Republik Indonesia
Pedoman Penyusunan
:'I
Sambutan
Kementerian Kesehatan
Puji syukur kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya berkat rahmat
NYA, buku Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) ini dapat tersusun.
Saya harapkan dengan terbitnya PNPK ini, dapat memudahkan institusi upaya kesehatan,
dalam memberikan pelayanan kedokteran yang bermutu kepada masyarakat. Para
dokter pun akan memperoleh perlindungan hukum bila dalam menjalankan praktik
kedokteran mengikuti arahan dari PNPK.
Namun demikian, rumah sakit - rumah sakit serta institusi pelayanan kesehatan
lainnya, mempunyai kewajiban untuk menjabarkan PNPK menjadi dokumen yang lebih
operasional, yang disebut Standar Prosedur Operasional (SPO), sesuai dengan tingkat
kompetensi fasilitas pelayanan kesehatan masing masing institusi.
Saya mengucapkan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang tinggi, kepada
para penyusun PNPK, yang telah bekerja keras menyusun buku yang sangat berharga
ini. Kepada direktur rumah sa kit, para dokter dan ahli-ahli lain saya ucapkan selamat
mempelajari dan membaca PNPK ini. Semoga Allah meridhoi niat baik kita
IA,.
. Akm Teher. SpU (KI
iii
Daftar lsi
Kata Pengantar
Daftar lsi v
Ringkasan vii
BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Dasar Hukum 2
3. Tujuan 3
4. 5asaran 3
BAB II. 5TANDAR PELAYANAN KEDOKTERAN 5
A. Pendahuluan 5
B. Peran stan dar pelayanan dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan 6
C. Jenis standar pelayanan kedokteran 7
BAB III. PEDOMAN NA510NAL PELAYANAN KEDOKTERAN 9
A. Uraian umum 9
B. Penyusunan PNPK 10
C. Proses Pembuatan PNPK 11
BAB IV. PANDUAN PRAKTIK KLlNI5 13
A. Panduan Praktik Klinis (PPK): Pengertian Umum 13
B. Penyusunan PPK 14
C. lsi PPK 15
D. Perangkat untuk pelaksanaan PPK 15
E. Penerapan PPK 16
F. Revisi PPK 18
BAB V. ALUR KLlNI5 DAN PENUNJANG PPK YANG LAIN 19
A. Alur klinis (Clinical Pathway) 19
B. Algoritme 22
C. Protokol 22
D. Prosedur 23
D. Standing orders 23
BAB VI. DISCLAIMER/PENYANGKALAN 25
BAB VII. PENUTUP 27
LAMPI RAN 28
DAFTAR 15TlLAH KUNCI 51
DAFTAR PU5TAKA 53
V
Ringkasan
Satu upaya penting yang dilakukan oleh Kemenkes adalah pembuatan standar
pelayanan. Di tingkat nasional diperlukan penyusunan Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang berisi pernyataan yang sistematis, mutakhir,
evidence-based untuk membantu dokter / pemberi jasa pelayanan lain dalam
menangani pasien dengan kondisi tertentu. PNPK disusun oleh panel pakar (dari
organisasi profesi, akademisi, klinis, pakar lain) di bawah koordinasi Kemenkes dan
hasilnya disahkan oleh Menteri Kesehatan.
Karena sifatnya yang canggih, mutakhir, maka PNPK horus diterjemahkan menjadi
Panduan Praktik Klinis (PPK) oleh masih-masing fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) sesuai dengan keadaan setempat. PPK disusun oleh Staf Medis
fasyankes, dengan mengacu pada PNPK (bila ada), dan / atau sumber pustaka
lain. Karena jumlah PNPK terbatas, maka sebagian besar PPK dibuat dengan
merujuk pada sumber lain (artikel asli, meta-analisis, PNPK neg ora lain, buku ajar,
panduan organisasi profesi, petunjuk pelaksanaan program, dst).
PPK dapat disertai perangkat pelaksanaan langkah demi langkah termasuk clinical
pathway (CP -untuk penyakit yang perjalanannya dapat diprediksi dan memerlukan
penanganan multidisiplin), algoritme (diagram untuk pengambilan keputusan yang
cepat), protokol (panduan pelaksanaan tugas yang cukup kompleks), prosedur
(panduan langkah-Iangkah tugas teknis), dan standing orders (instruksi tetap kepada
perawat). Perlu ditekankan CP tidak dibuat untuk semua penyakit namun terbatas
pada penyakit atau kondisi klinis yang lebih kurang homogen, perjalanan klinisnya
dapat diprediksi, serta memerlukan pendekatan multidisiplin.
Dalam setiap buku PPK horus disertakan disclaimer (wewanti, penyangkalan) yang
intinya menegaskan bahwa PPK hanya bersifat rekomendasi / advis, dan untuk
implementasinya horus disesuaikan dengan keadaan pasien. Disarankan disclaimer
mencakup minimal pernyataan bahwa ( 1) PPK dibuat untuk average patients, (2) PPK
disusun untuk penyakit tunggal, (3) respons pasien terhadap prosedur diagnosis dan
terapi bervariosi, (4) PPK dianggap sahih pada soot dicetak, dan (5) praktik dokter
horus mengakomodasi persepsi dan keinginan pasien dan keluarga. Dalam hal
dokter tidak melaksanokan apa yang tertulis di PPK, ia horus menjelaskan
alasannya dalam rekam medis.
vii
Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Pelayanan medis adalah pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi segala
tindakan atau perilaku yang diberikan kepada pasien dalam upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara substansi pelayanan medis harus
berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi medis yang telah ditapis
efektivitas, keamanan, aspek sosio-ekonomi-budayanya sehingga menuju pada
pemerataan, peningkatan mutu dan efisiensi pelayanan yang memenuhi
kebutuhan kesehatan masyarakat. Untuk penyelenggaraan pelayanan medis
yang baik dalam arti efektif, efisien, berkualitas serta merata dibutuhkan
masukan berupa sumber daya manusia, fasiJitas, perala tan, dan dana sesuai
dengan prosedur serta metode yang memadai.
