Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gangguan pendengaran merupakan defisit sensorik yang paling sering terjadi,
mempengaruhi lebih dari 250 juta orang di dunia. Di Indonesia, gangguan
pendengaran dan ketulian saat ini masih merupakan satu masalah yang dihadapi
masyarakat. Penyerapan informasi melalui mendengar adalah sebesar 20%, lebih
besar dibanding melalui membaca yang hanya menyerap 10% informasi.
Ketulian juga bisa dialami ketika anak pada masa pertumbuhan, misalnya pada saat
lahir, anak lahir normal hanya saja menjelang usia 10 tahun ia mengalami sakit
sehingga diberikan obat dengan dosis tinggi sehingga menyerang telinganya.
Jadi ada gangguan pendengaran karena obat-obatan yang memiliki efek samping
menyebabkan ketulian. Seperti pil kina juga mempunyai pengaruh yang besar pada
telinga, maupun aspirin juga terbilang rawan, oleh karena itu harus hati-hati bila
digunakan.
Faktor genetik juga bisa mempengaruhi, misalnya kedua orang tuanya
normal, namun kakek dan neneknya memiliki riwayat pernah mengalami ketulian.
Hal ini bisa berdampak pada anak. Jika anak mengalami tuli saraf, tentu tidak bisa
disembuhkan, hanya bisa di bantu dengan alat bantu dengar semata. Terapi yang
bisa membuat kembali mendengar itu tidak ada kecuali untuk para tuli konduktif
yang disebabkan karena infeksi. Infeksi ini dapat disembuhkan tetapi ketuliannya
belum tentu sembuh.

B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Memahami asuhan keperawatan pada klien dengan tuli konduksi dan sensori
neural.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan diagnostic, komplikasi dan prognosis pada klien dengan tuli
konduktif dan perseptif.
b) Mengetahui proses asuhan keperawatan yang akan dilakukan dari mulai
pengkajian, pemeriksaan fisik dan penunjang, menegakkan diagnosa
keperawatan sampai dengan intervensi keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Gangguan Pendengaran adalah istilah umum yang menandakan ketidak
mampuan dengan rentang keparahan dari ringan sampai berat dan meliputi tuli
sebagian dan kesulitan mendengar (Donna L Wong 2001)
Gangguan Pendengaran adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang
mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama
melalui indera pendengarannya ( Somantri 2006 )
Gangguan Pendengaran dibedakan 2 kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang
dengar (low of hearing), dimana deaf adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak
berfungsi. Dan low of hearing adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan tetapi masih berfungsi untuk mendengar, baik
menggunakan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing-aids),
(Dwijosumarto 2006)
Tuli ialah keadaan dimana orang tidak dapat mendengar sama sekali (total
deafness), suatu bentuk yang ekstrim dari kekurangan pendengaran. Istilah yang
sekarang lebih sering digunakan ialah kekurangan pendengaran (hearing-loss)
(Louis,1993).
Kekurangan pendengaran ialah keadaan dimana orang kurang dapat
mendengar dan mengerti perkataan yang didengarnya. Pendengaran normal ialah
keadaan dimana orang tidak hanya dapat mendengar, tetapi juga dapat mengerti
apa yang didengarnya (Anderson,1874)
Jadi kesimpulannya, gangguan pendengaran adalah orang yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian maupun
seluruhnya yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian
maupun seluruhnya alat pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
menangkap berbagai rangsangan terutama melalui indera pendengarannya
sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.
Klasifikasi tuli atau gangguan pendengaran berdasarkan organ yang terganggu di
bedakan yaitu :
1. Tuli atau gangguan dengar konduktif adalah gangguan dengar yang
disebabkan kelainan di telinga bagian luar dan atau telinga bagian tengah,
sedangkan saraf pendengarannya masih baik, dapat terjadi pada orang dengan
infeksi telinga tengah, infeksi telinga luar atau adanya serumen di liang
telinga.
2. Tuli atau gangguan dengar saraf atau Sensorineural yaitu gangguan dengar
akibat kerusakan saraf pendengaran, meskipun tidak ada gangguan
di telinga bagian luar atau tengah.
3. Tuli atau gangguan dengar campuran yaitu gangguan yang merupakan
campuran kedua jenis gangguan dengar di atas, selain mengalami kelainan di
telinga bagian luar dan tengah juga mengalami gangguan pada saraf
pendengaran.

B. ANATOMI FISIOLOGI TELINGA


Telinga terdiri dari tiga bagian yaitu : telinga luar (auris eksterna), telinga
tengah (auris media) dan telinga dalam (auris interna)

Gb. 1. Anatomi Telinga

1. Telinga luar (auris ekterna)


Terdiri dari :
Aurikel (pinna) terbuat dari kartilago yang dibungkus oleh kulit.
Saluran (canal) terowongan yang masuk ke dalam tulang temporal.
Terdapat kelenjar cerumen (yg berfungsi untuk menjaga gendang telinga
lentur dan menangkap debu.
2. Telinga tengah (auris media)
Terdiri dari :
Terdapat rongga udara dalam tulang temporal.
Gendang telinga, bergetar saat adanya gelombang udara.
Tuba eustachian atau saluran auditory merupakan sambungan dari
telinga tengah ke nasopharing
Gelombang udara disalurkan melalui 3 tulang auditory; malleus, incus,
stapes. Stapes menyalurkan transmisi getar ke telinga dalam yang berisi
cairan pada oval window.
3. Telinga dalam (auris interna)
Terdiri dari :
Telinga dalam merupakan rongga di dalam tulang temporal dikenal
dengan tulang labirint.
Cairan antara tulang dan membran disebut cairan perilimph dan yang
terdapat di dalam membran disebut cairan endolimph
Struktur membran disebut cochlea yang berkaitan dengan
pendengaran dan utricle, saccule, semi circural canal berkaitan
dengan keseimbangan
Cochlea berbentuk seperti rumah siput yang terdiri dari 3 saluran.
Saluran tengah berisi organ reseptor untuk pendengaran yaitu organ
corti (organ spiral) reseptor ini dikenal sebagai sel rambut yang berisi
akhir saraf kranial 8.

C. FISIOLOGI PENDENGARAN DAN KESEIMBANGAN


1. Proses Mendengar
Suara atau bunyi yang masuk ditangkap oleh daun telinga, kemudian
diteruskan kedalam liang telinga luar yang akan menggetarkan gendang telinga.
Getaran ini akan diteruskan dan diperkuat oleh tulang-tulang pendengaran yang
saling berhubungan yaitu malleus, incus dan stapes. Stapes akan menggetarkan
tingkap lonjong (oval window) pada rumah siput yang berhubungan dengan scala
vestibuli sehingga cairan didalamnya yaitu perilimf ikut bergetar. Getaran
tersebut akan dihantarkan ke rongga dibawahnya yaitu scala media yang berisi
endolimf sepanjang rumah siput. Didalam scala media terdapat organ corti yang
berisi satu baris sel rambut dalam (Inner Hair Cell) dan tiga baris sel rambut luar
(Outer Hair Cell) yang berfungsi mengubah energi suara menjadi energi listrik
yang akan diterima oleh saraf pendengaran yang kemudian menyampaikan atau
meneruskan rangsangan energi listrik tersebut kepusat sensorik mendengar di
otak sehingga kita bisa mendengar suara atau bunyi tersebut dengan sadar.

