PENDAHULUAN
1
Pencapaian target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap
provinsi. Besarnya prevalensi balita gizi buruk di Indonesia antar provinsi
cukup beragam. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010,
secara nasional prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9 persen dan kekurangan
gizi 17,9 persen. Rentang prevalensi BBLR (per 100) di Indonesia adalah 1,4
sampai 11,2, dimana yang terendah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
dan tertinggi di Provinsi Gorontalo. Provinsi Jawa Timur termasuk daerah
dengan balita gizi buruk masih tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan
prevalensi gizi buruk sebesar 4,8 persen. Walaupun pada tingkat nasional
prevalensi balita kurang gizi telah hampir mencapai target MDGs, namun
masih terjadi disparitas antar provinsi, antara perdesaan dan perkotaan, dan
antar kelompok sosial-ekonomi
Keperawatan sebagai profesi dituntut untuk mengembangkan
keilmuannya sebagai wujud kepeduliannya dalam meningkatkan kesejahteraan
umat manusia baik dalam tingkatan preklinik maupun klinik. Untuk dapat
mengembangkan keilmuannyamaka keperawatan dituntut untuk peka terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungannya setiap saat. Keperawatan
komunitas sebagai cabang ilmu keperawatan juga tidak terlepas dari adanya
berbagai perubahan tersebut, seperti teknologi alatkesehatan, variasi jenis
penyakit dan teknik intervensi keperawatan. Adanya berbagai perubahan yang
terjadi akan menimbulkan berbagai trend dan isu yang menuntut peningkatan
pelayanan asuhan keperawatan. Berdasarkan fenomena diatas, penulis tertarik
untuk membahas Trend dan Isu Keperawatan Komunitas pada anak usia
bawah lima tahun (balita) serta Implikasinya terhadap Perawat.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa saja Trend dan Isu Keperawatan Komunitas pada anak usia bawah
lima tahun (balita) ?
2. Bagaimana prevalensi angka kejadian Trend dan Isu Keperawatan
Komunitas pada anak usia bawah lima tahun (balita) ?
3. Bagaimana pencegahan primer yang bisa perawat lakukan untuk Trend
dan Isu Keperawatan Komunitas pada anak usia bawah lima tahun (balita)
?
2
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Trend dan Isu Keperawatan Komunitas pada anak usia
bawah lima tahun (balita)
2. Mengetahui prevalensi angka kejadian Trend dan Isu Keperawatan
Komunitas pada anak usia bawah lima tahun (balita)
3. Mengetahui pencegahan primer yang bisa perawat lakukan untuk
Trend dan Isu Keperawatan Komunitas pada anak usia bawah lima
tahun (balita)
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Riskesdas 2013 mengumpulkan informasi insiden diare agar bisa
dimanfaatkan program, dan period prevalens diare agar bisa dibandingkan
dengan Riskesdas 2007.
Period prevalen diare pada Riskesdas 2013 (3,5%) lebih kecil dari
Riskesdas 2007 (9,0%). Penurunan period prevalen yang tinggi ini
dimungkinkan karena waktu pengambilan sampel yang tidak sama antara
2007 dan 2013. Pada Riskesdas 2013 sampel diambil dalam rentang waktu
yang lebih singkat. Insiden diare untuk seluruh kelompok umur di
Indonesia adalah 3.5 persen.