1
jenis dan strata fasilitas pelayanan kesehatan. Ayat (3) Standar pelayanan W1tuk
dokter dan dokter gigi tersebut diatur dengan Peraturan Menteri.
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
44 ayat (I), pasal 50 dan 51 (Lembaran Negara Republik Indonesia TahW1
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4431);
2
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
Tuiuan
Memberikan pedoman bagi Kementerian Kesehatan dan organisasi profesi
dalam menyusun PNPK dan panduan bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam
menyusun SPO.
Sasaran
1. Kementerian Kesehatan
2. Organisasi profesi
3
4
Bab 2
Standar Pelayanan Kedokteran
Pendahuluan
Dalam pus taka, undang-undang, peraturan, dan panduan pelayanan kesehatan
banyak sekali istilah yang menggunakan kata standar, yang mungkin di satu
sisi bersifat tum pang tindih, di lain sisi mungkin artinya berbeda untuk satu
orang dengan orang lain. Contohnya: standar pelayanan, standar pelayanan
minimal, standar prosedur operasional (SPO), standard operating procedure
(SOP), standar pemeriksaan, standar fasilitas, dsb. Istilah standar yang
digunakan dalam ranah yang melibatkan pasien, keluarga, dan pihak lain
sangat rentan karena kata standar dapat diartikan sebagai suatu hal yang harus
dilakukan. Karenanya kata atau istilah standar dalam ranah pelayanan
sebaiknya dihindarkan.
Dalam ranah kedokteran klinis, bila terdapat masalah yang belum terpecahkan,
maka terdapat alur pemecahan masalah sebagai berikut:
2. Proses yang berupaya untuk menyaring apakah opsi yang ditawarkan oleh
peneliti tersebut dapat diterapkan adalah health technology assessment
(HTA). HTA mengkaji hasil penelitian dengan menelaah efikasi,
efektivitas, efisiensi (dengan kajian ekonomi), serta aspek-aspek lainnya
seperti masalah swnber daya d alam arti kata yang luas, sosial, budaya,
bahkan agama.
5
4. Para dokter melakukan praktik dengan panduan PPK tersebut untuk
menegakkan diagnosis, memberikan pengobatan, dan memberi penjelasan
kepada pasien dan keluarganya tentang kemungkinan hasil pengobatan .
Dalam tataran pelaksanaan, PPK mungkin memerlukan satu atau lebih
perangkat untuk merinci panduan agar dapat dilakukan secara spesifik
dalam bentuk alur klinis (clinical pathway), algoritme, protokol,
prosedur, atau standing orders.
1 Para peneliti menawarkan apa yang dapat dilakukan (what we can do)
2 HTA mengkaji opsi yang ditawarkan mana yang layak diterapkan (which
we can do)
4 Praktisi menerapkan apa yang harus dilakukan (doing what we should do)
6
banyak, yang berisiko tinggi, atau cenderung menggunakan sumber daya yang
besar, apalagi apabila terdapat variasi yang luas dalam praktik seyogianya
dilakukan "standardisasi". Standardisasi, bila dirancang dan dilaksanakan
dengan baik dipercaya banyak manfaatnya baik bagi pasien, keluarga, pemberi
jasa pelayanan, serta fasilitas pelayanan.
Algoribne
Protokol
Prosedur
Standing orders
Catatan: PPK merupakan format teknis untuk istilah standar prosedur operasional
(SPO) yang terdapat dalam Undang-undang Praktik Kedokteran.
7
8
Bab 3
Kedokteran
Dalam pus taka istilah Clinical Practice Guidelines (atau Clinical Guidelines)
digunakan baik untuk pedoman yang dibuat oleh kelompok pakar dan bersifat
nasional/global, maupun yang telah diadaptasi sesuai dengan kondisi fasilitas
setempat. Dalam dokumen ini, (1) untuk mengakomodasi pelbagai istilah yang
tum pang tindih, dan (2) menyadari perbedaan fasilitas yang amat luas di an tara
fasyankes yang ada, dibedakan 2 jenis dokumen:
9
Penyusunan PNPK
Pemilihan topik
Topik PNPK dapat diajukan oleh siapa saja: JaJaran Kemenkes, organisasi
profesi, (perhimpunan) rumah sakit, dekan fakultas kedokteran / kedokteran
gigi, dst. Kemenkes (d.h.i. Konsorsium Upaya Kesehatan) bila perlu menulis
surat kepada institusi yang potensial memberi usulan topik. Bila jumlah usulan
terlalu banyak dilakukan pembahasan untuk menentukan prioritas.
Persyaratan PNPK
PNPK diperlukan bila suatu penyakit atau kondisi kesehatan tertentu memiliki
satu atau lebih karakteristik berikut:
terutama bila terdapat variasi yang luas (high variablitiy) di antara para praktisi
untuk penanganan kasus yang sarna.
PNPK disusun oleh panel pakar yang bersifat multidisiplin dari organisasi
profesi, akademisi, pakar lain, di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan RI.
