Anda di halaman 1dari 15

TRAUMA ABDOMEN

Dosen : Ns.Yanerit Purba,S.Kep.,M.Kep

Disusun oleh :

Fernanda Thobias

Jennifer Jocom

Linda Munaiseche

Universitas Pembangunan Indonesia

Manado

2019
1.KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai
sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi tindakan
operasi dengan segera.Waktu tanggap adalah kecepatan dan ketepatan pelayanan waktu yang
dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pertolongan yang sesuai dengankegawatdaruratan
penyakitnya sejak memasuki pintu IGD.Waktu tanggap yang baik bagi pasien yaitu < 5 menit,
jika lewat dari itu maka dapat mengakibatkan nyawa pasien dalam bahaya bahkan dapat
menyebabkan kematian Pelayanan gawat darurat adalah pelayanan yang memerlukan
penanganan cepat, tepat, dan cermat dalam menentukan prioritas kegawatdaruratanpasien untuk
mencegah kecacatan dan kematian.

Salah satufasilitas kesehatan yang memberikan pelayanan kegawatdaruratan adalah


Rumah Sakit denganInstalasi Gawat Darurat (IGD). IGD merupakan gerbang utama jalan
masuknya penderita gawat darurat. IGD adalah suatu instalasi bagian rumah sakit yang
melakukan tindakan berdasarkantriageterhadap pasien.

Salah satu indikator keberhasilan penanggulangan medik penderita gawat darurat


adalah kecepatan memberikan pertolongan yang memadai kepada penderita gawat darurat baik
respon time sangat tergantung kepada kecepatan yang tersedia serta kualitas pemberian
pertolongan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah cacat sejak di tempatkejadian, dalam
perjalanan hingga pertolongan rumah sakit.

Waktu tanggap adalah waktu yang dihitung pada saat pasien tiba di depan pintu rumah
sakit sampai mendapat tanggapan atau respon time dari petugas Instalasi Gawat Darurat sampai
selesai proses penanganan gawat darurat .

Mekanisme waktu tanggap, disamping menentukan keluasan rusaknya organ-organ


dalam, juga dapat mengurangi beban pembiayaan. Kecepatan dan ketepatan pertotolongan yang
diberikan pada pasien yang datang ke Instalasi gawat darurat memerlukan standar sesuai
dengan waktu tanggap yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan
meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen Instalasi Gawat
Darurat rumah sakit sesuai standar .Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan
segera dimana pasien berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik
adalah trauma abdomen di mana secara anatomi organ-organ yang berada di rongga abdomen
adalah organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus-kasus kegawatdaruratan pada
system pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas
ataupun saluran cerna bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban
atau pasien bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita perlu memahami
penanganan kegawatdaruratan pada system pencernaan secara cepat,cermat dan tepat sehingga
hal-hal tersebut dapat kita hindari
2.UPAYA PENCEGAHAN PRIMER,SEKUNDER,TERSIER,PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK DAN LABORATORIUM

a.Pencegahan Primer
Upaya yang dilakukan perawatuntuk pencegahan primer meliputi penyuluhan kepada
masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga social lainnya. Program
penyuluhan diarahkan ke penggunaan Helm saat mengemudi kendaraan bermotor dan
menggunakan seat belt saat mengemudi mobil, Anak –anak yang masih Balita selalu diawasi
oleh orang tua, jangan Mengemudikan kendaraan dengan kecepatan yang tinggi,pada pemanjat
tebing saat memanjat harus menggunakan pengaman pada kepala dan badan,Pada pekerja
bangunan agar menggunakan helm saat menaiki bangunan yang tinggi.

b.Pencegahan sekunder
Lakukan pemeriksaan Fisik secara cermat(Head to toe).

