Anda di halaman 1dari 45

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

I. PENDAHULUAN 1

II. MEKANISME DISINKRONI VENTRIKEL KIRI 3

2.2 Patofisiologi Reverse Remodelling Ventrikular pada Gagal Jantung Lanjut


4

2.3 Tipe-Tipe Disinkroni 7

2.3.1Disinkroni Atrioventikular 7

2.3.2Disinkroni Interventrikular 7

2.3.3Disinkroni Intraventrikular 7

2.4 Penilaian Disinkroni 8

2.4.1Pengukuran Disinkroni menggunakan Ekhokardiografi 8

2.4.2Teknik Ekhokardiografi Terbaru 10

2.4.3Metoda Alternatif Penilaian Disinkroni 11

III. PERANAN DAN TEKNIK PROSEDURAL PEMASANGAN CRT 12

3.1 Peranan CRT 12

3.2 Teknik Prosedural Pemasangan CRT 13

3.2.1Persiapan Pre-Implantasi CRT 13

3.2.2Prosedur Implantasi CRT 15

3.2.3Komplikasi Perioperatif CRT 16

3.2.4Programming dan Follow-Up CRT 17


ii

IV. INDIKASI PEMASANGAN CARDIAC RESYNCHRONIZATION THERAPY


MENURUT PANDUAN 18

4.1 CRT pada Pasien Sinus Ritme dengan Gagal Jantung Kelas Fungsional NYHA
kelas III-IV 18

4.2 CRT pada Pasien Sinus Ritme dengan Gagal Jantung Kelas Fungsional NYHA
kelas II 19

4.3 CRT pada Pasien Atrial Fibrilasi 22

4.4 Pemilihan Mode Pacu dan Optimalisasi CRT 24

4.4.1Loss of Biventricular Pacing 25

4.4.2Pemilihan Posisi Lead di Ventrikel Kiri dan Lead Ventrikel Kiri Tunggal versus
Lead Multipel 25

4.4.3Optimalisasi Alat CRT 27

4.4.4 Pacu Biventricular versus Pacu Ventrikel Kiri 28

4.5 CRT pada Pasien dengan Laju Denyut Jantung Tidak Terkontrol yang
Merupakan Kandidat Ablasi AV Junction 29

4.6 CRT pada Pasien Gagal Jantung dengan Indikasi Pemasangan Pacu Jantung
29

4.7 Penambahan Implantable Cardioverter Defibrillator pada CRT (CRT-D)


30

4.7.1Manfaat Penambahan CRT pada pasien dengan indikasi pemasangan ICD


30

4.7.2Manfaat Penambahan ICD pada pasien dengan inidkasi pemasangan CRT


31

V. PASIEN NON RESPONDER TERHADAP CARDIAC


RESYNCHRONIZATION THERAPY 32

5.1 Prediktor Respon terhadap Cardiac Resynchronization Theraphy 34

5.2 Tatalaksana Pasien Non Responder 36

VI. KESIMPULAN 38

VII. DAFTAR PUSTAKA v


iii
iv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Metoda Penelitian Pasien sebelum Implantasi


CRT...14
Tabel 3.2 Komplikasi Perioperatif: Ringkasan dari berbagai uji
klinis......17
Tabel 4.1 Kriteria Inklusi Pasien Studi-Studi Acak Terkontrol
yang Mengevaluasi CRT pada Gagal Jantung......20
Tabel 4.2 Endpoint, Desain, dan Temuan Utama Studi Acak
Terkontrol yang Mengevaluasi CRT pada Gagal
Jantung ............................................................................21
Tabel 4.3 Indikasi CRT pada pasien Sinus Ritme.....21
Tabel 4.4 Indikasi CRT pada Pasien AF Permanen..........23
Tabel 4.5 Rangkuman Hasil Studi Optimalisasi CRT..........28
Tabel 4.6 Pemilihan Mode Pacu CRT .......28
Tabel 4.7 Indikasi Upgrading atau De Novo CRT pada Pasien
CRT dengan Indikasi Pacu Jantung Konvensional dan
Gagal Jantung......30
Tabel 4.8 Indikasi Pemasangan Kombinasi CRT dan ICD......32
Tabel 4.9 Pedoman Klinis Pemilihan antara CRT-P atau CRT-D
pada Prevensi Primer..32
Tabel 4.10 Komparasi Hasil CRT-D vs CRT-P dalam Prevensi
Primer...32

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mekanisne remodeling ventrikel pada aktivasi elektris


yang asinkron....4
v

Gambar 2.2 Skematik arus ion masuk dan keluar, pompa, dan
exchanger, pada ventrikel5
Gambar 4.1 Indikasi Ablasi AV pada Pasien AF Permanen yang
Simptomatik dan mendapat Terapi Farmakologis
Optimal24
Gambar 5.1 Faktor Klinis yang Mempengaruhi Respon terhadap
CRT...35
1

I. PENDAHULUAN

Prevalensi gagal jantung di Amerika Serikat telah meningkat pesat dalam


dua dekade terakhir sebagai akibat dari populasi yang menua dan manajemen
medis yang lebih baik dari disfungsi ventrikel kiri. Diperkirakan terdapat 5 juta
orang di Amerika Serikat dan 15 juta orang di Eropa dengan gagal jantung. Di
Amerika Serikat sendiri diperkirakan ada 40.000 pasien yang progresif menjadi
gagal jantung terminal, dengan sekitar 2 juta rehospitalisasi tiap tahunnya.1
Sayangnya, terapi medis tidak sepenuhnya efektif dalam mencegah atau
membalikkan proses perkembangan gagal jantung, dan sebagai hasilnya, pasien
dengan gagal jantung tahap lanjut memiliki pilihan terapi yang terbatas.2
Sekitar satu pertiga pasien dengan gagal jantung sistolik memiliki durasi
QRS yang lebih dari 120 milidetik, yang sering terlihat sebagai Left Bundle
Branch Block (LBBB). Pasien disfungsi sistolik ventrikel kiri dengan perlambatan
konduksi ventrikel mempunyai outcome secara keseluruhan yang terburuk. Sejak
akhir 1970-an, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa LBBB, pacu
ventrikel kanan, atau Intraventricular Conduction Delay (IVCD) dikaitkan
dengan profil hemodinamik yang kurang menguntungkan pada pasien dengan
disfungsi ventrikel kiri dan bahkan pada subyek normal. Mekanisme fenomena ini
dianggap sebagai akibat kontraksi miokard ventrikel yang tidak sinkron dan tidak
efisien. Dengan memulihkan proses sinkronisasi, cardiac resyncronization
therapy (CRT) dapat menyebabkan peningkatan hemodinamik secara signifikan.3
Pada tahun 1994, dua peneliti di Eropa mulai menerapkan CRT dalam
aplikasi klinis untuk pertama kalinya. Beberapa studi observasional kecil setelah
itu dan uji klinis acak yang besar membuktikan manfaat CRT. CRT pertama kali
disetujui untuk pasien gagal jantung yang telah dikelola secara maksimal tetapi
tetap dalam kelas fungsional New York Heart Association (NYHA) kelas III atau
IV dengan durasi QRS yang panjang. Penelitian lebih lanjut menunjukkan CRT
saja (CRT-P) atau kombinasi CRT dengan defibrillator (CRT-D) dapat
menurunkan angka mortalitas secara signifikan. CRT pun terbukti bermanfaat
pada pasien gagal jantung yang tidak terlalu bergejala.2
Akan tetapi, tidak semua pasien yang menjalani CRT menunjukkan
respons terhadap terapi ini. Masih ada sekitar 20-30% pasien yang tidak respons
2

terhadap CRT. Populasi pasien yang tidak memiliki keuntungan dari pemasangan
CRT ini disebut non-responder. Populasi non-responder ini disebabkan
multifaktorial. Beberapa studi menyebutkan luasnya disinkroni mekanik sebelum
pemasangan, lokasi pemicuan pada ventrikel kiri, dan penyebab terjadinya gagal
jantung merupakan faktor penentu.4
3

II. MEKANISME DISINKRONI VENTRIKEL KIRI

2.1 Mekanisme Disinkroni pada Gagal Jantung Lanjut

Pola normal aktivasi listrik dari miokardium ventrikel yaitu impuls yang
telah melewati nodus atrioventrikular (AV) akan menuju bundle Hiss, diikuti oleh
aktivasi simultan sistem purkinje berkas kanan dan kiri, yang diikuti oleh
depolarisasi miokard. Sistem purkinje merupakan daerah yang terisolasi secara
elektrik dari seluruh miokardium kecuali pada ujung pertemuan antara serabut
purkinje dengan sel miokard. Akibat hal tersebut, aktivasi miokard ventrikel kiri
akan dimulai dari arah apeks ke base jantung, secara serentak di septum maupun
dinding bebas ventrikel kiri. Aktivasi normal seperti ini yang digambarkan
sebagai aktivasi yang sinkron. Aktivasi ventrikel yang sinkron diikuti oleh
kontraksi ventrikel yang sinkron.2
Bila terjadi perlambatan konduksi, proses kopling elektromekanis jantung
terganggu sehingga menyebabkan disinkroni. Seiring waktu, hal ini akan
menyebabkan gangguan stroke volume, perburukan mitral regurgitasi,
pemanjangan fase isovolumetrik ventrikel kiri, dan gangguan pengisian diastolik.
Efek ini menyebabkan remodeling lebih lanjut pada jantung sudah terganggu dan
menciptakan lingkaran setan yang memperberat gagal jantung. Oleh karena itu
pasien gagal jantung dengan perlambatan konduksi ventrikel memiliki prognosis
yang lebih buruk secara keseluruhan. CRT telah terbukti dapat membalikkan
proses yang merusak ini. CRT terbukti dapat meningkatkan fungsi ventrikel kiri
tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen. Peningkatan fungsi ventrikel kiri tersebut
dikaitkan dengan efisiensi ventrikel kiri yang lebih baik.2
Menariknya, aktivasi dan kontraksi yang disinkroni memiliki efek yang
buruk pada pasien tanpa disfungsi sistolik ventrikel kiri juga. Bila dibandingkan
dengan orang normal, pasien dengan LBBB memiliki fraksi ejeksi lebih rendah,
lebih mudah terjadi gagal jantung, dan memiliki risiko morbiditas dan mortalitas
akibat kardiovaskular sepuluh kali lipat lebih besar. Pada beberapa pasien (pasien
dengan LBBB kronis, kontraksi ventrikel prematur yang sering atau pacu
4

ventrikel kanan yang kronis), perlambatan konduksi dapat menyebabkan


penurunan fraksi ejeksi jantung. Dalam populasi ini, CRT dapat memberikan efek
yang besar yang berpotensi menormalisasi fungsi ventrikel kiri.2

