Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peristiwa yang terkait dengan cara minum obat adalah absorpsi yakni
penyerapan obat dari tempat pemberiannya menembus membran biologis,
masuk ke sirkulasi darah sistemik. Proses ini merupakan pintu pertama yang
harus dilewati obat agar obat memberikan efeknya ke tubuh. Cara
pemberian obat yang berbeda akan mempengaruhi cepat lambatnya obat
terabsorpsi, dengan kata lain juga akan mempengaruhi cepat lambatnya obat
berefek. Begitu pun makanan dan minuman, sangat mempengaruhi proses
absorpsi obat. Tergantung di mana obat diabsorpsi/tempat absorpsi obat,
maka dengan menganalisis makanan/minuman yang masuk bersama obat,
maka kita akan mudah memprediksi pengaruh keduanya kepada cepat
lambatnya atau malah tidak terabsorpsinya obat.

Hubungan dan interaksi antara makanan, gizi yang terkandung dalam


makanan dan obat saling mendukung dalam pelayanan kesehatan dan dunia
medis. Makanan dan nutrien spesifik dalam makanan, jika dicerna bersama
dengan beberapa obat, pasti dapat mempengaruhi seluruh ketersediaan
hayati, farmakokinetik, farmakodinamik dan efek terapi dalam pengobatan.

Kehadiran makanan dalam saluran usus, sebagai situs penyerapan


utama, sangat mempengaruhi penyerapan obat. Makanan dapat
meningkatkan atau menurunkan keasaman, sekresi pencernaan, dan
motilitas usus. Efek tersebut secara langsung menentukan apakah obat akan
mudah hancur, seberapa lama tinggal di usus, apakah obat akan menjadi
kristal, apakah obat tidak akan diserap sama sekali, dan perubahan teknis
lainnya (Stanfield dan Hui, 2010).
Pemberian obat-obatan dengan makanan adalah praktek umum untuk
mengurangi efek samping gastrointestinal, tetapi praktik ini juga dapat
mengakibatkan berkurangnya, tertundanya, atau berubahnya kerja obat.
Menggunakan makanan sebagai alat untuk untuk menyamarkan rasa pahit

1
(biasa dilakukan oleh anak) juga dapat mempengaruhi aksi obat jika
makanan mengubah pH atau chelate obat. Obat-obatan oral dipengaruhi oleh
makanan di saluran pencernaan, pH lambung dan usus kecil, dan motilitas
(kontraksi atau gerakan) saluran pencernaan (Stanfield dan Hui, 2010).

1.2 Tujuan
1 Tujuan Umum :
Mengetahui pengaruh zat gizi pada metabolisme obat

2 Tujuan Khusus
Mengetahui zat gizi apa saja yang mempengaruhi metabolism obat

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Ilmu Gizi

Dilihat dari segi sifatnya, ilmu gizi dibedakan menjadi 2, yakni gizi
yang berkaitan dengan kesehatan perorangan yang disebut gizi kesehatan
perorangan dan gizi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang
disebut gizi kesehatan masyarakat (public health nutrition). Kedua sifat
keilmuan ini akhirnya masing-masing berkembang menjadi cabang ilmu
sendiri, yakni cabang ilmu gizi kesehatan perorangan atau disebut gizi klinik
(clinical nutrition) dan cabang ilmu gizi kesehatan masyarakat atau gizi
masyarakat (community nutrition).

Kedua cabang ilmu gizi ini dibedakan berdasarkan hakekat


masalahnya. Gizi klinik berkaitan dengan masalah gizi pada individu yang
sedang menderita gangguan kesehatan akibat kekurangan atau kelebihan gizi.
Oleh sebab itu, sifat dari gizi klinik adalah lebih menitikberatkan pada kuratif
daripada preventif dan promotifnya. Sedangkan gizi masyarakat berkaitan
dengan gangguan gizi pada kelompok masyarakat. Oleh sebab itu sifat dari
gizi masyarakat lebih ditekankan pada pencegahan (prevensi) dan
peningkatan (promosi).