c.Pencegahan Tersier
1) Pada Trauma Limpa :
 Imunisasi rutin dengan vaksin pneumucocus,dilakukan pada pasien yang baru menjalani
splenektomi yang baru pulanng dari rumah sakit,untuk mengurangi risiko overwhelming
postsplenectomy infection( OPSI)
 Pada pasien yangmengalami hematoma Limpa Subkapsular Menghindarai aktivitas yang
berat dan olahraga fisik selama kurang lebih 3 bulan untuk mencegah terjadinya
perdarahan ulang yang menyebabkan ruptur limpa.
2) Pada pasien yang mengalami cedera colon :
 Pasien yang diduga cedera colon atau rekrum harus diberikan profillaksis antibiotik
parenteral untuk mengatasi kuman – kuman gram negatif aerob ( seperti Escherichia
Coli), dan anerob ( seperti Bcateroidesfragilis ), sehingga kadar darah yang adekuat dapat
dicapai pada saat laparatomi.3) Pada cedera vascular abdomen : tindakan umtuk
mencegah hipotermi
- Menghangatkan semua cairan infus kristaloid dan darah
- Menggunakan rangkaian proses pemanasan leawt ventilator
- Memberikan selimut hangatdan memasang lampu

d.Pemeriksaan Diagnostik

1) Trauma Tumpul

a.Diagnostik Peritoneal Lavage

DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna merubah
rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98% sensitive untuk perdarahan
intraretroperitoneal.Harus dilaksanakan oleh team bedah untuk pasien
dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai :

a) Perubahan sensorium trauma capitis, intoksikasi alcohol,kecanduan obat-obatan.


b) Perubahan sensasi trauma spinal

c) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis

d) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas

e) Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama,
pembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-ray yang lama misalnya
Angiografi

f) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus

DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal nilai dijumpai hal seperti di
atas dan disini tidak memiliiki fasilitas USG ataupun CT Scan. Salah satu kontraindikasi untuk
DPL adalah adanya indikasi yang jelas untuk laparatomi. Kontraindikasi relative antara lain
adanya operasi abdomen sebelumnya, morbid obesity, shirrosis yang lanjut, dan adanya
koagulopati sebelumnya. bisa dipakai tekhnik terbuka atau tertutup (Seldinger ) di infraumbilikal
oleh dokter yang terlatih.Pada pasien dengan fraktur pelvis atau ibu hamil, lebih baik dilakukan
supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun membahayakan
uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi gastrointestinal, serat sayuran ataupun
empedu yang keluar,melalui tube DPL pada pasien dengan henodinamik yang abnormal
menunjukkan indikasi kuat untuk laparatomi. Bila tidak ada darah segar (>10 cc) ataupun
cairan feses ,dilakukan lavase dengan 1000cc ringer laktat (pada anak-anak 10cc/kg).
Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan rogg-oll , cairan
ditampung kembali dan diperiksa di laboratorium untuk melihat isi gastrointestinal ,serat
maupun empedu.

2).Trauma Tajam

1.Cedera thorax bagian bawah untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada
diafragma thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan.

2.Aksplorasi local luka dan pemeriksaan serial dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk
abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi
pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam,
DPL maupun laroskopi diagnostik.

3.Pemeriksaan fisik diagnostik serial dibandingkan dengan double atau triple contrast pada
cedera flank maupun punggung untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostic antara
lai pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupunDPL. Dengan
pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi
simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun
intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries aanterior.
d.Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri
2) Penurunan hematokrit/hemoglobin
3) Peningkatan Enzim hati : Alkaline fosfat,SGPT,SGOT
4) Koagulasi : PT,PTT
5) MRI
6) Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
7) CT scan
8) Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma,kemungkinan pneumothorax
atau fraktur tulang rusuk VIII-X
9) Scan Limfa
10) Ultrasonogram
11) Peningkatan serum atau amylase urine
12) Peningkatan lipase serum
13) Peningkatan glucose serum
14) DPL (+) untuk amylase
15) Peningkatan WBC
16) Peningkatan amylase serum
17) Elektrolit serum
18) AGD

