumbuhan. Sendi charcot dapat terjadi dengan disorganisasi
pergelangan kaki, lutut atau coxae yang tak nyeri. Hidrosefalus karena malformasi Arnold-chiari
sering ditemukan.
2.8 Prognosis
Prognosis spina bifida tergantung pada berat ringannya abnormalitas. Prognosis terburuk bila
terdapat paralisis komplet, hidrosefalus dan defek kongenital lainnya. Dengan penanganan yang baik,
sebagian besar anak-anak dengan spina bifida dapat hidup sampai usia dewasa.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
3.1.1 Anammesa

1. Identitas pasien

Nama, jenis kelamin, umur, alamat, nama ayah, nama ibu, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu.

1. Keluhan utama

Terjadi abnormalitas keadaan medula spinalis pada bayi yang baru dilahirkan.

1. Riwayat penyakit sekarang


2. Riwayat penyakit terdahulu
3. Riwayat keluarga

Saat hamil ibu jarang atau tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung asam folat misalnya
sayuran, buah-buahan (jeruk,alpukat), susu, daging, dan hati.
Ada anggota keluarga yang terkena spina bifida.
3.2.2 Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing) : normal
B2 (Blood) : takikardi/bradikardi, letargi, fatigue
B3 (Brain) :

1. Peningkatan lingkar kepala


2. Adanya myelomeningocele sejak lahir
3. Pusing

B4 (Bladder) : Inkontinensia urin


B5 (Bowel) : Inkontinensia feses
B6 (Bone) : Kontraktur/ dislokasi sendi, hipoplasi ekstremitas bagian bawah
3.3 Diagnosa

1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka operasi
2. Berduka berhubungan dengan kelahiran anak dengan spinal malformation
3. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kebutuhan positioning,
defisit stimulasi dan perpisahan
4. Risiko tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal
5. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)
6. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan dengan paralisis,
penetesan urin yang kontinu dan feses.

3.3 Intervensi

1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan spinal malformation dan luka operasi

Tujuan :

1. Anak bebas dari infeksi


2. Anak menunjukan respon neurologik yang normal

Kriteria hasil :
Suhu dan TTV normal, Luka operasi, insisi bersih.
Intervensi Rasional
1. Monitor tanda-tanda vital. Observasi tanda Untuk melihat tanda-tanda terjadinya resiko
infeksi : perubahan suhu, warna kulit, malas infeksi 1. B
minum , irritability, perubahan warna pada erduka
myelomeingocele. b.d
2. Ukur lingkar kepala setiap 1 minggu sekali, kelahira
observasi fontanel dari cembung dan palpasi Untuk melihat dan mencegah terjadinya TIK n anak
sutura kranial dan hidrosepalus dengan
3. Ubah posisi kepala setiap 3 jam untuk spinal
mencegah dekubitus Untuk mencegah terjadinya luka infeksi pada malfor
4. Observasi tanda-tanda infeksi dan obstruksi kepala (dekubitus) mation
jika terpasang shunt, lakukan perawatan luka
pada shunt dan upayakan agar shunt tidak Menghindari terjadinya luka infeksi dan Tujuan
:
tertekan trauma terhadap pemasangan shunt
Orangt
ua dapat menerima anaknya sebagai bagian dari keluarga
Kriteria hasil :

1. Orangtua mendemonstrasikan menerima anaknya dengan menggendong, memberi minum,


dan ada kontak mata dengan anaknya
2. Orangtua membuat keputusan tentang pengobatan
3. Orangtua dapat beradaptasi dengan perawatan dan pengobatan anaknya

Intervensi Rasional
Dorong orangtua mengekspresikan Untuk meminimalkan rasa bersalah dan
perasaannya dan perhatiannya terhadap saling menyalahkan
bayinya, diskusikan perasaan yang
berhubungan dengan pengobatan Memberikan stimulasi terhadap orangtua
anaknya untuk mendapatkan keadaan bayinya yang
Bantu orangtua mengidentifikasi aspek lebih baik
normal dari bayinya terhadap pengobatan Memberikan arahan/suport terhadap
Berikan support orangtua untuk membuat orangtua untuk lebih mengetahui keadaan
keputusan tentang pengobatan pada selanjutnya yang lebih baik terhadap bayi
anaknya

1. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kebutuhan positioning,


defisit stimulasi dan perpisahan

Tujuan :
Anak mendapat stimulasi perkembangan
Kriteria hasil :

1. Bayi / anak berespon terhadap stimulasi yang diberikan


2. Bayi / anak tidak menangis berlebihan
3. Orangtua dapat melakukan stimulasi perkembangan yang tepat untuk bayi / anaknya

Intervensi Rasional
Ajarkan orangtua cara merawat bayinya Agar orangtua dapat mandiri dan menerima
dengan memberikan terapi pemijatan bayi segala sesuatu yang sudah terjadi 1. Ris
Posisikan bayi prone atau miring Untuk mencegah terjadinya luka infeksi dan iko tinggi
kesalahasatu sisi tekanan terhadap luka trauma
Lakukan stimulasi taktil/pemijatan saat Untuk mencegah terjadinya luka memar dan berhubung
melakukan perawatan kulit infeksi yang melebar disekitar luka an dengan
lesi spinal

Tujuan :
Pasien tidak mengalami trauma pada sisi bedah/lesi spinal
Kriteria Hasil:

1. Kantung meningeal tetap utuh


2. Sisi pembedahan sembuh tanpa trauma

Intervensi Rasional
Rawat bayi dengan cermat Untuk mencegah kerusakan pada kantung
Tempatkan bayi pada posisi telungkup meningeal atau sisi pembedahan Untuk
atau miring meminimalkan tegangan pada kantong
Gunakan alat pelindung di sekitar meningeal atau sisi pembedahan
kantung ( mis : slimut plastik bedah)
Modifikasi aktifitas keperawatan rutin Untuk memberi lapisan pelindung agar tidak
(mis : memberi makan, member terjadi iritasi serta infeksi
kenyamanan)
Mencegah terjadinya trauma

1. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan peningkatan intra kranial (TIK)


Tujuan : pasien tidak mengalami peningkatan tekanan intrakranial
Kriteria Hasil : anak tidak menunjukan bukti-bukti peningkatan TIK
Intervensi Rasional
Observasi dengan cermat adanya tanda- Untuk mencegah keterlambatan tindakan
tanda peningkatan TIK Sebagai pedoman untuk pengkajian
Lakukan pengkajian Neurologis dasar pascaoperasi dan evaluasi fungsi firau
pada praoperasi Karena tingat kesadaran adalah pirau penting
Hindari sedasi dari peningkatan TIK
Ajari keluarga tentang tanda-tanda Praktisi kesehatan untuk mencegah
peningkatan TIK dan kapan harus keterlambatan tindakan
memberitahu

1. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit dan eleminasi urin berhubungan dengan paralisis,
penetesan urin yang kontinu dan feses

Tujuan :
pasien tidak mengalami iritasi kulit dan gangguan eleminasi urin
Kriteria hasil :
kulit tetap bersih dan kering tanpa bukti-bukti iritasi dan gangguan eleminasi.
Intervensi Rasional
Jaga agar area perineal tetap bersih dan Untuk mengrangi tekanan pada lutut dan
kering dan tempatkan anak pada pergelangan kaki selama posisi telengkup
permukaan pengurang tekanan. Untuk meningkatkan sirkulasi.
Masase kulit dengan perlahan selama
pembersihan dan pemberian lotion. Untuk memberikan kelancaran eleminasi
Berikan terapi stimulant pada bayi

DOWNLOAD : WOC ASKEP SPINA BIFIDA


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atresia esophagus merupakan suatu kelainan congenital dimana esophagus tidak terbentuk
secara sempurna. Pada kebanyakan kasus, kelainan ini disertai dengan terbentuknya hubungan antara
esophagus dengan trakea yang disebut fistula trakeaoesophageal (Tracheoesophageal Fistula/ TEP).
Prematuritas merupakan hal umum dan lebih dari 50% penderita disertai dengan beragai kelainan lain
seperti penyakit jantung congenital, kelainan traktus urinarius dan kelainan traktus gastrointestinal
atresi esophagus ataupun fistula trakeoesofageal ditangani dengan tindakan bedah. Diagnosis ini harus
diperhatikan pada setiap neonates yang mengeluakan banyak mucus dan saliva, dengan atau tanpa
tanda-tanda gangguan pernapasan.
Atresia esophagus (AE) merupakan kelainan congenital yang ditandai dengan tindak
menyambungnya esophagus bagian proksimal dengan esophagus bagian distal. AE dapat terjadi
bersama fistula trakeoesofagus (FTE), yaitu kelainan congenital dimana terjadi persambungan
abnormal antara esophagus dengan trakea.
Atresia Esophagus (AE) merupakan kelaianan kongenital yang cukup sering dengan insidensi
rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup.1 Insidensi AE di Amerika Serikat 1 kasus
setiap 3000 kelahiran hidup. Di dunia, insidensi bervariasi dari 0,4 3,6 per 10.000 kelahiran hidup.2
Insidensi tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam 2500 kelahiran hidup.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang penyakit Atresia Esophagus pada anak
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus adalah:
a. Mengetahui definisi Atresia Esophagus
b. Mengetahui Etiologi Atresia Esophagus
c. Mengetahui Manifestasi klinis Atresia Esophagus
d. Mengetahui Patofisiologi Atresia Esophagus
e. Mengetahui Komplikasi Atresia Esophagus
f. Mengetahui Klasifikasi Atresia Esophagus
g. Mengetahui Diagnosis Atresia Esophagus
h. Mengetahui Penatalaksanaan Atresia Esophagus
i. Mengetahui Asuhan Keperawatan Atresia Esophagus pada anak

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR
1. Definisi
Atresia berarti buntu, atresia esophagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau
muara (buntu), pada esophagus (+). Pada sebagian besar kasus atresia esophagus ujung esophagus
buntu, sedangkan pada 1/4 1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah berhubungan dengan trakea
setinggi karina (disebut sebagai atresia esophagus dengan fistula).
Atresia esophagus adalah sekelompok kelainan congenital yang mencangkup gangguan
kontinuitas esophagus disertai atau tanpa adanya hubungan trakea.
Atresia esoofagus adalah esophagus (kerongkongan) yang tidak terbentuk secara sempurna. Pada
atresia esophagus, kerongkongan menyempit atau buntu ; tidak tersambung dengan lambung.
Kebanyakan Bayi yang menderita atresia esophagus juga memiliki fistula trakeoesofageal (suatu
hubungan abnormal antara kerongkongan dan trakea/pipa udara).