Karakteristik PNPK
Sahih / valid
Reproducible
Cost-effective
Representatif, sering harus multidisiplin
Dapat diterapkan dalam praktik
Fleksibel
Jelas
Terjadwal untuk dilakukan revisi
Dapat digunakan sebagai kriteria untuk audit klinis
10
Proses pembuatan PNPK
Panel pakar dibentuk oleh KUK sesuai dengan topik yang akan dibuat PNPK
nya . Panel pakar bersifat multidisiplin mencakup semua aspek yang hendak
dibahas; jwnlah anggota Panel bervariasi, pada umwnnya antara 6-10 orang.
Idealnya anggota Panel mencakup para pakar di pusat dan daerah.
dokter;
memahami evidence-based medicine dan langkah-Iangkahnya;
mampu menulis / menyunting dokumen ilmiah dengan baik.
Bila pedu PIC akan diberikan pelatihan secukupnya. Tugas utama PIC adalah:
11
Pengembangan dralt PNPK dan rapat-rapat
Draft awal PNPK dibuat oleh PIC di bawah arahan Ketua, Sekretaris,
serta anggota panel.
Draft awal tersebut dikembangkan bersama oleh seluruh anggota Panel
dengan mekanisme yang disepakati, terutama komunikasi melalui
email.
Setiap bulan dilakukan rapat Panel yang dikordinasi oleh KUK untuk
membahas perkembangan pembuatan draft PNPK, menyunting,
melakukan revisi, dan lain-lain yang relevan . Bila dipandang perlu
dapat diundang nara sumber yang tidak masuk dalam Panel untuk
memperoleh masukan dalam hal-hal yang khusus.
Oalam 3 atau 4 kali pertemuan draft diharapkan sudah selesai dan
diajukan dalam rapat pleno KUK.
Draft akhir yang sudah disepakati oleh Panel dan KUK diajukan
kepada Oirjen Pelayanan Medis untuk dibahas dan dimintakan
pengesahannya oleh Menteri Kesehatan.
Tampilan PNPK
Format PNPK
12
Bab 4
Panduan praktik klinis (PPK) adalah istilah teknis sebagai pengganti standar
prosedur operasional (SPO) dalam Undang-W1dang Praktik Kedokteran yang
merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu W1tuk menghindarkan
kesalahpahaman yang mW1gkin terjadi, bahwa "standar" merupakan hal yang
harus dilakukan pada semua keadaan. Jadi secara teknis SPO dibuat berupa
PPK yang dapat berupa atau disertai dengan salah satu atau lebih: alur klinis
(clinical pathway), protokol, prosedur, algoritme, standing order.
PNPK dibuat berdasarkan pada evidence mutakhir, sehingga bersifat "ideal" dan
tidak selalu dapat diterapkan di semua fasyankes. Karena tidak ada panduan
pelayanan yang dapat dilakukan untuk semua tingkat fasilitas, maka PNPK
harus diterjemahkan sesuai dengan fasilitas setempat menjadi PPK. Berikut
contoh-contoh mengapa PPK dapat sarna atau tidak di fasyankes yang berbeda:
PPK untuk demam berdarah dengue (OBO) tanpa syok, karena tidak
memerlukan peralatan dan keahlian canggih sarna semua fasyankes.
Oi suatu rumah sakit tipe A, PPK W1tuk penyakit jantung bawaan biru
mencakup pemberian prostaglandin, tindakan balloon atrial septosomy
(BAS), dilanjutkan dengan bedah korektii, karena semua sumber daya
tersedia. Oi rumah sakit tipe A yang lain fasilitas bedah jantung anak
tidak tersedia, sehingga PPK-nya adalah setelah pasien didagnosis,
diberikan prostaglandin dan dilakukan BAS, pasien harus din~uk.
Oi rumah sakit tipe A dan rumah sakit tipe B yang memiliki ahli bedah
saraf, alur klinis (clinical pathway) stroke non-hemoragik memerlukan
pendekatan multidisiplin yang antara lain melibatkan ahli bedah saraf.
NamW1 di rumah sakit tipe B yang lain ahli bedah saraf tidak tersedia
harus dibuat alur klinis yang berbeda.
13
Tujuan PPK mencakup:
Penyusunan PPK
PPK seharusnya dibuat untuk semua jenis penyakit / kondisi klinis yang
ditemukan dalam fasyankes. Namun dalam pelaksanaannya dapat dibuat
secara bertahap, dengan mengedepankan misalnya 10 penyakit tersering yang
ada di tiap bagian . Bila tersedia PNPK, PPK dibuat dengan rujukan utama
PNPK. Namun karena PNPK hanya dibuat untuk sebagian kecil penyakit /
kondisi klinis, maka sebagian besar PPK (dengan segala turunannya) dibuat
dengan memperhatikan fasilitas setempat dan merujuk pada:
14
lsi PPK
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisis
4. Prosedur diagnostik
5. Diagnosis banding
6. Pemeriksaan penunjang
7. Terapi
8. Edukasi
9. Prognosis
Contoh:
Dalam PPK disebutkan bahwa pada pasien gagal ginjal kronik perlu
dilakukan hemodialisis. Uraian rinei tentang hemodialisis dimuat
dalam protokol hemodialisis pada dokumen terpisah.
15
Dalam PPK disebutkan bahwa pada anak dengan kejang demam
kompleks perlu dilakukan ptmgsi lumbal. Uraian pelaksanaan pungsi
lumbal tidak dimuat dalam PPK melainkan dalam prosedur pungsi
lumbal dalam dokumen terpisah.
