Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

POLIOMITIS

I. Konsep Penyakit Polio


1.1 Definisi/deskripsi penyakit Poliomilitis
Poliomilitis adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus
dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang
dan inti motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf
tersebut akan terjadi kelumpuhan serta autropi otot (Wong, 2003).
Polio adalah penyakit menular yang dikategorikan sebagai penyakit
peradaban. Polio menular melalui kontak antar manusia. Virus masuk ke
dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi feses. Poliovirus adalah virus RNA kecil
yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan
menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam.
Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada
anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala
pertama berkisar dari 3 hingga 35 hari (Ngastiyah,2005).
Jenis polio, yaitu sebagai berikut:
a. Polio non-paralisis
Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu,
dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan punggung, otot terasa
lembek jika disentuh.
b. Polio paralisis spinal
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan
sel tanduk anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan
otot tungkai. Meskipun strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan
permanen, kurang dari satu penderita dari 200 penderita akan
mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan terjadi
pada kaki. Setelah virus polio menyerang usus, virus ini akan diserap
oleh pembulu darah kapiler pada dinding usus dan diangkut seluruh
tubuh.
c. Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami sehingga
batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung syaraf motorik

1
yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke
berbagai syaraf yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf
trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air
mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran;
saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai
fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang
mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang
mengatur pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar
dapat menyebabkan kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita
yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan
mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi
kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim perintah
bernapas ke paru-paru.

1.2 Etiologi Penyakit Poliomilitis


Polio disebabkan virus poliomyelitis. Satu dari 200 infeksi berkembang
menjadi kelumpuhan. Sebanyak 5-10 persen pasien lumpuh meninggal
ketika otot-otot pernapasannya menjadi lumpuh. Kebanyakan menyerang
anak-anak di bawah umur tiga tahun (lebih dari 50 persen kasus), tapi dapat
juga menyerang orang dewasa. Pencegahan dengan vaksinasi secara
berkala, idealnya pada masa kanak-kanak. Penularan polio :
a. Virus masuk ke tubuh melalui mulut, bisa dari makanan atau air yang
tercemar virus.
b. Virus ditemui di kerongkongan dan memperbanyak dirinya di dalam
usus.

Menyerang sel-sel saraf yang mengendalikan otot, termasuk otot yang


terlibat dalam pernapasan. Penyebab poliomyelitis Family Pecornavirus
dan Genus virus, dibagi 3 yaitu:

a. Brunhilde
b. Lansing
c. Leon
Dapat hidup berbulan-bulan di dalam air, mati dengan pengeringan
/oksidan. Masa inkubasi : 7-10-35 hari.
Klasifikasi virus:

2
a. Golongan : Golongan IV ( (+) ssRNA )
b. Familia : Picornaviridae
c. Genus : Enterovirus
d. Spesies : Polioviru

1.3 Tanda dan Gejala


Tanda tanda klinik yang timbul kemudian akan sesuai dengan kerusakan
anatomic yang terjadi biasanya masa inkubasi adalah 3-6 hari prodromal
dan kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron
sumsum tulang belakang akan menimbulkan kerusakan sel dan
kelumpuhan serta atrofi otot sedangkan virus yang menyebar ke batang
otak akan berakibat kelumpuhan bulbar dan pernafasan. Selain gejala klinik
yang akut juga dikenal adanya post polio syndrome ( PPS) yang gejala
kelumpuhannya terjadi bertahun-tahun setelah infeksi virus akut.
Poliomelitis dapat dibagi menjadi empat yaitu:
1.3.1 Poliomielitis asimtomatis
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala karena daya
tahan tubuh cukup baik, maka tidak terdapat gejala klinik sama
sekali. Pada suatu epidemi diperkirakan terdapat pada 90-95%
penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut.
1.3.2 Poliomielitis abortif
Diduga secara klinik hanya pada daerah yang terserang epidemi
terutama yang diketahui kontak denga pasien poliomeilitis yang
jelas. Diperkirakan terdapat 4- 8% penduduk pada suatu epidemi .
Timbul mendadak berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.
Gejela berupa malaise, anoreksia, nause, muntah, nyeri kepala,
nyeri tenggorokan, konstipasi dan nyeri obdemen.
1.3.3 Poliomielitis non paralitik
Gejala klinik hampir sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri
kepala, nausea dan muntah lebih hebat. Gejala ini timbul 1-2 hari
kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian
remisi demam atau masuk ke dalam fase 2 dengan nyeri otot. Khas
untuk penyakit ini dengan hipertonia, mungkin disebabkan oleh lesi
pada batang otak, ganglion spinal dan kolumna posterior.

3
1.3.4 Poliomielitis paralitik
Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis
akut pada bayi ditemukan paralysis fesika urinaria dan antonia usus.
Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara lain :
a. Bentuk spinal: Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot
leher, abdomen, tubuh, diafragma, thorak dan terbanyak
ekstremitas.
b. Bentuk bulbar: Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak
dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernapasan dan
sirkulasi.
c. Bentuk bulbospinal: Didapatkan gejala campuran antara bentuk
spinal dan bentuk bulbar.
d. Bentuk ensefalitik: Dapat disertai dengan gejala delirium,
kesadaran menurun, tremor dan kadang- kadang kejang.

1.4 Patofisiologi
Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembang
biak dalam traktus digestivus,kelenjar getah bening regional dan system
retikuloendoteal dalam keadaan ini timbul :
a. Perkembangan virus sehingga tubuh akan membentuk antibody
spesifik.
b. Apabila zat antibody dalam tubuh mencukupi dan cepat maka virus
akan dinetralisasi sehingga hanya timbul gejala klinik yang ringan atau
tidak timbul gejala sama sekali sehingga tubuh timbul imunitas
terhadap virus tersebut.
c. Dan apabila proliferasi virus lebih cepat dari pembentukan zat antibody
tersebut maka akan timbul gejala klinik atau viremia kemudian virus
akan terdapat dalam faeses penderita dalam beberapa minggu lamanya.
Pada umumnya virus yang tertelan akan menginfeksi di epitel
orofaring,tonsil,kelenjar limfe pada leher dan usus kecil/halus. Faring akan
segera terkena setelah virus masuk dan karena virus tahan terhadap asam
lambung maka virus dapat mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa
perlu proses in aktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi virus akan
menyebar pada jaringan limfe tonsil yang berlanjut pada aliran limfe dan