2. Proses Keseimbangan
Keseimbangan :
Utricle dan saccule mrp membran antara cochlea dan semicircular
canal, yg berisi selrambut yang menempel pada struktur gelatin tdd:
otolith dan kristal calcium karbonat
Sel rambut bengkok sbg respon thd penarikan gravitasi pada otolith
sbg akibat dari perubahan posisi kepala
Impuls dihasilkan dan dibawa oleh cabang vestibular saraf cranial viii
ke cerebellum, otak tengah dan lobus temporal cerebrum
Cerebellum dan otak tengah menggunakan informasi ini untuk
menjaga keseimbangan

D. KONSEP TULI KONDUKTIF


1. DEFINISI
Gangguan pendengaran konduktif adalah gangguan pendengaran
yang disebabkan oleh suatu masalah mekanis di dalam saluran telinga atau di
dalam telinga tengah yang menghalangi penghantaran suara atau bunyi
dengan tepat. Gangguan pendengaran konduktif biasanya pada tingkat ringan
atau menengah, pada rentang 25 hingga 65 desibel.

2. ETIOLOGI
Penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh suatu masalah
mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga tengah yang
menghalangi penghantaran suara atau bunyi dengan tepat. Contohnya
disebabkan karena :
a. Kongenital : atresia liang telinga.
b. Benda asing dalam MAE : serumen, corpus alienum.
c. Trauma : dislokasi oseus auditorius, oklusi tuba eustachius.
d. Tumor : osteoma liang telinga.
e. Infeksi : otitis media, otitis eksterna sirkumskripta.
f. Hemotimpanum.
g. Timpanosklerosis.
h. Otosklerosis.
Otosklerosis adalah penyakit primer dari tulang-tulang pendengaran
dan kapsul tulang labirin. Proses ini menghasilkan tulang yang lebih
lunak dan berkurang densitasnya (otospongiosis). Gangguan pendengaran
disebabkan oleh pertumbuhan abnormal dari spongy bone-like tissue
yang menghambat tulang- tulang di telinga tengah, terutama stapes untuk
bergerak dengan baik. Pertumbuhan tulang yang abnormal ini sering
terjadi di depan dari fenestra ovale, yang memisahkan telinga tengah
dengan telinga dalam. Normalnya, stapes yang merupakan tulang terkecil
pada tubuh bergetar secara bebas mengikuti transmisi suara ke telinga
dalam. Ketika tulang ini menjadi terfiksasi pada tulang sekitarnya,
getaran suara akan dihambat menuju ke telinga dalam sehingga fungsi
pendengaran terganggu.

3. MANIFESTASI KLINIS
a. Rasa penuh pada telinga.
b. Pembengkakan pada telinga bagian tengah dan luar, biasanya dikarenakan
proses peradangan.
c. Tinnitus.
d. Apabila bercakap dengan lawan bicara kadang tidak sesuai dengan apa
yang dibicarakan oleh lawan bicaranya.
e. Sering meminta lawan bicaranya untuk mengulang apa yang
disampaikan.
f. Pada anak usia sekolah biasanya terjadi penurunan prestasi.
g. Kurang bersosialisasi karena malu.

4. PATOFISIOLOGIS
Mekanisme terjadinya tuli pada umumnya tergantung pada faktor
penyebab tuli itu sendiri.
Pada tuli konduktif biasanya terjadi akibat kelainan telinga luar, seperti
infeksi serumen, atau kelainan telinga tengah, seperti otitis media atau
otosklerosis. Pada keadaan seperti itu, hantaran suara efisien melalui udara
ke telinga dalam terputus.

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Test pendengaran.
Tujuan dari test pendengaran adalah untuk mengetahui apakah seseorang
mengalami kurang pendengaran, mengetahui sfat ketuliannya yaitu tuli
kanduktif ataukah tuli perseptif, serta juga untuk mengetahui derajat
ketuliannya.
Test pendengaran berupa :
1) Test Bisik.
Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal
penderita dimana kata-kata itu mengandung huruf lunak dan
huruf desis. Lalu diukur berapa meter jarak penderita dengan
pembisiknya sewaktu penderita dapat mengulangi kata-kata yang
dibisikkan dengan benar.
Pada orang normal dapat mendengar80% dari kata-kata yang
dibisikkan pada jarak 6 s/d 10 meter.Apabila kurang dari 5 6 meter
berarti ada kekurang pendengaran. Apabila penderita tak dapat
mendengarkan kata-kata dengan huruf lunak, berarti tuli konduksi.
Sebaliknya bila tak dapat mendengar kata-kata dengan huruf desis
berarti tuli persepsi.
Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat mendengar dites
dengan suara konversasi atau percakapan biasa. Orang normal
dapat mendengar suara konversasi pada jarak 200 meter.
2) Test Garputala.
a) Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk
membandingkan antara hantaran tulang dengan
hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2 macam
tes rinne , yaitu :
(i) Garputala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya tegak lurus pada
planum mastoid pasien (belakang meatus
akustikus eksternus). Setelah pasien tidak
mendengar bunyinya, segera garpu tala kita
pindahkan didepan meatus akustikus eksternus
pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat
mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika
pasien tidak dapat mendengarnya.
(ii) Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya secara tegak lurus
pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan
garputala didepan meatus akustikus eksternus.
Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi
garputala didepan meatus akustikus eksternus
lebih keras dari pada dibelakang meatus
skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne
positif jika pasien mendengar didepan maetus
akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes
rinne negatif jika pasien mendengar didepan
meatus akustikus eksternus lebih lemah atau
lebih keras dibelakang.
Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne :
a) Normal : tes rinne positif.
b) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat
didengar melalui tulang lebih lama).
c) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
Bila pada posisi II penderita masih
mendengar bunyi getaran garpu tala.
Jika posisi II penderita ragu-ragu
mendengar atau tidak (tes rinne: +/-).
Pseudo negatif: terjadi pada penderita
telinga kanan tuli persepsi pada posisi I
yang mendengar justru telinga kiri yang
normal sehingga mula-mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat
terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien.
Kesalahan dari pemeriksa misalnya meletakkan
garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala
mengenai rambut pasien dan kaki garputala
mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena
jaringan lemak planum mastoid pasien tebal.
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat
memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak
mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan
garputala di planum mastoid pasien. Akibatnya
getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat
kita memindahkan garputala kedepan meatus
akustukus eksternus.
b) Test Weber
Tujuan melakukan tes weber adalah untuk
membandingkan hantaran tulang antara kedua
telinga pasien.
Cara kita melakukan tes weber yaitu:
membunyikan garputala 512 Hz lalu tangkainya kita
letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut
pasien, telinga mana yang mendengar atau
mendengar lebih keras. Jika telinga pasien
mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga
maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika
kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau
sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada
lateralisasi.
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala
arah oleh tengkorak, sehingga akan terdengar
diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis
pada MAE atau cavum timpani missal:otitis media
purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan
atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar,
biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di
sebelah kanan.
Interpretasi:
i) Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi
di sebelah kanan disebut lateralisai ke kanan,
disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri
sama kerasnya.
ii) Pada lateralisai ke kanan terdapat
kemungkinannya :
Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya
ototis media disebelah kanan.
Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi
gangguannya pada telinga kanan lebih hebat.
Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke
sebelah kiri terganggu, maka di dengar
sebelah kanan.
Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah
kiri lebih hebaaaat dari pada sebelah kanan.
Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah
kana jarang terdapat.
c) Test Schwabach.
Tujuan dari test ini adalah untuk membandingkan
daya transport melalui tulang mastoid antara
pemeriksa (normal) dengan probandus.
Dasar :
Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat
ditimbulkan oleh :
Getaran yang datang melalui udara.
Getaran yang datang melalui tengkorak,
khususnya osteo temporale
Cara Kerja :
Penguji meletakkan pangkal garputala yang
sudah digetarkan pada puncak kepala probandus.
Probandus akan mendengar suara garputala itu
makin lama makin melemah dan akhirnya tidak
mendengar suara garputala lagi. Pada saat
garputala tidak mendengar suara garputala, maka
penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke
puncak kepala orang yang diketahui normal
ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi
pembanding dua kemungkinan dapat terjadi : akan
mendengar suara, atau tidak mendengar suara.

