Disusun Oleh :
Made Ayu Candramawati H1A011042
SUPERVISOR:
dr. Dewi Anjarwati, M.Kes, Sp.Rad
BAGIAN/SMF RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU PROVINSI NTB
2015
Pencitraan pada Trauma Ginjal
Madhukar Dayal, Shivanand Gamanagatti, Atin Kumar
Abstrak : Cedera ginjal, berdasarkan klasifikasi dari American Association for the Surgery of
Trauma, dibagi menjadi lima derajat cedera. Terdapat beberapa modalitas pencitraan yang
tersedia untuk menilai derajat cedera ginjal, yang masing-masing memiliki kegunaan dan
keterbatasan sendiri. Saat ini, foto rontgen polos dan urografi intravena tidak memiliki manfaat
dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai mengalami cedera ginjal. Pemeriksaan dengan
ultrasonografi (USG) memiliki keterbatasan dalam mengevaluasi pasien yang dicurigai memiliki
cedera retroperitoneal; namun pemeriksaan dengan USG memiliki peranan penting selama
pemeriksaan lanjutan pada pasien dengan pembentukan urinoma. USG membantu memonitor
ukuran urinoma dan juga untuk prosedur drainase. Peran arteriografi renal selektif terbatas pada
tujuan intervensi dibandingkan sebagai diagnostik. Pielografi retrogard bermanfaat dalam
menilai ureteral dan ginjal pada pasien yang dicurigai mengalami cedera uteropelvis junction dan
juga untuk tujuan intervensi. Magnetic resonance imaging (MRI) tidak bermanfaat dalam cedera
ginjal akut. Multidetector computed tomography adalah modalitas yang menjadi pilihan dalam
evaluasi cedera ginjal. Multidetector computed tomography juga berguna dalam mengevaluasi
cedera ginjal pada ginjal yang memiliki abnormalitas yang sudah ada sebelumnya serta
membantu menentukan kedalaman penetrasi cedera pada pasien dengan luka tusuk di regio
pinggang. Kombinasi antara temuan pencitraan dengan temuan klinis sangatlah penting dalam
manajemen pasien. Artikel ini akan mendeskripsikan spektrum cedera ginjal yang ditemui pada
kondisi trauma.
Kata kunci : trauma; trauma ginjal; pencitran; Focused abdominal sonography for trauma;
Multidetector computed tomography; Contrast-enhanced computed tomography; Grading;
klasifikasi American Association for the Surgery of Trauma, cedera vascular, revisi American
Association for the Surgery of Trauma.
Petunjuk dasar : Cedera ginjal seringkali terjadi setelah trauma tumpul dan trauma penetrasi.
Pembedahan sebagai metode terapi seringkali dibutuhkan pada cedera yang berat, sedangkan
cedera ringan diatasi secara konservatif. Saat ini sistem grading berdasarkan pencitraan
seringkali digunakan dan membantu dalam menentukan manajemen lebih lanjut. Saat ini
multidetector computed tomography adalah modalitas pencitaan pilihan dan dapat
menggambarkan cedera yang paling parah. Berdasarkan temuan dari pencitraan, dapat dilakukan
prosedur intervensi kepada pasien dibandingkan tindakan pembedahan. Klasifikasi dari
American Association for the Surgery of Trauma telah diperbaharui, saat ini cedera vaskular
dimasukkan dalam klasifikasi dan hal ini menunjukkan cedera derajat V.