4
pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam
sampai 3-4 minggu. Infeksi susunan saraf pusat dapat terjadi akibat viremia
yang menyusul replikasi cepat virus ini. Virus polio menempel dan
berkembang biak pada sel usus yang mengandung PVR ( PolioVirus
Reseptor) dalam waktu sekitar 3 jam setelah infeksi telah terjadi kolonisasi.
Sel yang menganduk PVR tidak hanya di usus dan tenggorok saja akan
tetapi terdapat di sel monosit dan sel neuro motor di SSP, sekali terjadi
perkaitan antara virion dan replikator akan terjadi integrasi RNA ke dalam
virion berjalan cepat sehingga dari infeksi sampai pelepasan virion baru
hanya memerlukan waktu 4-5 jam. Sedang virus yang bereplikasi secara
local kemudian menyebar pada monosit dan kelenjar limfe yang terkait.
Perlekatan dan penetrasi virus dapat dihambat oleh secretory IgA lokal,
kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat langsung dari
multiplikasi virus di jaringan saraf,itu merupakan gejala yang
patognomonik namun tidak semua saraf yang terkena akan mati keadaan
reversibillitas fungsi sebagian disebabkan karena sprouting dan seolah
kembali seperti sediakala dalam waktu 3 4 minggu setelah onset.
Terdapat kelainan perivaskular dan infiltrasi interstisiel sel glia, secara
histology pada umumnya kerusakan saraf yang terjadi luas namun tidak
sejalan dengan gejala klinisnya.
Lesi saraf pada kasus poliomyelitis dapat ditemukan pada ;
a. Medula spinalis terutam didaerah kornu anterior,sedikit didaerah kornu
intermediet & dorsal serta di ganglia radiks dorsalis.
b. Medulla oblongata (nuclei vestibularis,nuclei saraf cranial dan
formation retikularis yang merupakan pusat-pusat vital).
c. Serebelum (hanya di nuclei bagian atas dan vermis)
d. Otak tengah/mid brain terutama pada massa kelabu,substansia nigra
kadang-kadang substansia rubra.
e. Thalamus dan hipotalamus
f. Palidum
g. Korteks serebri bagian motorik.
Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada system
retikuloendoteal terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor
neuron karena virus bersifat sangat neuronotropik,tetapi tidak menyerang
neuroglia,myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada

5
sekitar sel yang terinfeksi dehingga kerusakan sel makin luas. Kerusakan
pada sumsum tulang belakang terutama pada anterior horn cell/kornu
anterior,pada otak kerusakan terutama terjadi pada sel motor neuron
formasi dari pons dan medulla,nuclei vestibules,serebelum sedang lesi pada
kortex hanya merusak daerah motor dan premotor saja. Pada jenis bulbar
lesi terutama mengenai medulla yang berisi nuklai motor dari saraf otak,
replikasi pada sel motor neuron di SSP yang akan menyebabkan kerusakan
permanen.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


1.5.1 Pemeriksaan laboratorium
1.5.1.1 Viral isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari
bahan yang di peroleh pada tenggorokan satu minggu
sebelum dan sesudah paralisis dan tinja pada minggu ke 2-
6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
1.5.1.2 Uji serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah
dari penderita, jika pada darah ditemukan zat antibodi
polio maka diagnosis orang tersebut terkena polio benar.
Pemeriksaan pada fase akut dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan antibodi immunoglobulin M
(IgM) apabila terkena polio akan didapatkan hasil yang
positif.
1.5.1.3 Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat
peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3
terutama sel limfosit, dan terjadi kenaikan kadar protein
sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul, 2004).
1.5.2 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis lanjut.
Pada anak yang sedang tumbuh, di dapati tulang yang pendek,
osteoporosis dengan korteks yang tipis dan rongga medulla yang
relative lebar, selain itu terdapat penipisan epifise, subluksasio dan
dislokasi dari sendi.

6
1.6 Komplikasi
a. Hiperkalsuria
b. Melena
c. Pelebaran lambung akut
d. Hipertensi ringan
e. Pneumonia
f. Ulkus dekubitus dan emboli paru
g. Psikosis
h. Deformitas otot berakibat kipo skoliosis
i. Koma

1.7 Penatalaksanaan
1.7.1 Pencegahan
1.7.1.1 Imunisasi
a. Pengertian Imunisasi Polio
Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit
poliomielitis yaitu penyakit radang yang menyerang
syaraf dan dapat mengakibatkan lumpuh kaki (Anik
Maryunani, 2010).
b. Jadwal Pemberian
Imunisasi polio diberikan sebanyak empat kali dengan
selang waktu tidak kurang dari satu bulan. Saat lahir
(0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan.
Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali
saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi
dengan vaksin DPT.
c. Cara Pemberian
Cara pemberian imunisasi polio bisa lewat suntikan
(Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat
mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di Indonesia
yang digunakan adalah OPV, karena lebih aman. OPV
diberikan dengan meneteskan vaksin polio sebanyak
dua tetes langsung kedalam mulut anak atau dengan
menggunakan sendok yang dicampur dengan gula

7
manis. Imunisasi polio diberikan 4 x dengan jarak
minimal 4 minggu.
e. Efek Samping
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang
mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot.
f. Tingkat Kekebalan
Dapat mencapail hingga 90%. Pemberian imunisasi
polio untuk memutus rantai penularan virus polio.
g. Kontra Indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita
penyakit akut atau demam tinggi (diatas 380C),
muntah atau diare, penyakit kanker atau keganasan,
HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan radiasi
umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan
terganggu.
h. Vaksin Polio
1) Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)
IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus
dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak
aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan
kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat
replikasi maka vaksin ini tidak dapat
menyebabkan penyakit polio walaupun diberikan
pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah.
Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi
tipe 1, 2, dan 3 dibiakkan pada sel-sel VERO
ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan
formadehid. Selain itu dalam jumlah sedikit
terdapat neomisin, streptomisin dan polimiksin.
IPV harus disimpan pada suhu 2 8 C dan tidak
boleh dibekukan. Pemberian vaksin tersebut
dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5
ml diberikan dalam 4 kali berturut-turut dalam
jarak 2 bulan.
2) Oral Polio Vaccine (OPV)