2.2 Patofisiologi Reverse Remodelling Ventrikular pada Gagal Jantung


Lanjut

Istilah remodeling ventrikel berarti adanya perubahan pada arsitektur


ventrikel, yang berkaitan dengan perubahan konfigurasi ruang jantung akibat
perubahan histologis berupa hipertrofi miosit yang patologis, apoptosis, dan
proliferasi mioblas serta fibrosis interstisial. Perubahan yang kompleks ini
melibatkan faktor-faktor patogenetik pada level seluler, organ, dan sistemik.
Proses ini terjadi akibat injuri miokard dan peningkatan wall stress. Adanya
perbedaan stress dan strain pada ventrikel kiri ini akan mengakibatkan
perbedaan remodeling pada segmen-segmen ventrikel sehingga terjadi
asinkroni.5

Gambar 2.1. Mekanisme remodeling ventrikel pada aktivasi elektris yang


asinkron.
Dikutip dari:Auricchio dkk5

Studi menunjukkan bahwa pada blok cabang berkas kiri akan


menyebabkan hipertrofi dalam 2 bulan, terutama pada dinding lateral ventrikel
5

kiri. Regio yang yang terakhir teraktivasi, yang paling hipertrofi menunjukkan
kekacauan selular yang paling menonjol, seperti down-regulation protein
yang terlibat dalam hemostasis kalsium dan konduksi impuls.5
- Perubahan selular
Remodeling juga terlihat pada level selular, yakni pada miosit dan matriks
ekstraseluler, dan adanya pemanjangan potensial aksi (AP). AP mencerminkan
keseimbangan antara arus ion depolarisasi dan repolarisasi, transporter, dan
exchanger, yang tidak seragam terekspresi pada dinding ventrikel.6

Gambar 2.2. Skematik arus ion masuk dan keluar, pompa, dan exchanger, pada
ventrikel.
Dikutip dari: 6

-
Remodeling arus K+
Downregulation arus K+ sering terjadi pada gagal jantung. Perubahan
ini terjadi pada arus kalium keluar (Ito) dan arus kalium masuk (IK1).
Karena Ito merupakan arus cepat sementara, maka durasi AP tidak secara
langsung dipengaruhi. Perubahan durasi AP lebih dipengaruhi oleh I K1 dan
akan meningkatkan kerentanan depolarisasi membran spontan termasuk
delayed after depolarization (DADs). Perubahan lain terjadi pada arus K+
lambat yang memiliki peranan utama pada fase repolarisasi lambat, yang
mengakibatkan perubahan pada komponen lambat (IKs) atau cepat (IKs)
yang mengakibatkan pemanjangan AP yang signifikan.6
-
Remodeling arus Ca2+
6

Perubahan homeostasis Ca2+ merupakan dasar adanya abnormalitas


pada proses excitation-contranction coupling pada gagal jantung.
Hubungan antara kalsium dan AP bergantung pada kanal dan transporter
seperti ICa-L, IK, Ca2+-activated Cl-current, dan NCX. Kanal ICa-L biasanya
tidak berupah pada keadaan gagal jantung, meskipun ada satu studi yang
melaporkan adanya penurunan jumlah kanal tersebut akibat perubahan
fosforilasi dan komposisi sub-unit.6
Sarcoplasmic reticulum Ca2+-ATPase (Serca2a) dan fosfolamban
serta NCX merupakan mediator primer hilangnya kalsium dari sitoplasma.
Pada gagal jantung, terdapat ekspresi yang lebih besar dari NCX yang
menyebabkan pindahnya Ca dari sitoplasma ke ekstra sel sehingga
penyimpanan Ca di sitoplasma terganggu. Perubahan fungsi NCX pada
gagal jantung akan mengubah dinamika kalsium dan AP. Pelepasan Ca
dari SR juga terganggu pada gagal jantung akibat perubahan regulasi
reseptor Ryanodine (RyR). Hiperfosforilasi RyR oleh protein Kinase A
akan meningkatkan kebocoran Ca serta membentuk gelombang Ca
spontan, dan akan memicu aritmia. Perubahan fungsi RyR disebabkan oleh
modifikasi pascatranslasi oleh reactive oxygen species (ROS) yang akan
berperan pada kebocoran Ca pada gagal jantung kronik.6
-
Remodeling kanal Na+ dan INa lambat
Pada gagal jantung terdapat down regulation dari kanal Na, akselerasi
dari proses inaktivasi, dan lambatnya pemulihan inaktivasi miosit.
Pembentukan impuls yang normal dan konduksinya bergantung pada
cepatnya arus INa. Selain itu, peningkatan late INaakan memperpanjang
durasi AP dan memicu VT polimorfik. Perubahan densitas dan kinetik I Na
merupakan prodisposisi aritmia karena disrupsi konduksi dan
pemanjangan repolarisasi.6
2.3 Tipe-Tipe Disinkroni

2.3.1 Disinkroni Atrioventikular

Pada keadaan PR interval atau durasi QRS yang panjang, kontribusi


atrium terhadap pengisian ventrikel kiri adalah abnormal dimana fase sistolik
7

atrium saat diasolik ventrikel terjadi terlalu dini. Sistolik atrium yang terlalu dini
akan menyebabkan peningkatan tekanan diastolik ventrikel yang dini sehingga
terjadi regurgitasi mitral. Gangguan pengisian ventrikel kiri dan regurgitasi mitral
menurunkan cardiac output. Sinkronisasi AV dapat meningkatkan cardiac output
pasien gagal jantung hingga 20%.2

2.3.2 Disinkroni Interventrikular

Aktivasi ventrikel kanan yang dini terjadi pada pasien LBBB, IVCD, atau
pacu jantung ventrikel kanan akan menyebabkan kontraksi ventrikel kanan yang
terlalu dini. Hal ini akan meningkatkan perbedaan tekanan antara ventrikel kanan
dan ventrikel kiri yang berefek negatif terhadap pengisian ventrikel kiri dimana
preload dan cardiac output ventrikel kiri akan menurun. Pada fase awal
perkembangan CRT, disinkroni interventrikel disangka merupakan kontributor
utama dalam perburukan pasien gagal jantung. Penelitian lebh lanjut
menunjukkan bahwa resinkroni interventrikel tidak menunjukkan manfaat yang
signifikan sehingga peran disinkroni interventrikel pada gagal jantung
dipertanyakan.2

2.3.3 Disinkroni Intraventrikular

Pada keadaan konduksi yang lambat, beberapa segmen ventrikel kiri akan
teraktivasi dengan lambat dibandingkan daerah lain yang menyebabkan kontraksi
miokard yang tidak efisien. Sebagai contoh, pada pasien dengan LBBB, aktivasi
septum dan aktivasi dinding postetolateral akan terlambat yang sering
menyebabkan perlambatan aktivasi antar segmen. Saat ini mitigasi disinkroni
interventrikel dipikirkan sebagai mekanisme utama yang akan meningkatkan
performa miokard pada CRT.2

2.4 Penilaian Disinkroni

Sebagai tambahan tiga jenis disinkroni yang telah dibahas sebelumnya,


disinkroni juga dapat dibagi menjadi disinkroni mekanikal atau disinkroni
elektrikal. Disinkroni elektrikal menunjukkan adanya perlambatan depolarisasi
8

suatu segmen jantung terhadap segmen lainnya, sedangkan disinkroni mekanikal


menunjukkan adanya perlambatan kontraksi satu segmen jantung terhadap
segmen lainnya. Walaupun kedua jenis disinkroni ini diasumsikan berkaitan erat,
namun pengukuran disinkroni mekanikal atau elektrikal seringkali tidak
berkolerasi. Sebagai contoh, hampir semua penelitian klinis menggunakan
pemanjangan durasi kompleks QRS sebagai marker kasar disinkroni elektrikal.
Studi-studi telah memperlihatkan bahwa hampir 30% pasien dengan durasi QRS
yang panjang tidak terbukti memiliki disinkroni mekanikal yang dinilai
menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) atau ekhokardiografi.
Sedangkan 30 % pasien gagal jantung bergejala dengan durasi QRS yang normal
terbukti mengalami disinkroni mekanikal pada pemeriksaan MRI atau
ekhokardiografi, dan mungkin CRT berpotensi memberikan manfaat pada pasien
ini. Saat ini, penelitian untuk mengukur disinkroni elektrikal dan mekanikal secara
noninvasif berkembang secara intensif. Penelitian disinkroni saat ini didominasi
oleh berbagai metoda untuk mengukur disinkroni mekanikal, kebanyakan melalui
berbagai teknik ekhokardiografi.2
2.4.1 Pengukuran Disinkroni menggunakan Ekhokardiografi

Pengukuran disinkroni mekanikal awalnya hanya menggunakan M-mode


dan pulse-wave Doppler. Akhir-akhir ini, ekhokardiografi 3 dimensi dan teknologi
speckle tracking memperlihatkan hasil yang cukup menjanjikan. Kesulitan utama
semua pengukuran disinkroni mekanikal dengan ekhokardiografi adalah dalam hal
reproduksibilitas. Suatu penelitian besar multisenter yaitu PROSPECT
memperlihatkan tidak adanya suatu pengukuran ekhokardiografi yang sensitif dan
spesifik yang dapat digunakan sebagai prediktor respons terhadap CRT.
Variabilitas teknik dan interpretasi diantara senter-senter yang terlibat dicurigai
sebagai alasan utama di balik hasil ini.2,7
1. Pulse-wave Doppler telah digunakan untuk menilai disinkroni interventrikel
dengan cara mengukur keterlambatan waktu antara inisiasi ejeksi sistolik
ventrikel kanan dan ventrikel kiri (presystolic ejection period). Salah satu
keuntungan metoda ini adalah tekniknya yang mudah dan memiliki angka
reproduksibilitas yang baik. Nilai di atas >40 milidetik dianggap abnormal.
9

