Askep Tuli Fix
Askep Tuli Fix
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Gangguan pendengaran merupakan defisit sensorik yang paling sering terjadi,
mempengaruhi lebih dari 250 juta orang di dunia. Di Indonesia, gangguan
pendengaran dan ketulian saat ini masih merupakan satu masalah yang dihadapi
masyarakat. Penyerapan informasi melalui mendengar adalah sebesar 20%, lebih
besar dibanding melalui membaca yang hanya menyerap 10% informasi.
Ketulian juga bisa dialami ketika anak pada masa pertumbuhan, misalnya pada saat
lahir, anak lahir normal hanya saja menjelang usia 10 tahun ia mengalami sakit
sehingga diberikan obat dengan dosis tinggi sehingga menyerang telinganya.
Jadi ada gangguan pendengaran karena obat-obatan yang memiliki efek samping
menyebabkan ketulian. Seperti pil kina juga mempunyai pengaruh yang besar pada
telinga, maupun aspirin juga terbilang rawan, oleh karena itu harus hati-hati bila
digunakan.
Faktor genetik juga bisa mempengaruhi, misalnya kedua orang tuanya
normal, namun kakek dan neneknya memiliki riwayat pernah mengalami ketulian.
Hal ini bisa berdampak pada anak. Jika anak mengalami tuli saraf, tentu tidak bisa
disembuhkan, hanya bisa di bantu dengan alat bantu dengar semata. Terapi yang
bisa membuat kembali mendengar itu tidak ada kecuali untuk para tuli konduktif
yang disebabkan karena infeksi. Infeksi ini dapat disembuhkan tetapi ketuliannya
belum tentu sembuh.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan tuli konduksi dan sensori
neural.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan diagnostic, komplikasi dan prognosis pada klien dengan tuli
konduktif dan perseptif.
b) Mengetahui proses asuhan keperawatan yang akan dilakukan dari mulai
pengkajian, pemeriksaan fisik dan penunjang, menegakkan diagnosa
keperawatan sampai dengan intervensi keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Gangguan Pendengaran adalah istilah umum yang menandakan ketidak
mampuan dengan rentang keparahan dari ringan sampai berat dan meliputi tuli
sebagian dan kesulitan mendengar (Donna L Wong 2001)
Gangguan Pendengaran adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama
melalui indera pendengarannya ( Somantri 2006 )
Gangguan Pendengaran dibedakan 2 kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang
dengar (low of hearing), dimana deaf adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak
berfungsi. Dan low of hearing adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan tetapi masih berfungsi untuk mendengar, baik
menggunakan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing-aids),
(Dwijosumarto 2006)
Tuli ialah keadaan dimana orang tidak dapat mendengar sama sekali (total
deafness), suatu bentuk yang ekstrim dari kekurangan pendengaran. Istilah yang
sekarang lebih sering digunakan ialah kekurangan pendengaran (hearing-loss)
(Louis,1993).
Kekurangan pendengaran ialah keadaan dimana orang kurang dapat
mendengar dan mengerti perkataan yang didengarnya. Pendengaran normal ialah
keadaan dimana orang tidak hanya dapat mendengar, tetapi juga dapat mengerti
apa yang didengarnya (Anderson,1874)
Jadi kesimpulannya, gangguan pendengaran adalah orang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian maupun
seluruhnya yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian
maupun seluruhnya alat pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
menangkap berbagai rangsangan terutama melalui indera pendengarannya
sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.
Klasifikasi tuli atau gangguan pendengaran berdasarkan organ yang terganggu di
bedakan yaitu :
1. Tuli atau gangguan dengar konduktif adalah gangguan dengar yang
disebabkan kelainan di telinga bagian luar dan atau telinga bagian tengah,
sedangkan saraf pendengarannya masih baik, dapat terjadi pada orang dengan
infeksi telinga tengah, infeksi telinga luar atau adanya serumen di liang
telinga.
2. Tuli atau gangguan dengar saraf atau Sensorineural yaitu gangguan dengar
akibat kerusakan saraf pendengaran, meskipun tidak ada gangguan
di telinga bagian luar atau tengah.
3. Tuli atau gangguan dengar campuran yaitu gangguan yang merupakan
campuran kedua jenis gangguan dengar di atas, selain mengalami kelainan di
telinga bagian luar dan tengah juga mengalami gangguan pada saraf
pendengaran.