8
Vaksin OPV pemberiannya dengan cara
meneteskan cairan melalui mulut. Vaksin ini
terbuat dari virus liar (wild) hidup yang
dilemahkan. Komposisi vaksin tersebut terdiri dari
virus Polio tipe 1, 2, dan 3 adalah suku Sabin yang
masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated).
Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal
kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis
sebanyak 2 tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2,
dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih
dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes
akan menempatkan diri di usus dan memacu
pembentukan antibodi baik dalam darah maupun
dalam dinding luar lapisan usus yang
mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus
polio liar yang akan masuk. Pemberian air susu
ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda
karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama
dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada
dosis berikutnya akan memberikan perlindungan
jangka panjang. Vaksin ini diberikan pada bayi
baru lahir 2, 4, 6, 18 bulan, dan 5 tahun.
Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus
polio adalah anak mendadak lumpuh pada salah
satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5
hari. Terdapat 2 jenis vaksin yang beredar dan di
Indonesia yang umum diberikan adalah vaksin
sabin (kuman yang dilemahkan). Cara
pemberiannya melalui mulut. Dibeberapa negara
dikenal pula tetravaccine yaitu kombinasi DPT
dan polio. Imunisasi dasar diberikan sejak anak
baru lahir atau berumur beberapa hari atau
selanjutnya diberikan setiap 4-6 minggu.

9
Pemberian vaksin polio dapat dilakukan
bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan
DPT. Imunisasi ulang diberikan bersamaan
dengan imunisasi ulang DPT, pmberian imunisasi
polio dapat menimbulkan kekebalan aktif
terhadap penyakit poliomyelitis. Imunisasi polio.
Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak
masuk sekolah (5-6 tahun) dan saat meninggalkan
sekolah dasar (12 thun). Cara memberikan
imunisasi polio adalah dengan meneteskan vaksin
polio sebanyak dua tetes langsung ke dalam mulut
anak. Imunisasi ini jangan diberika pada anak
yang sedang diare berat, efek samping yang
terjadi sangat minimal dapat berupa kejang.
1.7.1.2 Pencegahan yang amat penting dengan perbaikan sanitasi,
setiap keluarga harus memiliki sarana air bersih, sarana
sanitasi seperti jamban, pembuangan air limbah rumah
tangga, pembuangan sampah yang tertib. Dengan
mewujudkan rumah sehat dan lingkungan yang sehat
maka akan dapat mencegah penyakit berbasis lingkungan
termasuk polio.
1.7.2 Medis
Tidak ada pengobatan yang spesifik , penanganaan dilakukan secara
simtomatis dan suportif.pengobatan yang di lakukan secara umum
dalam mencegah penyakit tersebut yaitu:
a. Istrahat
b. Antipiretik (dosisnya 15-20 mg)
c. Analgesik (dosisnya 15-20 mg)
Diberikan secara oral
1.7.2.1 Poliomielitis abortif
Pengobatannya:
a. Cukup di berikan analgetika dan sedatifa
b. Diet adekuat
c. Istrahat sampai suhu tubuh normal

10
1.7.2.2 Poliomielitis non paralitik
Pengobatannya:
a. Sama seperti pada tipe abortif
b. Selain di beri analgetik dan sedatif dapat di kombinasi
dengan kompres hangat selama 15-30 menit, setiap 2-4
jam.
1.7.2.3 Poliomielitis parilitik
Pengobatannya:
a. Membutuhkan perawatan di rumah sakit
b. Istrahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai
fase akut di lampaui
c. Selama fase akut kebersihan mulut di jaga
d. Fisioterapi di lakukan sedini mungkin sesudah fase
akut mulai dengan latihan pasif dengan maksud untuk
mencegah terjadinya deformitas
1.7.2.4 Poliomielitis bulbar
Pengobatannya:
a. Memerlukan inkubasi endotrakea
b. Menjaga saluran nafas
c. Menghindari aspirasi sekret yang tidak dapat di telan.
1.7.3 Keperawatan
Penatalaksanaan untuk mencegah penularan klien perlu dirawat di
kamar isolasi dengan perangkat lengkap kamar isolasi dan
memerlukan pengawasan yang teliti. Mengingat bahwa virus polio
juga terdapat pada feses Klien maka bila membuang feses harus
betul-betul ke dalam lobang WC dan disiram air sebanyak mungkin.
Kebersihan WC/sekitarnya harus diperhatikan dan dibersihkan
dengan desinfektan. Masalah Klien yang perlu diperhatikan bahaya
terjadi kelumpuhan, gangguan psikososial, dan kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
Menganjurkan klien tidur selama 2 minggu/lebih bergantung pada
jenis penyakit bentuk polio. Karena Klien merasakan sakit pada otot
yang sarafnya terkena maka Klien tidak mau bergerak sendiri. Oleh
karena itu Klien ditolong di atas tempat tidur dengan hati-hati
misalnya mau memasang pot, atau bila akan mengubah posisi

11
angkatlah dahulu kaki/anggota yang sakit dan orang lain
memasangkan pot atau membereskan alat tenun.