3.TREND DAN ISU

Kematian akibat trauma meningkat setiap tahunnya, data Kepolisian Republik Indonesia
menyebutkan bahwa pada tahun 2012 terjadi 109.038 kasus trauma akibat kecelakaan dengan
korban meninggal dunia sebanyak 27.441 orang. Sedangkan pada 2011 terjadi kasus trauma
akibat kecelakaan sebanyak 109.776 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 31.185 orang.
Data yang didapatkan dari Rumah Sakit Sanglah tercatat pada tahun 2015 menyatakan bahwa
dari total 2755 tindakan di ruang operasi IRD RS Sanglah, didapatkan 720 kasus cedera kepala,
455 dengan fraktur ekstremitas dan 64 kasus dengan trauma abdomen, sisanya berkaitan dengan
kegawatdaruratan bedah non-trauma.Trauma abdomen terutama yang terjadi sebagai akibat
trauma tumpul pada abdomen dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada semua usia,
akan tetapi jenis trauma ini merupakan keadaan yang cukup memberikan tantangan bagi setiap
departemen gawat darurat maupun bagi tenaga medis yang bekerja pada departemen tersebut
dikarenakan oleh presentasi maupun gejala klinis yang sangat bervariasi pada setiap kasus yang
terjadi. Adanya perbedaan antara gejala yang didapatkan dengan trauma yang sesungguhnya
pada banyak kasus yang terjadi membutuhkan diagnosis dan tatalaksana yang tepat dan cepat.
Perlu diingat bahwa cedera yang tampak ringan pada beberapa kasus dapat menjadi suatu
penyebab trauma mayor pada organ-organ intraabdomen, sehingga deteksi yang cepat pada
pasien dengan trauma abdomen menjadi suatu tujuan utama untuk dapat memeperbaiki kondisi
pasien serta mendapatkan hasil tatalaksana yang maksimal.Trauma dapat menyebabkan
koagulopati dini terutama pada pasien dengan syok dengan ditandai dengan adanya antikoagula
sisistemik dan hiperfibrinolisis, di mana terjadinya syok merupakan faktor inisiasi primer yang
terjadi dalam proses ini.Koagulopati merupakan suatu keadaan di mana terdapat
ketidakmampuan dari darah untuk membeku secara normal. Pada pasien trauma pada umumnya
hal ini bersifat multifaktorial dan merupakan suatu proses akut yang kompleks. Banyak faktor
resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya koagulopati yang disebabkan oleh trauma, di
antaranya adalah hipotermia, asidosis, hipoperfusi, hemodilusi dan pemberian cairan. Timbulnya
koagulopati dini harus selalu dipertimbangkan pada seluruh pasien dengan riwayat trauma
terutama pada pasien trauma dengan energi tinggi, di mana koagulopati dini merupakan
fenomena yang umum terjadi pada pasien dengan trauma sebagai salah satu penanda dari
keparahan suatu cedera.Pada fase awal dari trauma, kelainan koagulasi dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan resiko perdarahan yang diikuti oleh fase hiperkoagulabilitas dan
peningkatan resiko terjadinya thrombosis.Respon fisiologi bawaan (innateimunity) dirangsang
oleh adanya kerusakan jaringan, sedangkan kehilangan darah akan menyebabkan terjadinya
AcuteTraumaticCoagulopathy (ATC) atau koagulopati dini akibat trauma. Beberapa faktor dan
mekanisme yang menyebabkan koagulopati dini sering disebut sebagai multifaktorial Trauma
Induced Coagulopathy (TIC).7 Cedera yang berat dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada
faktorfaktorprokoagulan, faktor-faktor antikoagulan, disfungsi dari platelet dan tidak
seimbangnya fungsi fibrinolisis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya AcuteCoagulopathyof
Trauma Shock (ACoTS) maupun Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) setelah
terjadinya trauma dan dapat menyebabkan terjadinya mortalitas.Mortalitas yang terjadi akibat
suatu trauma menjadi masalah utama yang terjadi pada sebagian besar pusat pelayanan
kesehatan, kematian yang terjadi cepat pada trauma abdomen seringkaliberkaitan dengan
perdarahan yang terjadi pada sebagian besar pasien.Pengenalan komponen akut koagulopati pada
pasien trauma abdomen dapat meningkatkan kecepatan dan ketepatan dalam menegakkan
diagnosis awal maupun pemantauan keadaan klinis serta hemostasis setelah terjadinya trauma.
Keaadaan yang menyebabkan terganggunya keseimbangan hemostatik dimulai pada saat
terjadinya trauma pada pasien. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terjadinya koagulopati
pada pasien dengan multitrauma terjadi akibat kondisi sekunder atau setelah dilakukan intervensi
tertentu, di mana dijelaskan bahwa penyebab primer dari keadaan koagulopati ini akibat cedera
kepala tertutup, transfusi darah masif, dan akibat resusitasi dengan cairan.Berdasarkan penelitian
yang dikerjakan oleh Brohi,K, dkk pada tahun 2014 di London melalui studi retrospektif dengan
sampel pasien trauma di mana dilakukan pengambilan data selama 5 tahun sebelum penelitian
menunjukkan bahwa angka mortalitas sebesar 46% pada pasien trauma dengan koagulopati dini,
di mana data tersebut menunjukkan adanya perbedaan 10,9% dari pasien trauma dengan fungsi
pembekuan darah yang normal.Penelitian lain yang dikerjakan oleh Maegele pada tahun 2010 di
Jerman melalui teknik pengumpulan data yang didapatkan dari database di mana mortalitas
pasien trauma dengan koagulopati dini sebesar 13% dibandingkan dengan pasien trauma tanpa
koagulopati sebesar 1,5%.Kurangnya kriteria diagnosis yang tepat dalam koagulopati dini akibat
trauma dapat menghambat identifikasi, diagnosis dan penanganan dini. Pemanjangan
ProthrombinTime (PT) dan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT) telah banyak
digunakan untuk melihat faktor resiko terjadinya mortalitas pada pasien dengan trauma
abdomen. Walaupun pemeriksaan ini sangat sederhana dan telah dapat diterima secara luas, akan
tetapi masih ada beberapa keterbatasan dari penggunaan PT dan APTT untuk memprediksi
terjadinya mortalitas pada pasien dengan trauma abdomen.Hubungan yang sebenarnya antara
pemanjangan ProthrombinTime (PT) dan Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)
dengan mortalitas pada pasien dengan trauma abdomen yang masih memiliki banyak
keterbatasan penggunaan terutama di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, sehingga tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh profil koagulasi dini yaitu pemanjangan PT dan
APTT pada pasien dengan trauma abdomen terhadap terjadinya mortalitas di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah.