PENDAHULUAN
Trauma adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas diseluruh dunia. Trauma
tumpul abdomen terjadi lebih sering dibandingkan trauma penetrasi. Limpa dan hati adalah
organ viseral yang paling sering terkena pada trauma tumpul abdomen, kemudian diikuti dengan
cedera genitourinari yang terjadi pada 3-10% kasus. Ginjal terletak tinggi dalam
retroperitoneum, terlindungi dengan baik dan diselubungi oleh peritoneum dan abdomen viseral
di depan dan struktur muskuloskeletal di belakang. Ginjal adalah organ yang paling sering
mengalami cedera pada sistem genitourinaria dan trauma ginjal terjadi pada 1-5% dari seluruh
trauma abdominal. Dari semua kejadian, lebih dari 95% adalah cedera ringan dan dapat diatasi
dengan terapi konservatif tanpa adanya komplikasi yang signifikan. Hanya cedera yang lebih
berat, seperti fraktur ginjal atau ruptur ginjal, cedera pedikel ginjal atau avulsi dan cedera sistem
pelvikaliseal berat, yang memerlukan intervensi aktif bahkan pembedahan. Saat ini, Contrast
enhanced computed tomography (CECT) adalah modalitas pilihan untuk evaluasi trauma ginjal
dan dapat menggambarkan beragam derajat cedera dan komplikasinya.
PROTOKOL PENCITRAAN
FAST
Penggunan FAST saat ini telah menjadi tambahan pemeriksaan fisik pada pasien trauma
dan digunakan pada penilaian primer dan pasien triase. Biasanya, pencitraan ginjal dilakukan
sebagai bagian dari pencitraan abdominal rutin untuk melihat cedera lainnya di viseral abdomen.
FAST dapat mendeteksi laserasi ginjal namun tidak dapat menilai kedalamannya dan tidak
membantu dalam membedakan darah yang berasal dari urinoma. Terdapat kemungkinan untuk
melewati lesi kecil, dengan perdarahan retroperitoneal atau ketika terdapat cedera organ padat
viseral lain. Adanya hematuria, bahkan pada hasil pemindaian yang negatif tidak dapat
mengesampingkan cedera dasar dan keputusan untuk manajemen lanjutan dilakukan berdasarkan
keadaan klinis pasien. Protokol untuk manajemen pasien yang diduga mengalami trauma ginjal
secara umum dibagi menjadi tiga kelompok: (1) pasien dengan hemodinamik tak stabil biasanya
dilakukan pembedahan eksplorasi, dimana pasien yang telah distabilisasi setelah sebelumnya
keadaannya buruk akan dilakukan pemeriksaan CT scan atau pengulangan FAST dan keputusan
lebih lanjut dapat disesuaikan hasilnya; (2) pasien yang hemodinamiknya stabil dan mengalami
hematuria harus dilakukan CT scan; dan (3) pasien yang hemodinamiknya stabil, tidak
mengalami hematuria dan temuan FAST negatif harus dilakukan observasi pada kondisi
klinisnya selama paling tidak enam jam.
CT
Multidetector computed tomography dianggap sebagai metode baku emas untuk penilaian
radiografi pada pasien dengan cedera ginjal dan saat ini telah sepenuhnya menggantikan IVP.
Dengan waktu pemeriksaan yang tidak lama, CT menyediakan informasi yang diperlukan
menyangkut derajat cedera parenkim dengan atau tanpa keterlibatan cedera pelvikaliseal berat
dan cedera vaskular ginjal dan juga menyediakan informasi mengenai keadaan fungsi ginjal.
Melakukan pemindaian phasic juga membantu dalam membedakan perdarahan aktif dengan
ekstravasasi dari urin. Dengan ketersediaan CT scan terbaru secara luas dan pemindaian helikal
multislide, pemindaian yang lebih cepat, volume cakupan yang lebih luas, kemampuan
rekonstruksi multiplanar yang membaik saat ini dapat menyediakan gambaran kualitas tinggi
dengan waktu yang lebih singkat. Namun, karena sebagian besar pasien yang diperiksa dengan
CT scan tidak terlalu kooperatif dalam menahan napas, artefak gerakan seringkali berujung pada
kerancuan interpretasi pemindaian. Pencitraan yang lebih cepat dengan pemindaian multislice
dan rekonstruksi multiplanar dapat membantu mengatasi masalah ini dan menyediakan penilaian
cedera yang lebih akurat.
Konstelasi Terminologi
Kontusio dideskripsikan sebagai area hipodens yang berbatas tak jelas dari area
peninggian yang berkurang pada fase nefrografi yang dapat terlihat pada peninggian yang
tertunda atau persisten (Gambar 1A).