3) Test Audiometri.
Audiometri adalah subuah alat yang digunakan
untuk mengtahui level pendengaran seseorang.
Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan
audiometri, maka derajat ketajaman pendengaran
seseorang da[at dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi
seseorang yang merasa memiliki gangguan
pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada
suatu bidang yang memerlukan ketajaman
pendngaran.
Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang
kedap suara, audiologis dan pasien yang kooperatif.
Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah :
a. Audiometri nada murni
Suatu sisitem uji pendengaran dengan
menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan
bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-
500, 1000-2000, 4000-8000 dan dapat diatur
intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan
disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang
ke telinga orang yang diperiksa pendengarannya.
Masing-masing untuk menukur ketajaman pendengaran
melalui hantaran udara dan hantaran tulang pada
tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan
didapatkankurva hantaran tulang dan hantaran udara.
Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui
jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang.
Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang
berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29
tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran
untuk nada muri.
Telinga manusia normal mampu mendengar suara
dengan kisaran frekwuensi 20-20.000 Hz. Frekwensi
dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk
memahami percakapan sehari-hari.

Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan


pendengaran.
Kehilangan Klasifikasi
dalam
Desibel
0-15 Pendengaran normal
>15-25 Kehilangan pendengaran kecil
>25-40 Kehilangan pendengaran ringan
>40-55 Kehilangan pendengaran sedang
>55-70 Kehilangan pendenngaran sedang
sampai berat
>70-90 Kehilangan pendengaran berat
>90 Kehilangan pendengaran berat sekali

Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang


pendengaran psien pada stimulus nada murni. Nilai
ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda.
Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik
berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala decibel,
suara dipresentasikan dengan aerphon (air kondution)
dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi
air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL.
Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone
conduction menggambarkan SNHL.
b. Audiometri tutur.
Audiometri tutur adalah system uji pendengaran
yang menggunakan kata-kata terpilih yang telah
dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah
dikaliberasi, untuk mrngukur beberapa aspek
kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur
hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya
disni sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar
kata terpuilih yang dituturkan pada penderita. Kata-
kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh
pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan dengan
audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon
kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya, atau
kata-kata rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau
pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan
disalurkan melalui audiometer tutur. Penderita diminta
untuk menirukan dengan jelas setip kata yang
didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin
tidak jelas karena intensitasnya makin dilemahkan,
pendengar diminta untuk mnebaknya. Pemeriksa
mencatata presentase kata-kata yang ditirukan dengan
benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini
dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya
adalah intensitas suara kata-kata yang didengar,
sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata
yanag diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur
dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran
yaitu :
1) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50%
dari sejumlah kata-kata yang dituturkan pada suatu
intensitas minimal dengan benar, yang lazimnya
disebut persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan
dengan satuan de-sibel (dB).
2) Kemampuan maksimal perndengaran untuk
mendiskriminasikan tiap satuan bunyi (fonem)
dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan
dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan
pengukuran NDT itu adalah persentasi maksimal
kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan
intensitas suara barapa saja. Dengan demikian,
berbeda dengan audiometri nada murni pada
audiometri tutur intensitas pengukuran
pendengaran tidak saja pada tingkat nilai ambang
(NPT), tetapi juga jauh diatasnya.
3) Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh
mendengar kata-kata yang jelas artinya pada
intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai 50%
tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat.
Kriteria orang tuli :
Ringan masih bisa mendengar pada intensitas
20-40 dB.
Sedang masih bisa mendengar pada intensitas
40-60 dB.
Berat sudah tidak dapat mendengar pada
intensitas 60-80 dB.
Berat sekali tidak dapat mendengar pada
intensitas >80 dB.
Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan
komunikasi, apabila seseorang masih memiliki sisa
pendengaran diharapkan dengan bantuan alat bantu
dengar (ABD/hearing AID) suara yang ada
diamplifikasi, dikeraskan oleh ABD sehingga bisa
terdengar. Prinsipnya semua tes pendengaran agar
akurat hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara
minimal sunyi. Karena kita memberikan tes paa
frekuensi tertetu dengan intensitas lemah, kalau ada
gangguan suara pasti akan mengganggu penilaian.
Pada audiometri tutur, memang kata-kata tertentu
dengan vocal dan konsonan tertentu yang
dipaparkan kependrita. Intensitas pad pemerriksaan
audiomatri bisa dimulai dari 20 dB bila tidak
mendengar 40 dB dan seterusnya, bila mendengar
intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti pendengaran
baik.
Tes sebelum dilakukan audiometri tentu saja
perlu pemeriksaan telinga : apakah congok atau
tidak (ada cairan dalam telinga), apakah ada
kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang
gendang telinga, untuk menentukan penyabab
kurang pendengaran.
Manfaat audiometri
Untuk kedokteran klinik, khususnya penyakit
telinga.
Untuk kedokteran klinik Kehakiman,tuntutan
ganti rugi.
Untuk kedokteran klinik Pencegahan, deteksi
ktulian pada anak-anak.
Tujuan pemeriksaan audiometri
Ada empat tujuan (Davis, 1978) :
Mediagnostik penyakit telinga
Mengukur kemampuan pendengaran dalam
menagkap percakpan sehari-hari, atau dengan
kata lain validitas sosial pendengaran : untuk
tugas dan pekerjaan, apakah butuh alat pembantu
mendengar atau pndidikan khusus, ganti rugi
(misalnya dalam bidang kedokteran kehkiman dan
asuransi).
Skrining anak balita dan SD.
Memonitor untuk pekerja-pekerja ditempat bising.
4) Test Timpanometri.
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang
mengukur impedansi (tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah.
Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan penyebab dari
tuli konduktif.
Prosedur in tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita dan
biasanya digunakan pada anak-anak.Timpanometer terdiri dari sebuah
mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan
suara dan dipasang di saluran telinga. Dengan alat ini bisa diketahui
berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa banyak suara
yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.
Hasil pemeriksaan menunjukkan apakah masalahnya berupa:
a) Penyumbatan tuba eustakius (saluran yang menghubungkan
telinga tengah dengan hidung bagian belakang ).
b) Cairan di dalam telinga tengah.
c) Kelainan pada rantai ketiga tulang pendengraan yang
menghantarkan suara melaui telinga tengah.

Test pendengaran yang dilakukan pada anak-anak meliputi :


1) ABR (Auditory Brainstem Respone).
Pemeriksaan untuk mengetahui fungsi jalur pendengaran mulai dari
ujung saraf pendengaran sampai dengan batang otak, tes ini dilakukan
bila ada kecurigaan gangguan pendengaran pada anak yang belum
dapat kooperatif.
2) BOA (Behaviour Observation Audiometry).
Pemeriksaan untuk mengetahui ambang pendengaran minimal dari
salah satu telinga pada anak, pada pemeriksaan ini pemeriksa
mengobservasi perubahan perilaku pada anak saat diperdengarkan
bunyi.
3) VRA (Visual Reinforcement Audiometry).
Prinsip dasar tes VRA adalah gerakan menolehnya kepala terhadap
suara dengan frekuensi spesifik disertai hadiah/penghargaan secara
visual dengan mainan atau lampu yang berkedip. Anak diusahakan
tertarik ke arah bunyi dengan memberikan reinforce secara visual
apabila anak menoleh ke arah sumber bunyi. Frekuensi dan intensitas
diubah-ubah untuk mendapatkan ambang pada beberapa frekuensi.
Gerakan kepala anak menoleh ke arah sumber bunyi dikenal dengan
refleks orientasi. Apabila bunyi diberikan berulang kali refleks
orientasi akan mengalami habituasi yang membuat anak kurang
memberikan respons . Diperlukan selingan tes dengan memberikan
stimulus bunyi dari mainan-mainan yang menarik untuk merangsang
anak menoleh ke arah sumber bunyi. Hubungan antara stimulus visual
dan bunyi juga akan menimbulkan refleks orientasi. Apabila anak
cukup tertarik akan stimulus visual dan anak mampu menghubungkan
antara stimulus bunyi dan stimulus visual maka terjadi
mekanisme conditioning. Pada anak yang usianya lebih besar dapat
dengan cara memberikan sanjungan setiap kali anak memberikan
respons misalnya dengan acungan jempol, tepuk tangan atau menelus
tangan/pipi. Pengalaman dalam klinik audiologi pediatri, metode
sanjungan dengan elusan dipipi sangat bermanfaat pada kasus dengan
kelainan ganda yang membuat anak merasa senang bahwa dia sudah
melakukan tugasnya dengan benar.
b. MRI/CT-Scan.
Dilakukan untuk melihat apakah terjadi malformasi pada telinga bagian
dalam juga untuk melihat integritas nervus koklearis. Dan biasanya
ditemukan defisiensi nervus koklearis baik pada satu sisi telinga atau
keduanya.