2. Proses Keseimbangan
Keseimbangan :
Utricle dan saccule mrp membran antara cochlea dan semicircular
canal, yg berisi selrambut yang menempel pada struktur gelatin tdd:
otolith dan kristal calcium karbonat
Sel rambut bengkok sbg respon thd penarikan gravitasi pada otolith
sbg akibat dari perubahan posisi kepala
Impuls dihasilkan dan dibawa oleh cabang vestibular saraf cranial viii
ke cerebellum, otak tengah dan lobus temporal cerebrum
Cerebellum dan otak tengah menggunakan informasi ini untuk
menjaga keseimbangan
2. ETIOLOGI
Penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh suatu masalah
mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga tengah yang
menghalangi penghantaran suara atau bunyi dengan tepat. Contohnya
disebabkan karena :
a. Kongenital : atresia liang telinga.
b. Benda asing dalam MAE : serumen, corpus alienum.
c. Trauma : dislokasi oseus auditorius, oklusi tuba eustachius.
d. Tumor : osteoma liang telinga.
e. Infeksi : otitis media, otitis eksterna sirkumskripta.
f. Hemotimpanum.
g. Timpanosklerosis.
h. Otosklerosis.
Otosklerosis adalah penyakit primer dari tulang-tulang pendengaran
dan kapsul tulang labirin. Proses ini menghasilkan tulang yang lebih
lunak dan berkurang densitasnya (otospongiosis). Gangguan pendengaran
disebabkan oleh pertumbuhan abnormal dari spongy bone-like tissue
yang menghambat tulang- tulang di telinga tengah, terutama stapes untuk
bergerak dengan baik. Pertumbuhan tulang yang abnormal ini sering
terjadi di depan dari fenestra ovale, yang memisahkan telinga tengah
dengan telinga dalam. Normalnya, stapes yang merupakan tulang terkecil
pada tubuh bergetar secara bebas mengikuti transmisi suara ke telinga
dalam. Ketika tulang ini menjadi terfiksasi pada tulang sekitarnya,
getaran suara akan dihambat menuju ke telinga dalam sehingga fungsi
pendengaran terganggu.
3. MANIFESTASI KLINIS
a. Rasa penuh pada telinga.
b. Pembengkakan pada telinga bagian tengah dan luar, biasanya dikarenakan
proses peradangan.
c. Tinnitus.
d. Apabila bercakap dengan lawan bicara kadang tidak sesuai dengan apa
yang dibicarakan oleh lawan bicaranya.
e. Sering meminta lawan bicaranya untuk mengulang apa yang
disampaikan.
f. Pada anak usia sekolah biasanya terjadi penurunan prestasi.
g. Kurang bersosialisasi karena malu.
4. PATOFISIOLOGIS
Mekanisme terjadinya tuli pada umumnya tergantung pada faktor
penyebab tuli itu sendiri.
Pada tuli konduktif biasanya terjadi akibat kelainan telinga luar, seperti
infeksi serumen, atau kelainan telinga tengah, seperti otitis media atau
otosklerosis. Pada keadaan seperti itu, hantaran suara efisien melalui udara
ke telinga dalam terputus.
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Test pendengaran.
Tujuan dari test pendengaran adalah untuk mengetahui apakah seseorang
mengalami kurang pendengaran, mengetahui sfat ketuliannya yaitu tuli
kanduktif ataukah tuli perseptif, serta juga untuk mengetahui derajat
ketuliannya.
Test pendengaran berupa :
1) Test Bisik.
Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal
penderita dimana kata-kata itu mengandung huruf lunak dan
huruf desis. Lalu diukur berapa meter jarak penderita dengan
pembisiknya sewaktu penderita dapat mengulangi kata-kata yang
dibisikkan dengan benar.
Pada orang normal dapat mendengar80% dari kata-kata yang
dibisikkan pada jarak 6 s/d 10 meter.Apabila kurang dari 5 6 meter
berarti ada kekurang pendengaran. Apabila penderita tak dapat
mendengarkan kata-kata dengan huruf lunak, berarti tuli konduksi.
Sebaliknya bila tak dapat mendengar kata-kata dengan huruf desis
berarti tuli persepsi.
Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat mendengar dites
dengan suara konversasi atau percakapan biasa. Orang normal
dapat mendengar suara konversasi pada jarak 200 meter.
2) Test Garputala.
a) Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk
membandingkan antara hantaran tulang dengan
hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2 macam
tes rinne , yaitu :
(i) Garputala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya tegak lurus pada
planum mastoid pasien (belakang meatus
akustikus eksternus). Setelah pasien tidak
mendengar bunyinya, segera garpu tala kita
pindahkan didepan meatus akustikus eksternus
pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat
mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika
pasien tidak dapat mendengarnya.
(ii) Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya secara tegak lurus
pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan
garputala didepan meatus akustikus eksternus.
Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi
garputala didepan meatus akustikus eksternus
lebih keras dari pada dibelakang meatus
skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne
positif jika pasien mendengar didepan maetus
akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes
rinne negatif jika pasien mendengar didepan
meatus akustikus eksternus lebih lemah atau
lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
a) Normal : tes rinne positif.
b) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat
didengar melalui tulang lebih lama).
c) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
Bila pada posisi II penderita masih
mendengar bunyi getaran garpu tala.
Jika posisi II penderita ragu-ragu
mendengar atau tidak (tes rinne: +/-).
Pseudo negatif: terjadi pada penderita
telinga kanan tuli persepsi pada posisi I
yang mendengar justru telinga kiri yang
normal sehingga mula-mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat
terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien.
Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan
garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala
mengenai rambut pasien dan kaki garputala
mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena
jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat
memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak
mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan
garputala di planum mastoid pasien. Akibatnya
getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat
kita memindahkan garputala kedepan meatus
akustukus eksternus.
b) Test Weber
Tujuan melakukan tes weber adalah untuk
membandingkan hantaran tulang antara kedua
telinga pasien.
Cara kita melakukan tes weber yaitu:
membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita
letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut
pasien, telinga mana yang mendengar atau
mendengar lebih keras. Jika telinga pasien
mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga
maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika
kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau
sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada
lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala
arah oleh tengkorak, sehingga akan terdengar
diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis
pada MAE atau cavum timpani missal:otitis media
purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan
atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar,
biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di
sebelah kanan.
Interpretasi:
i) Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi
di sebelah kanan disebut lateralisai ke kanan,
disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri
sama kerasnya.
ii) Pada lateralisai ke kanan terdapat
kemungkinannya :
Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya
ototis media disebelah kanan.
Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi
gangguannya pada telinga kanan lebih hebat.
Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke
sebelah kiri terganggu, maka di dengar
sebelah kanan.
Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah
kiri lebih hebaaaat dari pada sebelah kanan.
Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah
kana jarang terdapat.
c) Test Schwabach.
Tujuan dari test ini adalah untuk membandingkan
daya transport melalui tulang mastoid antara
pemeriksa (normal) dengan probandus.
Dasar :
Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat
ditimbulkan oleh :
Getaran yang datang melalui udara.
Getaran yang datang melalui tengkorak,
khususnya osteo temporale
Cara Kerja :
Penguji meletakkan pangkal garputala yang
sudah digetarkan pada puncak kepala probandus.
Probandus akan mendengar suara garputala itu
makin lama makin melemah dan akhirnya tidak
mendengar suara garputala lagi. Pada saat
garputala tidak mendengar suara garputala, maka
penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke
puncak kepala orang yang diketahui normal
ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi
pembanding dua kemungkinan dapat terjadi : akan
mendengar suara, atau tidak mendengar suara.
3) Test Audiometri.
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan
untuk mengtahui level pendengaran seseorang.
Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran
seseorang da[at dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi
seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada
suatu bidang yang memerlukan ketajaman
pendngaran.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang
kedap suara, audiologis dan pasien yang kooperatif.
Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah :
a. Audiometri nada murni
Suatu sisitem uji pendengaran dengan
menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan
bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-
500, 1000-2000, 4000-8000 dan dapat diatur
intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan
disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang
ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya.
Masing-masing untuk menukur ketajaman pendengaran
melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada
tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan
didapatkankurva hantaran tulang dan hantaran udara.
Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui
jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang.
Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang
berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29
tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran
untuk nada muri.
Telinga manusia normal mampu mendengar suara
dengan kisaran frekwuensi 20-20.000 Hz. Frekwensi
dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk
memahami percakapan sehari-hari.