Walaupun demikian penggunaan pengukuran ini secara klinis masih perlu


dibuktikan.2
2. Septal to posterior wall motion delay yang dinilai dengan M-mode dari
pandangan parasternal long axis dan short axis dapat digunakan untuk
menilai disinkroni intraventrikel. Nilai > 130 milidetik diasosiasikan dengan
respon CRT yang lebih baik yang dilihat dari perbaikan gejala gagal jantung,
remodeling ventrikel kiri, dan peningkatan fraksi ejeksi. Keuntungan metoda
ini adalah metoda ini dapat dilakukan pada semua sistem mesin
ekhokardiografi tanpa memerlukan software khusus. Sayangnya, parameter
ini mempunyai beberapa limitasi. Metoda ini hanya menilai disinkroni pada
dua segmen miokardium yaitu dinding septum dan dinding posterior.
Sebagai tambahan, 40% pasien tidak dapat tervisualisasi dengan baik karena
acoustic window yang sulit untuk mendapatkan gambaran dinding miokard
yang tegak lurus.2
3. Tissue Doppler imaging (TDI). Teknik ini menggunakan pulse-wave
Doppler untuk merekam kecepatan miokard pada daerah septum basal dan
dinding lateral basal sedekat mungkin dengan annulus katup mitral pada
pandangan four-chamber. Penilaian yang digunakan yaitu dengan
mengukur waktu antara onset QRS dan kecepatan sistolik atau puncak
kecepatan sistolik. Nilai > 62 milidetik hingga awal kecepatan sistolik atau
65 milidetik hingga puncak kecepatan sistolik dinilai abnormal dan
digunakan sebagai prediktor respons yang baik secara klinis atau
ekhokardiografi terhadap CRT. TDI memiliki resolusi temporal yang baik
dan tidak memerlukan identifikasi batas endokardium untuk mementukan
derajat perlambatan. Keterbatasan TDI adalah terkadang ditemukan
kesulitan dalam mengidentifikasi puncak kecepatan yang benar, serta
proses respirasi dan variabilitas denyut jantung terkadang menyebabkan
segmen jantung yang dibandingkan menjadi berbeda karena segmen
jantung tidak dinilai dalam satu waktu.Software alat ekhokardiografi saat
ini telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan ini.Teknik-teknik
TDI terbaru dapat meningkatkan spesifitas dan sensitivitas dalam
mengidentifikasi disinkroni mekanik dibandingkan teknik-teknik lama.
10

Permasalahan lain dari metoda pengukuran dengan TDI ialah penilaian


gerakan sistolik hanya dari bidang longitudinal saja sehingga rentan
terhadap artefak tethering dan pulling pada ekhokardiografi. Padahal
kontraksi jantung terjadi dalam tiga bidang yaitu longitudinal, radial, dan
rotasional.2
4. Three-dimensional echocardiographic. Dengan teknologi ini, kita dapat
menilai gerakan dinding endokardial. Operator hanya perlu menetukan
posisi akhir sistolik dan akhir diastolik apeks ventrikel dan annulus mitral.
Teknik ini memungkinkan kalkulasi indeks disinkroni secara tiga dimensi.
Pengukuran perlambatan gerak secara tiga dimensi ini dapat digunakan
sebagai prediktor yang menjanjikan untuk terjadinya reverse remodeling
setelah CRT. Keterbatasan teknik ini yaitu diperlukannya kualitas gambar
yang baik dan denyut jantung yang stabil.2

2.4.2 Teknik Ekhokardiografi Terbaru

Beberapa teknik ekhokardiografi terbaru berupaya mengatasi keterbatasan


pengukuran longitudinal TDI dan kurangnya penilaian TDI secara radial dan
rotasional.
1. Strain imaging pada pandangan four-chamber dan parasternal short axis
di gabungkan dengan sampling kecepatan pada dua titik yang berdekatan.
2. Speckle tracking. Speckle tracking bergantung pada deteksi otomatis
adanya acoustic scatter saat pencitraan echo. Teknik ini cukup
menjanjikan dan saat ini digunakan pada uji-uji kinis yang sedang
berjalan.2
2.4.3 Metoda Alternatif Penilaian Disinkroni

MRI merupakan alat yang ideal untuk pengukuran strain, tetapi oleh
karena harganya yang mahal. kompleksitas yang tinggi, dan kontraindikasi pada
pasien-pasien dengan pacu jantung atau ICD, pemakaian MRI untuk menilai
disinkroni masih terbatas.2
11
12

III. PERANAN DAN TEKNIK PROSEDURAL PEMASANGAN CRT

3.1 Peranan CRT

Peranan utama CRT adalah meningkatkan performa sistolik dan diastolik


ventrikel kiri lewat peningkatan efisiensi kerja ruang jantung, sehingga
memperbaiki gejala pasien dengan gagal jantung yang refrakter.2
Berbagai mekanisme aksi pada CRT telah dijelaskan oleh berbagai studi.
Salah satunya adalah yang dikemukakan oleh Yu dkk., di mana terjadi reverse
remodeling pada jantung yang akan memperbaiki curah jantung, sehingga
meningkatkan prognosis gagal jantung. Mekanisme utamanya antara lain dengan
memperbaiki kontraksi pada masing-masing segmen ventrikel kiri, sehingga
sinkronisasi intraventrikular akan terjadi. Akibatnya, fungsi sistolik akan lebih
efektif, sehingga akan terjadi perbaikan fraksi ejeksi, curah jantung, dan
parameter lain. Efek lain yang didapatkan dengan adanya sinkronisasi yang baik
antara lain menurunnya tekanan di atrium kiri sehingga tekanan diastolik akhir
ventrikel kri serta volume diastolik akan menurun. Mekanisme kedua adalah
pemendekan isovolumetric contraction time (IVCT) pasca optimalisasi AV delay.
Akibat dari sinkronisasi atrioventrikular yaitu peningkatan waktu pengisian efektif
diastolik ventrikel kiri, yang kemudian akan meningkatkan volume sekuncup.
Mekanisme berikutnya adalah perbaikan sinkronisasi antara ventrikel kanan dan
ventrikel kiri. Hal ini akan menguntungkan dengan adanya interdependensi
ventrikel. Hal ini menyebabkan peningkatan curah jantung di ventrikel kanan
sehingga pengisian ventrikel kiri akan meningkat. Seluruh mekanisme reverse
remodeling ini akan memperbaiki sinkronisasi jantung, mengurangi regurgitasi
mitral, serta memberikan umpan balik positif.8
Peningkatan fungsi sistolik biasanya terlihat pada minggu pertama
implatasi CRT. Pada uji-uji klinis, fraksi ejeksi meningkat rata-rata sebesar 5%
dengan perbaikan mitral regurgitasi yang signifikan serta diikuti oleh perbaikan
gejala pasien yang dinilai lewat peningkatan waktu berjalan dalam 6 menit dan
peningkatan indeks kualitas hidup. Proses remodeling ventrikel kiri berlangsung
minimal setelal 3 bulan atau lebih. Rata-rata, dimensi sistolik dan diastolik
ventrikel kiri menurun secara signifikan setelah CRT. Pada studi-studi terlihat
13

pasien yang dihentikan sementara dari CRT, keuntungan fungsi sistolik


menghilang secara cepat, walaupun dimensi ventrikel kiri tetap terjaga untuk
periode waktu yang lebih lama. Selain itu, electrical remodelling juga terbukti
terjadi pada pasien dengan CRT yaitu CRT menjadikan durasi QRS menjadi lebih
sempit pada pasien dengan LBBB atau IVCD.2

3.2 Teknik Prosedural Pemasangan CRT

3.2.1 Persiapan Pre-Implantasi CRT

Pasien yang dipertimbangkan menjalani CRT harus menjalani evaluasi


pre-implantasi untuk menentukan kemungkinan keberhasilan implantasi, seleksi
alat, pemrograman alat yang tepat, dan respon terhadap terapi. Penilaian
preimplantasi dimulai dari evaluasi kondisi komorbid yang akan menjadikan
proses implantasi sulit atau menurunkan respon terapi. Evaluasi anatomi jantung
dengan pencitraan sangat penting untuk menetukan ukuran dan fungsi ventrikel
kiri. Selain pencitraan anatomi, evaluasi elektrofisologis awal harus dilakukan
meliputi EKG dasar dan riwayat aritmia atau riwayat terapi alat sebelumnya.
Selain itu juga penilaian dan manajemen rejimen obat-obatan gagal jantung
sebelum dan sesudah implantasi merupakan hal yang esensial untuk
memaksimalkan kemungkinan keberhasilan CRT.9
Implantasi CRT pada pasien yang mengkonsumsi dual anti platelet atau
antikoagulan meningkatkan resiko perdarahan perioperatif (misalnya terjadinya
pocket hematoma), tetapi penghentian antikoagulan meningkatkan resiko
tromboemboli. Pasien dengan resiko tromboemboli rendah atau moderat
(misalnya pasien dengan katup biologis, atrial fibrilasi dengan skor CHADS < 4,
tidak ada riwayat tromboemboli sebelumnya) yang mengkonsumsi antikoagulan
harus mengurangi dosis (INR 1.5-2.5) atau menghentikan antikoagulan oral 3-5
hari sebelum tindakan. Pasien dengan resiko tromboemboli rendah atau moderat
dengan antikoagulan baru (misalnya direct thrombin atau inhibitor faktor XA)
harus menghentikan obat tersebut 2-3 hari sebelum tindakan.9
Pasien dengan aspirin atau dual antiplatelet akan meningkatkan resiko
perdarahan saat implantasi CRT sekitar 2 sampai 4 kali dibandingkan pasien yang
14

tidak mengkonsumsi terapi antiplatelet. Pasien yang menerima aspirin dengan


tujuan pencegahan primer dapat menghentikan obatnya secara aman 5-7 hari
sebelum tindakan. Bila pasien menerima dual antiplatelet dengan tujuan
mencegah in-stent thrombosis pasca PCI, clopidogrel dapat diberhentikan selama
5 hari sebelumnya sedangkan aspirin dapat terus dilanjutkan. Sedangkan pada
pasien dengan resiko tinggi in-stent thrombosis (pasien yang baru saja dipasang
stent), dual antiplatelet tidak perlu diberhentikan.9
Tabel 3.1 merangkum penilaian yang harus dilakukan sebelum seseorang
menjalani implantasi CRT.