1.8 Pathway

Poli virus PV
(Genus Enterovirus dan family Picorna viridae)

Virus menular melalui kotoran (feses) atau sekret tenggorokan orang yang terinfeksi

Masuk kedalam tubuh melalui mulut

Menginfeksi saluran tenggorokan dan usus (berkembang biak)

Virus memasuki aliran darah Timbul verimia virus

Nyeri
Virus menyerang sistem saraf pusat akut Proses peradangan

Melemahnya otot Otot pernapasan Hipertermia


(Motorik)

Ansietas Kelumpuhan (paralysis) Akumulasi sekret Mual & muntah

Ketidakefektifan Ketidakseimbangan
Hambatan mobilitas fisik
bersihan jalan napas nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

(Sumber: Wong, 2003) Konstipasi

12
II. Rencana Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas

2.1.2 Pemeriksaan fisik (data fokus)


2.1.2.1 Keadaan umum
a. Tingkat kesadaran (apatis, sopor, koma, gelisah,
kompos mentis yang bergantung pada keadaan klien).
b. Kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan,
sedang, dan paa kasus osteomielitis biasanya akut).
c. Tanda-tanda vital : Terdapat peningkatan suhu
tubuh.
2.1.2.2 Kepala dan leher : Terdapat nyeri kepala dan otot leher
mengalami kram / kaku dan terdapat nyeri saat menelan.
2.1.2.3 Axila : Axila teraba hangat.
2.1.2.4 Abdomen : Adanya nyeri tekan
2.1.2.5 Ekstremitas : Adanya paralysis atau kaku/kram.
Pemeriksaan fisik pada ekstremitas dilakukan dengan :
a. Pada Bayi
- Perhatikan posisi tidur. Bayi normal menunjukkan
posisi tungkai menekuk padalutut dan pinggul. Bayi
yang lumpuh akan menunjukkan tungkai lemas dan
lutut menyentuh tempat tidur.
- Lakukan rangsangan dengan menggelitik atau
menekan dengan ujung pensil padatelapak kaki bayi.
Bila kaki ditarik berarti tidak terjadi kelumpuhan.
- Pegang bayi pada ketiak dan ayunkan. Bayi normal
akan menunjukkan gerakan kaki menekuk, pada bayi
lumpuh tungkai tergantung lemas.
b. Anak besar
- Mintalah anak berjalan dan perhatikan apakah
pincang atau tidak.

13
- Mintalah anak berjalan pada ujung jari atau tumit.
Anak yang mengalamikelumpuhan tidak bisa
melakukannya.
- Mintalah anak meloncat pada satu kaki. Anak yang
lumpuh tak bisa melakukannya.Mintalah anak
berjongkok atau duduk di lantai kemudian bangun
kembali. Anak yang mengalami kelumpuhan akan
mencoba berdiri dengan berpegangan merambat pada
tungkainya.
- Tungkai yang mengalami lumpuh pasti lebih kecil.
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
2.1.3.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Viral isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari
bahan yang di peroleh pada tenggorokan satu minggu
sebelum dan sesudah paralisis dan tinja pada minggu
ke 2-6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
b. Uji serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel
darah dari penderita, jika pada darah ditemukan zat
antibodi polio maka diagnosis orang tersebut terkena
polio benar. Pemeriksaan pada fase akut dapat
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan antibodi
immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan
didapatkan hasil yang positif.
c. Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat
peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200
sel/mm3 terutama sel limfosit, dan terjadi kenaikan
kadar protein sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul,2004).
2.1.3.2 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis
lanjut. Pada anak yang sedang tumbuh, di dapati tulang
yang pendek, osteoporosis dengan korteks yang tipis dan

14
rongga medulla yang relative lebar, selain itu terdapat
penipisan epifise, subluksasio dan dislokasi dari sendi.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031)
2.2.1 Definisi
Ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi dari
saluran pernafasan untuk mempertahankan kebersihan jalan nafas.
2.2.2 Batasan karakteristik
a. Dispnea
b. Suara napas tambahan
c. Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
d. Batuk tidak ada atau tidak efektif
e. Sianosis
f. Kesulitan untuk berbicara
g. Penurunan suara napas
h. Ortopnea
i. Gelisah
j. Sputum berlebihan
k. Mata terbelalak
2.2.3 Faktor yang berhubungan
a. Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif
b. Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas,
spasme jalan napas.
c. Fisiologis; kelainan dan penyakit

Diagnosa 2: Hipertermi (00007)


2.2.4 Definisi
Peningkaan suhu tubuh di atas rentang normal.
2.2.5 Batasan karakteristik
a. Kulit merah
b. Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal (frekuensi napas
meningkat).
c. Kejang atau konvulsi
d. (kulit) teraba hangat

15
e. Takikardi
f. Takipnea
2.2.6 Faktor yang berhubungan
a. Dehidrasi
b. Penyakit atau trauma
c. Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk
berkeringat
d. Pakaian yang tidak tepat
e. Peningkatan laju metabolisme
f. Obat atau anestesi
g. Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang)
h. Aktifitas yang berlebihan.

Diagnosa 3 : Nyeri akut (00132)


2.2.7 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang di
gambarkan sebagai kerusakan (internasional association for the
study of pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas
ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atu
diprediksi
2.2.8 Batasan karakteristik
a. Bukti nyeri dengan mengunakan standar daftar periksa nyeri
untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya (mis.,
neonatal infant pain scale, pain assessment check list for senior
with limited abilitd to comunicate).
b. Diforesis
c. Dilatasi pupil
d. Ekspresi wajah nyeri (mis., mata kurang bercahaya, tampak
kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,
meringis).
e. Fokus menyempit (mis., persepsi waktu, proses berpikir,
interaksi dengan orang dengan lingkungan).
f. Fokus pada diri sendiri.

16
g. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
(mis., skala Wong-Baker FACES skala analog visual, skala
penilaian numerik).
h. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan
standar instrumen nyeri (mis., McGill Paint Questionnaire, Brief
Paint Infentory).
i. Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktifitas (mis.,
anggota keluarga, pemberi asuhan).
j. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisa, merengek, menangis,
waspada).
k. Perilaku distraksi.
l. Perubahan pada parameter fisiologis (mis., tekanan darah,
frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen,
end/tidal karbondioksida (C02)
m. Perubahan sisi untuk menghindari nyeri
n. Perubahan selera makan
o. Purtus asa
p. Sikap melindungi area nyeri
q. Sikap tubuh melindungi
2.2.9 Faktor yang berhubungan
a. Agens cedera biologis (mis., infeksi, iskemia, neoplasma)
b. Agens cedera fisik (mis., apses, amputasi, luka bakar, terpotong,
mengangkat berat, konsedur bedah, trauma, olaragah
berlebihan)
c. Agens cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen
klorida, agen mustard).

