Anda di halaman 1dari 13

UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIK:

PENENTUAN KADAR HAMBAT MINIMAL (KHM) ANTIBIOTIK SECARA DILUSI PADAT

A. TUJUAN
Menentukan kadar hambat minimal (KHM) dari suatu antibiotik secara dilusi padat
B. TINJAUAN PUSTAKA

Agen kemoterapi memiliki selective toxicity yang membunuh atau menghambat patogen
mikroba dengan sekecil mungkin memiliki dampak tehadap host. Derajat selective toxicity dapat
dinyatakan dalam therapeutic dose (tingkat obat yang diperlukan untuk pengobatan klinis dari infeksi
tertentu) dan toxic dose (tingkat obat dimana agennya mulai menjadi toksik bagi host). Therapeutic
index adalah rasio dari toxic dose dengan therapeutic dose. Semakin besar theurapetic index maka
semakin baik agen kemoterapinya (Willey, Sherwood, Woolverton., 2014).

Obat -laktam menghambat total kelompok enzim yang mengkatalis pembentukan jembatan peptid
antara ikatan glikan yang berdekatan, langkah yang sangat penting dalam tahap akhir pembentukan
peptidoglikan. Gangguan dalam biosintesis dinding sel ini mengakibatkan melemahnya dinding dan
akhirnya akan terjadi lisis sel. Karena dinding sel hanya disintesis pada sel yang aktif membelah diri,
obat -laktam hanya efektif melawan bakteri yang sedang tumbuh (Nester, Anderson, Roberts, Nester,
2007).

Sekarang ini, turunan penisilin dibagi menjadi beberapa kategori yang tiap kategori terdiri dari
beberapa obat yang berbeda. Ampicilin dan amoxycilin termasuk dalam broad- spectrum penicillin.
Mereka dapat melawan bakteri gram positif dan juga bakteri gram negatif. Namun, mereka dapat
diinaktifasi oleh banyak - laktamase (Nester, dkk., 2007).

Agen antimikroba dapat diklasifikasikan sebagai bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik


dengan mengamati efek mereka pada kultur bakteri. Agen bakteriostatik adalah inhibitor dalam sintesis
protein dan beraksi dengan mengikat ribosom. Jika konsentrasi agen bakteriostatik diturunkan, maka
agen tersesebut akan dapat dilepaskan dari ribosom dan pertumbuhan akan dapat kembali berlanjut.
Agen bakteriostatik melekat kuat pada target selnya, membunuh sel tersebut, dan tidak dapat
dihilangkan dengan dilusi. Namun sel yang mati tidak dihancurkan, dan total jumlah sel tetap konstan.
Beberapa agen bakteriosidal juga merupakan agen bakteriolisis karena dapat membunuh dengan
melisiskan sel dan melepas konten sitoplasmik. Lisis mengurangi jumlah sel dan juga kekeruhan kultur.
Agen bakteriolitik termasuk antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel seperti penisilin, dan
bahan kimia seperti detergen yang memecah membran sitoplasma (Madigan, Martinko, Dunlap, Clark.,
2009).

Meskipun agen bakteriosidal membunuh target patogen, pada konsentrasi yang sedikit dapat
menjadi bakteriosidall. Efek dari sebuah agen juga bervariasi sesuai dengan target spesiesnya: sebuah
agen dapat menjadi bakteriosidal bagi sebuah spesies namun dapat menjadi bakteriostatik bagi spesies
lainnya. Karena agen bakteriostatik tidak secara langsung menghancurkan patogen, eleminasi dari
infeksi bergantung oleh mekanisme imun host itu sendiri. Agen bakteriostatik dapat tidak efektif
apabila host-nya mengalami imunosupresi. Beberapa gambaran dari efektivitas agen kemoterapi
melawan patogen dapat diperoleh dari minimal inhibitory concentration (MIC) atau kadar hambat
minimum (KHM). KHM adalah kadar terendah dari obat yang dapat menghambat pertumbuhan dari
patogen tertentu. Sementara itu minimal lethal concentration (MLC) atau kadar bunuh minimum
(KBM) adalah kadar obat minimum yang membunuh patogen. Obat yang memiliki agen bakteriosidall,
membunuh patogen dengan 2-4 kali kekuatan MIC, meskipun agen bakteriostatik membunuh pada
konsentrasi yang tinggi (Willey, dkk., 2014).

