Anda di halaman 1dari 19

CASE 6

PNEUMOTHORAKS

KELOMPOK 6
1. IIS DAHLIA (04111003006)
2. MELISA CHINTIA S (04111003014)
3. SONDANG DAMANIK (04111003021)
4. MIRANTI DEA DORA (04111003028)
5. RAPMAULI CITRA (04111003036)
6. CHRYSTIN YULISKHA P (04111003044)
7. YUNI E.H (04111003051)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2014
Trigger Case :
Tn. K, 47 tahun, dirawat dengan keluhan demam, menggigil dan berkeringat jika malam
hari. Klien juga mengeluh sesak nafas terutama setelah naik tangga. Nyeri pada pleural juga
dirasakan klien. Klien tidak nafsu makan dan berat badanya menurun. Pada klien telah dilakukan
pungsi paru dan pemasangan WSD dengan hasil cairan jernih, terdapat peningkatan protein,
leukosit terutama limfosit serta penurunan glukosa. Vital sign klien td 110/70 mmhg, HR 88
x/menit, RR 27 x/menit, suhu 38c. Sebelumnya klien pernah dirawat dengan infeksi paru-paru.

1. KONSEP TEORITIS
Pasien mengalami penyakit Pneumotorak
A. Definisi Pneumotorak
Pneumotorak merupakan suatu keadaan dimana terdapat akumulasi udara
ekstrapulmoner dalam rongga pleura, antara plura visceral dan parinteral yang dapat
menyebabkan timbulnya kolaps paru. Pada keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara,
supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. (Rahajoe, 2002 )
B. Klasifikasi
Pneumotoraks dapat dibagi berdasarkan atas beberapa hal, yaitu :
1. Berdasarkan kejadian.
2. Berdasarkan lokalisasi.
3. Berdasarkan tingkat kolaps jaringan paru.
4. Berdasarkan jenis fistel

1) Berdasarkan Kejadian
a) Pneumotoraks spontan primer
Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya tidak menunjukkan
tanda-tanda sakit.
b) Pneumotoraks spontan sekunder
Pneumotoraks yang ditemukan pada penderita yang sebelumnya telah menderita
penyakit, mungkin merupakan komplikasi dari pneumonia, abses paru, tuberkulosis paru, asma
kistafibrosis dan karsinoma bronkus.
c) Pneumotoraks traumatika
Pneumotoraks yang timbul disebabkan robeknya pleura viseralis maupun pleura
parietalis sebagai akibat dari trauma.
d) Pneumotoraks artifisialis
Pneumotoraks yang sengaja dibuat dengan memasukkan udara ke dalam rongga pleura,
dengan demikian jaringan paru menjadi kolaps sehingga dapat beristirahat. Pada zaman dulu
pneumotoraks artifisialis sering dikerjakan untuk terapi tuberkulosis paru
.
2) Berdasarkan Lokalisasi
a) Pneumotoraks parietalis
b) Pneumotoraks mediastinalis
c) Pneumotoraks basalis

3) Berdasarkan tingkat kolapsnya jaringan paru


a) Pneumotoraks totalis, apabila seluruh jaringan paru dari satu hemitoraks mengalami
kolaps.
b) Pneumotoraks parsialis, apabila jaringan paru yang kolaps hanya sebagian. Derajat
kolaps paru pada pneumothorak totalis dapat dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai
berikut

4) Berdasarkan jenis fistel


a) Pneumotoraks ventil
Di mana fistelnya berfungsi sebagai ventil sehingga udara dapat masuk ke dalam rongga
pleura tetapi tidak dapat ke luar kembali. Akibatnya tekanan udara di dalam rongga pleura
makin lama makin tinggi dan dapat mendorong mediastinum ke arah kontra lateral.
b) Pneumotoraks terbuka
Di mana fistelnya terbuka sehingga rongga pleura mempunyai hubungan terbuka
dengan bronkus atau dengan dunia luar; tekanan di dalam rongga pleura sama dengan tekanan
di udara bebas.
c) Pneumotoraks tertutup
Di mana fistelnya tertutup udara di dalam rongga pleura, terkurung, dan biasanya akan
diresobsi spontan. Pembagian pneumotoraks berdasarkan jenis fistelnya ini sewaktu-waktu
dapat berubah. Pneumotoraks tertutup sewaktu-waktu dapat berubah menjadi pneumotoraks
terbuka, dan dapat pula berubah menjadi pneumotoraks ventil.