4.EVIDENCE BASED PRACTICE DALAM PENATALAKSANAAN TRAUMA


ABDOMEN

Gangguan Sistem pencernaan adalah gangguan yang menjadi masalah besar di dunia
khususnya Indonesia diantaranya adalah penyakit gastritis, hernia, trauma abdomen, ca hepar,ca
rectum, dan lain-lain. Untuk mengatasi gangguan-gangguan dalam sistem pencernaan tersebut
perlu adanya penatalaksanaan keperawatan yang berdasarkan pada Evidence based.Evidence
Based adalah penggunaan bukti untuk pengambilan keputusan di pelayanan kesehatan. Evidence
Based Nursing merupakan penggabungan bukti dari hasil penelitian dan praktek klinis
ditambah dengan pilihan dari pasien ke keputusan klinis
Evidence Based Dalam KeperawatanDalam praktik keperawatan yang mendasari praktiknya
sesuai dengan ilmu pengetahuan,ada empat pilar yang sekaligus proses yang membantu pearawat
untuk mencapai praktik yangterstandart. Pertama adalah Evidence Based Practice, kedua adalah
research utilization ,ketiga adalah research conduct , dan yang terakhir adalah performance
improvement.
Evidence Based Practice (EBP) dapat diartikan sebagai sebuah proses yang digunakan untuk
memanfaatkan atau menggunakan evidence atau bukti ( Research and qualityimprovement),
pengambilan keputusan dan nursing expertise untuk membimbing dalam memberi asuhan
keperawatan atau pelayanan yang holistic kepada pasien. Pada dasarnya EBP diperlukan untuk
mencapai patient outcomes, menghindari intervensi yang tidak perludan tidak sesuai tentu saja
untuk mengurangi/ menghindari komplikasi hasil dari perawatan dan juga pengobatan.B.

Evidence Based Penatalaksanaan Keperawatan Gangguan Sistem Pencernaan


1.Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendisitis
disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongestivaskuler,
iskemik, necrosis, dan akibatnya terjadi infeksi. Pada anamesis penderita mengeluhnyeri
atau sakit perut. Gejala lain munculnya demam dan mual. Penatalaksanaan untuk mengatasi
appendiksitis adalah dengan skor alvarado dan apendiktomi.

a.Penatalaksanaan Appendisitis dengan Score Alvarado


Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis dan merupakan
penyeba abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendisitis
disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongestivaskuler,
iskemik, necrosis, dan akibatnya terjadi infeksi. Pada anamesis penderita mengeluhnyeri atau
sakit perut. Gejala lain munculnya demam dan mual. Salah satu Penatalaksanaan untuk
mengatasi appendiksitis adalah dengan skor alvarado. Skor alvarado berfungsi untukdiagnosis
apendiksitis berdasarkan simptom dan tanda klinis serta pemeriksaan laboratorium ,
skor tersebut efektif dalam klasifikasi penata laksanaan pasien apendiksitis dimana pasien
dengan skor alvarado kurang dari 4 membutuhkan apendiktomi.Berdasarkan penelitian Melisa
handoko wijoyo dalam jurnal aplikasi skor alvarado pada penatalaksanaan apendisitis akut
membuktikan keakuratan penggunaan aplikasi Alvarado scoring system.

