Anda di halaman 1dari 10

Tatalaksana STEMI

1. Perawatan Gawat Darurat(dapus perki)


Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk
diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah saat
pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter, atau pekerja kesehatan lain sebelum
tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga seringkali
terjadi dalam situasi rawat jalan.
Tujuan utama tatalaksana STEMI adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi yang
mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet, memberi obat
penunjang. Terdapat beberapa pedoman dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST
yaitu dari ACC/AHA tahun 2013 dan ESC tahun 2012, tetapi perlu disesuaikan
dengan kondisi sarana/fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang
ada.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri
dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan
pemberian nitrogliserin. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan
gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan
segera. Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah sakit dibuat
berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi
reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin
pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan
IKP primer harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari)
serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan
inisial.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang
terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:

1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama 10 menit

2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:


Untuk fibrinolisis 30 menit
Untuk IKP primer 90 menit (60 menit apabila pasien datang dengan
awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang
mampu melakukan IKP)

Penatalaksanaan ST elevasi IMA menurut ACC/AHA 2013 : ( dapus : Patrick


T OGara,et all. 2013. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients
With ST-Elevation Myocardial Infarction. American : ACC/AHA Practice
Guidlines )

a. Pemberian Oksigen

Suplementasi oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen


arteri < 90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan
oksigen selama 6 jam pertama.

b. Nitrogliserin

Pasien dengan nyeri iskemik di dada harus diberikan nitrogliserin sublingual


0,4 mg setiap 5 menit dengan dosis maksimal 3 dosis. Setelah melakukan
penialaian seharusnya dievaluasi akan kebutuhan nitrogliserin intravena.
Intravena nitrogliserin ini diindikasikan untuk bila nyeri iskemik masih
berlangsung, untuk mengontrol hipertensi, dan edema paru. Nitrogliserin tidak
diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg, bradikardi,
(kurang dari 50 kali per menit), takikardi (lebih dari 100 kali per menit, atau
dicurigai adannya RV infark.. nitrogliserin juga harus dihindari pada pasien
yang mendapat inhibitor fosfodiesterase dalam 24 jam terakhir.

c. Analgesik

Morfin sulfat (2-4 mg intravena dan dapat diulang dengan kenaikan dosis 2
8 mg IV dengan interval waktu 5 sampai 15 menit) merupakan pilihan utama
untuk manajemen nyeri yang disebabkan STEMI. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan simpatis sehingga terjadi pooling vena yang akan
mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat
diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek
vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi,
terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini biasanya dapat
diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg.

d. Aspirin

Aspirin kunyah harus diberikan pada pasien yang belum pernah mendapatkan
aspirin pada kasus STEMI. Dosis awal yang diberikan 162 mg sampai 325 mg.
Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.

e. Beta Bloker

Terapi beta bloker oral dianjurkan pada pasien yang tidak memiliki
kontraindikasi terutama bila ditemukan adanya hipertensi dan takiaritmia.
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta
IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan addalah
metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total3 dosis, dengan syarat
frekuensi jantung > 60 menit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval
PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas
menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan
dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100mg tiap 12 jam.

f. Clopidogrel

Pemberian clopidogrel 600 mg sedini mungkin. Dan dilanjutkan dengan

dosis rumatan sebesar 75 mg per hari.


2. Terapi Perfusi

Terapi reperfusi bertujuan membatasi luasnya daerah infark miokard, hal yang
sangat menentukan prognosis pasien. Bila STEMI terjadi dalam waktu 12 jam setelah
awitan simptom, maka reperfusi perlu dilakukan secepatnya. Tetapi bila STEMI sudah
melampaui 12 jam dari awitan symptom, tidak ada lagi jaringan yang bisa
diselamatkan, infark miokard telah komplit dan keluhan pasien hilang. Terapi
reperfusi hanya diberikan kalau masih ada tanda-tanda iskemia berupa nyeri dada,
elevasi segmen ST, atau terjadi left bundle branch block baru. Ada dua jenis strategi
reperfusi, pertama dengan intervensi koroner perkutan primer (primary PCI) dan
kedua secara medikamentosa dengan obat fibrinolitik (dapus buku 5 langkah)