C. Etiologi
Infeksi saluran napas
Trauma dada
Acute lung injury yang disebabkan materi fisik yang terinhalasi dan bahan kimia
Penyakit inflamasi paru akut dan kronis
Keganasan

D. Manifestasi Klinis
1. Pasien mengeluh awitan mendadak nyeri dada pleuritik akut yang terlokalisasi pada paru
yang sakit.
2. Nyeri dada pluritik biasanya disertai sesak napas, peningkatan kerja pernapasan, dan
dispnea.
3. Gerakan dinding dada mungkin tidak sama karena sisi yang sakit tidak mengembang
seperti sisi yang sehat.
4. Suara napas jauh atau tidak ada.
5. Perkusi dada menghasilkan suara hipersonan.
6. Takikardia sering terjadi menyertai tipe pneumothoraks
7. Tension pneumothorak
Hipoksemia (tanda awal)
Ketakutan
Gawat napas (takipnea berat)
Peningkatan tekanan jalan napas puncak dan rerata, penurunan komplians, dan
auto-tekanan ekspirasi akhir positif (auto PEEP) pada pasien yang terpasang
ventilasi mekanis.
Kolaps kardiovaskuler (frekuensi jantung >140 kali/menit pada setiap hal berikut:
sianosis perifer, hipotensi, aktivitas lintrik tanpa denyut nadi)
2. PENGKAJIAN KEPERAWATAN DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG PASIEN

1) PENGKAJIAN KEPERAWATAN

a. Aktivitas / istirahat

Gejala : Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat

b. Sirkulasi

Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4 / irama jantung gallop, nadi
apikal (PMI) berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda homman (bunyi rendah
sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum).

c. Psikososial

Tanda : ketakutan, gelisah.

d. Makanan / cairan

Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral / infuse tekanan.

e. Nyeri / kenyamanan

Tanda : Perilaku distraksi, mengerutkan wajah

Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba gejala sementara batuk
atau regangan, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam.

f. Pernapasan

Tanda : Pernapasan meningkat / takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori
pernapasan pada dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun/ hilang (auskultasi
mengindikasikan bahwa paru tidak mengembang dalam rongga pleura), fremitus menurun,
perkusi dada : hipersonor diatas terisi udara, observasi dan palpasi dada : gerakan dada tidak
sama bila trauma, kulit : pucat, sianosis, berkeringat, mental: ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada / trauma : penyakit paru kronis, inflamasi
/ infeksi paru (empiema / efusi), keganasan (mis. Obstruksi tumor).

g. Keamanan

Gejala : adanya trauma dada, radiasi / kemoterapi untuk keganasan.

2) PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan :


1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negative

3) PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks antara lain:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang
merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi
berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah
hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar,
diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke
arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra
pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut:
1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis
sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga
udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.
2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya
merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum
lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher
terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang
terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah
dada depan dan belakang
3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan
sebagai garis datar di atas diafragma.

2. Analisa Gas Darah


Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada
kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara
signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

3. CT-Scan Thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan
pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk
membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasive CT-scan.
Menurut Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990,
hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu:
Derajat I : Pneumothoraks dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%)
Derajat II : Pneumotoraks dengan perlengketan disertai hemotorak (12%)
Derajat III : Pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla < 2 cm (31%)
Derajat IV : Pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2 cm (17%).
(Loddenkemper, 2003)

4. Diagnosis Banding
Pneumotoraks dapat memberi gejala seperti infark miokard, emboli paru dan pneumonia. Pada
pasien muda, tinggi, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada pneumotoraks, umumnya
diagnosis kita menjurus ke pneumotoraks spontan primer. Pneumotoraks spontan sekunder
kadang-kadang sulit dibedakan dengan pneumotoraks yang terlokalisasi dari suatu bleb atau
bulla subpleura.

