DI TANAH PAPUA
Dosen Pembimbing :
Lala Siti Sahara
Di Susun Oleh :
Afifah Nur Faridah (4423154630)
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya panjatkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang konflik social di tanah Papua ini.
Adapun makalah ini telah saya usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan
banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Namun tidak
lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun
bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka saya
membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga
saya dapat memperbaiki makalah tentang konflik social di tanah papua ini.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga dari makalah ini kita dapat mengambil hikmah dan manfaatnya
sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua
atau bagian paling timur Irian Jaya. Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau
East New Guinea. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat,
namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai
nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas
808.105 KM persegi dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama
di Indonesia. Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung
timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan
strategis, dan telah mendorong bangsa bangsa asing untuk menguasai pulau Papua.
Kabupaten Puncak Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang
terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua
memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis
yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata.
Belakang Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar
warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua
telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masih
adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum,
serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik
yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua,
orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu
pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya
stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai
Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog
konstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua. Apabila berbagai
masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap
menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan
menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah situasi
konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha Provinsi
Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan dengan moto:
Papua Tanah Damai (PTD).
Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya
menciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjadi
tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang
penuh kedamaian
1.2Rumusan Masalah
1.3Tujuan .
Untuk mengetahui apa penyebab konflik sosial yang terjadi di tanah Papua.
BAB II
PEMBAHASAN
Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut Wakil Ketua
Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang terjadi dalam 18 bulan
terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota di wilayah Papua. Menurut Ben
Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya pembebasan Irian barat, pemerintah belum
mengutamakan nation building. Selama ini pemerintah hanya mengembangkan state building
yang hanya sebatas teritorial, bukan membangun manusianya. Maka dari itu, pengembangan
state building erat kaitannya dengan motif ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif
tersendiri, menjadi salah satu alasan utama konflik di Papua.
Kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog tidak akan
mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada kesejahteraan. Dialog hanya
menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan, kekerasan,
ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan
kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya
mengatasnamakan bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan
mengatasnamakan suku atau agama. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP)
berpendapat bahwa solusi konflik papua yaitu :
- Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua
Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah mengeluarkan
sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde Baru, pemerintah
berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan keamanan dengan mengedepankan
militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan pendekatan
kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai
tanggapan atas tuntutan Papua merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001
melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan
bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU
Otsus secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan kebijakan
pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14 kabupaten baru di
Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat
dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini memicu perang suku di
Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah. Setelah melakukan
pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat pentingnya percepatan pembangunan.
Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September
2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B). Untuk melaksanakan Perpres
ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini
akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan dan peranan yang lebih
besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua provinsi ini. Seraya mengakui
dampak positif yang dialami orang Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam
konflik Papua. Terbukti konflik Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik
warga sipil maupun personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan
bertambah.
Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui kebijakan-kebijakan
di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang komprehensif. Konflik Papua lebih sering
diidentikkan dengan masalah ekonomi. Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan
sendirinya ketika orang Papua menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih
memperhatikan bidang ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur dasar. Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung
masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya sebagai orang
Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada perbedaan penafsiran
atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga merupakan satu-satunya daerah
yang bergabung dengan Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan
demikian, konflik Papua mempunyai dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan
internasional. Oleh karena itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua.
Kompleksitas dan multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang
mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah tidak boleh
memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Hal ini
karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai
kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain. Apabila konflik Papua mau
diselesaikan secara permanen, pemerintah harus merangkul semua pemangku kepentingan agar
secara bersama-sama mencari solusi yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif
yang dapat memungkinkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan
kebijakan. Secara khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung
dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan
pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi dengan
kelompok OPM. OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan
perlawanan di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri. Ketiga
kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang komprehensif.
Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan pandangan
kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara bersama, serta
diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok OPM.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas bisa dimengerti bahwa konflik social papua merupakan peristiwa
yang sangat kompleks. Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi. Namun bukan berarti
komplesiksisitas konflik social papua harus mengurungkan niat pemerintah untuk bersikap apatis
terhadap konflik yang terjadi di Papua. Diatas telah dijelaskan pula bagaimana solusi terhadap
konflik social papua, yang mana solusi-solusi yang ditawarkan bias menjadi bahan pertimbangan
bagi pemerintah untuk mengakhiri konflik papua sehingga masyarakat papua bias merasakan
perdamaian di tanahnya.