6. PENATALAKSANAAN
Dalam beberapa kejadian, gangguan pendengaran konduktif bersifat
sementara. Pengobatan atau bedah dapat membantu tergantung pada
penyebab khusus masalah pendengaran tersebut. Jika penurunan fungsi
pendengaran konduktif disebabkan oleh adanya cairan di telinga tengah atau
kotoran di saluran telinga, maka dilakukan pembuangan cairan dan kotoran
tersebut.
Jika penyebab tidak dapat diatasi, gangguan pendengaran konduktif
juga dapat diatasi dengan alat bantu dengar atau implan telinga tengah.

E. KONSEP TULI SENSORINEURAL


1. DEFINISI
Gangguan pendengaran sensorineural yaitu : kerusakan pada telinga dalam,
saraf pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak. Gangguan
pendengaran sensorineural disebabkan oleh hilangnya atau rusaknya sel saraf
(sel rambut) dalam rumah siput dan biasanya bersifat permanen. Perlu
diketahui bahwa untuk mendengar dan mengerti suatu bunyi diperlukan suatu
proses penghantaran, pengolahan di telinga dalam, dan dilanjutkan dengan
interprestasi bunyi (di otak). Kadang dijumpai suatu kasus fungsi
penghantaran dan pengolahan baik, namun karena ada gangguan di otak,
maka bunyi tidak dapat diartikan.

2. ETIOLOGI
a. Degeneratif : Presbikusis (penurunan pendengaran karena usia lanjut).
b. Kongenital : aplasia.
c. Trauma : fraktur pars petrosa os temporalis, trauma kapitis, pajanan
bising.
d. Radang, bisa karena : syndrom rubella kongenital, sifilis kongenital.
e. Ototoksik, disebabkan karena : aspirin, streptomicin, alkohol.
f. Tumor, contoh pada neuroma akustik, multiple myeloma.
g. Penyakit Susunan saraf pusat : perdarahan otak.

3. MANIFESTASI KLINIK
Pada dasarnya manifestasi klinis pada tuli sensorineural hampir sama dengan
tuli konduktif.
a. Rasa penuh pada telinga.
b. Pembengkakan pada telinga bagian tengah dan luar, biasanya dikarenakan
proses peradangan.
c. Tinnitus.
d. Apabila bercakap dengan lawan bicara kadang tidak sesuai dengan apa
yang dibicarakan oleh lawan bicaranya.
e. Sering meminta lawan bicaranya untuk mengulang apa yang
disampaikan.
f. Pada anak-anak biasanya ditemukan :
1) Pada pasien dengan gangguan pendengaran sejak lahir biasanya akan
mengalami gangguan tumbuh kembang terutama pada proses bicara.
Hal ini disebabkan anak tidak mampu menangkap semua elemen
pembicaraan dengan jelas sehingga anak akan mengalami kesulitan
meniru ucapan dengan betul dan baik. Anak juga akan mengalami
gangguan pola berbicara yang sering rancu dengan masalah
intelegensinya.
2) Cenderung berusaha melihat muka lawan bicara dengan tujuan
mencari petunjuk dari gerak bibir dan ekspresi muka guna mendapat
informasi tambahan apa yang diucapkan.
3) Anak kelihatannya kurang perhatian terhadap apa yang terjadi
disekitarnya, kecuali yang bisa dinikmati dengan melihat. Anak tidak
mudah tertarik dengan pembicaraan atau suara-suara yang ada
disekelilingnya.
4) Kemampuan berbicara dan pemahaman kata-kata terbatas. Anak
dengan gangguan pendengaran akan mengalami penurunan
kemampuan mendengar dan memahami arti kata-kata sehingga
menghambat proses perkembangan bicara.
5) Pada anak usia sekolah biasanya terjadi penurunan prestasi.
6) Jawaban yang salah dengan pertanyaan atau perintah sederhana.
7) Kesulitan menangkap huruf mati atau konsonan.
8) Kurang bersosialisasi karena malu.

4. PATOFISIOLOGI
Pada tuli sensorineural terjadinya gangguan pendengaran adalah
karena terdapat kerusakan pada telinga dalam, saraf pendengaran, dan jalur
saraf pendengaran di otak, sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana
mestinya.
Berdasarkan kerusakan yang timbul pada tuli sensorineural dibagi
dua, yaitu : sensori koklea dan sensori retrokoklea. Pada sensori koklea,
gangguan pendengaran dikarenakan terjadi perubahan struktur koklea dan
nervus pendengaran sehingga terjadi penurunan pendengaran. Sedangkan
pada sensori retrokoklea bisa terjadi karena infeksi, trauma kepala, dan
gangguan pembuluh darah yang menyebabkan kelumpuhan pada saraf
pendengaran.

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan adalah sama dengan yang dilakukan
pada tuli konduksi.
6. PENATALAKSANAAN
Pengobatan untuk penurunan fungsi pendengaran tergantung kepada
penyebabnya.Jika penurunan fungsi pendengaran konduktif disebabkan oleh
adanya cairan di telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka
dilakukan pembuangan cairan dan kotoran tersebut.Jika penyebabnya tidak
dapat diatasi, maka digunakan alat bantu dengar atau kadang dilakukan
pencangkokan koklea.
a. Alat bantu dengar.
Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan
dengan batere, yang berfungsi memperkuat dan merubah suara sehingga
komunikasi bisa berjalan dengan lancar.
Alat bantu dengar terdiri dari:
1) Sebuah mikrofon untuk menangkap suara.
2) Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara.
3) Sebuah speaker utnuk menghantarkan suara yang volumenya telah
dinaikkan.

Berdasarkan hasil tes fungsi pendengaran, seorang audiologis bisa


menentukan apakah penderita sudah memerlukan alat bantu dengar atau
belum (audiologis adalah seorang profesional kesehatan yang ahli dalam
mengenali dan menentukan beratnya gangguan fungsi pendengaran). Alat
bantu dengar sangat membantu proses pendengaran dan pemahaman
percakapan pada penderita penurunan fungsi pendengaran sensorineural.
Dalam menentukan suatu alat bantu dengar, seorang audiologis biasanya
akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
Kemampuan mendengar penderita.
Aktivitas di rumah maupun di tempat bekerja.
Keterbatasan fisik.
Keadaan medis.
Penampilan.
Harga.
Jenis alat bantu dengar :
1) Alat Bantu Dengar Hantaran Udara.
Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran
telinga dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil
yang terbuka.
2) Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Badan.
Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang
paling kuat. Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan
dihubungkan dengan sebuah kabel ke alat yang dipasang di saluran
telinga.Alat ini seringkali dipakai oleh bayi dan anak-anak karena
pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak.
3) Alat Bantu Dengar Yang Dipasang Di Belakang Telinga.
Digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang
sampai berat.Alat ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak
terlihat oleh orang lain.
4) CROS (Contralateral Routing Of Signals).
Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan
fungsi pendengaran pada salah satu telinganya.Mikrofon dipasang
pada telinga yang tidak berfungsi dan suaranya diarahkan kepada
telinga yang berfungsi melalui sebuah kabel atau sebuah transmiter
radio berukuran mini.Dengan alat ini, penderita dapat mendengarkan
suara dari sisi telinga yang tidak berfungsi.
5) BICROS (bilateral CROS).
Jika telinga yang masih berfungsi juga mengalami penuruna fungsi
pendengaran yang ringan,maka suara dari kedua telinga bisa
diperkeras dengan alat ini.
6) Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang.
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu
dengar hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran
telinga atau jika dari telinganya keluar cairan otore. Alat ini dipasang di
kepala, biasanya di belakang telinga dengan bantuan sebuah pita
elastis.Suara dihantarkan melalui tulang tengkorak ke telinga dalam.
Beberapa alat bantu dengar hantaran tulang bisa ditanamkan pada tulang
di belakang telinga.

