Anda di halaman 1dari 12

Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut

benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang
besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad
ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial,
sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran" [1]. Tapi, menurut kebanyakan teori juga,
keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil" [2]. Kebanyakan orang
percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis
di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori
keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita
ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah
meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya

pengertian keadilan

Posted on June 9, 2010

Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan
haknya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakuai dan diperlakukan sesuai dengan harkat
dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan
suku, keurunan, dan agamanya. Hakikat keadilan dalam Pancasila, UUD 1945, dan GBHN, kata
adil terdapat pada:

1. Pancasila yaitu sila kedua dan kelima


2. Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea II dan IV
3. GBHN 1999-2004 tentang visi

Keadilan berasal dari kata adil. Menurut W.J.S. Poerwodarminto kata adil berarti tidak berat
sebelah, sepatutnya tidak sewenang-wenang dan tidak memihak.

Pembagian keadilan menurut Aristoteles:

1. Keadilan Komutatif adalah perlakuan terhadap seseorang yang tidak melihat jasa-jasa yang
dilakukannya.
2. Keadilan Distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan jasa-jasa yang telah
dibuatnya.
3. Keadialn Kodrat Alam adalah memberi sesuatusesuai dengan yang diberikan orang lain
kepada kita.
4. Keadilan Konvensional adalah seseorang yang telah menaati segala peraturang perundang-
undangan yang telah diwajibkan.
5. Keadilan Menurut Teori Perbaikan adalah seseorang yang telah berusaha memulihkan nama
baik orang lain yang telah tercemar

Pembagian keadilan menurut Plato:

1. Keadilan Moral, yaitu suatu perbuatan dapat dikatakan adila secara moral apabila telah
mampu memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajibannya.
2. Keadilan Prosedural, yaitu apabila seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil
berdasarkan tata cara yang telah diterapkan.
Thomas Hobbes menjelaskan suatu perbuatan dikatakan adil apabila telah didasarkan
dengan perjanjian yang disepakati.
Notonegoro, menambahkan keadilan legalitas atau keadilan hukum yaitu suatu keadan
dikatakan adil jika sesuai ketentuan hukum yang berla
Pengertian keadilan

Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan
sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua
ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai
kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh
benda atau hasil yang sama. kalau tidak sama, maka masing-masing orang akan menerima
bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran tcrhadap proporsi terscbut berarti ketidak adilan.
Keadilan oleh Plato diproyeksikan pada diri manusia schingga yang dikatakan adil adalah orang
yang mengendalikan difi, dan perasaannya dikendalikan oleh akal.
Lain lagi pendapat Socrates yang mcmproyeksikan keadilan pada pemerintahan. Menurut
Socrates, keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah
sudah melaksanakan tugasnya dengan balk. Mengapa diproycksikan pada pemerintah, scbab
pemerintah adalah pimpinan pokok yang menentukan dinamika inasyarakat.
Kong Hu Cu berpendapat lain : Kcadilan terjadi apabila anak sebagai anak, bila ayah sebagai
ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah mclaksanakan kcwajibannya. Pcndapat ini
terbatas pada nilai-nilai tertentu yang sudah diyakini atau discpaka

macam keadilan

A. Keadilan Legal atau Keadilan Moral


Plato berpendapat bahwa keadilan clan hukum merupakan substansi rohani umum dan
masyarakat yang membuat clan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap
orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Tha man
behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan, Sunoto menyebutnya
keadilan legal.
Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada
bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakt bilamana
setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara balk

menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara


kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas
dan urusan yang tidak cocok baginya.
Ketidakadilan terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan tugas-
tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan ketidakserasian. Misalnya,
seorang pengurus kesehatan mencampuri urusan pendidikan, atau seorang petugas pertanian
mencampuri urusan petugas kehutanan. Bila itu dilakukan maka akan terjadi kekacauan.
B. Keadilan Distributif
Aristoles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan
secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are
treated equally). Sebagai contoh, Ali bekerja 10 tahun dan Budi bekerja 5 tahun. Pada waktu
diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya
bekerja. Andaikata All menerima Rp.100.000,- maka Budi harus menerima. Rp 50.000. Akan
tetapi bila besar hadian Ali dan Budi sama, justru hal tersebut tidak adil.
C. Keadilan Komutatif
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi
Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat.
Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidakadilan dan akan merusak atau
bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Contoh :
dr. Sukartono dipanggil seorang pasien, Yanti namanya. Sebagai seorang dokter is manjalankan
tugasnya dengan baik. Sebaliknya, Yanti menanggapi lebih baik lagi. Alcibatnya, hubungan
mereka berubah dan dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis yang saling mencintai. Bila
dr. Sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja, ada keadilan komutatif. Akan
tetapi, karena dr.Sukartono sudah berkeluarga, hubungan itu merusak situasi rumah tangga,
bahkan akan menghancurkan rumah tangga. Karena dr.Sukartono melalaikan kewajibannya
sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr.Sukartono.