2.1 Intervensi koroner perkutan primer (dapus buku 5 langkah)

Primary PCI merupakan pilihan pertama, karena hasil studi memperlihatkan


angka kematian lebih rendah dibanding fibrinolitik. Dianjurkan untuk melakukan PCI
sedini mugkin, idealnya kurang dari 90 menit sejak keluhan nyeri dada timbul. Pilihan
reperfusi perlu mempertimbangkan waktu awitan dari STEMI, fasilitas, sumber daya
dan demografi. Sekitar 50% kasus STEMI mempunyai penyempitan lebih dari satu
arteri koroner (multivessel). Intervensi koroner perkutan pada STEMI hanya
dilakukan pada lesi culprit, yaitu lesi di arteri yang berhubungan dengan daerah
infark. Pada syok kardiogenik, lesi non culprit dapat dipertimbangkan untuk
diintervensi. Kelebihan PCI primer, dapat mengidentikasi lesi culprit terkait infark
dan anatomi koroner yang lainya. Pada PCI primer dianjurkan untuk menggunakan
stent, guna menurunkan kejadian trombosis. Rescue PCI, angiografi koroner dengan
tujuan revaskularisasi dilakukan segera pada kasus fibrinolitik yang tidak berhasil.
Rescue PCI dilakukan bila terdapat tanda-tanda iskemia secara klinis (nyeri dada
berulang atau perubahan segmen ST) atau kapasitas latihan rendah atau stress test
farmakologik memperlihatkan tanda-tanda iskemia.

Rekomendasi antitrombotik pada pasien yang menjalani PCI primer :


Terapi antiplatelet

1. Aspirin
2. Penyekat P2Y12/ ADP (prasugrel 40 mg, ticagrelor 180 mg atau Clopidogrel
600 mg).

3. GPIIb/IIa hanya digunakan sebagai bail out bila saat tindakan memperlihatkan
beban trombus yang tinggi.

Terapi antikoagulan

1. Unfractioned heparin 70-100 iu/kg pada pasien yang tidak mendapatkan


enoxaparin atau bivalirudin

2.2 Terapi Fibrinolitik

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang sangat penting, terutamanya


bila PCI primer tidak dapat dilakukan karena masalah fasilitas sumberdaya dan
demografi. Keuntungan terbesar bila dilakukan dalam 6 jam pertama. Terapi
fibrinolitik dinyatakan berhasil bila angina berkurang, resolusi amplituda segmen ST
> 50% dan dijumpai aritmia reperfusi. Risiko untuk terjadinya stroke hemoragik
cukup rendah yaitu 1%. Semua pasien post fibrinolitik idealnya dirujuk ke fasilitas
kesehatan dengan kemampuan PCI. Pasien yang gagal terapi fibrinolitik dengan
kriteria angina disertai dengan resolusi segmen ST < 50%, perlu dilakukan rescue
PCI secepatnya

Rekomendasi terapi antitrombotik untuk pasien yang mendapatkan fibrinolisis :

1. Terapi fibrinolisis untuk semua tanpa kontraindikasi yang datang < 12 jam.

2. Pada pasien yang datang dalam waktu 2 jam dengan infark miokard luas dan
risiko perdarahan yang rendah, bila prediksi waktu yang dibutuhkan hingga
tiba di meja katerisasi >90 menit.

3. Fibrin spesifik agen merupakan pilihan pertama (dapus buku 5 langkah)

Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati


dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di
rumah sakit hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan dengan dosis 1mg/kg setiap 12 jam, ditambah
dengan pemberian aspirin 100-325 mg setiap harinya selama minimal 2 hari.
(lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) (Kelas I-A).
Kontrandikasi pemberian obat ini adalah kecenderungan hemoragia dan
pernah menderita trombositopenia selama pengobatan.

2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan
infus selama 3 hari yaitu 60 U/kgBB (maksimal 4000 U) (Kelas I-C).
Kontrandikasi pemberian obat ini adalah pada pasien yang sedang mengalami
perdarahan misalnya pasien hemofili, perdarahan intracranial, hipertensi berat
dan syok.

3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena


secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-
B). (dapus perki)

Terapi Medikal Postreperfusi (dapus buku 5 langkah)

1. Aspirin 81 mg/hari harus dimakan seumur hidup.

2. Clopidogrel 600 mg dosis loading diikuti 75 m/hari. Semua pasien yang


mendapatkan drug-eluting stents melanjutkan clopidogrel selama minimal 1
tahun. Pada yang mendapatkan bare-metal stents clopidogrel dilanjutkan
sampai minimal 1 bulan, idealnya 1 tahun.