Beberapa Pengertian / Istilah Dalam Gizi :

1. Ilmu Gizi (Nutrience Science) adalah ilmu yang mempelajari segala


sesuatu tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal/
tubuh.
2. Zat Gizi (Nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk
melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan
memelihara jaringan serta mengatur proses-proses kehidupan.
3. Gizi (Nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan makanan
yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang

3
tidak digunakan, untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan
fungsi normal dri organ-organ, serta menghasilkan energi.
4. Pangan adalah istilah umum untuk semua bahan yang dapat dijadikan
makanan.
5. Makanan adalah bahan selain obat yang mengandung zat-zat gizi dan atau
unsur-unsur/ ikatan kimia yang dapat diubah menjadi zat gizi oleh tubuh,
yang berguna bila dimasukkan ke dalam tubuh.
6. Bahan makanan adalah makanan dalam keadaan mentah.
7. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi.

Kata gizi berasal dari bahasa Arab ghidza, yg berarti makanan. Ilmu
gizi bisa berkaitan dengan makanan dan tubuh manusia. Dalam bahasa
Inggris, food menyatakan makanan, pangan dan bahan makanan.

2.2 Interaksi Obat

Interaksi obat adalah kejadian di mana suatu zat mempengaruhi


aktivitas obat. Efek-efeknya bisa meningkatkan atau mengurangi aktivitas,
atau menghasilkan efek baru yang tidak dimiliki sebelumnya.

Interaksi obat bisa ditimbulkan oleh berbagai proses, antara lain


perubahan dalam farmakokinetika obat tersebut, seperti absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan eksresi (ADME) obat. Kemungkinan lain, interaksi obat
merupakan hasil dari sifat- sifat farmakodinamik obat tersebut, missal,
pemberian bersamaan antara antagonis reseptor dan agonis untuk resptor yang
sama.

Ketika dikonsumsi, obat dapat mempengaruhi status gizi seseorang


dengan mempengaruhi makanan yang masuk (drug-food interaction). Hal
sebaliknya juga dapat terjadi, makanan yang masuk juga dapat mempengaruhi
kerja beberapa obat-obatan (food-drug interaction).

4
2.3 Pengaruh Makanan Dan Komponen Makanan Terhadap Absorpsi Obat
Dan Bioavaibilitas Obat

Setidaknya ada empat cara di mana makanan dan komponen mereka


dapat mempengaruhi penyerapan dan bioavailabilitas obat:

Ikatan fisika-kima : Komponen makanan dan obat dapat mengikat


fisikokima satu sama lain, sehingga obat atau komponen tidak dapat
diserap. Sebagai contoh, antibiotik tetrasiklin mengikat dengan kalsium,
magnesium , besi, dan seng ; setelah terikat, antibiotik menjadi tidak aktif
sebabnya obat ini tidak boleh bersamaan dengan produk susu, yang
mengandung jumlah tinggi mineral ini.
Stabilitas: Makanan dapat mengubah stabilitas persiapan obat dalam perut,
sehingga rusak sebelum dapat diserap.
Pengosongan Lambung: Obat atau makanan dapat mengubah tingkat
pengosongan lambung, dan karena itu tingkat di mana obat tiba di usus
kecil. Pengosongan lambung biasanya terdapat tiga tahap proses. Ketika
Anda mulai makan, sejumlah kecil makanan yang tercampur dengan cairan
lambung memasuki usus kecil. Kehadiran campuran ini membuat usus
kecil mengirimkan sinyal untuk memperlambat pengosongan lambung.
Pengosongan lambung yang diperlambat memungkinkan untuk benar-
benar mencampur makanan dengan cairan lambung, dan untuk memecah
makanan menjadi partikel kecil. Makanan berlemak sangat efektif dalam
memperlambat pengosongan perut, sementara eritromisin, antibiotik,
meningkatkan kecepatan pengosongan lambung.

Sebuah obat yang diminum pada waktu perut kosong kemungkinan


besar akan dibuang dengan cepat ke dalam usus kecil. obat yang
bersamaan dengan makanan akan tiba di usus kecil lebih lambat, .obat
yang diminum pada saat perut kosong akan masuk lebih cepat melalui usus
kecil, dengan hasil bahwa waktu untuk penyerapan yang lebih pendek dan
kurang dari obat dapat diserap. Akhirnya, pada tahap ketiga pengosongan
lambung, kira-kira setiap 24 jam, perut normal memiliki serangkaian besar

5
kontraksi yang mendorong partikel yang lebih besar dan bahan apapun
yang tersisa di perut ke dalam usus kecil. Jika ada partikel obat besar
tertinggal di perut, pengosongan ini dapat menyebabkan tiba-tiba
pembuangan dari sejumlah besar obat ke dalam usus kecil, dengan puncak
yang tajam sesuai pada konsentrasi obat dalam darah.

