Anda di halaman 1dari 26

LIVER TRAUMA: WSES 2020

GUIDELINES
C
SAFIRA DHIA RAHMAWATY
1910017031

PEMBIMBING :
dr. Ahmad Tobroni, Sp.B(K)BD
ABSTRAK
vTrauma hepar merupakan salah satu trauma abdomen yang dapat mengancam jiwa.
vKetika menentukan strategi penanganan trauma hepar secara efektif dapat dinilai dari
lokasi trauma hepar secara anatomi, keadaan hemodinamik dan trauma lainnya yang
kemungkinan menggangu fisiologis tubuh.
vPenanganan trauma hepar dapat dilakukan baik secara operatif maupun non operatif
vPenanganan dilakukan untuk mempertahankan homeostasis tubuh dan fungsional
tubuh.
vPenanganan trauma hepar harus diperhatikan secara baik oleh dokter IGD, dokter
spesialis Bedah dan dokter spesialis Radiologi
BACKGROUND
vTrauma hepar merupakan salah satu trauma abdomen yang paling sering ditemukan.
vSeiring berkembang zaman, penegakan diagnosis dan penanganan trauma hepar semakin canggih.
vSejak dua hingga tiga dekade terakhir, penanganan trauma hepar dapat dilakukan dengan laparatomi
eksplorasi
vPenilaian dengan EVTM (Endovascular Trauma Management) dapat digunakan untuk mengetahui
apakah penanganan dapat dilakukan secara non operatif
vPada responden tanpa indikasi laparotomi dapat dikategorikan pada penanganan non operatif.
vKategori trauma hepar yang dinilai berdasarkan trauma ringan atau sedang menurut guidline World
Society of Emergency Surgery (WSES) dengan derajat I,II,III atau American Association for the Surgery
of Trauma – Organ Injury Scale (AAST-OIN) dengan derajat I,II,III.
vKategori trauma hepar yang dinilai berdasarkan trauma berat menurut WSES dan AAST-OIN dengan
derajat IV dan V.
vPada penanganan awal trauma hepar dalam menentukan secara operatif maupun non operatif dapat
ditentukan pada status hemodinamik serta trauma pada bagian struktur hepar
TUJUAN
vJurnal mengenai trauma hepar ini bertujuan untuk memberikan pedoman penanganan trauma hepar
berdasarkan WSES yang diperbarui.
METODE
vData yang digunakan merupakan data yang diambil dari beberapa bank data seperti Medline,Scopus dan
Embase.
vData diambil dari rentan periode Januari 1990 hingga Oktober 2019
vKata kunci yang dicari yaitu hepar, trauma, trauma dewasa, trauma anak-anak, stabilitas hemodinamik,
angioembolisasi, menajemen operatif, manajemen non operatif, konservatif, operatif bedah, diagnosis
serta tindak lanjut.
vPenelitian ini menggunakan ahli yang dipercaya untuk memberikan pendapat dari segi trauma hepar pada
kasus pediatri maupun trauma hepar pada kasus dewasa
vPenelitian ini mengumpulkan seluruh data yang akan dianalisa kebenaran dan dikumpulkan menjadi satu
naskah utuh yang akan dipakai sebagai panduan dalam membuat jurnal.
DEFINISI
vPada pasien dewasa yang memiliki gangguan hemodinamik dilihat pada keadaan fisik seperti tanda-tanda
syok (menurunnya turgor kulit, akral dingin, sianosis,).
vPada pasien anak stabilitas hemodinamik dilihat pada tekanan darah sistolik 70mmHg ditambah 2 kali
usia anak.
vTanda klinis ditemukan nya keadaan sistol < 90 mmHg dan apabila disertai gangguan kesadaran dan
dispneu bila perdarahan termasuk kategori berat.
vPada pasien anak diberikan kristaloid 20 ml/kgbb untuk mengatasi stabilisasi hemodinamik.
vPada pasien anak-anak dan terapi klinis dilakukan resusitasi cairan yang masuk secara bolus maupun
secara transfusi dan diberikan vasopressor.
vPada pasien anak-anak dan dewasa yang memberi respon terhadap resusitasi cairan, namun setelah di
monitoring tidak memberikan kesan baik dianggap belum bisa menjalani prosedur EVTM serta tindakan
non operatif.