Kelemahan dari metode difusi adalah tidak dapat menentukan apakah obat termasuk bakteriosidal
atau bakteriostatik. Broth dilution test lebih berguna dalam menentukan kadar hambat minimum
(KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM) dari antimikroba. KHM ditentukan dengan membuat
penurunan konsentrasi obat dalam broth, yang kemudian diinokulasikan bakteri uji didalamnya. Bagian
yang tidak menunjukkan pertumbuhan (konsentrasinya lebih tinggi dari KBM) dapat dikultur dalam
broth atau agar yang bebas dari obat. Jika pertumbuhan terjadi di broth maka obat bukan bakteriosidal,
dan KBM dapat ditentukan (Tortora, Funke, Case, 2010).

Dilution susceptibility test dapat digunakan untuk menentukan nilai KHM dan KBM. Tes dilusi
antibiotik dapat dilakukan dengan agar atau broth. Pada broth dilution test, beberapa deret tabung broth
(biasanya broth Mueller-Hinton) berisi konsentrasi antibiotik dengan range 0,1-128 mikrogram/mililiter
(pengenceran dua kali lipat) diinokulasikan dengan organisme dengan kerapatan standar. Konsentrasi
antibiotik terendah yang menyebabkan tidak adanya pertumbuhan setelah 16 hingga 20 jam inkubasi
adalah KHM. KBM dapat dipastikan apabila pada tabung yang tidak terdapat pertumbuhan mikroba,
dikultur ke medium baru yang tidak ada antibiotiknya. konsentrasi terendah dimana mikroorganisme
tidak tumbuh disebut KBM ( Willey, dkk., 2014).
Banyak faktor yang mempengaruhi MIC seperti organisme yang dipilih, ukuran inokulum, dan
banyak material organik yang disediakan. Antiseptik kuat seperti etilen oksida atau formaldehid
(larutan 37% ) akan membunuh endospora dan semua bentuk kehidupan. Antimikrobial dengan
kekuatan intermediet seperti fenolik dapat membunuh virus dan kebanyakan sel vegetatif namun
kurang efektif melawan endospora (Perry, Staley, dan Lory, 2002).

Semakin lemah agen maka mempuyai racun yang lebih sedikit untuk manusia dan dapat digunakan
langsung ke kulit atau dapat dimasukkan dalam pembersih mulut. Cara kerja umum yang dimiliki
berbagai macam antiseptik adalah dengan menghancurkan protein (Perry, dkk., 2002).

Menentukan KHM dan KBM sangat penting untuk menghindari penggunaan antibiotik yang salah
dan terlalu banyak dan mengurangi resiko reaksi yang dapat menghasilkan racun yang lebih banyak
dari biasanya dalam sel host. (Tortora, dkk., 2010).

C. LANDASAN TEORI

Agen kemoterapi memiliki selective toxicity yang berarti dapat membunuh sel mikroba yang
ada di dalam tubuh dengan kerusakan sekecil mungkin bagi sel tubuh. Derajat selective toxicity dapat
dinyatakan dengan therapeutic dose yang merupakan tingkat obat yang diperlukan untuk penyakit
klinis tertentu dan toxic dose yang merupakan dosis obat yang mulai menimbulkan toksik dalam tubuh.
Grafik antara therapeutic dose dengan toxic dose disebut therapeutic index (indeks therapeutik).
Semakin tinggi indeks terapeutik maka agen kemoterapi juga semakin baik.

Penisilin dan turunannya memiliki cincin -laktam yang menghambat enzim yang digunakan
untuk mengkatalis sintesis peptidoglikan. Gangguan ada pembentukan dinding sel ini dapat
menyebabkan lemahnya dinding dan akhirnya akan terjadi lisis sel. Contoh dari turunan penisilin
adalah amoxycilin. Amoxycilin termasuk dalam broad-spectrum penicillin yang dapat melawan bakteri
gram negatif dan positif. Namun turunan penisilin ini dapat diinaktifasi oleh - laktamase yang
dihasilkan mikroorganisme.

Agen antimikroba dapat diklasifikasikan sebagai bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik.