Infark dapat sulit dibedakan dengan kontusio. Infark berbentuk seperti baji, area hipodens
berbatas tajam yang terlihat pada fase negrografi dan menunjukkan peninggian yang tertunda
(Gambar 1B dan C). Hematoma subkapsular terlihat sebagai area berbentuk bulan sabit atau area
bikonveks terkumpulnya darah sepanjang batas ginjal, menyebabkan pemipihan atau penekanan
pada permukaan ginjal (Gambar 1D).
Hematoma subkapsular dibedakan dari hematoma perinefrik (Gambar 1E) yang
terbatas antara parenkim ginjal dan fascia Gerota, meluas dari melewati batas ginjal menajadi
area yang lebih lebar tanpa menimbulkan pemipihan atau penekanan batas ginjal, dan hal ini
terjadi mengikuti laserasi kapsul ginjal.
Laserasi adalah area hipodens berbatas tidak teratur dari defek parenkimal yang mencapai
permukaan, menyebabkan gangguan kontinuitas parenkim. Laserasi dapat sulit dilihat dengan
banyaknya ragam kedalaman celah yang dapat terisi dengan bekuan darah. Laserasi juga tidak
menunjukkan peninggian.
Ruptur ginjal mengacu pada laserasi multipel yang menyebabkan disrupsi dan
fragmentasi parenkim ginjal, seringkali berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal, cedera pada
sistem pengumpul dengan ekstravasasi urin dan perdarahan berat dengan perdarahan arteri aktif.
Fragmen ginjal dapat mempertahankan suplai darahnya jika sepenuhnya mengalami
devaskularisasi.
Pseudoaneurisme adalah lesi fokal berbatas tegas berbentuk bulat didalam parenkim
ginjal atau pada segmen yang mengalami laserasi yang menunjukkan peninggian arteri yang
hebat. Tidak terdapat adanya ekspansi pada fase tertunda pemindaian.
Ekstravasasi arteri aktif: area fokal yang berbatas tak tegas yang menunjukkan kebocoran
kontras dengan konfigurasi yang berbeda dengan nilai pengurangan yang tinggi (85 hingga 370
HU) pada pemindaian awal dan kemudian akan muncul pengurangan yang hebat dibandingkan
genangan darah dan terlihat penyebaran dan ekspansi ke jaringan sekitar pada pemindaian
tertunda.
Gambar 1. Konstelasi Terminologi. A. Kontusio. Kontras potongan aksial CECT menunjukkan area
hipodens yang berbatas tak tegas pengurangan peninggian (panah) menunjukkan kontusio intraparenkim.
B, C. Infark; B: Aksial CECT; C: Aksial T2 gambaran MRI menunjukkan infark berbentuk baji, area
hipodens yang berbatas tegas pada CT (panah) dan area hipointens pada gambaran T2W MRI (panah); D:
hematoma subkapsular. Potongan CECT aksial menunjukkan area hipodens dari kompulan darah
sepanjang batas ginjal menyebabkan pemipihan atau penekanan permukaan dasar ginjal (panah). Juga
terdapat hematoma perirenal (panah hitam); E: hematoma perirenal. Gambar CECT aksial menunjukkan
area hipodens dari kumpulan cairan (panah) disekitar ginjal kiri terbatas dalam fascia Gerota dan tidak
menimbulkan pemipihan batas ginjal.
Cedera Derajat I
Cedera derajat I dikarakteristikkan dengan kontusio atau hematoma subkapsular yang
tidak meluas tanpa adanya laserasi parenkim. Temuan lainnya yakni hematoma perinefron yang
terbatas dan infark kecil subsegmental. Cedera derajat I terhitung sebagai cedera ginjal yang
paling sering terjadi (sekitar 80%) yang kebanyakanya menunjukkan hematuria ringan dan
biasanya diterapi sacara konservatif (Gambar 2).