Diagnosa 4: Hambatan mobilitas fisik (00085)


2.2.10 Definisi: keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah
pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
Tingkat 0 : Mandiri total
Tingkat 1 : Memerlukan penggunaan peralatan atau alat bantu
Tingkat 2 : Memerlukan bantuan orang lain untuk pertolongan,
pengawasan, atau pengajaran

17
Tingkat 3 : Membutuhkan orang lain dan alat bantu peralatan atau
alat bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi alam aktivitas
2.2.11 Batasan Karakteristik
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak-balik posisi
c. Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
(misalnya, peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain,
perilaku mengendalikan berfokus pada kondisi sebelum sakit
atau ketunadayaan aktivitas).
d. Dipsnea saat beraktivitas
e. Perubahan cara berjalan
f. Pergerakan menyentak
g. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan
motorik halus
h. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik
halus
i. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
j. Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
k. Melambatnya pergerakan
l. Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
2.2.12 Faktor yang berhubungan
a. Perubahan metabolisme sel
b. IMT di atas persentil ke-75 sesuai usia
c. Gangguan kognitif
d. Kepercayaan budaya terkait aktivitas sesuai dengan usia
e. Penurunan kekuatan, kendali, atau massa otot
f. Keadaan alam perasaan depresi atau ansietas
g. Keterlambatan perkembangan
h. Ketidaknyamanan
i. Intoleransi aktivitas dan penurunan kekuatan dan ketahanan
j. Kaku sendi atau kontraktur
k. Difisiensi pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
l. Kurang dukungan lingkungan fisik atau sosial
m. Keterbatasan ketahanan kardiovaskular

18
n. Hilangnya integritas struktur tulang
o. Medikasi
p. Gangguan muskuloskeletal
q. Gangguan neuromuskular
r. Nyeri
s. Program pembatasan pergerakan
t. Keengganan untuk memulai pergerakan
u. Gaya hidup yang kurang gerak atau disuse atau melemah
v. Malnutrisi
w. Gangguan sensori persepsi

Diagnosa 5: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


(00002)

2.2.13 Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
2.2.14 Batasan karakteristik
a. Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang berat badan ideal
b. Bisisng usus hiperaktif
c. Cepat kenyang setelah makan
d. Diare
e. Gangguan sensasi rasa
f. Kehilangan rambut berlebihan
g. Kelemahan otot mengunyah
h. Kelemahan otot untuk menelan
i. Kerapuhan kapiler
j. Kesalahan informasi
k. Kesalahan persepsi
l. Ketidakmampuan memakan makanan
m. Kram abdomen
n. Kurang informasi
o. Kurang minat pada makanan
p. Membran mukosa pucat
q. Nyeri abdomen
r. Peurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
s. Sariawan rongga mulut

19
t. Tonus otot menurun.
2.2.15 Faktor yang berhubungan
a. Faktor biologis
b. Faktor ekonomi
c. Gangguan psikososial
d. Ketidakmampuan makan
e. Ketidakmampuan mencerna makanan
f. Ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien
g. Kurang asupan makanan

Diagnosa 6: Konstipasi (00011)

2.2.16 Definisi
Konstipasi merupakan penurunan frekuensi normal defekasi yang
disertai pengeluaran feses yang sulit atau tidak lampias atau
pengeluaran feses yang sangat keras dan kering.
2.2.17 Batasan karakteristik
a. Subjektif
1) Nyeri abdomen
2) Nyeri tekan pada abdomen dengan atau tanpa resistansi otot
yang dapat di palpasi
3) Anoreksia
4) Perasaan penuh atau tekanan pada rektum
5) Kelelahan umum
6) Sakit kepala
7) Peningkatan tekanan abdomen
8) Indigesti
9) Mual
10) Nyeri saat defekasi
b. Objektif
1) Tampilan atipikal pada lansia (misalnya, perubahan stataus
mental, inkontinensia urine, jatuh tanpa sebab jelas, dan
peningkatan suhu)
2) Darah merah segar menyertai pengeluaran feses
3) Perubahan pola suara abdomen (borborigmi)
4) Perubahan pola pada defekasi

20
5) Perubahan frekuensi
6) Penurunan volume feses
7) Distensi abdomen
8) Feses yang kering, keras, dan padat.
9) Bising usus hipoaktif atau hiperaktif
10) Pengeluaran feses cair
11) Massa abdomen dapat dipalpasi
12) Massa rektal dapat dipalpasi
13) Bunyi pekak pada perkusi abdomen
14) Adanya feses, seperti pasta direktum
15) Flatus berat
16) Mengejan saat defekasi
17) Tidak mampu mengeluarkan feses
18) Muntah
2.2.18 Faktor yang berhubungan
a. Fungsional
1) Kelemahan otot abdomen
2) Kebiasaan menyangkal dan mengabaikan desakan untuk
defekasi
3) Eliminasi ataudefekasi yang tidak adekuat (misalnya tepat
waktu, posisi saat defekasi, dan privasi)
4) Aktifitas fisik yang tidak memadai
5) Kebiasaan defekasi yang tidak teratur
6) Perubahan lingkungan baru-baru ini
b. Psikologis
1) Depresi
2) Stress emosi
3) Konfusi mental
c. Farmakologis
1) Antasida yang mengandung alumunium
2) Antikolinergis
3) Antikonvulsan
4) Antidepresan
5) Agens antilipemik
6) Garam bismuth

21
7) Kalsium karbonat
8) Penyekat saluran kalsium
9) Diuretik
10) Garam besi
11) Overdosis laksatif
12) Agens anti-inflamasi nonstreroid
13) Opiat
14) Fenotiazid
15) Sedatif
16) Simpatomimetik
d. Mekanis
1) Ketidakseimbangan elektrolit
2) Hemoroid
3) Megakolon (penyakit Horschsprung
4) Kerusakan neurologis
5) Obesitas
6) Obstruksi pascabedahan
7) Kehanilan
8) Pembesaran prostat
9) Abses atau ulkus paa rektum
10) Fisura anal rektum
11) Striktur anal rektum
12) Prolaps rektum
13) Rektokel
14) Tumor

Diagnosa 7: Ansietas (00146)

2.2.19 Definisi
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai
respons autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak
diketahui oleh individu), perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi terhadap bahaya. Perasaan ini merupakan isyarat
kewaspadaan yang memperingatkan bahaya yang akan terjadi dan
memampukan individu melakukan tindakan untuk menghadapi
ancaman.