Tabel 3.1.Metoda Penilaian Pasien sebelum Implantasi CRT


Penilaian Tujuan
Persyaratan dasar EKG Durasi dan morfologi QRS, PR interval,
morfologi gelombang P
Ekhokardiografi Fraksi ejeksi, ukuran ventrikel kiri, MR, fungsi
ventrikel kanan
Tes fungsional (tes jalan 6 Satus fungsional dasar yang objektif
menit atau CPX)
Riwayat dan Pemeriksaan Kelas fungsional NYHA, komorbiditas, harapan
fisik hidup, resiko anatomi vena yang terganggu,
kepantasan untuk prosedur
Kimia darah Elektrolit, fungsi ginjal, tes koagulasi
Riwayat obat-obatan Riwayat pengobatan dengan dosis maksimal
yang dapat ditoleransi, evaluasi obat diuretic
untuk status volume
Evaluasi Disinkroni mekanikal Jenis dan luas disinkroni
tambahan (dengan ekhokardiografi)
Stress Echocardiography Penialain miokardium yang recruitable
Cardiac CT angiography Mapping pencitraan vena besar dan cabang
jantung, ostium sinus koronarius, LVEF, ukuran
ruang
CMRI Mapping pencitraan vena besar dan cabang
jantung, ostium sinus koronarius, LVEF,
karakteristik jaringan ventrikel kiri (daerah
infark)
Penilaian kualitas hidup Penilaian dasar sebagai perbandingan di masa
15

depan
Dikutip dari: Daubert dkk.9

3.2.2 Prosedur Implantasi CRT

Tidak seperti implantasi alat pacu jantung konvensional atau ICD yang
hanya memerlukan pemasangan lead di atrium kanan atau ventrikel kanan saja,
CRT memerlukan implantasi lead di ventrikel kiri. Dahulu hal ini dicapai lewat
prosedur torakotomi. Saat ini hampir 98% implantasi alat CRT dilakukan secara
transvena. Walaupun jarang lagi dipergunakan, beberapa pasien dirujuk untuk
dilakukan torakotomi bila pemasangan secara transvena gagal. Alat-alat CRT saat
ini banyak yang telah dikombinasikan dengan ICD atau alat pacu jantung
dikarenakan banyak pasien kandidat CRT juga merupakan kandidat untuk
pemasangan ICD. Hibridisasi CRT dan ICD meningkatkan kompleksitas
pemrograman, follow-up, dan troubleshooting pada alat-alat tersebut.9
Prosedur implantasi dilakukan di laboratorium elektrofisiologi dalam
keadaan steril. Semua pasien diberikan antibiotika profilaksis setidaknya 30 menit
sebelum prosedur. AHA/ACC/HRS merekomendasikan penggunaan antibiotika
yang memiliki efek anti stafilokokus. Cefazolin intravena harus diberikan dalam 1
jam sebelum insisi dilakukan, sedangkan vancomycin harus diberikan dalam
waktu 2 jam sebelum insisi. Setelah itu, insisi dilakukan untuk membuat kantung
subkutan.9
Biasanya, pendekatan akses vena yang dipakai saat implantasi yaitu lewat
vena sefalika atau vena aksilaris. Lead atrium kanan dan lead ventrikel kanan
diimplantasikan dengan cara yang sama dengan pemasangan alat pacu jantung
atau ICD. Lead ventrikel kiri ditempatkan melalui sinus koronarius sampai cabang
sinus koronarius di dinding bebas ventrikel kiri. Identifikasi vena yang tepat untuk
implantasi dapat dibantu dengan melakukan occlusive sinus coronaries venogram.
Berbagai macam sheats, kateter, dan kawat penuntun tersedia untuk mengkanulasi
sinus koronarius dan menempatkan lead di tempat yang tepat. Walaupun lokasi
optimal penempatan lead ventrikel kiri masih kontroversial, kebanyakan ahli
setuju bahwa posisi lead di anterior dan apical adalah suboptimal. Setelah masuk
16

sinus koronarius, lokasi lead harus dikonfirmasi dengan flouroskopi, biasanya


lewat pandangan left anterior oblique (LAO). Tujuannya yaitu untuk
mendokumentasikan penempatan lead di mid-posterolateral ventrikel kiri dan
terlihatnya separasi lead ventrikel kiri-ventrikel Kanan pada pandangan LAO.
Angulasi yang tajam pada LAO terlihat cenderung lebih akurat. Studi-studi
menunjukkan jarak interlead LV-RV pada ronsen dada lateral merupakan salah
satu prediktor respon terhadap CRT. Batas pacu yang diterima yaitu < 3V pada 0.5
milidetik. Stimulasi diafragma (Phrenic Nerve Stimulating) harus dieksklusi
dengan pemacuan voltase tinggi. Bila diafragma terstimulasi maka lead harus
direposisi. Trauma sinus koronarius terjadi cukup sering saat penempatan lead,
mulai dari diseksi sinus koronarius hingga perforasi. Oleh karena tekanan sistem
vena rendah maka sekuel serius dan tamponade jantung jarang terjadi. Setelah
lead ventrikel kiri terpasang dan berfungsi dengan adekuat, pengeluaran guide
wire dan stylet harus dilakukan dengan hati-hati agar posisi lead tidak berubah.
Perubahan posisi lead terjadi pada sekitar 5-10% kasus. Biasanya perubahan
posisi lead terjadi dalam 24 jam hingga 48 jam pertama setelah implantasi saat
pasien mulai beraktivitas kembali.9

3.2.3 Komplikasi Perioperatif CRT

Komplikasi perioperatif didefinisikan sebagai kejadian apapun pada hari


implantasi sampai dengan 30 hari setelah tindakan yang membutuhkan terapi
dengan cairan intravena atau manajemen invasif. Komplikasi perioperatif secara
keseluruhan berkisar 4 % pada uji-uji klinis terbaru sampai sekitar 28 % pada uji-
uji klinis yang lama.9
Tabel 3.2.Komplikasi Perioperatif: Ringkasan dari berbagai uji klinis
Komplikasi perioperatif Angka kejadian (%)
Gagal implantasi lead LV 4.5-8.5
Pocket haematoma 1.3-3.3
Hemo/penumothoraks 0.4-1.7
Diseksi sinus koronarius 0.5-2.1
Perforasi/tamponade jantung 0.3-2.1
Stimulasi ekstrakardiak 0.8-4
17

Total AV blok 0.3-1


Pergeseran lead LV 2.8-6.9
Pergeseran lead LV 0.4
Gagal ginjal akut 0
Kematian 0.01-0.3
Dikutip dari: Daubert dkk.9

3.2.4 Programming dan Follow-Up CRT

Follow-up setelah pemasangan CRT yaitu EKG 12 lead untuk melihat


biventricular capture dan pemeriksaan alat untuk menilai ambang batas pacu.
Pada pasien-pasien yang terlihat sebagai non responder, ekhokardiografi dapat
digunakan untuk menilai waktu perlambatan AV yang optimal. Studi-studi kecil
memperlihatkan bahwa pemrograman AV dapat memperbaiki respon
hemodinamik pada beberapa pasien. Sedangkan, optimalisasi interventrikel masih
menjadi perdebatan. Sebagai tambahan, dengan merubah konfigurasi alat,
mengobati aritmia, dan optimalisasi obat-obatan gagal jantung, beberapa pasien
nonresponder dapat berubah menjadi responder terhadap CRT.2
Pada sekitar 35% pasien, CRT tidak bekerja secara sementara atau tidak
bekerja secara permanen pada 5% kasus pada follow up tahun kedua. Untungnya,
pada kebanyakan kasus restorasi CRT dapat dilakukan secara tanpa pembedahan.
Parameter pacu jantung, adanya aritmia atrial, dan lead yang malfungsi atau lepas
merupakan penyebab tersering CRT tidak bekerja. Hal ini menyebabkan pasien
mengalami perburukan gejala gagal jantung dan harus menjalani perawatan di
rumah sakit pada kebanyakan kasus.2
18

IV. INDIKASI PEMASANGAN CARDIAC RESYNCHRONIZATION


THERAPY MENURUT PANDUAN

4.1 CRT pada Pasien Sinus Ritme dengan Gagal Jantung Kelas
Fungsional NYHA kelas III-IV

Ada banyak bukti yang kuat mengenai manfaat CRT pada pasien gagal
jantung dengan kelas fungsional NYHA kelas III yang didapat dari RCT
(randomized controlled trial). Penelitian acak telah mendemonstrasikan manfaat
CRT terhadap gejala, kapasitas latihan, fungsi dan struktur ventrikel kiri. Studi
CARE-HF dan Comparison of Medical Therapy, Pacing, and Defibrillation in
Heart Failure (COMPANION) mengevaluasi CRT-P terhadap hospitalisasi gagal
jantung dan semua penyebab kematian. Meta analisis terbaru memperlihatkan
CRT memperbaiki gejala dan mengurangi semua penyebab kematian sampai 22%
(rasio resiko 0.78, interval kepercayaan 95% 0.67-0.91) dan angka hospitalisasi
sekitar 35% (rasio resiko 0.65, interval kepercayaan 95% 0.50-0.86). Bukti pada
pasien gagal jantung dengan kelas fungsional NYHA kelas IV masih terbatas oleh
karena sedikitnya jumlah pasien yang ikut dalam CRT (sekitar 7-15%). Pada
sebuah substudi COMPANION, pasien kelas IV yang tidak sedang dirawat pada
sebulan terakhir menunjukkan reduksi signifikan pada kombinasi endpoint primer
pada semua jenis mortalitas dan hospitalisasi, tetapi hanya menunjukkan tren
untuk semua jenis mortalitas dan kematian akibat gagal jantung.10-11
Durasi kompleks QRS > 120 milidetik merupakan kriteria inklusi yang
digunakan pada kebanyakan studi acak terkontrol. Analisis subgrup dari meta
analisis yang mengevaluasi pengaruh durasi QRS terhadap efikasi CRT, telah
memperlihatkan pada pasien gagal jantung kelas fungsional NYHA III-IV, CRT
menurunkan secara signikan semua penyebab mortatilas atau perawatan pada
pasien dengan durasi QRS 150 milidetik. Lebih jauh lagi, kebanyakan pasien
CRT mempunyai EKG morfologi LBBB, yang dikaitkan dengan manfaat yang
lebih besar dibandingkan dengan pasien non LBBB. Hubungan antara durasi dan
morfologi QRS masih memerlukan eksplorasi lebih jauh.10
19

