Anda di halaman 1dari 3

Nama : Wasilatur Rohmah

Nim : 041911133161
Mata Kuliah : Ekonomi Pertanian
Kelas / Absen : B / 73
Program Studi : S1-Ekonomi Pembangunan

Perkembangan Kredit Pertanian dan Kendala-Kendala yang


Dihadapi Petani dalam Mengakses Kredit

Gilarso (1993) mendefinisikan modal sebagai sarana atau bekal dalam melaksanakan
usaha. Secara ekonomi modal merupakan barang-barang yang bernilai ekonomi yang
digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan ataupun untuk meningkatkan produksi.
Modal sebagai faktor produksi mencakup land capital dan nonland capital. Modal dalam
pertanian juga diartikan sebagai sarana pemupuk kekayaan dan pendapatan. Terdapat
beberapa sumber-sumber pembentukan modal dalam pertanina. Sumber yang pertama adalah
penyisihan dari sebagian hasil produksi yang kemudian digunakan untuk produksi
selanjutnya, misalnya seperti bibit. Sumber kedua yaitu penyisihan dari sebagian pendapatan
bersih yang diperoleh untuk kemudian ditabung dan menginvestasikan kembali dalam bentuk
aset produktif. Sumber modal yang terkahir adalah kredit pertanian, yaitu penggunaan modal
pinjaman dari sumber di luar petani itu sendiri.
Kredit pertanian di Indonesia adalah kredit program dengan bunga yang relatif rendah
dimana enyalurannya menggunakan skim tertentu. Secara umum, program bantuan kredit
atau modal untuk sektor pertanian berasal dari dua sumber, yaitu (1) dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) seperti Kredit Bimas, KUT, Kredit Ketahanan Pangan
(KKP), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), BLM, pengembangan Lembaga
Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA); (2) Project bantuan asing baik yang berupa hubungan
bilateral seperti Second Kennedy Round (SKR) maupun dari kerjasama multilateral seperti
Program Peningkatan Pendapatan Petani/nelayan Kecil (P4K). Perkembangan kredit
pertanian di Indonesia sudah cukup baik meskipun masih ada beberapa kendala. Program
KUR lahir pada 2007 sebagai kelanjutan dari program kredit usaha tani (KUT). KUR khusus
dirancang untuk membantu sektor UMKM dan sektor informal.Seperti yang disampaikan
oleh Menteri Pertanian, Syarul Yasin Limpo tak menampik bahwa akses untuk bisa
mendapatkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi para petani masih banyak kendala dan
tantangan. Syahrul menilai meski mekanisme yang diterapkan pemerintah sudah
mempermudah para petani mengakses KUR, hanya saja tak jarang implementasi di lapangan
tak semulus rencana pemerintah.
Data Kemenko Perekonomian mencatat Realisasi penyaluran KUR sektor pertanian
sebesar 26 persen pada september 2019. Angka tersebut lebih besar dibandingkan tahun lalu
sebesar 23 persen. Realisasi penyaluran KUR hingga September 2019 adalah sebesar Rp
115,9 triliun atau sebesar 82,79 persen. Target penyaluran KUR pada 2019 ini ditargetkan
sebesar Rp 140 triliun, Rp 115,9 triliun ini dimanfaatkan oleh 4,1 juta debitur dengan
outstanding atau pengembalian dana yang bisa dimanfaatkan kembali sebesar Rp 98,06
triliun.
Meskipun perkembangan kredit pertanian di Indonesia dinilai cukup baik, namun
masih ditemukan berapa kendala yang dihadapi dalam mengakses kredit tersebut. Saputra
Dalam penelitian di Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian tentang
aksesibilitas petani kecil pada sumber kredit Saputra menyampaikan bahwa petani kecil atau
miskin memiliki banyak kendala untuk mendapat akses modal ke lembaga formal seperti
bank, di antaranya :
1. Petani tidak memiliki agunan sertifikat tanah.
2. Pembayaran secara bulanan tidak sesuai dengan usahatani yang memberikan siklus
produksi musiman.
3. Petani kecil umumnya belum familier dengan prosedur administrasi yang rumit.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2016, dijelaskan
bahwa ada empat faktor pemasalahan program kredit melalui perbankan di sektor
pertanian, yakni antara lain :
1. Kredit bank tidak sepenuhnya digunakan oleh petani untuk investasi dan modal kerja.
Banyak yang menggunakannya untuk keperluan lain seperti biaya anak sekolah,
hajatan, dan lain-lain. Bank tidak bisa mendeteksi penyalahgunaan dana tersebut.
2. Permasalahan program kredit pertanian lainnya adalah penyaluran kredit yang tidak
tepat sasaran
3. Subsidi bunga yang pembayarannya cenderung lambat dari pemerintah.
4. Selain itu prosedur yang birokratis, tinggi risiko, dan besarnya suku bunga
menyebabkan petani enggan mengajukan kredit. 
Solusi dari permasalah tersebut, antara lain dengan memperbaiki proses bisnis,
ketepatsasaran, keberlanjutan, dan dampak. Pada proses bisnis misalnya pemerintah harus
membantu proses sertifikasi lahan sebagai jaminan mengajukan kredit. Agar penyaluran
kredit tepat sasaran, maka kriteria penerima kredit harus jelas. Salah satu solusinya melalui
Kartu Tani berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK) serta perbaikan penyaluran
kredit saprotan (sarana produksi pertanian) dan sistem logistik. Sementara untuk menjaga
keberlanjutan program, perlu peningkatan profesionalisme SDM terutama analis kredit serta
keterlibatan kelompok tani.
  Selain itu, petani juga harus diberi pemahaman pada para petani agar kredit dipakai
untuk tujuan produktif bukan konsumtif. Program kredit untuk pertanian juga harus
terintegrasi dengan program konsolidasi lahan dan program pemberdayaan/kewirausahaan.
Untuk mewujudkan keempat solusi tersebut, LIPI mendorong sinergitas Badan Layanan
Umum Pembiayaan Pertanian yang dikelola Kementerian Pertanian dengan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) dengan tetap memperhatikan Program Produk Unggulan Desa
(Prudes). Progam tersebut juga harus didukung SDM professional dan infrastruktur yang
memadai. Kinerja program kredit juga harus jelas agar tidak terjadi kredit macet.

Anda mungkin juga menyukai