Laporan Pendahuluan Polio Pada Anak
Laporan Pendahuluan Polio Pada Anak
POLIOMITIS
1
yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke
berbagai syaraf yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf
trigeminal dan saraf muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air
mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran;
saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan berbagai
fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang
mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang
mengatur pergerakan leher. Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar
dapat menyebabkan kematian. Lima hingga sepuluh persen penderita
yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot pernapasan
mereka tidak dapat bekerja. Kematian biasanya terjadi setelah terjadi
kerusakan pada saraf kranial yang bertugas mengirim perintah
bernapas ke paru-paru.
a. Brunhilde
b. Lansing
c. Leon
Dapat hidup berbulan-bulan di dalam air, mati dengan pengeringan
/oksidan. Masa inkubasi : 7-10-35 hari.
Klasifikasi virus:
2
a. Golongan : Golongan IV ( (+) ssRNA )
b. Familia : Picornaviridae
c. Genus : Enterovirus
d. Spesies : Polioviru
3
1.3.4 Poliomielitis paralitik
Gejala sama pada poliomyelitis non paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis
akut pada bayi ditemukan paralysis fesika urinaria dan antonia usus.
Adapun bentuk-bentuk gejalanya antara lain :
a. Bentuk spinal: Gejala kelemahan/paralysis atau paresis otot
leher, abdomen, tubuh, diafragma, thorak dan terbanyak
ekstremitas.
b. Bentuk bulbar: Gangguan motorik satu atau lebih syaraf otak
dengan atau tanpa gangguan pusat vital yakni pernapasan dan
sirkulasi.
c. Bentuk bulbospinal: Didapatkan gejala campuran antara bentuk
spinal dan bentuk bulbar.
d. Bentuk ensefalitik: Dapat disertai dengan gejala delirium,
kesadaran menurun, tremor dan kadang- kadang kejang.
1.4 Patofisiologi
Virus biasanya memasuki tubuh melalui rongga orofaring dan berkembang
biak dalam traktus digestivus,kelenjar getah bening regional dan system
retikuloendoteal dalam keadaan ini timbul :
a. Perkembangan virus sehingga tubuh akan membentuk antibody
spesifik.
b. Apabila zat antibody dalam tubuh mencukupi dan cepat maka virus
akan dinetralisasi sehingga hanya timbul gejala klinik yang ringan atau
tidak timbul gejala sama sekali sehingga tubuh timbul imunitas
terhadap virus tersebut.
c. Dan apabila proliferasi virus lebih cepat dari pembentukan zat antibody
tersebut maka akan timbul gejala klinik atau viremia kemudian virus
akan terdapat dalam faeses penderita dalam beberapa minggu lamanya.
Pada umumnya virus yang tertelan akan menginfeksi di epitel
orofaring,tonsil,kelenjar limfe pada leher dan usus kecil/halus. Faring akan
segera terkena setelah virus masuk dan karena virus tahan terhadap asam
lambung maka virus dapat mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa
perlu proses in aktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi virus akan
menyebar pada jaringan limfe tonsil yang berlanjut pada aliran limfe dan
4
pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring setelah 24 jam
sampai 3-4 minggu. Infeksi susunan saraf pusat dapat terjadi akibat viremia
yang menyusul replikasi cepat virus ini. Virus polio menempel dan
berkembang biak pada sel usus yang mengandung PVR ( PolioVirus
Reseptor) dalam waktu sekitar 3 jam setelah infeksi telah terjadi kolonisasi.
Sel yang menganduk PVR tidak hanya di usus dan tenggorok saja akan
tetapi terdapat di sel monosit dan sel neuro motor di SSP, sekali terjadi
perkaitan antara virion dan replikator akan terjadi integrasi RNA ke dalam
virion berjalan cepat sehingga dari infeksi sampai pelepasan virion baru
hanya memerlukan waktu 4-5 jam. Sedang virus yang bereplikasi secara
local kemudian menyebar pada monosit dan kelenjar limfe yang terkait.
Perlekatan dan penetrasi virus dapat dihambat oleh secretory IgA lokal,
kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat langsung dari
multiplikasi virus di jaringan saraf,itu merupakan gejala yang
patognomonik namun tidak semua saraf yang terkena akan mati keadaan
reversibillitas fungsi sebagian disebabkan karena sprouting dan seolah
kembali seperti sediakala dalam waktu 3 4 minggu setelah onset.
Terdapat kelainan perivaskular dan infiltrasi interstisiel sel glia, secara
histology pada umumnya kerusakan saraf yang terjadi luas namun tidak
sejalan dengan gejala klinisnya.