4.2 CRT pada Pasien Sinus Ritme dengan Gagal Jantung Kelas
Fungsional NYHA kelas II

Empat studi acak terkontrol memperlihatkan CRT memperbaiki fungsi


ventrikel kiri, semua penyebab kematian, dan angka perawatan rumah sakit pada
pasien gagal jantung denga gejala ringan (kelas fungsional NYHA kelas I-II)
dengan sinus ritme, fraksi ejeksi ventrikel kiri 30-40% dan durasi QRS 120-
130 milidetik. Akan tetapi peningkatan kapasitas fungsional atau kualitas hidup
yang didapat hanyalah moderat. Kebanyakan pasien yang diteliti adalah pasien
gagal jantung dengan NYHA kelas II. Resynchronization Reverses Remodelling
in Systolic Left Ventricular Dysfunction (REVERSE) mengikutsertakan 15%
pasien gagal jantung NYHA kelas I dan 18% pada MADIT-CRT. Pada studi ini
CRT tidak memperbaiki semua penyebab kematian dan kejadian gagal jantung
pada pasien dengan NYHA kelas I. Oleh karena itu, rekomendasi penggunaan
CRT hanya dibatasi pada pasien gagal jantung dengan kelas fungsional NYHA
kelas II.10,12
Analisis subgrup dari data-data yang dikumpulkan dari studi MADIT-CRT,
REVERSE, dan RAFT mendemonstrasikan bahwa pasien dengan durasi QRS
150 milidetik mendapat manfaat paling besar dengan CRT. Meta analisis dari
studi acak menunjukkan CRT efektif dalam menurunkan kejadian klinis yang
tidak diinginkan pada pasien dengan durasi QRS awal 150 milidetik.10
Analisis subgrup berdasarkan morfologi QRS pada studi MADIT-CRT,
RAFT, REVERSE, dan meta analisis dari COMPANION, CARE-HF, MADIT
CRT dan RAFT menunjukkan pasien dengan LBBB komplit mendapat manfaat
yang lebih besar dalam hal morbiditas dan mortalitas dari CRT dibandingkan
pasien dengan IVCD non spesifik atau RBBB. Secara khusus, studi MADIT-CRT
menunjukkan pada pasien dengan LBBB yang mendapat CRT-D mengalami
penurunan resiko kematian dan angka perawatan rumah sakit sebesar 53%
dibandingkan pasien dengan ICD saja, sedangkan pasien non LBBB tidak
mendapatkan manfaat klinis dari terapi CRT. Semua analisis subgrup
memperlihatkan hasil yang konsisten bahwa pasien dengan durasi QRS 150
20

milidetik dan gambaran morfologi LBBB mendapatkan hasil yang lebih besar
dengan terapi CRT-D dibandingkan terapi ICD saja. Pada pasien dengan non
LBBB, studi tidak menunjukkan bukti manfaat klinis CRT-D. Hasil serupa didapat
dari studi RAFT dan REVERSE. Berdasarkan bukti ini, rekomendasi kelas I saat
ini hanya dibatasi pada pasien dengn LBBB komplit.10,13
Pasien dengan RBBB biasanya dikaitkan dengan keadaan klinis yang lebih
buruk dibandingkan pasien LBBB dan secara umum diprediksi tidak akan
mendapat manfaat dari CRT. Untuk pasien ini, keputusan penggunaan CRT harus
diindividualisasi berdasarkan data klinis maupun pencitraan yang lain. Studi-studi
menunjukkan tidak adanya manfaat CRT pada pasien dengan durasi QRS < 120
milidetik.10

Tabel 4.1.Kriteria Inklusi Pasien Studi-Studi Acak Terkontrol yang Mengevaluasi


CRT pada Gagal Jantung
Nama Studi Pasien Kelas LVEF LVEDD SR/AF QRS ICD
NYHA (%) (mm) (mm)
MUSTIC 58 III 35 60 SR 150 Tidak
MIRACLE 453 III, IV 35 55 SR 130 Tidak
MUSTIC-AF 43 III 35 60 AF 200 Tidak
PATH-CHF 41 III, IV 35 NA SR 120 Tidak
MIRACLE-ICD 369 III, IV 35 55 SR 130 Ya
CONTAK CD 227 III, IV 35 NA SR 120 Ya
MIRACLE ICD II 186 II 35 55 SR 130 Ya
PATH CHF II 89 III, IV 35 NA SR 120 Ya/Tidak
COMPANION 1520 III, IV 35 NA SR 120 Ya/Tidak
CARE HF 814 III, IV 35 30 SR 120 Tidak
CARE HF 813 III, IV 35 30 SR 120 Tidak
REVERSE 610 I, II 40 55 SR 120 Ya/Tidak
MADIT CRT 1800 I, II 30 NA SR 130 Ya
RAFT 1800 II, III 30 >60 SR/AF 130 Ya
200(AF)
NA: not applicable
Dikutip dari: Brignole dkk.10
21

Tabel 4.2. Endpoint, Desain, dan Temuan Utama Studi Acak Terkontrol yang
Mengevaluasi CRT pada Gagal Jantung

Dikutip dari: Brignole dkk.10

Tabel 4.3. Indikasi CRT pada pasien Sinus Ritme


Rekomendasi Kelas Level
LBBB with QRS duration >150 ms. I A
CRT is recommended in chronic HF patients and LVEF
35% who remain in NYHA functional class II, III and
ambulatory IV despite adequate medical treatment.
LBBB with QRS duration 120150 ms. I B
CRT is recommended in chronic HF patients and LVEF
35% who remain in NYHA functional class II, III and
ambulatory IV despite adequate medical treatment.
Non-LBBB with QRS duration >150 ms. II a B
CRT should be considered in chronic HF patients and
LVEF 35% who remain in NYHA functional class II,
III and ambulatory IV despite adequate medical
treatment.
Non-LBBB with QRS duration 120150 ms. II b B
CRT may be considered in chronic HF patients and
LVEF 35% who remain in NYHA functional class II,
III and ambulatory IV despite adequate medical
treatment.
CRT in patients with chronic HF with QRS duration III B
<120 ms is not recommended
Dikutip dari: Brignole dkk.10

4.3 CRT pada Pasien Atrial Fibrilasi


22

Ada dua kondisi yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan pemasangan


CRT pada pasien AF, yaitu (1) pasien AF dengan gagal jantung derajat sedang-
berat dengan indikasi hemodinamik untuk CRT dan (2) pasien AF respon
ventrikel cepat dengan gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri yang
memerlukan strategi untuk mengontrol denyut jantung dengan ablasi AV
junction.10
Pasien AF berbeda dengan pasien sinus ritme karena laju ventrikel yang
irregular dan biasanya cepat. Disfungsi ventrikel kiri pada beberapa pasien AF
mungkin diakibatkan proses takikardimiopati, dan pada pasien lain diakibatkan
gagal jantung yang lama; dua keadaan yang dapat dikoreksi dengan strategi
mengontrol laju ventrikel dengan ablasi AV junction. Pasien AF biasanya lebih
tua, lebih sakit, dan memiliki komorbid yang lebih banyak sehingga memiliki
prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien dengan sinus ritme. Pemasangan
ICD harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki resiko tinggi mati
mendadak.10
Studi prospektif dan acak yang ditujukan pada pasien AF permanen dan
gagal jantung berat yaitu studi MUSTIC AF. Hasil studi ini yaitu pasien AF
dengan pemacuan biventrikuler di atas 85% memperlihatkan hasil yang signifikan
dalam peningkatan kapasitas fungsional saat follow up bulan ke enam dan tahun
pertama. Pada studi Ablate and Pace in Atrial Fibrillation (APAF), indikasi
primer CRT merupakan indikasi ablasi AV junctional. Pada subgrup pasien
dengan fraksi ejeksi rendah, NYHA kelas III dan durasi QRS 120 milidetik,
CRT menurunkan endpoint primer, termasuk kematian akibat gagal jantung,
angka perawatan gagal jantung, perburukan akibat gagal jantung dan adanya efek
reverse remodeling ventrikel kiri. Temuan yang serupa juga terlihat dari studi
PAVE.10
Meta analisis studi-studi yang membandingkan CRT pada pasien AF
dengan pasien sinus ritme menunjukkan hasil yang serupa dalam perubahan ejeksi
fraksi ventrikel kiri, namun peningkatan kelas fungsional NYHA, tes jalan 6
menit, dan kualitas hidup secara signifikan lebih rendah. Pasien AF memiliki
resiko lebih tinggi untuk tidak berespon terhadap CRT, dan adanya AF
23

diasosiasikan dengan peningkatan lebih rendah dalam kualitas hidup, tes jalan 6
menit, dan volume akhir sistolik ventrikel kiri.10
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya determinan utama keberhasilan
CRT adalah efektifnya pemacuan biventrikular, sedangkan AF merupakan
determinan utama dalam kegagalan pemacuan biventrikular.10
Pada kebanyakan pasien AF dengan konduksi AV yang intak, pemacuan
biventrikular hanya dapat dicapai dengan melakukan ablasi AV junction, dan
beberapa penulis memerlukan ablasi AV junction yang sistematis. Perlu diingat,
penggunaan ablasi AV junction sangat bervariasi dalam berbagai studi, berkisar
antara 15% sampai dengan 100%. 10
Keputusan untuk melakukan ablasi AV junction masih merupakan
perdebatan, namun kebanyakan studi memperlihatkan peningkatan hasil CRT
dengan ablasi. Sebagai kesimpulan, ablasi AV junction yang rutin memastikan
pemacuan biventrikular yang adekuat tercapai pada pasien AF. Potensi manfaat
tersebut harus seimbang dengan resiko perlunya pacu jantung. Ablasi AV junction
dapat dilakukan saat implantasi CRT atau beberapa minggu setelah implantasi.10
Walaupun buktinya lemah karena sedikitnya studi acak yang besar, para
ahli berpendapat bahwa implantasi CRT pada pasien AF memiliki indikasi yang
sama dengan pasien sinus ritme, dimana ablasi AV junction dapat dilakukan pada
pasien dengan biventricular capture yang inkomplit.10