3. PENATALAKSANAAN MEDIS

Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari


rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka
udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan
meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan
foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk
pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).
2. Tindakan Dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya
>15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan
membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara:
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan
udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung
infus set yang berada di dalam botol
2) Jarum abbocath Jarum abbocath
merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan
pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan
kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa
infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan
tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan
troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah
yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada lineamid aksilaris atau pada
linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah
troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar
dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung
kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya.
Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air
supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intra pleura tetap positif.
Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan
intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih
dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga
pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada
saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (2).
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu
torakoskop.
4. Torakotomi
Tindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini
dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka
tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut.
5. Tindakan Bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang
menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit.
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak bias
mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat fistel dari
paru yang rusak d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian
kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
6. Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap
penyebabnya. Misalnya: terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan
obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat .
3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk
mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema
4. MAPPING/NURSING PATHWAY PNEUMOTORAK

Trauma tajam Trauma


tumpul

Torak

Pneumotorak

Akumulasi cairan
dalam cavum pleura

Ekspansi paru Pemasangan


WSD
Ketidakefektifan
pola napas Diskontinuitas Thorakdrains bergeser
jaringan

Kerusakan integritas Resiko infeksi


kulit

Merangsar reseptor nyeri pada Merangsang reseptor


pleura viseralis dan parietalis nyeri pada periver kulit

Nyeri Akut
5. ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMOTHORAKS

Case 5 :
Tn. K, 47 tahun, dirawat dengan keluhan demam, menggigil dan berkeringat jika malam hari.
Klien juga mengeluh sesak napas terutama setelah naik tangga. Nyeri pada pleural juga dirasakan
klien. Klien tidak nafsu makan dan berat badannya menurun. Pada klien telah dilakukan pungsi
paru dan pemasangan WSD dengan hasil cairan jernih, terdapat peningkatan protein, leukosit
terutama limfosit serta penurunan glukosa. Vital sign klien TD 110/70 mmHg, HR 88 x /menit,
RR 27 x/menit, suhu 38C. Sebelumnya klien pernah dirawat dengan infeksi paru-paru.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Anamnesis
Nama : Tn. K
Umur : 47 th
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Keluhan utama meliputi sesak napas terutama setelah naik tangga dan nyeri pada pleura.
2. Riwayat Penyakit Saat Ini
Klien mengeluh demam, menggigil, dan berkeringat jika malam hari. Klien juga
merasakan sesak napas terutama setelah naik tangga, nyeri pada pleura juga dirasakan oleh
Klien. Klien tidak nafsu makan dan berat badannya menurun. Pada klien telah dilakukan
pungsi paru dan pemasangan WSD.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien pernah dirawat dengan infeksi paru-paru.
4. Pemeriksaan Fisik
- TTV : Suhu : 38C
- Sistem Pulmonal :
Subjektif : Nyeri pada pleura dan sesak napas terutama setelah naik tangga.
Objektif : RR : 27 x/menit, terpasang WSD
- Sistem Kardiovaskuler :
Subjektif : -
Objektif : HR : 88 x/menit, TD : 110/70 mmHg
- Sistem Pencernaan :
Subjektif : Akibat sesak napas, pasien mengalami penurunan nafsu makan dan penurunan
berat badan.
5. Data Penunjang
Hasil Lab : cairan jernih, terdapat peningkatan protein, leukosit terutama limfosit serta
penurunan glukosa.

Penatalaksanaan Medis :
1. Antibiotika
2. Analgetika
3. Pemasangan pipa WSD (Water Sealed Drainage)
4. Photo Thoraks

DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal.karena trauma
2. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks
spasme otot sekunder
3. Resiko terhadap transmisi infeksi yang berhubungan dengan tindakan infasive pemasangan
WSD
4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder
terhadap penekanan struktur abdomen.