6. PENATALAKSANAAN
Dalam beberapa kejadian, gangguan pendengaran konduktif bersifat
sementara. Pengobatan atau bedah dapat membantu tergantung pada
penyebab khusus masalah pendengaran tersebut. Jika penurunan fungsi
pendengaran konduktif disebabkan oleh adanya cairan di telinga tengah atau
kotoran di saluran telinga, maka dilakukan pembuangan cairan dan kotoran
tersebut.
Jika penyebab tidak dapat diatasi, gangguan pendengaran konduktif
juga dapat diatasi dengan alat bantu dengar atau implan telinga tengah.
2. ETIOLOGI
a. Degeneratif : Presbikusis (penurunan pendengaran karena usia lanjut).
b. Kongenital : aplasia.
c. Trauma : fraktur pars petrosa os temporalis, trauma kapitis, pajanan
bising.
d. Radang, bisa karena : syndrom rubella kongenital, sifilis kongenital.
e. Ototoksik, disebabkan karena : aspirin, streptomicin, alkohol.
f. Tumor, contoh pada neuroma akustik, multiple myeloma.
g. Penyakit Susunan saraf pusat : perdarahan otak.
3. MANIFESTASI KLINIK
Pada dasarnya manifestasi klinis pada tuli sensorineural hampir sama dengan
tuli konduktif.
a. Rasa penuh pada telinga.
b. Pembengkakan pada telinga bagian tengah dan luar, biasanya dikarenakan
proses peradangan.
c. Tinnitus.
d. Apabila bercakap dengan lawan bicara kadang tidak sesuai dengan apa
yang dibicarakan oleh lawan bicaranya.
e. Sering meminta lawan bicaranya untuk mengulang apa yang
disampaikan.
f. Pada anak-anak biasanya ditemukan :
1) Pada pasien dengan gangguan pendengaran sejak lahir biasanya akan
mengalami gangguan tumbuh kembang terutama pada proses bicara.
Hal ini disebabkan anak tidak mampu menangkap semua elemen
pembicaraan dengan jelas sehingga anak akan mengalami kesulitan
meniru ucapan dengan betul dan baik. Anak juga akan mengalami
gangguan pola berbicara yang sering rancu dengan masalah
intelegensinya.
2) Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan
mencari petunjuk dari gerak bibir dan ekspresi muka guna mendapat
informasi tambahan apa yang diucapkan.
3) Anak kelihatannya kurang perhatian terhadap apa yang terjadi
disekitarnya, kecuali yang bisa dinikmati dengan melihat. Anak tidak
mudah tertarik dengan pembicaraan atau suara-suara yang ada
disekelilingnya.
4) Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak
dengan gangguan pendengaran akan mengalami penurunan
kemampuan mendengar dan memahami arti kata-kata sehingga
menghambat proses perkembangan bicara.
5) Pada anak usia sekolah biasanya terjadi penurunan prestasi.
6) Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana.
7) Kesulitan menangkap huruf mati atau konsonan.
8) Kurang bersosialisasi karena malu.
4. PATOFISIOLOGI
Pada tuli sensorineural terjadinya gangguan pendengaran adalah
karena terdapat kerusakan pada telinga dalam, saraf pendengaran, dan jalur
saraf pendengaran di otak, sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana
mestinya.
Berdasarkan kerusakan yang timbul pada tuli sensorineural dibagi
dua, yaitu : sensori koklea dan sensori retrokoklea. Pada sensori koklea,
gangguan pendengaran dikarenakan terjadi perubahan struktur koklea dan
nervus pendengaran sehingga terjadi penurunan pendengaran. Sedangkan
pada sensori retrokoklea bisa terjadi karena infeksi, trauma kepala, dan
gangguan pembuluh darah yang menyebabkan kelumpuhan pada saraf
pendengaran.
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah sama dengan yang dilakukan
pada tuli konduksi.
6. PENATALAKSANAAN
Pengobatan untuk penurunan fungsi pendengaran tergantung kepada
penyebabnya.Jika penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh
adanya cairan di telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka
dilakukan pembuangan cairan dan kotoran tersebut.Jika penyebabnya tidak
dapat diatasi, maka digunakan alat bantu dengar atau kadang dilakukan
pencangkokan koklea.
a. Alat bantu dengar.
Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan
dengan batere, yang berfungsi memperkuat dan merubah suara sehingga
komunikasi bisa berjalan dengan lancar.
Alat bantu dengar terdiri dari:
1) Sebuah mikrofon untuk menangkap suara.
2) Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara.
3) Sebuah speaker utnuk menghantarkan suara yang volumenya telah
dinaikkan.
b. Pencangkokan koklea
Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat
yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu
dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan
terdiri dari 4 bagian:
1) Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar
2) Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah
suara yang tertangkap oleh mikrofon
3) Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima
sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang
listrik
4) Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan
mengirimnya ke otak.
F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata :
Yang dikaji adalah : nama, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan,
status, agama, alamat.
Pada usia lanjut biasanya terjadi proses degeneratif serta penurunan
kemampuan fungsi organ telinga. Pada anak-anak biasanya karena kelainan
kongenital.
b. Riwayat Kesehatan :
Keluhan utama
Pasien biasanya mengeluhkan pendengaran berkurang baik ringan
maupun berat, bisa pada satu sisi telinga atau keduanya. Kadang
disertai suara berdenging. Rasa nyeri yang timbul dari dalam telinga.
Riwayat Kesehatan Dahulu
Pernah menderita penyakit rubella dengan penanganan yang kurang
adekuat, pernah mendapatkan trauma kepala, pernah menderita
infeksi telinga dengan penanganan yang kurang adekuat, terjadi
kelainan kongenital seperti atresia liang telinga.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Gangguan pendengaran juga bisa diturunkan oleh gen yang dominan
dan resesif. Kelainan yang diturunkan dapt berupa gangguan
pendengaran yang ringan hingga sampai yang berat.
Pada seorang ibu yang mempunyai kebiasaan minum minuman yang
mengandung alkohol, perokok bisa menimbulkan efek otositoksik
pada janinnya. Riwayat keluarga dengan karsinomagenik.
2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breath) :-
b. B2 (Blood) :-
c. B3 (Brain) : Nyeri dari dalam telinga, tinitus, vertigo, bengkak
pada telinga yang mengalami infeksi. Tumor otak, trauma kepala,
penyakit pada susunan saraf pusat.
d. B4 (Bladder) :-
e. B5 (Bowel) :-
f. B6 (Bone) : Kelainan bentuk yang terjadi pada telinga luar atau
tengah, proses degeratif pada saraf-saraf pendengaran.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Test Weber :
Pada tuli konduksi di dapatkan hasil garputala akan mengalami
lateralisasi pada telinga yang lebih sehat sedangkan pada tuli
sensorineural, telinga yang sakit akan lebih jelas dalam menerima
rangsangan.
b. Test Rinne :
Pada tuli konduksi didapatkan hasil negatif (-) BC > AC. Sedangkan pada
tuli sensorineural didaptkan hasil positif (+) AC > BC.
c. Uji audiometri :
Uji ini untuk menentukan derajat keparahan tuli dari skala frekwensi 250
Hz hingga 8000 Hz.
d. Radiologi (MRI/CT) :
Biasanya didapati kelainan pada koklea seperti hipoplasia atau aplasia.
4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada telinga tengah.
b. Gangguan persepsi sensori berhubungan kerusakan pada telinga tengah.
c. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan proses pendengaran.
d. Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi
5. Intervensi Keperawatan.
a. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada telinga tengah.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Kriteria hasil :
Nyeri yang dirasakan kien berkurang dengan skala 2-0 dari rentang skala
0-10
Intervensi Keperawatan :
1) Ajarkan teknik relaksasi pada klien dengan mengajarkan teknik
relaksasi (misalnya bernafas perlahan, teratur, atau nafas dalam).
2) Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
3) Kaji kembali nyeri yang dirasa oleh klien setelah 30 menit pemberian
analgetik.
4) Beri informasi kepada klien dan keluarga tentang penyebab yeri yang
dirasa.
Rasional :
1) Teknik relaksasi yang benar dan efektif dapat membantu mengurangi
nyeri yang dirasa.
2) Analgetik dapat menekan pusat saraf rasa nyeri, sehingga nyeri dapat
berkurang.
3) Untuk mengetahui keefektifan pemberian analgetik.