Lesi saraf pada kasus poliomyelitis dapat ditemukan pada ;
a. Medula spinalis terutam didaerah kornu anterior,sedikit didaerah kornu
intermediet & dorsal serta di ganglia radiks dorsalis.
b. Medulla oblongata (nuclei vestibularis,nuclei saraf cranial dan
formation retikularis yang merupakan pusat-pusat vital).
c. Serebelum (hanya di nuclei bagian atas dan vermis)
d. Otak tengah/mid brain terutama pada massa kelabu,substansia nigra
kadang-kadang substansia rubra.
e. Thalamus dan hipotalamus
f. Palidum
g. Korteks serebri bagian motorik.
Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada system
retikuloendoteal terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor
neuron karena virus bersifat sangat neuronotropik,tetapi tidak menyerang
neuroglia,myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada
5
sekitar sel yang terinfeksi dehingga kerusakan sel makin luas. Kerusakan
pada sumsum tulang belakang terutama pada anterior horn cell/kornu
anterior,pada otak kerusakan terutama terjadi pada sel motor neuron
formasi dari pons dan medulla,nuclei vestibules,serebelum sedang lesi pada
kortex hanya merusak daerah motor dan premotor saja. Pada jenis bulbar
lesi terutama mengenai medulla yang berisi nuklai motor dari saraf otak,
replikasi pada sel motor neuron di SSP yang akan menyebabkan kerusakan
permanen.
6
1.6 Komplikasi
a. Hiperkalsuria
b. Melena
c. Pelebaran lambung akut
d. Hipertensi ringan
e. Pneumonia
f. Ulkus dekubitus dan emboli paru
g. Psikosis
h. Deformitas otot berakibat kipo skoliosis
i. Koma
1.7 Penatalaksanaan
1.7.1 Pencegahan
1.7.1.1 Imunisasi
a. Pengertian Imunisasi Polio
Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk
menimbulkan kekebalan terhadap penyakit
poliomielitis yaitu penyakit radang yang menyerang
syaraf dan dapat mengakibatkan lumpuh kaki (Anik
Maryunani, 2010).
b. Jadwal Pemberian
Imunisasi polio diberikan sebanyak empat kali dengan
selang waktu tidak kurang dari satu bulan. Saat lahir
(0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan.
Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali
saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi
dengan vaksin DPT.
c. Cara Pemberian
Cara pemberian imunisasi polio bisa lewat suntikan
(Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat
mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di Indonesia
yang digunakan adalah OPV, karena lebih aman. OPV
diberikan dengan meneteskan vaksin polio sebanyak
dua tetes langsung kedalam mulut anak atau dengan
menggunakan sendok yang dicampur dengan gula
7
manis. Imunisasi polio diberikan 4 x dengan jarak
minimal 4 minggu.
e. Efek Samping
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang
mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot.
f. Tingkat Kekebalan
Dapat mencapail hingga 90%. Pemberian imunisasi
polio untuk memutus rantai penularan virus polio.
g. Kontra Indikasi
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita
penyakit akut atau demam tinggi (diatas 380C),
muntah atau diare, penyakit kanker atau keganasan,
HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan radiasi
umum, serta anak dengan mekanisme kekebalan
terganggu.
h. Vaksin Polio
1) Inactived Poliomyelitis Vaccine (IPV)
IPV dihasilkan dengan cara membiakkan virus
dalam media pembiakkan, kemudian dibuat tidak
aktif (inactivated) dengan pemanasan atau bahan
kimia. Karena IPV tidak hidup dan tidak dapat
replikasi maka vaksin ini tidak dapat
menyebabkan penyakit polio walaupun diberikan
pada anak dengan daya tahan tubuh yang lemah.
Vaksin yang dibuat oleh Aventis Pasteur ini berisi
tipe 1, 2, dan 3 dibiakkan pada sel-sel VERO
ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan
formadehid. Selain itu dalam jumlah sedikit
terdapat neomisin, streptomisin dan polimiksin.
IPV harus disimpan pada suhu 2 8 C dan tidak
boleh dibekukan. Pemberian vaksin tersebut
dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5
ml diberikan dalam 4 kali berturut-turut dalam
jarak 2 bulan.
2) Oral Polio Vaccine (OPV)
8
Vaksin OPV pemberiannya dengan cara
meneteskan cairan melalui mulut. Vaksin ini
terbuat dari virus liar (wild) hidup yang
dilemahkan. Komposisi vaksin tersebut terdiri dari
virus Polio tipe 1, 2, dan 3 adalah suku Sabin yang
masih hidup tetapi sudah dilemahkan (attenuated).
Vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal
kera dan distabilkan dalam sucrosa. Tiap dosis
sebanyak 2 tetes mengandung virus tipe 1, tipe 2,
dan tipe 3 serta antibiotika eritromisin tidak lebih
dari 2 mcg dan kanamisin tidak lebih dari 10 mcg.