3. Penyekat Beta harus dimulai pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang
datang dengan STEMI dalam 24 jam pertama dan pada kebanyakan kasus
dilanjutkan seumur hidup. Sebaiknya dimulai dengan obat kerja pendek seperti
Lopresor; ketika dosis optimum tercapai berdasarkan laju nadi dan tekanan
darah yang diinginkan, obat kerja panjang sekali sehari dapat diberikan. Pada
pasien dengan disfungsi LV, dapat diberikan carvedilol 3,25 mg dua kali sehari
untuk dititrasi bila dapat ditoleransi. Beta bloker harus dihindari pada pasien
dengan STEMI Killip II, III, atau IV atau dengan hipotensi, bradikardia, atau
syok.
4. ACE inhibitors harus dimulai dalam 24 jam pertama. Sebaiknya dimulai
dengan obat kerja pendek (captopril) pada 24 jam pertama sampai dosis
maksimum tercapai. Setelah pasien dapat mentoleransi dosis ini, obat kerja
panjang sekali sehari dapat diberikan misalnya lisinopril. Inisiasi ACE
inhibitor harus dilanjutkan seumur hidup pada pasien dengan fraksi ejeksi
<40% dan paling sedikit 1 bulan pada semua pasien. Inisiasi ACE inhibitor
dihubungkan dengan peningkatan awal kreatinin, namun pada banyak kasus
merupakan transien. Pertimbangkan ARB bila terdapat kontraindikasi ACE
inhibitor.

5. Terapi insulin direkomendasikan untuk kontrol gula darah pada semua pasien
yang dirawat di CVCU, berikan insulin-drip bila kadar gula darah >200
mg/dL. Hindari penggunaan glucophage pada pre dan post-PCI karena obat ini
berhubungan dengan asidosis laktat.

6. Statin harus dimulai pasca reperfusi setelah hemodinamik pasien stabil. Dapat
diberikan atorvastatin 80 mg/hari. Low density lipoprotein cholesterol (LDL-
C) harus dikurangi sampai 60-70 mg/dL pada semua pasien dengan STEMI.
Namun ada beberapa bukti bahwa terapi statin dosis tinggi memiliki efek
pleiotropic diluar level LDC-C.

7. Amiodarone dapat dipertimbangkan pada pasien dengan disritmia, sebaiknya


dihindari pada pasien muda. Umumnya terapi beta bloker agresif cukup
adekuat untuk mengatasi masalah aritmia pada STEMI

3. Terapi Bedah (dapus buku 5 langkah)

Tindakan bedah CABG tidak lazim dilakukan untuk revaskularisasi awal dan
segera pada STEMI tanpa komplikasi. Namun, setelah upaya awal dengan PCI atau
reperfusi fibrinolitik telah dilakukan, nyeri dada menetap/berulang, atau anatomi
koroner risiko tinggi (stenosis left-main atau triple vessel pada diabetes) atau terjadi
komplikasi mekanis (rupture septum ventrikel, rupture muskulus papilaris) intervensi
bedah patut dipertimbangkan. Pada kondisi seperti ini, sebaiknya menunggu paling
sedikit 24 jam setelah STEMI dan setelah hemodinamik stabil. Topangan mekanik
dengan intra-aortic ballon pump (IABP) dibutuhkan sebagai jembatan untuk
pembedahan pada kasus nyeri dada menetap, aritmia, dan hemodinamik tidak stabil .

PROGNOSIS

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II

edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

Terdapat beberapa sistem yang ada dalam menentukan prognosis pasca IMA:

1. Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,


kongesti paru dan syok kardiogenik.

Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

Kelas Definisi Mortalitas(%)

I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6

II Gagal jantung +gallop S3 dan/atau ronki basah 17

III Gagal jantung + edema paru 30-40

IV syok kardiogenik 60-80

2. Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


Pulmonary Capillary Wedge Pressure (PCWP).
Tabel 2. Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut

Kelas Indeks Kardiak (L/min/m2) PCWP (mmHg) Mortalitas (%)

I >2,2 <18 3

II >2,2 >18 9

III <2,2 <18 23

IV <2,2 >18 51

3. TIMI risk score adalah sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI yang
mendapat terapi fibrinolitik.

Tabel 3. TIMI Risk Score untuk STEMI

Skor Risiko / Mortalitas


Faktor Risiko (Bobot)
30 hari (%)

Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0,8)


Usia >75 tahun (3 poin) 1 (1,6)

Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1 poin) 2 (2,2)

Tekanan darah sistolik <100mmHg (2 poin) 3 (4,4)

Frekuensi jantung >100 (2 poin) 4 (7,3)

Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)

Berat < 67 kg (1 poin) 6 (16,1)

Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 7 (23,4)

Waktu ke reperfusi >4 jam (1 poin) 8 ( 26,8)

Skor risiko = total poin (0-14) >8 (35,9)

Anda mungkin juga menyukai