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektif
Kriteria hasil :
- Memperlihatkan frekuensi napas yang efektif
- Mengalami perbaikan pertukaran gas pada paru
Ditandai dengan :
DS : Sesak napas terutama setelah naik tangga.
DO : RR : 27 x/menit
INTERVENSI RASIONAL
a. Berikan posisi yang nyaman, Meningkatkan inspirasi maksimal,
biasanya dnegan peninggian meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi
kepala tempat tidur. Balik ke sisi pada sisi yang tidak sakit.
yang sakit. Dorong klien untuk
duduk sebanyak mungkin.

b. Observasi fungsi pernapasan, Distress pernapasan dan perubahan pada


catat frekuensi pernapasan, tanda vital dapat terjadi sebgai akibat
dispnea atau perubahan tanda- stress fifiologi dan nyeri atau dapat
tanda vital. menunjukkan terjadinya syock
sehubungan dengan hipoksia.

c. Jelaskan pada klien tentang Pengetahuan apa yang diharapkan dapat


etiologi/faktor pencetus adanya mengembangkan kepatuhan klien
sesak atau kolaps paru-paru. terhadap rencana teraupetik.

d. Pertahankan perilaku tenang, Membantu klien mengalami efek


bantu pasien untuk kontrol diri fisiologi hipoksia, yang dapat
dengan menggunakan pernapasan dimanifestasikan sebagai ketakutan/
lebih lambat dan dalam. ansietas.

e. Perhatikan alat bullow drainase


berfungsi baik, cek setiap 1 - 2
jam :
1) Periksa pengontrol penghisap 1) Mempertahankan tekanan negatif
untuk jumlah hisapan yang intrapleural sesuai yang diberikan, yang
benar. meningkatkan ekspansi paru
optimum/drainase cairan.

2) Periksa batas cairan pada 2) Air penampung/botol bertindak sebagai


botol penghisap, pertahankan pelindung yang mencegah udara atmosfir
pada batas yang ditentukan. masuk ke area pleural.

3) Observasi gelembung udara 3) gelembung udara selama ekspirasi


botol penempung. menunjukkan lubang angin dari
penumotoraks/kerja yang diharapka.
Gelembung biasanya menurun seiring
dnegan ekspansi paru dimana area
pleural menurun. Tak adanya gelembung
dapat menunjukkan ekpsnsi paru
lengkap/normal atau slang buntu.

4) Posisi tak tepat, terlipat atau


4) Posisikan sistem drainage pengumpulan bekuan/cairan pada selang
selang untuk fungsi optimal, mengubah tekanan negative yang
yakinkan slang tidak terlipat, diinginkan.
atau menggantung di bawah
saluran masuknya ke tempat
drainage. Alirkan akumulasi
dranase bela perlu.
5) Berguna untuk mengevaluasi perbaikan
5) Catat karakter / jumlah kondisi/terjasinya perdarahan yang
drainage selang dada. memerlukan upaya intervensi.

Kolaborasi dengan tim kesehatan lain


f. Kolaborasi dengan tim kesehatan unutk engevaluasi perbaikan kondisi
lain : klien atas pengembangan parunya.
Dengan dokter, radiologi dan
fisioterapi.
Pemberian antibiotika.
Pemberian analgetika.
Fisioterapi dada.
Konsul photo toraks.

2. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.


Tujuan : Nyeri berkurang / hilang.
Kriteria Hasil :
- Nyeri berkurang / dapat diadaptasi
- Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan / menurunkan nyeri.
Ditandai dengan :
DS : Nyeri pada pleura
INTERVENSI RASIONAL
a. Jelaskan dan bantu klien dengan a. Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
nonfarmakologi dan non invasif. telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.

b. Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik b. Akan melancarkan peredaran darah,


untuk menurunkan ketegangan sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan
otot rangka, yang dapat terpenuhi, sehingga akan mengurangi
menurunkan intensitas nyeri dan nyerinya.
juga tingkatkan relaksasi masase.

c. Ajarkan metode distraksi selama c. Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-


nyeri akut. hal yang menyenangkan.

d. Berikan kesempatan waktu d. Istirahat akan merelaksasi semua jaringan


istirahat bila terasa nyeri dan sehingga akan meningkatkan
berikan posisi yang nyaman; kenyamanan.
misal waktu tidur, belakangnya
dipasang bantal kecil.

e. Kolaborasi dengan dokter, e. Analgetik memblok lintasan nyeri,


pemberian analgetik. sehingga nyeri akan berkurang.

f. Observasi tingkat nyeri, dan f. Pengkajian yang optimal akan


respon motorik klien, 30 menit memberikan perawat data yang obyektif
setelah pemberian obat analgetik untuk mencegah kemungkinan komplikasi
untuk mengkaji efektivitasnya. dan melakukan intervensi yang tepat.
Serta setiap 1 - 2 jam setelah
tindakan perawatan selama 1 - 2
hari.