Dalam tata laksana kejang demam diperlukan pemberian diazepam
rektal dengan dosis tertentu yang harus diberikan oleh perawat bila
dokter tidak ada; ini diatur dalam "standing order".
Penerapan PPK
Panduan Praktik Klinis (termasuk "turunan-turunannya": clinical pathway,
algoritme, protokol, prosedur, standing orders) merupakan panduan yang harus
diterapkan sesuai dengan keadaan pasien. Oleh karenanya dikatakan bahwa
semua PPK bersifat rekomendasi atau advis. Apa yang tertulis dalam PPK
tidak harus diterapkan pada semua pasien tanpa kecuali.
1 PPK dibuat untuk 'average patients'. Pasien dengan demam tifoid ada
yang masih dapat bekerja seperti biasa, di sisi lain ada yang hampir
meninggal. PPK dibuat bukan untuk kedua ekstrem tersebut, melainkan
untuk pasien rata-rata demam tifoid: demam 5 hari atau lebih, lidah
kotor, tidak mau makan minum, mengigau, dan seterusnya.
16
berdarah; menumt PPK misalnya hams diberikan ko-trimoksazol sebagai
obat awal; namun bila ia menderita penyakit jantung bawaan bim dan
memperoleh warfarin maka ko-trimoksasol tidak dapat diberikan.
Orang yang paling berwenang menilai secara kom prehensif keadaan pasien
adalah dokter yang bertugas merawat. Dialah yang akhimya menentukan
untuk memberikan atau tidak memberikan obat atau prosedur sesuai dengan
yang tertulis dalam PPK. Dalam hal ia tidak melaksanakan apa yang ada
dalam PPK, maka ia harus menuliskan alasannya dengan jelas dalam rekam
medis, dan ia hams siap untuk mempertanggungjawabkannya. Bila ini tidak
dilakukan maka dokter tersebut dianggap lalai melakukan kewajibannya
kepada pasien.
17
Revisi PPK
PPK merupakan panduan terkini untuk tata laksana pasien, karenanya harus
selalu mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran . Untuk itu PPK
secara periodik perlu dilakukan revisi, biasanya setiap 2 tahun. Idealnya
meskipun tidak ada perbaikan, peninjauan tetap dilakukan setiap 2 tahun .
Masukan untuk revisi diperoleh dari PNPK yang baru (bila ada), pustaka
mutakhir, serta pemantauan rutin apakah PPK selama ini dapat dan sudah
dikerjakan dengan baik. Proses formal audit klinis dapat merupakan sumber
yang berharga untuk revisi PPK; namun bila audit klinis belum dilaksanakan,
pemantauan rutin merupakan sumber yang penting pula .
18
Bab 5
Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam CP dapat tidak
sesuai dengan harapan karena:
19
Apa pun yang terjadi hams dilakukan evaluasi dan dokter memberikan
intervensi sesuai dengan keadaan pasien.
Pada umumnya di rumah sakit umum hanya 30% pasien dirawat dengan CP.
Selebihnya pasien dirawat dengan prosedur biasa (usual care). CP hanya efektif
dan efisien apabila dilaksanakan untuk penyakit atau kondisi kesehatan yang
perjalanannya predictable, khususnya bila memerlukan perawatan multidisiplin.
Tidak. PPK dan semua perangkatnya, termasuk CP, hams patient oriented,
bukan DGR (diagnosis-related group)-oriented, length of stay oriented, atau BPJS
oriented. Bahwa setelah CP dibuat digunakan untuk keperluan penghitungan
pembiayaan tentu hal tersebut sah-sah saja.
20
Berikut adalah contoh CP untuk diare pada bayi dan anak, yang secara
keseluruhan perjalanan penyakitnya sangat bervariasi sehingga biasanya
tidak dibuat CP, namun dengan kriteria tertentu yang ketat dapat dibuat CP.
Tinja berdarah
Format CP
21
merupakan waktu (hari, jam), sedangkan barisnya merupakan observasi /
pemeriksaan / tindakan / intervensi yang diperlukan. Format CP dapat amat
rumit dan rinci (misaInya pemberian obat setiap 6 jam dengan dosis tertentu;
bila ini melibatkan banyak obat maka menjadi amat rumit). Sebagian apa yang
harus diisi dapat merupakan check-list, namun tetap harus diberikan ruang
untuk menuliskan hal-hal yang perJu dicatat. Ruang yang tersedia untuk
mencatat hal-hal yang diperlukan juga dapat am at terbatas, lebih-Iebih fonnat
yang sarna diisi oleh semua profesi yang terlbat dalam perawatan, karena sifat
multidisiplin CPo
Algoritme
Algoritme merupakan format tertulis berupa flowchart dari pohon pengambilan
keputusan. Dengan format ini dapat dilihat secara cepat apa yang harus
dilakukan pada situasi tertentu. Algoritme merupakan panduan yang efektif
dalam beberapa keadaan klinis tertentu misaInya di ruang gawat darurat atau
instalasi gawat darurat. Bila staf dihadapkan pada situasi yang darurat, dengan
menggunakan algoritme ia dapat melakukan tindakan yang cepat untuk
memberikan pertolongan.
Protokol
Protokol merupakan panduan tata laksana untuk kondisi atau situasi tertentu
yang cukup kompleks. MisaInya dalam PPK disebutkan bila pasien mengalami
atau terancam mengalami gagal napas dengan kriteria tertentu perlu dilakukan
pemasangan ventilasi mekanik. Untuk ini diperlukan panduan berupa
protokol, bagaimana melakukan pemasangan ventilasi mekanik, dari
pemasangan endotracheal tube, mengatur konsentrasi oksigen, kecepatan
pernapasan, bagaimana pemantauannya, apa yang harus diperhatikan,
pemeriksaan berkala apa yang harus dilakukan, dan seterusnya. Dalam
protokol harus termasuk siapa yang dapat melaksanakan, komplikasi yang
mungkin timbul dan cara pencegahan atau mengatasinya, kapan suatu
intervensi harus dihentikan, dan seterusnya .
