Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

SINUSITIS MAKSILARIS DENTOGEN

Disusun Oleh:

Kartika Rahmawati

4061612030

Dokter Pembimbing:

dr. Nurlina M Rauf, Sp. THT

KEPANITERAAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TARUMANAGARA

RSUD CIAWI
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Kartika Rahmawati

NIM : 406162030

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Universitas Tarumanagara

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, dan Tenggorokan

Periode Kepaniteraan Klinik : 24 April 2017 2 Juni 2017

Judul Referat : Sinusitis Maksilaris Dentogen

Diajukan : May 2017

Pembimbing : dr. Nurlina M Rauf, Sp. THT

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL: ..................

Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan THT

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi

Mengetahui

Pembimbing

dr. Nurlina M Rauf, Sp. THT


BAB 1
PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari-


hari dan dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Sinusitis adalah peradangan
pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Penyakit sinusitis selalu dimulai dengan
penyumbatan daerah kompleks ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi mekanis
atau alergi, dan oleh karena penyebaran infeksi gigi. Gejala sinusitis sangat
mempengaruhi aktivitas penderita seperti nyeri kepala, hidung tersumbat, post-nasal
drip, kelemahan, halitosis dan dyspepsia. Sinusitis dapat menyebabkan komplikasi ke
orbita dan intracranial serta oseteomielitis dan kelainan paru.

Secara anatomi sinus maxillaris berada di pertengahan antara hidung dan


rongga mulut dimana lokasi tersebut merupakan lokasi yang rentan terinvasi
organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut. Sinusitis
dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus sinusitis maksilaris.

Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.


Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga
rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan
kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal
akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke
sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.

Jika dicurigai terdapat sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang
mengenai satu sisi akan terdapat sekret purulen dan napas berbau busuk. Untuk
mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan
pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali perlu dilakukan
irigasi sinus maksila.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI SINUS PARANASAL

Sinus paranasal merupakan suatu ruang berisi udara yang berada di tulang
kepala (os maxillae, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale). Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.Sinus paranasal berhubungan
dengan kavum nasi melalui suatu ostium. Manusia memiliki empat pasang sinus
paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid
dan sinus sphenoid. Sama halnya dengan tuba eustachius, telinga tengah dan saluran
pernapasan, epitel sinus paranasal dilapisi oleh epitel kubus bertingkat bersilia.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga


hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan
sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang
lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal
dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun.

Mukosa sinus paranasal lebih tipis dan kelenjarnya lebih tipis dibandingkan
dengan mukosa hidung. Epitel toraknya berlapis semu bersilia, bertumpu pada
membran basal yang tipis dan tunika propianya melekat erat dengan periostium di
bawah nya. Silia lebih banyak di dekat ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir
yang menyelimuti permukaanya kearah hidung melalui ostium masing - masing sinus.
2.1.1 SINUS FRONTAL

Sinus frontal terletak di os frontal yang mulai terbentuk sejak bulan ke-empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.

Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada
lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15%
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang.

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2
cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini.
Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal,
yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.

2.1.2 SINUS MAKSILA

Merupakan sinus terbesar yang berbentuk seperti piramid. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.

Pada saat lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil di sebelah medial orbita
yang pada mulanya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung, kemudian
terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi.
Perkembangannya berjalan kearah bawah yang nanti akan menjadi bentuk sempurna
setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan maksium antara usia 15 dan 18 tahun.

Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita
dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris
melalui infundibulum etmoid.

Berdasarkan anatominya sinus maxilla perlu diperhatikan dari aspek segi


klinik:

Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu

permolar (P1 dan P2), molar (M1, M2 dan M3), dan caninus (C), bahkan akar-

akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi

mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase

hanya tergantung dari gerak silia. Drainase harus melalui infundibulum yang

sempit. Infundibulum yaitu bagian dari sinus etmoid anterior dan


pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi

drainase sinus maksila dan selanjutnya dapat menyebabkan sinusitis.

Gigi P2, M1 dan M2 tumbuhnya dekat dengan dasar sinus, terkadang

dapat tumbuh ke rongga sinus. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi

dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe,

sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga

sinus yang akan menyebabkan sinusitis.