2. Etiologi
Etiologi atresia esophagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan jelas.
Atresia esophagus merupakan suatu kelainan bawaan pada saluran pencernaan. Terdapat beberapa
jenis atresia, tetapi yang sering ditemukan adalah kerongkongan yang buntu dan tidak tersambung
dengan kerongkongan bagian bawah serta lambung. Atresia esophagus dan fistula ditemukan pada 2-3
dari 10.000 bayi.
Hingga saat ini, teratogen penyebab kelainan ini masih belum diketahui. Terdapat laporan yang
menghubungkan atresia esophagus dalam keluarga.juga dihubunterdapat 2% resiko apabila saudara
telah terkena kelainan ini. Kelainan ini juga dihubungkan dengan trisomi 21, 13, 18. Angka kejadian
pada anak kembar dinyatakan 6x lebih banyak dibanding bukan kembar.

3. Manifestasi Klinis
Biasanya timbul setelah bayi berumur 2-3 minggu, yaitu berupa muntah yang proyektil beberapa
saat setelah minum susu ( yang dimuntahkan hanya susu ), bayi tampak selalu haus dan berat badan
sukar naik.
a. Biasanya disertai dengan hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan kenaikan frekuensi
bayi lahir premature, sebaiknya dari anamnesis didapatkan keterangan bahwa kehamilan ibu disertai
hidrmnion hendaknya dilakukan kateterisasi esophagus . bila kateter berhenti pada jarak < 10 cm,
maka diduga artesia esophagus.
b. Bila pada BBL timbul sesak yang disertai dengan air liur yang meleleh keluar, dicurigai terdapat
atresia esophagus.
c. Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena aspirasi cairan
kedalam jalan napas.
d. Pada fistula trakeaesofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru, oleh karena itu bayi
sering sianosis.
Gejalanya bisa berupa :
a. Mengeluarkan luda yang sangat banyak
b. Terbatuk atau tersedak setelah berusaha untuk menelan
c. Tidak mau menyusu
d. Sianosis (kulitnya kebiruan)
Adanya fistula menyebabkan ludah bisa masuk kedalam paru-paru sehingga terjadi resiko
terjadinya pneumonia aspirasi.(4)(5)
4. Patofisiologi
Motilitas dari esophagus selalu dipengaruhi pada atresia esophagus. Gangguan peristaltic
esophagus biasanya paling sering dialami pada bagian esophagus distal. Janin dengan atresia tidak
dapat dengan efektif menelan cairan amnion. Sedangkan pada atresia esophagus dengan fistula
trkeoesofageal distal, cairan amnion masuk melaalui trakea kedalam usus. Polihydramnion bisa terjadi
akibat perubahan dari sirkulasi amnion pada janin.
Neonates dengan atresia tidak dapat menelan dan akan mengeluarkan banyak sekali air liur atau
saliva. Aspirasi dari saliva atau air susu dapat menyebabkan aspirasi pneumonia. Pada atresia dengan
distal TEF, sekresi dengan gaster dapat masuk keparu-paru dan sebaliknya, udara juga dapat bebas
masuk dalam saluran pencernaan saat bayi menangis ataupun mendapat ventilasi bantuan. Keadaan-
keadaan ini bisa menyebabkan perforasi akut gaster yang fatal. Diketahui bahwa bagian esophagus
distal tidak menghasilkan peristaltic dan ini bisa menyebabkan disfagia setelah perbaikan esophagus
dan dapat menimbulkan reflux gastroesofageal.
Trakea juga dipengaruhi akibat gangguan terbentuknya atresia esophagus. Trakea abnormal,
terdiri dari berkurangnya tulang rawan trakea dan bertambahnya ukuran otot tranversal pada posterior
trakea. Dinding trakea lemah sehingga mengganggu kemampuan bayi untuk batuk yang akan
mengarah pada munculnya pneumonia yang bisa berulang-ulang. Trakea juga dapat kolaps bila
diberikan makanana atupun air susu dan ini akan menyebabkan pernapasan yang tidak efektif,
hipoksia atau bahkan bisa menjadi apneo.
5. Klasifikasi
a. Kalasia
Chalasia ialah keadaan bagian bawah esophagus yang tidak dapat menutup secara baik,
sehingga menyebabkan regurgitasi, terutama kalau bayi dibaringkan. Pertolongan : member makanan
dalam posisi tegak, yaitu duduk dalam kursi khusus. Kalasia adalah kelainan yang terjadi pada bagian
bawah esophagus (pada persambungan dengan lambung yang tidak dapat menutup rapat sehingga
bayi sering regurgitasi bila dibaringkan.
b. Akalasia
Ialah kebalikan chalasia yaitu bagian akhir esophagus tidak membuka secara baik, sehingga
keadaan seperti stenosis atau atresia. Disebut pula spasmus cardio-oesophagus. Sebabnya : karena
terdapat cartilage trachea yang tumbuh ektopik dalam esophagus bagian bawah, berbentuk tulang
rawan yang ditemukan secara mikroskopik dalam lapisan otot.
c. Classification System Gross
Atresia esophagus disertai dengan fistula trakeoesofageal distal adalah tipe yang paling sering
terjadi. Varisi anatomi dari atresia esophagus menggunakan system klasiifikasi gross of bostom yang
sudah popular digunakan.
System ini berisi antara lain:
1) Tipe A : Atresia esophagus tanpa fistula ; atresia esophagus murni (10%)
2) Tipe B : Atresia esophagus dengan TEF proximal (<1%)
3) Tipe C : Atresia esophagus dengan TEF distal (85%)
4) Tipe D : Atresia esophagus dengan TEF proximal dan distal (<1%)
5) Tipe E : TEF tanpa atresia esophagus ; fistula tipe H (4%)
6) Tipe F : Stenosis esophagus congenital tanpa atresia (<1%)

6. Komplikasi
a. Komplikasi dini, mencakup
1) Kebocoran anastomosis
Terjadi 15-20% dari kasus. Penanganan dengan cara dilakukan thoracostomy sambil suction terus
menerus dan menunggu penyembuhan dan penutupan anastomisis secara spontan, atau dengan
melakukan tindakan bedah darurat untuk menutup kebocoran.
2) Striktur anastomisis
Terjadi pada 30-40% kasus. Penanganannya ialah dengan melebarkan striktur yang ada secara
endoskopi.
3) Fistula rekuren
Terjadi pada 5-14% kasus.

b. Komplikasi lanjut, mencakup :


1) Reflux gastroesofageal
Terjadi 40% kasus. Penanganannya mencakup medikamentosa dan fundoplication, yaitu tindakan
bedah dimana bagian atas lambung dibungkus ke sekitar bagian bawah esophagus.
2) Trakeomalasia
Terjadi pada 10% kasus. Penanganannya ialah dengan melakukan manipulasi terhadap aorta
untuk memberika ruangan bagi trakea agar dapat mengembang.

3) Dismotility Esofagus
Terjadi akibat kontraksi esophagus yang terganggu. Pasien disarankan untuk makan diselingin
dengan minum.

7. Diagnosis
a. Anamnesis :
1) Biasanya disertai dengan hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan kenaikan frkuensii
bayi bayi yang lahir premature. Sebaiknya bila dari anamnesis didapatkan keterangan bahwa
kehamilan ibu disertai hidramnion, hendaknya dilakukan katerisasi esophagus dengan kateter no 6-10
F. Bila kateter terhenti pada jarak kurang dari 10 cm, maka harus diduga terdapat atresia esophagus.
2) Bila pada bayi baru lahir timbul sesak napas yang disertai dengan air liur yang meleleh ke luar,
harus dicurigai terdapat atresia esophagus.
3) Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena aspirasi cairan
kedalam jalan napas.
4) Perlu dibedakan pada pemeriksaan fisis apakah lambung terisi atau kosong untuk menunjang atau
menyingkirkan terdapatnya fistula trakeo-esofagus.hal ini dapat dilihat pada foto abdomen.
b. Pemeriksaan fisis :
Ditemukan gerakan peristaltic lambung dalam usaha melewatkan makanan melalui daerah yang
sempit di pylorus. Teraba tumor pada saat gerakan peristaltic tersebut. Pemeriksaan ini sebaiknya
dilakukan sesaat setelah anak diberi minum.
c. Pemeriksaan penunjang : Dengan memberikan barium peroral didapatkan gambaran radiologis yang
patognomonik barupa penyempitan pylorus yang relative lebih panjang.
d. Gambaran Radiologik : Pada barium per os, yang patognomonik pada kelainan ini ialah
penyampitan pylorus yang relative lebih panjang.
e. Diagnosis lainnya :
1) Antenatal
Atresia esophagus dapat dicurigai pada USG bila didapati polihidramion pada Ibu, abdomen yang
kecil pada janin, dan pemesaran ujung esophagus bagian atas. Dugaan juga semakin jelas bila didapati
kelainan-kelainan lain yang bekaitan dengan atresia esophagus.
2) Diagnosis klnis
Bayi dengan sekresi air liur dan ingus yang sering dan banyak harus diasumsikan menderita
atresia esophagus sampai terbkti tidak ada. Diagnosis dibuat dengan memasukkan kateter/NGT ke
dalam mulut, berakir pada sekitar 10 cm dari pangkal gusi. Kegagalan untuk memasukan kateter ke
lambung menandakan adanya atresia esophagus. Ukuran kateter yang lebih kecil bisa melilit di
kantong proximal sehingga bisa membuat kesalahan diagnosis adanya kontinuitas esophagus.
Radiografi dapat membuktikan kepastian bahwa selang tidak tidak mencapai lambung. Selang tidak
boleh dimasukkan dari hidung karena dapat merusak saluran napas atas. Dalam kedokteran modern,
diagnosis dengan menunggu bayi tersedak atau batuk pada pemberian makan pertama sekali, tidak
disetujui lagi.
3) Diagnosis Anatomis
Tindakan penanganan tergantung dari variasi anatomi. Penting untuk mengetaui apakah ada
fistula pada satu atau kedua segmen esophagus. Juga penting untuk mengetahui jarak antara kedua
ujung esophagus.
Bila tidak ada fistula distal, pada foto thorax dengan selang yang dimasukkan melalui mulut akan
menunjukan segmen atas esophagus berakhir diatas medistinum. Dari posisi lateral dapat dilihat
adanya fistula dan udara di esophagus distal. Dari percabangan trakea bisa dilihat letak dari fistula.
Tidak adanya udara atau gas pada abdomen menunjukkan adanya suatu atresia tanpa disertai
fistula atau atresia dengan fistula trrakeosofageal proximal saja. Jika didapati ujung kantong
esophagus proximal, bisa diasumsikan bahwa ini adalah atresia esophagus tanpa fistula. Adanya udara
atau gas pada lambung dan usus menunjukan adanya fistula trakeoesofageal distal.
Pada bayi dengan H-Fistula (Gross Tipe E) agak berbeda karena esophagus utuh. Anak dapat
menelan, tetapi dapat tersedak dan batuk saat makan. Bila udara keluar daro fistula dan masuk
kesaluran pencernaan akan menimbulkan distensi abdomen, selain itu, aspirasi makanan yang
berulang akan menyebabkan infekasi saluran pernapasan . diagnosis dapat diketahui dengan
endoskopi atau penggunaan kontras.
4) Pemeriksaan Laboratorium
a) Darah Rutin
Terutama untuk mengetahui apabila terjadi suatu infeksi pada saluran pernapasan akibat aspirasi
makanan ataupun cairan.
b) Elektrolit
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaaan lain yang menyertai.
c) Analisa Gas Darah Arteri
Untuk mengetahui apabila ada gangguan respiratorik terutama pada bayi.
d) BUM dan Serum Creatinin
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain yang menyertai.
e) Kadar Gula Darah
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain yang menyertai.
5) Diagnosis Banding
a) Pilorospasme, yang gejalanya akan hilang setelah anak diberi spasmolitikum
b) Prolaps mukosa lambung.
Tindakan : anak disiapkan untuk operasi pyloromyotomi cara fredet-ramstedt. Operasi ini mudah dan
memberikan penyembuhan yang memuaskan.