Cedera Derajat II
Cedera ginjal derajat II dikarakteristikkan dengan hematoma perinefrik yang tidak meluas
yang terbatas di retroperitoneal atau laserasi kortikal dengan kedalaman < 1 cm tanpa
keterlibatan sistem pengumpul. Temuan lain yang berhubungan adalah penebalan fascia
lateroconal, kompresi kolon, pemindahan ginjal oleh hematoma perirenal. Pasien-pasien ini
diterapi secara konservatif (Gambar 3).
Cedera Derajat IV
Cedera derajat IV melibatkan cedera pada arteri atau vena utama ginjal yang berisi
perdarahan dan cedera yang mengakibatkan devaskularisasi segmental dan laserasi yang
melibatkan cedera pelvikaliseal berat. Selain itu, laserasi ginjal multipel, perluasan hematoma
subkapsular dan ruptur ginjal termasuk dalam cedera derajat IV. Keberadaan hematoma di
daerah perihilar dan daerah medial ginjal atau laserasi yang lebih dalam memanjang hingga
hilum meningkatkan kecurigaan adanya cedera pelvikaliseal berat dan pemindaian fase
ekskretori diperlukan untuk mengkonfimasi kebocoran urin (Gambar 5-7).
Cedera Derajat V
Cedera derajat V adalah cedera yang paling berat dari cedera ginjal, dikarakteristik
dengan avulsi pelviureter junction (Gambar 8). Cedera ini terjadi akibat shearing injury pada
tempat fiksasi yang tertarik secara melintang sehingga menimbukan gangguan di pelviureter
junction. Hal ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya, dengan adanya hematoma atau urinoma
di daerah tengah dan perihilar ginjal. Ekstravasasi urin pada pemindaian fase ekskretori (Gambar
8B-D) dengan terlihatnya opasitas ureter sebelah distal dari daerah cedera membantu
mengkonfirmasi diagnosis dan membedakan cedera sebagian atau seluruhnya. Pada avulsi
komplit, tidak terlihat adanya ureter diatas cedera dan pada kondisi ini pasien memerlukan
operasi reparasi. Pada robekan parsial akan nampak opasitas pada ureter sebelah distal dan
pasien dengan kondisi ini dapat dikelola dengan tekhnik invasif minimal misalnya seperti
memasang stent ureter sepanjang lokasi cedera atau pengalihan aliran urin dengan nefrostomi
perkutan tube. Tindakan operasi dapat dilakukan jika tindakan konservatif diatas gagal mengatasi
cedera.
Tipe lain cedera adalah cedera pedikel ginjal (Gambar 9) dan rupturnya parenkim ginjal
(Gambar 10) dengan atau tanpa ekstravasasi kontras arteri atau urin. Cedera pedikel ginjal dapat
berujung pada trombosis arteri (Gambar 9A) atau vena dan diikuti dengan devaskularisasi ginjal
atau laserasi komplit yang berakibat avulsi pedikel ginjal. Hal ini umum terjadi pada cedera
akibat trauma deselerasi tiba-tiba atau hiperekstensi pada tulang belakang yang mengakibatkan
meregangnya pembuluh ginjal di retroperitoneum dan robekan intima yang diikuti terbentuknya
trombus yang menutup arteri utama ginjal. Lokasi oklusi nampak sebagai bagian terpotong dari
kontras pada arteri utama ginjal yang terlihat pada CECT scan dengan tidak adanya peninggian
parenkim ginjal. Tidak terlihat adanya hematoma perinefrik. Pada beberapa kasus, dapat terlihat
suplai darah yang masih utuh dari pembuluh kapsular, peripelvik, dan periureter yang
menghasilkan peninggian kapsular dan subkapsular yang tipis, hal ini disebut sebagai cortical
rim sign. Temuan lain yang dapat mendukung adanya devaskularisasi adanya pengisian
retrogard pada pembuluh vena ipsilateral (Gamar 9B) dari vena kava inferior. Disisi lain, avulsi
pedikel ginjal adalah robekan komplit pada semua lapisan dinding pembuluh darah sehingga
akan nampak hematoma disekeliling aorta dan hilum ginjal dengan ekstravasasi kontras aktif.
