Anda di halaman 1dari 6

Permasalahan Modal bagi Petani di Indonesia

1. Petani Kekurangan Modal


Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan, pendapatan,
dan pengeluarannya. Hasil produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan
pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang-kadang dalam
waktu yang sangat mendesak seperti kematian, pesta perkawinan dan selamatan lain.
Petani kaya dapat menyimpan hasil panen untuk kemudian dijual sedikit demi sedikit
pada waktu diperlukan sedangkan petani gurem (tidak berlahan dan penguasaan lahan
sempit) masih kesulitan untuk menyimpan hasil sehingga petani kekurangan modal.
Masalah utama dalam penyediaan kredit ke petani gurem adalah adanya jurang
pemisah antara penyaluran dengan penerimaan kredit. Banyak lembaga permodalan
dengan berbagai skim kreditnya ditawarkan ke petani, tetapi pada kenytaannya hanya
dapat diakses oleh kelompok masyarakat tertentu sedangkan petani kecil masih tetap
kesulitan. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan hingga akhir 2012, total kredit
yang disalurkan perbankan mencapai Rp 2.725 triliun. Dari total kredit tersebut yang
disalurkan ke sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) hanya sekitar 19,31
persen atau sekitar Rp 526,4 triliun. Dari Rp 526,4 triliun kredit untuk UMKM ini
yang paling banyak disalurkan ke sektor perdagangan sebesar 47,2 persen, sedangkan
ke sektor pertanian hanya 7,73 persen atau sebesar Rp 40,70 triliun.Untuk sektor
petanian umumnya lari ke perkebunan kelapa sawit dan tebu. Sulitnya petani
mendapatkan akses modal menyebabkan keterpurukan sektor pertanian tak ada
habisnya.
2. Sistem Perbankan yang Kurang peduli kepada Petani
Profesi petani kurang mendapat kepercayaan dari bank untuk mendapatkan
suntikan dana. Hal ini dikarenakan penghasilan petani dinilai terlalu kecil dan tak
punya agunan memadai untuk jaminan pinjaman. Berbagai kredit program yang
dikembangkan untuk usaha pertanian seperti Kredit Ketahanan Pangan-Energi (KKPE), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP),
Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
perkembangannya masih jauh dari harapan.Meskipun pemerintah telah berkali-kali
menyatakan pinjaman KUR bisa tidak pakai agunan, tetapi dalam pelaksanaannya,
bank tidak akan memberikan kredit kepada petani kalau tidak ada agunan. Pihak
perbankan menyakini bahwa sektor pertanian di Indonesia yang belum dikelola
dengan skala industri menjadi salah satu kekhawatiran perbankan dalam memberikan

kredit ke sektor pertanian. Sebab, resiko gagal panen dan biaya produksi semakin
tinggi. Kerumitan masalah administrasi dan agunan menjadi salah satu kendala bagi
petani untuk mengajukan kredit ke perbankan. Selain itu petani juga malas untuk
berurusan dengan sistem administrasi yang terlihat rumit sehingga petani lebih
memilih untuk mendapat pinjaman modal dari rentenir dengan bunga yang tinggi
serta tanpa jaminan.
3. Belum Memiliki Asuransi Pertanian
Dunia asuransi dewasa ini sudah begitu berkembang, namun pada saat yang
sama asuransi masih sedikit sekali menyentuh dunia pertanian terutama di negara kita.
Padahal seperti yang kita ketahui, sektor pertanian secara umum adalah leading sector
di Indonesia. Tercatat lebih dari 50% penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya
di sektor ini, bukan hanya menyediakan bahan pangan saja tetapi sektor pertanian juga
menyediakan lapangan kerja yang cukup besar. Sektor pertanian juga dikenal telah
menyediakan 48 juta lapangan kerja, menyediakan bahan baku industri serta penyedia
bahan baku ekspor baik mentah maupun olahan.
Asuransi pertanian adalah mekanisme finansial yang akan membantu
mengelola kerugian pertanian akibat bencana alam atau iklim yang tidak mendukung
diluar kemampuan petani untuk mengendalikanya. Manajemen risiko dibidang
pertanian adalah masalah yang sangat penting dalam investasi dan keputusan finansial
petani. Program asuransi sangat bergantung pada rasio cost/benefit bagi petani,
pengusaha pertanian dan penyedia jasa asuransi dan yang tidak kalah pentingnya
adalah asuransi yang diberikan didasarkan pada pertimbangan apakah biaya asuransi
tersebut cukup efektif dalam menanggung sebuah risiko.
Secara umum tujuan asuransi untuk sektor pertanian adalah untuk memberikan
proteksi atau penggantian terhadap risiko gagal panen akibat serangan hama, penyakit,
ataupun bencana alam. Sebagai salah satu bentuk usaha yang memiliki resiko
pertanian, sudah selayaknya diperlukan suatu bentuk asuransi usaha yang tepat bagi
pertanian. Resiko-resiko pertanian yang biasa melanda usaha ini adalah yang
berakibat kepada gagal panen yang berasal dari kejadian peubahan iklim yang
ekstrim, serangan hama atau rendahnya penggunaan teknologi pertanian. Jika hal ini
tidak dapat diantisipasi dengan tepat, maka hal ini dapat melemahkan semangat petani
untuk tetap melaksanakan kegiatan pertanian.
Asuransi pertanian ini dilakukan dalam upaya untuk melindungi petani dari
kegagalan panen dan saat terjadi over supply, dalam rangka melindungi simpanan