Tabel 4.4. Indikasi CRT pada Pasien AF Permanen


Rekomendasi Kelas Level
Patients with HF, wide QRS and reduced LVEF:
1A) CRT should be considered in chronic HF patients, intrinsic II a B
QRS 120 ms and LVEF 35% who remain in NYHA functional
class III and ambulatory IV despite adequate medical treatmentd,
provided that a BiV pacing as close to 100% as possible can be
achieved.
1B) AV junction ablation should be added in case of incomplete II a B
BiV pacing.
Patients with uncontrolled heart rate who are candidates for AV
junction ablation.
CRT should be considered in patients with reduced LVEF who are II a B
candidates for AV junction ablation for rate control.
Dikutip dari: Brignole dkk.10
24

Gambar 4.1. Indikasi Ablasi AV pada Pasien AF Permanen yang Simptomatik dan
mendapat Terapi Farmakologis Optimal
Dikutip dari: Brignole dkk.10

4.4 Pemilihan Mode Pacu dan Optimalisasi CRT

Modalitas pacu standar CRT yaitu terdiri dari pacu simultan kedua
ventrikel dengan perlambatan AV yang terprogram sekitar 100-120 milidetik,
disertai penempatan lead ventrikel kiri di vena lateral atau posterolateral. Praktik
seperti ini kebanyakan didapat secara empiris berdasarkan alasan patofisiologi dan
bukti dari studi-studi klinis awal. Optimalisasi CRT bertujuan untuk mengurangi
persentase pasien yang nonresponder. Untuk kepentingan ini, ada empat area
mayor yang menjadi subjek penelitian:
Bagaimana untuk mencapai biventricular pacing hingga mendekati
100%
Bagaimana memilih lokasi implantasi lead ventrikel kiri yang terbaik
Bagaimana pemrograman interval AV agar tercapai kontribusi
kontraksi atrium kiri yang maksimal saat pengisian ventrikel kiri
(resinkronisasi AV), dan
25

Bagaimana mengeliminasi residu disinkroni ventrikel kiri setelah


biventricular pacing dengan memilih pacu RV dan LV yang tepat
(optimalisasi interval interventricular (VV)).10

4.4.1 Loss of Biventricular Pacing

Pacu biventrikular yang terus-menerus dan efektif merupakan hal yang


krusial agar didapat hasil CRT yang maksimal. Pada studi yang mengikutsertakan
1812 pasien gagal jantung yang menjalani CRT, persentase pemacuan
biventrikular antara 93-100% diasosiasikan dengan penurunan semua penyebab
kematian dan angka hospitalisasi sebesar 44% dibandingkan dengan pasien
dengan persentase pemacuan biventrikel sekitar 0-92%. Studi-studi lain
mengkonfirmasi temuan ini. Penyebab terbanyak pacing loss adalah
pemrograman yang tidak tepat pada perlambatan AV (sekitar 34% kasus), diikuti
atrial takikardia (31% kasus) dan adanya kompleks ventrikel premature (17%
kasus). Bukti-bukti ini mengindikasikan bahwa pemacuan biventrikular harus
dijaga sebisa mungkin mendekati 100%.10

4.4.2 Pemilihan Posisi Lead di Ventrikel Kiri dan Lead Ventrikel Kiri
Tunggal versus Lead Multipel

Perlambatan terbesar kontraksi mekanikal pada pasien gagal jantung


dengan LBBB biasanya terjadi pada daerah posterolateral ventrikel kiri, sehingga
lokasi tersebut merupakan lokasi yang disenangi untuk pemasangan lead ventrikel
kiri. Subanalisis studi COMPANION menunjukkan penempatan posisi lead di
anterior, lateral, dan posterior menghasilkan perbaikan klinis yang serupa. Studi
REVERSE mengindikasikan pemasangan lead di lateral ventrikel kiri
diasosiasikan dengan hasil yang superior dalam reverse remodeling ventrikel kiri,
angka kematian dan angka hospitalisasi.10
Data yang terkumpul dari studi MADIT-CRT memperlihatkan pemasangan
lead di mid-ventrikel atau basal ventrikel memperlihatkan hasil yang superior
dibandingkan posisi apikal. Posisi lead di apikal ventrikel kiri diasosiasikan
26

dengan penurunan resinkronisasi akibat jarak lead di ventrikel kiri yang dekat
dengan lead ventrikel kanan.10
Bagaimanapun, beberapa studi memperlihatkan posisi lead ventrikel kiri
di daerah dengan aktivasi mekanikal yang paling lambat menunjukkan luaran
yang lebih baik dibandingkan posisi yang diskordan. Variasi individual dalam
perlambatan konduksi yang mungkin akan merubah daerah aktivasi ventrikel kiri
yang paling lambat dan adanya parut miokardium transmural pada daerah yang
menjadi target lead ventrikel kiri dapat mempengaruhi hasil CRT. Studi Targeted
Left Ventricular Lead Placement to Guide Cardiac Resyncronization Therapy
(TARGET) yang membandingkan pemasangan lead ventrikel kiri non apical di
daerah dengan aktivasi paling lambat (yang dinilai dengan metoda speckle
tracking echocardiography) dengan pemasangan ventrikel kiri yang konvensional
menunjukkan bahwa pasien dengan lead ventrikel kiri di daerah yang paling
lambat teraktivasi memperlihatkan proporsi responder secara ekhokardiografi dan
secara klinis yang lebih besar, serta angka kematian dan hospitalisasi yang lebih
rendah.10
Studi kecil yang mengikutsertakan pasien gagal jantung kelas
fungsional NYHA kelas III-IV dengan sinus ritme dan LBBB menunjukkan
bahwa pemacuan ventrikel kiri pada dua tempat menghasilkan perbaikan
hemodinamik dibandingkan dengan pemacuan pada satu tempat. Begitu juga,
pemasangan lead ventrikel kiri di endocardial memperlihatkan hasil yang lebih
baik dengan menghasilkan sinkronisasi yang lebih homogen. Untuk membuktikan
konfigurasi CRT mana yang terbaik masih diperlukan studi yang lebih besar.10

4.4.3 Optimalisasi Alat CRT

Studi observasional mengidentifikasi bahwa pemrograman perlambatan


AV dan atau VV yang suboptimal merupakan salah satu faktor determinan pasien
dengan respon buruk terhadap CRT. Beberapa studi observasional dan studi acak
kecil telah menunjukkan bahwa pasien yang dilakukan optimalisasi perlambatan
AV dan VV memperlihatkan perbaikan gejala gagal jantung. Akan tetapi, hal ini
tidak sejalan dengan hasil dari studi-studi multisenter yang besar yang
27

menyatakan bahwa optimalisasi perlambatan AV dan VV yang rutin hanya


mempunyai efek yang terbatas pada keluaran kinis atau pun ekhokardiografi
dibandingkan dengan pasien yang dengan perlambatan AV yang tetap (100-120
milidetik) dan pemacuan biventrikular yang simultan.10
Seleksi pasien, waktu prosedural, dan metodologi yang tidak homogen
antar studi menyebabkan konklusi yang didapat tidak kuat. Oleh karena itu, bukti
yang ada saat ini tidak menyarankan optimalisasi AV dan VV secara rutin pada
pasien CRT.10
Bagaimanapun, pada pasien CRT yang nonresponder, pasien gagal jantung
iskemik atau perlunya pacu atrial, maka evaluasi perlambatan AV dan VV dapat
direkomendasikan untuk mengoreksi pengaturan alat yang suboptimal. Metoda
optimalisasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu optimalisasi
berdasarkan ekhokardiografi dan non-ekhokardiografi. Studi SMART-AV,
FREEDOM, dan Adaptive CRT menunjukkan tidak adanya perbedaan yang jelas
antara kedua metoda optimalisasi ini.10

Tabel 4.5. Rangkuman Hasil Studi Optimalisasi CRT


28

Dikutip dari: Brignole dkk.10

4.4.4 Pacu Biventricular versus Pacu Ventrikel Kiri

Pacu biventrikular merupakan metoda yang paling sering dipakai dalam


CRT. Akan tetapi, beberapa studi memperlihatkan bahwa pacu ventrikel kiri saja
ternyata non inferior. Studi BELIEVE, B-LEFT, dan GRATEREARTH
memperlihatkan bahwa pacu ventrikel kiri saja memperlihatkan hasil yang serupa
dengan pacu biventrikular dalam peningkatan kapasitas latihan, kualitas hidup,
dan fungsi ventrikel kiri. Pemacuan ventrikel kiri saja tampaknya berguna pada
pasien anak-anak dan orang muda.10

Tabel 4.6. Pemilihan Mode Pacu CRT


Rekomendasi Kelas Level
1) The goal of CRT should be to achieve BiV pacing as close to II a B
100% as possible since the survival benefit and reduction in
hospitalization are strongly associated with an increasing
percentage of BiV pacing.
2) Apical position of the LV lead should be avoided when II a B
possible.
3) LV lead placement may be targeted at the latest activated LV II b B
segment.
Dikutip dari: Brignole dkk.10
29