22
Prosedur
Standing orders
Standing orders adalah suatu set instruksi dokter kepada perawat atau
profesional kesehatan lain untuk melaksanakan tugas pada saat dokter tidak
ada di tempat. Standing orders dapat diberikan oleh dokter pada pasien tertentu,
atau secara umum dengan persetujuan Komite Medis. Contoh: perawatan
pascabedah tertentu, pemberian antipiretik untuk demam, pemberian
antikejang per rektal untuk pasien kejang, defibrilasi untuk aritmia tertentu.
23
24
Bab 6
Oalam disclaimer (yang harus dicantumkan pada setiap dokumen PPK) harus
tercakup butir-butir yang telah dikemukakan di atas, sebagai berikut:
Disclaimer harus dicantumkan di bagian depan setiap buku PPK. Oi luar negeri
seringkali disclaimer mencakup banyak hal lain yang rinci, misalnya pemyataan:
25
26
Bab 7
Penutup
Dalam penerapannya PPK perlu terlebih dahulu dijabarkan oleh pihak rumah
sakit, disesuaikan sumber daya yang dimiliki.
27
Lampiran 1
Judul
Daftar isi
dengan selalu mencantumkan salah satu atau lebih high v olume, high risk, high
Bab 2. Metodologi
28
Lampiran 2
Berikut adalah contoh beberapa judul PNPK (yang setara dengan National
Clinical Practice Guidelines) dari Indonesia dan luar negeri. Perhatikan bahwa
PNPK mencakup satu kondisi spesifik yang memenuhi salah satu atau lebih
kriteria high volume, high risk, high cost, high variability).
PNPK Indonesia:
29
Clinical Practice Guidelines Mancanegara
American Association of Clincal Endocrinologists. Medical Guideline for Clinical
Practice for the Management of Diabetes Mellitus.
htt:p:llwww.aace.comlpub/pdflguidelinesIDMGuidelines2007.pdf
htt:p:llwww.caalz.orgIPDF files/Guideline-FullReport-CA.pdf
ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With Congenital Heart
Disease. htt:p:Ucirc.ahajournals.org/cgilreprint/I18/23/2395
ACC/AHA 2008 Guidelines for the Management of Adults With Congenital Heart
Disease: Executive Summary. 49 halaman, 202 rujukan.
http://circ.aha;ou rna ls.or~/cgilreprin t/118/23/2395
update for the management of chronic stable angina. 136 halaman, 1053 rujukan
fibrillation . http:Uwww.moh.gov.sg/cpg
30
Lampiran 3
Panduan Praktik Klinis (PPK) dibuat untuk setiap rumah sa kit / fasilitas
pelayanan kesehatan, dengan mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan
Medis (PNPK) dan / atau pustaka mutakhir dengan menyesuaikan dengan
kondisi setempat. PPK dibuat oleh Staf Medis setiap departemen / divisi di
bawah koordinasi Komite Medis, dan baru dapat dilaksanakan setelah
diresmikan oleh Direksi.
Format PPK dapat sangat bervariasi. PPK dapat dibuat atas dasar penyakit
(stroke, demam tifoid), atau masalah (perdarahan, penurunan kesadaran), atau
campuran keduanya. Urutan topik dapat berdasarkan departemen / divisi atau
menurut abjad. Di rumah sakit besar PPK perlu dibuat per departemen. Berikut
dua contoh dari departemen medis dan 2 dari departemen bedah.
1. Pengertian
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan fisis
4. Prosedur diagnostik
5. Diagnosis banding
6. Pemeriksaan penunjang
7. Terapi
8. Edukasi
9. Prognosis
10. Pustaka
31
PPK: Demam tifoid pada anak
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi
sistemik Salmonella; 96% kasus demam tifoid disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan
oleh S. poratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3- 19
tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam
tifoid sang at sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan
diagnosis diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.
Patogenesis
Anamnesis
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi . Anak sering mengigau (delirium),
malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah,
perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran,
kejang, dan ikterus.
Pemeriksaan lisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menu run, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid, yaitu di bagian tengah
kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai
daripada splenomegali. Kadang dapat terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan laboratorium
Darah tep;
Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum tulang, defisiensi
besi, atau perdarahan usus.
32
Limfositosis relatif
Pemeriksaan ser%gi
Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer 0 zl :200 atau kenaikan 4 kali titer
fase akut ke fase konvalesens.
Biakan Salmonela
Pemeriksaan radi%gis
Penyulit
Perforasi usus atau perdarahan sa luran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen,
muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang,
defence museulaire positif, pekak hati hilang
Diagnosis banding
33
Tata laksana
Medikamentosa
Antipiretik bila suhu tubuh > 38,5 C. Kortikosteroid dianjurkan pada demam
tifoid be rat.
Tindakan bedah
Tindakan bedah perlu dilakukan segera bila terdapat perforasi usus. Konsultasi Bedah
Anak bila dicurigai komplikasi perforasi usus.
Imunisasi
3. Vaksin tifoid oral (Ty21-a), diberikan pada usia > 6 tahun dengan
interval selang sehari (hari 1, 3, dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun.
