Anda di halaman 1dari 9

Trauma Hepar, Trauma Tumpul Abdomen

ETIOPATOGENESIS Berdasarkan mekanisme traumanya, trauma hepar terbagi menjadi trauma tajam dan trauma tumpul. Mekanisme yang menimbulkan kerusakan hepar pada trauma tumpul adalah efek kompresi dan deselerasi. Trauma kompresi pada hemithorax kanan dapat menjalar melalui diafragma, dan menyebabkan kontusio pada puncak lobus kanan hepar. Trauma deselerasi menghasilkan kekuatan yang dapat merobek lobus hepar satu sama lain dan sering melibatkan vena cava inferior dan vena-vena hepatik. Trauma tajam terjadi akibat tusukan senjata tajam atau oleh peluru. Berat ringannya kerusakan tergantung pada jenis trauma, penyebab, kekuatan, dan arah trauma. Karena ukurannya yang relatif lebih besar dan letaknya lebih dekat pada tulang costa, maka lobus kanan hepar lebih sering terkena cidera daripada lobus kiri. Sebagian besar trauma hepar juga mengenai segmen hepar VI,VII, dan VIII. Tipe trauma ini dipercaya merupakan akibat dari kompresi terhadap tulang costa, tulang belakang atau dinding posterior abdomen. Adanya trauma tumpul langsung pada daerah kanan atas abdomen atau di daerah kanan bawah dari tulang costa, umumnya mengakibatkan pecahan bentuk stellata pada permukaan superior dari lobus kanan. Trauma tidak langsung atau contra coup biasanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian dengan bagian kaki atau bokong yang pertama kali mendarat. Jenis trauma ini menyebabkan efek pecahan pada penampang sagital hepar dan kadang-kadang terjadi pemisahan fragmen hepar.

Gambaran trauma hepar mungkin dapat seperti : 1. 2. 3. 4. subcapsular atau intrahepatic hematom, laserasi, kerusakan pembuluh darah hepar, dan perlukaan saluran empedu. Saat ruptur hepar mengenai kapsul Glissoni maka

akan terjadi ekstravasasi darah dan empedu ke dalam cavum peritoneal. Bila kapsul tetap utuh, pengumpulan darah di antara kapsul dan parenkim biasanya ditemukan pada permukaan superior dari hepar. Ruptur sentral meliputi kerusakan parenkim hepar.

Diagnosa Penegakkan diagnosis suatu trauma hepar berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis (tanda dan gejala klinik), pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Manifestasi Klinis Manifestasi klinisnya tergantung dari tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi peritoneum dan nyeri pada epigastrium kanan. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu hipotensi, takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena sentral yang rendah, dan adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu trauma hepar. Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari kebocoran saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai mual dan muntah.

Pemeriksaan Laboratorium Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti dengan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hepar akibat trauma tumpul. Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hepar, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hepar lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma.

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan CT-scan tetap merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan sering dianjurkan sebagai sarana diagnostik utama. CT-scan bersifat sensitif dan spesifik pada pasien yang dicurigai suatu trauma tumpul hepar dengan keadaan hemodinamik yang stabil. Penanganan non operatif menjadi penanganan standar pasien trauma tumpul abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan CT-scan akurat dalam menentukan lokasi dan luas trauma hepar, menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan organ intraabdomen lain yang mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma hepar yang memerlukan penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hepar berat, dan digunakan untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT-scan terbukti sangat bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hepar. Dengan CT-scan menurunkan jumlah

laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari kasus trauma hepar.

