Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hospitalisasi merupakan perawatan yang dilakukan dirumah sakit dan dapat


menimbulkan trauma dan stress pada klien yang baru mengalami rawat inap
dirumah sakit. Hospitalisasi dapat diartikan juga sebagai suatu keadaan yang
memaksa seseorang harus menjalani rawat inap di rumah sakit untuk menjalani
pengobatan maupun terapi yang dikarenakan klien tersebut mengalami sakit.
Pengalaman hospitalisasi dapat mengganggu psikologi seseorang terlebih bila
seseorang tersebut tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya di rumah
sakit. Pengalaman hospitalisasi yang dialami klien selama rawat inap tersebut
tidak hanya mengganggu psikologi klien, tetapi juga akan sangat berpengaruh
pada psikososial klien dalam berinteraksi terutama pada pihak rumah sakit
termasuk pada perawat.

Masalah yang dapat ditimbulkan dari hospitalisasi biasanya berupa cemas,


rasa kehilangan, dan takut akan tindakan yang dilakukan oleh pihak rumah sakit,
jika masalah tersebut tidak diatasi maka akan mempengaruhi perkembangan
psikososial, terutama pada anak-anak. Masalah tersebut akan berpengaruh pada
pelayanan keperawatan yang akan diberikan, karena yang mengalami masalah
psikososial akibar hospitalisasi cenderung tidak dapat beradaptasi dengan
lingkungan di rumah sakit. Hal ini tentu saja akan menyebabkan terganggunya
interaksi baik dari perawat maupun tim medis lain di rumas sakit.

Untuk mencegah supaya masalah hospitalisasi teratasi maka peran perawat


adalah tetap memberikan dukungan (support) dan dorongan kepada klien yang
efektif agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan tetap menjaga
kepercayaan klien agar klien tidak merasa takut akan tindakan yang akan
dilakukan oleh perawat. Selain itu perawat juga berperan sebagai promotif yang
memberikan pandangan pada keluarga agar selalu setia mendampingi dan memberi
perhatian lebih pada klien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit. Hal
ini menjadi salah satu pendukung karena kehadiran orang terdekat dapat
mengurangi rasa cemas maupun jenuh selama klien mengalami perawatan.

1
B. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui pengertian dari hospitalisasi

Untuk mengetahui reaksi anak terhadap hospitalisai

Untuk mengetahui reaksi orangtua terhadap hospitalisasi anak

Untuk mengetahui reaksi saudara kandung terhadap perawatan anak di


rumah sakit

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hospitalisasi

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang


berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi, dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah
(Supartini, 2004). Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang
tampak pada anak. Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut
akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stress akibat perubahan baik
terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari,
anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanismme koping untuk
mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Berbagai
perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa
bersalah (Wong, 2000).

Hospitalisasi pada pasien anak dapat menyebabkan kecemasan dan stress


pada semua tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh banyak
faktor, baik dari petugas (perawat, dokter, dan tenaga medis lainnya), lingkungan
baru, maupun keluarga yang mendampinginya. Peran perawat dalam
meminimalkan stress akibat hospitalisasi pada anak dan bayi adalah sangat
penting. Perawat perlu memahami konsep stress hospitalisasi dan prinsip-prinsip
asuhan keperawatan melalui pendekatan proses keperawatan. Stress yang utama
selama mengalami hospitalisasi adalah perpisahan, kehilangan kontrol, adanya
luka di tubuh, dan rasa sakit. Reaksi setiap anak terhadap krisis ini adalah
dipengaruhi oleh perkembangan umur, pengalaman mereka terhadap penyakit,
perpisahan ataupun hospitalisasi, kemampuan koping, keseriusan penyakit, dan
tersedianya sistem pendukung. Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang
tua menjadi stress pula, dan stress orang tua akan membuat tingkat stress anak
semakin meningkat (Supartini, 2000).

Terutama pada mereka yang baru pertama kali mengalami perawatan anak di
rumah sakit, dan orang tua yang kurang mendapat dukungan emosi dan sosial dari
keluarga, kerabat, bahkan petugas kesehatan akan menunjukkan perasaan
cemasnya, dan ketakutan akan kehilangan anaknya. Penelitian lain menunjukkan
bahwa pada saat mendengarkan keputusan dokter tentang diagnosis penyakit
anaknya merupakan kejadian yang sangat membuat stress orangtua.