kejujuran

ata jujur adalah kata yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang. Bila seseorang
berhadapan dengan suatu atau fenomena maka seseorang itu akan memperoleh gambaran tentang
sesuatu atau fenomena tersebut. Bila seseorang itu menceritakan informasi tentang gambaran
tersebut kepada orang lain tanpa ada perobahan (sesuai dengan realitasnya ) maka sikap yang
seperti itulah yang disebut dengan jujur.

kecurangan

Pendapat Cormer Tersebut Kurang Lebih Mempunyai Arti Bahwa Kecurangan Merupakan Suatu
Perilaku Dimana Seseorang Mengambil Atau Secara Sengaja Mengambil Manfaat Secara Tidak
Jujur Atas Orang Lain Kejahatan Merupakan Suatu Tindakan

pemulihan nama baik

Terima kasih atas pertanyaan yang Anda ajukan. Pencemaran nama baik sampai kini belum ada
definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang apa yang disebut pencemaran nama baik.
Menurut frase (bahasa Inggris), pencemaran nama baik diartikan sebagai defamation, slander,
libel yang dalam bahasa Indonesia (Indonesian translation) diterjemahkan menjadi pencemaran
nama baik, fitnah (lisan), fitnah (tertulis). Slander adalah oral defamation (fitnah secara lisan)
sedangkan Libel adalah written defamation (fitnah secara tertulis). Dalam bahasa Indonesia
belum ada istilah untuk membedakan antara slander dan libel. Penghinaan atau defamation
secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan
seseorang.

pembalasan

"Teori ini disebut sebagai teori pembalasan, dan dianggap teori tertua dalam teori tujuan
pemidanaan.Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan
yang telah dilakukan. Jadi teori ini berorientasi pada perbuatan dan terjadinya perbuatan itu
sendiri. Teori absolut mencari dasar pemidanaan dengan memandang masa lampau ( melihat apa
yang telah dilakukan oleh pelaku). Menurut teori ini pemidanaan diberikan karena dianggap
sipelaku pantas menerimanya demi kesalahanya sehingga pemidanaan menjadi retribusi yang
adil dari kerugian yang telah diakibatkan."

Definisi Keadilan

Pertanyaan pertama yang muncul dalam pikiran dan mesti dijawab dengan jelah adalah: Apakah
arti keadilan dan kezaliman itu?
Sebelum konsep keadilan ini dijelaskan, seluruh upaya kita akan menjadi sia-sia atau, paling
tidak, sulit bagi kita untuk menghindari ketaksaan

Kata adil digunakan dalam empat hal: Keseimbangan, Persamaan dan


Nondiskriminasi, Pemberian Hak kepada yang Berhak, dan Pelimpahan Wujud Berdasarkan
Tingkat dan Kelayakan.

1. KEADILAN: Keseimbangan.

Adil disini berarti keadaan yang seimbang. Apabila kita melihat suatu sistem atau himpunan
yang memiliki beragam bagian yang dibuat untuk tujuan tertentu, maka mesti ada sejumlah
syarat, entah ukuran yang tepat pada setiap bagian dan pola kaitan antarbagian tersebut. Dengan
terhimpunnya semua syarat itu, himpunan ini bisa bertahan, memberikan pengaruh yang
diharapkan darinya, dan memenuhi tugas yang telah diletakkan untuknya.

Misalnya, setiap masyarakat yang ingin bertahan dan mapan harus berada dalam keadaan
seimbang, taitu segala sesuatu yang ada di dalamnya harus muncul dalam proporsi yang
semestinya, bukan dalam proporsi yang setara. Setiap masyarakat yang seimbang membutuhkan
bermacam-macam aktifitas. Di antaranya adalah aktifitas ekonomi, politik, pendidikan, hukum,
dan kebudayaan. Semua aktifitas itu harus didistribusikan di antara anggota masyarakat dan
setiap anggota harus dimanfaatkan untuk suatu aktifitas secara proporsional.

Keseimbangan sosial mengharuskan kita untuk memerhatikan neraca kebutuhan. Lalu, kita
mengkhususkan untuknya anggaran yang sesuai dan mengeluarkan sumber daya yang
proporsional. Manakal sudah sampai disini, kita menghadapi persoalan kemaslahatan, yakni
kemaslahatan masyarakat yang dengannya kelangsungan hidup keseluruhan dapat terpelihara.
Hal ini lalu mendorong kita untuk memerhatikan tujuan-tujuan umum yang mesti dicapai.
Dengan perspektif ini, bagian hanya menjadi perantara dan tidak memiliki perhitungan khusus.

Demikian pula halnya dengan keseimbangan fisik. Mobil, misalnya, dibuat untuk tujuan tertentu
dan untkmkebutuhan-kebutuhan tertentu pula. Karenanya, apabila mobil itu hendak dibuat
sebagau produk yang seimbang, mobil itu harus dirancang dari berbagai benda mengikuti ukuran
yang proporsional dengan kepentingan dan kebutuhannya. Begitu pula halnya dengan
keseimbangan kimiawi. Setiap senyawa kimiawi memiiki stuktur, pola, dan proporsional tertentu
pada setiap unsur pembentuknya. Apabila hendak meniciptakan senyawa itu, kita mesti menjaga
struktur dan proporsi di atas sehingga tercipta suatu keseimbangan dan simetris. Kalau tidak,
alam tidak dapat tegak dengan baik, tidak pula ada sistem, perhitungan, dan perjalanan tertentu
di dalamnya. Al-Quran menyatakan:

Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). QS. Al-Rahman [55]:
7

Ketika membahas ayat di atas, para ahli tafsir menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh ayat itu
adalah keadaan yang tercipta secara seimbang. Segala obyek dan partikelnya telah diletakkan
dalam ukuran yang semestinya. Tiap-tiap divisi diukur secara sangat cermat.

Dalam suatu hadis, Nabi Saw bersabda: Dengan keadilan, tegaklah langit dan bumi. (Tafsir
Al-Shafi, tentang QS. Al-Rahman [55]: 7)

Lawan keadilan, dalam pengertian ini, adalah ketidakseimbangan, bukan kezaliman.


Banyak orang yang berupaya menjawab semua kemusykilan dalam keadilan Ilahi dari perspektif
keseimbangan dan ketidakseimbangan alam, sebagai ganti dari perspektif keadailan dan
kezaliman. Merteka puas dan berusaha untuk puas dengan pandangan bahwa semua diskriminasi
yang terjadi, baik disertai alasan ataupun tidak, dan semua kejahatan yang ada, sebenarnya
merupakan keharusan dan keniscayaan sistem alam yang menyeluruh. Tidak diragukan lagi
bahwa eksistensi obyek tertentu merupakan keniscayaan bagi keseimbangan alam secara historis.
Tetapi, solusi ini tidak menjawab keberatan seputar terjadinya kezaliman.

Kajian tentang keadilan dalam pengertian keseimbangan, sebagai lawan ketidakseimbangan,


akan muncul jika kita melihat sistem alam sebagai keseluruhan. Sedangkan, kajian tentang
keadilan dalam pengertian sebagai lawan kezaliman dan yang terjadi ketika kita melihat tiap-tiap
individu secara terpisah-pisah adalah pembahasan yang lain lagi. Keadlian dalam pemgertian
pertama menjadikan maslahat umum sebagai persoalan. Adapun keadilan dalam pengertian
kedua menjadikan hak individu sebagai pokok persoalan. Karenanya, orang yang mengajukan
keberatan akan kembali mengatakan, Saya tidak menolak prinsip keseimbangan di seluruh
alam, tapi saya mengatakan bahwa pemeliharaan terhadap keseibangan ini, mau tidak mau, akan
mengakibatkan munculnya pengutamaan tanpa dasar (tarjih bila murajjih). Semua pemgutamaan
ini, dari sudut pandang keseluruhan dapat diterima dan relevan. Tapi, dari sudut pandang
individual, ia tetap tidak dapat diterima dan tidak relevan.

Keadilan dalam pengertian simetri dan proporsi termasuk dalam konsekuensi sifat
Mahabijak dan Maha Mengetahui Allah. Berdasarkan ilmu-Nya yang komprehensif dan
kebijaksanaan-Nya yang meyeluruh. Dia mengetahui bahwa penciptaan sesuatu meniscayakan
proporsi tertentu dari berbagai undur. Dia menyusun unsur-unsur itu untuk menciptakan
bangunan tersebut.

2. KEADILAN: Persamaan dan Nonkontradiksi.

Pengertian keadilan yang kedua ialah persamaan dan penafian terhadap diskriminasi dalam
bentuk apapun. Ketika dikatakan bahwa Si Fulan adalah orang adil, yang dimaksud adalah
bahwa Fulan itu memandang semua individu secara sama rata, tanpa melakukan pembedaan dan
pengutamaan. Dalam pengertian ini, keadilan sama dengan persamaan.

Definisi keadilan seperti itu menuntut penegasan: kalau yang dimaksud dengan keadilan adalah
keniscayaan tidak terjaganya beragam kelayakan yang berbeda-beda dan memandang segala
sesuatu dan semua orang secara sama rata, keadilan sepeeti ini identik dengan kezaliman itu
sendiri. Apabila tindakan memberi secara sama rata dipandang sebagai adil, maka tidak memberi
kepada semua secara sama rata juga mesti dipandang sebagai adil. Anggapan umum bahwa
kezaliman yang dilakukan secara sama rata kepada semua orang adalah keadilan berasal dari
pola pikir semacam ini.

Adapun kalau yang dimaksud dengan keadilan adalah terpeliharanya persamaan pada saat
kelayakan memang sama, pengertian itu dapat diterima. Sebab, keadilan meniscayakan dan
mengimplikasikan persamaan seperti itu. Pengertian adil ini terkait dengan makna keadilan
ketiga [Keadilan: Pemberian Hak kepada Pihak yang Berhak] yang akan dijelaskan nanti.

3. KEADILAN: Pemberian Hak kepada Pihak yang Berhak.

Pengertian ketiga keadilan ialah pemeliharaan hak-hak individu dan pemberian hak kepada
setiap obyek yang layak menerimanya. Dalamartian iniu, kezaliman adalah pelenyapan dan
pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian keadilan ini, yaitu keadilan sosial, adalah
keadilan yang harus dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu benar-benar harus
berjuang untuk menegakkannya. Keadilan dalam pengertian ini bersandar pada dua hal:

Pertama: hak dan prioritas, yaitu adanya berbagai hak dan prioritas sebagai individu bila kita
bandingkan dengan sebagian lain. Misalnya, apabila seseorang mengerjakan sesuatu yang
membutuhkan hasil, ia memiliki prioritas atas buah pekerjaannya. Penyebab timbulnya prioritas
dan preferensi itu adalah pekerjaan dan aktifitasnya sendiri. Demikian pula halnya dengan bayi.
Ketika dilahirkan oleh ibunya, ia memiliki klaim prioritas atas air susu ibunya. Sumber prioritas
itu adalah rencana penciptaan dalam bentuk sistem keluarnya air susu ibu untuk bayi tersebut.

Kedua, karakter khas manusia, yang tercipta dalam bentuk yang dengannya manusia
menggunakan sejumlah ide itibaritertentu sebagai alat kerja, agar dengan perantaraan alat
kerja itu, ia bisa mencapai tujuan-tujuannya. Ide-ide itu akan membentuk serangkaian gagasan
itibari yang penentuannya bisa dengan perantara seharusnya. Ringkasannya, agar tiap
individu masyarakat bisa meraih kebahagiaan pelihara. Pengertian keadilan manusia seperti itu
diakui oleh kesadaran semua orang. Sedangkan titiknya yang berseberangan adalah kezaliman
yang ditolak oleh kesadaran semua orang.

Penyair Mawlawi mengatakan:

Apakah keadilan? Menempatkan sesuatu pada tempatnya


Apakah kezaliman? Menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya
Apakah keadilan? Engkau menyiram air pada pepohonan
Apakah kezaliman? Engkau siramkan air pada duri
Kalau kita letakkan raja di tempat benteng, rusaklah permainan (catur)
Kalau kita letakkan menteri di tempat raja, bodohlah kita

Pengertian keadilan dan kezaliman ini pada satu sisi bersandar pada asas prioritas dan
presedensi, dan pada sisi lain bersandar pada asas watak manusia yang terpaksa menggunakan
sejumlah konvensi untuk merancang apa yangf seharusnya dan apa yang tidak seharusnya
serta mereka-reka baik dan buruk. Pengertian keadilan dan kezaliman yang berpijak pada
kedua asas di atas hanya khusus menyangkut bidang kehidupan manusia dan tidak mencakup
bidang ketuhanan. Karena, sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya, Dia adalah Pemilik
Mutlak, maka Dia pulalah yang secara mutlak memiliki prioritas atasa segala sesuatu. Jika Dia
memperlakukan sesuatu dengan cara tertentu, pada dasarnya Dia telah memperlakukan sesuatu
yang terikat dengan-Nya dalam eksistensi totalnya, dan itu merupakan miliki mutlak-Nya.

Kezaliman dalam pengertian di atas, yakni pelanggaran prioritas dan hak pihak lain, tidak
mungkin terjadi pada Allah. Sebab, kita tidak mungkin dapat menemukan contoh-contoh kasus
terjadinya kezaliman Allah pada makhluk dalam konteks ini.

4. KEADILAN: Pelimpahan Wujud Berdasarkan Tingkat dan Kelayakan.

Pengertian keadilan yang keempat ialah tindakan memelihara kelayakan dalam pelimpahan
wujud, dan tidak mencegah limpahan dan rahmat pada saat kemungkinan untuk mewujudkan dan
menyempurna pada itu telah tersedia. Pada bagian yang akan datang, saya akan menjelaskan
bahwa sistem ontologis ini, tiap-tiap maujud berbeda-beda dalam hal kemampuan menerima
eminasi dan karunia dari Sumber Wujud. Semua maujud, pada tingkatan wujud yang mana pun,
memiliki kelatakan khas terkait kemampuannya menerima eminasi tersebut. Dan mengingat Zat
Ilahi yang Kudus adalah Kesempurnaan Mutlak dan Kebaikan Mutlak yang senantiasa memberi
emanasi, maka Dia pasti akan memberikan wujud atau kesempurnaan wujud kepada setiap
maujud sesuai dengan yang mungkin diterimanya.
Jadi, keadilan Ilahi, menurut rumusan ini, berarti bahwa setiap maujud mengambil wujud dan
kesempurnaan wujudnya sesuai dengan yang layak dn yang mungkin untuknya. Para ahli hikman
(teosof) menyandang sifat adil kepada Allah Swt dalam pengertian yang sedang kita bicarakan
sekarang ini, agar sejalan dengan (ketinggian ) Zat Allah Swt dan mejadi sifat sempurna bagi-
Nya. Begitu juga kezaliman yang mereka nafikan dari Allah Swt sebagai kekurangan bagi-Nya.

Para teosof berkayinan bahwa sesuatu yang maujud tidak memiliki hak atas Allah, sedemikian
sehingga pemberian hak itu merupakan sejenis pelunasan utang atau pelaksanaan kewajiban.
Dan bila sudah dipenuhi, Allah bisa dipandang adil karena Dia telah melaksanakan segenap
kewajiban-Nya terhadap pihak-pihak lain secara cermat. Keadilan Allah sesungguhnya identik
dengan kedermawanan dan kemurahan-Nya. Maksudnya, keadilan-Nya berimplikasi bahwa
kemurahan-Nya tidak tertutup bagi semua maujud semaksimal yang mungkin diraihnya.
Pengertian itulah yang dimaksud oleh Imam Ali as dalam khutbah 214 dalam Nahj Al-
Balaghah, Sesungguhnya, hak itu tidak terdiri di satu pihak. Setiap orang berhak atas piak lain,
pihak lain pun berhak atas pihak pertama. Zat Allah dikecualikan dari kaidah ini karena Dia
memiliki hak terhadap segala sesuatu segala sesuatu tidak memiliki selain tanggungt jawab dan
taklif terhadap Pencipta-Nya. Tidak ada yang memiliki hak apa pun pada Pewujudnya.

Apabila melalui tolok ukur yang paling tepat ini kita bermaksud meniliti berbagai persoalan, kita
harus melihat persoalan yang dipandang sebagai kejahatan atau pengutamaan tanpa
keutamaan atau kezaliman sembari bertanya: Apakah ada suatu maujud yang memiliki
kemungkinan untuk mewujud, tapi (terbukti) tidak mewujud? Apakah ada maujud yang memiliki
kemungkinan menyempurna dalah sistem universal, tapi terbukti tidak memperoleh
kesempurnaan tersebut?apakah setiap maujud telah diberi apa yang seharusnya diberikan
padanya? Maksudnya, apakah Allah menggantikan kebaikan dan rahmat dengan sesuatu yang
bukan kebaikan dan rahmat, melainkan kejahatan dan bencana; bukan kesempurnaan, melainkan
kekurangan?

Dalam Al-Asfar, jilid II, Bab Al-Shuwar Al-Nauiyyah (Forma-Forma Spesifik), dibawah pasal
berjudul Kayfiyat Wujud Al-Kainat Al-Haditsah bi Hudutsi Al-Zaman (Modus Eksistensi
Berbagai Entitas yang Bermula dalam Waktu), Mullah Shadra mengisyaratkan konsep keadilan
Ilahi dan pengertiannya yang sejalan dengan cita rasa para teosof. Dia menuliskan:

Berdasarkan uraian lampau, kau sudah tahu bahwa materi (maddah) dan forma (shurah) adalah
dua kausa bagi (eksistensi) benda-benda fisik. Dari bahasan ihwal interdependensi keduanya,
bisa disimpulkan keniscayaan adanya kausa efisien yang bersifat metafisik. Pada pokok bahasan
tentang gerakan-gerakan universal (al-harakat al-kulliyyah), kita akan membuktikan bahwa tiap
gerakan itu memiliki tujuan akhir yang metafisik. Kausa efisien dan tujuan metafisik itu adalah
dua kausa jauh bagi (eksisitensi) semua benda fisik. Sekiranya kedua kausa jauh itu cukup untuk
mewujudkan benda-benda alam fisik, niscaya semua benda fisik ini akan bersifat kekal, tidak
akan meniada. Lebih dari itu, segenap kesempurnaan yang layak untuknya telah ada sejak
semula, awal wujudnya akan identik dengan akhir wujudnya. Namun, kedua kausa iu tidaklah
mencukupi sehingga ada dua kausa dekat yang juga berefek padanya, yaitu materi dan forma.

Pada satu sisi, terdapat oposisi dalam forma (suatu benda) dan tingkat-tingkat awal forma itu
cenderung punah. Pada sisi lain, tiap materi berpotensi menerima berbagai forma yang
beroposisi. Karenanya, setiap maujud (bendawi) berpotensi menerima dua kelayakan dan
pangkat yang berlawanan; yang satu dari forma dan lainnya dari materi. Forma menuntut
kelanggengan dan pemeliharaan keadaan-saat-ini suatu maujud, sedangkan materi menuntut
perubahan keadaan dan pemakaian forma lain yang berlawanan dengan forma di dalam dirinya.
Mengingat kemustahilan terpenuhinya dua hak atau tuntunan yang beroposisi pada satu maujud
ini secara bersamaan pada satu waktu, maka satu materi tak mungkin mengandung banyak forma
yang berlawanan pada satu waktu. Anugerah Ilahi meniscayakan penyempurnaan materi alam
semestayang merupakan alam paling rendah inidengan perantaraan bermacam-macam
forma. Karena itu, kebijaksanaan Ilahi menetapkan bahwa gerakan itu berlangsung terus-
menerus dalam waktu yang tidak terputus. Dia juga menetapkan materi selalu berubah-ubah dan
berganti tempat seiring perubahan forma sepanjang waktu. Keniscayaan menuntut setiap forma
memiliki saat tertentu yang khusus untuknya, sehingga setiap forma pada gilirannya memperoleh
jatah untuk mewujud.

Kemudian, lantaran materi itu milik bersama, maka setiap forma memiliki hak yang sebanding
atas forman lain (untuk menjelma dalam materi). Jadi, keadilan meniscayakan materi dengan
forma A menjelmakan forma B dan materi dengan forma B mengembalikan (penjelmaan) forma
A. dengan pola seperti ini, suatu materi berpindah-pindah diantara banyak forma secara
bergantian. Oleh sebab itu, demi keadilan dan terjaganya kelayakan serta hak segala sesuatu,
kita menyaksikan keberlangsungan dan kelanggengan (baqa al-anwa), dan bukan individu (al-
afrad).