4) Informasi yang cukup dapat mengurangi kecemasan yang dirasa oleh
klien dan keluarga.
Intervensi Keperawatan
1) Berikan pengetahuan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan
komplikasi serta resiko cedera yang bisa terjadi.
2) Anjurkan pasien untuk selalu berhati-hati pada saat melakukan kegiatan di
luar rumah.
Rasionalisasi
1) Agar pasien mengerti dan memahami tentang penyakitnya, serta dapat
mencegah resiko cedera.
2) Pada saat pasien berada di lingkungan luar rumah seperti di jalan raya akan
sangat berbahaya karena tidak dapat mendengar bunyi peringatan.
Ringan:
26-40 Pada 30 dB kehilangan pendengaran dapat
melewatkan 25-40% percakapan
Pada 35-40dB kehilangan pendengaran dapat
melewatkan 50% diskusi
Sedang:
41-55
Memahami bahas percakapan tatap muka pada
jarak 3-5 kaki
Cenderung memiliki perbendaharaan kata
yang terbatas, pengaturan kalimat terlambat
atau salah dan produksi bicara tidak sempurna.
Sedang-Berat:
56-70 Tidak mampu membedakan bahasa percakapan
(sulit mendengar) kecuali disuarakan dengan keras
Sangat kesulitan menghadapi diskusi
kelompok atau kelas
Berat:
71-90
(tuli)
d. Manifestasi Klinis
1) Bayi
Kurangnya reflex terkejut atau berkedip terhadap suara keras.
Gagal terbangun oleh suara bising di lingkungan.
Gagal melokalisasi sumber suara pada usia 6 bulan.
Tidak ada suara gumaman atau perubahan nada dalam suara pada usia
7 bulan.
Ketidak acuhan umum terhadap suara.
Kurang berespon terhadap kata yang terucap, gagal mengikuti arahan
verbal.
Berespon terhadap bunyi keras namun tidak berespon terhadap suara.
2) Anak
Menggunakan sikap tubuh daripada verbalisasi untuk
mengungkapkan keinginan terutama setelah berusia 15 bulan
Gagal mengembangkan kejelasan berbahasa pada usia 24 bulan
Kualitas monoton, bicara kurang dimengerti, tidak banyak tertawa
Bermain vocal, memukul kepala, atau menjejakkkan kaki untuk
sensasi getaran
Berteriak atau bersuara keras untuk mengungkapkan rasa senang,
kejengkelan (tantrum), atau kebutuhan
Meminta untuk mengulang pernyataan atau menjawab pertanyaan
dengan tidak tepat
Lebih berespon terhadap ekspresi wajahdan sikap tubuh dibandingkan
penjelasan verbal
Menghindari interaksi social, sering bingung dan tidak senang dalam
situasi tersebut, lebih suka bermain sendiri
Bertanya-tanya, kadang kala dengan ekspresi wajah yang bingung
Kewaspadaan yang penuh rasa curiga, kadang kala ditafsirkan sebagai
paranoid, diikuti dengan kerjasama secara bergantian
Sering keras kepala karena kurangnya pemahaman
Mudah marah pada sesuatu yang membuat mereka tidak paham
Malu, kurang percaya diri dan menarik diri
Sering terlihat bermimpi, dalam dunia mereka sendiri atau sangat
tidak memperhatikan
Masa Kanak-kanak:
a) Kaji kemampuan mendengar anak yang mendapat antibiotic ototoksik
R/ Untuk deteksi dini
b) Tingkatkan kepatuhan terhadap regimen pengobatan untuk otitis
media
R/ Otitis media merupakan penyebab umum kehilangan pendengaran
c) Evaluasi kemampuan mendengar anak yang rentan terkena masalah
telinga kronis atau pernafasan
R/ untuk deteksi dini gangguan pendengaran
d) Kaji sumber bunyi yang berlebihan di lingkungan anak, lakukan
tindakan yang tepat untuk menurunkan tingkat suara. Misal: kecilkan
suara music, gunakan pelindung telinga
R/ Karena terpajan bunyi yang berlebihan adalah penyebab
kehilangan pendengaran sensorineural
e) Berpartisipasi dalam program imunisasi anak
R/ Untuk mencegah penyakit pada masa anak-anak yang dapat
meny6ebabkan kehilangan pendengaran
H. Konsep dan Asuhan Keperawatan Gangguan Pendengaran pada Lansia
1. Konsep Gangguan Pendengaran pada Lansia
a. Definisi
Presbikusis merupakan akibat dari proses degeneratif pada satu atau
beberapa bagian koklea (striae vaskularis, sel rambut, dan membran basi la
ris) maupun serabut saraf auditori. Presbikusis ini juga merupakan hasil
interaksi antara faktor genetik individu dengan faktor eksternal, seperti
pajanan suara berisik terus-menerus, obat ototoksik, dan penyakit sistemik
(Wahyudi, 2000).