3
B. Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi

1. Masa bayi (0 sampai 1 tahun)

Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan


dengan orangtua sehingga ad gangguan pembentukan rasa percaya dan
kasih sayang. Pada anak usia lebih dari 6 bulan terjadi strenger anxiety atau
cemas apabila berhadapan dengan orang yang tidak dikenalnya dan cemas
karena perpisahan. Reaksi yang sering muncul pada anak usia ini adalah
menangis, marah, dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger
anxiety. Bila ditinggalkan ibunya, bayi akan merasa cemas karena
perpisahan dan perilaku yang ditunjukkan adalah dengan menangis keras.
Respon terhadap nyeri atau adanya perlukaan biasanya menangis keras,
pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak
menyenangkan.

2. Masa todler (2 sampai 3 tahun)

Usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber


stressnya. Sumber stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan.
Respon perilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap protes,
perilaku yang ditunjukkan adalah menagis kuat, menjerit memanggil
orangtua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap
putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak
tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih,
dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah
secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara
dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya.

Adanya pembatasan terhadap pergerakkannya, anak akan kehilangan


kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada
lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada kemampuan
sebelumnya atau regeresi. Terhadap perlukaan yang dialami atau nyeri
yang dirasakan karena mendapatkan tindakan invasif, seperti injeksi, infus,
pengambilan darah, anak akan meringis, menggigit bibirnya, dan memukul.
Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri dan
mengomunikasikan rasa nyeri.

4
3. Masa prasekolah (3 sampai 6 tahun)

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari


lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan
menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan, dan teman
sepermainannya. Reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia
prasekolah adalah dengan menolak makan, sering bertanya, menangis
walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap petugas
kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak kehilangan
kontrol terhadap dirinya. Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya
pembatasan aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri.
Perawatan di rumah sakit sering kali dipersepsikan anak prasekolah
sebagai hukuman sehingga anak akan merasa malu, bersalah, atau takut.
Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap
tindakan dan prosedurnya mengancam integritas tubuhnya. Hal ini
menimbulkan reaksi agresif dengan marah dan berontak, ekspresi verbal
dengan mengucapkan kata-kata marah, tidak mau bekerja sama dengan
perawat, dan ketergantungan pada orangtua.

4. Masa sekolah (6 sampai 12 tahun)

Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan


lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok
sosialnya dan menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol juga terjadi
akibat dirawat di rumah sakit karena adanya pembatasan aktivitas.
Kehilangan kontrol tersebut berdampak pada perubahan peran dalam
keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya karena ia biasa melakukan
kegiatan bermain atau pergaulan sosial, perasaan takut mati, dan adanya
kelemahan fisik. Reaksi terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan
ditunjukkan dengan ekspresi baik secara verbal maupun nonverbal karena
anak sudah mampu mengomunikasikannya. Anak usia sekolah sudah
mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit
bibir dan/atau menggigit dan memegang sesuatu dengan erat.

5
5. Masa remaja ( 12 sampai 18 tahun)

Anak usia remaja mempersepsikan perawatan di rumah sakit


menyebabkan timbulnya perasaan cemas karena harus berpisah dengan
teman sebayanya. Telah diuraikan pada kegiatan belajar sebelumnya bahwa
anak remaja begitu percaya dan sering kali terpengaruh oleh kelompok
sebayanya (geng). Apabila harus dirawat di rumah sakit, anak akan merasa
kehilangan dan timbul perasaan cemas karena perpisahan tersebut.
Pembatasan aktivitas di rumah sakit membuat anak kehilangan kontrol
terhadap dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau petugas
kesehatan di rumah sakit. Reaksi yang sering muncul terhadap pembatasan
aktivitas ini adalah dengan menolak perawatan atau tindakan yang
dilakukan padanya atauanak tidak mau kooperatif dengan petugas
kesehatan atau menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas
kesehatan (isolasi). Perasaan sakit karena perlukaan atau pembedahan
menimbulkan respon anak bertanya-tanya, menarik diri dari lingkungan,
dan/atau menolak kehadiran orang lain.