22
2.2.20 Batasan karakteristik
2.2.20.1 Perilaku
a. Penurunan produktivitas e. Memandang
b. Mengeskspresikan sekilas
kekhawatiran f. Insomnia
c. Gerakan yang tidak relevan g. Kontak mata
d. Gelisah buruk
h. Resah
i. Menyelidiki dan
tidak waspada
2.2.20.2 Afektif
a. Gelisah i. Gugup
b. Kesedihan yang j. Gembira berlebihan
mendalam k. Nyeri dan peningkatan
c. Distris ketidakbedayaan yang
persisten
d. Ketakutan l. Marah
e. Perasaan tidak adekuat m. Perasaan takut
f. Fokus pada diri sendiri n. Ketidakpastian
g. Peningkatan o. khawatir
kekhawatiran
h. Iritabilitas
2.2.20.3 Fisiologis
a. Wajah tegang e. Terguncang
b. Insomnia f. Gemetar atau tremor
c. Peningkatan keringat di tangan
d. Peningkatan g. Suara bergetar
ketegangan
2.2.20.4 Parasimpatis
a. Nyeri abdomen g. Mual
b. Penurunan tekanan h. Gangguan tidur
darah i. Kesemutan pada
c. Penurunan nadi ekstrimitas
d. Diare j. Sering berkemih
e. Pingsan k. Urgensi

23
f. Keletihan
2.2.20.5 Simpatis
a. Anoreksia h. Peningkatan nadi
b. Eksitasi kardiovaskular i. Peningkatan refleks
c. Diare j. Peningkatan
d. Mulut kering pernafasan
e. Wajah kemerahan k. Dilatasi pupil
f. Jantung berdebar-debar l. Kesulitan bernapas
g. Peningkatan tekanan m. Vasokontriksi
darah superfisial
n. Kedutan otot
o. kelemahan

2.2.20.6 Kognitif
a. Keadaan terhadap gejala- i. Takut terhadap
gejala fisiologis konsekuensi yang
b. Blocking pikiran tidak spesifik
c. Konfusi j. Fokus pada diri
d. Penurunan lapang sendiri
pandang k. Mudah lupa
e. Kesulitan untuk l. Gangguan perhatian
berkonsentrasi m. Tenggelam dalam
f. Keterbatasan kemampuan dunia sendiri
untuk menyelesaikan n. Melamun
masalasah o. Kecenderungan
g. Keterbatasan kemampuan untuk menyalahkan
untuk belajar orang lain
h. Mengekspresikan
kekhawatiran akibat
perubahan dalam
peristiwa hidup

2.2.21 Faktor yang berhubungan


a. Terpajan toksin
b. Hubungan keluarga/hereditas

24
c. Transmisi dan penularan interpersonal
d. Krisis situasi dan maturasi
e. Stres
f. Penyalahgunaan zat
g. Ancaman kematian
h. Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran,
lingkungan, status kesehatan, staus ekonomi, atau pola interaksi
i. Ancaman terhadap konsep diri
j. Komflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup yang
esensial.
k. Kebutuhan yang tidak terpenuhi
(NANDA, 2012).

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031)
2.3.15 Tujuan dan kriteria hasil
a. Menunjukkan bersihan
Jalan napas yang efektif yang dibuktikan oleh, pencegahan
aspirasi, status pernapasan: ventilasi tidak terganggu dan status
pernapasan: kepatenan jalan napas.
b. Menunjukkan status pernapasan: kepatenan jalan napas, yang
dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:

1. gangguan eksterm
2. berat
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada gangguan

Indikator 1 2 3 4 5
Kemudahan bernapas
Frekuensi dan irama pernapasan
Pergerakan sputum keluar dari jalan
napas
Pergerakan sumbatan keluar dari jalan
napas

25
Pasien akan:

batuk efektif
mengeluarkan secret secara efektif
mempunyai jalan napas yang paten
pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang
jernih
mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang
normal
mempunyai fungsi paru dalam batas normal
mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan dirumah.

3.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC


3.3.2.1 Respiratory monitoring
a. Pantau rate, irama, kedalaman, dan usaha respirasi.
Rasional: Mengetahui tingkat gangguan yang terjadi
dan membantu dalam menetukan intervensi yang
akan diberikan.
b. Perhatikan gerakan dada, amati simetris, penggunaan
otot aksesori, retraksi otot supraclavicular dan
interkostal.
Rasional: menunjukkan keparahan dari gangguan
respirasi yang terjadi dan menetukan intervensi yang
akan diberikan.
c. Monitor suara napas tambahan
Rasional: suara napas tambahan dapat menjadi
indikator gangguan kepatenan jalan napas yang
tentunya akan berpengaruh terhadap kecukupan
pertukaran udara.
d. Monitor pola napas : bradypnea, tachypnea,
hyperventilasi, napas kussmaul, napas cheyne-stokes,
apnea, napas biots dan pola ataxic.
Rasional: mengetahui permasalahan jalan napas yang
dialami dan keefektifan pola napas klien untuk
memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.

26
2.3.2.2 Airway Management
a. Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi,
wheezing.
Rasional: Adanya bunyi ronchi menandakan
terdapat penumpukan sekret atau sekret berlebih
di jalan nafas.
b. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi
dispnea.
Rasional: posisi memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya pernapasan. Ventilasi
maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan sekret ke jalan nafas besar
untuk dikeluarkan.
c. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan
penghisapan sesuai keperluan.
Rasional: Mencegah obstruksi atau aspirasi.
Penghisapan dapat diperlukan bia klien tak
mampu mengeluarkan sekret sendiri.
d. Anjurkan asupan cairan adekuat
Rasional: Mengoptimalkan keseimbangan cairan
dan membantu mengencerkan sekret sehingga
mudah dikeluarkan.
e. Ajarkan batuk efektif
Rasional: Fisioterapi dada/ back massage dapat
membantu menjatuhkan secret yang ada dijalan
nafas.
f. Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional: Meringankan kerja paru untuk
memenuhi kebutuhan oksigen serta memenuhi
kebutuhan oksigen dalam tubuh.
g. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai
indikasi.
Rasional: Broncodilator meningkatkan ukuran
lumen percabangan trakeobronkial sehingga
menurunkan tahanan terhadap aliran udara.