2.1.3 SINUS ETMOID

Sinus etmoid paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting,
karena merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk
sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan
1.5 cm di bagian posterior.

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang


tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara
konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan
letaknya sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus
medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus
etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang
menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina
basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.

Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang
disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan
di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi snus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior
berbatasan dengan sinus sfenoid.

2.1.4 SINUS SFENOID

Terletak dalam os sfenoid yaitu di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. ukuranya adalah 2 cm,
tingginya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi
sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sfenoid.1

Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a. karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa
serebri posterior di daerah pons.

2.1.5 KOM (Kompleks Osteo Meatal)

Terletak pada sepertiga tengah lateral hidung di meatus media. KOM

merupakan muara dari sinus maxilla, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus

sfenoid. Dimana daerah ini rumit dan juga sempit. KOM terdiri dari

infudibulum etmoid yang berada di belakang processus unsinatus, resessus

fronntalis, bula etmoid, sel sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan

ostium sinus maxilla.


2.1.6 SISTEM MUKOSILIER

Seperti pada mukosa hidung di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan
palut lendir di atasnya. Mukus yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar mukosa yang
melapisi sinus paranasal dialirkan ke dalam kavum nasi oleh kerja silia dari sel-sel
mukosa. Drainase mukus juga dibantu oleh tenaga menyedot saat membuang ingus.

Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba eustachius. Lendir yang berasal
dari kelompok sinus posterior bergabung di recessus sfenoetmoidales, dialirkan ke
nasofaring di posterosuperior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati
sekret pasca nasal (post nasal drip), tetapi belum ada secret di rongga hidung.

2.1.7 FUNGSI SINUS PARANASAL

Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus

paranasal. Tetapi beberapa teori mengemukakan fungsinya sebagai berikut :

1. Sebagai pengatur kondisi udara

2. Sebagai penahan suhu

3. Membantu keseimbangan kepala


4. Membantu resonansi suara

5. Peredam perubahan tekanan udara

6. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung

2.2 SINUSITIS MAXILLARIS DENTOGEN

2.2.1 DEFINISI

Definisi dari sinusitis ialah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi
sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis
frontal dan sinusitis sfenoid. Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid. Sinustis maxilla disebut juga dengan antrum Higmore dimana
letaknya dekat dengan akar gigi rahang atas, karena itu infeksi gigi mudah mrnyebar
ke sinus maka disebut juga dengan sinusitis dentogen

Sinus maksila, merupakan sinus yang sering terinfeksi, oleh karena;

Merupakan sinus paranasal yang terbesar.


Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase
dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia
Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga
infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Ostium sinus maksila terletak di meatus medius , disekitar hiatus semilunaris
yang sempit, sehingga mudah tersumbat.

Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis


maksilaris akut berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Sinusitis akut dapat sembuh
sempurna jika diterapi dengan baik, tanpa adanya residu kerusakan jaringan mukosa.
Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan signifikan pada
membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan atau lebih dengan
gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari. Sinusitis dentogen merupakan
salah satu pnyebab penting sinusitis kronik.
2.2.2 ETIOLOGI

Ekstraksi gigi molar merupakan penyebab tersering, biasanya molar pertama,


dimana sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut
terangkat. Terutama terjadi jika gigi yang terinfeksi diangkat dan terjadi fistel ke
dalam sinus maksila, atau jika bagian dari akar gigi secara tidak sengaja hilang dalam
lumen sinus.
Abses apikal atau penyakit periodontal dapat menimbulkan kondisi serupa.
Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini didominasi terutama oleh infeksi
bakteri gram negatif. Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau busuk
dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung. Prinsip terapi adalah pemberian
antibiotik, irigasi sinus, dan koreksi gangguan geligi.

Etiologi sinusitis dentogen adalah:

Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai
gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus
akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun
kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang
yang tebal.
Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu
akan diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus sewaktu dilakukan
pencabutan gigi.
Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan
sinus maksila.
Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan
tambalan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan.
Osteomielitis akut dan kronis pada maksila.
Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler
dan folikuler.
Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat
menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis.
2.2.3 PATOFISIOLOGI

Patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary


clearance) di dalam kompleks osteomeatal mempengaruhi kesehatan sinus. Sinus
dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat
dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda.
Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat
sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan
mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.

