Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 2

Upaya Meningkatkan Akses Petani dan


Sektor Pertanian Terhadap Lembaga
Pembiayaan.

Kelompok 11

Paramita Salsabila N 1501510140015


Ahmad Shohibboniawan 150510140160
Rofi Saputri 150510140210

Agroteknologi
Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
Jatinangor
2017
PENDAHULUAN

Sektor pertanian saat ini banyak pihak lebih fokus dalam meningkatkan hasil
panen. Padahal dalam meningkatkan produktivitas tentunya membutuhkan modal atau
pembiayaan yang justru kurang mendapat perhatian serius. Pembiayaan usaha tani
sendiri dapat berasal dari pendapatan dari pemasaran produk pertanian, subsidi
pemerintah, atau kredit dari lembaga keuangan. Di Indonesia, aspek pembiayaan
usaha tani ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah dan lembaga
keuangan formal. Petani masih mengandalkan modal sendiri yang terkadang tidak
dapat mencukupi untuk pembiayaan usaha taninya. Penyebab mendasarnya adalah
tidak adanya jaminan harga dan jaminan pembelian komoditas pertanian. Hal ini
memaksa petani terutama petani kecil untuk terus mendapatkan modal dari usaha
mereka bahkan sering kali mereka harus siap merugi. Karena harga komoditas
pertanian yang jatuh di pasaran, atau tidak terserap pasar karena kualitas buruk atau
serangan OPT yang menyebabkan gagal panen.

Modal adalah faktor paling penting dalam produksi pertanian dalam arti
sumbangannya pada nilai produksi. Modal merupakan masalah utama yang selalu
muncul dalam upaya membangun potensi dan kemampuan masyarakat, terutama di
wilayah pedesaan. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan sistem yang
dikembangkan sebetulnya telah banyak untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan modal dalam usaha taninya. Mulai dari KUT (Kredit Usaha Tani),
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), dan lain sebagainya. Namun pembiayaan dari
lembaga keuangan formal sering mengganggap sektor pertanian adalah sektor penuh
risiko terkait jaminan harga dan jaminan pembelian komoditas yang tidak stabil.
Selain itu, ketidakpastian usaha akibat serangan OPT, sehingga harga yang jatuh di
pasaran, atau tidak laku di pasar karena kualitas yang buruk adalah beberapa realitas
yang dialami petani. Selain itu, ada juga ketergantungan petani terhadap pemenuhan
modal kerja untuk pembelian sarana produksi dari tengkulak atau pemodal. Ini
menyebabkan penentuan harga jual rendah yang tidak bisa ditolak oleh petani. maka
perlu lebih banyak lembaga-lembaga keuangan mikro pedesaan yang memudahkan
petani mengakses modal untuk membiayai usaha taninya.
ISI

Sumber-Sumber Pembiayaan
Dalam upaya membangun sektor pertanian sebagai landasan perekonomian
dan meningkatkan pendapatan rakyat kecil demi pemerataan hasil pembangunan,
pemerintah Indonesia telah melaksanakan programprogram perkreditan yang
ditujukan kepada petani dan pengusaha kecil sejak Repelita I. Dimulai dengan kredit
Bimas (Bimbingan Massal) pada tahun 1972, muncullah banyak program kredit untuk
komoditas lainnya, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kinerja Permanen
(KMKP), sampai Kredit Usaha Tani (KUT) pada akhir pemerintahan Orde Baru. Ciri
umum kredit program pemerintahan adalah bersuku bunga murah, berjangka waktu
cukup lama, memperoleh dana likuiditas dari bank sentral, dan resiko kreditnya
ditanggung pemerintah. Karena kebijakan kredit pertanian semacam ini lazim
dilaksanakan di negara berkembang selama lebih dari dua dasawarsa, maka sering
disebut sebut sebagai program kredit tradisional atau konvensional.