b. Pencangkokan koklea
Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada penderita tuli berat
yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu
dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan
terdiri dari 4 bagian:
1) Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar
2) Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah
suara yang tertangkap oleh mikrofon
3) Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima
sinyal dari prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang
listrik
4) Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan
mengirimnya ke otak.

Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi


pendengaran yang normal, tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris
kepada penderita tuli dan membantu mereka dalam memahami
percakapan. Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat
bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan
fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan.
Jika fungsi pendengaran normal, gelombang suara diubah menjadi
gelombang listrik oleh telinga dalam.Gelombang listrik ini lalu dikirim ke
otak dan kita menerimanya sebagai suara. Implan koklea bekerja dengan
cara yang sama. Secara elektronik, implan koklea menemukan bunyi
yang berarti dan kemudian mengirimnya ke otak.

F. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata :
Yang dikaji adalah : nama, jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan,
status, agama, alamat.
Pada usia lanjut biasanya terjadi proses degeneratif serta penurunan
kemampuan fungsi organ telinga. Pada anak-anak biasanya karena kelainan
kongenital.
b. Riwayat Kesehatan :
Keluhan utama
Pasien biasanya mengeluhkan pendengaran berkurang baik ringan
maupun berat, bisa pada satu sisi telinga atau keduanya. Kadang
disertai suara berdenging. Rasa nyeri yang timbul dari dalam telinga.
Riwayat Kesehatan Dahulu
Pernah menderita penyakit rubella dengan penanganan yang kurang
adekuat, pernah mendapatkan trauma kepala, pernah menderita
infeksi telinga dengan penanganan yang kurang adekuat, terjadi
kelainan kongenital seperti atresia liang telinga.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Gangguan pendengaran juga bisa diturunkan oleh gen yang dominan
dan resesif. Kelainan yang diturunkan dapt berupa gangguan
pendengaran yang ringan hingga sampai yang berat.
Pada seorang ibu yang mempunyai kebiasaan minum minuman yang
mengandung alkohol, perokok bisa menimbulkan efek otositoksik
pada janinnya. Riwayat keluarga dengan karsinomagenik.

2. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breath) :-
b. B2 (Blood) :-
c. B3 (Brain) : Nyeri dari dalam telinga, tinitus, vertigo, bengkak
pada telinga yang mengalami infeksi. Tumor otak, trauma kepala,
penyakit pada susunan saraf pusat.
d. B4 (Bladder) :-
e. B5 (Bowel) :-
f. B6 (Bone) : Kelainan bentuk yang terjadi pada telinga luar atau
tengah, proses degeratif pada saraf-saraf pendengaran.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Test Weber :
Pada tuli konduksi di dapatkan hasil garputala akan mengalami
lateralisasi pada telinga yang lebih sehat sedangkan pada tuli
sensorineural, telinga yang sakit akan lebih jelas dalam menerima
rangsangan.
b. Test Rinne :
Pada tuli konduksi didapatkan hasil negatif (-) BC > AC. Sedangkan pada
tuli sensorineural didaptkan hasil positif (+) AC > BC.
c. Uji audiometri :
Uji ini untuk menentukan derajat keparahan tuli dari skala frekwensi 250
Hz hingga 8000 Hz.
d. Radiologi (MRI/CT) :
Biasanya didapati kelainan pada koklea seperti hipoplasia atau aplasia.

4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada telinga tengah.
b. Gangguan persepsi sensori berhubungan kerusakan pada telinga tengah.
c. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan proses pendengaran.
d. Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi

5. Intervensi Keperawatan.
a. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada telinga tengah.
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang

Kriteria hasil :
Nyeri yang dirasakan kien berkurang dengan skala 2-0 dari rentang skala
0-10
Intervensi Keperawatan :
1) Ajarkan teknik relaksasi pada klien dengan mengajarkan teknik
relaksasi (misalnya bernafas perlahan, teratur, atau nafas dalam).
2) Kolaborasikan dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
3) Kaji kembali nyeri yang dirasa oleh klien setelah 30 menit pemberian
analgetik.
4) Beri informasi kepada klien dan keluarga tentang penyebab yeri yang
dirasa.
Rasional :
1) Teknik relaksasi yang benar dan efektif dapat membantu mengurangi
nyeri yang dirasa.
2) Analgetik dapat menekan pusat saraf rasa nyeri, sehingga nyeri dapat
berkurang.
3) Untuk mengetahui keefektifan pemberian analgetik.
4) Informasi yang cukup dapat mengurangi kecemasan yang dirasa oleh
klien dan keluarga.

b. Gangguan persepsi sensori berhubungan kerusakan pada telinga


tengah.
Tujuan : Persepsi / sensoris membaik.
Kriteria hasil :
Klien akan mengalami peningkatan persepsi/sensoris pendengaran sampai
pada tingkat fungsional.
Intervensi Keperawatan :
1) Ajarkan klien untuk menggunakan dan merawat alat pendengaran
secara tepat.
2) Instruksikan klien untuk menggunakan teknik-teknik yang aman
dalam perawatan telinga (seperti: saat membersihkan dengan
menggunakan cutton bud secara hati-hati, sementara waktu hindari
berenang ataupun kejadian ISPA) sehingga dapat mencegah terjadinya
ketulian lebih jauh.
3) Observasi tanda-tanda awal kehilangan pendengaran yang lanjut.
4) Instruksikan klien untuk menghabiskan seluruh dosis antibiotik yang
diresepkan (baik itu antibiotik sistemik maupun lokal).
Rasional :
1) Keefektifan alat pendengaran tergantung pada tipe gangguan/ketulian,
pemakaian serta perawatannya yang tepat.
2) Apabila penyebab pokok ketulian tidak progresif, maka pendengaran
yang tersisa sensitif terhadap trauma dan infeksi sehingga harus
dilindungi.
3) Diagnosa dini terhadap keadaan telinga atau terhadap masalah-
masalah pendengaran rusak secara permanen.
4) Penghentian terapi antibiotika sebelum waktunya dapat menyebabkan
organisme sisa resisten sehingga infeksi akan berlanjut.

c. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan proses pendengaran.


Tujuan : Tidak terjadi cedera
Kriteria hasil :
Pasien dapat melakukan aktifitasnya dengan aman.