masyarakat di bank. Banyak petani telah mengetahui program asuransi, namun hampir
tidak ada petani yang membeli polis asuransi dengan alasan:
a

Tidak mampu membayar premi.

Tidak percaya pada perusahaan asuransi.

Repot mengurusnya.

4. Sistem Ijon
Praktek ijon yang dilakukan pedagang/tengkulak hasil pertanian sudah
mengakar dan menjadi tradisi perdagangan hasil pertanian di pedesaan. Praktek ijon
pada komoditas pertanian melibatkan banyak aktor dalam mata rantai yang berperan
sebagai distributor pinjaman sekaligus pengepul hasil pertanian dengan sistem
multilevel. Tengkulak biasanya terbagi menjadi beberapa level yang mencerminkan
tingkat kekuatan modalnya. Tengkulak kabupaten memiliki bawahan beberapa
tengkulak kecamatan. Tengkulak kecamatan memiliki beberapa bawahan tengkulak
desa, begitu seterusnya sampai level dusun. Modal yang dipinjamkan sampai dengan
petani merupakan milik pemodal besar di tingkat kabupaten, sementara tengkulak
kecamatan, desa dan dusun hanya mendistribusikan.
Petani meminjam uang dan mengijonkan tanamannya untuk kebutuhan
konsumtif dan jangka pendek. Budaya konsumerisme yang merebak sampai pelosok
pedesaan juga menjadi faktor pendorong maraknya sistem ijon. Dalam beberapa
kasus, petani meminjam karena ada kebutuhan mendesak, dan tengkulak yang
meminjamkan uang anggap sebagai penolong. Di daerah pedesaan, hubungan petani
dan tengkulak pengijon memang sangat pribadi dan patronase. Antara petani dan
tengkulak merasa sebagai satu keluarga yang saling tolong menolong, dan saling
menjaga kepercayaan. Prosedur pinjaman dengan sistem ijon memang mudah, luwes
dan informal, tidak terikat waktu dan tempat. Hal ini yang menjadi daya tarik petani
untuk memperoleh pinjaman dengan cepat dan praktis. Alasan menggunakan sistem
ijon bukan sekedar derasnya modal yang ingin mengeksploitasi petani, namun juga
karena persoalan budaya dan pola pikir masyarakat yang tidak berkembang.
Solusi terhadap Permasalahan Modal bagi Petani di indonesia
1 Kesadaran Petani yang Berorientasi ke Depan
Hal terpenting dalam pengurangan permasalahan modal ialah kesadaran dari
petani sendiri untuk maju dan berkembang. Petani harus membangkitkan kesadarannya
dan mulai merubah perilakunya. Hidup berhemat, menabung, memanfatkan fasilitas

kredit yang diberikan pemerintah atau lembaga keuangan mikro lain, dan membentuk
wadah bersama petani lain untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi produksi
dan konsumsi. Petani harus pandai memilih pinjaman mana yang paling banyak
memberikan keuntungan dengan bunga yang paling rendah. Petani tidak mesti untuk
meminjam modal pada tengkulak.
Pinjaman modal yang diberikan lembaga keuangan baik dari bank maupun nonbank harus digunakan sesuai kebutuhan dalam proses produksi maupun distribusi dari
usaha yang dijalankannya. Sehingga petani tidak menggunakan pinjaman modal yang
diperoleh hanya untuk membeli kebutuhan lain seperti TV, sepeda motor, kulkas, dan
lainnya. Petani harus giat dalam berwirausaha sehingga petani mendapat nilai tambah
dari komoditas yang dipanen.
2