Vaksin ini belum beredar di Indonesia, terutama direkomendasikan
untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
Daftar pustaka
1. Feigin RD, Demmler GJ, Cherry JD, Kaplan SL. Textbook of pediatric infectious
diseases. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 2004.
34
2. Long SS, Pickering LK, Prober CG. Principles and practice of pediatric infectious
diseases. 2nd ed. Philadelphia: Churchill & Livingstone; 2003.
3. Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman's infectious disease of children. 11 th ed.
Philadelphia: Mosby; 2004.
PPK: Hipoglikemia
Batasan dan Uraian
Kadar glukosa darah < 60 mg/dL, atau kadar glukosa darah < 80 mg/dL dengan
gejala klinis.
Kelebihan obat / dosis obat: terutama insulin, atau abat hipoglikemik oral.
Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menu run: gaga I ginjal kr~nik, pasco
persalinan.
Masukan makan tidak adekuat: jumlah kalori / waktu makan tidak tepat.
Diagnosis
Stadium gangguan otak ring an: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung
sementara.
Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang
Anamnesis:
Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis.
35
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya.
Pemeriksaan fisis
Pucat, diaforesis,
Tekanan darah
Penurunan kesadaran
Diagnosis banding
Hipoglikemia karena
o Obat:
o Hiperinsulinisme endogen:
o Insulinoma
o Autoimun
36
0 Penyakit kritis:
0 Gagal hati
0 Gagal ginjal
0 Gagal jantung
0 Sepsis
0 Defisiensi endokrin:
o Glukagon, epinefrin
o Tumor non-sel B:
o Sorkoma
o Pasco-prandial:
o Diinduksi alkohol
Pemeriksaan penunjang
C-peptide
Tata laksana
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen gula murni (bukan
pemanis pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
Cori penyebab
37
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga hipoglikemia):
5. Bila GDs > 100 mg / dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2
jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL ~ pertimbangkan
6. Bilo GDs > 100 mg / dL sebonyok 3 koli berturut-turut, pemontouon GDs setiop 4
jom, dengon protokol sesuoi di otas. Bilo GDs > 200 mg/dL ~ pertimbongkon
menggonti infus dengon Dekstroso 5 % otou NoCI 0,9 %.
7. Bilo GDs > 100 mg/dL sebonyok 3 koli berturut-turut, sliding scale tiop 6 jom:
GD~ RI
(mg!dLl (Unit. subkutonl
< 200 o
200 - 250 5
250 - 300 10
300 - 350 15
> 350 20
38
Bila pasien belum sador, GDs sekitor 200 mg/dL: Hidrokortison 100 mg per 4 jam
selama 1 2 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan
Manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain kesadoran menurun
Daftar Pustaka
3. Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL,
Jameson Jl. Harrison's Principles of Internal Medicine.15'h ed. New York: McGraw
Hill, 2001 :2138-43.
Kriteria diagnosis
1. Derajat kedalaman
Konsultasi
Disiplin ilmu lain sesuai dengan penyakit yang menyertai atau komplikasi yang
timbul.
Perawatan RS
Luka bakar derajat ~II seluas > 10% pada anak-anak, > 15% pada dewasa.
39
Luka bakar disertai trauma be rat lain, trauma inhalasi.
Terapi
Diberikan nutrisi enteral dini (sedapatnya dalam 8 jam pertama pasca cedera);
Fisioterapi.
Untuk trauma karena bahan kimia, perlu dibilas secara tuntas dengan air.
Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang kulit yang mati (skar). Jika
mung kin dilanjutkan dengan skin graft (SISG). Pembedahan ini dapat dilakukan
setelah diyakini sirkulasi stabil.
Penyulit
multipel.
U Ikus stres.
40
Deformitas penampilan yang hebat.
In'ormed consent
Perlu tertulis (derajat luka nakar, persentase luka bakar dari total luas
permukaan tubuh, area tubuh yang terkena, penyebab).
Standar tenaga
Lama perawatan
Sangat dipengaruhi oleh kedalaman dan luas luka. Dirawat sampai luka lebih
kedl dari indikasi perawatan.
Masa pemulihan
Sangat bervariasi, mungkin 2 tahun atau lebih bergantung pada parut yang
terjadi.
Luaran
Sembuh dengan kecacatan warna kulit saja sampai kecacatan berat, tidak dapat
menggerakkan sendi.
Kematian.
Autopsi/risalah rapat
Mungkin diperlukan bila terjadi kematian. Luas dan beratnya luka bakar dapat
menjadi penyebab langsung kematian. Penyebab lain beragntung pada
kegagalan fungsi organ yang ditemukan.
41
PPK: Mola hidatidosa
Definisi
Suatu kelainan berupa proliferasi sel tropoblas kehamilan yang abnormal.
Patologi
Dapat berupa mola hidatidosa komplit atau parsial. Mola Hidatidosa komplet
mempunyai kariotipe 46,XX yang semua berasal dari paternal. Secara klinik tidak
dijumpai embrio atau fetus kecuali pada kehamilan ganda. Secara mikoskopis dijumpai
degenerasi hidropik villi chorialis dan hyperplasia sel tropoblas yang difus.
Pad a mola hidatidosa partial terdapat jaringan embrio atau fetal, degenerasi hidopik
villi dan hiperplasia bersifat fokal dengan ukuran bervariasi.
Epidemiologi
Manifestasi klinis
Berdasarkan gejala klinik seperti pada tabel diatas.
Gambaran sarang tawon pad a ultra sonografi menunjukkan mola hidatidosa komplit,
sedang pada mola parsial akan dijumpai gambaran multikistik pada plasenta.Pada
mola komplit umumnya dijumpai kista lutein yang menetap. Keluarnya gelembung mola
dari ostium.