Klasifikasi WSES (World Society of
Emergency Surgery)
Klasifikasi AAST-OIN (American Association for the
Surgery of Trauma – Organ Injury Scale)
DIAGNOSIS
vPenanganan awal pasien trauma hepar dilakukan pemeriksaan keadaan fisik umum dan
melihat tanda gangguan stabilitas hemodinamik. Hasil dari pemeriksaan baik menentukan
kebutuhan laparatomi eksplorasi.
vMetode untuk menegakkan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang dapat untuk
menentukan status hemodinamik yaitu dengan pemeriksaan penunjang yaitu FAST (Focus
Assesment Sonography Trauma) untuk mendeteksi cairan bebas dalam intrabdomen dan
CT- Scan kontras melihat intravena untuk melihat keadaan stabilitas hemodinamik.
vSensitivitas FAST pada pasien pediatri cenderung lebih rendah karena hanya sekitar 42%
hingga 52% yang akurat dan memberikan hasil negatif adanya cairan intraabdomen sekitar
96% hingga 98%. Sehingga pemeriksaan FAST pada anak lebih dibutuhkan penyelidikan
khusus dan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa CT-Scan perut dan
panggul serta pemeriksaan laboratorium.
vCT-Scan merupakan gold standar dengan sensitivitas sekitar 96% hingga 100%.
vPada beberapa data penelitian ditemukan gambaran angiografi pada CT-Scan dengan
adanya ekstravasasi kontras yang menandakan perdarahan aktif.
vSelain itu pemeriksaan dengan DPL (Diagnostic Peritonial Lavage) dapat dilakukan bila CT-
Scan tidak tersedia.
NON OPERATIF MANAGEMENT
vPasien trauma hepar dengan kategori cedera minor ringan (WSES I dan AAST I-II),
cedera minor sedang (WSES II dan AAST III) serta cedera minor berat (WSES III dan AAST
IV-V) tanpa ada cedera lain dapat dimasukkan pada penanganan Non Operatif
Management (NOM).
vCT-Scan dengan kontras intravena sebagai gold standar persyaratan penanganan
NOM.
vAngiografi atau angioembolisasi dianggap menggangu pada pemeriksaan pasien
trauma dengan hemodinamik stabil karena memberi kontras merah pada CT-Scan.
vMonitoring klinik baik pemeriksaan fisik maupun penunjang laboratorium dilakukan
untuk mengontrol status klinis dalam penanganan NOM.
vPada penanganan NOM juga perlu diperhatikan indikasi trauma kepala dan servikal
secara bersamaan.
RECOMMENDATION FROM JOURNAL
vNOM dapat dipertimbangkan pada pasien dengan stabilitas hemodinamik baik dan
pemeriksaan fisik maupun penunjang tanpa adanya kelainan yang dapat
mengganggu stabilitas hemodinamik.
vNOM dapat digunakan sebagai standar perawatan pasien.
vApabila pada penanganan NOM terdapat kecurigaan cedera intraabdomen dapat
dilakukan laparoskopi eksplorasi lalu kemudian menentukan hasil penanganan
selanjutnya.
vPada cedera sedang (WSES II dan AAST-OIS III) dan cedera parah (WSES III dan AAST-
OIS IV-V) disertai luka tumpul maupun luka tajam diperlukan penanganan Operatif
Management (OM) dengan kontrol NOM berupa monitoring peneriksaan klinis,
pemeriksaan penunjang laboratorium darah rutin dan CT-Scan serta angiografi.