Agen bakteriostatik adalah inhibitor dalam sintesis protein mikroba, dengan mengikat ribosom
sehingga tidak terjadi sintesis protein. Agen bakteriostatik sifatnya menghambat pertumbuhan bakteri.
Pada konsentrasi rendah agen bakteriostatik yang mengikat ribosom dapat dilepaskan sehingga sintesis
protein dapat bejalan kembali dan pertumbuhan mikroba berlanjut. Agen bakteriosidal merupakan agen
antimikroba yang melekat kuat pada target selnya. Agen bakteriosidal membunuh sel mikroba dan
tidak dapat dihilangkan dengan dilusi. Pada konsentrasi yang lebih kecil agen bakteriosidal dapat
menjadi agen bakteriostatik. Kemudian bakteriolitik merupakan agen antimikorba yang membunuh sel
mikroba degan melisiskan sel tersebut. Agen bakteriolitik pada umumnya dapat digolongkan sebagai
bakteriosidal.

KHM (kadar hambat minimum) adalah kadar terendah dari obat yang dapat menghambat
pertumbuhan dari patogen tertentu. Sedangkan KBM (kadar bunuh minimum) merupakan kadar obat
minimum yang membunuh patogen. Agen bakteriosidal membunuh patogen dengan kekuatan 2-4 kali
dari KHM.

Dalam tes aktivitas antimikroba, terdapat dua metode yang dapat digunakan yakni, metode
difusi dan dilusi. Metode difusi dilakukan dengan prinsip difusi yang mengandalkan penyerapan agen
antimikrobanya (dapat digunakan disk atau sumuran) dalam media, sedangkan metode dilusi dilakukan
dengan mencampurkan agen antimikroba dengan media yang kemudian diinokulasikan bakteri.
Perbedaan difusi dan dilusi adalah hasil yang dibaca. Pada metode difusi, hasil yang dilihat adalah zona
jernihnya, sedangkan pada metode dilusi adalah kekeruhan medianya. Kelemahan dari metode difusi
adalah tidak daat diketahuinya bakteriosidal atau bakteriostatiknya suatu obat. Di sisi lain metode diusi
dapat menentukan hal itu.

Pada broth dilution test (salah satu teknik metode dilusi), disiapkan beberapa deret tabung yang
berisi media broth yang berisi konsentrasi antibiotik yang beragam dengan range 0,1-128
mikrogram/mililiter dan kemudian diinokulasikan kultur ke dalam media. Setelah diinkubasi dapat
dilihat, apabila terjadi pertumbuhan dalam broth maka obat tersebut bukan bakteriosidal dan KBM
dapat ditentukan. Metode difusi tidak hanya dapat dilakukan dengan media broth saja, tetapi dapat pula
dengan media agar padat. Dalam KBM ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi seperti ukuran
inokulum, organisme yang dipilih , dan material organik yang disediakan.

D. SKEMA KERJA
Alat dan Bahan :
a. Kultur murni bakteri uji dalam media NB umur 24 jam
b. Alat gelas : petridish steril, tabung raksi, Erlenmeyer, pipet ukur, pipet tetes, gelas ukur.
c. Jarum ose, spidol, kertas label, vortex mixer, spreader.
d. Senyawa uji berupa antibiotik (misalnya Amoxycillin sirup kering). Variasi konsentrasi
ditetukan berdasarkan hasil percobaan VI. (variasi konsentrasi : 6,25; 3,125 dan 1,5625
mg/mL)
e. Media Nutrien Agar (NA)
f. Deret larutan standar Mac Farland
g. Nutrient Broth (NB) untuk pembuatan suspensi bakteri uji
h. Aquadest steril
i. Alkohol 70 %

Dibuat pengenceran konsentrasi larutan antibiotik dalam aquades steril

Media NA disiapkan kemudian dituang ke petri secara pour plate

Suspensi bakteri uji dibuat dengan kepadatan yang setara dengan larutan standar Mac
Farland II.

Pembuatan Kontrol Kontaminasi Media


20 mL media NA diambil, dituangkan ke dalam petri steril secara pour plate. Dibiarkan
memadat.

Diberi label pada dasar petri : kel.prakt/tgl/perlakuan.

Diinkubasi selama 24 jam kemudian dibandingkan dengan perlakuan.

Pembuatan Kontrol Pertumbuhan Bakteri Uji


19 mL media NA diambil dalam tabung. Dimasukkan 1 mL suspensi bakteri uji ke dalam
tabung tersebut.

Dituang dalam petri steril secara pour plate dan dibiarkan memadat.

Diberi label pada dasar petri : kel.prakt/tgl/perlakuan/bakteri uji.