Diagnosis Diferensial
Perdarahan pervaginam 97 73
Toxemia 27 3
Hiperemesis 26 0
Hipertiroid 7 0
Kriteria diagnosis
42
Gambaran sarang tawon pada ultra sonografi menunjukkan mola hidatidosa komplit,
sedang pada mol a parsial akan dijumpa i gambaran multikistik pada plasenta.Pada
mola komplit umumnya dijumpai kista lutein yang menetap. Keluarnya gelembung mol a
dari ostium.
Diagnosis Banding
Pemeriksaan penunjang
Foto toraks
Terapi
Kuret isap
Kuret manual dengan sendok kuret. (Selama tindakan kuret diberikan oxytocin drip).
Penyulit
Pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan umum pasien, faktor
pilihan pengobatan, faktor stadium penyakit, factor adanya penyulit infeksi, faktor
penyembuhan luka.
Informed consent
Lama perawatan
Lama perawatan tergantung beberapa faktor antara lain keadaan umum, pilihan
pengobatan, stadium penyakit, adanya penyulit, penyembuhan luka.
Pemulihan tergantung beberapa factor antara lain factor keadaan umum pasien, factor
pilihan pengobatan, factor stadium penyakit, factor adanya penyulit infeksi, factor
penyembuhan luka .
Output
Patologi anatomi
Indikator
Pemeriksaan ginekologi
43
Pemeriksaan beta hCG serum setiap dua minggu sampai 3 kali hasil
pemeriksaan yang normal dan setiap bulan sampai 6 bulan berikutnya
Daftar pustaka
1. Berkowitz RS, Goldstein DP in: Berek JS, Hacker NF. Practical Gynecologic
Oncology. Williams&Wilkins 3rd ed. Baltimore 2002; 457-80.
2. Benedet JL, Nga HYS, Hacker NF. Staging classifications and clinical practice
guidelines of gynecologic cancer. FIGO committee on Gynecologic Oncology and
IGCS Guidelines Committee. 2nd Ed. Elsevier, 2003: 122-4
Lampiran 4
Clinical pathway dapat sang at bervariasi dari satu penyakit ke penyakit lain, dari satu
rumah sakit ke rumah sa kit lain. Satu contoh CP yang lengkap untuk bedah kaisar dapat
dilihat di http://www.health.qld.gov.au/caru/pathways/docs/pathway caes.pdf.
Seperti CP pada umumnya, tampak bahwa formatnya berupa tabel yang kolomnya
merupakan waktu, sedangkan barisnya merupakan observasi / pemeriksaan / tindakan
/ intervensi yang diperlukan. Pada contoh ini semua jenis tindakan dan perlakuan
dijadwalkan, termasuk pendidikan dan penjelasan kepada pasien yang memakan porsi
yang cukup besar dari 15 halaman CP yang ada.
44
Lampiran 5
Contoh Protokol
Persiapan
Pelaksanaan
Uji tempel dilaksanakan dengan posisi pasien dalam keadaan duduk atau tidur
Unit uji tempel yang telah diisi, ditempelkan pada lokasi uji dan ditambahkan
plester hipoalergenik di luarnya ( untuk fiksasi )
Setelah 28 jam unit dibuka, diberi tanda dengan larutan gentian violet
Setelah ditunggu 15-30 menit untuk menghilangkan efek tekanan, hasil uji
tempel dibaca sesuai metode ICDRG yaitu :
? ertema
45
++ eritema, infiltrat, papul, vesikel
negatif
IR reaksi iritan
Pasien diizinkan pulang namun lokasi uji tetap dianjurkan untuk tidak basah /
kena air
Pada hari ke-3 (72 jam) dan hari ke-4 (96 jam) dilakukan pembacaan ulang
dengan cara yang sama
Dari hasil pembacaan disimpulkan reaksi yang timbul bersifat alergik atau
iritan
Hasil uji tempel yang positif bermakna (minimal +) dinilai relevansinya melalui
anamnesis dan gambaran klinis. Hasil dengan relevansi positif ditetapkan
sebagai penyebab kelainan kulit saat ini
Pasien diberi catatan tentang hasil uji tempel yang positif bermakna
(+,++,+++) dan daftar benda yang mengandung zat tersebut
Hasil uji tempel yang positif bermakna namun relevansi negatif tetap
dianjurkan untuk dihindari.
Daftar pustaka
1. Lachapelle JM, Maibach HI. The methodology of patch testing . In: Lachapelle JM,
Maibach HI ed. Patch testing / Prick testing a practical guide. Berlin: Springer
Verlag 2003: 27-66
2. Wahlberg LE, Elsner P, Kanerva L, Maibach HI. Management of positive patch test
reactions. Berlin: Springer-Verlag 2003.