Virus dalam vaksin ini setelah diberikan 2 tetes
akan menempatkan diri di usus dan memacu
pembentukan antibodi baik dalam darah maupun
dalam dinding luar lapisan usus yang
mengakibatkan pertahan lokal terhadap virus
polio liar yang akan masuk. Pemberian air susu
ibu tidak berpengaruh pada respon antibodi
terhadap OPV dan imunisasi tidak boleh ditunda
karena hal ini. Setelah diberikan dosis pertama
dapat terlindungi secara cepat, sedangkan pada
dosis berikutnya akan memberikan perlindungan
jangka panjang. Vaksin ini diberikan pada bayi
baru lahir 2, 4, 6, 18 bulan, dan 5 tahun.
Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus
polio adalah anak mendadak lumpuh pada salah
satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5
hari. Terdapat 2 jenis vaksin yang beredar dan di
Indonesia yang umum diberikan adalah vaksin
sabin (kuman yang dilemahkan). Cara
pemberiannya melalui mulut. Dibeberapa negara
dikenal pula tetravaccine yaitu kombinasi DPT
dan polio. Imunisasi dasar diberikan sejak anak
baru lahir atau berumur beberapa hari atau
selanjutnya diberikan setiap 4-6 minggu.
9
Pemberian vaksin polio dapat dilakukan
bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan
DPT. Imunisasi ulang diberikan bersamaan
dengan imunisasi ulang DPT, pmberian imunisasi
polio dapat menimbulkan kekebalan aktif
terhadap penyakit poliomyelitis. Imunisasi polio.
Imunisasi ulang dapat diberikan sebelum anak
masuk sekolah (5-6 tahun) dan saat meninggalkan
sekolah dasar (12 thun). Cara memberikan
imunisasi polio adalah dengan meneteskan vaksin
polio sebanyak dua tetes langsung ke dalam mulut
anak. Imunisasi ini jangan diberika pada anak
yang sedang diare berat, efek samping yang
terjadi sangat minimal dapat berupa kejang.
1.7.1.2 Pencegahan yang amat penting dengan perbaikan sanitasi,
setiap keluarga harus memiliki sarana air bersih, sarana
sanitasi seperti jamban, pembuangan air limbah rumah
tangga, pembuangan sampah yang tertib. Dengan
mewujudkan rumah sehat dan lingkungan yang sehat
maka akan dapat mencegah penyakit berbasis lingkungan
termasuk polio.
1.7.2 Medis
Tidak ada pengobatan yang spesifik , penanganaan dilakukan secara
simtomatis dan suportif.pengobatan yang di lakukan secara umum
dalam mencegah penyakit tersebut yaitu:
a. Istrahat
b. Antipiretik (dosisnya 15-20 mg)
c. Analgesik (dosisnya 15-20 mg)
Diberikan secara oral
1.7.2.1 Poliomielitis abortif
Pengobatannya:
a. Cukup di berikan analgetika dan sedatifa
b. Diet adekuat
c. Istrahat sampai suhu tubuh normal
10
1.7.2.2 Poliomielitis non paralitik
Pengobatannya:
a. Sama seperti pada tipe abortif
b. Selain di beri analgetik dan sedatif dapat di kombinasi
dengan kompres hangat selama 15-30 menit, setiap 2-4
jam.
1.7.2.3 Poliomielitis parilitik
Pengobatannya:
a. Membutuhkan perawatan di rumah sakit
b. Istrahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai
fase akut di lampaui
c. Selama fase akut kebersihan mulut di jaga
d. Fisioterapi di lakukan sedini mungkin sesudah fase
akut mulai dengan latihan pasif dengan maksud untuk
mencegah terjadinya deformitas
1.7.2.4 Poliomielitis bulbar
Pengobatannya:
a. Memerlukan inkubasi endotrakea
b. Menjaga saluran nafas
c. Menghindari aspirasi sekret yang tidak dapat di telan.
1.7.3 Keperawatan
Penatalaksanaan untuk mencegah penularan klien perlu dirawat di
kamar isolasi dengan perangkat lengkap kamar isolasi dan
memerlukan pengawasan yang teliti. Mengingat bahwa virus polio
juga terdapat pada feses Klien maka bila membuang feses harus
betul-betul ke dalam lobang WC dan disiram air sebanyak mungkin.
Kebersihan WC/sekitarnya harus diperhatikan dan dibersihkan
dengan desinfektan. Masalah Klien yang perlu diperhatikan bahaya
terjadi kelumpuhan, gangguan psikososial, dan kurangnya
pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
Menganjurkan klien tidur selama 2 minggu/lebih bergantung pada
jenis penyakit bentuk polio. Karena Klien merasakan sakit pada otot
yang sarafnya terkena maka Klien tidak mau bergerak sendiri. Oleh
karena itu Klien ditolong di atas tempat tidur dengan hati-hati
misalnya mau memasang pot, atau bila akan mengubah posisi
11
angkatlah dahulu kaki/anggota yang sakit dan orang lain
memasangkan pot atau membereskan alat tenun.