27
Diagnosa 2: Hipertermi (00007)
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria):
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama . Maka suhu
tubuh klien mulai normal dengan kriteria hasil :
a. Warna kulit normal
b. Suhu tubuh normal seperti semula
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional
a. Kaji penyebab hipertermi
Rasional: hipertermi merupakan salah satu gejala/kompensasi
tubuh terhadap adanya infeksi baik secara local maupun secara
sistemik. Hal ini perlu diketahui sebagai dasar dalam rencana
intervensi.
b. Regulasi suhu
Rasional: mencapai atau mempertahankan suhu tubuh dalam
rentang normal.
c. Terapi demam beri komper hangat pada dahi atau axilla
Rasional: penatalaksanaan pasien yang mengalami
hiperpireksia akibat factor selain lingkungan, daerah dahi atau
axilla merupakan jaringan tipis dan terdapat pembuluh darah
sehingga proses vasodilatasi pembuluh darah lebih cepat
sehingga pergerakan molekul cepat.
d Anjurkan ibu untuk memakaikan pakaian tipis dan yang dapat
menyerap keringat
Rasional: pakaian yang tipis dapat membantu mempercepat
proses evaporasi
e. Beri minum sering tapi sedikit
Rasional: untuk mengganti cairan yang hilang selama proses
evaporasi.
f. Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik
Rasional: obat antipiretik bekerja sebagai pengatur kembali pusat
pengatur panas.

28
Diagnosa 3 : Nyeri akut (00132)
2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah diberikan asuhan keperawatan asuhan keperawatan selama
x 2 jam, nyeri yang dirasakan klien berkurang dengan criteria
hasil :
NOC label : Pain Control

Klien melaporkan nyeri berkurang


Klien dapat mengenal lamanya (onset) nyeri
Klien dapat menggambarkan faktor penyebab
Klien dapat menggunakan teknik non farmakologis
Klien menggunakan analgesic sesuai instruksi

Pain Level

Klien melaporkan nyeri berkurang


Klien tidak tampak mengeluh dan menangis
Ekspresi wajah klien tidak menunjukkan nyeri
Klien tidak gelisah

2.3.6 Intervensi keperawatan dan rasional


NIC Label : Pain Management
a. Kaji secara komprehensip terhadap nyeri termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan
faktor presipitasi.
Rasional: Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien
b. Observasi reaksi ketidaknyaman secara nonverbal
Rasional: Untuk mengetahui tingkat ketidaknyamanan
dirasakan oleh pasien.
c. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengungkapkan
pengalaman nyeri dan penerimaan klien terhadap respon nyeri.
Rasional: Untuk mengalihkan perhatian pasien dari rasa nyeri
d. Tentukan pengaruh pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup
(napsu makan, tidur, aktivitas,mood, hubungan sosial).
Rasional: Untuk mengetahui apakah nyeri yang dirasakan klien
berpengaruh terhadap yang lainnya.
e. Tentukan faktor yang dapat memperburuk nyeri

29
Rasional: Untuk mengurangi factor yang dapat memperburuk
nyeri yang dirasakan klien.
f. Lakukan evaluasi dengan klien dan tim kesehatan lain tentang
ukuran pengontrolan nyeri yang telah dilakukan.
Rasional: untuk mengetahui apakah terjadi pengurangan rasa
nyeri atau nyeri yang dirasakan klien bertambah.
g. Berikan informasi tentang nyeri termasuk penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan hilang, antisipasi terhadap
ketidaknyamanan dari prosedur.
Rasional: Pemberian health education dapat mengurangi
tingkat kecemasan dan membantu klien dalam membentuk
mekanisme koping terhadap rasa nyeri.
h. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
ketidaknyamanan klien (suhu ruangan, cahaya dan suara).
Rasional: Untuk mengurangi tingkat ketidaknyamanan yang
dirasakan klien.
i. Hilangkan faktor presipitasi yang dapat meningkatkan
pengalaman nyeri klien (ketakutan, kurang pengetahuan).
Rasional: Agar nyeri yang dirasakan klien tidak bertambah.
j. Ajarkan cara penggunaan terapi non farmakologi (distraksi,
guide imagery, relaksasi).
Rasional: Agar klien mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi dalam memanagement nyeri yang dirasakan.
k. Kolaborasi pemberian analgesic
Rasional: Pemberian analgetik dapat mengurangi rasa nyeri
pasien.

Diagnosa 4: Hambatan mobilitas fisik (00085)


2.3.7 Tujuan dan kriteria(berdasarkan NOC)
Memperlihatkan mobilitas, yang dibuktikan oleh indikator berikut
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak
mengalami gangguan):
a. Keseimbangan
b. Koordinasi
c. Performa posisi tubuh

30
d. Pergerakan sendi dan otot
e. Berjalan
f. Bergerak dengan mudah
2.3.8 Intervensi keperawatan dan rasional (berdasarkan NIC)
2.3.8.1 Pengkajian
a. Kaji tanda dan gejala hambatan mobilitas fisik
Rasional: mengobservasi penyebab hambatan mobilitas
dari tanda dan gejala untuk menentukan tindakan
lanjutan.
b. Kaji skala kekuatan otot
Rasional: menggunakan skala kekuatan otot 0-5 untuk
menentukan kemampuan bermobilisasi berdasarkan hasil
skala kekuatan otot.
c. Kaji skala aktivitas
Rasional: menggunakan skala aktivitas 0-4 untuk
menentukan tingkat kemandirian.
2.3.8.2 Observasi
Observasi tingkat kemampuan ROM aktif pasien
Rasional: ROM aktif dapat membantu dalam
mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan kelenturan
otot dan mencegah kekakuan sendi.
2.3.8.3 Mandiri
a. Terapi latihan fisik: latihan kekuatan
Rasional: memfasilitasi pelatihan otot resistif secara rutin
untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot.
b. Terapi latihan fisik: ambulasi
Rasional: meningkatkan dan membantu dalam perjalanan
untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi
tubuh autonom dan volunter selama pengobatan dan
pemulihan dari kondisi sakit atau cedera.
c. Terapi latihan fisik: keseimbangan:
Rasional: menggunakan aktivitas, postur, dan gerakan
tertentu untuk mempertahankan, meningkatkan, atau
memulihkan keseimbangan.
d. Terapi latihan fisik: mobilitas sendi:

31
Rasional: menggunakan gerakan tubuh aktif dan pasif
untuk mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas
sendi
e. Terapi latihan fisik: pengendalian otot
Rasional: menggunakan aktivitas tertentu atau protokol
latihan yang sesuai untuk meningkatkan atau
mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali.
f. Pengaturan posisi:
Rasional: mengatur posisi pasien atau bagian tubuh
pasien secara hati-hati untuk meningkatkan
kesejaraheraan fisiologis dan psikologis.
g. Pengaturan posisi: kursi roda:
Rasional: mengatur posisi pasien dengan benar di kursi
roda pilihan untuk mencapai rasa nyaman, meningkatkan
integritas kulit, dan menumbuhkan kemandirian pasien
h. Bantuan perawatan - diri: berpindah:
Rasional: membantu individu untuk mengubah posisi
tubuhnya.
2.3.8.4 Edukasi
Ajarkan keluarga teknik mobilisasi
Rasional: Melibatkan peran keluarga untuk meningkatkan
mobilisasi pasien
2.3.8.5 Kolaborasi
Kolaborasi dengan fisioterapi untuk program latihan.
Rasional: Mempercepat proses penyembuhan.

Diagnosa 5: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


(00002)

2.3.9 Tujuan dan kriteria hasil


Tujuan dan Kriteria Hasil (outcomes criteria)
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil : tidak adanya tanda tanda kekurangan nutrisi, nafsu
makan membaik.

2.3.10 Intervensi keperawatan dan rasional

32
a. Kaji keluhan mual, muntah, dan sakit menelan yang dialami
klien.
Rasional: Untuk menetapkan cara mengatasinya.
b. Kaji cara/pola menghidangkan makanan klien.
Rasional: Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi
nafsu makan klien.
c. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur dan
dihidangkan saat masih hangat.
Rasional: Membantu mengurangi kelelahan klien dan
meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.
d. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional: Untuk menghindari mual dan muntah serta rasa jenuh
karena makanan dalam porsi banyak.
e. Jelaskan manfaat nutrisi bgi klien terutama saat sakit.
Rasional: UntukMeningkatkan pengetahan klien tentang nutrisi
sehingga motivasi untuk makan meningkat.
f. Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien.
Rasional: Mengetahui pemasukan/pemenuhan nutrisi klien.

Diagnosa 6: Konstipasi (00011)

2.3.11 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC


a. Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-
5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak
mengalami gangguan):
1) Pola eliminasi (dalam rentang yang diharapkan
2) Feses lunak dan berbentuk
3) Mengeluarkan feses tanpa bantuan
b. Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-
5, sangat berat ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada):
1) Darah di dalam feses
2) Nyeri saat defekasi
2.3.12 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC
a. Manajemen defekasi
Rasional: membentuk dan mempertahankan pola eliminasi
defekasi yang teratur.

33
b. Manajemen konstipasi/impaksi
Raional: Mencegah dan mengatasi konstipasi/impaksi.
c. Manajemen cairan
Rasional: meningkatkan keseimbangan cairan dan mencegah
komplikasi akibat kadar cairan yang tidak normal atau tidak
diinginkan.
d. Manajemen cairan/elektrolit
Raional: mengatur dan mencegah komplikasi akibat perubahan
kadar cairan dan/atau elektrolit.

Diagnosa 7: Ansietas (00146)

2.3.13 Tujuan dan Kriteria hasil berdasarkan NOC


Setelah dilakukan intervensi, diharapkan ansietas berkurang,
dibuktikan oleh tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang, dan
selalu menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas,
konsentrasi, dan koping. (NANDA, 2012).
Kriteria hasil :
Pasien tidak ansietas lagi
Pasien mampu mengintrol ansietas
2.3.14 Intervensi keperwatan dan rasional: NIC
2.3.14.1 Pengkajian
Kaji tingkat ansietas
Rasional: tingkat ansietas yang digunakan yaitu tidak
ansietas, ansietas ringan, ansietas sedang, ansietas berat,
dan panik untuk mengetahui tingkatan ansietas yang
dialami.
2.3.14.2 Observasi
Observasi tanda dan gejalan ansietas
Rasional: tanda gejala diketahui dapat digunakan untuk
mengkaji tingkat ansietas.
2.3.14.3 Mandiri
a. Bimbingan antisipasi
Rasional: mempersiapkan pasien menghadapi
kemungkinan kritis perkembangan dan situasi
b. Menurunkan ansietas klien

34
Rasional : meminimalkan kekhawatiran, ketakutan,
prasanka, atau perasaan tidak tenang yang berhubungan
dengan sumber bahaya yang diantisipasi dan tidak jelas.
c. Teknik menenangkan diri
Rasional : Meredakan kecemasan pada pasien yang
mengalami distres akut.
d. Menigkatkan koping
Rasional: Membantu pasien untuk beradaptasi dengan
persepsi stresor, perubahan, atau ancaman yang
menghambat pemenuhan tuntutan perat hidup
e. Dukungan emosi
Rasional: Memberikan penenangan, penerimaan,
bantuan atau dukungan selama masa stress
2.3.14.4 Edukasi
Ajarkan pasien dan keluarga untuk melakukan teknik
relaksasi
Rasional: Teknik relaksasi dengan napas dalam untuk
mengurangi ansietas.
2.3.14.5 Kolaborasi
Kolaborasi dengan psikolog
Rasional: sarana untuk mengurangi ansietas dengan terapi
bicara.

35
III. Daftar Pustaka

Huda, A. N., & Kusuma, H. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis. Yogyakarta:


Mediaction.

Maryunani, Anik. 2010. Imu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta :


TIM.

NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi


2015-2017, Ed.10. Jakarta: EGC.

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit, ed 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, suzannec. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, ed.8, vol.1. Jakarta: EGC.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, ed.4. Jakarta:


EGC

36
Pelaihari, Januari 2017
Preseptor akademik, Preseptor klinik,

(.........................................................) (..........................................................)

37

Anda mungkin juga menyukai