b. Etiology
1) Suatu masalah mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga
tengah yang menghalangi penghantaran suara (penurunan fungsi
pendengaran konduktif).
2) Kerusakan pada telinga dalam, saraf pendengaran atau jalur saraf
pendengaran di otak (penurunan fungsi pendengaran sensorineural).
3) Penurunan fungsi pendengaran sensorik bisa merupakan penyakit
keturunan.
4) Trauma akustik (suara yang sangat keras)
5) Infeksi virus pada telinga dalam
6) Obat-obatan tertentu
7) Penyakit Meniere.
c. Klasifikasi
Presbikusis terbagi dua menjadi yaitu:
1) Prebiskus perifer
Prebiskus perifer di mana para lansia hanya mampu untuk
mengidentifikasi kata. Alat Bantu dengar masih cukup bermanfaat, tetapi
harus diperhatikan untuk menghindari berteriak/berbicara terlalu keras
karena dapat membuat ketidaknyamanan di telinga.
2) Prebiskus sentral.
Presbikusis sentral, di mana lansia mengalami gangguan untuk
mengidentifikasi kalimat, sehingga manfaat alat bantu dengar sangat
kurang. Oleh karena itu, percakapan dengan para lansia harus sedikit
lebih lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi. Presbikusis ditambah
dengan situasi ketika percakapan yang berlangsung kurang mendukung
dapat menyebabkan lansia mengalami gangguan komunikasi, (Frank,
2002)
d. Manifestasi Klinis
1) Telinga luar
Penurunan jumlah dan fungsi kelenjar serumen dan kelenjar sebasea
menyebabkan atropi dan pengeringan epitel serta terbentuknya serumen
kering yang menyebabkan impaksi serumen, kekeringan, rasa gatal dan
peningkatan insidensi trauma yang dilakukan oleh diri sendiri.
2) Telinga Tengah
Perubahan artritik sendi telinga tengah pada lanjut usia tidak selalu
menyebabkan tuli konduksi. Otoskelerosis paling sering timbul pada usia
dewasa mudah, tetapi mungkin tidak dapat dideteksi sampai muncul
presbiakusis sekunder.
3) Telinga Dalam
Tuli sensorineural sering terjadi pada lanjut usia. Biasanya hal ini
dapat disertai depresi, pusing, vertigo, nyeri, telinga mendenging,
penurunan kognitif, penurunan status fungsional, dan ketidak mampuan
emosi serta sosial.(Frank, 2002)
2. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Keluhan utama
Hilangnya kemampuan mendengar terhadap bunyi suara atau nada-
nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, dan sulit mengerti kata-kata.
2) Riwayat penyakit sekarang
Klien mengeluh pusing, vertigo, nyeri, telinga mendenging.
3) Riwayat penyakit dahulu
OMK, OMA, Trauma di telingga, aterosklerosis, merokok, factor
genetic.
4) Riwayat psikososial
Stress, tinggal di daerah bising, ketidak mampuan emosi serta sosial.
5) Pemeriksaan fisik
B1: tidak ada masalah
B2: tidak ada masalah
B3: pusing, vertigo, nyeri, tinnitus, rasa nyeri pada telinga.