Persaingan untuk penyerapan: Banyak obat menggunakan sistem-yang


mengangkut alami usus yang biasanya mengangkut komponen-makanan
melintasi dinding usus. Oleh karena itu mereka bersaing dengan
komponen makanan untuk transportasi. Sebagai contoh, L-dopa dan
metildopa (obat yang digunakan untuk mengendalikan penyakit
Parkinson) menggunakan mekanisme transporter sama dengan asam
amino aromatik dari protein, sehingga penyerapan obat ini menurun jika
Anda makan makanan tinggi protein pada saat yang sama Anda
meminum obat.

Secara umum, kita dapat membagi obat menjadi yang paling baik
diserap pada waktu perut kosong (misalnya, sebagian besar tapi tidak
semua antibiotik, preparat digitalis, captopril, dan sukralfat) ; yang diserap
paling baik dengan makanan (misalnya, beberapa obat hipertensi seperti
chlorothiazide dan spironolactone, dan obat-obatan untuk kelainan lipid
darah seperti lovastatin dan gemfibrozil), dan obat-obat yang penyerapan
bervariasi menurut jenis sediaan atau formulasi. Misalnya, obat-obatan
yang dilapisi enterik (sehingga mereka tidak hancur oleh asam lambung)
dapat lebih mudah diserap jika mereka diminum dengan makanan, karena
tinggal lama di perut dan dapat melemahkan lapisan sehingga lebih mudah
hancur dalam usus kecil.

Biotransformasi dapat dibagi menjadi dua tahap: Tahap I, di mana


senyawa diubah oleh enzim (protein yang mengubah struktur molekul lain
seperti obat-obatan untuk membuat mereka tidak aktif atau lebih aktif),
dan Tahap II, di mana senyawa dipersiapkan untuk ekskresi dalam urin
dengan melampirkan molekul yang membuat mereka larut dalam air. Usus

6
kecil memiliki beberapa kapasitas untuk biotransformasi obat, tetapi organ
utama biotransformasi adalah hati. Karena darah dari usus kecil harus
melewati hati sebelum melanjutkan ke seluruh tubuh, beberapa obat yang
mudah diserap mungkin tidak bioavailable, karena mereka tidak aktif oleh
hati sebelum mereka bisa mendapatkan ke lokasi aksi.

Faktor-faktor diet yang mengaktifkan enzim hati yang baru mulai harus
dijelaskan. Ini termasuk kedua faktor nutrisi (protein, karbohidrat , dan
lemak) dan faktor non-nutrisi, senyawa dalam daging charbroiled, dalam
sayuran seperti kubis, lobak, dan brokoli , dan buah jeruk , terutama jeruk.
Perhatikan bahwa perubahan besar dalam makronutrien komposisi diet,
misalnya, adopsi diet rendah protein, juga dapat mempengaruhi Tahap II
biotransformasi, dan karena ekskresi obat.

Beberapa yang ada dalam komponen makanan dapat mempengaruhi kerja


obat . Contoh umum adalah diuretik digunakan untuk hipertensi, digoxin
yang digunakan untuk penyakit jantung , coumarin antikoagulan yang
digunakan untuk pengenceran darah, dan monoamine oxidase (MAO)
inhibitor yang digunakan untuk depresi. Demikian pula, ada sejumlah obat,
seperti obat yang dirancang untuk mengurangi keasaman lambung, yang
mempengaruhi vitamin dan status mineral, persyaratan, dan aktivitas.

7
BAB III
PEMBAHASAN

Dasar yang menentukan apakah obat diminum sebelum, selama atau


setelah makan tentunya adalah karena absorpsi, ketersediaan hayati serta efek
terapeutik obat bersangkutan, yang amat tergantung dari waktu penggunaan obat
tersebut serta adanya kemungkinan interaksi obat dengan makanan itu sendiri.
Kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan dapat terjadinya interaksi obat
dengan makanan adalah :
1. Perubahan motilitas lambung dan usus, terutama kecepatan pengosongan
lambung dari saat masuknya makanan
2. Perubahan pH, sekresi asam serta produksi empedu
3. Perubahan suplai darah di daerah splanchnicus dan di mukosa saluran cerna
4. Dipengaruhinya absorpsi obat oleh proses adsorpsi dan pembentukan
kompleks
5. Dipengaruhinya proses transport aktif obat oleh makanan
6. Perubahan biotransformasi dan eliminasi.