4.5 CRT pada Pasien dengan Laju Denyut Jantung Tidak Terkontrol
yang Merupakan Kandidat Ablasi AV Junction

Ablasi AV junction dan pemasangan pacu jantung permanen di apeks


ventrikel kanan dapat mengontrol laju denyut jantung dengan efisien dan
meregulasi respon ventrikel pada pasien AF sehingga dapat memperbaiki gejala
pasien. akan tetapi, disinkroni ventrikel kiri dapat terinduksi pada hampir 50%
pasien yang dapat diikuti perburukan gejala gagal jantung. CRT dapat mencegah
potensi disinkroni ventrike kiri yang diinduksi oleh RV pacing dan merupakan
pilihan yang menarik pada pasien yang cocok untuk dilakukan ablasi AV junction
oleh karena AF yang cepat.10

4.6 CRT pada Pasien Gagal Jantung dengan Indikasi Pemasangan Pacu
Jantung

Studi-studi sebelumnya telah memperlihatkan dengan jelas bahwa RV


apical pacing dapat berefek buruk terhadap struktur dan fungsi jantung.
Pemasangan biventricular pacing (CRT) dapat dipertimbangkan pada pasien yang
memerlukan RV pacing yang sering atau permanen yang dikarenakan bradikardia
dengan gagal jantung bergejala dan fraksi ejeksi yang rendah.10
Studi-studi yang ada mengenai up-grade pacu jantung konvensional ke
CRT menunjukkan CRT secara konsisten memperbaiki gejala pasien, mengurangi
angka perawatan, dan memperbaiki fungsi jantung dibandingkan pasien saat
menggunakan RV pacing.10
Walaupun studi acak yang besar yang meneliti hal ini tidak banyak, bukti-
bukti dan konsensus secara umum merekomendasikan bahwa pasien dengan
indikasi pemasangan pacu jantung konvensional yang memiliki gejala gagal
jantung yang berat dan fraksi ejeksi yang rendah, upgrading ke pacu jantung
dengan CRT dapat menurunkan angka perawatan, memperbaiki fungsi jantung,
dan gejala gagal jantung. Akan tetapi, oleh karena resiko komplikasi yang lebih
tinggi pada pasien dengan prosedur upgrading dibandingkan prosedur implantasi
30

primer, maka rasio resiko-manfaat yang didapat bagi pasien harus


dipertimbangkan dahulu.10

Tabel 4.7. Indikasi Upgrading atau De Novo CRT pada Pasien CRT dengan Indikasi
Pacu Jantung Konvensional dan Gagal Jantung
Rekomendasi Kelas Level
1) Upgrade from conventional PM or ICD.
CRT is indicated in HF patients with LVEF <35% and high I B
percentage of ventricular pacing who remain in NYHA class III
and ambulatory IV despite adequate medical treatment
2) De novo cardiac resynchronization therapy. II a B
CRT should be considered in HF patients, reduced EF and
expected high percentage of ventricular pacing in order to
decrease the risk of worsening HF.
Dikutip dari: Brignole dkk.10

4.7 Penambahan Implantable Cardioverter Defibrillator pada CRT


(CRT-D)

4.7.1 Manfaat Penambahan CRT pada pasien dengan indikasi pemasangan


ICD

Lima studi acak yang besar telah membandingkan efek CRT-D dengan
pemasangan ICD saja. Pasien dengan CRT-D menunjukkan manfaat dalam hal
angka kesintasan, morbiditas, dan perbaikan gejala. Oleh karena itu, pada pasien
dengan indikasi ICD untuk prevensi primer atau sekunder untuk mencegah mati
mendadak, penambahan CRT direkomendasikan pada pasien dengan gagal
jantung kronik bergejala yang telah mendapat terapi medikamentosa yang
optimal. fraksi ejeksi kurang dari 35% dan LBBB komplit.10

4.7.2 Manfaat Penambahan ICD pada pasien dengan inidkasi pemasangan


CRT

Walaupun alasan teoritis penambahan ICD pada CRT jelas yaitu untuk
mengurangi resiko kematian akibat aritmia, akan terapi manfaat kesintasan CRT-
31

D terhadap CRT-P masih menjadi perdebatan, karena tidak ada studi acak
terkontrol yang didesain untuk membandingkan hal tersebut.10
Studi COMPANION mempunyai 3 kelompok pasien yaitu kelompok
terapi medikamentosa yang optimal, kelompok CRT-P, dan kelompok CRT-D.
Akan tetapi, penelitian ini tidak didesain untuk membandingkan CRT-D dengan
CRT-P. Hasil penelitian ini yaitu hanya CRT-D yang diasosiasikan dengan
penurunan mortalitas total yang signifikan dalam tahun pertama dibandingkan
terapi medikamentosa optimal, sedangkan pasien dengan CRT-P didapatkan hasil
sedikit signifikan. Sudden cardiac death hanya menurun secara signifikan pada
CRT-D dibandingkan terapi medikamentosa optimal. Tetapi, studi yang
membandingkan CRT-P saja dengan terapi medikamentosa optimal tidak
menunjukkan penurunan resiko sudden cardiac death pada pasien dengan CRT.10
Studi CARE-HF adalah studi pertama yang menunjukkan penurunan
mortalitas total dengan CRT dibandingkan dengan kontrol, tetapi tidak
menurunkan angka sudden cardiac death secara signifikan. Hal ini mungkin
terjadi karena penurunan resiko sudden cardiac death berhubungan dengan derajat
reverse remodeling yang terjadi lebih lambat. Sebuah meta analisis terbaru juga
menunjukkan hal serupa. Sebagai kesimpulan, bukti yang ada dari studi acak
terkontrol tidak cukup untuk menunjukkan superioritas kombinasi CRT dan ICD
dibandingkan CRT saja. Akan tetapi, menurut analisis Bayesian, berdasarkan
analisis ekstrapolasi, menyimpulkan mungkin terapi kombinasi merupakan pilihan
yang terbaik.10,14
Oleh karena tidak adanya bukti yang kuat mengenai superioritas CRT-D
dibandingkan CRT saja dari studi-studi yang ada, ESC berpendapat bahwa tidak
ada rekomendasi yang baku yang dapat dibuat mengenai hal ini, dan keputusan
mengenai pilihan terapi CRT-D atau CRT-P dapat dibuat dengan
mempertimbangkan kondisi klinis secara keseluruhan, komplikasi yang berkaitan
dengan alat, dan faktor pembiayaan.10,15

Tabel 4.8. Indikasi Pemasangan Kombinasi CRT dan ICD


Rekomendasi Kelas Rekomendasi Level
32

When an ICD is planned, a CRT is recommende when I A


indicated

When a CRT is planned, implantation of CRT-D device should IIa B


be considered in patient with clinical listed in table

Dikutip dari: Brignole dkk.11

Tabel 4.9. Pedoman Klinis Pemilihan antara CRT-P atau CRT-D pada Prevensi Primer
CRT-P lebih terpilih CRT-D lebih terpilih

Gagal jantung yang lanjut Harapan hidup > tahun

Gagal ginjal yang berat atau dalam dialisi Gagal jantung stabil (NYHA II)

Adanya komorbid lain yang berat Ischemic heart disease

Frailty (rapuh) Komorbid lebih sedikit

Kaheksia

Dikutip dari: Brignole dkk.11

Tabel 4.10. Komparasi Hasil CRT-D vs CRT-P dalam Prevensi Primer


CRT-D CRT-P

Penurunan mortalitas Level of evidence serupa, Level of evidence serupa,


tetapi sedikit lebih baik tetapi sedikit lebih buruk

Komplikasi Lebih tinggi Lebih rendah

Biaya Lebih tinggi Lebih rendah

Dikutip dari: Brignole dkk.11.

V. PASIEN NON RESPONDER TERHADAP CARDIAC


RESYNCHRONIZATION THERAPY

Hampir sekitar 30 % pasien yang menerima CRT berdasarkan kriteria


QRS saat ini gagal menunjukkan manfaat dari CRT, suatu keadaan yang sering
disebut sebagai nonresponder. Pasien-pasien ini tidak menunjukkan perbaikan
malahan menunjukan perburukan, dan pada pasien ini tidak didapatkan adanya
bukti reverse remodeling ventrikel. Etiologi yang jelas yang menjelaskan keadaan
ini belum diketahui secara pasti. Salah satu kemungkinannya yaitu kurangnya
perlambatan konduksi sebelum CRT. Mungkin durasi QRS saja tidak cukup baik
33

sebagai indikator disinkroni mekanikal, dimana beberapa pasien yang memiliki


durasi QRS lebar tidak menunjukkan disinkroni mekanikal.2,9
Penjelasan lain yang mungkin adalah kurangnya manfaat CRT pada pasien
yang terdapat scar yang besar di daerah dinding bebas ventrikel kiri. Daerah
miokardium yang fibrosis adalah daerah yang non-viable secara elektrik maupun
mekamik. sehingga pemacuan daerah tersebut memberikan manfaat yang tidak
banyak.2
Penempatan lead juga mungkin berpengaruh terhadap respon CRT.
Biasanya, pada pasien kardiomiopati dilatasi non iskemik dan LBBB, segmen
posterobasal merupakan daerah yang paling terlambat mengalami aktivasi dan
kontraksi. Hal ini tidak selalu terjadi pada kasus disfungsi ventrikel kiri yang
disebabkan oleh proses iskemik, dimana terkadang dinding inferior lah yang
paling lambat teraktivasi.9
Evaluasi pasien non responder CRT harus dimulai dari pemeriksaan fisik,
penilaian regimen medikamentosa, penilaian lokasi lead, dan fungsi alat. Alat
CRT harus diinterogasi untuk menilai aritmia atrial atau ventricular, sensing dan
pacing, respon denyut jantung, dan adanya BiV capture yang kontinyu.9