8. Penatalaksanaan
a. Tindakan Sebelum Operasi
Atresia esophagus ditangani dengan tindakan bedah. Persiapan operasi untuk bayi baru lahir
mulai umur 1 hari antara lain :
1) Cairan intravena mengandung glukasa untuk kebutuhan nutrisi bayi.
2) Pemberian antibiotic broad-spectrum secara intra vena.
3) Suhu bayi dijaga agar selalu hangat dengan menggunakan incubator, spine dengan posisi fowler,
kepala diangkat sekitar 45o.
4) NGT dimasukkan secara oral dann dilakukan suction rutin.
5) Monitor vital signs.
Pada bayi premature dengan kesulitan benapas, diperlukan pehatin khusus. Jelas diperlukan
pemasangan endotracheal tube dan ventilator mekanik. Sebagai tambahan, ada resiko terjadinya
distensi berlebihan ataupun rupture lambung apabila udara respirasi masuk kedalam lambung melalui
fistula karena adanya resistensi pulmonal. Keadaan ini dapat diminimalisasi dengan memasukkan
ujung endotracheal tube sampai kepintu masuk fistula dan dengan memberikan ventilasi dengan
tekanan rendah.
Echochardiography atau pemerikksaan EKG pada bayi dengan atresia esophagus penting untuk
dilakukan agar segera dapat mengetahui apabila terdapat adanya kelainan kardiovaskular yang
memerlukan penanganan segera.
b. Tidakan Selama Operasi
Pada umumnya operrasi perbaikan atresia esophagus tidak dianggap sebagai hal yang darurat.
Tetapi satu pengecualian ialah bila bayi premature dengan gangguan respiratorik yang memerlukan
dukungan ventilatorik. Udara pernapasan yang keluar melalui distal fistula akan menimbulkan
distensi lambung yang akan mengganggu fungsi pernapasan. Distensi lambung yang terus-menerus
kemudian bisa menyebabkan rupture dari lambung sehingga mengakibatkan tension
pneumoperitoneum yang akan lebih lagi memperberat fungsi pernapasan.
Pada keadaan diatas, maka tindakan pilihan yang dianjurkan ialah dengan melakukan ligasi
terhadap fistula trakeaesofageal dan menunda tindakan thoratocomi sampai masalah ganggua
respiratorik pada bayi benr-benar teratasi. Targetnya ialah operasi dilakukan 8-10 hari kemuudian
untuk memisahkan fistula dari memperbaiki esophagus.
Pada prnsipnya tindakan operasi dilakukan untuk memperbaiki abnormalitas anatomi.
Tindakan operasi dari atresia esophagus mencakup.
a) Operasi dilaksanakan dalam general endotracheal anesthesia dengan akses vaskuler yang baik dan
menggunakan ventilator dengan tekanan yang cukup sehingga tidak menybabkan distensi lambung.
b) Bronkoskopi pra-operatif berguuna untuk mengidentifikasi dan mengetahui lokasi fistula.
c) Posisi bayi ditidurkan pada sisi kiri dengan tangan kanan diangkat di depan dada untuk dilaksanakan
right posterolateral thoracotomy. Pada H-fistula, operasi dilakukan melalui leher karena hanya
memisahkan fistula tanpa memperbaiiki esophagus. Esophagus
d) Operasi dilaksanakan thoracotomy, dimana fistula ditutup dengan cara diikat dan dijahit kemudian
dibuat anastomisis esophageal antara kedua ujung proximal dan distal dan esofagus.
e) Pada atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal, hamppir selalu jarak antara esofagus proksimal
dan distal dapat disambung langsung ini disebut dengan primary repairyaitu apabila jarak kedua ujung
esofagus dibawah 2 ruas vertebra. Bila jaraknya 3,6 ruas vertebra, dilakukan delaved primary repair.
Operasi ditunda paling lama 12 minggu, sambil dilakukan cuction rutin dan pemberian makanan
melalui gstrostomy, maka jarak kedua ujung esofagus akan menyempit kemudian dilakukan primary
repair. Apabiila jarak kedua ujung esofagus lebih dari 6 ruas vertebra, maka dijoba dilakukan tindakan
diatas, apabila tidak bisa juga makaesofagus disambung dengan menggunakan sebagai kolon.

c. Tindakan Setelah Operasi


Pasca Operasi pasien diventilasi selama 5 hari. Suction harus dilakukan secara rutin. Selang
kateter untuk suction harus ditandai agar tidak masuk terlalu dalam dan mengenai bekas operasi
tempat anastomisis agar tidak menimbulkan kerusakan. Setelah hari ke-3 bisa dimasukkan NGT untuk
pemberian makanan.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Asuhan keperawatan yang diberikan pada bayi baru lahir adalah berdasarkan tahapan-tahapan
pada proses keperawatan. tahap pengkajian merupakan tahap awal, disini perawat mengumpulkan
semua imformasi baik dari klien dengan cara observasi dan dari keluarganya. Lakukan penkajian bayi
baru lahir.observasi manipestasi atresia esophagus dan fistula. Traekeoesofagus, saliva berlebihan,
tersedat, sianosis, apneu.
a. Sekresi berlebihan , mengalirkan liur konstan,sekresi hidung banyak.
b. Sianosis intermitten yang tidak diketahui penyebabnya.
c. Laringaspasme yang disebabkan oleh aspirasi saliva yang terakumulasi dalam kantong buntu.
d. Distensi abdominal.
e. Respon kekerasan setelah menelan makanan yang pertama atau kedua : bayi batuk dan tersedat saat
cairan kembali melalui hidung dan mulut trejadi sianosis.
f. Bayi sering premetur dan kehamilan munkun terkomplikasi oleh hydra amniaon (cairan amniotic
berlebihan dalam kantong ).
2. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang munkin timbul pada klien dengan atersia esophagus
a. Bersihan jalan napas tidak epektif.
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
c. kesulitan menelan.