C. Reaksi Orang tua Terhadap Hospitalisasi Anak

1. Perasaan Cemas Dan Takut

Orangtua akan merasa begitu cemas dan takut terhadp kondisi


anaknya. Perasaan tersebut muncul pada saat orangtua melihat anak
mendapat prosedur menyakitkan, seperti pengambilan darah, injeksi, infus,
dilakukan pungsi lumbal, dan prosedur invansif lainnya. Seringkali pada
saat anak harus dilakukan prosedur tersebut, orangtua bahkan menangis
karena tidak tegamelihat anaknya, dan pada kondisi ini perawat atau
petugas kesehatan harus bijaksana bersikap pada anak dan orangtuanya.

Penelitian membuktikan bahwa rasa cemas paling tinggi dirasakan


orangtua pada saat menunggu informasi tentang diagnosis penyakit
anaknya (supartini, 2000), sedangkan rasa takut muncul pada orangtua
terutama akibat takut kehilangan anak pada kondisi sakit yang terminal
(Brewis, 1995). Perasaan cemas juga dapat muncul pada saat pertama kali
datang ke rumah sakit dan membawa anaknya untuk di rawat, marasa asing
dengan lingkungan rumah sakit.

6
Bahkan, bisa saja walaupun orang tua pernah mempunyai pengalaman
di rawat di rumah sakit ataupernah mengenal lingkungan rumah sakit,
tetapi tetap perasaan cemas tersebut muncul karena pengalaman
sebelumnya dirasakan menimbulkan trauma. Pengalaman sebelumnya yang
traumatik bisa dialami karena ada interaksi yang tidak baik dengan petugas
kesehatan atau menunggu/menjenguk kerabat yang sakit dan meninggal di
rumah sakit(morison, 1998).

Perilaku yang sering di tunjukan orang tua berkaitan dengan adanya


perasaan cemas dan takut ini adalah sering bertanya atau bertanya tentang
hal yang sama secaraberulang pada orang yang berbeda, gelisah, ekspresi
wajah tegang, dan bahkan marah(supartini, 2001).

2. Perasaan Sedih

Perasaan ini muncul terutama pada saat anak dalam kondisi terminal
dan orang tua mengetahui bahwa tidak adalagi harapan anaknya untuk
sembuh. Bahkan, pada saat menghadapi anaknya yang menjelang ajal, rasa
sedih dan berduka akan dialami orang tua. Disatu sisi orang tua dituntut
untuk berada disamoing anaknya dan memberi bimbingan spiritual pada
anaknya, dan disisi lain mereka menghadapi ketidakberdayaannya karena
perasaan terpukul dan sedih yang amat sangat. Pada kondisi ini, orang tua
menunjukkan perilaku isolasi atau tidak mau di dekati orang lain, bahkan
bisa tidak kooperatif terhadap tugas kesehatan ( Supartini, 2000).

3. Perasaan Frustasi

Pada kondisi ini, orang tua merasa frustasi dan putus asa ketika
melihat anaknya yang telah dirawat cukup lama namun belum mengalami
perubahan kesehatan menjadi lebih baik. Oleh karena itu, perlu adanya
dukungan psikologis dari pihak-pihak luar (seperti keluarga ataupun
perawat atau petugas kesehatan).

7
4. Perasaan Bersalah

Perasaan bersalah muncul karena orang tua menganggap dirinya telah


gagal dalam memberikan perawatan kesehatan pada anaknya sehingga
anaknya harus mengalami suatu perubahan kesehatan yang harus ditangani
oleh tenaga kesehatan di rumah sakit.Memberikan dukungan pada angota
keluarga lain (Supartini, 2004) :

a) Berikan dukungan pada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di


rumah sakit.

b) Apabila diperlukan, fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada


psikolog atau ahli agama karena sangat dimungkinkan keluarga
mengalami masalah psikososial dan spiritual yang memerluakn
bantuan ahli.

c) Beri dukungan pada keluarga untuk meneria kondisi anaknya


dengan nilai-nilai yang diyakininya.

d) Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila


diperlukan keluarga dan berdampak positif pada anak yang dirawat
ataupun saudara kandungnya.