Terjadinya obstruksi dari ostium merupakan faktor yang paling penting


yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis. Jika terjadi obstruksi ostium
sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia
berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang
baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada
sinus.

Kegagalan transpor mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor


utama berkembangnya sinusitis. Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara,
yaitu:
1. Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam
mukosa sinus maksilaris, hal ini yang akan menghambat gerakan silia ke arah
ostium dan dapat menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini akan
mengakibatkan sinus mudah mengalami infeksi. Kejadian sinusitis maksila
akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob)
menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak. Jika pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan
mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa.
Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan
periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses
periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila
sehingga memicu inflamasi.
2. Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen atau limfogen dari
granuloma apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.

2.2.4 GEJALA KLINIS

Dapat dibagi berdasarkan gejala objektif dan subjektif. Gejala subjektif dibagi
menjadi yang sistemik dan lokal. Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala
lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan
mengalir ke nasofaring (post nasal drip). Hidung tersumbat juga dapat dirasakan,
seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di
tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar
dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali
ada nyeri alih dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada
perasaan penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala
waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung
sewaktu berbaring sudah ditiadakan.

Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak


pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak lendir atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi
posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

Gejala pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik hanya terjadi pada satu sisi
serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau
periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen
lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen.
2.2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap pada gigi serta
pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis pasien sesuai dengan kriteria
American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS), yang mana
diagnosis sinusitis membutuhkan setidaknya 2 faktor mayor atau setidaknya 1 faktor mayor
dan 2 faktor minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis, riwayat penyakit gigi geligi, serta
temuan radiologi sinus paranasal dan CT Scan.

GEJALA MAYOR GEJALA MINOR

Kongesti Hidung / Sumbatan Demam

Sekret/ Post nasal purulen Sakit kepala

Rasa nyeri/tekanan/rasa penuh di Nafas berbau


wajah
DEWASA
Gangguan penghidu (hiposmia, Batuk
DAN
anosmia)
ANAK
Demam Sakit gigi

Fatigue

Hidung berbau

Gejala di telinga

Batuk

ANAK - ANAK Irritabilitas / Rewel


PEMERIKSAAN FISIK


INSPEKSI

Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem
di tempat tersebut.

Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi
hidung & sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari
sinusitis dan adenoiditis.


PALPASI

Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada
palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os
nasalis.

Ala nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda
ini dapat kita temukan pada furunkel vestibulum nasi.

Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus


maksilaris. Syarat dan penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus
frontalis. Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus
infraorbitalis.


PERKUSI

Perkusi pada fossa kanina kita lakukan apabila palpasi pada keduanya menimbulkan
reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan syarat-syarat palpasi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Rinoskopia Anterior

Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis, yaitu
sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi posterior tampak adanya
sekret purulen di nasofaring (post nasal drip). Pada keadaan kronik akan terlihat adanya
sekret purulen di meatus medius atau meatus superior.

Pemeriksaan Transiluminasi

Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila
yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena terbatas kegunaanya.

Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus


maksilaris, yaitu :

Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada
margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita
tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum
durum homolateral berwarna terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah
diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien
kemudian kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien,
kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak
bayangan terang berbentuk bulan sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) berdasarkan adanya
perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak terang,
menandakan keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa
menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus
tampak gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus
yang gelap bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.
Nasoendoskopi

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi hingga ke
nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan dinding lateral
hidung. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk menentukan diagnosa yang lebih tepat dan
dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media (pada sinusitis maksilaris, etmoid anterior
dan frontalis) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoid).

Pada keadaan kronik pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan
yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya sekret purulen minimal di
meatus medius atau superior, polip kecil, ostium asesorius, edema prosesus unsinatus, konka
bulosa, konka paradoksikal, spina septum dan lain-lain.

Foto polos sinus paranasal

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos. Foto polos posisi Waters, PA dan
lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus sinus besar seperti sinus maksila dan
frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau
penebalan mukosa. Pada pemeriksaan sinus maksila menggunakan posisi Waters.