3. Intervensi Keperawatan
a. Intervensi terapeutik
1) Pengobatan segera terdiri dari penyokongan bayi pada sudut 30 derajat untuk mencegah refluks isi
lambung : pengisapan kantong esophagus atas dengan selang replogleatau drai penampung;
gastrostomi untuk mendekompresi lambung dan mencegah aspirasi ( selanjutnya digunakan untuk
pemberian makan ) puasa, cairan diberikan IV.
2) pengobatan secaa tepat terhadap proses patoogis pennerta,seperti pneumonitis atau gagal jantung
kongestif.
3) terapi pendukung meliputi pemenuhan kebutuhan nutrisi, cairan IV,antibiotic, dukungan pernapasa,
dan mempertahankan lingkungan netral secara termal.
b. Intervensi pembedahan
1) Perbaikan primer segera: pembagian fistula diikuti oleh anatomisis esophagus segmen proksimal
dan disal bila berat bayi lebih dari 2000g dan tanpa pneumonia.
2) Perlambatan jangka pendek (perbaiakan primer lanjut): untuk menstabilkan bayi dan mencegah
penyimpangan bila bayi tidak dapat mentoleransi pembedahan dengan segera.
3) Pentahapan:pada awalnya, pembagian fistula dan gastrotomi dilakukan dengan anastomisis
esophagus sekunder lanjut. Pendkatan dapat digunakan pad bayi yang masih sanhat kecil, prematr
atau neonatus, yang sakit, atu bila anomal congenital berat.
4) Esofagomiotomi servikal ( lubang buatan pada leher yang memungkinkan drainase esophagus
bagian atas ) dapat dialakukan bila ujung esofagus terpisah terlau jauh: pengggantian esophagus
dengansegmen usus pada usia 18 sampai 24 bulan.
c. Nutrisi kurang dari kebutuhan
Intervensi
1) pada praoperasi waspada terhadap indikasi gawat napas: retrasi, sianosissirkomoral, gelisa,
pernapasan cuping hidung, peningkatan frekuensi pernapasan dan jantung.
2) Pantau tanda tanda vital dengan sering terhadap perubahan pedatekanan darhdan nadi, yang dapat
mengidikasikan dehidrasi atau kelebihan beban volume cairan.
3) Catat masukan dan haluaran, termasuk drainase lambung (bila selang gastrotomiuntuk dekomensasi
terpasang)
4) Pantau terhadap distensi abdomen.
5) pantau terhadap tanda gejala yang dapat menunjukkan anomaly congenital tambahan atau
komplikasi.
6) pada pasca operasi,kaji adanya kebocoran pada anastomisis yang menyebapkan mediastinitis dan
pneumotoraks perhatikan saliva dalam selang dada, hipotermia dan hipertermia, gawat napas berat,
sianosis, gelisah, nadi lemah.
7) Lanjutkan untuk memantau komplikasi selama proses pemulihan :
a) Stritur pada anastomisis : kesulitan menelan, muntah atau memuntahkan kembali cairan yang
diminum,menolak makan,demam(terjadi setelah aspirasi dan pneumonia)
b) Fistula berulang : batuk,tersedak, dan sianosis yang dikaitkan dengan distensi abnormal: episode
berulang pneumonia : kondisi umum buruk (tidak ada penambahan berat badan)
c) Atelektasis atau pneumonitis :aspirasi dan gawat napas.
d. Bersihan jalan napas tidak efektif
Intervensi
1) Posisi bayi dengan kepala ditinggikan 20 sampai 30 derajat untuk mencegah atau mengurangi
refluks asam lambung kedalam percabangan trakeobronkial. Balik bayi dengan sering untuk
mencegah atelektasis dan pneumonia.
2) Lakukan pengisapan nasofaring intermitten atau pertahankan selang lumen ganda atau selang
penampung dengan pengisapan konstan untuk mengeluarkan sekresi dari kantung buntu esophagus :
a) Jamin bahwa selang indwelling tetap paten, diganti sesuai kebutuhan, sedikitnya sekaliu setiap 12
sampai 24 jam lubang hidung yang digunakan harus bergantian. Cegah nekrosis lubang hidung dari
tekanan oleh kateter
b) Isap mulut untuk mempertahankan bebas sekresi dan mencegah aspirasi.
3) Bila gastrotomi ditempatkan sebelum pembedahan definitive, pertahankan selang yang mengalir
sesuai gravitasi, dan jangan mengirigasi sebelum pembedahan.
4) Tempatkan bayi dalam isolette atau dibawah penghangat radian dengan humiditas tinggi.
5) Bantu dalam mengencerkan sekresi dan mucus yang kental.
6) Pertahkan suhu bayi dalam zona termoneutral dan jamin isolasi lingkungan untuk mengcegah
infeksi.
7) Berikan oksigen sesuai kebutuhan
8) pertahankan puasa dan berikan cairan parenteral dan elektrolit sesuai ketentuan,untuk mencegah
dehidrasi
9) Sediakan dan kenali kebutuhan untuk prawatan kedaruratan atau resusitasi.
10) Jelaskan prosedur dan kejadian penting pada orang tua segera mungkin orientasikan merka pada
lingkungan RS dan ruang perwwatan tertentu.
11) Biarkan keluarga menggendong dan membantu merawat bayi.
12) Berikan ketenangan dan dorongan keluarga dengan sering, berikan dukungan tambahan melalui
pekerja sosial,rohaniawan, konselor, sesuaikebutuhan.
e. Kesulitan menelan
1) Perhatikan kepatenan jalan nafas, isap dengan sering sedikitnya setiap 1 sampai 2 jam, mungkin
diperlukan setiap 5 sampai 10 menit.
a) Minta ahli bedah untuk menandai keteter pengisap untuk menunjukan seberapa jauh keteter dapat
dimasukkan dengan aman tanpa mengganggu anastomosis.
b) Observasi terhadap tanda sumbatan jalan nafas.
2) Berikan fisioterapi dada sesuai ketentuan
a) Ubah posisi bayi dengan membalik, rangsang supaya menangis untuk meningkatkan pengembangan
penuh paru.
b) Tinggikan kepala dan bahu 20 sampai 30 derajat
c) Gunakan vibrator mekanis 2 sampai 3 hari pada pascaoperasi (untuk meminimalkan trauma pada
anastomosis), diikuti dengan lebih banyak terapi fisik dada keras setelah hari ketiga.
3) Lanjutkan penggunaan Isolette atau penghangat radian dengan kelembaban.
4) Lanjutkan dengan penyediaan alat kedaruratan , termasuk mesin pengisap, keteter, oksigen,
laringoskop, selang endotrakeal dalam berbagai ukuran.
5) Berikan lanjitan IV sampai pemberian gastrostomi dapat dimulai.
6) Mulai pemberian makan gastrostomi segera setelah diprogramkan karena nutrisi adekuat adalah
factor penting dalam penyembuhan.
a) Gastrostomi secara umum diletakkan pada drainase gravitasi selama 3 hari pascaoperasi, kemudian
tinggikan dan biarkan terbuka untuk memungkinkan udara keluar dan penyaluran sekresi lambung ke
dalam dupdenum sewaktu sebelum pemberian makan dimulai.
b) Berikan bayi dot untuk mengisap selama pemberian makan, kecuali dikontraindikasikan.
c) Cegah udara memasuki lambung dan menyebabkan distensi lambung dan kemungkinan refluks.
d) Lanjutkan pemberian makan gastrostomi sampai bayi mentoleransi makan secara oral penuh.
7) Pertahankan kepatenan drainase dada.
8) Bila bayi telah mengalami esofagostomi servikal:
a) Pertahankan area bersih dari saliva dan tempatkan bantalan penyerap diatas area.
b) Sesegera mungkin, biarkan anak mengisap beberapa milliliter susu bersamaan dengan pemberian
makan secara gastrostomi.
c) Tingkatkan anak untuk makan padat bila tepat jika esofagostomi dipertahankan selama beberapa
bulan.
9) Mulai pemberian makan oral 10 sampai 14 hari setelah anastomosis.
10) Coba untuk membuat saat makan adalah saat yang menyenangkan pada bayi. Gunakan pendekatan
dan kesabaran konsisten.
11) Anjurkan orang tua untuk menimang dan berbicara pada bayi.
12) Berikan stimulasi visual, audiotorius dan taktil yang tepat untuk kondisi fisik dan usia bayi.
13) Bantu untuk mengembangkan hubungan yang sehat antara orang tua anak melalui kunjungan
fleksibel.