PENANGANAN Resusitasi Jalan nafas yang adekuat haruslah diusahakan dan dipertahankan. Kontrol perdarahan dan syok sebelum dilakukan upaya diagnostik/terapaetik haruslah diupayakan sekuat tenaga. Sedikitnya 2 buah kateter intravena yang besar harus dipasang pada ekstremitas atas. Penempatan kateter vena sentralis atau gauss kateter ke dalam vene subclavia hendaknya dipasang setelah pasien stabil atau kondisi cukup baik dibawah pengawasan. Jika akses vena tambahan diperlukan maka diusahakan pemasangan kateter besar pada jugular externa atau vena femoral. Infus 2000 ml cairan kristaloid (Ringer Lactat) secara cepat seringkali mengembalikan atau menjaga tekanan darah normal pasien jika kehilangan darah hanya sebatas < 15% volume darah tubuh total tanpa perdarahan lanjut yang signifikan. Jika kehilangan darah > 15% volume darah atau jika perdarahan masif tetap berlangsung tekanan darah biasanya meningkat hampir mencapai normal kemudian jatuh atau turun dengan cepat. Hindari resusitasi dengan Larutan onkotik aktif (dextran dan hydroxyethyl) pada pasien yang dicurigai trauma hati.

Penatalaksanaan Non-Operatif Pasien dengan trauma tumpul hati yang stabil secara hemodinamik tanpa adanya indikasi lain untuk operasi lebih baik ditangani secara konservatif (80% pada dewasa, 97% pada anakanak).Beberapa kriteria klasik untuk penatalaksan non operatif adalah: Hemodinamik stabil setelah resusitasi, Status mental normal dan Tidak ada indikasi lain untuk laparatomi. Pasien yang ditangani secara non operatif harus dipantau secara cermat di lingkungan gawat darurat. Monitoring klinis untuk vital sign dan abdomen, pemeriksaan hematokrit serial dan pemeriksaan CT/USG akan menentukan penatalaksanaan. Setelah 48 jam, dapat dipindahkan ke ruang intermediate care unit dan dapat mulai diet oral tetapi masih harus istrahat ditemapt tidur sampai 5 hari. Embolisasi angiografi juga dimasukkan ke dalam protokol penanganan non operatif trauma hati pada beberapa situasi dalam upaya menurunkan kebutuhan transfusi darah dan jumlah operasi. Jika pemeriksaan hematokrit serial (setelah resusitasi) normal pasien dapat dipulangkan dengan pembatasan aktifitas. Aktifitas fisik ditingkatkan secara perlahan sampai 6-8

minggu. Waktu untuk penyembuhan perlukaan hepar berdasarkan bukti CT-Scan antara 18-88 hari dengan rata-rata 57 hari.

Penatalaksaan Operatif Prinsip fundamental yang diperlukan di dalam penatalaksanaan operatif pada trauma hati adalah: Kontrol perdarahan yang adekuat Pembersihan seluruh jaringan hati yang telah mati (devitalized liver)

Drainase yang adekwat dari lapangan operasi A. Tehnik Untuk Kontrol Perdarahan Temporer/Sementara

Dilakukan untuk dua alasan; 1. Memberikan waktu kepada ahli anestesi untuk mengembalikan volume sirkulasi

sebelum kehilangan darah lebih lanjut terjadi. 2. Memberikan waktu kepada ahli bedah untuk memperbaiki trauma lain terlebih

dahulu apabila trauma tersebut lebih membutuhkan tindakan segera dibandingkan dengan trauma hati tersebut.

Tehnik yang paling berguna dalam mengontrol perdarahan sementara adalah Kompresi Manual, pembalutan perihepatik (perihepatic packing), dan parasat pringle. Kompresi manual secara periodik dengan tambahan bantalan laparatomi (Laparatomy pads) berguna dalam penatalaksanaan trauma hati kompleks dalam menyediakan waktu untuk resusitasi. Bantalan tambahan dapat ditempatkan diantara hati dan diafragma dan diantara hati dengan dinding dada sampai perdarahan telah terkontrol. 10 hingga 15 bantalan dibutuhkan untuk mengontrol perdarahan yang berasal dari lobus kanan. Pembalutan tidaklah berguna pada trauma lobus kiri, karena ketika abdomen dibuka, dinding dada dan abdomen depan tidaklah cukup menutup lobus kiri hati untuk menciptakan tekanan yang adekwat. Untungnya, perdarahan dari lobus kiri hati ini dapat dikontrol dengan memisahkan ligamentum triangular kiri dan ligamentum coronarius kemudian menekan lobus tersebut diantara kedua tangan.