Tabel 2.2
Prevalensi Hepatitis, Insiden Diare Dan Diare Balita, Serta Period
Prevalence Diare Menurut Provinsi, Indonesia 2013
Prevalensi Insiden Insiden Period Prevalence
Hepatitis Diare Diare Diare
Provinsi
balita
D D/G D D/G D D/G D D/G
Aceh 0,3 1,8 4,1 5,0 9,0 10,2 7,4 9,3
Sumatera Utara 0,2 1,4 2,1 3,3 4,9 6,7 4,3 6,7
Sumatera Barat 0,2 1,2 2,3 3,1 5,6 7,1 4,8 6,6
Bangka Belitung 0,1 0,8 1,2 1,9 3,5 3,9 2,1 3,4
Kepulauan Riau 0,2 0,9 1,1 1,7 3,0 3,7 2,3 3,5
DKI Jakarta 0,3 0,8 2,5 4,3 6,7 8,9 5,0 8,6
Jawa Barat 0,4 1,0 2,5 3,9 6,1 7,9 4,9 7,5
5
Jawa Tengah 0,2 0,8 2,3 3,3 5,4 6,5 4,7 6,7
Jawa Timur 0,3 1,0 2,3 3,8 5,1 6,6 4,7 7,4
Sulawesi Barat 0,1 1,2 2,5 4,7 4,5 7,2 5,3 10,1
Papua Barat 0,1 1,0 1,7 2,2 5,1 5,6 3,9 5,2
6
Papua 0,4 2,9 4,1 6,3 6,8 9,6 8,7 14,7
Indonesia 0,3 1,2 2,2 3,5 5,2 6,7 4,5 7,0
Tabel 2.2
Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period
prevalence diare menurut karakteristik, Indonesia 2013
Insiden Period
Prevalensi diare prevalence
Karakteristik
Hepatitis Insiden Diare balita diare
D D/G D D/G D D/G
Kelompok umur ( tahun)
<1 0,1 0,5 5,5 7,0 8,6 11,2
1- 4 0,1 0,8 5,1 6,7 9,2 12,2
5 14 0,2 1,0 2,0 3,0 4,1 6,2
15- 24 0,3 1,1 1,7 3,2 3,5 6,3
25 34 0,3 1,3 1,9 3,1 3,8 6,4
35 44 0,3 1,3 1,9 3,2 4,2 6,7
45 54 0,4 1,4 2,2 3,6 4,5 7,3
55 64 0,3 1,3 1,9 3,2 4,3 6,8
65 74 0,3 1,4 2,3 3,4 4,7 7,0
75 0,2 1,3 2,7 3,7 5,1 7,4
Kelompok umur balita (bulan)
0-11 5,5 7,0
12 23 7,6 9,7
24-35 5,8 7,4
36-47 4,3 5,6
48-59 3,0 4,2
Jenis Kelamin
Laki-laki 0,3 1,3 2,2 3,4 5,5 7,1 4,5 7 7,0
Perempuan 0,2 1,1 2,3 3,6 4,9 6,3 4,5 7,1
Pendidikan
Tidak sekolah 0,3 1,5 2,5 3,8 5,2 8,0
Tidak tamat SD/MI 0,3 1,3 2,1 3,3 4,4 6,9
Tamat SD/MI 0,3 1,3 2,1 3,3 4,3 6,8
Tamat SMP/MTS 0,3 1,1 1,7 3,0 3,7 6,3
Tamat SMA/MA 0,4 1,1 1,6 2,8 3,5 5,8
Tamat D1-D3/PT 0,3 0,9 1,4 2,5 3,2 5,3
Pekerjaan
Tidak bekerja 0,3 1,1 2,0 3,2 4,0 6,5
Pegawai 0,4 1,0 1,6 2,7 3,6 5,7
Wiraswasta 0,3 1,2 1,9 3,1 3,8 6,3
Petani/Nelayan/Buruh 0,3 1,6 2,0 3,3 4,4 7,1
Lainnya 0,3 1,4 1,9 3,3 4,3 7,1
Tempat Tinggal
Perkotaan 0,3 0,9 2,1 3,5 5,0 6,6 4,3 6,8
Perdesaan 0,3 1,4 2,3 3,5 5,3 6,9 4,8 7,3
Kuintil Indeks Kepemilikan
Terbawah 0,3 2,0 2,9 4,5 6,2 8,6 5,7 9,3
Menengah Bawah 0,3 1,4 2,4 3,6 5,4 6,9 4,8 7,3
Menengah 0,3 1,0 2,2 3,5 5,4 7,2 4,5 6,9
Menengah Atas 0,3 0,9 2,1 3,3 4,9 6,2 4,3 6,7
Teratas 0,3 0,9 1,8 2,8 4,3 5,3 3,7 5,7
Tabel 2.2
Prevalensi hepatitis, insiden diare dan diare balita, serta period
prevalence diare menurut karakteristik, Indonesia 2013
Lima provinsi dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi adalah
Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan 10,2%), Aceh (5,0% dan
9,3%), Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%), dan Sulawesi Tengah (4,4% dan 8,8%)
(tabel 2.1 )
8
Insiden diare balita di Indonesia adalah 6,7 persen. Lima provinsi dengan
insiden diare tertinggi adalah Aceh (10,2%), Papua (9,6%), DKI Jakarta (8,9%),
Sulawesi Selatan (8,1%), dan Banten (8,0%) (tabel 2.1 )
Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah
kelompok yang paling tinggi menderita diare. Berdasarkan kuintil indeks
kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan, maka semakin tinggi
proporsi diare pada penduduk. Petani/nelayan/buruh mempunyai proporsi
tertinggi untuk kelompok pekerjaan (7,1%), sedangkan jenis kelamin dan tempat
tinggal menunjukkan proporsi yang tidak jauh berbeda (tabel 2.2).