Intervensi Keperawatan
1) Berikan pengetahuan kepada pasien tentang penyakitnya, pengobatan
komplikasi serta resiko cedera yang bisa terjadi.
2) Anjurkan pasien untuk selalu berhati-hati pada saat melakukan kegiatan di
luar rumah.
Rasionalisasi
1) Agar pasien mengerti dan memahami tentang penyakitnya, serta dapat
mencegah resiko cedera.
2) Pada saat pasien berada di lingkungan luar rumah seperti di jalan raya akan
sangat berbahaya karena tidak dapat mendengar bunyi peringatan.

d. Resiko kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan hambatan


komunikasi.
Tujuan : pasien tidak mengalami hambatan dalam berkomunikasi.
Kriteria hasil :
Resiko kerusakan interaksi sosial dapat di minimalkan
Intervensi keperawatan:
1) Kaji kesulitan mendengar.
2) Kaji seberapa parah gangguan pendengaran yang di alami klien.
3) Jika mungkin bantu klien memahami komunikasi non verbal.
4) Anjurkan klien menggunakan alat bantu dengar setiap di perlukan
jika tersedia.
Rasionalisasi
1) Menentukan derajat gangguan proses pendengaran.
2) Untuk menentukan implementasi selanjutnya.
3) Untuk mempermudah komunikasi dengan orang lain.
4) Memperbaiki proses pendengaran.

G. Konsep dan Asuhan Keperawatan Gangguan Pendengaran pada Anak


1. Konsep Gangguan Pendengaran pada Anak
a. Definisi
Gangguan pendengaran adalah istilah umum yang menandakan
ketidakmampuan dengan rentang keparahan dari ringan sampai sangat berat
dan meliputi tuli sebagian dan kesulitan mendengar.
Tuli merujuk pada seseorang yang ketidakmampuan pendengarannya
mencegah keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengaran,
dengan atau tanpa alat bantu pendengaran.
b. Etiologi
Kehilangan pendengaran dapat disebabkan oleh sejumlah kondisi prenatal
dan pascanatal, yaitu riwayat gangguan pendengaran pada masa kanak-kanak
pada keluarga, malformasi anatomis kepala atau leher, berat badan lahir
rendah, asfiksia perinatal berat, infeksi perinatal (sitomegalo virus, rubella,
herpes, sifilis, toksoplasmosis, meningitis bakteri), infeksi telinga kronis,
paralisis serebral, sindrom down, atau pemberian obat-obat ototoksik
(Berrttini dkk, 1999).
Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin merupakan hasil dari
suara dengungan yang continue atau tingkat kebisingan yang tinggi yang
terkait dengan incubator, tabung oksigen, unit perawatan intensif.
c. Klasifikasi
Klasifikasi kehilangan pendengaran berdasarkan keparahan gejala:
Tingkat Efek yang Ditimbulkan
Pendengaran (dB)
Sangat Ringan: Mempunyai kesulitan mendengar suara yang
16-25 kecil atau jauh
(sulit mendengar)
Biasanya tidak menyadari kesulitan
pendengaran

Mungkin bersekolah tapi dapat memiliki


masalah

-Tidak ada efek dalam kemampuan bicara

Ringan:
26-40 Pada 30 dB kehilangan pendengaran dapat
melewatkan 25-40% percakapan
Pada 35-40dB kehilangan pendengaran dapat
melewatkan 50% diskusi

Dapat mempunyai kesulitan bicara

Sedang:
41-55
Memahami bahas percakapan tatap muka pada
jarak 3-5 kaki
Cenderung memiliki perbendaharaan kata
yang terbatas, pengaturan kalimat terlambat
atau salah dan produksi bicara tidak sempurna.

Sedang-Berat:
56-70 Tidak mampu membedakan bahasa percakapan
(sulit mendengar) kecuali disuarakan dengan keras
Sangat kesulitan menghadapi diskusi
kelompok atau kelas

Memerlukan latihan wicara khusus

Berat:
71-90
(tuli)

Dapat mendengar suara keras jika dekat


Mungkin mampu mengenali bunyi yang bising
dilingkungan

Dapat membedakan bunyi vocal tetapi tidak


dapat membedakan sebagian besar konsonan
Sangat Berat:
>91 (tuli) Memerlukan latihan wicara

Hanya dapat mendengar suara keras

Memerlukan latihan wicara yang ekstensif


(Sumber: Wong, Edisi 6 Volume 1, 2009)

d. Manifestasi Klinis
1) Bayi
Kurangnya reflex terkejut atau berkedip terhadap suara keras.
Gagal terbangun oleh suara bising di lingkungan.
Gagal melokalisasi sumber suara pada usia 6 bulan.
Tidak ada suara gumaman atau perubahan nada dalam suara pada usia
7 bulan.
Ketidak acuhan umum terhadap suara.
Kurang berespon terhadap kata yang terucap, gagal mengikuti arahan
verbal.
Berespon terhadap bunyi keras namun tidak berespon terhadap suara.
2) Anak
Menggunakan sikap tubuh daripada verbalisasi untuk
mengungkapkan keinginan terutama setelah berusia 15 bulan
Gagal mengembangkan kejelasan berbahasa pada usia 24 bulan
Kualitas monoton, bicara kurang dimengerti, tidak banyak tertawa
Bermain vocal, memukul kepala, atau menjejakkkan kaki untuk
sensasi getaran
Berteriak atau bersuara keras untuk mengungkapkan rasa senang,
kejengkelan (tantrum), atau kebutuhan
Meminta untuk mengulang pernyataan atau menjawab pertanyaan
dengan tidak tepat
Lebih berespon terhadap ekspresi wajahdan sikap tubuh dibandingkan
penjelasan verbal
Menghindari interaksi social, sering bingung dan tidak senang dalam
situasi tersebut, lebih suka bermain sendiri
Bertanya-tanya, kadang kala dengan ekspresi wajah yang bingung
Kewaspadaan yang penuh rasa curiga, kadang kala ditafsirkan sebagai
paranoid, diikuti dengan kerjasama secara bergantian
Sering keras kepala karena kurangnya pemahaman
Mudah marah pada sesuatu yang membuat mereka tidak paham
Malu, kurang percaya diri dan menarik diri
Sering terlihat bermimpi, dalam dunia mereka sendiri atau sangat
tidak memperhatikan

2. Asuhan Keperawatan Gangguan Pendengaran pada Anak


a. Pengkajian
Pengkajian anak terhadap gangguan pendengaran adalah tanggung
jawab keperawatan. Deteksi dini kehilangan pendengaran, lebih baik
dalam 3-6 bulan pertama kehidupan, penting untuk menigkatkan hasil
akhir berbahasa dan pendidikan mereka yang mengapami gangguan
pendengaran (Yoshinaga-Itano dkk,1998).
1) Pengkajian pada masa bayi.
Pada waktu lahir amati respon neonates terhadap stimulus
pendengaran. Ditandai dengan:
Refleks terkejut
Kepala menoleh
Mata berkedip
Penghentian pergerakan tubuh
Intensitas bayi terhadap respon dapat bervariasi, tergantung pada
status kewaspadaan.
2) Pengkajian pada masa kanak-kanak
Defek akan terlihat jelas pada anak yang memasuki sekolah jika defek
tidak dideteksi pada masa bayi karena anak akan mempunyai
kesulitan saat belajar.
Anak yang menderita kehilangan pendengaran kondutif derajat
ringan dapat berbicara dengan sangat jelas tetapi dengan suara
monoton dan keras.
Anak yang menderita defek sensorineural biasanya mempunyai
kesulitan pada artikulasi.

b. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan


1) Hambatan Komunikasi Verbal yang berhubungan dengan
Ketidakmampuan mendengar stimulus suara.
Tujuan:
Pasien akan ikut serta dalam proses komunikasi dalam
keterbatasan gangguan
Pasien akan menunjukkan kemampuan untuk membaca gerak
bibir
Hasil yang diharapkan:
keluarga akan melanutkan praktik keperawatan di lingkungan
rumah
keluarga memberi stimulasi pada anak
anak berkomunikasi dengan orang lain dalam sikap yang telah di
ajarkan (khusus)
individu yang berkomunikasi dengan anak menggunakan teknik
komunikasi yang baik
Intervensi Keperawatan:
a) Anjurkan keluarga untuk mengikuti program rehabilitasi
R/ Untuk melanjutkan pembelajaran di rumah
b) Ajari bahasa yang memiliki tujuan bermakna
R/ Untuk komunikasi
c) Anjurkan penggunaan bahasa dan buku di rumah
R/ Untuk menstimulasi komunikasi verbal dan meningkatkan
perkembangan normal
d) Anjurkan penggunaan bahasa spontan dan perbaiki kemampuan
bicara
R/ Untuk meningkatkan perkembangan kemampuan bicara
e) Periksa masalah penglihatan pada anak
R/ Dapat mempengaruhi pembelajaran untuk membaca gerak bibir
atau penggunaan bahasa isyarat
f) Ajarkan keluarga dan orang lain yang terlibat dengan perilaku anak
yang memfasilitasi membaca gerak bibir
R/ Untuk meningkatkan proses komunikasi
2) Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan
gangguan komunikasi
Tujuan:
Pasien akan mencapai tingkat kemandirian yang optimal sesuai
dengan usia
Pasien akan memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam
aktivitas bermain dan bersosialisasi
Pasien akan diberi kesempatan pendidikan dalam ruang kelas
reguler.
Hasil yang diharapkan:
Anak menunjukkan aktivitas harian yang sesuai dengan tingkat
perkembangan
Anak ikut serta dalam aktivitas yang sesuai dengan tingkat
perkembangan
Anak mempunyai hubungan dan pengalaman dengan kawan
sebaya
Anak menghadiri sekolah secara reguler
Anak berkomunikasi dengan orang lain dalam ruang kelas
Intervensi Keperawatan:
a) Bantu keluarga menerapkan praktek normal pengasuhan anak
R/ Untuk meningkatkan perkembangan yang optimal
b) Beri anak permainan yang dapat meningkatkan perkembangan
kemandirian
R/ Mengoptimalkan perkembangan anak
c) Bimbing keluarga dalam memilih permainan
R/ untuk memaksimalkan indra pendengaran, penglihatan, dan taktil
d) Anjurkan anak untuk berpartisipasi aktif dalam aktivitas kelompok
R/ Untuk meningkatkan sosialisasi
e) Bantu anak mengikuti diskusi kelompok dengan menunjuk pembicara
dan mengatur kelompok dalam setengah lingkaran
R/ Untuk memfasilitasi mendengar dan atau membaca gerak bibir
f) Bantu anak untuk mengembangkan hubungan diantara kawan sebaya
yang dapat mendengar dan yang tuli
R/ Untuk meningkatkan sosialisasi
g) Diskusikan dengan guru dan anak tentang cara berkomunikasi secara
efektif dengan anak. Misal: dengan memfasilitasi membaca gerak
bibir
R/ Untuk memfasilitasi pendidikan anak
h) Tingkatkan sosialisasi dengan teman sekelas
R/ Untuk membantu anak agar dapat menikmati proses pendidikan

3) Resiko cidera berhubungan dengan bahaya lingkungan, infeksi.


Tujuan:
Pasien tidak akan mendapatkan atau mengalami kehilangan
pendengaran yang lebih berat.
Hasil yang diharapkan:
Bayi atau anak tidak mengalami kehilangan pendengaran
Anak tidak terpajan dengan tingkat bunyi yang berlebihan
Anak mendapat imunisasi yang tepat
Intervensi Keperawatan:
Masa Bayi:
a) Anjurkan keluarga membawa bayi untuk imunisasi pada waktu yang
tepat
R/ Untuk mencegah kehilangan pendengaran sensorineural yang
didapat karena penyakit pada masa kanak-kanak
b) Minimalkan tingkat bunyi dalam unit perawatan intensif
R/ Dapat menyebabkan kehilangan pendengaran
c) Cegah infeksi telinga dan deteksi dini
R/ Infeksi adalah penyebab kehilangan pendengaran yang paling
umum
d) Pastikan bayi baru lahir mendapat screening pendengaran yang
lengkap dan dirujuk sesuai kebutuhan
R/ Untuk mencegah defisit kemampuan bicara atau komunikasi

Masa Kanak-kanak:
a) Kaji kemampuan mendengar anak yang mendapat antibiotic ototoksik
R/ Untuk deteksi dini
b) Tingkatkan kepatuhan terhadap regimen pengobatan untuk otitis
media
R/ Otitis media merupakan penyebab umum kehilangan pendengaran
c) Evaluasi kemampuan mendengar anak yang rentan terkena masalah
telinga kronis atau pernafasan
R/ untuk deteksi dini gangguan pendengaran
d) Kaji sumber bunyi yang berlebihan di lingkungan anak, lakukan
tindakan yang tepat untuk menurunkan tingkat suara. Misal: kecilkan
suara music, gunakan pelindung telinga
R/ Karena terpajan bunyi yang berlebihan adalah penyebab
kehilangan pendengaran sensorineural
e) Berpartisipasi dalam program imunisasi anak
R/ Untuk mencegah penyakit pada masa anak-anak yang dapat
meny6ebabkan kehilangan pendengaran
H. Konsep dan Asuhan Keperawatan Gangguan Pendengaran pada Lansia
1. Konsep Gangguan Pendengaran pada Lansia
a. Definisi
Presbikusis merupakan akibat dari proses degeneratif pada satu atau
beberapa bagian koklea (striae vaskularis, sel rambut, dan membran basi la
ris) maupun serabut saraf auditori. Presbikusis ini juga merupakan hasil
interaksi antara faktor genetik individu dengan faktor eksternal, seperti
pajanan suara berisik terus-menerus, obat ototoksik, dan penyakit sistemik
(Wahyudi, 2000).

b. Etiology
1) Suatu masalah mekanis di dalam saluran telinga atau di dalam telinga
tengah yang menghalangi penghantaran suara (penurunan fungsi
pendengaran konduktif).
2) Kerusakan pada telinga dalam, saraf pendengaran atau jalur saraf
pendengaran di otak (penurunan fungsi pendengaran sensorineural).
3) Penurunan fungsi pendengaran sensorik bisa merupakan penyakit
keturunan.
4) Trauma akustik (suara yang sangat keras)
5) Infeksi virus pada telinga dalam
6) Obat-obatan tertentu
7) Penyakit Meniere.

c. Klasifikasi
Presbikusis terbagi dua menjadi yaitu:
1) Prebiskus perifer
Prebiskus perifer di mana para lansia hanya mampu untuk
mengidentifikasi kata. Alat Bantu dengar masih cukup bermanfaat, tetapi
harus diperhatikan untuk menghindari berteriak/berbicara terlalu keras
karena dapat membuat ketidaknyamanan di telinga.
2) Prebiskus sentral.
Presbikusis sentral, di mana lansia mengalami gangguan untuk
mengidentifikasi kalimat, sehingga manfaat alat bantu dengar sangat
kurang. Oleh karena itu, percakapan dengan para lansia harus sedikit
lebih lambat tanpa mengabaikan irama dan intonasi. Presbikusis ditambah
dengan situasi ketika percakapan yang berlangsung kurang mendukung
dapat menyebabkan lansia mengalami gangguan komunikasi, (Frank,
2002)

d. Manifestasi Klinis
1) Telinga luar
Penurunan jumlah dan fungsi kelenjar serumen dan kelenjar sebasea
menyebabkan atropi dan pengeringan epitel serta terbentuknya serumen
kering yang menyebabkan impaksi serumen, kekeringan, rasa gatal dan
peningkatan insidensi trauma yang dilakukan oleh diri sendiri.
2) Telinga Tengah
Perubahan artritik sendi telinga tengah pada lanjut usia tidak selalu
menyebabkan tuli konduksi. Otoskelerosis paling sering timbul pada usia
dewasa mudah, tetapi mungkin tidak dapat dideteksi sampai muncul
presbiakusis sekunder.
3) Telinga Dalam
Tuli sensorineural sering terjadi pada lanjut usia. Biasanya hal ini
dapat disertai depresi, pusing, vertigo, nyeri, telinga mendenging,
penurunan kognitif, penurunan status fungsional, dan ketidak mampuan
emosi serta sosial.(Frank, 2002)

2. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Keluhan utama
Hilangnya kemampuan mendengar terhadap bunyi suara atau nada-
nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, dan sulit mengerti kata-kata.
2) Riwayat penyakit sekarang
Klien mengeluh pusing, vertigo, nyeri, telinga mendenging.
3) Riwayat penyakit dahulu
OMK, OMA, Trauma di telingga, aterosklerosis, merokok, factor
genetic.