4. Evaluasi Keperwatan
Pada tahap ini perawat menkaji kembali hal-hal perhan dilakukan, berdasarkan pada criteria hasil
yang telah ditetapkan. Apabila masih terdapat masalah masalah klien yang belum teratasi, perawat
hendaknya menkaji kembali hal hal yang berkenaan dengan masalah tersebut dan kembali
melakukan intrvensi keperawatan. Sebaliknya bila masalah klin telah teratasi maka prlu dilakukan
pengawasan dan pengontrolan yang teratur untuk mencegah timbulnya serangan atau gejala gejala
yang memicu terjadinya serangan.
DEFINISI
Atresia adalah tidak terbentukknya atau tersumbatnya suatu saluran dari organ-organ. Atresia
Duodenal adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum (bagian terkecil dari usus halus)
sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan ke usus. Atresia duodeni merupakan suatu kondisi
dimana duodenum (bagian pertama dari usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak
berupa saluran terbuka dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke
usus. Atresia Duodeni adalah obstruksi lumen usus oleh membran utuh, tali fibrosa yang
menghubungkan dua ujung kantong duodenum yang buntu pendek, atau suatu celah antara ujung-
ujung duodenum yang tidak bersambung. Atresia Duodeni adalah buntunya saluran pada duedenum
yang biasanya terjadi pada ampula arteri.
EPIDEMIOLOGI
Atresia duodenum merupakan salah satu abnormalitas usus yang biasa didalam ahli bedah pediatric.
Atresia duodenal ini dijumpai satu diantara 300-4.500 kelahiran hidup. Lebih dari 40% dari kasus
kelainan ini ditemukan pada bayi dengan sindrom down. Jika atresia duodenum atau stenosis
duodenum signifikan tidak ditangani, kondisinya akan segera menjadi fatal sebagai akibat gangguan
cairan dan elektrolit. Sekitar setengah dari neonatus yang menderita atresia atau stenosis duodenum
lahir prematur. Hidramnion terjadi pada sekitar 40% kasus obstruksi duodenum. Atresia atau stenosis
duodenum paling sering dikaitkan dengan trisomi 21. Sekitar 22-30% pasien obstruksi duodenum
menderita trisomi 21,jantung, ginjal, CNS, dan musculoskeletal.
ETIOLOGI
Penyebab dari atresia duodenum merupakan kelainan bawaan yang penyebabnya belum diketahui
secara jelas. Namun kerusakan pada duodenum terjadi karena suplay darah yang rendah pada masa
kehamilan sehingga duodenum mengalami penyempitan dan menjadi obstruksi.
Akan tetapi dilhat dari jenis kelainan, atresia duodenal ini merupakan kelainan pengembangan
embrionik saat masih dalam kehamilan.
Seringnya ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis deodenum dengan malformasi neonatal lainnya
menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa awal
kehamilan. Atresia deodenum berbeda dari atresia usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada
faktor resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun hingga
sepertiga pasien dengan atresia deodenum menderita pula trisomi 21 (sindrom Down), namun hal ini
bukanlah faktor resiko independen dalam perkembangan atresia deodenum.
Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih belum diketahui, tapi ada beberapa
yang bisa menyebabkan atresia duodenum :
a. Gangguan perkembangan pada awal masa kehamilan (minggu ke-4 dan ke-5 ).
b. Gangguan pembuluh darah.
c. Banyak terjadi pada bayi prematur.
d. Banyak ditemukan pada bayi sindrom down.
e. Suplay darah yang rendah pada masa kehamilan sehingga duodenum mengalami penyempitan
dan menjadi obstruksi.
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal
serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
PATOFISIOLOGI
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal yang tidak adekuat
(elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau kegagalanrekanalisasi pita padat epithelial
(kegagalan proses vakuolisasi). Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum
berproliferasi dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara
sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum padat mengalami
rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses apoptosis, atau kematian sel terprogram,
yang timbul selama perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia
duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling
duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal daripada suatu
perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds. Pada tingkat seluler, traktus digestivus
berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari
endoderm, dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan embrionik
ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola dan
organogenesis dari duodenum.. Muntah dimulai setelah segera lahir dan secara berkembang menjadi
buruk dengan pemberian makanan. Feses akan terlihat seperti mekonium normal, tetapi pada
pemeriksaan, tidak mengandung sel epitelium berlapis. Adanya sel epitel menunjukkan keutuhan
usus. Dengan meningkatnya dedikasi akan timbul demam. Suatu suhu tubuh 39 C merupakan
indikasi peritonitis akibat ruptur dari atresia. Kelainan sering kali ditemukan pada bayi sindrom
down.
MANIFESTASI KLINIS
Bayi dengan penyakit atresia deodenum menunjukkan tanda dan gejala klinis sebagai berikut.
Penderita akan muntah-muntah tidak akan berisi empedu apabila atresia deodeanum terjadi proximal
dari ampula vateri jadi seorang pasien yang atresia deodenum dapat tetap sehat selama beberapa
bulan, bahkan kadang-kadang deodenum kronis yang berhubungan dengan malformasi baru
ditemukan secara kebetulan.. Atresia duodeni pada bayi baru lahir harus dicurigai bila bayi tersebut
muntah segera setelah lahir dan secara progesif menjadi buruk dengan pemberian makanan. Feces
akan terlihat seperti mikonium normal, tetapi pada pemeriksaan tidak mengandung sel epitelium
berlapis. Adanya sel epitel menunjukkan keutuhan atau kenormalan usus tersebut. Dengan adanya
peningkatan dehidrasi, maka dapat menimbulkan demam, yaitu bersuhu 39o C yang merupakan
indikasi peritonitis akibat ruktur dari atresia. Kelainan ini seringkali ditemukan sindrom down.
a. Perutnya menggelembung (kembung) di daerah epigastrum pada 24 jam atau sesudahnya.
b. Muntah segera setelah lahir berwarna kehijau hijauan karena empedu(biliosa).
c. Muntah terus menerus meskipun bayi dipuasakan selama beberapa jam.
d. Bayi muntah tanpa disertai distensi abdomen.
e. Tidak kencing setelah disusui.
f. Tidak ada gerakan usus setelah pengeluaran mekonium.
g. Pembengkakan abdomen pada bagian atas.
h. Hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium.
i. Berat badan menurun atau sukar bertambah.
j. Polihidramnion terlihat pada 50 % dengan atresia duodenal.
k. Ikterik.
L. BAB hijau
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal tinggi.Atresia duodenum ditandai
dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Seringkali muntahan tampak biliosa,
namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi proksimal dari ampula Vaterii. Jarang
sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh
hingga anak-anak, atau lebih jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial.
Sebaiknya pada anak yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami obstruksi
saluran cerna proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera dilakukan pemeriksaan
menyeluruh.
Setelah dilahirkan, bayi dengan atresia duodenal khas memiliki abdomen skafoid. Kadang dapat
dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran
mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat
badan, ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang
terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka timbullah alkalosis metabolik
hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal
tinggi lainnya. Tuba orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan
berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.
Radiografi polos yang menunjukkan gambaran double-bubble tanpa gas pada distalnya adalah
gambaran khas atresia duodenal. Adanya gas pada usus distal mengindikasikan stenosis duodenum,
web duodenum, atau anomali duktus hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan
radiograf dengan posisi pasien tegak atau posisi dekubitus. Jika dijumpai kombinasi atresia esofageal
dan atresia duodenum, disarankan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.
DIAGNOSIS
Atresia duodenum adalah penyakit bayi baru lahir. Kasus stenosis duodenal atau duodenal web
dengan perforasi jarang tidak terdiagnosis hingga masa kanak-kanak atau remaja.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hirschsprung atau mega kolon kongenital merupakan penyakit yang menyebabkan gangguan
pada saluran pencernaan, tepatnya pada usus besar. Hirschsprung atau mega kolon congenital juga
dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari
pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya
peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spinkter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu
mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian
segmen yang tidak ada ganglion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga
dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal. Penyakit hirschprung atau mega kolon congenital dapat
terjadi pada semua usia, namun yang paling sering pada neonatus.

Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan serta mendeskripsikan mega colon congenital pada
tahun 1863 adalah Harald Hirschsprung. Namun, pada saat itu patofisiologi terjadinya penyakit ini
tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa
megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus
defisiensi ganglion. Penyakit hirschprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hirschsprung
di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan
jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun
akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hirschsprung. Insidens keseluruhan dari penyakit Hirschsprung
1: 5000 kelahiran hidup. laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan dengan
perbandingan 4:1. Biasanya, penyakit Hirschsprung terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3kg
dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk
sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.

Penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan mekonium
dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan konstipasi. faktor penyebab penyakit
Hirschsprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.

Oleh karena itu, penyakit Hirschsprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang
dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri anorektal
dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum

Untuk memperoleh informasi tentang penyakit yang menyerang pada sistem pencernaan
Tujuan Khusus

Untuk memahami tentang hirschprung atau mega colon congenital dan asuhan keperawatan pada
pasien dengan penyakit hirschprung atau mega colon kongenital

C. Manfaat Penulisan
Bagi Mahasiswa

Mahasiswa dapat mengetahui mengenai konsep dasar dan asuhan keperawatan pada pasien dengan
penyakit hirschprung atau mega colon congenital

Bagi Masyarakat

Masyarakat dapat mengetahui tentang gangguan pada system pencernaan khususnya tentang penyakit
hirschprung atau mega kolon congenital secara lengkap.

D. Sistematika Penulisan
Pada bab 1 dalam makalah ini dibahas tentang latar belakang, tujuan, manfaat serta sistematika
penulisan dari makalah ini. Pada bab 2 dibahas definisi, etiologi, anatomi fisiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, prognosis dan pathway dari hirschprung
atau mega colon congenital. Pada bab 3 dibahas asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
hirschprung atau mega colon kongenital. Pada bab 4 berisi kesimpulan dan saran.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit Hirschsprung (mega kolon kongenital) adalah suatu penyumbatan pada usus besar yang
terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak memiliki
saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya.

Hirschsprung terjadi karena adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling bawah
mulai dari anus hingga usus diatasnya. Saraf yang berguna untuk membuat usus bergerak melebar
menyempit biasanya tidak sama sekali atau kalaupun ada sedikit sekali. Namun yang jelas kelainan ini
akan membuat BAB bayi tidak normal, bahkan cenderung sembelit terus-menerus. Hal ini
dikarenakan tidak adanya saraf yang dapat mendorong kotoran keluar dari anus.

Dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang usus karena
adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melepasi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan
peristaltik). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oelh sekumpulan saraf yang disebut ganglion
yang terletak dibawah lapisan otot. Pada penyakit hirschsprung ganglion ini tidak ada, biasanya hanya
sepanjang beberapa sentimeter.
Segmen usus yang tidak memiliki gerakan peristalltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang
dicerna dan terjadi penyumbatan. Penyakit hirschsprung 5 kali lebih sering ditemukan pada bayi laki-
laki. Penyakit ini kadang disertai dengan kelainan bawaan lainnya, seperti sindroma down.

B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai
dari spingter ani internus kearah proksimal, 70 % terbatas didaerah rektosigmoid, 10 % sampai
seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh usus dan pilorus.

Adapun yang menjadi penyebab hirschsprung atau mega kolon kongenital adalah diduga karena
terjadi faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrome, kegagalan sel
neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan
submukosa pada dinding plexus.

Dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna bisa berjalan disepanjang usus karena
adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi ritmis ini disebut gerakan
peristaltiik). Kontraksi dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion yang terletak
dibawah lapisan otot.

C. Anataomi Fisiologi
1. Rongga Mulut

Gigi

Anatomi fisiologi system pencernaan pertama yang berinteraksi dengan makanan secara langsung
adalah rongga mulut. Rongga mulut termasuk dalam saluran pencernaan. Rongga ini merupakan
tempat pertama yang menerima makanan. Organ pertama dari rongga mulut yang menerima makanan
adalah gigi, dimana fungsinya adalah memotong dan merobek makanan secara mekanik dari yang
berukuran besar hingga berukuran pas untuk ditelan.

Lidah

Lidah merupakan organ yang berperan mengatur makanan dan gigi dan tidak hanya itu, lidah juga
berperan sebagi organ pengecap makanan sehingga manusia berselera makan. Bagian lidah yang
berperan dalam pengecap rasa makanan adalah papilla.

Di dalam rongga mulut, terdapat pula air ludah, yang dihasilkan oleh kelenjar ludah. Fungsinya untuk
membasahi makanan, sehingga makanan mudah ditelan dan dikunyah. Air ludah juga mengandung
enzim ptyalin yang mengubah karbohidrat menjadi disakarida.

2. Kerongkongan

Kerongkongan merupakan bagian saluran pencernaan tempat mmelakukan makanan dari rongga
mulut ke lambung.. di dalam kerongkongan makanan akan mengalir dengan bantuan gerak
peristalltik dari otot kerongkongan.
3. Lambung

Lambung adalah organ pencernaan yang terletak di rongga perut atas sebelah kiri. Didalam labung,
makanan akan dicerna secara kimiawi menggunakan enzim pencernaan. Enzim pencernaan yang ada
didalam lambung diantaranya enzim pepsin dan lipase. Tidak hanya enzim di lambung terdapat asam
lambung yang mempunyai pH rendah. Fungsi asam lambung yaitu sebagai pembunuh kuman.