Tabel 2.3
Penggunaan Oralit Dan Zinc Pada Diare Balita Menurut Provinsi,
Indonesia 2013
Provinsi Oralit Zn
Aceh 33,3 22,8
Sumatera Utara 23,6 11,6
9
DI Yogyakarta 26,4 12,6
10
Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita.
Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi yang penting saat anak banyak
kehilangan cairan akibat diare dan kecukupan zinc di dalam tubuh balita
akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian
oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka
kematian akibat diare sampai 40 persen. Pemakaian oralit dalam
mengelola diare pada penduduk Indonesia adalah 33,3 persen. Lima
provinsi tertinggi penggunaan oralit adalah Papua (59,3%), Papua Barat
(52,4%), Nusa Tenggara Barat (52,3%), Nusa Tenggara Timur (51,5%),
dan Jambi (51,4%). Pengobatan diare dengan menggunakan zinc pada
penduduk Indonesia adalah 16,9 persen. Lima provinsi tertinggi
pemakaian zinc pada pengobatan diare adalah Riau (32,3%), Lampung
(31,4%), Nusa Tenggara Barat (25,8%), Bali (23,7%), dan Kalimantan
Barat (23,3%).
11
dikumpulkan berdasarkan empat sumber informasi, yaitu wawancara
kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang mengetahui, catatan
dalam KMS, catatan dalam buku KIA, dan catatan dalam buku kesehatan
anak lainnya. Apabila salah satu dari keempat sumber tersebut
menyatakan bahwa anak sudah diimunisasi, disimpulkan bahwa anak
tersebut sudah diimunisasi untuk jenis yang ditanyakan.
Selain setiap jenis imunisasi, anak disebut sudah mendapat
imunisasi lengkap bila sudah mendapatkan semua jenis imunisasi satu
kali HB-0, satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu
kali imunisasi campak. Jadwal imunisasi untuk HB-0, BCG, polio, DPT-
HB, dan campak berbeda, sehingga bayi umur 0-11 bulan tidak dianalisis.
Analisis dilakukan pada anak umur 12-23 bulan, yang telah melewati
masa imunisasi dasar.
Analisis imunisasi hanya dilakukan pada anak umur 12-23 bulan
karena beberapa alasan, yaitu: (1) hasil analisis dapat mendekati perkiraan
valid immunization; (2) survei-survei lain juga menggunakan kelompok
umur 12-23 bulan untuk menilai cakupan imunisasi, sehingga dapat
dibandingkan dan; (3) bias karena ingatan ibu yang diwawancara pada
saat pengumpulan data lebih rendah dibanding kelompok umur di
atasnya.
Tidak semua balita dapat diketahui status imunisasinya (missing).
Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu ibu lupa anaknya sudah
diimunisasi atau belum, ibu lupa berapa kali sudah diimunisasi, ibu tidak
mengetahui secara pasti jenis imunisasi, catatan dalam KMS/ buku KIA
tidak lengkap/tidak terisi, tidak dapat menunjukkan karena hilang atau
tidak disimpan oleh ibu. Alasan lainnya karena subyek yang ditanya
tentang imunisasi bukan ibu balita, memory recall bias dari ibu, ataupun
ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan.
Oleh karena itu, perlu menjadi catatan bahwa dalam interpretasi hasil
cakupan imunisasi terdapat kekurangan metode survei (desain potong
lintang) dalam Riskesdas 2013.
12
Cakupan imunisasi lengkap cenderung meningkat dari tahun 2007
(41,6%), 2010 (53,8%), dan 2013 (59,2%).
Cakupan tiap jenis imunisasi yaitu HB-0, BCG, polio empat kali
(polio 4), DPT-HB kombo tiga kali (DPT-HB 3), dan campak menurut
provinsi. Berdasarkan jenis imunisasi persentase tertinggi adalah BCG
(87,6%) dan terendah adalah DPT-HB3 (75,6%). Papua mempunyai
cakupan imunisasi terendah untuk semua jenis imunisasi, meliputi HB-0
(45,7%), BCG (59,4%), DPT-HB 3 (75,6%), Polio 4 (48,8%), dan
campak (56,8%). Provinsi DI Yogyakarta mempunyai cakupan imunisasi
tertinggi untuk jenis imunisasi dasar HB-0 (98,4%), BCG (98,9%), DPT-
HB 3 (95,1%), dan campak (98,1%) sedangkan cakupan imunisasi polio 4
tertinggi di Gorontalo (95,8%).
Tabel 2.4
Persentase Imunisasi Dasar Pada Anak Umur 12-23 Bulan Menurut Provinsi,
Indonesia 2013
Jenis Imunisasi Dasar
Provinsi
HB-0 BCG DPT-HB-3 Polio-4 Campak
Aceh 64,8 72,9 52,9 58,3 62,4
Sumatera 63,0 78,1 63,1 67,5 70,1
Utara
Sumatera 70,5 81,0 60,2 64,4 71,4
Barat
Riau 68,8 81,4 70,0 70,9 77,3
Jambi 79,1 85,5 76,7 77,4 79,7
Sumatera 70,8 84,9 73,6 76,3 82,6
Selatan
Bengkulu 81,0 93,0 86,7 87,6 90,2
13
Kepulauan 87,4 92,0 87,4 88,0 91,9
Riau
DKI 87,8 90,9 79,1 76,7 85,3
Jakarta
Jawa Barat 78,8 87,8 71,5 73,9 80,8
14
Sulawesi 72,9 84,8 69,5 70,9 76,9
Selatan
Sulawesi 59,8 84,8 75,3 76,9 83,8
Tenggara
Gorontalo 87,5 97,2 93,0 95,8 94,9
Tabel 2.5
Persentase Imunisasi Dasar Lengkap Pada Anak Umur 12-23
Bulan Menurut Provinsi, Indonesia 2013
Kelengkapan Imunisasi Dasar
Provinsi
Lengkap Tidak Lengkap Tidak Imunisasi
Aceh 38,3 41,9 19,8
15
Sumatera Utara 39,1 44,5 16,4
16
Sulawesi Tengah 47,1 42,7 10,1
Sulawesi Selatan 49,5 41,7 8,7
17
tempat seperti Posyandu, Polindes, Puskesmas atau sarana pelayanan
kesehatan yang lain.
Pada Riskesdas 2013, informasi tentang pemantauan pertumbuhan
anak diperoleh dari frekuensi penimbangan anak umur 6-59 bulan selama
enam bulan terakhir. Idealnya dalam enam bulan anak balita ditimbang
minimal enam kali.
Kecenderungan frekuensi pemantauan pertumbuhan anak umur 6-59
bulan dalam enam bulan terakhir pada tahun 2007 dan 2013. Dari gambar
tersebut terlihat bahwa frekuensi penimbangan >4 kali sedikit menurun
pada tahun 2013 (44,6%) dibanding tahun 2007 (45,4%). Anak umur 6-59
bulan yang tidak pernah ditimbang dalam enam bulan terakhir meningkat
dari 25,5 persen (2007) menjadi 34,3 persen (2013).