Pada keadaan ini tidak akan ada perfusi ginjal. Pasien dengan keadaan ini akan menunjukkan
hemodinamik yang tak stabil dan dapat mematikan jika tidak ditangani dengan cepat. Cedera
vena ginjal sangatlah jarang terjadi. Pada pemeriksaan CECT, akan dapat terlihat adanya defek
pengisian pada vena ginjal yang melebar atau tanda perubahan tekanan balik, seperti nefromegali
dengan progresi yang tertunda pada nefrogram dibandingkan dengan ginjal normal disebelahnya.
Keterlibatan sepenuhnya vena ginjal dapat tidak bisa dinilai dengan CT namun dapat diduga
dengan adanya perihilar yang lebar atau hematoma yang meluas.
ASST tidak mendeskripsikan pseudoaneurisme atau perdarahan aktif (Gambar 11) pada
satupun derajat cedera karena hal tersebut merupakan sistem derajat bedah berdasarkan tampilan
saat pembedahan, namun terdapat beberapa sistem derajat yang mengklasifikasikannya menjadi
kategori cedera ginjal derajat lebih tinggi yang memerlukan tindak lanjut seksama atau intervensi
pemvedahan ataupun endovaskuar. Pada kasus dengan fungsi ginjal yang masih baik,
pseudoaneurisme atau ekstravasasi arteri lokal dapat dilakukan embolisasi secara efektif,
meninggalkan pembedahan sebagai pilihan untuk cedera yang lebih berat.
Gambar 2. Cedera derajat I. A: Aksial; B: Gambaran koronal contrast enhanced computed tomography
(CECT) dari pasien laki-laki usia 40 tahun yang mengalami kecelakaan lalu lintas, menunjukkan kontusio
kecil pada kutub paling atas ginjal kiri (cedera derajat I). Juga terlihat area hipodens berbentuk baji
ukuran kecil, yakni infark pada kutub terbawah ginjal kanan; C: Gambaran aksial CECT pada pasien lain
(laki-laki usia 25 tahun dengan trauma tumpul) menunjukkan area kontusio yang lebih besar pada kutub
teratas ginjal kanan.
Gambar 3. Cedera derajat II. A: Potongan aksial CECT pasien laki-laki usia 24 tahun dengan trauma
tumpul abdomen, menunjukkan area laserasi kecil superfisial yang ireguler dan area hipodens linear
(panah) yang melibatkan korteks posterior ginjal kiri dengan hematoma perinefron ringan. Tidak ada
cedera pelvikaliseal. B: Aksial; C: Gambar CECT koronal pasien laki-laki usia 27 tahun dengan trauma
tumpul menunjukkan hipodensitas perirenal (panah) mengelilingi ginjal kiri dan terbatas didalam fascia
Gerota.
Gambar 4. Cedera Derajat III. Gambaran CECT pasien
laki-laki usia 27 tahun dengan trauma tusuk di pinggang
kiri. A: Potongan aksial menunjukkan laserasi dalam
(panah) yang mencapai hilum; B: Potongan koronal
menunjukkan laserasi dalam pada kutub tengah dengan
adanya gangguan pada fascia pararenal dan hematoma luas
(bintang) disisi lateralnya; C: Gambaran aksial tertunda
pada fase ekskretori menunjukkan tidak ada ekstravasasi
kontras.
Penilaian radiologi dan pelaporan cedera ginjal seharusnya menyediakan derajat dan
keparahan cedera mengikuti sistem derajat cedera ginjal ASST yang membantu untuk
menentukan pilihan terapi untuk pasien-pasien trauma. Walaupun tidak dijelaskan detail dalam
sistem klasifikasi, ekstravasasi arteri aktif dan pseudoaneurisme mendukung adanya cedera yang
lebih berat dan pasien sebaiknya diawasi secara seksama dan dilakukan intervesi dini jika
diperlukan. Kebanyakan trauma ginjal adalah derajat ringan (derajat I-III) dan diterapi secara
konservatif. Namun, intervensi mungkin dibutuhkan pada kasus dengan perdarahan aktif yang
pada kebanyakan kasus diatasi dengan embolisasi angiografi, sedangkan pembedahan diperlukan
pada kasus dengan hemodinamik yang tak stabil. Cedera derajat IV dapat juga dicoba untuk
diterapi konservatif pada pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa hematoma yang meluas.