4. Usus Halus

Makanan yang sudah dicerna lambung akan masuk ke dalam usus halus. Usus halus adalah organ
pencernaan yang mencerna makanan secara kimiawi menggunakan enzim. Enzim-enzim yang
terdapat pada usus halus yaitu enzim amilase, tripsin dan lipase.

Usus halus terbagi menjadi 3 bagian yaitu duodenum, jejenum dan ileum. Sari-sari makanan yang
terserap akan masuk ke dalam pembuluh darah. Adapun sisa penyerapan akan dialirkan ke dalam
usus besar. Gerakan yang berperan dalam pengaliran makanan ini adalah gerakan peristaltik.

5. Usus Besar

Sisa hasil penyerapan usus halus akan masuk ke dalam usus besar. Di usus besar ini, sisa pencernaan
akan diserap kembali kadar air dan garam-garam yang masih terkandung sehingga sisa pencernaan ini
akan padat.

Didalam usus besar sisa pencernaan akan mengalami pembusukan karena didalam usus besar terdapat
banyak bakteri pembusuk yaitu E.Colli.

D. Patofisiologi
Istilah congenital agang lionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan
tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionik hampir selalu
ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi
usus spontan serta spinkter rektum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara
normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon.

Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan
relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena
terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar.

F. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dapat bermacam-macam berdasarkan keparahan dari kondisi kadang-kadang
mereka muncul segera setelah bayi lahir. Pada saat yang lain mereka mungkin saja tidak tampak
sampai bayi tumbuh menjadi remaja ataupun dewasa.
Pada kelahiran baru tanda dapat mencakup :

1. Kegagalan dalam dalam mengeluarkan feses dalam hari pertama atau kedua kelahiran

2. Muntah : mencakup muntahan cairan hijau disebut bile-cairan pencernaan yang diproduksi di hati

3. Konstipasi atau gas

4. Diare

Pada anak-anak yang lebih tua, tanda dapat mencakup :

1. Perut yang buncit

2. Peningkatan berat badan yang sedikit

3. Masalah dalam penyerapan nutrisi, yang mengarah penurunan berat badan, diare atau keduanyadan
penundaan atau pertumbuhan yang lambat

4. Infeksi kolon, khususnya anak yang baru lahir atau yang masih muda, yang dapat mencakup
enterocolitis, infeksi serius dengan diare, demam dan muntah dan kadang-kadang dilatasi kolon yang
berbahaya. Pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa, gejala dapat mencakup konstipasi dan nilai
rendah dari sel darah merah (anemia) karena darah hilang dalam feses.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Kimia darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya dalam batas
normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat
membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan elektrolit.

b. Darah rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet preoperatiof.

c. Profil koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan pembekuan
darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.

2. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus yang distensi dengan adanya udara dalam
rectum.

b. Barium enema

Jangan membersihkan kolon bagian distal dengan enema sebelum memasukkan kontras enema
karena hal ini akan mengaburkan gambar pada daerah zona transisi.

Kateter diletakkan didalam anus, tanpa mengembangkan balon, untuk menghindari kaburnya zona
transisi dan beresiko terjadinya peforasi. foto segera diambil setelah injeksi kontras, dan diambil lagi
24 jam kemudian.
Colon bagian distal yang menyempit dengan bagian proksimal yang mengalami dilatasi merupakan
gambaran klasik penyakit Hirschsprung. Akan tetapi temuan radiologis pada neonatus lebih sulit
diinterpetasi dan sering kali gagal memperlihatkan zona transisi.

Gambaran radiologis lainnya yang mengarah pada penyakit Hirschsprung adalah adanya retensi
kontras lebih dari 24 jam setelah barium enema dilakukan.

3. Biopsi

Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner, apakah terdapat ganglion atau
tidak. Pada penyakit hirschprung ganglion ini tidak ditemukan.

H. Penatalaksanaan
1. Pembedahan

Pembedahan pada penyakit hirscprung dilakukan dalam dua tahap. Mula-mula dilakukan kolostomi
loop atau doublebarrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertrofi dapat kembali
normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai 4 bulan). Bila umur bayi itu antara 6-12 bulan (atau
bila beratnya antara 9 dan 10 Kg), satu dari tiga prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong
usus aganglionik dan menganastomosiskan usus yang berganglion ke rectum dengan jarak 1 cm dari
anus. Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun.
Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon nromal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di
belakang anus aganglionik, menciptakan dinding ganda yang terdiri dari selubung aganglionik dan
bagian posterior kolon normal yang ditarik tersebut. Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang
aganglionik itu dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon bergangliondengan
saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan pada bagian posterior. Prosedur Soave dilakukan
pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang paling banyak dilakukanuntuk
mengobati penyakit hirsrcprung. Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang
bersaraf normal ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan
jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.

2. Konservatif

Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan sonde
lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.

3. Tindakan bedah sementara

Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat didiagnosis dan
pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk. Kolostomi dibuat di kolon
berganglion normal yang paling distal.

4. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila ketidakmampuan
terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :

a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak secara dini.

b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak.

c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan).

d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang.

Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak anak dengan mal nutrisi tidak
dapat bertahan dalam pembedahan sampai status fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan
pengobatan simptomatik seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan
tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total.

I. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat
tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih
mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka
kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIRSCHSPRUNG

A. Pengkajian

Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan kelainan tunggal.
Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen aganglionosis
dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Sedangkan kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus
ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan perempuan (Ngastiyah, 1997).

B. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan utama

Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering ditemukan adalah
mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna
hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.

2. Riwayat penyakit sekarang

Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan
muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi sering mengalami konstipasi,
muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang
diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan
diare, distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.

3. Riwayat penyakit dahulu

Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit Hirschsprung.

4. Riwayat kesehatan keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.

C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinis. Pada survey umum terlihat lemah atau
gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya iskemia usus
dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau
sepsis.

Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipatan paha, dan rectum akan didapatkan

Inspeksi : Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan rectum dan fese akan didapatkan
adanya perubahan feses seperti pita dan berbau busuk.

Auskultasi : Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan berlanjut dengan hilangnya bisng usus.

Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.

Palpasi : Teraba dilatasi kolon abdominal.

1. Sistem kardiovaskuler : Takikardia.


2. Sistem pernapasan : Sesak napas, distres pernapasan.

3. Sistem pencernaan : Umumnya obstipasi. Perut kembung/perut tegang, muntah berwarna


hijau. Pada anak yang lebih besar terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan jepitan
dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang
menyemprot.

4. Sistem saraf : Tidak ada kelainan.

5. Sistem lokomotor/musculoskeletal : Gangguan rasa nyaman : nyeri

6. Sistem endokrin : Tidak ada kelainan.

7. Sistem integument : Akral hangat, hipertermi

8. Sistem pendengaran : Tidak ada kelainan.

D. Pemeriksaan Diagnostik dan Hasil

1. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus
rendah.

2. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak
teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada segmen yang melebar dan terdapat retensi barium
setelah 24-48 jam.

3. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.

4. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.

5. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat peningkatan aktivitas enzim
asetilkolin eseterase.

E. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul

1. Risiko konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik

2. Risiko ketidakseimbangan volume cairan/elektrolit tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh
dari muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal.

3. Risiko injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal
sekunder dari kondisi obtruksi usus

4. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen, iritasi intestinal, respon pembedahan

5. Risiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan penurunan volume darah, sekunder dari
absorpsi saluran intestinal, muntah-muntah.

6. Risiko tinggi perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan
yang kurang adekuat.
7. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan

8. Pemenuhan informasi berhubungan dengan adanya kolostomi, evaluasi diagnostic, rencana


pembedahan, dan rencana perawatan rumah.

9. Risiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan perubahan kondisi psikososial anak selama
dirawat sekunder dari kondisi sakit.

10. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, miniterpretasi informasi, rencana


pembedahan.

F. Analisa Data

Data Etiologi Masalah keperawatan

DS : anak terus rewel Segment pendek/ segment Risiko konstipasi


panjang

DO: konstipasi, tidak ada


mekonium > 24-48 jam
pertama, kembung, distensi
abdomen, peristaltic menurun
Peristaltic dalam segment

Obstruksi kolon

DS: tidak mau minum, rewel Mual, muntah, kembung Risiko ketidakseimbangan
volume cairan tubuh

DO: mukosa mulut kering,


ubun-ubun dan mata cekung,
turgor kulit kurang elastic
anorexia

Intake nutrisi tidak adekuat

Kehilangan cairan dan


elektrolit

DS: rewel dan merasa kurang Intervensi pembedahan Risiko injuri


nyaman akibat kolostomi

DO: BAB melalui kolostomi Kerusakan jaringan pasca


pembedahan

DS : pasien merasa demam Obstruksi kolon proksimal Risiko infeksi

DO : hipertermi (suhu 38oC)

Intervensi pembedahan

Kerusakan jaringan pasca


pembedahan

G. Diagnosa keperawatan prioritas

Pre Operasi

1. Risiko konstipasi berhubungan dengan penyempitan kolon, sekunder, obstruksi mekanik

2. Risiko ketidakseimbangan volume cairan tubuh berhubungan dengan keluar cairan tubuh dari
muntah, ketidakmampuan absorbs air oleh intestinal.