Diinkubasi selama 24 jam kemudian dibandingkan dengan perlakuan.

Pembuatan Kontrol Negatif (Pengujian Antibakteri Pelarut)


18 mL media NA diambil dalam tabung. Dimasukkan 1 mL suspensi bakteri uji dan 1 mL
aquades steril pelarut senyawa antibiotik ke dalam tabung tersebut.

Dituang ke dalam petri steril secara pour plate dan dibiarkan memadat.

Diberi label pada dasar petri : kel.prakt/tgl/perlakuan/bakteri uji.

Diinkubasi selama 24 jam kemudian dibandingkan dengan perlakuan.

Pengujian Potensi Antibiotik Secara Dilusi Padat


diambil 3 tabung yang masing-masing berisi 14 mL (konsentrasi 6,25 mg/mL), 16,5 mL
(konsentrasi 3,125), dan 17,8 mL (konsentrasi 1,5625) NA suhu 45-50C, ditambahan 1 mL
suspensi bakteri uji pada masing-masing tabung tersebut.

Ditambahkan lagi larutan antibiotik dengan konsentrasi 6,25 mg/mL (diambil 5 mL); 3,125
mg/mL (diambil 2,5 mL) dan 1,5625 mg/mL (diambil 1,2 mL).

3 petri steril disiapkan. Preparat dituang ke dalam petri masing-masing secara pour plate dan
dibiarkan memadat.

Diberi label pada dasar petri : kel.prakt/tgl/perlakuan/bakteri uji.

Diinkubasi selama 24 jam kemudian dibandingkan kekeruhan dari masing-masing petri.

Dibandingkan juga antara kontrol dan perlakuan.

Pembacaan Hasil
Setelah diinkubasi, kekeruhan media yang menunjukkan kepadatan media diamati.
Diberi penilaian menggunakan notasi (+) untuk media yang tampak keruh dan (-) untuk media
yang tidak ada kekeruhan.

Hasil pengamatan dianalisis untuk mendapatkan konsentrasi atau Kadar Hambat Minimal
(KHM) senyawa antibiotik.

Penegasan Hasil
Setelah pengamata kekeruhan, diambil 1 ose dari masing-masing cawan perlakuan tersebut
menggunakan jarum ose.

Ditanam di atas permukaan cawan agar yang baru dengan metode goresan sederhana.
(Sebelumnya cawan dibagi menjadi 3 kuadran untuk media masing-masing konsentrasi)

Diinkubasi selama 24 jam.

Dari hasil goresan pada cawan agar tersebut, ditentukan harga KHM (Kadar Hambat Minimal)
dan KBM (Kadar Bunuh Minimal).