Cedera pelvikaliseal berat dan ekstravasasi urin dapat diatasi dengan pendekatan konservatif,
terkadang dibantu dengan stenting, nefrostogram perkutan atau drainase urinoma. Pada kasus
yang gagal resolusi, operasi reparasi atau nefrektomi harus dilakukan.
Cedera derajat V dengan disrupsi uteropelvik komplit dan avulsi pedikel ginjal
memerlukan operasi reparasi. Namun, cedera uteropelvik parsial dapat ditangani dengan stent
atau pengalihan urin proksimal. Trombosis dan devaskularisasi arteri ginjal dapat ditangani
dengan trombolisis atau pemasangan stent untuk mempertahankan fungsi ginjal jika intervensi
dilakukan dalam beberapa jam setelah trauma. Kasus lainnya kemungkinan memerlukan
nefrektomi. Nefrektomi parsial masih merupakan pilihan pada pasien dengan jumlah parenkim
ginjal fungsional yang cukup dengan fungsi yang masih baik. Pembedahan eksplorasi hingga
saat ini masih sering dilakukan untuk luka penetrasi. Namun, pasien stabil dengan luka tembak
kecepatan lambat dan luka tusuk derajat ringan dapat ditangani secara konservatif dengan
antibiotik spektrum luas dan pemeriksaan ikutan yang seksama. Luka penetrasi sebaiknya
dieksplorasi hanya jika melibatkan hilum atau kebocoran urin atau perdarahan aktif.
Gambar 6. Cedera Derajat IV. Laserasi melibatkan sistem pelvikaliseal. Gambaran CECT anak laki-
laki usia 7 tahun yang terjatuh dari ketinggian dengan trauma tumpul abdomen. A: Aksial; B: Potongan
sagital menunjukkan laserasi dalam pada kutub bawah ginjal kanan memanjang hingga hilum ginjal; C:
Potongan sagital; D: Gambaran proyeksi koronal maksimum pada fase ekskretori menunjukkan
kebocoran urin dengan gambaran opak (panah) melalui laserasi menunjukkan adanya cedera pelvikaliseal
yang dapat menimbulkan terbentuknya urinoma disekitar kutub bawah ginjal kanan.
Gambar 7. Cedera Derajat IV. Ruptur ginjal. Gambaran CECT dan MRI pasien perempuan usia 58
tahun dengan asidosis tubular ginjal yang mengalami hematuria yang signifikan. A: CECT sagital; B:
Potongan koronal MRI T2 menunjukkan laserasi besar dengan hematoma yang memanjang dari kutub
tengah membagi ginjal menjadi dua bagian dan memisahkan kedua kutub; C: Gambaran proyeksi koronal
intensitas maksimal pada fase ekskretori tidak menunjukkan adanya kebocoran urin dengan opasitas
ureter; D: Gambaran rekonstruksi menunjukkan ginjal yang ruptur melalui pinggang.
Gambar 8. Cedera Derajat V. Cedera uteropelvik junction (direvisi sebagai derajat IV). Gambaran
CECT pasien perempuan usia 30 tahun dengan trauma tumpul abdomen. A: Potongan aksial
menunjukkan laserasi dalam di korteks posteromedial ginjal kiri yang melibatkan hilum dengan
hematoma perinefron dan perihilar; B: Fase ekskretori potongan aksial menunjukkan kebocoran urin dari
pelviuterer junction yang berjalan sepanjang daerah medial ginjal; C: Proyeksi intensitas maksimum
aksial; D: Proyeksi intensitas maksimum koronal menunjukkan ekstravasasi urin dari pelvis ginjal dan
mengikuti retroperitoneum sepanjang ureter.