Symptom Score
Migratory Right iliac Fossa pain 1
Nausea/Vomiting 1
Anorexsia 1
Signs
Tenderness in right fossa iliac 2
Rebound tenderness in right iliac fossa 1
Elevated temperature 1
Laboratory Findings
Leukocytosis 2
Shift to the left of neutrophils 1
Total Score 10
Ket: Score 5-6 = possible, 7-8= probable, >9= very probabably

b.Penatalaksanaan Kolesistitis dengan Laparaskopi dan Laparastomi


Batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk di kandung empedu dimana batu
empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga dapat menimbulkan komplikasi dan
mengancam jiwa. Keluhan utama Batu empedu adalah nyeri pada daerah epigastrium,kuadran
kanan atas lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan. Nyeri ini berlangsung selama
berjam jam. Gejala kolesistitis akut seringkali dispepsia dan nyeri pada ulu hati.

Penatalaksaan kolesistitis adalah:

- Kolesisistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan penderita dengan
kolelitiasissimtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera
duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% penderita. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut

- Kolesistektomi laparaskopi
Laparaskopi adalah salah satu cara untuk melihat isi perut secara langsung serta melakukan
tindakan operasi kecil padanya . Laparoskopi adalah sebuah teknik melihat kedalam perut
tanpa melakukan pembedahan besar. Teknik ini memungkinkan banyak prosedur invansif
minimal.Laparoskop adalah instrumen sempit serupa tabung pencahayaan di bagian dalam
dan melihat nyaris setiap bagian tubuh.Instrumen ini secaralengkap bertahap menjadi
canggih sehingga dokter bedah dapat melewatkan instrumenhalus melalui laparoskop untuk
melakukan operasi kecil.
Berdasarkan penelitian dengan jurnal perbandingan tekhnik operasi mini laparastomi
kolesistektomi dengan laparoskopi kolesistektomi pada kolesistolitiasis terhadap lamarawat inap
di RSUP Dr. Karyadi semarang

Simpulan dari penelitian ini, berdasarkan lama rawat inap dari perbandingan ke dua tekhnik
operasi mini laparastomi kolesistektomi dengan laparoskopi kolesistektomi pada pasien
kolesistolitiasis ,lama rawat inap yang paling cepat adalah laparoskopi kolestektomi dengan rata-
rata lama rawat inap sebesar 5 hari. Lama rawat inap pada tindakan laparaskopi kolesistetomi
lebih cepat masa penyembuhannya sehingga di sarankan pada penderita kolesitolitiasis untuk
memilih tindakan laparoskopi kolesistektomi karenaditinjau dari segi lama rawat inap yang lebih
cepat di bandingkan mini laparotomikoleistektomi.

c.Penatalaksanaan Ca colorectal dengan laparaskopik


Ca Colorectal merupakan sesuatu tumor malignan yang muncul pada jaringan epiteldari kolon
atau rektum. Umumnya tumor colorectal adalah adenokarsinoma yang berkembang dari polip
adenoma.

Penatalaksanaan ca colorectal:
-Tes laboratorium (jumlah sel darah, tes guaiac pada feses,CEA, pemeriksaan kimiadarah, x-ray,
ct-scan, endoskopi, dll)
-Penatalaksaan medik menggunakan prosedur pembedahan seperti laparaskopik danlaparastomi
-Penatalaksanaan keperawatan: pada pra-operatif dan pasca operatif seperti perawatanluka,
edukasi dan penatalaksaan komplikasi, menghilangkan nyeri.