Sementara itu, di pedesaan sendiri rakyat telah lama memiliki lembaga-


lembaga keuangan lokal atau tradisional yang melayani kebutuan mereka
berazaskan swadaya dan pendekatan pasar. Lembaga-lembaga tersebut disebut
lembaga keuangan pedesaan (LKP) atau yang akhir-akhir ini lebih dikenal dengan
sebutan lembaga keuangan mikro (LKM). LKP yang menjadi obyek penelitian ini
adalah kelompok swadaya masyarakat (KSM), Badan Kredit Desa (BKD), dan Badan
Kredit Kecamatan (BKK). LKP tersebut, selain kurang memperoleh perhatian, juga
secara ironis terkena dampak dari kebijakan yang memberikan prioritas kepada
program-program kredit murah bersubsidi dan pendirian LKP-LKP baru versi
beberapa departemen.
Selain adanya hal-hal yang tidak memuaskan pada lembaga keuangan yang
melaksanakannya, lembaga keuangan formal juga memiliki kelemahan-kelemahan
yang menjadi kendala bagi petani terhadap akses pada lembaga keuangan formal.
Hal-hal tersebut diantaranya, yaitu :
1. Jangkauan pelayanan kredit atau pembiayaan masih sangat terbatas. Bahkan
untuk bank tertentu masih ada yang hanya melayani masyarakat sekitar kota
kabupaten atau kota kecamatan
2. Persyaratan atau aplikasi pengajuan kredit masih sangat sukar sehingga tidak
semua masyarakat dapat mengakses pinjaman yang disalurkan. Terlebih lagi
untuk sector pertanian yang dipandang sangat berisiko, pihak perbankan
cenderung lebih berhati-hati lagi
3. Jangka waktu proses pencairan kredit relative lama karena harus ada screening
dan checking
4. Biaya transaksi masih dianggap terlalu besar
5. Persyaratan agunan dengan menetapkan barang yang telah memiliki kekuatan
hokum formal (sertifikat / BPKB) dirasa masih cukup memberatkan
6. Penilaian terhadap nilai agunan cenderung sangat underestimate sehingga
sangat berpengaruh terhadap nilai pinjaman yang diberikan.

Sebagai contoh kasus yang diperoleh dari jurnal berjudul Aksessibilitas


Masyarakat Terhadap Kelembagaan Pembiayaan Pertanian Di Pedesaan yang ditulis
oleh Endang Lestari Hastuti dan Supadi dapat dilihat di tabel 1 yaitu aksesibilitas
masyarakat tani terhadap lembaga pembiayaan formal dan non formal di daerah Jawa
Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Dari data pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa di daerah dengan komoditas utama
padi (Kabupaten Subang dan Lombok Tengah), aksessibilitas petani terhadap
lembaga bank komersial di tingkat cabang relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena
adanya program KUT. Di daerah ini KUT dapat berjalan dengan lancar, karena peran
kelompok tani yang cukup baik, terutama di dalam menyeleksi anggotanya. Selain itu
kios saprotan, pelepas uang dan tetangga merupakan lembaga pembiayaan yang
banyak diakses oleh petani di daerah ini , terutama bagi petani yang tidak termasuk di
dalam kelompok tani. Di kabupaten Subang, Jawa Barat , selain bank komersial
lembaga pembiayaan formal yang dapat diakses masyarakat adalah , KUD, LPK
(Lembaga Perkreditan rakyat), TPSP, UBD, dan BPD.
Di Kabupaten Lombok Tengah dengan komoditas dominan padi, aksessibilitas
masyarakat pada lembaga bank komersial cukup timggi (62,50 %), meskipun tidak
setinggi Kabupaten Subang. Pada umumnya yang dapat mengakses Bank komersil
seperti BRI adalah pedagang hasil produksi, pedagang saprotan, sedang petani pada
umumnya kurang mempunyai akses pada lembaga tersebut. Hal ini antara lain salah
satu syarat yang diajukan BRI cukup berat, yaitu adanya agunan berupa sertifikat
tanah. Padahal sebagian besar petani belum mempunyai sertifikat, sehingga
peminjaman harus melalui kelompok tani. Lembaga pembiayaan formal selain BRI
yang dapat diakses oleh masyarakat adalah pegadaian dan Bank Kredit desa. Pada ke
dua lembaga ini proses peminjaman relatif lebih sederhana dibanding BRI, terutama
pegadaian. Bagi masyarakat pegadaian merupakan lembaga pembiayaan yang sangat
mudah diakses karena prosedur peminjaman yang sangat mudah dan sederhana,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Selain ke bank komersial tingkat aksessibilitas masyarakat pada pelepas uang


(25,0%) dan famili/tetangga/teman (41,67%) relatif tinggi. Pada ke dua lembaga
inilah para petani dapat lebih akses. Hal ini antara lain disebabkan karena proses
peminjaman kepada ke dua lembaga ini sangat sederhana dan cepat, meskipun
dikenakan bunga yang cukup tinggi. Di Kabupaten Bandung ,Jawa Barat,
aksessibilitas masyarakat tertinggi justru pada kelembagaan non formal, yaitu
pedagang hasil pertanian/saudagar. Hal ini disebabkan dengan lembaga tersebut
petani dapat memperoleh manfaat ganda, yaitu dapat memperoleh pinjaman dana
sekaligus memasarkan produk pertaniannya. Prosedurnya pun relatif mudah, karena
petani hanya disyaratkan menjual hasil kepada pedagang output, dengan harga lebih
rendah dari harga pasar. Selain itu, Tingkat aksessibitas masyarakat terhadap
tetangga/saudara/rekanan ternyata cukup tinggi. Sifat hubungan di dalam kemitraan
ini adalah gotong royong, dan proses peminjamanpun relative cepat berdasarkana atas
kepercayaan.

