Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KONFLIK SOSIAL

DI TANAH PAPUA

Dosen Pembimbing :
Lala Siti Sahara

Di Susun Oleh :
Afifah Nur Faridah (4423154630)

FAKULTAS ILMU SOSIAL PRODI USAHA JASA PARIWISATA


Jl. Rawamangun Muka, Jakarta Timur, Kota Jakarta Timur,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 13220
(021) 4890046
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, saya panjatkan puja dan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang konflik social di tanah Papua ini.

Adapun makalah ini telah saya usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai
pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya tidak lupa menyampaikan
banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Namun tidak
lepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun
bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka saya
membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga
saya dapat memperbaiki makalah tentang konflik social di tanah papua ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga dari makalah ini kita dapat mengambil hikmah dan manfaatnya
sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Jakarta, 11 Juli 2017

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua
atau bagian paling timur Irian Jaya. Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau
East New Guinea. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat,
namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai
nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas
808.105 KM persegi dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama
di Indonesia. Pulau Papua memiliki luas sekitar 421.981 km2, pulau Papua berada di ujung
timur dari wilayah Indonesia, dengan potensi sumber daya alam yang bernilai ekonomis dan
strategis, dan telah mendorong bangsa bangsa asing untuk menguasai pulau Papua.
Kabupaten Puncak Jaya merupakan kota tertinggi di pulau Papua, sedangkan kota yang
terendah adalah kota Merauke. Sebagai daerah tropis dan wilayah kepulauan, pulau Papua
memiliki kelembaban udara relative lebih tinggi berkisar antara 80-89% kondisi geografis
yang bervariasi ini mempengaruhi kondisi penyebaran penduduk yang tidak merata.
Belakang Sudah lama Tanah Papua menjadi tanah konflik. Selain konflik horizontal antar
warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua
telah mengorbankan banyak orang. Konflik ini hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masih
adanya konflik ini secara jelas diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum,
serta terjadinya pengibaran bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalian
Undang-undang No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Konflik
yang belum diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asli Papua,
orang Papua dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu
pihak, orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanya
stigma separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak mempercayai
Pemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain ini, dialog
konstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang Papua. Apabila berbagai
masalah yang melatar belakangi konflik ini tidak dicarikan solusinya, maka Papua tetap
menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini pada gilirannya akan
menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah Papua. Dari tengah situasi
konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam, Hindudan Budha Provinsi
Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini dilakukandengan dengan moto:
Papua Tanah Damai (PTD).

Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya
menciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin memperbaharui tanah leluhurnya menjadi
tanah damai, dimana setiap orang yang hidup diatasnya menikmat suatu kehidupan yang
penuh kedamaian
1.2Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah konflik sosial di tanah Papua?


2. Apakah penyebab konflik sosial di tanah Papua?
3. Bagaimana solusi konflik di tanah Papua?

1.3Tujuan .
Untuk mengetahui apa penyebab konflik sosial yang terjadi di tanah Papua.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENYEBAB KONFLIK SOSIAL DI TANAH PAPUA


Menurut tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membagi sumber konflik
Papua ke dalam empat isu Utama:
1. Sejarah integrasi dan status identitas politik.
Pada problem ini konflik papua di dasarkan pada adanya perbedaan cara pandang
antara nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua atas sejarah peralihan papua
kekuasaan papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang
polemik penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah selesai dengan adanya
PEPERA 1969 dan di terimanya hasil penentuan tersebut oleh majelis umum sidang
PBB. Sementara, nasionalis Papua berpandangan PEPERA 1969 itu sendiri terjadi
banyak kecurangan yang di lakukan oleh pemerintah Indonesia, kalah itu termasuk
dalam 1.025 perwakilan warga.Terlebih nasionalis papua berpegang pada insiden 1
desmber 1961.
2. Problem kekerasan politik dan pelanggaran HAM.
Lipi mencatat problem ini muncul sebagai ekses dari pandangan dari keutuhan NKRI
adalah harga mati dan gagasan memisahkan diri merupakan tindakan melawan
hukum yang di kemudian di identifikasikan secara militeristik sehingga upaya
tersebut di artikan dengan menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk
mengakhiri perbedaan. Hasilnya rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan
terlanggar hak asasinya akibat pelaksanaan tugas memerangi organisasi Papua
Merdeka (OPM). Negara seharusnya hadir sebagai institusi yang mensejahterahkan
justru muncul sebagai sosok yang berwajah sangar.
3. Problem kegagalan pembangunan.
Topik pembangunan di jadikan salah satu isu utama yang menjadi akar konflik di
Papua di karenahkan adanya ketimpangan yang terjadi. Gap ekonomi dan
pembangunan, jika di bandingkan dengan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan
pusat ke daerah dan eksploitasi besar-besaran yang di lakukan terhadap kekayaan
alam Papua adalah beberapa hal yang menjadikan pemerintah gagal melakukan
pembangunan di Papua. Ironisnya, data menunjukan pembangunan ekonomi justru
lebih banyak di lakukan di erah sebelum dari pada setelah pelaksanaan otsus.kondisi
ini di perparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara
penduduk asli dan pendatang atas penguasaan sektor perekonomian.
4. Persoalan marginalisasi orang papua dan inkonsistensi kebijakan otsus. Seperti juga
telah di singgung Amich Alhumami,praktek marginalisaidapat jelas terlihat di Papua.
Tim lipi menjelaskan marginalisasi dapat di lihat pada asprk demografi, sosial politik,
sosial ekonomi dan sosial budaya, seringkali di identikan dengan kegiatan
separatisme. Sedangkan dari bidang politik terutama di erah orde baru, orang Papua
tercatat beberapa kali menduduki jabatan gubernur.