Berdasarkan penelitian oleh M.hidayat dan Budiono dalam jurnal perbedaan visual analog antara
prosedur reseksi laparaskopik dengan laparatomi pada penderita ca colon di dapatkan bahwa
nyeri yang ditimbulkan pasca operasi laparaskopik lebih rendah karena trauma jaringan
lebih kecil dibandingkan dengan laparastomi. Jadi penggunaan prosedur bedah yang lebih baik
adalah laparaskopik karena memiliki outcome jangka pendek lebih baik dan inflamasi yang
terjadi lebih ringan.

Berdasarkan hasil analisis jurnal ada beberapa penatalaksanaan yang sudah diteliti dan terbukti
evidence basednya seperti Score Alvarado yang digunakan pada penatalaksanaan appendisitis,
Laparaskopi yang digunakan pada ca colorectal dan batu empedu ataukolesistitis. Skor alvarado
berfungsi untuk diagnosis apendiksitis berdasarkan simptom dan tanda klinis. Sedangkan
tindakan laparaskopi kolesistetomi lebih cepat masa penyembuhannya sehingga di sarankan
pada penderita kolesitolitiasis. Untuk penderita ca colorectal disarankan menggunakan prosedur
bedah laparaskopik karena trauma jaringan lebih kecil sehingga memiliki outcome jangka
pendek lebih baik dan inflamasi yang terjadi lebih ringan.

5. MANAJEMEN KASUS KEGAWATDARURATAN TRAUMA ABDOMEN

Tindakan pertama yang dilakukan saat menghadapi pasien trauma dengan sebab apapun
adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan pasien dari ancaman kematian. Semua
tindakan pemeriksaan dilakukan secepat mungkin dalam memastikan kondisi airway, breathing,
dan circulation. Tanda vital yang diperiksa saat pasien trauma datang ke ruang gawat darurat
menjadi petunjuk tingkat cedera yang terjadi.

Masalah sirkulasi merupakan masalah pada primary survey yang sering dihadapi pada
pasien trauma tumpul abdomen. Syok karena perdarahan harus bisa dinilai secepat mungkin
untuk tindakan lebih lanjut. Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika
kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat
dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik
karena perdarahan menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas
dingin, dan pengisian kapiler lambat. Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi
syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, peningkatan
tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral. Penurunan tekanan darah sistolik
lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya
hipovolemia. Pada awal-awal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis
yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada
tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak
banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi.
Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan
yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat
menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan . Sebuah penelitian
menyebutkan bahwa hipotensi diidentifikasi sebagai penanda adanya cedera intraabdomen pada
pasien trauma tumpul

Setelah primary survey selesai baru dilakukan secondary survey berupa anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang lengkap. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
merupakan dasar diagnosis cedera intraabdomen. Pada pasien dengan hipotensi paska trauma,
sangat penting untuk mengevaluasi apakah pasien tersebut mengalami cedera abdomen atau
tidak. Tingkat 20 kewaspadaan yang tinggi terhadap terjadinya cedera intraabdomen dan
pemeriksaan yang komperhensif sangat diperlukan dalam manajemen trauma secara umum.
Beberapa alat diagnostik yang digunakan dalam menegakan diagnosis adanya cedera
intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen adalah riwayat dan mekanisme trauma,
pemeriksaan fisik, laboratorium, foto polos abdomen, ultrasonografi, diagnostik peritoneal
lavage, CT scan abdomen, dan laparoskopi .
6. PERAN DAN FUNGSI PERAWAT DALAM ADVOKASI PADA TRAUMA
ABDOMEN

A. Peran Perawat

Perawat sebagai advokat, yaitu memberikan suatu perlindungan yang melibatkan bantuan
perawat secara aktif kepada pasien untuk bebas menentukan nasibnya sendiri. Sehingga, seorang
perawat harus memastikan bahwa ketika dirawat, pasien akan tetap mendapatkan hak-haknya.
Sebagai bagian dan salah satu peran dari perawat, advokasi menjadi dasar utama dalam
pelayanan keperawatan kepada pasien, peran perawat sebagai advokat adalah:

1. Hak atas pelayanan rumah sakit yang manusiawi dan jujur.


2. Hak atas pelayanan yang profesional tanpa adanya diskriminasi. Artinya setiap perawat
harus merawat pasien dengan porsi yang sama, memberikan pelayanan yang bermutu,
teratur, tidak boleh asal, didasari dengan pengetahuan, dan memberikan hasil
pemeriksaan yang benar.
3. Hak didampingi oleh keluarga di saat apapun.
4. Hak untuk memilih dokter, perawat, dan rumah sakit sesuai dengan kebutuhan pasien.
Tetapi dalam hal ini, perawat pun memiliki peran untuk mengarahkan dan menasihati
pasien.
5. Hak atas privasi penyakitnya, termasuk atas berkas-berkas medisnya.
6. Hak untuk mengetahui isi dari rekapan medis.