Parasat Pringle ( Pringle Manuver) sering kali digunakan untuk membantu pembalutan /packing dalam mengontrol perdarahan sementara. Prasat Pringle adalah suatu tehnik untuk menciptakan oklusi sementara vena porta dan arteri hepatika yang dilakukan dengan menekan ligamentum gastrohepatik (portal triad). Penekanan ini dapat dilakukan dengan jari atau dengan menggunakan klem vaskuler atraumatik. Tehnik ini merupakan tehnik yang sangat membantu dalam mengevaluasi trauma hati grade IV dan V. Biasanya, pengkleman pada portal triad direalese setiap 15-20 menit selama 5 menit untuk memberikan perfusi hepatik secara intermitten. Bukti terbaru, dengan

memberikan komplet oklusi sekitar satu jam tidak memberikan kerusakan iskemik pada hepar.

Perut kemudian ditutup, dan pasien dipindahkan ke ICU untuk resusitasi dan koreksi kekacauan metabolik. Dalam 24 jam, pasien dikembalikan ke ruang operasi untuk pengankatan balut itu kembali. Tindakan ini diindikasikan untuk trauma grade IV- V dan pasien dengan trauma yang kurang parah tetapi menderita koagulopati yang disebabkan oleh trauma yang menyertai. Trauma vena juxtahepatik sering kali berakibat kematian. Prosedur kompleks dibutuhkan untuk mengontrol sementara perdarahan dari vena besar ini. Prosedur yang paling penting dilakukan adalah isolasi vascular hepatik dengan klem, shunt atrium kava, dan dengan penggunaan balon Moore-Pilcher, serta dengan melakukan pintas venovena. Tehnik Tehnik Dalam Penatalaksanaan Definitif Trauma Hati

B.

Tehnik yang dapat digunakan sebagai terapi definitif pada trauma hati berkisar dari kompresi manual hingga transplantasi hati. Laserasi parenkim hati grade 1 atau 2 dapat secara umum diatasi dengan kompresi manual. Apabila dengan tehnik ini tidak berhasil, seringkali trauma seperti ini diatasi dengan tindakan hemostatik topikal. Tindakan yang paling sederhana adalah dengan elektrokauterisasi, yang seringkali dapat mengatasi perdarahan dari pembuluh darah kecil yang dekat dengan permukaan hati. Perdarahan tidak berespon dengan elektrokauter mungkin dapat berespon dengan argon beam koagulator. Kolagen mikrokristalin bentuk bubuk juga berguna dalam situasi seperti ini. Bubuk tersebut ditempatkan dalam sponge bersih ukuran 4 x 4 kemudian digunakan langsung pada permukaan yang mengeluarkan darah dengan menekan bagian tersebut dan dipertahankan selama 5 hingga 10 menit. Lem fibrin (fibrin glue) telah