1.8 Pathway
Poli virus PV
(Genus Enterovirus dan family Picorna viridae)
Virus menular melalui kotoran (feses) atau sekret tenggorokan orang yang terinfeksi
Nyeri
Virus menyerang sistem saraf pusat akut Proses peradangan
Ketidakefektifan Ketidakseimbangan
Hambatan mobilitas fisik
bersihan jalan napas nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
12
II. Rencana Asuhan Keperawatan
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas
13
- Mintalah anak berjalan pada ujung jari atau tumit.
Anak yang mengalamikelumpuhan tidak bisa
melakukannya.
- Mintalah anak meloncat pada satu kaki. Anak yang
lumpuh tak bisa melakukannya.Mintalah anak
berjongkok atau duduk di lantai kemudian bangun
kembali. Anak yang mengalami kelumpuhan akan
mencoba berdiri dengan berpegangan merambat pada
tungkainya.
- Tungkai yang mengalami lumpuh pasti lebih kecil.
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
2.1.3.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Viral isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari
bahan yang di peroleh pada tenggorokan satu minggu
sebelum dan sesudah paralisis dan tinja pada minggu
ke 2-6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
b. Uji serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel
darah dari penderita, jika pada darah ditemukan zat
antibodi polio maka diagnosis orang tersebut terkena
polio benar. Pemeriksaan pada fase akut dapat
dilakukan dengan melakukan pemeriksaan antibodi
immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan
didapatkan hasil yang positif.
c. Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat
peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200
sel/mm3 terutama sel limfosit, dan terjadi kenaikan
kadar protein sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul,2004).
2.1.3.2 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini hanya menunjang diagnosis poliomielitis
lanjut. Pada anak yang sedang tumbuh, di dapati tulang
yang pendek, osteoporosis dengan korteks yang tipis dan
14
rongga medulla yang relative lebar, selain itu terdapat
penipisan epifise, subluksasio dan dislokasi dari sendi.
15
e. Takikardi
f. Takipnea
2.2.6 Faktor yang berhubungan
a. Dehidrasi
b. Penyakit atau trauma
c. Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk
berkeringat
d. Pakaian yang tidak tepat
e. Peningkatan laju metabolisme
f. Obat atau anestesi
g. Terpajan pada lingkungan yang panas (jangka panjang)
h. Aktifitas yang berlebihan.
16
g. Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri
(mis., skala Wong-Baker FACES skala analog visual, skala
penilaian numerik).
h. Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan
standar instrumen nyeri (mis., McGill Paint Questionnaire, Brief
Paint Infentory).
i. Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktifitas (mis.,
anggota keluarga, pemberi asuhan).
j. Mengekspresikan perilaku (mis., gelisa, merengek, menangis,
waspada).
k. Perilaku distraksi.
l. Perubahan pada parameter fisiologis (mis., tekanan darah,
frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen,
end/tidal karbondioksida (C02)
m. Perubahan sisi untuk menghindari nyeri
n. Perubahan selera makan
o. Purtus asa
p. Sikap melindungi area nyeri
q. Sikap tubuh melindungi
2.2.9 Faktor yang berhubungan
a. Agens cedera biologis (mis., infeksi, iskemia, neoplasma)
b. Agens cedera fisik (mis., apses, amputasi, luka bakar, terpotong,
mengangkat berat, konsedur bedah, trauma, olaragah
berlebihan)
c. Agens cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen
klorida, agen mustard).
17
Tingkat 3 : Membutuhkan orang lain dan alat bantu peralatan atau
alat bantu
Tingkat 4 : ketergantungan, tidak berpartisipasi alam aktivitas
2.2.11 Batasan Karakteristik
a. Penurunan waktu reaksi
b. Kesulitan membolak-balik posisi
c. Asyik dengan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan
(misalnya, peningkatan perhatian terhadap aktivitas orang lain,
perilaku mengendalikan berfokus pada kondisi sebelum sakit
atau ketunadayaan aktivitas).