F. PEMBAHASAN

Tujuan praktikum ini adalah untuk menentukan Kadar Hambat Minimal (KHM) dari suatu
antibiotik secara dilusi padat. Kadar Hambat Minimal (KHM) suatu antibiotik adalah konsentrasi
antibiotik terendah yang masih dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Kadar Bunuh
Minimal (KBM) suatu antibiotik adalah konsentrasi antibiotik terendah yang dapat membunuh
pertumbuhan mikroba tertentu.
Uji potensi antimikroba dapat dilakukan dengan 2 macam metode yaitu metode difusi dan
dilusi. Prinsip kerja metode difusi adalah terdifusinya senyawa antimikroba ke dalam media padat,
dimana mikroba uji telah. Sedangkan prinsip metode dilusi menggunakan pengenceran antimikroba ke
dalam berbagai konsentrasi lalu ditambahkan pada media yang mengandung mikroba uji.
Perbedaan metode dilusi dan difusi adalah :
1. Pada metode dilusi senyawa antibiotik tercampur dengan media, sedangkan pada metode difusi
senyawa antibiotik hanya berdifusi ke media.
2. Pada metode dilusi senyawa antibiotik hanya terdapat dibeberapa bagian, sedangkan pada
metode difusi tersebar merata ke seluruh media.
3. Pada metode dilusi hasil yang dibaca adalah kekeruhannya, sedangkan pada metode difusi yang
dibaca adalah zona hambatnya.
4. Pada metode dilusi dapat digunakan untuk mencari KHM dan KBM, sedangkan pada metode
difusi tidak dapat digunakan untuk mencari KHM dan KBM.
Kelebihan dari metode difusi adalah metode pengerjaannya lebih mudah namun kelemahannya
tidak dapat menentukan apakah suatu obat (agen, chemoterapi) sebagai bakteriosida dan bukan hanya
bakteriostatik.
Adapun kelebihan metode dilusi jika dibandingkan dengan metode difusi adalah :
1. Dapat digunakan untuk mencari KHM dan KBM.
2. Dapat menggunakan media cair atau media padat.
3. Meminimalisis kontaminasi.
4. Kontak bakteri terhadap antibiotiknya lebih tinggi karena dihomogenkan sehingga lebih
memudahkan dalam pengamatan.
Sedangkan kelemahan metode dilusi dibandingkan dengan metode difusi adalah :
1. Tidak dapat digunakan untuk mengukur zona hambat.
2. Menggunakan lebih banyak bahan (bakteri) dan alat.
3. Pengamatannya bersifat subjektif.
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu metode dilusi. Metode dilusi dibagi menjadi
2 metode yaitu metode dilusi cair dan metode dilusi padat.
Metode dilusi cair
Metode dilusi cair dibagi menjadi 2 yaitu :
o Macro Broth Dilution Method : pada metode ini menggunakan volume dalam jumlah
yang besar dan ditempatkan pada tabung reaksi.
o Micro Broth Dilution Method : pada metode ini menggunakan volime dalam jumlah
yang kecil dan ditempatkan pada kuvet untuk diukur dengan spektrofotometer.
Metode dilusi padat
Metode dilusi padat yaitu menggunakan media padat (agar dilusi).
Perbedaan kedua metode ini yaitu pada metode dilusi cair menggunakan media cair (NB) dan
kekeruhannya dapat diukur dengan alat (spektrofotometer) dan ditempatkan pada tabung reaksi.
Sedangkan metode dilusi padat menggunakan media padat (NA), kekeruhannya dapat diukur dengan
mata telanjang dan ditempatkan pada cawan petri.

Dalam praktikum ini digunakan metode dilusi padat. Pada pembuatan dilusi padat, media NA
dengan suhu sekitar 40-45C dihomogenkan dengan suspensi bakteri uji yang telah disetarakan dengan
larutan Mac Farland II (konsentrasi 6x108 CFU/mL) dan dengan antibiotik dalam berbagai konsentrasi
(6,25; 3,125 dan 1,5625 mg/mL). Tujuan disetarakan dengan Mac Farland II adalah supaya bisa
diamati secara visual dan untuk mengontrol banyaknya jumlah bakteri yang terdapat dalam kultur
murni sehingga dapat menyamakan populasinya. Digunakan Mac Farland II karena dianggap paling
ideal untuk diamati pertumbuhan bakteri. Larutan Mac Farland berisi barium klorida (BaCl2) dan
H2SO4.
Antibiotik yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Amoxycillin. Amoxicillin merupakan
turunan dari penicillin yang mempunyai ciri-ciri yaitu terdapat cincin -lactam. Amoxycilin adalah
penicillin semisintetik dengan aktivitas antibakteri yang bersifat bakteriosida. Struktur amoxicillin
adalah sebagai berikut :
NH2
CH NH S CH3
C
O CH3
N
O
COOH
Mekanisme amoxycilin adalah dengan menghambat sintesis dinding sel dengan cara mencegah
ikatan silang peptidoglikan pada tahap akhir sintesis dinding sel, yaitu dengan cara menghambat
protein pengikat amoxycilin. . Hal ini akan melemahkan dinding sel bakteri ketika membelah dan
menyebabkan pecahnya (sitolisis) sel ketika bakteri mencoba untuk membelah diri. Pada bakteri gram
positif, bakteri kehilangan dinding selnya menjadi protoplas, sedangkan pada bakteri gram negatif
menjadi sferoplas. Protoplas dan sferoplas akan pecah (lisis). Sitolisis juga dapat terjadi karena
ketidakseimbangan tekanan osmosis serta pengaktifan hidrolase dan autolysis yang mencerna dinding
peptidoglikan yang sudah terbentuk sebelumnya. Penicillin dapat membunuh bakteri gram positif dan
gram negatif, sama halnya dengan amoxycilin. Karena amoxycilin merupakan semisintetik penicillin
yang diperoleh dengan modifikasi penicillin sp dengan enzim penicillin asilase yang akan memotong
rantai samping benzil penicillin yang menghasilkan G-APA (asam 6 amino peniciliat yang akan
dimodifikasi menjadi amoxycilin).