4) Riwayat psikososial
Stress, tinggal di daerah bising, ketidak mampuan emosi serta sosial.
5) Pemeriksaan fisik
B1: tidak ada masalah
B2: tidak ada masalah
B3: pusing, vertigo, nyeri, tinnitus, rasa nyeri pada telinga.
B4: tidak ada masalah
B5: tidak ada masalah
B6: malaise dan keterbatasan aktivitas.

b. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan persepsi sensori b/d kerusakan pada telinga tengah
2) Cemas b/d kurangnya informasi tentang gangguan pendengaran
(tinnitus)
3) Gangguan istirahat dan tidur b/d gangguan pendengaran
4) Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi

c. Intervensi
1) Gangguan persepsi sensori b/d kerusakan pada telinga tengah
Tujuan dan Kriteria hasil:
Klien memperlihatkan persepsi pendengaran yang baik

Intervensi Keperawatan:
a) Kaji tingkat gangguan persepsi pendengaran klien
R/: untuk mengukur tingkat pendengaran pasien guna intervensi
selanjutnya
b) Berbicara pada bagian sisi telinga yang baik
R/: dapat membantu klien dalam proses komunikasi
c) Anjurkan klien untuk menggunakan alat bantu pendengaran
R/: dapat mempermudah klien untuk mendengar suara

2) Cemas b/d kurangnya informasi tentang gangguan pendengaran


(tinnitus)
Tujuan dan kriteria hasil:
Tidak terjadi kecemasan, pengetahuan klien terhadap penyakit
meningkat

Intervensi Keperawatan:
a) Kaji tingkat kecemasan / rasa takut
R/: untuk mengetahui tingkat kecemasan klien terhadap penyakitnya
guna implementasi selanjutnya
b) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang gangguan yang di alaminya
R/: sebagai tolak ukur untuk member informasi selanjutnya mengenai
penyakit yang di deritanya
c) Berikan penyuluhan tentang tinnitus
R/: informasi/ penyuuhan yang adekuat dapat mengurangi kecemasan
klien terhadap penyakitnya
d) Berikan motivasi pada klien dalam menghadapi penyakitnya
R/: motivasi yang adekuat dapat menurunkan tingkat kecemasan
sekaligus dapat memberikan perhatian pada klien
e) Libatkan keluarga klien dalam proses pengobatan
R/: keluarga klien mempunyai peranan yang penting dalam proses
penyembuhan dan menurunkan kecemasan klien.

3) Gangguan istirahat dan tidur b/d gangguan pendengaran


Tujuan dan kriteria hasil:
Gangguan tidur dapat teratasi atau teradaptasi

Intervensi Keperawatan:
a) Kaji tingkat kesulitan tidur
R/: untuk mengetaui tingkat kesulitan tidur guna intervensi
selanjutnya
b) Kolaborasi dalam pemberian obat penenang/ obat tidur
R/: pemberian obat penenang dapat meningkatkan kualitas tidur klien
c) Anjurkan klien untuk beradaptasi dengan gangguan tersebut
R/: supaya klien terbiasa dengan lingkungannya

4) Resiko kerusakan interaksi sosial b/d hambatan komunikasi


Tujuan dan kriteria hasil:
Resiko kerusakan interaksi sosial dapat di minimalkan

Intervensi Keperawatan:
1) Kaji kesulitan mendengar
R/: menentukan derajat gangguan proses pendengaran
2) Kaji seberapa parah gangguan pendengaran yang di alami klien
R/: untuk menentukan implementasi selanjutnya
3) Jika mungkin bantu klien memahami komunikasi nonverbal
R/: untuk mempermudah komunikasi dengan orang lain
4) Anjurkan klien menggunakan alat bantu dengar setiap di perlukan
jika tersedia
R/: memperbaiki proses pendengaran.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Telinga adalah salah satu organ panca indra yang sangat vital bagi kehidupan
manusia. Setiap bagian telinga memiliki peranan penting dalam menyampaikan
informasi bunyi ke otak. Gangguan pendengaran disebabkan oleh rusaknya salah
satu atau beberapa bagian dari telinga luar, tengah atau dalam. Agar dapat
memahami gangguan pendengaran dengan baik, kita perlu memahami anatomi
telinga dan cara kerja pendengaran.

Klasifikasi tuli atau gangguan pendengaran berdasarkan organ yang


terganggu di bedakan menjadi tiga yaitu, gangguan pendengaran konduktif,
gangguan pendengaran sensorineural dan gangguan pendengaran campuran
konduktif-sensorineural.

Fisiologi mendengar yaitu, suara atau bunyi masuk ditangkap oleh daun
telinga, diteruskan kedalam liang telinga luar yang menggetarkan gendang telinga.
Getaran diteruskan dan diperkuat tulang-tulang pendengaran yang saling
berhubungan yaitu malleus, incus dan stapes. Stapes menggetarkan tingkap lonjong
(oval window) pada rumah siput yang berhubungan dengan scala vestibuli sehingga
cairan didalamnya yaitu perilimfe ikut bergetar. Getaran dihantarkan ke rongga
dibawahnya yaitu scala media yang berisi endolimfe sepanjang rumah siput.
Didalam scala media terdapat organ corti yang berisi satu baris sel rambut dalam
(Inner Hair Cell) dan tiga baris sel rambut luar (Outer Hair Cell), berfungsi
mengubah energi suara menjadi energi listrik yang akan diterima oleh saraf
pendengaran yang meneruskan rangsangan energi listrik tersebut kepusat sensorik
mendengar di otak sehingga kita bisa mendengar suara atau bunyi tersebut dengan
sadar.

Penatalaksanaan gangguan pendengaran bergantung pada penyebabnya. Pada


umumnya dapat dilakukan dengan perawatan kebersihan telinga, pembedahan
ataupun dengan menggunakan alat bantu dengar.

Prognosis dari gangguan pendengaran konduktif apabila dilakukan


penatalaksanaan dengan tepat dan cepat pada umumnya akan baik. namun pada
gangguan pendengaran sensorineural umumnya irreversible karena bersifat menetap
dan tidak dapat di obati secara medikamentosa maupun pembedahan.
B. SARAN
Setelah mengetahui tentang anatomi-fisiologi telinga, definisi, etiologi,
manifestasi klinik, patofisiologi, penatalaksanaan gangguan pendengaran baik
konduktif maupun sensorineural serta asuhan keperawatan secara teoritis, diharapkan
mahasiswa mempunyai kemampuan dalam melaksanakan proses asuhan
keperawatan di lapangan dengan baik dan profesional.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Paul D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Tubuh Manusia : Latihan dan
Panduan Belajar. Jakarta : Buku Kedokteran ECG.

George L, Adams. 1997. BOEIS : Buku ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: Buku
Kedokteran ECG.

Guyton, AC. 1997. Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran.

Iskandar, H. Nurbaiti,dkk 1997. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.

Mitchell, Richard N. 2008. Pocket Companion to Robbins and Cotran Pathologic


Basis of Disease, 7th ed. New York : Elsivier Inc.

Mukmin, Sri; Herawati, Sri. 1999. Teknik Pemeriksaan THT. Surabaya :


Laboratorium Ilmu Penyakit THT, FK UNAIR.

Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan. Surabaya : RSUD Dr Soetomo

Tambayong, Jan, dr. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan Edisi I. Jakarta : Buku
Kedokteran ECG.

Anda mungkin juga menyukai