CT Scan

Lebih dianjurkan pada pasien sinusitis yang kronik. Cukup dengan potongan koronal tanpa
kontras. Dengan potongan ini sudah dapat diketahui dengan jelas perluasan penyakit di dalam
rongga sinus dan adanya kelainan di KOM (kompleks ostiomeatal). Sebaiknya pemeriksaan
CT scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi
pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomis dapat terlihat dengan jelas.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau superior,
untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang
keluar dari pungsi sinus maksila. Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis.
Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh
infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul
bau busuk dari hidung.

Pungsi sinus maksila

Tindakan pungsi sinus maksila dapat dianjurkan sebagai alat diagnostik untuk
mengetahui adanya sekret di dalam sinus maksila dan jika diperlukan untuk
pemeriksaan kultur dan resistensi.

Sinoskopi

Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini
menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau fosa
kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga sinus
maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan kelainannya
masih reversibel atau sudah ireversibel.

2.2.6 PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen:

Atasi masalah gigi


Konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika, dekongestan, antihistamin,
kortikosteroid dan irigasi sinus.
Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus
inferior, Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus
frontal, dan bedah sinus endoskopik fungsional.
AKUT
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam,
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazol dan terapi tambahan
yakni obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin
atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan
sampai mencukupi 10-14 hari.

Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen foto polos atau CT Scan dan
atau nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena
ada sekret tertahan oleh sumbatan.

KRONIK
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan,
diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan
diteruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi
kembali dengan pemeriksaan nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak
membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan
bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka
evaluasi diagnosis.
c. Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.
d. Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal:

Pada sinus maksila dilakukan dengan operasi Caldwell-luc. Dilakukan bila


pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa
yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang terkena. Pembedahan ini
dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, dengan
analgesi intranasal yang dicapai dengan menempatkan tampon kapas yang dibasahi
kokain 4% atau tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan dibawah konka media.
lidokain 2% dengan tambahan ephineprin disuntika di fosa kanina. Suntikan
dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi horizontal dibuat di sulkus
ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior gigi taring dan
molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas fosa kanina
dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara
hati-hati dilindungi.

Dinding depan
sinus dibuat fenestra,
dengan pahat, osteatom
atau alat bor. Lubang
diperlebar dengan
cunam pemotong tulang
kerison, sampai jari
kelingking dapat
masuk. Isi antrum dapat
dilihat dengan jelas.
Dinding nasoantral
meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok.
Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang
dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya 1,5
cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding tulang.
Telah diakui secara luas bahwa berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan.

Setelah antrum diinspeksi dengan teliti agar tidak ada tampon yang
tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain cat gut 00. biasanya
tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus. Jika terjadi
perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan kedalam
antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1 atau ke
2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema,
hematoma dan perasaan tidak nyaman.

Non Radikal:

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Bedah sinus endoskopi


fungsional merupakan perkembangan pesat dalam bedah sinus. Teknik bedah ini
pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamm-berger dan
Kennedy. BSEF adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi
dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan transpor mukosilier. Prinsip
BSEF ialah membuka dan membersihkan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus
lancar secara alami.

2.2.7 KOMPLIKASI

Pemeriksaan CT Scan harus rutin dilakukan pada sinusitis rekuren, kronis atau
berkomplikasi. CT-Scan menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi di luar
sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium.

Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai
kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.

Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.

Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.

Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat 5 tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis
seringkali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita.
Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang
lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan
kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang
makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.

Komplikasi Intra Kranial


a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana
infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara
ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga
pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu
menimbulkan tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase
secara bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran
infeksi.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Sinusitis dentogen adalah peradangan pada sinus paranasal yang diakbatkanoleh


penyebaran infeksi gigi Terjadinya sinusitis dentogen dapat terjadi melalui infeksi
gigi yang kronis yang dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam mukosa sinus
maksila, penyebaran secara langsung, hematogen atau limfogen dari granuloma apikal
atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.

Diagnosis dapat dilakukan berdasarkan anamnesis melalui pemeriksaan fisik


yaitu inspeksi palpasi dan perkusi, pemeriksaan rinoskopi anterior, nasoendoskopi,
disertai pemeriksaan penunjang berupa transluminasi, foto rontgen, CT-Scan dan
MRI.