RECOMMENDATION FROM JOURNAL
vPenanganan NOM pada kasus luka tembus dan luka tembak sangat dipertimbangkan
dan hanya dilakukan pada pusat medis yang berpengalaman dengan menangani
cedera luka tembus tanpa operasi.
vPasien yang tampak stabil tanpa cedera intraabdomen dan internal lainnya,
laparoskopi interval harus selalu dipertimbangkan untuk memastikan tidak adanya
cedera lain yang memerlukan pembedahan.
vLuka tembus dengan trauma penetrasi energi rendah dan penetrasi energi tinggi yang
dapat menentukan untuk tindak OM atau NOM.
vRisiko terbesar dalam penanganan NOM pada luka tembus yaitu bagian lain trauma
abdomen yang tidak terlihat seperti perforasi viskus berongga. Penanganan dapat
dilakukan dengan laparotomi non terapeutik.
NON OPERATIF MANAGEMENT
IN LIVER TRAUMA
vNOM pada trauma hepar tidak ada standar tindak lanjut dalam protokol pemantauan
yang ada pada orang dewasa atau anak-anak.
vPada hematoma subkapsular berat bukan merupakan indikasi penting untuk OM,
tetapi ada risiko kegagalan NOM yang lebih tinggi.
vPada trauma hepar ditemukan peningkatan kadar transaminase dapat menunjukkan
adanya iskemia parenkim intrahepatik.
vKegawatdaruratan diindikasikan OM pada cedera hati sedang (WSES II dan AAST III)
dan cedera hati berat (WSES III-IV dan AAST IV-V) untuk mengurangi risiko kematian.
vLaparoskopi dianggap sebagai alat penting dalam NOM cedera hati, dan dapat
digunakan sebagai strategi jembatan untuk merencanakan intervensi laparoskopi
laparotomi segera atau selanjutnya.
MANAGEMENT OPERATIONAL
vPasien yang secara hemodinamik tidak stabil dan tidak berespon (WSES IV) harus
menjalani OM.
vTujuan bedah primer adalah untuk mengendalikan perdarahan dan kebocoran
empedu dan memulai resusitasi disertai mengkontrol kerusakan hepar sesegera
mungkin.
vAngioembolisasi adalah alat yang berguna dalam kasus perdarahan arteri persisten
setelah prosedur kontrol non-hemostatik.
vREBOA dapat digunakan pada pasien hemodinamik yang tidak stabil sebagai
jembatan menuju terapi definitif untuk kontrol perdarahan.
vPada laparotomi, jika tidak ada perdarahan luas, lakukan elektrokauter kemudian
lakukan penambalan untuk menghentikan perdarahan.
RECOMMENDATION FROM JOURNAL
vPada perdarahan cedera hepar berat, prosedur yang digunakan berupa kompresi manual
dan reseksi hati. Kompresi manual berupa ligasi pembuluh darah pada luka, debridemen
hepar dan ligasi arteri hepatika dan akhirnya debrideman secara ekstensif.
v Tamponade balon dan manuver pringle dapat dilakukan pada tatalaksana awal.
vHal yang perlu dipersiapkan yaitu menyediakan resusitasi intraoperatif sebagai protokol
transfusi masif yang bertujuan untuk mempertahankan perfusi organ dan akhirnya
membalikkan semua gangguan fisiologis yang diinduksi oleh trauma.
vLigasi selektif disarankan dengan kolesistektomi harus dilakukan bila ada hemobilia untuk
menghindari nekrosis kandung empedu. Jika kondisi pasien memungkinkan untuk itu,
Angioembolisme pasca operasi merupakan alternatif yang memungkinkan kontrol
perdarahan sambil mengurangi komplikasi.
vLigasi arteri hepatik meningkatkan risiko nekrosis hati, abses, dan pembentukan biloma.
RECOMMENDATION FROM JOURNAL
vPada cedera vena portal, ligasi cabang utama vena porta harus dihindari karena
risiko tinggi terjadinya nekrosis hati.
vPengepakan hati atau reseksi hati harus lebih sering digunakan daripada ligasi jika
perdarahan terjadi pada cabang vena porta lobar atau segmental.
vReseksi hati adalah metode yang paling tidak berisiko untuk sementara waktu
menangani kerusakan vena porta yang berat.
vManuver Pringle atau kontrol arteri menyimpang dilakukan pada arah posterior atau
pada kavaleri retro-hepatic. Tiga opsi yang ada untuk pengelolaan cedera vena
kavaleri / suprahepatik retro: (1) tamponade dengan pengemasan hati, (2) perbaikan
langsung (dengan atau tanpa isolasi vaskular), dan (3) reseksi lobus.
vREBOA harus dipertimbangkan jika terlepas dari semua prosedur pengendalian
kerusakan, masih ada perdarahan bedah aktif.
