Kelompok 11
Agroteknologi
Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
Jatinangor
2017
PENDAHULUAN
Sektor pertanian saat ini banyak pihak lebih fokus dalam meningkatkan hasil
panen. Padahal dalam meningkatkan produktivitas tentunya membutuhkan modal atau
pembiayaan yang justru kurang mendapat perhatian serius. Pembiayaan usaha tani
sendiri dapat berasal dari pendapatan dari pemasaran produk pertanian, subsidi
pemerintah, atau kredit dari lembaga keuangan. Di Indonesia, aspek pembiayaan
usaha tani ini belum mendapat perhatian serius dari pemerintah dan lembaga
keuangan formal. Petani masih mengandalkan modal sendiri yang terkadang tidak
dapat mencukupi untuk pembiayaan usaha taninya. Penyebab mendasarnya adalah
tidak adanya jaminan harga dan jaminan pembelian komoditas pertanian. Hal ini
memaksa petani terutama petani kecil untuk terus mendapatkan modal dari usaha
mereka bahkan sering kali mereka harus siap merugi. Karena harga komoditas
pertanian yang jatuh di pasaran, atau tidak terserap pasar karena kualitas buruk atau
serangan OPT yang menyebabkan gagal panen.
Modal adalah faktor paling penting dalam produksi pertanian dalam arti
sumbangannya pada nilai produksi. Modal merupakan masalah utama yang selalu
muncul dalam upaya membangun potensi dan kemampuan masyarakat, terutama di
wilayah pedesaan. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah dan sistem yang
dikembangkan sebetulnya telah banyak untuk membantu masyarakat yang
membutuhkan modal dalam usaha taninya. Mulai dari KUT (Kredit Usaha Tani),
Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), dan lain sebagainya. Namun pembiayaan dari
lembaga keuangan formal sering mengganggap sektor pertanian adalah sektor penuh
risiko terkait jaminan harga dan jaminan pembelian komoditas yang tidak stabil.
Selain itu, ketidakpastian usaha akibat serangan OPT, sehingga harga yang jatuh di
pasaran, atau tidak laku di pasar karena kualitas yang buruk adalah beberapa realitas
yang dialami petani. Selain itu, ada juga ketergantungan petani terhadap pemenuhan
modal kerja untuk pembelian sarana produksi dari tengkulak atau pemodal. Ini
menyebabkan penentuan harga jual rendah yang tidak bisa ditolak oleh petani. maka
perlu lebih banyak lembaga-lembaga keuangan mikro pedesaan yang memudahkan
petani mengakses modal untuk membiayai usaha taninya.
ISI
Sumber-Sumber Pembiayaan
Dalam upaya membangun sektor pertanian sebagai landasan perekonomian
dan meningkatkan pendapatan rakyat kecil demi pemerataan hasil pembangunan,
pemerintah Indonesia telah melaksanakan programprogram perkreditan yang
ditujukan kepada petani dan pengusaha kecil sejak Repelita I. Dimulai dengan kredit
Bimas (Bimbingan Massal) pada tahun 1972, muncullah banyak program kredit untuk
komoditas lainnya, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kinerja Permanen
(KMKP), sampai Kredit Usaha Tani (KUT) pada akhir pemerintahan Orde Baru. Ciri
umum kredit program pemerintahan adalah bersuku bunga murah, berjangka waktu
cukup lama, memperoleh dana likuiditas dari bank sentral, dan resiko kreditnya
ditanggung pemerintah. Karena kebijakan kredit pertanian semacam ini lazim
dilaksanakan di negara berkembang selama lebih dari dua dasawarsa, maka sering
disebut sebut sebagai program kredit tradisional atau konvensional.
Lembaga pembiayaan formal lain yang dapat diakses oleh masyarakat adalah
bank komersial unit, BPR, dan koperasi/KUD. KUD merupakan salah satu lembaga
yang dipercaya untuk menyalurkan KUT. Namun kurang dapat berperan dengan baik
karena justru megacaukan sistem pertanian dan harga di daerah ini. Sebagian besar
masyarakat merasa tidak mempunyai kuwajiban harus mengembalikan hutang
tersebut, karena pernyataan dari beberapa pejabat pemerintah. Di Kabupaten Lombok
Timur aksessibilitas masyarakat pada lembaga pembiayaan formal relatif rendah,
justru tertinggi pada lembaga pembiaaan non formal yang berasal dari famili atau
tetangga.
Lembaga pembiayaan non formal yang dapat diakses petani terbesar adalah
famili, tetangga, atau teman. Prosedur dan persyaratan peminjaman pada lembaga ini
pada umumnya relatif sangat cepat dan sederhana, sesuai dengan kemampuan petani.
Sedang lembaga lain yang dapat diakses adalah kios saprotan, pengolah hasil
pertanian, pedagang hasil pertanian, dan pelepas uang. Pada ummnya lembaga-
lembaga non formal lebih menekankan persyaratan kualitatif seperti
kejujuran,kepastian usaha langganan, kepercayaan dan keanggotaaan. Bagi nasabah
baru pada umumnya mendapat rekomendasi dari nasabah lama. Bila mulai
peminjaman seringkali jumlah pinjaman dalam jumlah kecil, den bila sudah dapat
dipercaya berdasarkan pantauan kreditor pinjaman dai sedikit demi sedikit dapat
ditingkatkan.