Tugas perawat sebagai advokat merupakan tugas yang cukup sulit, karena dalam hal ini,
kepuasan dan kenyamanan pasien menjadi titik utama yang dituju. Salah satu tugasnya adalah
memberikan informasi secara informatif dan jelas kepada pasien. Informasi yang diberikan harus
membantu pasien dan keluarga dalam menginterpetasikan berbagai informasi dari pemberi
pelayanan. Dengan begitu, informasi yang diberikan dapat dipahami oleh pasien secara
menyeluruh.Melalui informasi tersebut, pasien dapat mengambil langkah selanjutnya sebagai
metode perawatan dan penyembuhan. Informasi yang diberikan pun harus benar dan jujur.

Adapun tugas perawat di instalasi gawat darurat sebagai advokasi adalah menyelenggarakan
pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan serta pelayanan pembedahan darurat bagi
pasien yang datang dengan gawat darurat medis contohnya pada pasien dengan trauma abdomen
yang merupakan penyebab kematian ke empat di indonesia yang bersifat tragis akibat kecelakaan
lalu lintas.Dalam memberikan perawatan gawat darurat perawat dituntut untuk berpikir kritis
dan bertindak Cepat dengan mempertimbangkan perannya sebagai advokat atau pelindung.Sebag
ai pelindung, perawat harus membantu mempertahankan lingkungan yang aman
bagi pasien dalam pengambilan tindakan untuk mencegah dari kemungkianan efek yang tidak dii
nginkan. Misalnya memastikan pasien tidak memiliki alergi terhadap obat yang
diberikan.Perawat sebagai advokat berperan melindungi hak klien dan membantu menyatakan
hak-haknya.Contohnya perawat memberikan informasi tambahan untuk membantu klien
dalam mengambil keputusan atas tindakan keperawatan yang diberikan .
Selain itu perawat juga melindungi hak-hak klien dengan menolak tindakan yang dapat
membahayakan klien.Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perawat mempunyai
peran yang sangat penting dalam pelayanan gawat darurat salah satunya adalah perannya
sebagai advokat atau pelindung. Peranan ini berfungsi untuk melindungi dan mempertahankan
hak-hak yang dimiliki klien.

B. Fungsi Perawat

1. Fungsi Independen

Merupakan fungsi mandiri & tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam
melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan
tindakan untuk memenuhi KDM.

2. Fungsi Dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari
perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya dilakukan oleh
perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.

3. Fungsi Interdependen

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim satu
dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama
tim dalam pemebrian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja
melainkan juga dari dokter ataupun lainnya.

7. GUIDELINES TRAUMA ABDOMEN

Cedera karena trauma pada anak merupakan penyebab lebih dari setengahkematian pada anak usi
a 1-14 tahun dan merupakan kasus kedua terbanyak setelah infeksi. Kurang lebih 51,3 tiap
10.000 anak umur 0-14 tahun dirawat di rumah sakit oleh karena cedera karena trauma setiap
tahunnya. Trauma abdomen merupakan kasus terbanyak setelah trauma kepala danekstremitas.
Trauma abdominal kurang lebih 8-10% pada seluruh kasus trauma di rumahsakit anak.