KOMPLIKASI
vAbses intahepatik dapat diobati dengan drainase perkutan.
vPseudoaneurisma arteri hepatik harus dikelola dengan Angiografi untuk mencegah
ruptur.
vBiloma simtomatik atau terinfeksi harus dikelola dengan drainase perkutan.
vKomplikasi empedu pasca trauma dapat ditangani dengan kombinasi drainase
perkutan dan teknik endoskopi
vFistula bilier pascatrauma dapat menggunakan lavage / drainase laparoskopi dan
pemasangan stent endoskopik.
RECOMMENDATION FROM JOURNAL
vTrauma hepar tumpul dengan cedera berat komplikasi berupa perdarahan lanjut, infeksi,
bocornya empedu, hemobilia,peritonitis biliar dan fistula biliar.
vPerdarahan ulang atau perdarahan sekunder adalah komplikasi yang paling sering
dilaporkan setelah NOM seperti pada hematoma subkapula atau ruptur pseudoaneurisma
(PSA).
vPada pasien dengan melena atau hematemesis yang disebabkan trauma hepar maka
perdarahan dari ampula Vater (hemobilia) sangat mengarah pada ruptur PSA intrahepatik.
Angioembolisasi adalah pengobatan yang dapat digunakan.
vFistula bilio vena intrahepatik (sering dikaitkan dengan bilemia) dapat diperiksa endoskopi
retrograde kolangiopancreatography (ERCP) merupakan alat yang efektif digunakan
sebagai pemeriksaan. Drainase perkutan dapat dikombinasikan dengan ERCP terapeutik
dengan penempatan stent endobiliary.
vPada penanganan NOM komplikasi tersering berupa nekrosis.
vUSG dapat digunakan sebagai pemeriksaan menilai kebocoran empedu terutama pada
cedera berat.
vPeritonitis empedu biasanya diobati dengan laparotomi.
PREVENTIF
vTromboemboli vena adalah salah satu risiko besar trauma hepar, karena pasien
memasuki kondisi hiperkoagulasi dalam waktu 48 jam sejak cedera. Lebih dari 50%
pasien tanpa thromboprofilaksis dapat menyebabkan deep vein thrombosis (DVT) dan
emboli paru
vPada pasien yang menggunakan antikoagulan, penting untuk mengevaluasi
kebutuhan akhirnya sebagai terapi pembalian untuk menyeimbangkan risiko
perdarahan mencegah komplikasi trombotik.
vPemberian makan enteral dini dikaitkan dengan peningkatan hasil klinis ketika
diberikan dalam 72 jam pertama sejak masuk ICU dan harus ditunda hanya dalam
kasus syok yang tidak terkontrol, penggunaan terapi vasopresor, hipoksemia dan
asidosis yang tidak terkontrol.
FOLLOW UP
vSelama fase pemulihan, pasien harus didorong untuk tidak tinggal sendirian untuk
waktu yang lama dan untuk segera kembali ke rumah sakit jika terjadi peningkatan
nyeri perut, sakit kepala ringan, mual, atau muntah.
vSetelah cedera hepar sedang dan berat, pasien biasanya dapat melanjutkan aktivitas
fisik normal setelah 3-4 bulan.
vRata-rata lesi trauma hepar dapat sembuh dalam waktu sekitar 4 bulan.
KESIMPULAN
vNOM harus selalu dipertimbangkan sebagai pilihan pertama pada orang dewasa dan
populasi anak-anak.
vUntuk alasan kondisi klinis, NOM dapat dilakukan berdasarkan tingkat cedera anatomi
dan stabilitas hemodinamik harus dipertimbangkan bersama-sama dalam
menentukan pilihan perawatan terbaik.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai