A. Judul
NILAI MORAL DAN NILAI SOSIAL PADA KUMPULAN CERPEN
BALON KEINGINAN KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN
B. Latar belakang
Belakangan ini berbagai berita berkaitan dengan karakter atau prilaku
yang tidak baik merebak di media massa, baik cetak maupun elektronik. Tidak
hanya pemberitaan korupsi, pemberitaan tentang perampokan, pembunuhan,
berbagai bentuk pelecehan dan kekerasan, dan tawuran antar siswa maupun antar
penduduk seakan tak pernah habis, terus terulang. Bahkan lebih ironisnya, kini
pelaku tindakan tersebut tidak hanya oleh orang dewasa, melainkan oleh anak-
anak. Misalnya, dua bulan lalu (17/11/2014), Liputan 6 memberitakan bocah kelas
satu SD terancam buta akibat dianiaya kakak kelasnya (www.Liputan6.com).
Fenomena-fenomena ini kiranya cukup sudah mewakili pengertian merosotnya
nilai-nilai mulia manusia.
Dekadensi nilai ini sering dikaitkan dengan kegagalan pendidikan dalam
membentuk manusia berkarakter (Mudarwan, 2013, hlm. 1). Hal ini, sebagaimana
dinyatakan Bertens (2003, hlm. 58), dapat didasarkan pada bahwasanya melalui
proses pendidikanlah nilai-nilai moral disampaikan kepada orang muda untuk
kemudian diintegrasi dalam kepribadian mereka. Sehingga penanggulangan
kemerosotan nilai moral ini tentu memerlukan perhatian dari para pendidik.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 Th. 2003 Bab II Pasal 3 pun telah disebutkan bahwa
manusia ideal yang menjadi tujuan pendidikan bagi bangsa Indonesia adalah
membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, yang salah satunya
dibangun melalui peserta didik yang berakhlak mulia (Nuansa Aulia, 2012, hlm.
4). Dengan demikian, mengingat mendidik adalah tanggung jawab bersama, maka
semua pendidik atau stake holder pendidikan baik pemerintahan, lembaga
pendidikan seperti sekolah, orang tua, dan masyarakat, perlu memerhatikan dan
membantu pembentukan akhlak mulia pada anak (peserta didik).
Telah diketahui bahwa sastra merupakan bagian dari pendidikan. Dilihat
dari terjemahan bahasa Sansekerta, sastra berarti tulisan untuk mengajar atau
memberikan petunjuk (Resmini dan Juanda, 2007, hlm. 167). Sarumpaet (2010,
2
Gia merasa bangga terhadap Mamanya yang dapat membantu korban bencana
gunung meletus. Gia tidak menuntut hadiah atas kerjaannya, karena dia merasa
dia juga perlu membantu meringankan beban kerja Mamanya.
Selain itu, cerpen berjudul Kaus Kaki Wimbo memuat nilai-nilai
persahabatan. Wimbo anak berprestasi dan disenangi, tiba-tiba dijauhi teman-
temannya dengan alasan yang Wimbo tidak pernah tahu. Melalui temannya, Jen,
yang dideskripsikan memiliki sikap ceplas-ceplos, Wimbo jadi tahu masalahnya.
Nilai sosial persahabatan dideskripsikan secara langsung dalam percakapan.
5
Wimbo tidak marah atas masukan pedas dari Jenna yang memberitahukan apa
duduk masalah yang terjadi. Keduanya sepakat bahwa teman yang baik akan
selalu mengingatkan temannya ketika ia salah dan itulah gunanya seorang teman.
Pengkajian nilai moral dan nilai sosial positif pada buku Balon
Keinginan ini dirasa penting untuk dilakukan. Yakni, karena cerpen-cerpen
dalam Balon Keinginan tersebut memiliki nilai-nilai moral dan nilai sosial positif.
Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam seluruh
rangkaian penelitian sebelumnya, yaitu untuk menyambung rantai penelitian
kajian sastra. Selain itu, secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi dengan menambah luas cakupan penelitian mengenai sastra anak
berupa cerpen dari unsur ekstrinsiknya yaitu nilai moral dan nilai sosial positif.
D. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada analisis nilai-nilai moral dan nilai-nilai
sosial positif yang terdapat dalam cerpen-cerpen yang dikumpulkan dalam buku
BALON KEINGINAN oleh Korrie Layun Rampan. Buku ini diterbitkan oleh
6
CV Yrama Widya. Dicetak pertama kali pada bulan Mei 2014. Buku ini terdiri
dari 226 halaman dengan panjang buku 13 x 20 cm. Adapun cerpen yang
dianalisis berjumlah 46 judul cerpen.
Penelitian ini difokuskan pada deskripsi nilai-nilai moral dan nilai-nilai
sosial positif. Penyebutan kata positif dikarenakan memang ada yang membahas
atau meneliti nilai moral atau nilai sosial dilihat dari dua sisinya, positif dan
negatif. Seperti yang dilakukan oleh para peneliti yang disebutkan di atas. Akan
tetapi, penulis berpegang pada apa yang disampaikan Bertens (2003, hlm. 59,
bahwa nilai (value) menurut kodratnya adalah bersifat positif. Sejalan dengan
pernyataan ini, Endraswara (2008, hlm. 160) juga menyatakan suatu pandangan
umum bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya yang mampu
mencerminkan pesan positif bagi pembacanya. Selanjutnya, melalui pembatasan
ini, pembahasan nilai-nilai moral positif dan nilai-nilai sosial positif diharapkan
dapat dikaji lebih dalam dan lebih baik.
E. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan ke dalam sejumlah pertanyaan berikut:
1. Bagaimana nilai-nilai moral positif yang terkandung dalam kumpulan cerpen
Balon Keinginan Korrie Layun Rampan?
2. Bagaimana nilai-nilai sosial positif yang terkandung dalam kumpulan cerpen
Balon Keinginan Korrie Layun Rampan?
F. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan nilai-nilai moral positif yang terkandung dalam kumpulan
cerpen Balon Keinginan Korrie Layun Rampan;
2. Mendeskripsikan nilai-nilai sosial positif yang terkandung dalam kumpulan
cerpen Balon Keinginan Korrie Layun Rampan.
G. Manfaat Penelitian
Secara teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau
masukan bagi perkembangan keilmuan dalam Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, khususnya dalam pengkajian karya sastra. Yakni untuk mengetahui
bagaimana karya sastra dapat menyimpan nilai-nilai moral dan nilai sosial positif
sebagai fungsi kegunaannya.
7
1. Bagian Sampul;
2. Kata Pengantar;
3. Daftar Isi;
4. Judul;
5. Latar belakang;
6. Identifikasi Masalah Penelitian;
7. Fokus Penelitian;
8. Rumusan Masalah;
9. Tujuan Penelitian;
10. Manfaat Penelitian;
11. Kajian Teori;
12. Metode Penelitian;
13. Jadwal Penelitian;
14. Daftar Pustaka.
I. Kajian Teori
1. Cerita Pendek (Cerpen)
Cerpen adalah salah satu jenis karya sastra berbentuk prosa. Nurgiantoro
mengutip Edgar Alan Poe (2005, hlm. 10) menyatakan bahwa cerpen merupakan
8
prosa fiksi yang dibaca selesai sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah
jam sampai dua jam, yang agak sulit jika dilakukan untuk sebuah novel. Adapun
Sudjiman (dalam Djuanda dan Iswara, 2009, hlm. 151) mengemukakan bahwa
cerpen adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan
tunggal yang dominan. Dari dua pengertian tersebut, cerpen dapat diketahui
sebagai salah satu jenis karya sastra yang memiliki ukuran cerita lebih pendek
daripada novel dan ditandai dengan timbulnya kesan mendalam karena padatnya
isi cerita. Kepadatan tersebut adalah karena cerpen berpusat pada satu tokoh
dalam satu situasi pada satu ketika. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang
diungkapkan Targian (1984, hlm. 177) mengenai ciri utama cerpen yaitu singkat
(brevity), padu (character), dan intensif (intensity).
Sementara itu, Nurgiantoro, (2005, hlm. 11) berbicara soal kelebihan
cerpen. Menurutnya, kelebihan cerpen adalah dalam kemampuannya
mengemukakan lebih banyak hal secara implisit dari sekedar apa yang
diceritakan. Hal ini dikarenakan adanya sifat cerpen, yang disebut Ajip Rosidi
(dalam Tarigan, 1984, hlm. 176) sebagai suatu kebulatan idea. Sifat bulat ini
mengindikasikan padatnya isi. Sedangkan isi yang dipadatkan dapat
mengakibatkan terciptanya kekayaan makna dalam pemikiran pembaca.
5) latar atau setting merupakan landas tumpu sebagai pijakan cerita secara
konkret meliputi tempat, waktu, dan lingkungan sosial;
6) sudut pandang merupakan cara, teknik, atau strategi tertentu dipilih
pengarang dalam mengemukakan gagasan dan ceritanya;
7) amanat merupakan makna atau pesan sebagai pemecahan masalah atas sebuah
konflik yang tampil dalam cerita (disadur dari Nurgiantoro (2005, hlm. 66,
110, 164, 216, 246)).
1) Teknik Ekspositori
Teknik ekspositori disebut juga teknik langsung. Nurgiantoro (2005, hlm.
195) mendefinisikan teknik ini sebagai teknik pelukisan tokoh cerita dengan
pemberian deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung. Artinya, tokoh
cerita didirikan secara jelas tanpa berbelit-belit melalui unsur yang lain. Teknik ini
cenderung bersifat sederhana dan ekonomis. Di samping memberikan kemudahan
bagi pengarangnya untuk berfokus kepada pengembangan unsur lainnya, teknik
ini juga mempermudah pembaca dalam memahami jati diri tokoh cerita secara
tepat sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang. Akan tetapi di sisi lain, teknik
ini membatasi kesempatan pembaca untuk turut aktif dalam mengembangkan
tanggapan imajinatif terhadap tokoh cerita. Padahal, dalam realitas kehidupan
tidak akan dapat ditemui deskripsi kedirian seseorang yang sedemikian lengkap
dan pasti. Karena itu, penggunaan teknik ini tentulah perlu disesuaikan pengarang
terhadap kebutuhannya.
10
2) Teknik Dramatik
Teknik dramatik merupakan teknik tak langsung. Kedirian tokoh
ditunjukkan pengarang lewat aktivitas yang dilakukan tokoh. Aktivitas tersebut
meliputi aktivitas verbal berupa kata-kata, maupun non verbal berupa tindakan
juga peristiwa yang terjadi. Berbeda dengan teknik ekspositori, teknik ini
memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menafsirkan sendiri sifat-sifat
tokoh cerita (Nurgiantoro, 2005, hlm. 200). Akantetapi, teknik ini juga membuka
kemungkinan adanya kesalahan tafsiran dengan peluang cukup besar. Apalagi jika
pembacanya adalah yang bersikap masa bodoh terhadap jati diri tokoh, maka
pesan cerita pun menjadi kabur.
Teknik dramatik menurut Nurgiantoro (2005, hlm. 201) diwujudkan ke
dalam beberapa teknik, yaitu:
a) teknik cakapan;
b) teknik tingkah laku;
c) teknik pikiran dan perasaan;
d) teknik arus kesadaran;
e) teknik reaksi tokoh;
f) teknik reaksi tokoh lain;
g) teknik pelukisan latar.
Adapun menurut Tarigan (1984, hlm. 133) cara yang dapat digunakan
pengarang dalam penokohan atau melukiskan rupa, watak, atau pribadi para tokoh
adalah dengan cara-cara berikut.
1) physical description (melukiskan bentuk lahir dari tokoh);
2) portrayal of thought stream or of conscious thought (melukiskan jalan pikiran
atau apa yang terlintas dalam pikiran tokoh);
3) reaction events (melukiskan bagaimana reaksi tokoh terhadap peristiwa);
4) direct author analysis (analisis langsung pengarang terhadap tokoh);
5) discussion of environtment (pengarang melukiskan lingkungan tokoh);
6) reaction of other about/to character (lukisan pengarang melalui pandangan
tokoh lain dalam cerita).
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik dapat diartikan sebagai unsur yang berada di luar.
Mengacu pada pengertian yang dikemukakan Hartati (2009, hlm. 186) unsur
ekstrinsik merupakan unsur yang berada di luar karya sastra itu, termasuk di
dalamnya latar belakang penulis, tempat penulisan karya, serta suasana (kondisi)
ketika karya tersebut dibuat. Wellek dan Warren (dalam Nurgiantoro, 2005, hlm.
24) menyebutkan unsur-unsur ekstrinsik adalah keadaan subjektivitas individu
pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang
kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya. Sementara itu, dalam
pernyataan Nurgiyantoro (2005, hlm. 24) unsur ekstrinsik adalah psikologi, baik
yang berupa psikologi pengarang, psikologi pembaca, dan keadaan lingkungan
pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial.
Dengan memerhatikan pendapat-pendapat di atas, unsur ekstrinsik
setidaknya meliputi keadaan penulis (baik psikologi, pandangan hidup, dan
sikapnya) juga lingkungan penulis yang turut memengaruhi kelahiran karya yang
dibuatnya. Adapun yang termasuk unsur ekstrinsik sastra antara lain nilai-nilai
seperti nilai religius, nilai moral, nilai sosial, nilai kebudayaan, dan nilai ekonomi.
Oleh karena keterpaduan antara realitas dan kreativitas pengarang dalam
menciptakan karya sastra akan menentukan keberhasilan sebuah karya sastra
(Vico, 2013, hlm. 2), maka karya sastra, betapapun telah dimodifikasi pengarang,
akan selalu berhubungan dengan nilai-nilai yang ada dalam realitas kehidupan.
Dengan demikian, melalui pengkajian ekstrinsiklah dapat diketahui
bagaimana penulis membawakan ceritanya atau pesan yang hendak
disampaikannya, juga bagaimana sikap penulis terhadap keadaan atau kenyataan
yang dihadapinya. Hal ini dipertegas dengan pendapat Damono (dalam
Harizadika, 2013, hlm. 1) bahwasanya melalui karya sastra, sastrawan
menyampaikan nilai-nilai kehidupan karena karya sastra diciptakan untuk
dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakatnya.
2. Nilai
Bertens (2003, hlm. 56) mendeskrisikan nilai sebagai sesuatu yang baik,
sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang berharga, sesuatu yang worthwhile.
12
Di mana nilai (value) selalu bersifat positif, karena memiliki lawan disvalue yang
selalu dihindarkan. Berikut pemaparan konsep mengenai nilai lainnya:
a. nilai adalah sebuah konsep tentang hal yang penting bagi kehidupan
seseorang;
b. nilai adalah sebuah keyakinan tentang tingkah laku yang patut dan tidak patut
atau capaian/pekerjaan/kepercayaan yang pantas dan yang tidak pantas;
c. harga yang disematkan, atau harga yang menyiratkan jati diri sesuatu;
d. nilai adalah suatu yang baik, luhur, diinginkan, dan dianggap penting oleh
masyarakat (disadur dari Sapriya, dkk., 2007, hlm 56).
Berdasarkan konsep diatas, secara ringkas, nilai bisa diartikan sebagai
suatu keyakinan yang menjadi pedoman individu dalam kehidupannya. Sehingga
nilai ini menjadi standar kelayakan hidupnya seseorang secara sosial. Selain itu,
nilai bersifat abstrak dan subjektif, karena ia lahir dari keputusan individu atas
sikap yang harus dipilihnya untuk menunjukkan jati dirinya.
Karya sastra tidak akan terlepas dari nilai-nilai yang dikandungnya dalam
wujud unsur ekstrinsik. Hal ini karena suatu cipta sastra bersumber dari kehidupan
dan sastra sendiri diciptakan untuk kehidupan manusia (Nugrahani, 2013, hlm.
31). Nilai-nilai tersebut tidak lain merupakan petunjuk yang secara sengaja di
diberikan pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
kehidupan. Karena menurut Nurgiyantoro (2005, hlm. 320) salah satu alasan
mengapa karya sastra itu dilahirkan adalah untuk menawarkan model kehidupan
yang diidealkan. Untuk itu, karya sastra tentu memuat nilai moral dan nilai sosial.
Pertama, nilai moral akan selalu mengikat seorang individu pada tuntutan
hakikatnya sebagai manusia sebagai makhluk berakal dan berbudipekerti. Kedua,
nilai sosial tidak akan terlepas dari pengarang yang timbul dari kehidupan
sosialnya yang akan memantul penuh ke dalam karya sastra yang diciptanya.
a. Nilai Moral
Moral secara harfiah berasal dari kata mores atau mos yang berarti adat
istiadat, kebiasaan, atau cara hidup (dalam Rasyidin, dkk., 2009, hlm. 155).
Moral, menurut Suseno (1987, hlm. 19) selalu mengacu pada baik-buruknya
manusia sebagai manusia. Maka nilai moral adalah sesuatu yang menunjukkan
segi kebaikan manusia sebagai manusia. Sementara itu, moral dalam karya sastra
13
b. Nilai Sosial
Pembahasan sastra dan nilai sosial biasanya dikaji dalam sosiologi sastra.
Damono (dalam Harizadika, 2013, hlm. 2) memberi pengertian sosiologi sastra
adalah pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan. Mengingat sastrawan menyampaikan nilai-nilai kehidupan
melalui karya sastra, maka dapat dikatakan bahwa sastra merupakan suatu
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium. Ditambah lagi,
bahasa sendiri merupakan ciptaan sosial. Dengan demikian, karya sastra dan nilai
sosial adalah dua hal yang berkaitan erat dalam perannya membicarakan manusia
secara sosial.
Sapriya, dkk. (2007, hlm 56) menyatakan bahwa nilai sosial merupakan
anggapan, sikap, pandangan yang diberikan masyarakat terhadap sesuatu yang
16
dianggap baik dan benar, serta pantas untuk dilakukan. Huky (dalam Basrowi,
2005, hlm. 81) menyebutkan ada sebelas ciri nilai sosial. Secara singkat ciri-ciri
nilai sosial tersebut dapat dijelaskan berikut:
1) nilai sosial tercipta secara sosial melalui interaksi antara para anggota
masyarakat;
2) nilai sosial dapat ditularkan dan dipelajari;
3) nilai sosial menjadi dasar bagi tindakan dan tingkah laku pribadi maupun
masyarakat secara keseluruhan;
4) jika tidak terdapat keharmonisan dari terintegrasinya nilai sosial, maka akan
menimbulkan problem sosial (disadur dari Basrowi, 2005, hlm. 81).
Karena itu, nilai sosial memiliki fungsi secara umum sebagai alat pengawas
dengan daya tekan dan daya mengikat yang mampu mendorong, menuntun, dan
kadang-kadang menekan manusia untuk berbuat yang baik. Bahkan, nilai sosial
dapat menjadi sebuah alat solidaritas di kalangan anggota kelompok atau
masyarakat (Basrowi, 2005, hlm. 83). Harizadika (2013, hlm. 2) menuturkan
bahwasanya cerpen menandai kefiksiannya dengan berusaha memberikan efek
realis, dengan mempresentasikan karakter yang kompleks dengan motif yang
berpacu dan berakar pada antara lain interaksi dengan beberapa karakter lain dan
berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Sehingga, untuk mengetahui nilai-nilai
sosial karya sastra dapat dilihat dari perilaku tokoh bagaimana ia berinteraksi atau
bagaimana ia ditokohkan demi membawa nilai.
Selanjutnya, dalam mencari tahu nilai sosial, perlu diketahui terlebih dulu
perilaku sosial. Perilaku sosial menurut Weber (dalam Veeger, 1985, hlm. 171)
adalah ketika maksud subyektif dari tingkah laku itu membuat individu
memikirkan dan memperhitungkan kelakuan orang-orang lain dan
mengarahkannya kepada itu. Misalnya, seorang yang dimotivir untuk membalas
dendam atas suatu penghinaan yang dialami pada masa lampau,
mengorientasikan tindakannya kepada orang lain.
Berikut ini dipaparkan klasifikasi perilaku sosial menurut Weber (1964):
1) kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan;
2) kelakuan yang berorientasi kepada suatu nilai lain seperti keindahan,
kemerdekaan, persaudaraan, dan seterusnya;
17
3) kelakuan yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi seseorang, ini
disebut kelakuan perasaan atau emosional;
4) kelakuan yang menerima arahnya dari tradisi, disebut kelakuan tradisional
(Veeger, 1985, hlm. 173).
Dengan memerhatikan paparan di atas, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai inti yang
dipilih dalam diskusi di kantor Menteri Pendidikan Nasional (dalam Samani dan
Hariyanto, 2012, hlm. 134) memiliki kedekatan makna. Yakni, karakter seorang
peserta didik akan sangat ditentukan oleh bagaimana perangai dari otak dan hati
berproses. Ada empat nilai inti sebagai hasil dari diskusi tersebut, yaitu jujur,
cerdas, peduli, dan tangguh. Perangai yang bersifat sosial adalah yang terbentuk
sebagai hasil komunikasi dengan orang lain. Sehingga, dua dari nilai inti tersebut
yang terkategori perangai sosial adalah peduli dan tangguh.
1) Peduli
Perangai peduli bersumber dari hati termasuk perilaku prososial. Hati yang peka,
ketika berinteraksi dengan orang lain akan ikut merasakan apa yang dialami orang
lain. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya bercermin secara jernih jika hal
tersebut jatuh menimpanya. Sehingga maknanya, orang yang peduli adalah orang
yang hatinya bersih dan jernih.
2) Tangguh
Tangguh adalah siap mengambil resiko dalam kompetisi yang harus dihadapi
dalam setiap kompetisi di tantangan global dan ancamannya. Ketangguhan akan
teruji dalam kontak komunikasi dengan berbagai macam orang yang berbeda dari
diri sendiri individu.
Tabel nilai-nilai turunan dari nilai inti (peduli dan tangguh)
No Nilai-nilai inti Nilai-nilai turunan
1 Peduli Penuh kasih sayang, perhatian, kebajikan,
kewarganegaraan, keadaban, komitmen,
keharuan, kegotongroyongan, kesantunan, rasa
hormat, demokratis, kebijaksanaan, disiplin,
empati, kesetaraan, suka memberi maaf,
persahabatan, kesahajaan, kedermawanan,
kelemahlembutan, pandai berterimakasih,
pandai bersyukur, suka membantu, suka
menghormati, keramahtamahan, kemanusiaan,
kerendahan hati, kesetiaan, kelembutan hati,
18
J. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif dan teknik analisis isi (content
analysis) untuk pengumpulan data. Metode ini dipandang cocok untuk digunakan
dalam penelitian ini, karena data yang diteliti dan hasil penelitian dalam penelitian
adalah berupa kata-kata. Senada dengan pernyataan Bogdan dan Taylor (Moleong,
2013, hlm. 4) yaitu metodologi kualitaif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati.
Selain itu, data-data yang diteliti memerlukan intensitas peneliti dalam
kegiatan interpretasi. Sebagaimana telah dirumuskan dalam rumusan penelitian,
penelitian ini ingin menggambarkan nilai-nilai moral dan sosial positif yang
terefleksi dalam cerpen-cerpen yang dikumpulkan Korrie Layun Rampan dalam
buku BALON KEINGINAN. Semi (dalam Saputra, 2012, hlm. 411)
menyatakan bahwa penelitian sastra yang objeknya karya sastra, sastrawan, dan
pembaca, menyangkut penelitian humaniora, yang di dalamnya terkait
pemahaman dan pemberian interpretasi yang memerlukan intensitas pendalaman.
Oleh karena itu, penelitian kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif dan
19
teknik analisis isi ini dirasa dapat menjadi pedoman peneliti dalam melakukan
penelitiannya dan membantu peneliti mencapai tujuan.
moral dan nilai sosial. Di mana nilai-nilai tersebut termasuk pada unsur ekstrinsik
karya sastra.
Teknik pengumpulan data penelitian dijabarkan dalam bagan berikut ini.
4. Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian ini dimulai sejak peneliti menelaah
sumber data. Hal ini dilakukan untuk menjaga data agar tidak terlalu menumpuk
dan menyulitkan peneliti (Alwasilah, 2012, hlm. 113). Bogdan dan Biklen (dalam
Moleong, 2013, hlm. 248) menyatakan bahwa:
analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mensitesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan
apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Endraswara (2008, hlm. 164) menyatakan bahwa analisis meliputi penyajian data
dan pembahasan yang dilakukan secara kualitatif konseptual. Sehingga pada
analisis data peneliti haru selalu menghubungkan konteks dan konstruk analisis.
Konteks artinya hal-hal yang berhubungan dengan struktur dan konstruk adalah
bangunan konsep analisis. Konsep analisis diambil dari rumusan sekaligus tujuan
penelitian.
Berikut ini adalah langkah-langkah kerja analisis data disajikan dalam
bagan alir.
Bagan Alir Analisis Data
Menyimpulkan dan
menyajikan hasil data secara
tekstular
i. membuat laporan.
K. Jadwal Penelitian
Bulan I Bulan II Bulan III Bulan IV
Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penemuan masalah
Studi Pendahuluan
Perumusan Judul
Konsultasi ke Pembimbing
Akademik
Penulisan Proposal
Pengajuan Proposal
Seminar Proposal dan Revisi
Pelaksanaan Langkah Kerja
Penelitian
Bimbingan Skripsi
Penyusunan Laporan
Sidang Skripsi
Pengesahan Skripsi
Daftar Pustaka