3. Resiko terhadap transmisi infeksi yang berhubungan dengan tindakan infasive pemasangan
WSD.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi selama perawatan
Kriteria Hasil :
- Tidak ada tanda-tanda infeksi
- TTV normal (suhu 36-37C)
- Leukosit (8.000-10.000)
INTERVENSI RASIONAL
a. Identifikasi tanda-tanda terjadinya a. Infeksi yang diketahui secara dini mudah
infeksi pada pemasangan WSD dan diatasi sehingga tidak terjadi perluasan
multiple insisi. infeksi.

b. Anjurkan klien dan keluarga ikut b. Perilaku yang diperlukan untuk mencegah
menjaga kebrsihan sekitar luka dan penyebaran infeksi
pemasangan alat, serta kebersihan
lingkungan serta teknik mencuci
tangan sebelum tindakan.

c. Lakukan perawatan luka pada c. Dapat membantu menurunkan kontak


pemasangan WSD, dan multiple infeksi nosokomial.
insisi.

4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan
dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder
terhadap penekanan struktur abdomen.
Tujuan : Terpenuhinya kebutuhan nutrisi.
Kriteria Hasil :
- Peningkatan nafsu makan
- BB meningkat
Ditandai dengan : DO : Penurunan nafsu makan dan BB.
INTERVENSI RASIONAL
a. Identifikasi faktor-faktor yang dapat a. Faktor-faktor yang diketahui secara dini
berpengaruh terhadap hilangnya mudah diatasi, sehingga nafsu makan
nafsu makan pasien. meningkat.

b. Berikan umpan balik positif pada b. Reward dapat meningkatkan nafsu


pasien yang menunjukkan makan.
peningkatan nafsu makan.

c. Berikan makanan yang sesuai c. Makanan sesuai keinginan pasien dapat


dengan pribadi pasien, budaya, dan meningkatkan nafsu makan.
agama.

d. Tawarkan kudapan (misalnya, d. Kudapan dapat memicu nafsu makan


minuman dan buah-buahan segar/jus pasien.
buah-buahan), bila memungkinkan.

e. Berikan makanan bergizi, tinggi


kalori dan bervariasi yang dapat e. Untuk memenuhi kebutuhan energi
dipilih. pasien

IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana asuhan keperawatan oleh perawat terhadap
pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan
diantaranya : intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi
(keterampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada
situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta di dokumentasi intervensi
dan respon klien).
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara konkrit dari rencana intervensi yang
telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada klien.

EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota
tim kesehatan lainnya.
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dan rencana keperawatan tercapai
dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang.
Kriteria yang diharapkan dari tindakan keperawatan pada pasien pneumothoraks ini adalah :
a. Mampu mempertahankan fungsi paru secara normal
b. Nyeri pada pasien dapat teratasi
c. Tidak terjadi infeksi selama perawatan, setelah pemasangan WSD.
d. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.

6. DISCHARGE PLANNING
1. Biasakan konsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin dan bergizi
2. Olahraga secara teratur dan istirahat yang cukup
3. Berhenti merokok dan hindari kontaminasi asap rokok
4. Berhenti minum alcohol
5. Kenali tanda dan gejala dan kurangi stress.
6. . Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara tepat
untuk penyakit dasarnya.
7. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras.
8. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan.
9. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak napas.
DAFTAR PUSTAKA

Dongoes, E et all. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman untuk Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Diterjemahkan oleh I Made
Kariase et all. EGC : Jakarta.
Huda, Amin Nuratif & Kusuma, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis NANDA & NIC-NOC Jilid 2. MediAction Publishing: Yogyakarta
Faradilla, Nova.2009.Hidropneumotoraks. Fakultas Kedokteran Universitas Riau : Riau

Anda mungkin juga menyukai