2.2.3 Status Gizi Anak Balita
Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB)
dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan
timbangan digital yang memiliki presisi 0,1 kg, panjang atau tinggi badan
diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0,1 cm.
Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks
antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB.
2.2.3.1 Sifat-sifat indikator status gizi
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/U memberikan
indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak
memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis
ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur
dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan
karena pendek (masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare
atau penyakit infeksi lain (masalah gizi akut).
Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan
indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari
keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku
hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang
18
baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi
pendek.
Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB
memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai
akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama
(singkat). Misalnya: terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan
(kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Indikator
BB/TB dan IMT/U dapat digunakan untuk identifikasi kurus dan
gemuk. Masalah kurus dan gemuk pada umur dini dapat berakibat
pada risiko berbagai penyakit degeneratif pada saat dewasa (Teori
Barker).
Masalah gizi akut-kronis adalah masalah gizi yang
memiliki sifat masalah gizi akut dan kronis. Sebagai contoh adalah
anak yang kurus dan pendek.
19
Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan Barat;
(7) Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi
Selatan; (11) Maluku Utara; (12) Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi
Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera
Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi
Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi
yang memiliki prevalensi gizi buruk-kurang sudah mencapai
sasaran yaitu: (1) Bali, (2) DKI Jakarta, (3) Bangka Belitung.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi
buruk-kurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap prevalensi
sangat tinggi bila 30 persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013,
secara nasional prevalensi gizi buruk-kurang pada anak balita
sebesar 19,6 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di
Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga
provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi
Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
2.2.3.3 Status gizi anak balita berdasarkan indikator TB/U
Prevalensi pendek (stunting) menurut provinsi dan
nasional. Prevalensi pendek secara nasional tahun 2013 adalah 37,2
persen, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010
(35,6%) dan 2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2 persen
terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek.
Pada tahun 2013 prevalensi sangat pendek menunjukkan
penurunan, dari 18,8 persen tahun 2007 dan 18,5 persen tahun
2010. Prevalensi pendek meningkat dari 18,0 persen pada tahun
2007 menjadi 19,2 persen pada tahun 2013.
Terdapat 20 provinsi diatas prevalensi nasional dengan
urutan dari prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu:(1) Nusa
Tenggara Timur, (2) Sulawesi Barat, (3) Nusa Tenggara Barat, (4)
Papua Barat, (5) Kalimantan Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi
Tenggara, (8) Sumatera Utara, (9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah,
20
(11) Maluku Utara, (12) Sulawesi Tengah, (13) Sulawesi Selatan,
(14) Maluku, (15) Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18)
Gorontalo, (19) Kalimantan Barat dan (20) Jambi.
Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila
prevalensi pendek sebesar 30 39 persen dan serius bila prevalensi
pendek 40 persen (WHO 2010). Sebanyak 14 provinsi termasuk
kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius.
Ke 15 provinsi tersebut adalah: (1) Papua, (2) Maluku, (3)
Sulawesi Selatan, (4) Maluku Utara, (5) Sulawesi Tengah, (6)
Kalimantan Tengah, (7) Aceh, (8) Sumatera Utara, (9) Sulawesi
Tenggara, (10) Lampung, (11). Kalimantan Selatan, (12). Papua
Barat, (13). Nusa Tenggara Barat, (14). Sulawesi Barat dan (15)
Nusa Tenggara Timur.
2.2.3.4 Status gizi anak balita berdasarkan indikator BB/TB
Prevalensi kurus menurut provinsi dan nasional. Salah
satu indikator untuk menentukan anak yang harus dirawat dalam
manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat kurus yaitu anak
dengan nilai Zscore <-3,0 SD. Prevalensi sangat kurus secara
nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 persen, terdapat
penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2
%). Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8
persen juga menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun
2010) dan 7,4 persen (tahun 2007). Secara keseluruhan prevalensi
anak balita kurus dan sangat kurus menurun dari 13,6 persen pada
tahun 2007 menjadi 12,1 persen pada tahun 2013.
Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi kurus diatas
angka nasional, dengan urutan dari prevalensi tertinggi sampai
terendah, adalah: Kalimantan Barat, Maluku, Aceh, Riau, Nusa
Tenggara Timur, Papua Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Papua,
Banten, Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku Utara.
21
Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di
Indonesia adalah 11,9 persen, yang menunjukkan terjadi penurunan
dari 14,0 persen pada tahun 2010. Terdapat 12 provinsi yang
memiliki masalah anak gemuk di atas angka nasional dengan
urutan prevalensi tertinggi sampai terendah,yaitu: (1) Lampung, (2)
Sumatera Selatan, (3) Bengkulu, (4) Papua, (5) Riau, (6) Bangka
Belitung, (7) Jambi, (8) Sumatera Utara, (9) Kalimantan Timur,
(10) Bali, (11) Kalimantan Barat, dan (12) Jawa Tengah.
Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila
prevalensi kurus antara 10,0 14,0 persen, dan dianggap kritis bila
15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013, secara nasional
prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang artinya.
masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 16 provinsi
yang masuk kategori serius, dan 4 provinsi termasuk kategori
kritis, yaitu Kalimantan Barat, Maluku, Aceh dan Riau.
2.2.3.5 Kecenderungan prevalensi status gizi anak balita tahun
2007- 2013
Kecenderungan prevalensi status gizi anak balita menurut
ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Terlihat prevalensi gizi
buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013.
Prevalensi sangat pendek turun 0,8 persen dari tahun 2007, tetapi
prevalensi pendek naik 1,2 persen dari tahun 2007. Prevalensi
sangat kurus turun 0,9 persen tahun 2007. Prevalensi kurus turun
0,6 persen dari tahun 2007. Prevalensi gemuk turun 2,1 persen dari
tahun 2010 dan turun 0,3 persen dari tahun 2007.
2.2.3.6 Status gizi anak balita berdasarkan gabungan indikator
TB/U dan BB/TB
Berdasarkan Riskesdas 2007, 2010 dan 2013 terlihat
adanya kecenderungan bertambahnya prevalensi anak balita
pendek-kurus, bertambahnya anak balita pendek-normal (2,1%)
dan normal-gemuk (0,3%) dari tahun 2010. Sebaliknya, ada
22
kecenderungan penurunan prevalensi pendek-gemuk (0,8 %),
normal-kurus (1,5 %) dan normal-normal (0,5 %) dari tahun 2010.
2.3 Intervensi Keperawatan
2.3.1 Intervensi Keperawatan Masalah Diare
1) Pendidikan Kesehatan
1. Masak air untuk diminum sampe mendidih
2. Biasakan mencuci tangan memakai sabun dan air bersih
yang mengalir sebelum menyiapkan makanan untuk balita setelah
buang air besar
3. Biasakan mencuci alat alat makan dan minum dengan air
bersih serta membilas dengan air matang sebelum di pakai,
merebus botol susu ke dalam air mendidih sebelum dipakai.
4. Biasakan BAB di wc
5. Biasakan membuang sampah pada tempatnya
6. Buang air limbah rumahtangga pada saluran limbah yang
tersedia
7. Hindari yang menghaluskan makanan memakai mulut
orang tua
8. Jangan biasakan anak bermain ditempat yang kotor
9. Ajari balita mencuci tangan dengan sabun sebelum makan
10. Tutup makanan dan minuman , taruh ditempat yang aman
dan bersih
2) Penanggulangan Diare Pada Balita
1. Berikan asi lebih sering
2. Makan seperti biasa dan minum lebih sering pemberian
makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi agar anak
tetap kuat dan bertubuh serta mencegah berkjurangnya berat badan
3. Setelah diare berhenti anak diberikan makanan esktra
selama 2 minggu untuk membantu memulihan berat badan
4. Berikan segera cairan oralit setiap kali anak balita buang air
besar bila tidak ada olarit berikan air matang kuah sayur atau air
tajin. Oralit yang beredar di pasaran pada umumnya oralit dengan
23
osmolaritas rendah yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah
atau anda dapat membuat oralit sendiri dengan mencampur larutan
gula dan garam
5. Jika anak balita muntah tunggu 10 menit. Kemudian
lanjutkan pemberian oralit sedikit demi sedikit
6. Lanjutkan pemberian cairan lanjutan sampai diare berhenti
7. Jangan berikan obat apapun kecuali obat dari petugas
kesehatan atau dokter karena dapat membahayakan anak
8. Segera bawa anak balita berobab ke layanan kesehatan jika
a. Diare terus berlanjut dan anak menderita dehidrasi
b. Anak memuntahkan apapun yang dimakan ataupun
diminum
c. Anak menderita kolera atau disentri
3) Peran Perawat dalam Penanggulan Diare
1. Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan
mukosa dan pemekataj urin. Deteksi dini memungkinkan terapi
pergantian cairan segera untuk memperbaiki defisit
2. Pantau intake dan output
Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat
keluaran tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme
3. Timbang berat badan setiap hari
Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan
kehilangan cairan 1 lt. Anjurkan keluarga untuk memberi minum
banyak pada kien, 2-3 lt/hr.
4. Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral
4) Kolaborasi
1. Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca,
BUN)
2. koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk
mengetahui faal ginjal (kompensasi).
3. Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
24
4. Obat-obatan (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)anti
sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit agar
simbang, antispasmolitik untuk proses absorbsi normal, antibiotik
sebagai anti bakteri berspektrum luas untuk menghambat
endotoksin)
25
9. Pada seri vaksinasi, apabila seri satu kali terlambat, seri
harus dimulai lagi dari semula.
2. Peran perawat dalam mengatasi Alasan keberatan orang tua
untuk mengimunisasikan anaknya
1) Pendidikan kesehatan tentang pentingnya imunisasi
2) Pendidikan kesehatan tentang cara kerja imunisasi dalam
tubuh
3) Pendidikan imunisasi tentang respon yang didapat setelah
imunisasi
2.3.3 Intervensi Keperawatan Masalah Gizi Buruk
Menimbang begitu pentingnya menjaga kondisi gizi balita
untuk pertumbuhan dan kecerdasannya, maka sudah
seharusnya para orang tua memperhatikan hal-hal yang dapat
mencegah terjadinya kondisi gizi buruk pada anak. Berikut
adalah beberapa cara untuk mencegah terjadinya gizi buruk
pada anak:
1) Memberikan ASI eksklusif (hanya ASI) sampai anak
berumur 6 bulan. Setelah itu, anak mulai dikenalkan dengan
makanan tambahan sebagai pendamping ASI yang sesuai
dengan tingkatan umur, lalu disapih setelah berumur 2 tahun.
2) Anak diberikan makanan yang bervariasi, seimbang
antara kandungan protein, lemak, vitamin dan mineralnya.
Perbandingan komposisinya: untuk lemak minimal 10% dari
total kalori yang dibutuhkan, sementara protein 12% dan
sisanya karbohidrat.
3) Rajin menimbang dan mengukur tinggi anak dengan
mengikuti program Posyandu. Cermati apakah pertumbuhan
anak sesuai dengan standar di atas. Jika tidak sesuai, segera
konsultasikan hal itu ke dokter.
4) Jika anak dirawat di rumah sakit karena gizinya buruk,
bisa ditanyakan kepada petugas pola dan jenis makanan yang
harus diberikan setelah pulang dari rumah sakit.
26
5) Jika anak telah menderita karena kekurangan gizi, maka
segera berikan kalori yang tinggi dalam bentuk karbohidrat,
lemak, dan gula. Sedangkan untuk proteinnya bisa diberikan
setelah sumber-sumber kalori lainnya sudah terlihat mampu
meningkatkan energi anak. Berikan pula suplemen mineral
dan vitamin penting lainnya. Penanganan dini sering kali
membuahkan hasil yang baik. Pada kondisi yang sudah berat,
terapi bisa dilakukan dengan meningkatkan kondisi kesehatan
secara umum. Namun, biasanya akan meninggalkan sisa
gejala kelainan fisik yang permanen dan akan muncul
masalah intelegensia di kemudian hari.