Dari semua pengaruh ini, ada beberapa faktor yang mempengaruhi interaksi obat
dan makanan antara lain :
1. Pengosongan lambung
Pada kasus tertentu misalnya setelah pemberian laksansia atau penggunaan
preparat retard, maka di usus besarpun dapat terjadi absorpsi obat yang cukup
besar. Karena besarnya peranan usus halus dalam hal ini, tentu saja cepatnya
makanan masuk ke dalam usus akan amat mempengaruhi kecepatan dan
jumlah obat yang diabsorpsi. Peranan jenis makanan juga berpengaruh besar
di sini. Jika makanan yang dimakan mengandung komposisi 40% karbohidrat,
40% lemak dan 20% protein maka walaupun pengosongan lambung akan
mulai terjadi setelah sekitar 10 menit. Proses pengosongan ini baru berakhir
setelah 3 sampai 4 jam. Dengan ini selama 1 sampai 1,5 jam volume lambung
tetap konstan karena adanya proses-proses sekresi.
Tidak saja komposisi makanan, suhu makanan yang dimakanpun berpengaruh
pada kecepatan pengosongan lambung ini.

8
Obat-obat seperti antikolinergika (missal atropin, propantelin), antidepresiva
trisiklik (misal amitriptilin, imipramin) dan opioida (misal petidin, morfin)
akan memperlambat pengosongan lambung. Sedangkan percepatan
pengosongan lambung diamati setelah minum cairan dalam jumlah besar, jika
tidur pada sisi kanan (berbaning pada sisi kiri akan mempunyai efek
sebaliknya,) atau pada penggunaan obat seperti metokiopramida atau
khinidin.

3.1 Absorbsi
Makanan yang mempengaruhi tingkat ionisasi dan solubilitas atau
reaksi pembentukan khelat, dapat mengubah absorbsi obat secara signifikan.
Misalnya pada reaksi pembentukan khelat pada :

1. Kombinasi tetracyclin dengan mineral divalen seperti Ca dalam susu atau


antasida. Kalsium akan mempengaruhi absorbsi dari quinolon.
2. Reaksi antara besi (ferro atau ferri) dengan tetracyclin, antibiotik
fluoroquinolon, ciprofloxacin, ofloxacin, lomeflox dan enoxacin. Maka
dari itu, ketersediaan hayati ciprofloxacin dan ofloxacin turun masing-
masing 52 dan 64 % akibat adanya besi.
3. Zink dan fluoroquinolon akan menghasilkan senyawa inaktif sehingga
menurunkan absorbsi obat (b).

3.2 Distribusi

Distribusi adalah penyebaran obat ke berbagai jaringan tubuh.Contohnya


Distribusi obat Digoksin yang dapat menurunkan resiko jantung bisa
terganggu karena aliran darah yang seharusnya sebagai alat angkut
penyaluran ke titik yang diperlukan dengan adanya mengkonsumsi makanan
yang berkolestrol tinggi secara berlebihan dapat mengakibatkan pengentalan
darah sehingga dapat menghambat kerja darah yang mengakibatkan
memperberat kerja jantung. Status gizi mempengaruhi distribusi obat dalam
tubuh. Hal ini berlaku pada orang dengan kekurangan gizi sehingga
menghambat pengangkutan obat.

9
Contoh interaksi makanan yang dapat menurunkan absorbsi obat ialah
makanan dengan rendah serat dapat menurunkan absorbsi digoxin. Sehingga
obat ini hendaknya dikonsumsi saat makan dengan makanan yang rendah
serat.

3.3 Metabolisme
Berikut beberapa komponen gizi yang mempengaruhi metabolime obat :

3.3.1 Protein (Daging dan Produk Susu)


Sebagai contoh, dalam penggunaan Levadopa untuk
mngendalikan tremor pada penderita Parkinson. Akibatnya, kondisi
yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik. Hindari atau
makanlah sesedikit mungkin makanan berprotein tinggi (Harknoss,
1989).
3.3.2 Lemak
Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat
adalah bahwa apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah atau
komposisi asam lemak dari fosfatidilkolin mikrosom hati dapat
mempengaruhi kapasitas hati untuk memetabolisasi obat. Kenaikan
fosfatidilkolin atau kandungan asam lemak tidak jenuh dari
fosfatidilkolin cenderung meningkatkan metabolism obat (Gibson,
1991). Contohnya : Efek Griseofulvin dapat meningkat. Interaksi yang
terjadi adalah interaksi yang menguntungkan dan grieseofluvin
sebaiknya dimakan pada saat makan makanan berlemak seperti daging
sapi, mentega, kue, selada ayam, dan kentang goreng (Harkness,
1989).
3.3.3 Karbohidrat
Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada
metabolisme obat, walaupun banyak makan glukosa, terutama sekali
dapat menghambat metabolism barbiturate, dan dengan demikian
memperpanjang waktu tidur. Kelebihan glukosa ternyata juga
mengakibatkan berkurangnya kandungan sitokrom P-450 hati dan

10
memperendah aktivitas bifenil-4-hidroksilase (Gibson, 1991). Sumber
karbohidrat: roti, biscuit, kurma, jelli, dan lain-lain (Harkness, 1989).