Mendorong Peran Lembaga Keuangan (Bank Dan Non-bank) Untuk Masuk Sektor
Pertanian Dengan Skema yang Menguntungkan Petani
Lembaga keuangan baik bank maupun non-bank sebaiknya tidak mempersulit
dalam peminjaman kredit hanya karena menganggap sektor pertanian belum berorientasi
skala industri, resiko gagalnya panen, dan biaya produksi semakin meningkat. Pihak
perbankan bisa memberikan pinjaman kredit kepada petani dengan syarat sesuai
kemampuan petani.
Petani mengharapkan kredit dengan waktu pengembalian sesuai dengan waktu
petani panen, sehingga saat jatuh tempo petani memiliki uang untuk membayar modal
yang telah dipinjamnya. Banyak petani yang memiliki lahan belum bersertifikat dan
banyak ditemukan petani tidak memiliki lahan hanya berstatus penggarap sehingga
petani tidak menyukai kredit dengan agunan berupa sertifikat tanah. Untuk mengatasi hal
tersebut, kredit-kredit program baru seperti KKP telah memperlonggar dengan syarat
agunan sertifikat pengurus kelompok tani, petani anggota cukup fotocopy KTP dan
kepastian menggarap lahan.
Perbankan sebaiknya tidak memberikan bunga terlalu tinggi, karena petani
menginginkan bunga sekitar 12%-18% per tahun. Dalam melaksanakan pinjaman,
persyaratan yang diberikan juga tidak perlu terlalu rumit karena petani kadang tidak
mengerti mengenai form aplikasi, pembukaan rekening, surat bukti agunan, dan lainnya.
Selain itu dalam menyalurkan kredit perbankan tidak perlu melibatkan banyak pihak.

Mendorong Penguatan Modal Kolektif Petani


Upaya menaikkan daya tawar petani produsen harus dilakukan dengan
konsolidasi petani produsen dalam satu wadah yang menyatukan gerak ekonomi dalam

setiap rantai pertanian, dari pra produksi sampai pemasaran. Konsolidasi tersebut
dilakukan dengan mengkolektifkan semua proses dalam rantai pertanian, yaitu meliputi
kolektifikasi modal, kolektifikasi produksi, dan kolektifikasi pemasaran. Kolektifikasi
modal adalah upaya membangun modal secara kolektif dan swadaya, dengan gerakan
simpan-pinjam produktif, yaitu anggota kolekte menyimpan tabungan untuk dipinjam
sebagai modal produksi, bukan kebutuhan konsumsi. Hal ini dilakukan agar pemenuhan
modal kerja pada awal masa tanam dapat dipenuhi sendiri, dan mengurangi
ketergantungan kredit dan jeratan hutang tengkulak. Apabila kolektifikasi modal dapat
berkembang baik, maka tidak menutup kemungkinan modal kolektif tersebut tidak hanya
digunakan dalam pemenuhan modal kerja produksi, tetapi juga dalam pemasaran.
4

Mendorong Peran Tengkulak Untuk Membangun Kemitraan Yang Adil dan Peduli
Petani
Tengkulak sebaiknya tidak memanfaatkan modal yang dipinjamkan pada petani
dengan memberikan harga beli yang terlalu rendah dan juga tidak boleh curang dalam hal
timbangan pada hasil panen. Tengkulak harus membangun hubungan yang adil sehingga
posisi tawar petani tidak terlalu rendah. Dalam meminjamkan modal, tengkulak
sebaiknya tidak memberikan bunga yang terlalu tinggi serta tempo dalam

pembayarannya jatuh pada saat petani telah panen.


Merealisasikan Subsidi Pertanian yang Tepat Sasaran dan Bersifat Produktif
Subsidi pertanian sebaiknya digunakan dengan sebaik-baiknya mengingat subsidi
yang diberikan tidak terlalu banyak. Subsidi disalurkan kepada petani kecil yang benarbenar membutuhkan. Subsidi yang didapat harus dimanfaatkan dengan baik sehingga
bersifat produktif. Misalnya dengan LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) atau
yang disebut dengan bank petani dimana petani lebih mudah dalam peminjaman tanpa
administrasi yang begitu rumit. Pendirian LKMA diperoleh dari penjualan lembaran
saham dan petani dapat membeli lembaran saham tersebut.

PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN


Permasalahan Modal Bagi Petani Di Indonesia

OLEH :
Annisa Firdauzi

155040107111008

Ermayanti

155040101111166

Nur Hijjah Tanjung

155040101111170

Prasetiono

155040107111010

JURUSAN SOSIAL EKONOMI


PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

Anda mungkin juga menyukai