Biasanya gejala yang sering dikeluhkan pasien adalah hidung nya berbau.
Penatalaksanaannya adalah mengatasi masalah gigi, konservatif, diberikan obat-
obatan; antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid dan irigasi sinus serta
operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu Caldwell-Luc secara radikal
dan juga Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) secara non radikal. Komplikasi
yang dapat terjadi ialah mukokel, bahkan komplikasi dapat terjadi ke orbita dan juga
intrakranial.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai
Penerbit FKUI, 2008; 145-53.
2. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997.
3. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology Disease and head and neck surgery. 1st Edition.
4. Bally
5. Itzhak Brook, MD. Acute Sinusitis. Tersedia dari URL:
http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm Edisi 2012. Diunduh tanggal 2
April 2017
6. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A
Short Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-31
7. Kennnedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ. Diseases Of The Sinuses Diagnosis And
Management. Decker ; 2001

Anda mungkin juga menyukai

  • Kartika RP2 Uro
    Kartika RP2 Uro
    Dokumen94 halaman
    Kartika RP2 Uro
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Kartika RP3 URO
    Kartika RP3 URO
    Dokumen80 halaman
    Kartika RP3 URO
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Urin Pekat
    Urin Pekat
    Dokumen28 halaman
    Urin Pekat
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Faal
    Faal
    Dokumen53 halaman
    Faal
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • 475-Article Text-790-1-10-20190504
    475-Article Text-790-1-10-20190504
    Dokumen6 halaman
    475-Article Text-790-1-10-20190504
    Erlina Putry Sr.
    Belum ada peringkat
  • Tumor Immunology - Untar.4Des13
    Tumor Immunology - Untar.4Des13
    Dokumen37 halaman
    Tumor Immunology - Untar.4Des13
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Intoksikasi
    Intoksikasi
    Dokumen5 halaman
    Intoksikasi
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Case
    Case
    Dokumen36 halaman
    Case
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Case
    Case
    Dokumen7 halaman
    Case
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Pemicu 2
    Pemicu 2
    Dokumen81 halaman
    Pemicu 2
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Pemicu
    Pemicu
    Dokumen68 halaman
    Pemicu
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Physiology of Nose
    Physiology of Nose
    Dokumen9 halaman
    Physiology of Nose
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Physiology of Nose
    Physiology of Nose
    Dokumen9 halaman
    Physiology of Nose
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Kulit KR
    Jurnal Kulit KR
    Dokumen16 halaman
    Jurnal Kulit KR
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • PPT
    PPT
    Dokumen68 halaman
    PPT
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Anatomi 2
    Anatomi 2
    Dokumen51 halaman
    Anatomi 2
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • ANATOM
    ANATOM
    Dokumen59 halaman
    ANATOM
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Physiology of Nose
    Physiology of Nose
    Dokumen9 halaman
    Physiology of Nose
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Kenapa Kencingku Tidak Lampias?: Kartika Rahmawati 405120099 Blok Urologi 2016
    Kenapa Kencingku Tidak Lampias?: Kartika Rahmawati 405120099 Blok Urologi 2016
    Dokumen127 halaman
    Kenapa Kencingku Tidak Lampias?: Kartika Rahmawati 405120099 Blok Urologi 2016
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Antiaritmia
    Antiaritmia
    Dokumen38 halaman
    Antiaritmia
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Skabies
    Skabies
    Dokumen5 halaman
    Skabies
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Infertility Dan Kontrasepsi: Kelompok 12
    Infertility Dan Kontrasepsi: Kelompok 12
    Dokumen12 halaman
    Infertility Dan Kontrasepsi: Kelompok 12
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Uro
    Uro
    Dokumen28 halaman
    Uro
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Radiologi
    Radiologi
    Dokumen109 halaman
    Radiologi
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • PPT
    PPT
    Dokumen68 halaman
    PPT
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Kurva Pertumbuhan CDC 2000 Lengkap
    Kurva Pertumbuhan CDC 2000 Lengkap
    Dokumen20 halaman
    Kurva Pertumbuhan CDC 2000 Lengkap
    Ika Elyana
    Belum ada peringkat
  • PSORIASIS
    PSORIASIS
    Dokumen13 halaman
    PSORIASIS
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • Reproduksi
    Reproduksi
    Dokumen73 halaman
    Reproduksi
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat
  • PEMICU
    PEMICU
    Dokumen37 halaman
    PEMICU
    Kartika Rahmawati
    Belum ada peringkat