D. Reaksi Saudara Kandung Terhadap Perawatan Anak di Rumah Sakit

Orang tua pada dasarnya tidak boleh membedakan perlakuan pada anak yang
sedang sakit dan di rawat dirumah sakit dengan saudara kandungnya yang lain di
rumah. Akan tetapi, pada kondisi tertentu orang tua dituntut untuk lebih
memprioritaskan anak yang sedang sakit, terutama pada permulaan di rawat, pada
fase akut perawatan, atau pada kondisi sakit yang terminal. Kedua orang tua
terpaksa harus tinggal untuk menemani anak di rumah sakit, dan anak yang lain
hanya ditemani pembantu, kakek, nenek, dan / atau saudara yang lain.

Selain kehadiran fisik orang tua dirumah sakit, perhatian dalam bentuk lain,
misalnya uang, makanan, dan hal yang berhubungan dengan keperluan
keperawatan anak di rumah sakit juga menuntut orang tua untuk
memprioritaskannya dibanding keperluan anak yang lain karena bila tidak, akan
menghambat pengobatan atau perawatan yang sedang dijalankan. Hal ini akan
menimbulkan perasaan dan pikiran yang negatif saudaranya di rumah, terutama
pada anak yang lebih kecil dan seringkali orang tua kurang menyadari hal ini.

8
Reaksi yang sering muncul pada saudara kandung ( Sibling ) terhadap kondisi
ini adalah marah, cemburu, benci, dan rasa bersalah. Rasa marah timbul karena
jengkel terhadap orang tua yang dinilai tidak memperhatikannya. Cemburu atau iri
timbul karena dirasakan orang tuanya lebih mementingkan saudaranya yang
sedang ada di rumah sakit, dan ia tidak dapat memahami kondisi ini dengan baik.
Perasaan benci juga timbul tidak hanya pada saudaranya, tetapi juga pada situasi
yang dinilainya sangat tidak menyenangkan. Selain perasaan tersebut, rasa
bersalah juga dapat muncul karena anak berfikir mungkin saudaranya sakit akibat
kesalahannya. Selain perasaan tersebut, takut dan cemas serta perasaan kesepian
juga sering muncul. Perasaan takut dan cemas tentang keberadaannya saudaranya
yang sedang dirawat seringkali muncul karena ketidaktahuan tentang kondisi
saudaranya. Perasaan sepi dan sendiri muncul karena situasi dirumah dirasakan
tidak seperti biasanya ketika anggota keluarga lengkap berada di rumah, dalam
situasi penuh kehangatan, bercengkrama dengan orang tua dan saudaranya.

Kondisi diatas terutama sering muncul pada anak yang lebih muda dan
dihadapkan pada terlalu banyak perubahan, di rawat atau ditemani oleh orang lain
yang bukan saudaranya, dan kurang menerima informasi yang adekuat dari orang
tua berkaitan dengan kondisi saudaranya di rumah sakit ( Wong, 2000).

9
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang


berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi, dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah
(Supartini, 2004). Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang
tampak pada anak. Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut
akan mudah mengalami krisis karena anak mengalami stress akibat perubahan
baik terhadap status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan
sehari-hari, anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanismme koping
untuk mengatasi masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan.

Reaksi saudara kandung terhadap anak yang sakit, seperti merasa kesepian,
ketakutan, khawatir, marah, cemburu, benci, dan merasa bersalah. Hal ini
disebabkan orangtua lebih mencurahkan perhatian pada anak yang sakit.

10
Supartini,yupi.2004.konsep dasar keperawatan anak.jakarta:egc

Repository.usu.ac.id (dikutip pada tanggal 24 maret 2014 8:59)

www.library.upnvj.ac.id(dikutip pada tanggal 24 maret 2014 09:01)

11
HOSPITALISASI PADA ANAK

Disusun Oleh

1. Achmad Lutfi Chakim

2. Agung Adi Hananto

3. Agung Samsu Alam

4. Agus Supriyanto

5. Anis Arum Nuraeni

6. Atiek Mimilia Dewi

7. Ayu Ervina Kartikasari

8. Ayunita Kusumaningtyas

9. Chrystin Indiana

10. Daryanto

STIKES MUHAMMADIYAH KUDUS

12
PROGRAM STUDI SI ILMU KEPERAWATAN

13

Anda mungkin juga menyukai