B4: tidak ada masalah
B5: tidak ada masalah
B6: malaise dan keterbatasan aktivitas.
b. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan persepsi sensori b/d kerusakan pada telinga tengah
2) Cemas b/d kurangnya informasi tentang gangguan pendengaran
(tinnitus)
3) Gangguan istirahat dan tidur b/d gangguan pendengaran
4) Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi
c. Intervensi
1) Gangguan persepsi sensori b/d kerusakan pada telinga tengah
Tujuan dan Kriteria hasil:
Klien memperlihatkan persepsi pendengaran yang baik
Intervensi Keperawatan:
a) Kaji tingkat gangguan persepsi pendengaran klien
R/: untuk mengukur tingkat pendengaran pasien guna intervensi
selanjutnya
b) Berbicara pada bagian sisi telinga yang baik
R/: dapat membantu klien dalam proses komunikasi
c) Anjurkan klien untuk menggunakan alat bantu pendengaran
R/: dapat mempermudah klien untuk mendengar suara
Intervensi Keperawatan:
a) Kaji tingkat kecemasan / rasa takut
R/: untuk mengetahui tingkat kecemasan klien terhadap penyakitnya
guna implementasi selanjutnya
b) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang gangguan yang di alaminya
R/: sebagai tolak ukur untuk member informasi selanjutnya mengenai
penyakit yang di deritanya
c) Berikan penyuluhan tentang tinnitus
R/: informasi/ penyuuhan yang adekuat dapat mengurangi kecemasan
klien terhadap penyakitnya
d) Berikan motivasi pada klien dalam menghadapi penyakitnya
R/: motivasi yang adekuat dapat menurunkan tingkat kecemasan
sekaligus dapat memberikan perhatian pada klien
e) Libatkan keluarga klien dalam proses pengobatan
R/: keluarga klien mempunyai peranan yang penting dalam proses
penyembuhan dan menurunkan kecemasan klien.
Intervensi Keperawatan:
a) Kaji tingkat kesulitan tidur
R/: untuk mengetaui tingkat kesulitan tidur guna intervensi
selanjutnya
b) Kolaborasi dalam pemberian obat penenang/ obat tidur
R/: pemberian obat penenang dapat meningkatkan kualitas tidur klien
c) Anjurkan klien untuk beradaptasi dengan gangguan tersebut
R/: supaya klien terbiasa dengan lingkungannya
Intervensi Keperawatan:
1) Kaji kesulitan mendengar
R/: menentukan derajat gangguan proses pendengaran
2) Kaji seberapa parah gangguan pendengaran yang di alami klien
R/: untuk menentukan implementasi selanjutnya
3) Jika mungkin bantu klien memahami komunikasi nonverbal
R/: untuk mempermudah komunikasi dengan orang lain
4) Anjurkan klien menggunakan alat bantu dengar setiap di perlukan
jika tersedia
R/: memperbaiki proses pendengaran.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Telinga adalah salah satu organ panca indra yang sangat vital bagi kehidupan
manusia. Setiap bagian telinga memiliki peranan penting dalam menyampaikan
informasi bunyi ke otak. Gangguan pendengaran disebabkan oleh rusaknya salah
satu atau beberapa bagian dari telinga luar, tengah atau dalam. Agar dapat
memahami gangguan pendengaran dengan baik, kita perlu memahami anatomi
telinga dan cara kerja pendengaran.
Fisiologi mendengar yaitu, suara atau bunyi masuk ditangkap oleh daun
telinga, diteruskan kedalam liang telinga luar yang menggetarkan gendang telinga.
Getaran diteruskan dan diperkuat tulang-tulang pendengaran yang saling
berhubungan yaitu malleus, incus dan stapes. Stapes menggetarkan tingkap lonjong
(oval window) pada rumah siput yang berhubungan dengan scala vestibuli sehingga
cairan didalamnya yaitu perilimfe ikut bergetar. Getaran dihantarkan ke rongga
dibawahnya yaitu scala media yang berisi endolimfe sepanjang rumah siput.
Didalam scala media terdapat organ corti yang berisi satu baris sel rambut dalam
(Inner Hair Cell) dan tiga baris sel rambut luar (Outer Hair Cell), berfungsi
mengubah energi suara menjadi energi listrik yang akan diterima oleh saraf
pendengaran yang meneruskan rangsangan energi listrik tersebut kepusat sensorik
mendengar di otak sehingga kita bisa mendengar suara atau bunyi tersebut dengan
sadar.
Anderson, Paul D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia : Latihan dan
Panduan Belajar. Jakarta : Buku Kedokteran ECG.
George L, Adams. 1997. BOEIS : Buku ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Buku
Kedokteran ECG.
Iskandar, H. Nurbaiti,dkk 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan. Surabaya : RSUD Dr Soetomo
Tambayong, Jan, dr. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan Edisi I. Jakarta : Buku
Kedokteran ECG.