A.Trauma Tumpul
Trauma tumpul abdomen lebih dominan pada populasi anak. Lebih dari 80% trauma pada
anak adalah berupa trauma tumpul dan kebanyakan berhubungan dengan kecelakan kendaraan
bermotor. Cedera abdominal dapat disebabkan juga oleh karena terjatuh dan langsung mengenai
dinding abdomen misalnya pada handlebar injuri.
Dengan Fasilitas dan management saat ini cedera organ solid dapat berhasil diatasi
dengan baik pada lebih dari 90% kasus. Keputusan operasi pada cedera organ solid berdasarkan
pada respon fisiologis dibandingkan dengan tingkat berat ringannya cedera secara anatomi.
Tetapi guidline penatalaksanaanterhadappembatasan aktifitas berdasarkan
pada gradasi cedera secara anatomi. Di Children’s Hospital of Philadelphia(CHOP)
penanganan berdasarkan grade dari cedera. Alternatif alur perawatan sesuai Trauma Committee
of American Pediatric surgical Association untuk cedera hepar dan lien dapat dilihat table
1.Setelah perawatan dari rumah sakit, untuk menghindari cedera ulangan, aktifitas harus dibatasi
dengan istirahat di rumah. Lamanya waktu istirahat berdasarkan derajat cedera organ.
Salah satu alasan penatalaksanaan non operatif dan menghindarisplenektomi pada anak dengan
cedera lien adalah untuk menghindari terjadinya kemungkinan overwhelming posts plenectomy
infection (OPSI).Angka pasti terjadinya OPSI belum diketahui,
tetapi diperkirakan sebanyak 5%. Pasien yang displenektomi harus diberikan vaksinasi rutin
untuk mencegah organisme penyebab OPSI (encapsulate bacteria), termasuk
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae type B, and Neisseria meningitides.

Tabel 1.APSA Guidelines for Management of Isolated Liver or Spleen Injuries in Children

CT Grade
Treatmment
I II III IV
ICU stay (d) None None None 1
Hospital stay (d) 2 3 4 5
Predischarge imaging None None None None
Postdischarge imaging None None None None
Activity restriction (wk)* 3 4 5 6

B. Trauma penetrans

Trauma penetrans merupakan 8-12% dari abdominal trauma yang datang ketrauma center.Luka
tembak merupakan penyebab yang sering pada trauma penetrasi
pada populasi anak dan menyebabkan kematian pada laki-laki kulit hitam pada umur 15-24
tahun. Penyebab lain trauma penetrans adalah stab wound,impalements,gigitan anjing,dan
kecelakaan
mesin.Oleh karena kebanyakan trauma penetrans pada abdomen biasanya memerlukan tindakan
pembedahan maka persiapan di ruang operasi harus simultan dengan assessment pasien.

Dua puluh lima persen dari cedera abdomen merupakan gunshot wounds (GSWs) 14% dari
luka tersebut bersifat fatal.

Tabel 2.Frekuensi Cedera organ pada trauma tumpul dan trauma penetrans
Frekuensi Cedera Organ Trauma Tumpul Trauma Penetrans
Liver 15% 22%
Spleen 27% 9%
Pancreas 2% 6%
Kidney 27% 9%
Stomach 1% 10%
Duodenum 3% 4%
Small bowel 6% 18%
Colon 2% 16%
Other 17% 6%
DAFTAR PUSTAKA

Lama,Dalai,2015,Pencegahan Primer Gadar 2 (https://dokumen.tips/documents/pencegahan-primer-


gadar-2.html)

Dewi,Ari,2016,Keperawatan Gawat Darurat Trauma Abdomen


(https://www.academia.edu/28895332/KEPERAWATAN_GAWAT_DARURAT_TRAUMA_ABDOME
N)

Wiarghita,IK.2017,Prediktor klinis lesi Intraabdomen pada penderita trauma tumpul abdomen


yang dirawat konservatif di Rumah Sakit Sanglah Denpasar

Harlani,VT.2014,Peran Perawat sebagai Advokat dalam pelayanan Gawat Darurat.doc,(


https://www.scribd.com/doc/246725066/Peran-Perawat-sebagai-Advokat-dalam-Pelayanan-Gawat-
Darurat-doc)

Any,Fitry,2018, Evidence Based Penatalaksanaan KeperawatanPada Gangguan Sistem


Pencernaan (https://www.scribd.com/document/377161409/Evidence-Based-Tentang-Penatalaksanaan -
Keperawatan-docx)

Apriani,Febriani,S,2017,Hubungan Kegawatdaruratan dengan waktu tanggap pada pasien


Jantung Koroner

Nurul.2018,Perawat sebagai Advokat bagi pasiennya (https://www.perawat.co/perawat-sebagai-advokat-


bagi-pasiennya-pentingkah/)

Pratama,AD,2014,Trauma Abdomen pada Anak (https: //www.Academia.edu/9479086/ TRAUMA_


ABDOMEN_PADA_ANAK)

Anda mungkin juga menyukai