Bakteri yang digunakan dalam praktikum ini adalah Escherichia coli. Sifat dari bakteri ini
adalah fakultatif anaerob dan juga merupakan bakteri gram negatif yang hidup didalam saluran
pencernaan tubuh manusia.

Dalam praktikum ini hanya digunakan 3 variasi konsentrasi yaitu 6,25; 3,125 dan 1,5625
mg/mL. Hal ini disebabkan karena pada praktikum sebelumnya konsentrasi paling rendah yang
digunakan adalah 3,125 mg/mL konsentrasi ini juga digunakan sebagai pembatas,. Jadi dipraktikum
kali ini ingin membuktikan bahwa dikonsentrasi terendah itu berpotensi menghambat atau membunuh
pertumbuhan mikroba atau tidak. Sedangkan konsentrasi 6,25 mg/mL (sebagai konsentrasi atas) dan
konsentrasi 1,5625 mg/mL (sebagai konsentrasi bawah) digunakan untuk melihat bagaimana
perbandingan pertumbuhan bakteri pada konsentrasi atas dan konsentrasi bawah itu.

a. Pembuatan Kontrol Kontaminasi Media


Tujuan pembuatan kontrol kontaminasi media adalah untuk melihat apakah langkah kerja
praktikan sudah aseptis atau belum serta untuk melihat apakah media yang dibuat sudah steril atau
tidak. Jika ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada media tanpa menginokulasikan bakteri,
maka hasil pengujian tidak aseptis karena tumbuh bakteri lain selain bakteri uji. Setelah media
diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar, didapati hasil bahwa media ini terdapat kontaminan.
Hal ini dapat disebabkan karena pengerjaan praktikan kurang aseptis. Penutup petri dibuka terlalu
lebar sehingga terdapat kontaminan pada media.
b. Pembuatan Kontrol Pertumbuhan Bakteri Uji
Tujuannya adalah untuk mengetahui pertumbuhan bakteri tanpa ada pengaruh antibiotik
dan juga dapat digunakan untuk membandingkan pertumbuhan bakteri yang tanpa antibiotik dan
dengan antibiotik setelah diinkubasi selama 24 jam. Hasil yang didapatkan yaitu adanya
pertumbuhan bakteri pada media.
c. Pembuatan Kontrol Negatif (pengujian potensi antibakteri pelarut)
Tujuan pembuatan kontrol negatif adalah untuk mengetahui apakah pelarut yang digunakan
memiliki kemampuan untuk menghambat atau membunuh bakteri atau tidak. Pelarut yang
digunakan dalam praktikum ini adalah aquades steril. Berdasarkan hasil praktikum, tidak terdapat
adanya zona jernih yang berarti bahwa pelarut (aquades steril) tidak memiliki kemampuan untuk
menghamat pertumbuhan bakteri.