d. Dipsnea saat beraktivitas
e. Perubahan cara berjalan
f. Pergerakan menyentak
g. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan
motorik halus
h. Keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik
halus
i. Keterbatasan rentang pergerakan sendi
j. Tremor yang diinduksi oleh pergerakan
k. Melambatnya pergerakan
l. Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi
2.2.12 Faktor yang berhubungan
a. Perubahan metabolisme sel
b. IMT di atas persentil ke-75 sesuai usia
c. Gangguan kognitif
d. Kepercayaan budaya terkait aktivitas sesuai dengan usia
e. Penurunan kekuatan, kendali, atau massa otot
f. Keadaan alam perasaan depresi atau ansietas
g. Keterlambatan perkembangan
h. Ketidaknyamanan
i. Intoleransi aktivitas dan penurunan kekuatan dan ketahanan
j. Kaku sendi atau kontraktur
k. Difisiensi pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik
l. Kurang dukungan lingkungan fisik atau sosial
m. Keterbatasan ketahanan kardiovaskular
18
n. Hilangnya integritas struktur tulang
o. Medikasi
p. Gangguan muskuloskeletal
q. Gangguan neuromuskular
r. Nyeri
s. Program pembatasan pergerakan
t. Keengganan untuk memulai pergerakan
u. Gaya hidup yang kurang gerak atau disuse atau melemah
v. Malnutrisi
w. Gangguan sensori persepsi
2.2.13 Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik.
2.2.14 Batasan karakteristik
a. Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang berat badan ideal
b. Bisisng usus hiperaktif
c. Cepat kenyang setelah makan
d. Diare
e. Gangguan sensasi rasa
f. Kehilangan rambut berlebihan
g. Kelemahan otot mengunyah
h. Kelemahan otot untuk menelan
i. Kerapuhan kapiler
j. Kesalahan informasi
k. Kesalahan persepsi
l. Ketidakmampuan memakan makanan
m. Kram abdomen
n. Kurang informasi
o. Kurang minat pada makanan
p. Membran mukosa pucat
q. Nyeri abdomen
r. Peurunan berat badan dengan asupan makanan adekuat
s. Sariawan rongga mulut
19
t. Tonus otot menurun.
2.2.15 Faktor yang berhubungan
a. Faktor biologis
b. Faktor ekonomi
c. Gangguan psikososial
d. Ketidakmampuan makan
e. Ketidakmampuan mencerna makanan
f. Ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien
g. Kurang asupan makanan
2.2.16 Definisi
Konstipasi merupakan penurunan frekuensi normal defekasi yang
disertai pengeluaran feses yang sulit atau tidak lampias atau
pengeluaran feses yang sangat keras dan kering.
2.2.17 Batasan karakteristik
a. Subjektif
1) Nyeri abdomen
2) Nyeri tekan pada abdomen dengan atau tanpa resistansi otot
yang dapat di palpasi
3) Anoreksia
4) Perasaan penuh atau tekanan pada rektum
5) Kelelahan umum
6) Sakit kepala
7) Peningkatan tekanan abdomen
8) Indigesti
9) Mual
10) Nyeri saat defekasi
b. Objektif
1) Tampilan atipikal pada lansia (misalnya, perubahan stataus
mental, inkontinensia urine, jatuh tanpa sebab jelas, dan
peningkatan suhu)
2) Darah merah segar menyertai pengeluaran feses
3) Perubahan pola suara abdomen (borborigmi)
4) Perubahan pola pada defekasi
20
5) Perubahan frekuensi
6) Penurunan volume feses
7) Distensi abdomen
8) Feses yang kering, keras, dan padat.
9) Bising usus hipoaktif atau hiperaktif
10) Pengeluaran feses cair
11) Massa abdomen dapat dipalpasi
12) Massa rektal dapat dipalpasi
13) Bunyi pekak pada perkusi abdomen
14) Adanya feses, seperti pasta direktum
15) Flatus berat
16) Mengejan saat defekasi
17) Tidak mampu mengeluarkan feses
18) Muntah
2.2.18 Faktor yang berhubungan
a. Fungsional
1) Kelemahan otot abdomen
2) Kebiasaan menyangkal dan mengabaikan desakan untuk
defekasi
3) Eliminasi ataudefekasi yang tidak adekuat (misalnya tepat
waktu, posisi saat defekasi, dan privasi)
4) Aktifitas fisik yang tidak memadai
5) Kebiasaan defekasi yang tidak teratur
6) Perubahan lingkungan baru-baru ini
b. Psikologis
1) Depresi
2) Stress emosi
3) Konfusi mental
c. Farmakologis
1) Antasida yang mengandung alumunium
2) Antikolinergis
3) Antikonvulsan
4) Antidepresan
5) Agens antilipemik
6) Garam bismuth
21
7) Kalsium karbonat
8) Penyekat saluran kalsium
9) Diuretik
10) Garam besi
11) Overdosis laksatif
12) Agens anti-inflamasi nonstreroid
13) Opiat
14) Fenotiazid
15) Sedatif
16) Simpatomimetik
d. Mekanis
1) Ketidakseimbangan elektrolit
2) Hemoroid
3) Megakolon (penyakit Horschsprung
4) Kerusakan neurologis
5) Obesitas
6) Obstruksi pascabedahan
7) Kehanilan
8) Pembesaran prostat
9) Abses atau ulkus paa rektum
10) Fisura anal rektum
11) Striktur anal rektum
12) Prolaps rektum
13) Rektokel
14) Tumor
2.2.19 Definisi
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai
respons autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak
diketahui oleh individu), perasaan takut yang disebabkan oleh
antisipasi terhadap bahaya. Perasaan ini merupakan isyarat
kewaspadaan yang memperingatkan bahaya yang akan terjadi dan
memampukan individu melakukan tindakan untuk menghadapi
ancaman.