Pada poin ini, muncul masalah lain, yaitu: bila segala sesuatu berada dalam relasi setara
dihadapan Allah, tiada kelayakan atau hak yang mesti dipelihara supaya ada keadilan yang
berarti pemeliharaan kelayakan atau hak. Satu-satunya keadilan yang mungkin dibenarkan
menyangkut Allah ialah keadilan dalam arti memelihara kesetaraan. Sebab, dari segi kelayakan
dan pangkat, sebagaimana telah saya katakan, tiada perbedaan di sisi Allah. Maka, keadilan
dalam arti memelihara kelayakan atau kepangkatan di sisi Allah sama dengan keadilan dalam arti
memelihara kesetaraan. Oleh karena itu, keadilan Ilahi mengharuskan tiadanya pengutamaan dan
perbedaan di antara sesama makhluk. Padahal, di alam wujud ini, kita menyaksikan timbulnya
begitu banyak perbedaan. Bahkan, alam ini semata-mata berisi perbedaan, keberagaman, dan
kepangkatan.

Jawabannya: pengertian hak dan kelayakan segala sesuatu dalam kaitannya dengan Allah tak lain
dari ungkapan kebutuhan eksistensial atau kebutuhan akan kesempurnaan eksistensial segala
sesuatu kepada-Nya. Setiap maujud yang memiliki kapasitas untuk mewujud atau memiliki salah
satu jenis kesempurnaan pasti akan Allah limpahi dengan wujud atau kesempurnaan itu, karena
Allah Swt Maha Melakukan dan niscaya Memberi karunia. Dengan demikian, keadilan Allah
sebagaimana yang saya kutip dari Mulla Shadra di atastak lain adalah rahmat umum dan
pemberian menyeluruh kepada segala sesuatu yang memiliki kapasitas untuk mewujud atau
kapasitas untuk mendapatkan kesempurnaan tanpa pernah menahan atau mengutamakan yang
satu atas yang lain.

II.9. KONSEP-KONSEP KEADILAN


oleh Abdurrahman Wahid

Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia,
baik secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi
semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan yang mudah
diperoleh secara gamblang itu. Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul
idealisme atas al-Qur'an sebagai sumber pemikiran paling baik tentang keadilan. Kebetulan
persepsi semacam itu sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai
Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber keadilan itu sendiri, lalu
sudah sepantasnya al-Qur'an yang menjadi firmanNya (kalamu 'l-Lah) juga menjadi
sumber pemikiran tentang keadilan?
Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa berpikir
sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks
dan rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat
tinggi tentang keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada itu saja segera diwujudkan
dalam
kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi yang lebih jauh hanya akan
menimbulkan kesulitan belaka? "Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa
dalam wawasan teologis kaum skolastik (mutakallimin) Muslim sejak delapan abad terakhir
ini.

Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan segera
melihat hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi dewasa
ini justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah ketidakadilan dalam ukuran
sangat massif. Demikian juga, persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah paham tentang
kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau
bukan, dan paham-paham besar lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar seperti
Sosialisme, Komunisme, Nasionalisme dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan
serba praktis seperti itu adalah sebuah pelarian yang tidak akan menyelesaikan masalah.
Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah yang disederhanakan, justru akan menambah
parah keadaan. Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan yang
hakiki dan berdayaguna penuh untuk jangka panjang, dan merasa puas dengan
"pemecahan" sementara yang tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.

Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan hak-hak perolehan warga


masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang masyarakat untuk memiliki alat-
alat produksi, pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan menekankan
slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis yang menyederhanakan masalah.
Memang berdayaguna besar dalam jangka pendek, terbukti dengan kemauan mendirikan
negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam dasawarsa terakhir ini. Namun,
"pemecahan masalah" seperti itu ternyata membawa hasil buruk, terbukti dengan "di bongkar
pasangnya" Komunisme dewasa ini oleh para pemimpin mereka sendiri di mana-mana.
Rendahnya produktivitas individual sebagai akibat langsung dari hilangnya kebebasan
individual warga masyarakat yang sudah berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai
Komunis untuk melakukan perombakan total seperti diakibatkan oleh perestroika dan
glasnost di Uni Soviet beberapa waktu lalu.

Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga meninjau masalah
keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan,
bahkan yang paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan dan selanjutnya
dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan kemasyarakatan Islam yang
lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia di masa-masa mendatang.
Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham yang dikembangkan Islam,
juga akan dihadapkan kepada nasib yang sama dengan yang menentang Komunisme, jika
tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya secara baik dan tuntas, bukankah hanya
melalui jalan pintas belaka.

Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang harus dijawab
oleh Islam tentang wawasan keadilan sebagaimana tertuang dalam al-Qur'an. Pertama-tama
akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba pula untuk
menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang dihadapi umat manusia.
Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal pokok dan sosok kasar dari apa yang harus
dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.
PENGERTIAN KEADILAN

Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-
paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan
keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm
dan sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl
dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan
sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).

Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an
dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-
hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan ("Hendaknya kalian
menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan"). Secara keseluruhan,
pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran
bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan
wawasan atau sisi keadilan secara langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi
"warna keadilan" mendapat tempat dalam al-Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap
kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satu
dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.

Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan al-Qur'an agar
manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita,
lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama warga masyarakat,
jujur dalam bersikap, dan seterusnya.
Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan
orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan
itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara
perorangan, melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak
hanya dituntut bagi kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak
hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam
kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-
masing.

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan
oleh al-Qur'an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga
masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat,
seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami
perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai
pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit
itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan
demikian sedikit banyak berwatak straktural.

Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya sebagai
perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka.
Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan
diperhitungkan dalam amal perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab)
kelak. Dengan demikian, wawasan
keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis, sebagaimana
terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu dengan
segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan
ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu Sebab kenyataan penting
juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan
al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna"
dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang
katakanlah legal-formalistik.

PERMASALAHAN

Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam al-Qur'an itu, secara
langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi yang
dimiliki wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk penuangannya yang terasa "sangat
berbalasan" (talionis, kompensatoris). Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa
kalau suatu bentuk tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat adil,
walaupun dalam sisi-sisi yang lain justru wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat
dikemukakan sebagai contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika "berbuat
adil" dengan menjaga ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang
isteri, tanpa mempersoalkan apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah
tindakan yang adil. Dengan demikian, pemenuhan tuntutan keadilan yang seharusnya
berwajah utuh, lalu menjadi sangat parsial dan tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya
belaka.

Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu juga terlihat
dalam sederhananya perumusan apa yang dinamakan keadilan itu sendiri. Wanita yang
diceraikan dalam keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia melahirkan anak
yang dikandungnya, cukup dengan jumlah tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat
terasa watak berbalasan dari "pemenuhan keadilan" yang berbentuk seperti ini, karena ada
"pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi suami) dan memberikan santunan material
(bagi isteri).

Dari pengamatan akan kedua hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi
wawasan keadilan dalam pandangan al-Qur'an itu masih memerlukan pengembangan lebih
jauh, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa keadilan dalam kehidupan itu
sendiri.

Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang
dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok
demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang\ dimiliki al-Qur'an
itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang
tampuk kekuasaan? Dapatkah wawasan keadilan itu menampung kebutuhan akan
persamaan derajat agama dikesampingkan oleh kebutuhan akan hukum yang mencerminkan
kebutuhan akan persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa
melihat asal-usul agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah dikembangkan sikap
untuk membatasi hak milik pribadi demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi
guna tegaknya demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang jawaban-
jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam
al-Qur'an memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat modern di masa datang.

Diperlukan kajian-kajian lebih lanjut tentang peta permasalahan seperti dikemukakan di


atas, namun jelas sekali bahwa visi keadilan yang ada dalam al-Qur'an dewasa ini harus
direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan relevansi berjangka panjang dari wawasan itu
sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi rumit dan memerlukan refleksi filosofis, di
samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk merampungkannya secara kolektif.
Masalahnya, masih punyakah umat Islam kejujuran intelektual seperti itu, atau memang
sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan "kerangka operasionalisasi" serba
terbatas, sebagai pelarian yang manis?

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Anda mungkin juga menyukai