digunakan dalam pengobatan laserasi superfisial dan laserasi yang dalam dan tampil sebagai agen topikal yang paling efektif. Lem fibrin ini pula dapat diinjeksikan secara dalam pada perdarahan akibat luka tembak dan luka tikam untuk mencegah diseksi luas dan kehilangan darah. Lem fibrin ini dibuat dengan mencampur fibrin konsentrat manusia (cryopresipitat) dengan larutan yang mengandung trombin bovine dan kalsium. Perihepatik mesh yang merupakan absorbe mesh yang terdiri polyglactin oleh Brunet dkk, telah digunakan untuk perlukaan hepar grade II-V. Dilaporkan dengan cara ini tidak terbentuk hemobilia dan absces. Dengan penggunaan mesh sejak awal perdarahan dalam jumlah yang besar dapat dikurangi. Meskipun beberapa laserasi grade III dan IV berespon terhadap tindakan topikal yang disebutkan sebelumnnya, tetapi pada kebanyakan kasus tidaklah demikian. Pada keadaan ini, satu satunya pilihan adalah dengan menjahit parenkim hati. Meskipun dikatakan sebagai penyebab nekrosis, akan tetapi tindakan ini masih sering digunakan. Menjahit parenkim hati seringkali dilakukan untuk mengatasi perdarahan persisten akibat laserasi dengan kedalaman kurang dari 3 cm. Bersama dengan hepatotomi dan ligasi selektif, tindakan ini juga merupakan alternatif yang cocok pada laserasi yang lebih dalam jika pasien tidak dapat mentoleransi perdarahan lebih lanjut. Material yang diperlukan adalah catgut chromic atau vicryl 0 atau 2.0 dan jarum kurva ujung tumpul. Untuk laserasi yang dangkal jahitan terus menerus sederhana (simple continuous suture) dapat digunakan untuk mendekatkan tepi luka. Untuk laserasi yang dalam , jahitan matras horizontal terputus (interrupted horizontal mattres suture) dapat ditempatkan secara pararel pada tepi luka. Ketika mengikat jahitan, satu yang harus dipastikan bahwa ketegangan yang adekuat telah tercapai apabila perdarahan telah berhenti. Hepatotomi dengan ligasi selektif pembuluh darah yang mengalami perdarahan adalah tehnik penting yang lazim dipakai untuk luka tembus yang dalam atau luka tembus transhepatik. Tehnik finger frakture digunakan untuk memperluas panjang dan dalamnya laserasi hingga pembuluh darah yang mengalami perdarahan dapat diidentifikasi dan dikontrol. Hepatotomi yang meliputi a) Finger fracture, b) pemisahan pembuluh darah atau duktus, c) memperbaiki kerusakan pada pembuluh darah.

Tindakan tambahan dalam penjahitan parenkimal atau hepatotomy adalah penggunaan omentum untuk mengisi defek luas pada hati sekaligus sebagai penopang jahitan. Alasan penggunaan omentum ini adalah bahwa omentum menyediakan sumber makrofag yang unggul dan mengisi ruang mati potensial dengan jaringan hidup, mengurangi terbentuknya absces, dan sebagai tamponade bagi perdarahan.

Omentum pack Ligasi arteri hepatik mungkin cocok untuk pasien dengan perdarahan arteri dari dalam organ hati. Meskipun demikian tindakan ini hanya sedikit berperan pada keseluruhan penatalaksanaan trauma hati. Hal ini disebabkan karena tindakan ini tidak menghentikan perdarahan yang berasal dari sistem vena potra dan vena hepatika. Peranan primer tindakan ini adalah dalam penatalaksanaan trauma lobus yang dalam ketika penggunaan parasat pringle berhasil dalam menghentikan perdarahan arteri. Debridemen reseksi diindikasikan pada parenkim hati bagian perifer yang mati (nonviable). Jumlah dari jaringan yang dibuang tidaklah melebihi 25% keseluruhan organ hati. Tindakan ini dilakukan dengan tehnik finger fracture atau elektrokogulasi dan cocok pada pasien trauma hati grade III hingga grade V. Alternatif akhir untuk pasien dengan trauma unilobar yang luas adalah reseksi hepar anatomis. Dalam keadaan elektif, lobektomi anatomis dapat dilakukan dengan hasil yang sangat memuaskan. Reseksi anatomik pada trauma dibatasi pada lobektomi kanan, lobektomi kiri, dan segmentektomi lateral kiri. Jenis dan luasnya reseksi biasanya ditentukan dari sifat trauma. Untuk melakukan reseksi hati, hati harus dimobilisasi terlebih dahulu dengan memotong perlekatan ligamentumnya.