22
2.2.20 Batasan karakteristik
2.2.20.1 Perilaku
a. Penurunan produktivitas e. Memandang
b. Mengeskspresikan sekilas
kekhawatiran f. Insomnia
c. Gerakan yang tidak relevan g. Kontak mata
d. Gelisah buruk
h. Resah
i. Menyelidiki dan
tidak waspada
2.2.20.2 Afektif
a. Gelisah i. Gugup
b. Kesedihan yang j. Gembira berlebihan
mendalam k. Nyeri dan peningkatan
c. Distris ketidakbedayaan yang
persisten
d. Ketakutan l. Marah
e. Perasaan tidak adekuat m. Perasaan takut
f. Fokus pada diri sendiri n. Ketidakpastian
g. Peningkatan o. khawatir
kekhawatiran
h. Iritabilitas
2.2.20.3 Fisiologis
a. Wajah tegang e. Terguncang
b. Insomnia f. Gemetar atau tremor
c. Peningkatan keringat di tangan
d. Peningkatan g. Suara bergetar
ketegangan
2.2.20.4 Parasimpatis
a. Nyeri abdomen g. Mual
b. Penurunan tekanan h. Gangguan tidur
darah i. Kesemutan pada
c. Penurunan nadi ekstrimitas
d. Diare j. Sering berkemih
e. Pingsan k. Urgensi
23
f. Keletihan
2.2.20.5 Simpatis
a. Anoreksia h. Peningkatan nadi
b. Eksitasi kardiovaskular i. Peningkatan refleks
c. Diare j. Peningkatan
d. Mulut kering pernafasan
e. Wajah kemerahan k. Dilatasi pupil
f. Jantung berdebar-debar l. Kesulitan bernapas
g. Peningkatan tekanan m. Vasokontriksi
darah superfisial
n. Kedutan otot
o. kelemahan
2.2.20.6 Kognitif
a. Keadaan terhadap gejala- i. Takut terhadap
gejala fisiologis konsekuensi yang
b. Blocking pikiran tidak spesifik
c. Konfusi j. Fokus pada diri
d. Penurunan lapang sendiri
pandang k. Mudah lupa
e. Kesulitan untuk l. Gangguan perhatian
berkonsentrasi m. Tenggelam dalam
f. Keterbatasan kemampuan dunia sendiri
untuk menyelesaikan n. Melamun
masalasah o. Kecenderungan
g. Keterbatasan kemampuan untuk menyalahkan
untuk belajar orang lain
h. Mengekspresikan
kekhawatiran akibat
perubahan dalam
peristiwa hidup
24
c. Transmisi dan penularan interpersonal
d. Krisis situasi dan maturasi
e. Stres
f. Penyalahgunaan zat
g. Ancaman kematian
h. Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran,
lingkungan, status kesehatan, staus ekonomi, atau pola interaksi
i. Ancaman terhadap konsep diri
j. Komflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup yang
esensial.
k. Kebutuhan yang tidak terpenuhi
(NANDA, 2012).
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : Diagnosa 1: Ketidakefektifan bersihan jalan napas (00031)
2.3.15 Tujuan dan kriteria hasil
a. Menunjukkan bersihan
Jalan napas yang efektif yang dibuktikan oleh, pencegahan
aspirasi, status pernapasan: ventilasi tidak terganggu dan status
pernapasan: kepatenan jalan napas.
b. Menunjukkan status pernapasan: kepatenan jalan napas, yang
dibuktikan oleh indicator sebagai berikut:
1. gangguan eksterm
2. berat
3. sedang
4. ringan
5. tidak ada gangguan
Indikator 1 2 3 4 5
Kemudahan bernapas
Frekuensi dan irama pernapasan
Pergerakan sputum keluar dari jalan
napas
Pergerakan sumbatan keluar dari jalan
napas
25
Pasien akan:
batuk efektif
mengeluarkan secret secara efektif
mempunyai jalan napas yang paten
pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang
jernih
mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang
normal
mempunyai fungsi paru dalam batas normal
mampu mendeskripsikan rencana untuk perawatan dirumah.
26
2.3.2.2 Airway Management
a. Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi,
wheezing.
Rasional: Adanya bunyi ronchi menandakan
terdapat penumpukan sekret atau sekret berlebih
di jalan nafas.
b. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi
dispnea.
Rasional: posisi memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya pernapasan. Ventilasi
maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan sekret ke jalan nafas besar
untuk dikeluarkan.
c. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan
penghisapan sesuai keperluan.