3.3.4 Vitamin
Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan
dibutuhkan untuk sintesis protein dan lemak, keduanya merupakan
komponen vital dari system enzim yang memetabolisasi obat. Oleh
karena itu tidak mengherankan bahwa perubahan dalam level vitamin,
terutama defisiensi, menyebabkan perubahan dalam kapasitas
memetabolisasi obat. Contohnya:
a. Vit A dan vit B dengan antacid, menyebabkan penyerapan vitamin
berkurang.
b. Vit C dengan besi, akibatnya penyerapan besi meningkat.
c. Vit D dengan fenitoin (dilantin), akibatnya efek vit D berkurang.
d. Vit E dengan besi, akibatnya aktivitas vit E menurun.(Harkness,
1989)

3.3.5 Mineral
Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam
makanan untuk menjaga kesehatan yang baik. Unsur unsure yang
telah terbukti mempengaruhi metabolisme obat ialah: besi, kalium,
kalsium, magnesium, zink, tembaga, selenium, dan iodium. Makanan
yang tidak mengandung magnesium juga secara nyata mengurangi
kandungan lisofosfatidilkolin, suatu efek yang juga berhubungan
dengan berkurangnya kapasitas memetabolisme hati. Besi yang
berlebih dalam makanan dapat juga menghambat metabolisme obat.
Kelebihan tembaga mempunyai efek yang sama seperti defisiensi
tembaga, yakni berkurangnya kemampuan untuk memetabolisme obat
dalam beberapa hal. Jadi ada level optimum dalam tembaga yang ada
pada makanan untuk memelihara metabolism obat dalam tubuh
(Gibson, 1991).

11
Diet mineral seperti zat besi, magnesium, kalsium, dan garam
aluminium menunjukkan bagaimana bahan kimia makanan atau zat
gizi dapat mempengaruhi penyerapan obat. Contohnya, mineral kimia
dapat bergabung dengan tetrasiklin (antibiotik yang umum digunakan)
untuk membentuk partikel padat kecil (endapan tidak larut). Konsumsi
simultan mineral ini dan tetrasiklin menyebabkan efek obat
kehilangan nilai terapeutik (penyembuhan), sehingga membutuhkan
dosis besar untuk mengimbangi kerugian (Stanfield dan Hui, 2010).

Sebuah contoh diskusi tentang makanan yang berikatan dengan


obat adalah interaksi tetrasiklin dengan produk-produk dari susu.
Akibatnya adalah penurunan konsentrasi tetrasiklin dalam plasma.
Oleh karena adanya efek pengikatan ini, maka tetrasiklin harus
dimakan satu jam sebelum atau 2 jam sesudah makan dan tidak boleh
dimakan dengan susu (Hayes et al., 1996).

3.4 Ekskresi
Kecepatan pengosongan lambung secara signifikan mempengaruhi
komposisi makanan yang dicerna. Kecepatan pengosongan lambung ini dapat
mengubah ketersediaan hayati obat. Makanan yang mengandung serat dan
lemak tinggi diketahui secara normal menunda waktu pengosongan lambung.
Beberapa obat seperti nitrofurantoin dan hidralazin lebih baik diserap saat
pengosongan lambung tertunda karena tekanan pH rendah di lambung. Obat
lain seperti L-dopa, Penicillin G dan digoxin, mengalami degradasi dan
menjadi inaktif saat tertekan oleh pH rendah di lambung dalam waktu lama.
Obat dieliminasi dari tubuh tanpa diubah atau sebagai metabolit primer oleh
ginjal, paru-paru, atau saluran gastrointestinal melalui empedu. Ekskresi obat
juga dapat dipengaruhi oleh diet nutrien seperti protein dan serat, atau nutrien
yang mempengaruhi pH urin.