Lembaga pembiayaan formal lain yang dapat diakses oleh masyarakat adalah
bank komersial unit, BPR, dan koperasi/KUD. KUD merupakan salah satu lembaga
yang dipercaya untuk menyalurkan KUT. Namun kurang dapat berperan dengan baik
karena justru megacaukan sistem pertanian dan harga di daerah ini. Sebagian besar
masyarakat merasa tidak mempunyai kuwajiban harus mengembalikan hutang
tersebut, karena pernyataan dari beberapa pejabat pemerintah. Di Kabupaten Lombok
Timur aksessibilitas masyarakat pada lembaga pembiayaan formal relatif rendah,
justru tertinggi pada lembaga pembiaaan non formal yang berasal dari famili atau
tetangga.

Lembaga pembiayaan non formal yang dapat diakses petani terbesar adalah
famili, tetangga, atau teman. Prosedur dan persyaratan peminjaman pada lembaga ini
pada umumnya relatif sangat cepat dan sederhana, sesuai dengan kemampuan petani.
Sedang lembaga lain yang dapat diakses adalah kios saprotan, pengolah hasil
pertanian, pedagang hasil pertanian, dan pelepas uang. Pada ummnya lembaga-
lembaga non formal lebih menekankan persyaratan kualitatif seperti
kejujuran,kepastian usaha langganan, kepercayaan dan keanggotaaan. Bagi nasabah
baru pada umumnya mendapat rekomendasi dari nasabah lama. Bila mulai
peminjaman seringkali jumlah pinjaman dalam jumlah kecil, den bila sudah dapat
dipercaya berdasarkan pantauan kreditor pinjaman dai sedikit demi sedikit dapat
ditingkatkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan petani untuk mengakses


sumber permodalan formal dan non formal.

1. Kelompok tani yang bisa mengakses kredit program karena mempunyai


faktor-faktor internal yang mendukung, yaitu memiliki sertifikat tanah untuk
agunan, tidak mmepunyai tunggakan kredit di bank, dan menanam komoditas
sesuai kondisi lahan serta mudah memasarkannya. Faktor-faktor penghambat
akses kredit program antara lain tidak mengetahui prosedur perbankan dan
tidak mempunyai sertifikat tanah.
2. Faktor-faktor eksternal yang mempermudah akses kredit antara lain
mengetahui prosedur perbankan karena ada pendampingan dari bank atau PPL
dan bunga kredit rendah. Faktor eksternal yang menghambat akses kredit
program antara lain prosedur kredit rumit karena tidak ada pendampingan,
biaya sertifikat lahan mahal, dan tidak ada keringanan jika terjadi gagal panen.

Upaya Meningkatkan Akses Petani dan Sektor Pertanian Trhadap Lembaga


Pembiayaan
1. Menyusun alternatif strategi dalam upaya meningkatkan akses petani terhadap
permodalan di lahan suboptimal yaitu prosedur pengajuan kredit
disederhanakan agar kelompok tani yang baru pertama akses kredit bisa lebih
mudah. Pendampingan bagi kelompok tani harus difasilitasi oleh bank atau
Dinas terkait. Biaya pembuatan sertifikat tanah yang mahal harus dibuat lebih
murah agar lebih terjangkau oleh sebagian besar petani. Sosialisasi kredit
program oleh bank dan Dinas terkait dilakukan ebih intensif sehingga semakin
dikenal masyarakat terutama petani dna pedagang saranana produksi dan hasil
pertanian.
2. Perlu penyederhanaan kredit program pertanian agar mempermudah dalam
pelaksanaan, sosialisasi dan monitoring. Di lapang terjadi persaingan dalam
menyalurkan berbagai kredit program tersebut.
3. Kredit program untuk sektor pertanian, khususnya subsektor pangan, harus
mendapat alokasi khusus dan tidak digabung dengan sub sector lainnya.
Demikian pula kredit program pertanian tidak diganung dengan sektor lainnya
karena bank akan lebih mengutamakan sektor non pertanian.
4. Asuransi pertanian diperlukan untuk menjamin kredit program sehingga petani
mendapatkan keringanan bagi petani jika terjadi gagal panen.
5. Linkage program perlu diperluas karena mempermudah akses modal bagi
petani walaupun bunganya relatif lebih tinggi.
6. Pembuatan sertifikat tanah harus dipermudah sebagai syarat utama agunan
dalam pengajuan kredit formal agar semakin banyak petani yang bisa
mengakses krediturkan berbagai kredit program tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Sayaka, Bambang, dkk. 2011. Peningkatan Akses Petani Terhadap Permodalan Di


Daerah Lahan Marjinal. 2011

Hastuti, Endang dan Supadi. 2002. Aksessibilitas Masyarakat terhadap Kelembagaan


Pembiayaan Pertanian di Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial
Ekonomi Pertanian

Anda mungkin juga menyukai