Mobilisasi Hepar Untuk melakukan lobektomi kanan, kedua daun ligamentum koronarius harus dipotong. Jalur ke reseksi lobus kiri dipermudah dengan pemotongan ligamentum triangularis. Setelah kapsule hati diinsisi, parenkim hati mudah didiseksi dengan gagang pisau scalpel yang tumpul. Kehilangan darah dikurangi dengan kompresi hati oleh tangan asisten. Pembuluh darah dan saluran empedu yang ditemukan dapat diligasi sendiri-sendiri dengan benang atau klip. Segmentomi lateral kiri terdiri dari reseksi hati yang terletah di bagian kiri ligamentum

falsiformis. Harus berhati hati untuk tidak meligasi pembuluh darah yang mungkin memasok segmen medial (segmen 4) lobus kiri. Setelah reseksi permukaan yang terbuka dapat ditutupi dengan memobilisasi ligamentum falsiformis dan memindahkannya ke daerah yang terbuka. Jika segmen medial lobus kiri (segmen 4) mengalami kerusakan yang parah, lobektomi hati kiri diindikasikan. Garis resksi untuk lobektomi kiri harus dilakukan ke bagian kiri fossa kandung empedu. Mutlak perlu untuk mengidentifikasi vena hepatik medial selama reseksi karena ia mengalirkan segmen superior lobus kanan dan sering mengalir ke vena hepatik kiri. Vena hepatik kiri harus diligasi dan dipotong prioksimal dari persambungan dengan vena hepatik medial. Vena porta kiri tidak boleh diligasi sampai terpapar dengan baik di dalam hilum karena ia mungkin memiliki cabang ke segmen anterior lobus kanan. Harus berhati-hati saat memotong saluran hepatik kiri karena saluran hepatik segmental dari kanan seringkali menyeberangi fisura segmental untuk mengalir ke saluran hepatik kiri. Arteri hepatik kiri hanya mempedarahi sisi kiri dan dapat diligasi dengan mudah. Dalam melakukan lobektomi hati kanan, garis reseksi harus dibawa ke bagian kiri fossa kandung empedu. Vena hepatik medial harus diidentifikasi, dan diseksi harus dilakukan menuju vena kava ke bagian kanan vena hepatik medial. Arteri hepatik kanan dan vena porta dapat didiseksi pada awal reseksi dan diligasi untuk mengurangi Jika kerusakan parenkim yang masif terjadi akibat trauma hati atau pada mereka yang memerlukan reseksi hati total, maka transplantasi hati dapat mejadi pilihan penatalaksanaan selanjutnya dan telah berhasil dilakukan. Jika transplantari sedang dipertimbangakan untuk penatalaksanaan selanjutnya, maka pasien hendaknya dirujuk ke pusat transplantasi secepatnya karena ketersediaan organ tidak dapat diramalkan.

KOMPLIKASI Sebagian besar pasien dengan trauma hepar berat mempunyai komplikasi, khususnya jika tindakan operasi dilakukan. Knudson dkk, mencatat komplikasi terjadi pada 52% pasien trauma hepar Grade IV-V merupaka hasil dari trauma tajam. Komplikasi signifikan setelah trauma hati termasuk adalah perdarahan post operatif, koagulopati, fistula bilier, hemobilia, dan pembentukan abses. Perdarahan post operasi terjadi sebanyak < 10% pasien. Hal ini terjadi mungkin karena hemostasis yang tidak adekuat, koagulopati post operatif atau karena keduanya. Jika pasien tidak dalam keadaan hipotermi,

koagulopati atau asidosis, maka tindakan eksplorasi ulang haruslah dilaksanakan. Pembuluh darah yang tampak mengalami perdarahan harus secara langsung di visualisasi dan ligasi, meskipun kerusakan lebih luas diperlukan untuk eksplorasi yang adekuat.

Anda mungkin juga menyukai