Rasional: Mencegah obstruksi atau aspirasi.
Penghisapan dapat diperlukan bia klien tak
mampu mengeluarkan sekret sendiri.
d. Anjurkan asupan cairan adekuat
Rasional: Mengoptimalkan keseimbangan cairan
dan membantu mengencerkan sekret sehingga
mudah dikeluarkan.
e. Ajarkan batuk efektif
Rasional: Fisioterapi dada/ back massage dapat
membantu menjatuhkan secret yang ada dijalan
nafas.
f. Kolaborasi pemberian oksigen
Rasional: Meringankan kerja paru untuk
memenuhi kebutuhan oksigen serta memenuhi
kebutuhan oksigen dalam tubuh.
g. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai
indikasi.
Rasional: Broncodilator meningkatkan ukuran
lumen percabangan trakeobronkial sehingga
menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
27
Diagnosa 2: Hipertermi (00007)
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria):
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama . Maka suhu
tubuh klien mulai normal dengan kriteria hasil :
a. Warna kulit normal
b. Suhu tubuh normal seperti semula
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional
a. Kaji penyebab hipertermi
Rasional: hipertermi merupakan salah satu gejala/kompensasi
tubuh terhadap adanya infeksi baik secara local maupun secara
sistemik. Hal ini perlu diketahui sebagai dasar dalam rencana
intervensi.
b. Regulasi suhu
Rasional: mencapai atau mempertahankan suhu tubuh dalam
rentang normal.
c. Terapi demam beri komper hangat pada dahi atau axilla
Rasional: penatalaksanaan pasien yang mengalami
hiperpireksia akibat factor selain lingkungan, daerah dahi atau
axilla merupakan jaringan tipis dan terdapat pembuluh darah
sehingga proses vasodilatasi pembuluh darah lebih cepat
sehingga pergerakan molekul cepat.
d Anjurkan ibu untuk memakaikan pakaian tipis dan yang dapat
menyerap keringat
Rasional: pakaian yang tipis dapat membantu mempercepat
proses evaporasi
e. Beri minum sering tapi sedikit
Rasional: untuk mengganti cairan yang hilang selama proses
evaporasi.
f. Kolaborasi dalam pemberian obat antipiretik
Rasional: obat antipiretik bekerja sebagai pengatur kembali pusat
pengatur panas.
28
Diagnosa 3 : Nyeri akut (00132)
2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil
Setelah diberikan asuhan keperawatan asuhan keperawatan selama
x 2 jam, nyeri yang dirasakan klien berkurang dengan criteria
hasil :
NOC label : Pain Control
Pain Level
29
Rasional: Untuk mengurangi factor yang dapat memperburuk
nyeri yang dirasakan klien.
f. Lakukan evaluasi dengan klien dan tim kesehatan lain tentang
ukuran pengontrolan nyeri yang telah dilakukan.
Rasional: untuk mengetahui apakah terjadi pengurangan rasa
nyeri atau nyeri yang dirasakan klien bertambah.
g. Berikan informasi tentang nyeri termasuk penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan hilang, antisipasi terhadap
ketidaknyamanan dari prosedur.
Rasional: Pemberian health education dapat mengurangi
tingkat kecemasan dan membantu klien dalam membentuk
mekanisme koping terhadap rasa nyeri.
h. Control lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
ketidaknyamanan klien (suhu ruangan, cahaya dan suara).
Rasional: Untuk mengurangi tingkat ketidaknyamanan yang
dirasakan klien.
i. Hilangkan faktor presipitasi yang dapat meningkatkan
pengalaman nyeri klien (ketakutan, kurang pengetahuan).
Rasional: Agar nyeri yang dirasakan klien tidak bertambah.
j. Ajarkan cara penggunaan terapi non farmakologi (distraksi,
guide imagery, relaksasi).
Rasional: Agar klien mampu menggunakan teknik
nonfarmakologi dalam memanagement nyeri yang dirasakan.
k. Kolaborasi pemberian analgesic
Rasional: Pemberian analgetik dapat mengurangi rasa nyeri
pasien.
30
d. Pergerakan sendi dan otot
e. Berjalan
f. Bergerak dengan mudah
2.3.8 Intervensi keperawatan dan rasional (berdasarkan NIC)
2.3.8.1 Pengkajian
a. Kaji tanda dan gejala hambatan mobilitas fisik
Rasional: mengobservasi penyebab hambatan mobilitas
dari tanda dan gejala untuk menentukan tindakan
lanjutan.
b. Kaji skala kekuatan otot
Rasional: menggunakan skala kekuatan otot 0-5 untuk
menentukan kemampuan bermobilisasi berdasarkan hasil
skala kekuatan otot.
c. Kaji skala aktivitas
Rasional: menggunakan skala aktivitas 0-4 untuk
menentukan tingkat kemandirian.