Post Operasi

1. Risiko injuri berhubungan dengan pasca prosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal
sekunder dari kondisi obtruksi usus

2. Resiko infeksi berhubungan dengan pasca prosedur pembedahan.

H. Intervensi Keperawatan

Tujuan dan Kriteria


Dx Keperawatan Intervensi Rasional
Hasil
1. Resiko kostipasi b/d Tujuan : Pola BAB 1. Observasi bising usus dan periksa1. Untuk menyusun rencana
penyempitan kolon, normal adanya distensi abdomen pasien. penanganan yang efektif dalam
sekunder, obstruksi Pantau dan catat frekuensi dan mencegah konstipasi dan
mekanik karakteristik feses impaksi fekal
Kriteria hasil : pasien 2. Catat asupan haluaran secara 2. Untuk meyakinkan terapi
tidak mengalami akurat penggantian cairan dan hidrasi
konstipasi, pasien
mempertahankan 3. Untuk meningkatkan terapi
defekasi setiap hari penggantian cairan dan hidrasi
3. Dorong pasien untuk
mengkonsumsi cairan 2.5 L setiap
hari, bila tidak ada kontraindikasi
4. Untuk membantu adaptasi
4. Lakukan program defekasi. terhadap fungsi fisiologi
Letakkan pasien di atas pispot atau normal
commode pada saat tertentu setiap
hari, sedekat mungkin kewaktu
biasa defekasi (bila diketahui)

5. Berikan laksatif, enema, atau


supositoria sesuai instruksi

5. Untuk meningkatkan
eliminasi feses padat atau gas
dari saluran pencernaan, pantau
keefektifannya

2. Risiko ketidakseimbangan Tujuan : kebutuhan 1. Timbang berat badan pasien 1. Untuk membantu mendeteksi
volume cairan tubuh b/d cairan terpenuhi setiap hari sebelum sarapan perubahan keseimbangan
keluarnya cairan tubuh cairan
dari muntah, ketidak 2. Ukur asupan cairan dan haluaran
mampuan absorps air oleh urin untuk mendapatkan status 2. Penurunan asupan atau
Kriteria hasil : turgor cairan peningkatan haluaran
instentinal kulit elastik dan meningkatkan defisit cairan
normal, CRT < 3 detik
3. Peningkatan berat jenis urin
3. Pantau berat jenis urin mengindikasikan dehidrasi.
Berat jenis urin rendah,
mengindikasikan kelebihan
volume cairan

4. Membran mukosa kering


merupakan suatu indikasi
dehidrasi

5. Untuk meningkatkan asupan


4. Periksa membran mukosa mulut
setiap hari

6. Perubahan nilai elektrolit


5. Tentukan cairan apa yang disukai dapat menandakan
pasien dan simpan cairan tersebut awitan ketidakseimbangan
di samping tempat tidur pasien, cairan
sesuai instruksi

6. Pantau kadar elektrolit serum

3. Risiko injury Tujuan : dalam waktu 1. Observasi faktor-faktor yang 1. Pasca bedah terdapat resiko
berhubungan dengan pasca 2x24 jam pasca meningkatkan resiko injuri rekuren dari hernia umbilikalis
prosedur bedah, iskeimia, intervensi reseksi kolon akibat peningkatan tekanan
necrosis dinding intestinal tidak mengalami injuri intra abdomen
sekunder dari kondisi
obstruksi usus 2. Perawat yang mengantisipasi
resiko terjadinya perforasi atau
Kriteria Hasil : TTV 2. Monitor tanda dan gejala peritonitis. Tanda dan gejala
normal (RR : 16-24 perforasi atau peritonitis
yang penting adalah anak rewel
x/mnt, Suhu : 360 C- tiba-tiba dan tidak bisa dibujuk
370C, N:60-100x/mnt, atau diam oleh orang tua atau
TD : 120/70 mmHg), perawat, muntah-muntah,
kardiorespirasi optimal, peningkatan suhu tubuh dan
tidak terjadi infeksi hilangnya bising usus. Adanya
pada insisi pengeluaran pada anus yang
berupa cairan feses yang
bercampur darah merupakan
tanda klinik penting bahwa
telah terjadi peforasi. Semua
perubahan yang terjadi
didokumentasikan oleh
perawat dan laporkan pada
dokter

3. Tujuan memasang selang


nasogatrik adalah intervensi
dekompresi akibat respon
dilatasi dan kolon obstruksi
dari kolon aganglionik.
Apabila tindakan ini
dekompresi ini optimal, maka
akan menurunkan distensi
abdominal yang menjadi
penyebab utama nyeri
abdominal pada pasien
hirschprung
4. Perawat memonitor adanya
komplikasi pasca bedah seperti
mencret ikontinensia fekal,
kebocoran anastomosis,
formasi striktur, obstruksi usus,
dan enterokolitis

5. Pasien akan mendapatkan


cairan intravena sebagai
pemeliharaan status
hemodinamik
3. Lakukan pemasangan selang
nasogatrik 6. Pasien dibantu turun dari
tempat tidur pada hari pertama
pasca operasi dan disorong
untung mulai berpartisipasi
dalam ambulasi dini

7. Pada anak, menghadirkan


orang terdekat dapat
mempengaruhi penurunan
respon nyeri. Sedangkan pada
dewasa merupakan tambahan
dukungan psikologis dalam
menghadapi masalah kondis
nyeri baik akibat kolik
abdomen atau nyeri pasca
bedah

8. Antibiotik menurunkan resiko


infeksi yang menimbulkan
reaksi inflamasi lokal dan
dapat memperlama proses
penyembuhan pasca
4. Monitor adanya komplikasi pasca funduplikasi lambung
bedah

5. Pertahankan status hemodinamik


yang optimal

6. Bantu ambulasi dini

7. Hadirkan orang terdekat

8. Kolaborasi pemberian antibiotik


pasca bedah

4. Resiko infeksi b/d pasca Tujuan : tidak 1. Minimalkan risiko infeksi dengan1. Mencuci tangan adalah satu-
prosedur pembedahan menunjukkan adanya : mencuci tangan sebelum dan satunya cara terbaik untuk
tanda-tanda infeksi setelah memberikan perawatan, mencegah patogen, sarung
menggunakan sarung tangan untuk tangan dapat melindungi
mempertahankan asepsis pada saat tangan pada saat memegang
luka yang dibalut atau
Kriteria hasil : suhu memberikan perawatan langsung melakukan berbagai tindakan
dalam rentang normal,
tidak ada patogen yang 2. Observasi suhu minimal setiap 4 2. Suhu yang terus meningkat
terlihat dalam kultur, jam dan catat pada kertas grafik. setelah pembedahan dapat
luka dan insisi terlihat Laporkan evaluasi kerja merupakan tanda awitan
bersih, merah muda, komplikasi pulmonal, infeksi
dan bebas dari drainase luka atau dehisens.
purulen

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Hirschsprung (mega kolon kongenital) adalah suatu penyumbatan pada usus besar yang
terjadi akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak memiliki
saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Hirschsprung terjadi karena adanya permasalahan pada
persarafan usus besar paling bawah mulai dari anus hingga usus diatasnya. Penyakit hisprung
merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari
spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai
rektum.Penyakit ini disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di
kolon.

B. Saran

Sebagai calon perawat harus mengerti dan memahami penyakit hirschsprung (mega
kolon kongenital). Dengan memahami dan mengerti penyakit hirschprung, sebagai calon
perawat maka bisa memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Mengenal Penyakit Hirschsprung (Aganglionic Megacolon). Disitasi dari


http://www.indosiar.co.id/v2003/pk. pada tanggal 26 Oktober 2010.

Behrman, dkk.1996. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2. Jakarta: EGC.

Budi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Penyakit Hisprung. Disitasi dari


http://www.mediakeperawatan.com/?id=budixtbn. pada tanggal 26 Oktober 2010.

Yuda. 2010. Penyakit Megacolon. Disitasi dari http://dokteryudabedah.com/wp-


content/uploads2010/01/mega-colon pada tanggal 26 Oktober 2010.

Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Diposkan oleh GweN di 09.42


OMFALOKEL
A. Pengertian
Omfalokel adalah penonjolan dari usus atau isi perut lainnya melalui akar pusat yang hanya dilapisi
oloeh peritoneum (selaput perut) dan tidak lapisi oleh kulit. Omfalokel terjadi pada 1 dari 500
kehamilan. Usus terlihat dari luar melalui selaput peritoneum yang transparan (tembus pandang).
Eksomfalos atau omfalokel adalah suatu defek yang menyebabkan usus atau organ fisera lain
menonjol keluar melalui umbilicus. Sering kali bayi yang menderita defek ini mengalami
abnormalitas lain, misalnya cacat jantung, yang menjadi kontraindikasi pembedahan para periode
neonatus awal.
B. Etiologi
Omalokel disebabkan oleh kegagalan otot dalam kemali ke rongga abdomen pada waktu janin
berumur 10 minggu hingga menyebabkan timbulnya omfalokel. Kelainan ini dapat terlihat dengan
adanya prostrusi (sembilan) dari kantong yang serisi usus dan visera abdomen melalui defek dinding
abdomen pada umbilicus (umbilicus terlihat menonjol keluar). Angka kematian kelainan ini tinggi
bila omfalokel besar karena kantong pecah dan terjadi infeksi.
Kelainan bawaan seperti kelainan kromosom, hernia diafragmatika dan kelainan jantung.