B. SEJARAH KONFLIK PAPUA

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia


mengklaim seluruh wilayah Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun
demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan
Belanda, sama dengan daerah-daerah lainnya. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan
untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah yang diperebutkan
antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan
dalam berbagai forum internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan
Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini
akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu satu tahun. Pada bulan Desember 1950, PBB
memutuskan bahwa Papua Barat memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB.
Karena Indonesia mengklaim Papua Barat sebagai daerahnya, Belanda mengundang Indonesia
ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan masalah ini, namun Indonesia menolak.
Setelah Indonesia beberapa kali menyerang Papua Barat, Belanda mempercepat program
pendidikan di Papua Barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain adalah sebuah
akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan,
pada 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di
Pulau Halmahera, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah. Pada tanggal 6 Maret 1959,
harian New York Times melaporkan penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut
Arafura. Pada tahun 1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan
Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika, namun tidak menyebut
kandungan emas ataupun tembaga. Bendera PapuaBarat, sekarang digunakan sebagai bendera
Organisasi Papua Merdeka Karena usaha pendidikan Belanda, pada tahun 1959 Papua memiliki
perawat, dokter gigi, arsitek, teknisi telepon, teknisi radio, teknisi listrik, polisi, pegawai
kehutanan, dan pegawai meteorologi. Kemajuan ini dilaporkan kepada PBB dari tahun 1950
sampai 1961. Selain itu juga diadakan berbagai pemilihan umum untuk memilih perwakilan
rakyat Papua dalam pemerintahan, mulai dari tanggal 9 Januari 1961 di 15 distrik. Hasilnya
adalah 26 wakil, 16 di antaranya dipilih, 23 orang Papua, dan 1 wanita. Dewan Papua ini dilantik
oleh gubernur Platteel pada tanggal 1 April 1961, dan mulai menjabat pada 5 April 1961.
Pelantikan ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Australia, Britania Raya, Perancis, Belanda dan
Selandia Baru. Amerika Serikat diundang tapi menolak. Dewan Papua bertemu pada tanggal 19
Oktober 1961 untuk memilih sebuah komisi nasional untuk kemerdekaan, bendera Papua,
lambang negara, lagu kebangsaan (Hai Tanahkoe Papua), dan nama Papua. Pada tanggal 31
Oktober 1961, bendera Papua dikibarkan untuk pertama kali dan manifesto kemerdekaan
diserahkan kepada gubernur Platteel. Belanda mengakui bendera dan lagu kebangsaan Papua
pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan-peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1
Desember 1961. Pada 19 Desember 1961, Soekarno menanggapipembentukan Dewan Papua ini
dengan menyatakan Trikora di Yogyakarta, yang isinya adalah:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda.
2. Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Irian Barat
3.Bersiaplah untuk mobilisasi umum, mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
bangsa.

C. SOLUSI KONFLIK PAPUA

Hingga saat ini, konflik itu belumlah usai, malah semakin meruncing. Menurut Wakil Ketua
Komisi I DPR TB Hassanudin, melihat data tindakan kekerasan yang terjadi dalam 18 bulan
terakhir, korban telah berjatuhan tersebar di hampir semua kota di wilayah Papua. Menurut Ben
Mboi, mantan tentara yang pernah ikut upaya pembebasan Irian barat, pemerintah belum
mengutamakan nation building. Selama ini pemerintah hanya mengembangkan state building
yang hanya sebatas teritorial, bukan membangun manusianya. Maka dari itu, pengembangan
state building erat kaitannya dengan motif ekonomi. Ketimpangan ekonomi dalam perspektif
tersendiri, menjadi salah satu alasan utama konflik di Papua.
Kedamaian dan keadilan di Papua hanya bisa diperoleh melalui dialog. Dialog tidak akan
mengambil nyawa siapapun, malah akan bermuara pada kesejahteraan. Dialog hanya
menakutkan bagi mereka yang selama ini mengambil keuntungan dari kekacauan, kekerasan,
ketidakjelasan, dan status quo. Mereka yang anti dialog adalah orang-orang yang menjadikan
kekerasan dan ketidakadilan sebagai sumber mata pencaharian dan kekuasaan yang biasanya
mengatasnamakan bangsa dan negara atau mengatasnamakan rakyat Papua, atau bahkan
mengatasnamakan suku atau agama. Dilain pihak, kordinator Jaringan Damai Papua (JDP)
berpendapat bahwa solusi konflik papua yaitu :
- Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua
Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah mengeluarkan
sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde Baru, pemerintah
berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan keamanan dengan mengedepankan
militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan pendekatan
kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai
tanggapan atas tuntutan Papua merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001
melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan
bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU
Otsus secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan kebijakan
pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14 kabupaten baru di
Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.
Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat
dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini memicu perang suku di
Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah. Setelah melakukan
pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat pentingnya percepatan pembangunan.
Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September
2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B). Untuk melaksanakan Perpres
ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit
Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini
akan berakhir tahun 2014.
Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan
Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan dan peranan yang lebih
besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua provinsi ini. Seraya mengakui
dampak positif yang dialami orang Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam
konflik Papua. Terbukti konflik Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik
warga sipil maupun personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan
bertambah.

Penyebab utama dari belum tuntasnya penyelesaian konflik Papua melalui kebijakan-kebijakan
di atas, menurut saya, karena belum ada solusi yang komprehensif. Konflik Papua lebih sering
diidentikkan dengan masalah ekonomi. Dengan berasumsi konflik Papua akan hilang dengan
sendirinya ketika orang Papua menikmati kesejahteraan ekonomi, pemerintah lebih
memperhatikan bidang ketahanan pangan, pengurangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur dasar. Perlu disadari bahwa selain masalah ekonomi, konflik Papua mengandung
masalah ke-Indonesiaan. Masih ada orang Papua yang belum mengakui dirinya sebagai orang
Indonesia. Masalah ini merupakan beban politik bagi pemerintah dan setiap Presiden Indonesia.
Ada juga persoalan benturan budaya antara Melayu versus Melanesia. Ada perbedaan penafsiran
atas sejarah bergabungnya Papua dengan Indonesia. Papua juga merupakan satu-satunya daerah
yang bergabung dengan Indonesia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan
demikian, konflik Papua mempunyai dimensi ekonomi, politik, budaya, sejarah, keamanan, dan
internasional. Oleh karena itu, solusi parsial tidak akan menyelesaikan konflik Papua.
Kompleksitas dan multidimensionalitas konflik Papua menuntut suatu solusi komprehensif yang
mengakomodasi dan mampu menjawab semua dimensi permasalahan. Pemerintah tidak boleh
memandang dirinya sebagai satu-satunya pihak yang mampu mengatasi konflik Papua. Hal ini
karena pemerintah terbukti tidak berhasil menyelesaikan konflik Papua melalui berbagai
kebijakan yang ditetapkannya tanpa keterlibatan pihak lain. Apabila konflik Papua mau
diselesaikan secara permanen, pemerintah harus merangkul semua pemangku kepentingan agar
secara bersama-sama mencari solusi yang komprehensif. Perlu ditetapkan mekanisme inklusif
yang dapat memungkinkan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan dalam pembuatan
kebijakan. Secara khusus, pemerintah tidak perlu takut melibatkan orang Papua yang bergabung
dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlu disadari bahwa sebagus apa pun kebijakan
pemerintah, tidak dapat menyelesaikan konflik Papua apabila tidak berkonsultasi dengan
kelompok OPM. OPM terdiri atas tiga kelompok, yakni orang Papua yang melakukan
perlawanan di kota dan kampung, mereka yang bergerilya di hutan dengan nama Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB), dan orang Papua yang hidup di luar negeri. Ketiga
kelompok ini harus dilibatkan semuanya dalam pembahasan solusi yang komprehensif.
Pemerintah perlu mendorong mereka untuk berkumpul, berdiskusi, dan merumuskan pandangan
kolektifnya tentang kebijakan yang komprehensif bagi penyelesaian konflik Papua.
Dengan demikian, solusi komprehensif untuk Papua dicari dan ditetapkan secara bersama, serta
diterima semua pemangku kepentingan, termasuk kelompok OPM.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas bisa dimengerti bahwa konflik social papua merupakan peristiwa
yang sangat kompleks. Baik dimensi sejarah, penyebab, maupun solusi. Namun bukan berarti
komplesiksisitas konflik social papua harus mengurungkan niat pemerintah untuk bersikap apatis
terhadap konflik yang terjadi di Papua. Diatas telah dijelaskan pula bagaimana solusi terhadap
konflik social papua, yang mana solusi-solusi yang ditawarkan bias menjadi bahan pertimbangan
bagi pemerintah untuk mengakhiri konflik papua sehingga masyarakat papua bias merasakan
perdamaian di tanahnya.

Anda mungkin juga menyukai