Gambar 9. Cedera Derajat V. Cedera vaskular ginjal. Devaskularisasi mengikuti trombosis ginjal. A:
Potongan aksial CECT setingkat arteri ginjal kiri pasien laki-laki usia 48 tahun dengan trauma tumpul
abdomen, menunjukkan ginjal kiri yang tidak mengalami peningkatan dengan potongan yang tiba-tiba
pada segmen proksimal yang meninggi pada arteri utama ginjal kiri (panah) dengan segmen distal yang
tidak meninggi; B: Pemindaian CECT aksial pada pasien yang berbeda menunjukkan aliran balik kontras
pada arteri ginjal kanan (panah) dari inferior vena kava, juga tanda yang menunjukkan devaskularisasi
ginjal.
Gambar 10. Cedera Derajat V. Ruptur ginjal (direvisi sebagai derajat IV). Gambaran CECT pasien
laki-laki usia 18 tahun dengan trauma tumpul abdomen. A: Potongan aksial; B: Potongan koronal
abdomen menunjukkan hematoma besar menggantikan seluruh ginjal kanan dengan hematoma perinefron
yang memanjang. Juga terlihat area berbatas tak tegas dari ekstravasasi kontras aktif (panah) didalam
hematoma; C: Gambaran proyeksi koronal tebal intensitas maksimal menunjukkan cabang arteri yang
mengalami perdarahan secara aktif didalam hematoma.
Gambar 11. Cedera vaskular. Ekstravasasi kontras aktif. CECT pasien laki-laki usia 25 tahun dengan
asidosis tubular ginjal. A: Potongan aksial; B: Gambaran proyeksi koronal intensitas maksimum tebal
pada fase arterial lambat menunjukkan area ekstravasasi kontras (panah) sepanjang permukaan anterior
kutub atas ginjal kanan yang tidak terbatas pada struktur vaskular, yang mana pada fase tertunda langsung
hal ini terlihat menyebar sepanjang area (panah) perinefron dan memiliki densitas lebih tinggi dibanding
pembuluh disekitarnya.
Pencitraan pada pemeriksaan lanjutan diperlukan untuk melihat adanya resolusi cedera.
Hal ini biasanya tidak diindikasikan untuk cedera tumpul derajat I-III dan cedera ginjal derajat
IV tanpa ekstravasasi urin. Pencitraan ikutan (CECT) diindikasikan pada pasien dengan cedera
derajat IV dengan kebocoran urin pada pemindaian sebelumnya, cedera ginjal derajat V yang
sebelumnya diterapi secara konservatif, pasien dengan tanda-tanda komplikasi (demam, turunnya
nilai hematokrit atau kondisi klinis yang tak stabil) dan dengan komorbid lain yang berhubungan.
KESIMPULAN
Pasien dengan hematuria setelah trauma abdominal harus meningkatkan kecurigaan akan
adanya cedera ginjal, hanya saja, hematuria dapat tidak terjadi pada pasien dengan trombosis dan
devaskularisasi arteri renal utama. Evaluasi radiologi diperlukan untuk konfirmasi lanjutan dan
menentukan derajat cedera. FAST adalah alat yang cepat dan diterima dengan baik pada kondisi
triase pasien dengan keadaan trauma. CECT adalah modalitas pilihan untuk menilai derajat
cedera ginjal berdasarkan sistem klasifikasi AAST dan juga untuk melihat komplikasi yang
berhubungan. CT biasanya dilakukan pada fase tunggal (nefrografi awal), menyediakan
informasi mengenai cedera parenkimal dan pada fase ini juga organ visceral lainnya dapat
dievaluasi. Namun, untuk mengetahui informasi mengenai fungsi ginjal, cedera pelvikaliseal
berat dan memastikan ekstravasasi arteri, pemindaian pada delayed phase kemungkinan
diperlukan. Kebanyakan cedera ginjal dapat ditangani secara konservatif. Prosedur seperti
pengalihan urin, pemasangan stent untuk cedera pelvikaliseal berat ataupun cedera ureter, dan
angioembolisasi untuk psedudoaneurisme atau perdarahan aktif, adalah prosedur invasif minimal
yang memperluas batasan manajemen konservatif dan pembedahan diperlukan hanya pada
cedera dengan derajat lebih berat atau saat penanganan konservatif gagal.