2.3.8.2 Observasi
Observasi tingkat kemampuan ROM aktif pasien
Rasional: ROM aktif dapat membantu dalam
mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan kelenturan
otot dan mencegah kekakuan sendi.
2.3.8.3 Mandiri
a. Terapi latihan fisik: latihan kekuatan
Rasional: memfasilitasi pelatihan otot resistif secara rutin
untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot.
b. Terapi latihan fisik: ambulasi
Rasional: meningkatkan dan membantu dalam perjalanan
untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi
tubuh autonom dan volunter selama pengobatan dan
pemulihan dari kondisi sakit atau cedera.
c. Terapi latihan fisik: keseimbangan:
Rasional: menggunakan aktivitas, postur, dan gerakan
tertentu untuk mempertahankan, meningkatkan, atau
memulihkan keseimbangan.
d. Terapi latihan fisik: mobilitas sendi:
31
Rasional: menggunakan gerakan tubuh aktif dan pasif
untuk mempertahankan atau mengembalikan fleksibilitas
sendi
e. Terapi latihan fisik: pengendalian otot
Rasional: menggunakan aktivitas tertentu atau protokol
latihan yang sesuai untuk meningkatkan atau
mengembalikan gerakan tubuh yang terkendali.
f. Pengaturan posisi:
Rasional: mengatur posisi pasien atau bagian tubuh
pasien secara hati-hati untuk meningkatkan
kesejaraheraan fisiologis dan psikologis.
g. Pengaturan posisi: kursi roda:
Rasional: mengatur posisi pasien dengan benar di kursi
roda pilihan untuk mencapai rasa nyaman, meningkatkan
integritas kulit, dan menumbuhkan kemandirian pasien
h. Bantuan perawatan - diri: berpindah:
Rasional: membantu individu untuk mengubah posisi
tubuhnya.
2.3.8.4 Edukasi
Ajarkan keluarga teknik mobilisasi
Rasional: Melibatkan peran keluarga untuk meningkatkan
mobilisasi pasien
2.3.8.5 Kolaborasi
Kolaborasi dengan fisioterapi untuk program latihan.
Rasional: Mempercepat proses penyembuhan.
32
a. Kaji keluhan mual, muntah, dan sakit menelan yang dialami
klien.
Rasional: Untuk menetapkan cara mengatasinya.
b. Kaji cara/pola menghidangkan makanan klien.
Rasional: Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi
nafsu makan klien.
c. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti: bubur dan
dihidangkan saat masih hangat.
Rasional: Membantu mengurangi kelelahan klien dan
meningkatkan asupan makanan karena mudah ditelan.
d. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional: Untuk menghindari mual dan muntah serta rasa jenuh
karena makanan dalam porsi banyak.
e. Jelaskan manfaat nutrisi bgi klien terutama saat sakit.
Rasional: UntukMeningkatkan pengetahan klien tentang nutrisi
sehingga motivasi untuk makan meningkat.
f. Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien.
Rasional: Mengetahui pemasukan/pemenuhan nutrisi klien.
33
b. Manajemen konstipasi/impaksi
Raional: Mencegah dan mengatasi konstipasi/impaksi.
c. Manajemen cairan
Rasional: meningkatkan keseimbangan cairan dan mencegah
komplikasi akibat kadar cairan yang tidak normal atau tidak
diinginkan.
d. Manajemen cairan/elektrolit
Raional: mengatur dan mencegah komplikasi akibat perubahan
kadar cairan dan/atau elektrolit.
34
Rasional : meminimalkan kekhawatiran, ketakutan,
prasanka, atau perasaan tidak tenang yang berhubungan
dengan sumber bahaya yang diantisipasi dan tidak jelas.
c. Teknik menenangkan diri
Rasional : Meredakan kecemasan pada pasien yang
mengalami distres akut.
d. Menigkatkan koping
Rasional: Membantu pasien untuk beradaptasi dengan
persepsi stresor, perubahan, atau ancaman yang
menghambat pemenuhan tuntutan perat hidup
e. Dukungan emosi
Rasional: Memberikan penenangan, penerimaan,
bantuan atau dukungan selama masa stress
2.3.14.4 Edukasi
Ajarkan pasien dan keluarga untuk melakukan teknik
relaksasi
Rasional: Teknik relaksasi dengan napas dalam untuk
mengurangi ansietas.
2.3.14.5 Kolaborasi
Kolaborasi dengan psikolog
Rasional: sarana untuk mengurangi ansietas dengan terapi
bicara.
35
III. Daftar Pustaka
Smeltzer, suzannec. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, ed.8, vol.1. Jakarta: EGC.
36
Pelaihari, Januari 2017
Preseptor akademik, Preseptor klinik,
(.........................................................) (..........................................................)
37