6) Peran Pelayanan Kesehatan
1. Mengatasi masalah medis yang mempengaruhi gizi
buruk
2. Balita yang sembuh dan perlu PMT, perlu
dikembalikan ke Pusat Pemulihan Gizi untuk
diberikan PMT
3. Balita yang sembuh, dan tidak perlu PMT,
dikembalikan kepada masyarakat
2.4 Pelayanan kesehatan bagi balita
1. Pemantauan pertumbuhan balita dengan KMS
KMS (Kartu Menuju Sehat) untuk balita adalah alat
yang sederhana dan murah, yang dapat digunakan untuk
memantau kesehatan dan pertumbuhan anak.
Manfaat KMS adalah :
1) .Sebagai media untuk mencatat dan memantau riwayat
kesehatan balita secara lengkap, meliputi : pertumbuhan,
perkembangan, pelaksanaan imunisasi, penanggulangan
diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan
pemberian ASI eksklusif, dan Makanan Pendamping ASI.
2) Sebagai media edukasi bagi orang tua balita tentang
kesehatan anak
27
3) Sebagai sarana komunikasi yang dapat digunakan oleh
petugas untuk menentukan penyuluhan dan tindakan
pelayanan kesehatan dan gizi.
2. Pemberian Kapsul Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan
vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk
kesehatan mata ( agar dapat melihat dengan baik ) dan untuk
kesehatan tubuh yaitu meningkatkan daya tahan tubuh, jaringan
epitel, untuk melawan penyakit misalnya campak, diare dan
infeksi lain.
Vitamin A terdiri dari 2 jenis :
1) Kapsul vitamin A biru ( 100.000 IU ) diberikan pada bayi
yang berusia 6-11 bulan satu kali dalam satu tahun
2.) Kapsul vitamin A merah ( 200.000 IU ) diberikan kepada
balita
3. Pelayanan Posyandu
Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya
Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola
dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna
memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar untuk
mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi.
Adapun jenis pelayanan yang diselenggarakan Posyandu untuk
balita mencakup
1.Penimbangan berat badan
2.Penentuan status pertumbuhan
3.Penyuluhan
4.Jika ada tenaga kesehatan Puskesmas dilakukan
pemeriksaan kesehatan, imunisasi dan deteksi dini tumbuh
kembang, apabila ditemukan kelainan, segera ditunjuk ke
Puskesmas.
28
4. Manajemen terpadu balita sakit
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau
Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah
suatu pendekatan yang terintegrasi/terpadu dalam tatalaksana
balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan
(balita) secara menyeluruh. Kegiatan MTBS memliliki 3
komponen khas yang menguntungkan, yaitu:
1.Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam
tatalaksana kasus balita sakit (selain dokter, petugas kesehatan
non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien
asalkan sudah dilatih).
2. Memperbaiki sistem kesehatan (perwujudan terintegrasinya
banyak program kesehatan dalam 1 kali pemeriksaan MTBS).
3.Memperbaiki praktek keluarga dan masyarakat dalam
perawatan di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus
balita sakit (meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam
pelayanan kesehatan).
29
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trend adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini
dan kejadiannya berdasarkan fakta.
Issue adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun belum
jelas faktannya atau buktinya.
Trend dan issue yang marak terjadi di kelompok umur balita adalah seperti
diare, imunisasi serta pemantauan pertumbuhan. Semuanya memerlukan perhatian
khusus, terutama dalam keperawatan komunitas dalam mengendalikan dan
memecahkan masalah dari trend dan issue tersebut.
4.2 Saran
Diharapkan pembaca mampu memahami makalah trend dan issue
keperawatan komunitas pada balita. Kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan penulis.
30