d. Pengujian Potensi Antibiotik Secara Dilusi Padat


Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat kekeruhan yang diberikan bakteri
dan bagaimana pengaruh antibiotik amoxycilin dalam menghambat pertumbuhan bakteri dan
meminimalisasi kekeruhannya.
Pada pengujian potensi antibiotik ini pembuatan medianya dilakukan dengan memberi
suspensi bakteri (1 mL) dan senyawa uji berupa amoxycilin ke dalam 3 media NA dengan 3 variasi
konsentrasi yang dibuat sebelumnya secara pour plate. Penambahan larutan senyawa uji dari stock
amoxycilin 25 mg/mL pada masing-masing konsentrasi dibuat perhitungan dengan rumus
pengenceran : C1 x V1 = C2 x V2. Sehingga stock amoxycilin yang ditambahkan pada konsentrasi
6,25 mg/mL adalah 5 mL, pada konsentrasi 3,125 mg/mL adalah 2,5 mL, sedangkan pada
konsentrasi 1,5 mg/mL adalah 1,2 mL. Volume suspensi bakteri uji dibuat sama sedangkan volume
NA dibuat tergantung sebagai akumulasi untuk keseluruhan volume total campuran.
Zona jernih dibagi menjadi 2 macam, yaitu zona radikal dan zona irradial. Zona radikal
yaitu zona dimana tidak ada pertumbuhan mikroba sama sekali. Sedangkan zona irradial yaitu zona
dimana masih terdapat pertumbuhan bakteri tetapi lebih sedikit bila dibandingkan dengan kontrol
pertumbuhan dan kontrol negatif. Pada praktikum ini, perlakuan yang dilakukan praktikan
termasuk zona irradial. Secara teoritis, semakin besar konsentrasi senyawa antibakteri, maka
semakin besar daya hambatnya (KHM), bahkan mungkin dapat membunuh (KBM) mikroba uji.
Dari hasil percobaan, urutan tingkat kekeruhan dari yang paling jernih sampai yang paling keruh
adalah konsentrasi 6,25 mg/mL > konsentrasi 1,5 mg/mL > konsentrasi 3,125 mg/mL > kontrol
pertumbuhan. Pada media dengan konsentrasi 6,25 mg/mL (+++) tingkat kekeruhannya lebih
keruh dibanding dengan konsentrasi 3,125 mg/mL dan konsentrasi 1,5 mg/mL, seharusnya media
dengan konsentrasi 6,25 mg/mL lebih jernih dibanding media dengan konsentrasi lain. Hal ini
mungkin terjadi karena jumlah dan konsentrasi antibiotik terlalu pekat. Pada media dengan
konsentrasi 3,125 mg/mL (+), tingkat kekeruhan yang dihasilkan paling sedikit bahkan hampir
jernih. Ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi ini antibiotik menghambat pertumbuhan bakteri.
Pada media konsentrasi 1,5 mg/mL (++), tingkat kekeruhan yang dihasilkan berada diantara
konsentrasi 6,25 mg/mL dan 3,125 mg/mL. Seharusnya konsentrasi 1,5 mg/mL ini yang paling
keruh. Karena konsentrasi paling kecil memiliki potensi yang kecil pula pada penghambatan
pertumbuhan mikroba.
Setelah pembacaan hasil, maka tahap selanjutnya adalah penegasan hasil. Tujuan dari
penegasan hasil ini adalah untuk menegaskan apakah konsentrasi tertentu yang digunakan
memiliki Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bunuh Minimal (KBM). Penegasan hasil
yang dilakukan pada percobaan ini yaitu pada ketiga konsentrasi yang kekeruhannya lebih jernih
dari kontrol pertumbuhan. Pengujian ini dilakukan dengan menambahkan 1 ose dari media dengan
3 variasi konsentrasi tersebut dan diinokulasikan pada media baru secara streak. Tujuan perlakuan
ini adalah untuk melihat apakah bakteri masih dapat tumbuh atau tidak pada konsentrasi tersebut.
Setelah diinkubasi lagi selama 24 jam, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat pertumbuhan bakteri
pada goresan ose. Ini berarti tidak ada kadar hambat minimal (KHM), tetapi hanya terdapat kadar
bunuh minimal (KBM). Amoxycilin memiliki KBM pada konsentrasi 1,5 mg/mL karena tidak
ditemukan pertumbuhan bakteri.
Menurut NCCLS (Nasional Comittee for Clinical Laboratory Standars) sifat bakteri
terhadap senyawa antibiotik dibagi menjadi 3 kategori sebagai berikut :
1. Resisten : bakteri tidak dapat dimatikan atau dihambat oleh senyawa antibakteri sehingga
antibiotik lebih bekerja sedikit.
(diameter 10 mm)
2. Intermediate : bakteri yang hanya dihambat pertumbuhannya oleh senyawa antibakteri.
(diameter 11-19 mm)
3. Sensitif : bakteri dapat dimatikan oleh senyawa antibakteri. (diameter 20 mm)

Daftar Pustaka

Madigan, M.T., Matinko, J.M., Dunlap, P.V. and Clark, D.P., 2009, Biology Of Microorganism, 12th
ed., Pearson Benjamin Cummings, San Fransisco, pp. 786-787.

Nester, E.W., Anderson D.G., Roberts Jr, C.E., and Nester, M.T., 2007, Microbiology A Human
Prespective, 5th ed., McGraw Hill, Boston, pp. 501-502.

Perry, J.J., Staley, J.T., Lory, S., 2002, Microbial Life, Sinauer Associates, Massachusetts, p.154.
Tortora, G.J., Funke, B.R., Case, C.L., 2010, Microbiology An Introduction, 10th ed., Pearson
Benjamin Cummings, San Fransisco, pp. 572-573.

Willey, J.M. Sherwood, L.M., Woolverton, C.J., 2014, Prescotts Microbiology, McGraw-Hill
Education, New York, pp.190-192.

Anda mungkin juga menyukai