46
Lampiran 6
Contoh Prosedur
Indikasi
o Pemberian makanan enternal pada:
a. Pasien dengan refleks isap/telan yang tidak baik, misalnya bayi prematur
atau pasien kelainan neurologis
b. Pasien-pasien yang tidak dapat makan peroral
o Pemberian obat-obatan secara langsung
o Pemeriksaan analisis getah lambung (biokimia, kultur)
Kontraindikasi
o Pasca-esofagoplatis
o Perforasi esophagus
Cara
o Pasien ditidurkan telentang dengan kepala lebih tinggi
o lubang hidung dan orafaring dibersihkan dengan pengisap secara hati-hati
o Panjang bagian sonde lam bung yanga akan dimasukkan diperkirakan dengan
jalan mengukur jarak dari lobang hi dung ke orofaring terus ke esofagus,
sampai batas plester berada di lubang hidung
o Sambil memasukkan sonde, denyut jantung dipantau (awas bradikardia)
o Semprit dipasang pada pangkal sonde
Bila diisap, cairan lambung akan mengalir keluar, ini ditampung sesuai
dengan kebutuhan
Bila sonde lambung akan dipergunakan untuk pemberian makanan
atau obat. Diperiksa sekali lagi apakah ujung sonde tersebut betul
berada di lambung (bukan di paru) yaitu dengan memasukkan udara
47
melalui semprit 5- 10 ml dan didengarkan di daerah lambung dengan
stetoskop
Sila sonde lambung akan dipergunakan untuk dekompresi udara maka
pangkal sonde dimasukkan ke dalam bejana berisis air steril atau air
bersih
Sonde difiksasi dengan plester
Catatan
o Pada anak/bayi dengan distress pernapasan sebaiknya sonde lambung
dimasukkan melalui mulut. Caranya sama hanya sambil mendorong perlahan
lahan anak dimintakan untuk melakukan gerakan menelan.
o Sila terdapat tahanan sewaktu pemasukan sonde, hendaknya jangan terus
dipaksakan (bahaya perforasi).
48
Lampiran 7
Edukasi pasien
Peencanaa n follow up
49
Lampiran 8
*Dokter horus melengkapi bagian bertanda bintang dan mengeliminasi item yang tidak
diinginkan. Dokter harus melengkapi seluruh poin.
50
Daftar istilah kunci
Clinical pathway (CP, alur klinis) adalah bagian atau kelengkapan PPK yang
mengatur, mengurutkan, dan menggabungkan intervensi yang dilakukan oleh dokter,
perawat, profesional lain yang terlibat dalam perawatan pasien. CP dinilai efektif
dan efisien bila diterapkan pada penyakit atau kondisi klinis yang perjalanan
klinisnya dapat diprediksi serta memerlukan pendekatan multidisiplin. Perencanaan
tata laksana dibuat tercetak dalam format tabel, apa yang harus dilakukan, kapan
dilakukan, apa outcome-nya dari hari ke hari, bahkan untuk kasus tertentu dalam
hitungan jam. Stroke non-hemoragik, persalinan normal, bedah kaisar, apendektomi,
pemasangan device untuk menutup defek pada penyakit jantung bawaan
merupakan contoh-contoh tata laksana kasus yang layak untuk dibuat CP.
Sinonim: care pathway, care map, integrated care pathways, multidisciplinary
pathways of core, pathways of core, collaborative care pathways.
Algoritme adalah skema rekomendasi tata laksana pasien yang dirancang untuk
pengambilan keputusan yang cepat, misalnya di instalasi gawat darurat. Algoritme
biasanya disusun sebagai flowchart yang terstruktur, decision tree, ataupun decision
grid.
Prosedur adalah panduan langkah demi langkah untuk tugas teknis tertentu, seperti
biopsi sumsum tulang, pemasangan infus, pungsi lumbal.
51
Standing orders merupakan suatu set instruksi dokter yang ditujukan kepada
perawat atau profesional kesehatan lain untuk memberikan intervensi kepada
pasien selama dokter tidak ada di tempat. Standing order dapat dibuat untuk set
kegiatan tertentu (misalnya pada operasi tertentu perawat mengukur tanda vital,
memasang kateter uretra, memasang infus, memberikan suntikan obat tertentu
tanpa perintah dokter. Standing order juga dilaksanakan pada kondisi pasien
tertent; missal pasien anak dengan kejang demam diberikan diazepam rektal, anak
dengan hiperpireksi diberikan parasetamol, dsb.
52
Daftar pustaka
1. Ashton J. Taxonomy of health system standard. Center for Human Services, 2002.
Diunduh dari www.gaproject.org.
2. Department of General Practice, Royal United Hospital. Study guide - clinical audit.
Karis.Christie@ruh-bath.swest.nhs.uk.
3. Halligan A, Donaldson l. Implementing clinical governance: turning vision into reality.
BMJ 2001 ;322: 1413-7.
4. Ministry of Health, New Zealand. Toward clinical excellence. Diunduh dari
www.moh.govt.nz.
5. National Health Systems. Clinical governance. Diunduh dari:
www.doh.gov.uk/pricare/clingov.htm.
6. National Centre for Health Outcome Development. Coding issues concerning clinical
indicators. 2002.
7. National Institute of Clinical Excellence. Principles for best practice in clinical audit.
Redcliffe Medical Press, Ltd. Oxon: 2002.
8. Royal Children's Hospital, Melbourne. Clinical pathways - 2010. Diunduh dari:
www.rch.au.
9. Starey N. What is clinical governance? Diunduh dari: www.evidence-based
medicine.co.uk. 2001.
10. Wasserman SI, et al. Recertification in internal medicine. A program of continuing
professional development. Ann Intern Med 2000; 133:202-8
11. Institute of Medicine. Standards for developing trustworthy clinical practice
guidelines. Diunduh dari:
http://www.ion.edu/activities /guality /clinicpracguide.aspx. 201 1
1 2. Barkun AN, Baht M, Amstrong D. Effectiveness of disseminating consensus
management recommendation for ulcer bleeding: a cluster randomized trial. CMAJ.
2013; 185:e 156.
1 3 . National guidelines clearinghouse inclusion criteria. Diunduh dari:
http://www.guideline.gov /about /inclusioncrieria.aspx. 2013
53