Menurut Glasser (2003) ada beberapa penyebab omfalokel, yaitu:


1. Faktor kehamilan dengan resiko tinggi, seperti ibu hamil sakit dan terinfeksi, penggunaan obat-
obatan, merokok dan kelainan genetik. Faktor-faktor tersebut berperan pada timbulnya insufisiensi
plasenta dan lahir pada umur kehamilan kurang atau bayi prematur, diantaranya bayi dengan
gastroschizis dan omfalokel paling sering dijumpai.
2. Defisiensi asam folat, hipoksia dan salisilat menimbulkan defek dinding abdomen pada percobaan
dengan tikus tetapi kemaknaannya secara klinis masih sebatas perkiraan. Secara jelas peningkatan
MSAFP (Maternal Serum Alfa Feto Protein) pada pelacakan dengan ultrasonografi memberikan suatu
kepastian telah terjadi kelainan struktural pada fetus. Bila suatu kelainan didapati bersamaan dengan
adanya omfalokel, layak untuk dilakukan amniosintesis guna melacak kelainan genetik.
3. Polihidramnion, dapat diduga adanya atresia intestinal fetus dan kemungkinan tersebut harus
dilacak dengan USG.
C. Patofisiologi
Menurut Suriadi & Yuliani R, 2001, patofisiologi dari omphalokel adalah :
1. Selama perkembangan embrio, ada suatu kelemahan yang terjadi dalam dinding abdomen semasa
embrio yang mana menyebabkan herniasi pada isi usus pada salah satu samping umbilicus (yang
biasanya pada samping kanan). Ini menyebabkan organ visera abdomen keluar dari kapasitas
abdomen dan tidak tertutup oleh kantong.
2. Terjadi malrotasi dan menurunnya kapasitas abdomen yang dianggap sebagai anomaly.
3. Gastroskisis terbentuk akibat kegagalan fusi somite dalam pembentukan dinding abdomen sehingga
dinding abdomen sebagian tetap terbuka.
4. Letak defek umumnya disebelah kanan umbilicus yang terbentuk normal.
5. Usus sebagian besar berkembang di luar rongga abdomen janin. Akibatnya, usus menjadi tebal dan
kaku karena pengendapan dan iritasi cairan amnion dalam kehidupan intrauterine. Usus juga tampak
pendek. Rongga abdomen janin sempit.
6. Usus-usus, visera dan seluruh permukaan rongga abdomen berhubungan dengan dunia luar
menyebabkan penguapan dan pancaran panas dari tubuh cepat berlangsung, sehingga terjadi dehidrasi
dan hipotermi, kontaminasi usus dengan kuman juga dapat terjadi dan menyebabkan sepsis, aerologi
menyebabkan usus-usus distensi sehingga mempersulit koreksi pemasukan ke rongga abdomen pada
waktu pembedahan.
7. Embriogenesis. Pada janin usia 5 6 minggu isi abdomen terletak di luar embrio di rongga selom.
Pada usia 10 minggu terjadi pengembangan lumen abdomen sehingga usus dari extra peritoneum akan
masuk ke rongga perut. Bila proses ini terhambat maka akan terjadi kantong di pangkal umbilikus
yang berisi usus, lambung kadang hati. Dindingnya tipis terdiri dari lapisan peritoneum dan lapisan
amnion yang keduanya bening sehingga isi kantong tengah tampak dari luar, keadaan ini disebut
omfalokel. Bila usus keluar dari titik terlemah di kanan umbilikus, usus akan berada di luar rongga
perut tanpa dibungkus peritoneum dan amnion, keadaan ini disebut gastroschisis.
D. Manifestasi Klinis
Menurut A.H. Markum (1991), manifestasi dari omphalokel adalah :
1. Organ visera / internal abdomen keluar.
2. Penonjolan pada isi usus.
3. Teridentifikasi pada prenatal dengan ultrasound

E. Klasifikasi
Banyaknya usus dan organ perut lainnya yang menonjol pada omfalokel berikut tergantung pada
besarnya lubang di pusar. Jika lubangnya kecil mungkin hanya usus yang menonjol, tapi jika
lubangnya besar hati juga bisa menonjol melalui lubang tersebut.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut A.H. Markum (1991) pemeriksaan diagnostik dari omphalokel:
1. Pemeriksaan Fisik.
Pada omfalokel tampak kantong yang berisi usus dengan atau tanpa hati di garis tengah pada bayi
yang baru lahir. Pada gastro schisis usus berada di luar rongga perut tanpa adanya kantong.
2. Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan Maternal Serum Alfa Fetoprotein (MSAFP). Diagnosis prenatal defek pada dinding
abdomen dapat dideteksi dengan peningkatan MSAFP. MSAFP dapat juga meninggi pada spinabifida
yang disertai dengan peningkatan asetilkolinesterase dan pseudokolinesterase.
3. Prenatal, ultrasound
4. Pemeriksaan radiology
Fetal sonography dapat menggambarkan kelainan genetik dengan memperlihatkan marker structural
dari kelainan kariotipik. Echocardiography fetus membantu mengidentifikasi kelainan jantung. Untuk
mendukung diagnosis kelainan genetik diperjelas dengan amniosentesis
Pada omphalocele tampak kantong yang terisi usus dengan atau tanpa hepar di garis tengah pada bayi
yang baru lahir.

G. Pencegahan
Terpenuhinya nutrisi selama kehamilan seperti asam folat, vitamin B komplek dan protein.
H. Komplikasi
Menurut Marshall Klaus, 1998, komplikasi dari omphalokel adalah :
1. Komplikasi dini adalah infeksi pada kantong yang mudah terjadi pada permukaan yang telanjang.
2. Kekurangan nutrisi dapat terjadi sehingga perlu balans cairan dan nutrisi yang adekuat misalnya
dengan nutrisi parenteral.
3. Dapat terjadi sepsis terutama jika nutrisi kurang dan pemasangan ventilator yang lama.
4. Nekrosis
5. Kelainan kongenital dinding perut ini mungkin disertai kelainan bawaan lain yang memperburuk
prognosis.

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan langsung keadaan tersebut adalah menutup isi abdomen yang mengalimi herniasi
dengan pembungkus selofan bersih ( misalnya Clingfilm) atau swab salim steril hangat untuk
mengurangi kehilangan cairan dan panas serta memberikan sedikit banyak proteksi. Isi lambung harus
diaspirasi. Penting untuk mengurangi kehilangan panas pada bayi ini, baik dengan pembungkusan
yang tepat utau perawatan dalam incubator, atau keduanya. Pemindahan bayi ke unit bedah kemudian
dipercepat. Agar tidak terjadi cidera pada usus dan infeksi perut, dilakukan operasi pembedahan untuk
menutup omfalokel.
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Atresia ani (malformasi anorektal/anus imperforate) adalah bentuk kelainan bawaan yang
menunjukan keadaan tidak ada anus, atau tidak sempurnanya bentuk anus.
Keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara
kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau
terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh
saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki
nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan
operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya
Bentuk-bentuk kelainan atresia ani {(atresia anal)
Lubang anus sempit atau salah letak di depan tempat semestinya
Terdapat selaput pada saat pembukaan anus sehingga mengganggu proses pengeluaran feses
Rektum(saluran akhir usu besar) tidak terhubung dengan lubang anus
Rektum terhubung dengan saluran kemih (kencing) atau sistem reproduksi melalui fistula (lubang)
dan tidak terdapat pembukaan anus.
Kelainan bentuk anus akan menyebabkan gangguan buang air besar.
Ketika lubang anus sempit, bayi kesulitan BAB menyebabkan konstipasi dan ketidaknyamanan.

Jika terdapat selaput pada akhiran jalan keluar anus, bayi tidak bisa BAB.
Ketika rektum tidak berhubungan dengan anus tetapi terdapat fistula, feses akan keluar melalui
fistula tersebut sebagai pengganti anus. Hal ini dapat menyebabkan infeksi.
Jika rektum tidak berhubungan dengan anus dan tidak terdapat fistula sehingga feses tidak dapat
dikeluarkan dari tubuh dan bayi tidak dapat BAB.
Suatu perineum tanpa apertura anal diuraikan sebagai inperforata. Ladd dan Gross (1966) membagi
anus inperforata dalam 4 golongan, yaitu:
Stenosis rectum yang lebih rendah atau pada anus
Membran anus menetap.
Anus inperforata dan ujung rectum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari
peritoneum
Lubang anus yang terpisah dengan ujung rectum yang buntu

B. Etiologi Atresia Ani


Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal
serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.

C. Patofisiologi Atresia Ani


Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
Terdapat tiga macam letak
Tinggi (supralevator) rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara
ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel
ke saluran kencing atau saluran genital
Intermediate rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya.
Rendah rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum
paling jauh 1 cm.Pada wanita 90% dengan fistula kevagina/perineum
Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius

D. Tanda dan gejala

Perut kembung.
Muntah (cairan muntahan berwarna hijau karena cairan empedu atau berwarna hitam kehijauan
Bayi tidak bisa buang air besar .
Tidak ada atau tampak kelainan anus

E. Gambaran Klinik Atresia Ani


Pada sebagian besar anomati ini neonatus ditemukan dengan obstruksi usus. Tanda berikut
merupakan indikasi beberapa abnormalitas:

Tidak adanya apertura anal.


Mekonium yang keluar dari suatu orifisium abnormal.
Muntah dengan abdomen yang kembung.
Kesukaran defekasi, misalnya dikeluarkannya feses mirip seperti stenosis
Untuk mengetahui kelainan ini secara dini, pada semua bayi baru lahir harus dilakukan colok
anus dengan menggunakan termometer yang dimasukkan sampai sepanjang 2 cm ke dalam anus. Atau
dapat juga dengan jari kelingking yang memakai sarung tangan. Jika terdapat kelainan, maka
termometer atau jari tidak dapat masuk.
Bila anus terlihat normal dan penyumbatan terdapat lebih tinggi dari perineum. Gejala akan
timbul dalam 24-48 jam setelah lahir berupa perut kembung, muntah berwarna hijau.
F. Pemeriksaan Penunjang Atresia Ani

1. X-ray, ini menunjukkan adanya gas dalam usus.


2. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius, misalnya suatu sistouretrogram
mikturasi akan memperlihatkan hubungan rektourinarius dan kelainan urinarius.
3. Pemeriksaan urin, perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat mekonium

G. Penatalaksanaan Atresia Ani

a. Medis :

Eksisi membran anal.


Fistula, yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah umur 3 bulan dilakukan koreksi
sekaligus.
Kolostomi (pembuatan lubang anus di bagian perut)
Dilatasi Anal (pelebaran lubang anus)

Eksisi membran anal (pelepasan selaput anus).


Anoplasty (perbaikan organ anus)

b. Non Medis

Toilet Training.
Dimulai pada usia 2-3 tahun.
Menggunakan strategi yang sama dengan anak normal..
Bowel Management.
Menjaga kebersihan kantung kolostomi, meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk
membersihkan kolon.
Diet makanan termasuk pengaturan asupan laktasi (ASI)

c. Keperawatan :
Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut
dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya
dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu
diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi. Serta
memperhatikan kesehatan bayi.

Read more: asuhan keperawatan (Askep) Atresia


ani http://nandarnurse.blogspot.com/2013/05/asuhan-keperawatan-askep-atresia-
ani.html#ixzz3ElOp6Zft
Under Creative Commons License: Attribution
Follow us: nHandar on Facebook

Anda mungkin juga menyukai