Biotransformasi dapat dibagi menjadi dua tahap: Tahap I, di mana


senyawa diubah oleh enzim (protein yang mengubah struktur molekul lain

12
seperti obat-obatan untuk membuat mereka tidak aktif atau lebih aktif), dan
Tahap II, di mana senyawa dipersiapkan untuk ekskresi dalam urin dengan
melampirkan molekul yang membuat mereka larut dalam air. Usus kecil
memiliki beberapa kapasitas untuk biotransformasi obat, tetapi organ utama
biotransformasi adalah hati. Karena darah dari usus kecil harus melewati hati
sebelum melanjutkan ke seluruh tubuh, beberapa obat yang mudah diserap
mungkin tidak bioavailable, karena mereka tidak aktif oleh hati sebelum
mereka bisa mendapatkan ke lokasi aksi.

Faktor-faktor diet yang mengaktifkan enzim hati yang baru mulai harus
dijelaskan. Ini termasuk kedua faktor nutrisi (protein, karbohidrat , dan
lemak) dan faktor non-nutrisi, senyawa dalam daging charbroiled, dalam
sayuran seperti kubis, lobak, dan brokoli , dan buah jeruk , terutama jeruk.
Perhatikan bahwa perubahan besar dalam makronutrien komposisi diet,
misalnya, adopsi diet rendah protein, juga dapat mempengaruhi Tahap II
biotransformasi, dan karena ekskresi obat.

Beberapa yang ada dalam komponen makanan dapat mempengaruhi


kerja obat . Contoh umum adalah diuretik digunakan untuk hipertensi,
digoxin yang digunakan untuk penyakit jantung , coumarin antikoagulan yang
digunakan untuk pengenceran darah, dan monoamine oxidase (MAO)
inhibitor yang digunakan untuk depresi. Demikian pula, ada sejumlah obat,
seperti obat yang dirancang untuk mengurangi keasaman lambung, yang
mempengaruhi vitamin dan status mineral, persyaratan, dan aktivitas.

Adapun obat dapat tertahan didalam tubuh diakibatkan oleh zat gizi
tertentu yanbg defisi atau berlebih di dalam tubuh. Contohnya pada zat litium,
dimana kelebihan Na dapat menghambat pengeluaran litium.

13
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
interaksi obat. Protein (Daging dan Produk Susu) sebagai contoh, dalam
penggunaan Levadopa untuk mngendalikan tremor pada penderita Parkinson.
Akibatnya, kondisi yang diobati mungkin tidak terkendali dengan baik.

Keseluruhan dari pengaruh makan lemak pada metabolisme obat adalah


bahwa apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah atau komposisi asam lemak
dari fosfatidilkolin mikrosom hati dapat mempengaruhi kapasitas hati untuk
memetabolisasi obat.

Karbohidrat tampaknya mempunyai efek sedikit pada metabolisme obat,


walaupun banyak makan glukosa, terutama sekali dapat menghambat
metabolism barbiturate, dan dengan demikian memperpanjang waktu tidur.

Vitamin merupakan bagian penting dari makanan dan dibutuhkan untuk


sintesis protein dan lemak, keduanya merupakan komponen vital dari system
enzim yang memetabolisasi obat.

Mineral merupakan unsur logam dan bukan logam dalam makanan


untuk menjaga kesehatan yang baik. Unsur unsure yang telah terbukti
mempengaruhi metabolisme obat ialah: besi, kalium, kalsium, magnesium,
zink, tembaga, selenium, dan iodium.

4.2 Saran
Hendaknya mahasiswa dapat mengetahui interaksi obat dan makanan,
sehingga pengetahuan ini dapat memahami pengaruh gizi pada metabolisme
obat.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ester Muki Apriyani. 2013. FARMAKOLOGI VETERINER I INTERAKSI


OBAT INTERAKSI OBAT DENGAN MAKANAN. FAKULTAS
KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

http://giziberkarya.blogspot.com/2014/08/tentang-interaksi-obat-dan-
makanan.html

Muttschler,Ernest, 1999, Dinamika Obat : Farmakologi dan Toksikologi, Penerbit


ITB: Bandung.

Pramono. 2012. INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN. Diakses dari:


http://rsulin.kalselprov.go.id/berita-127-interaksi-obat-dan-makanan--.html
(9 maret 2015)

Theeyha Doux. Interaksi obat dan makanan. Diakses dari:


http://thyadoux.blogspot.com/2011/02/interaksi-obat-dan-makanan.html(9
maret 2015)

15

Anda mungkin juga menyukai