5.1 Prediktor Respon terhadap Cardiac Resynchronization Theraphy

Studi-studi menunjukkan hubungan yang erat antara derajat reverse


remodeling dan respons klinis pada pasien pengguna CRT, dan memperlihatkan
sebuah spektrum absolut yaitu respons dan non-respons. Kurangnya konsensus
mengenai definisi responder terhadap CRT membuat pengertian respons klinis
menjadi tidak seragam. Respons klinis yang pernah dinilai berdasarkan studi-studi
klinis antara lain kelas fungsional NYHA, skor kualitas hidup, kapasitas latihan
dengan tes jalan 6 menit merupakan penilaian yang baik. Hasil tersebut kemudian
dibandingkan dengan parameter ekokardiografi. Pengukuran yang biasanya
dipakai antara lain perubahan pada ventrikel kiri, biasanya indeks volume sistolik
akhir atau indeks volume diastolik akhir.9,16-17
34

Beberapa kondisi klinis dan karakterisitik fungsi jantung telah terbukti


dapat memprediksi respon terhadap CRT. Pasien gagal jantung tahap akhir yang
salah satunya adalah pasien yang tergantung terhadap obat inotropik mempunyai
respon yang buruk. Oleh karena itu CRT harus dipertimbangkan secara hati-hati
pada pasien gagal jantung stage D ACC AHA. Pasien dengan etiologi gagal
jantungnya non-iskemik seringkali berespon lebih baik terhadap CRT. Beberapa
studi telah berupaya menstratifikasi pasien dengan gagal jantung akibat iskemik
dengan cara mengevaluasi luasnya jaringan parut (scar). Pasien yang memiliki
scar luas yang diukur dengan MRI berespon lebih buruk terhadap CRT. Beberapa
studi menunjukkan bahwa wanita cenderung merespon lebih baik.9
Penelitian sudah membuktikan bahwa durasi dan morfologi dasar
gelombang QRS pada EKG merupakan predictor luaran jangka panjang dan
respon terhadap CRT. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengukuran disinkroni
mekanikal lewat ekhokardiografi atau pencitraan lainnya merupakan salah satu
prediktor respon terhadap CRT, walaupun pengukuran tersebut tidak selalu sesuai
dengan derajat respons.9,18
Pendekatan penilaian multiparameter untuk memprediksi respon terhadap
CRT telah dievaluasi pada penelitian MADIT. Sebanyak tujuh faktor telah
diidentifikasi berkaitan dengan respon ekhokardiografi 1 tahun post implantasi
yaitu jenis kelamin perempuan, etiologi non-iskemik, LBBB, durasi QRS > 15
milidetik, hospitalisasi sebelumnya akibat gagal jantung, LV end-diastolic volume
> 125 ml/m2, volume atrium kiri < 40 ml/m2.9
Kriteria respons terhadap CRT dapat dibagi menjadi :
-
Super responder didefinisikan sebagai adanya perbaikan absolut dari
fraksi ejeksi ventrikel kiri > 20% dibandingkan dengan fraksi ejeksi
sebelum pemasangan,19 atau adanya penurunan volume sistolik akhir >
30%.20
-
Responder didefinisikan sebagai adanya penurunan volume sistolik akhir
15-29%.
-
Non responder didefinisikan sebagai adanya penurunan volume sistolik
akhir sebesar 0-14 %.
35

-
Negatif responder didefinisikan sebagai adanya peningkatan volume
sistolik akhir dari ventrikel kiri.4

Gambar 5.1. Faktor Klinis yang Mempengaruhi Respon terhadap CRT


Dikutip dari: Brignole dkk.10

5.2 Tatalaksana Pasien Non Responder

Reprogramming
Pemrograman kembali, baik dengan modifikasi perlambatan AV/VV atau
laju jantung, dapat dilakukan setelah evaluasi alat yang menyeluruh.9-10
Optimalisasi terapi medikamentosa
Optimalisasi terapi medikamentosa harus merupakan tujuan pada semua
pasien gagal jantung. Ciri khusus CRT ialah peningkatan tekanan sistolik
36

darah, dan secara teoritis peningkatan sistolik ini memungkinakan titrasi


naik obat-obatan gagal jantung.9-10
Konfigurasi/Posisi Pacing Lead
Peranan posisi lead pacu untuk mencegah atau memperbaiki non
responder masih kontroversial, dimana lokasi optimal penempatan lead
juga masih menjadi perdebatan. Beberapa peneliti menyarankan dengan
pacing di beberapa tempat pada ventrikel kiri atau kanan akan
memperbaiki disinkroni jantung. Yoshida dkk membandingkan
biventricular pacing konvensional dengan triple-site pacing yaitu satu
lead di ventrikel kiri dan dua lead di ventrikel kanan. Hasilnya yaitu
terdapat peningkatan cardiac output pada pasien dengan triple-site pacing.
Konfigurasi triple-site pacing yang lain dengan menempatkan dua lead di
ventrikel kiri lewat sinus koronarius juga telah diteliti.Penelitian Leclerq
dkk menunjukkan bahwa triple-site pacing menghasilkan peningkatan
signifikan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri dan volume akhir saat sistolik
ventrikel kiri setelah 3 bulan.9-10
Pemacuan Endokardium Ventrikel Kiri
Beberapa studi preklinik menunjukkan konsistensi manfaat hemodinamik
pada pemacuan di endokardium ventrikel kiri dibandingkan pemacuan di
epikardial. Pada studi ini, akses menuju endokardium ventrikel kiri didapat
dengan menembus transseptal atrial. Beberapa laporan terakhir
menjelaskan kemungkinan pendekatan transapical untuk penempatan di
endokardium ventrikel kiri.9-10
Tatalaksana Aritmia
Respon yang buruk terhadap CRT mungkin diakibatkan adanya aritmia
termasuk atrial fibrilasi dan kontraksi premature ventrikel yang sering.
Selain hilangnya koordinasi atrioventrikular, permasalahan utama pada
atrial fibrilasi yaitu adanya atrial fibrilasi respon ventrikuler yang cepat
yang melebihi kecepatan pacing. Ablasi kateterisasi nodus AV
dimungkinkan pada pasien CRT dengan AF untuk meyakinkan pemacuan
ventrikel kiri 100 % oleh CRT. Singkat kata, pasien CRT dengan atrial
37

fibrilasi yang permanen atau sering harus dipertimbangkan untuk


menjalani ablasi AV node.9
Isu yang lebih kontroversial ialah pasien CRT dengan atrial fibrilasi harus
menjalani prosedur pulmonary vein isolation (PVI) atau ablasi atrium kiri
dengan tujuan untuk menghilangkan atrial fibrilasi dan mengurangi efek
aritmia.9
Peranan ablasi kateterisasi pada pasien CRT dengan kontraksi ventrikel
prematur yang mengganggu belum diteliti terlalu banyak. Pendekatan
ablasi pada pasien dengan kontraksi ventrikel prematur masih memerlukan
penelitian lebih jauh.9
38

VI. KESIMPULAN

Saat ini CRT telah menjadi suatu terapi yang efektif pada pasien-pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri yang refrakter terhadap obat-obatan gagal jantung
dan mempunyai durasi QRS yang lebar. Studi-studi klinis yang besar telah
membuktikan bahwa CRT mengurangi morbiditas dan mortalitas secara signifikan
pada pasien-pasien gagal jantung.
Adanya pasien-pasien yang nonresponder terhadap CRT sampai saat ini
masih menjadi masalah yang utama dalam terapi CRT. Para peneliti masih
berusaha untuk memprediksi respon seseorang terhadap CRT. Penelitian-
penelitian yang ada saat ini yang memfokuskan penggunaan alat pencitraan
sebagai prediktor keberhasilan CRT belum berhasil menemukan prediktor yang
reliable dan dapat dipergunakan di senter-senter yang berbeda.
Selain itu, beberapa pasien yang tidak terpilih untuk menjalani CRT
berdasarkan pedoman yang ada saat ini mungkin sebenarnya akan mendapat
manfaat dari terapi ini. Salah satu tantangan utama pada aplikasi CRT adalah
definisi yang optimal akan penggunaan yang tepat dan hemat dari teknologi yang
berbiaya mahal ini.
v

VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Nohria A, Lewis E, Stevenson LW. Medical management of advanced heart


failure. JAMA. 2002 Feb 6;287(5):628-40.
2. Borek P. Cardiac Resynchronization Therapy. Dalam: Griffin BP, Topol EJ,
editor. Manual of Cardiovascular Medicine. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott
Wiliams and Wilkins; 2009. hlm. 734-42.
3. McAlister FA, Ezekowitz J, Hooton N, Vandermeer B, Spooner C, Dryden DM,
dkk. Cardiac resynchronization therapy for patients with left ventricular systolic
dysfunction: a systematic review. JAMA. 2007 Jun 13;297(22):2502-14.
4. Auricchio A, Prinzen FW. Non-responders to cardiac resynchronization therapy:
the magnitude of the problem and the issues. Circ J. 2011;75(3):521-7.
5. Auricchio A, Prinzen FW. Update on the pathophysiological basics of cardiac
resynchronization therapy. Europace. 2008 Jul;10(7):797-800.
6. Aiba T, Tomaselli GF. Electrical remodeling in the failing heart. Curr Opin
Cardiol. 2010 Jan;25(1):29-36.
7. Chung ES, Leon AR, Tavazzi L, Sun JP, Nihoyannopoulos P, Merlino J, dkk.
Results of the Predictors of Response to CRT (PROSPECT) trial. Circulation.
2008 May 20;117(20):2608-16.
8. Yu CM, Chau E, Sanderson JE, Fan K, Tang MO, Fung WH, dkk. Tissue Doppler
echocardiographic evidence of reverse remodeling and improved synchronicity
by simultaneously delaying regional contraction after biventricular pacing
therapy in heart failure. Circulation. 2002 Jan 29;105(4):438-45.
9. Daubert JC, Saxon L, Adamson PB, Auricchio A, Berger RD, Beshai JF, dkk.
2012 EHRA/HRS expert consensus statement on cardiac resynchronization
therapy in heart failure: implant and follow-up recommendations and
management. Heart Rhythm. 2012 Sep;9(9):1524-76.
10. Brignole M, Auricchio A, Baron-Esquivias G, Bordachar P, Boriani G, Breithardt
OA, dkk. 2013 ESC Guidelines on cardiac pacing and cardiac resynchronization
therapy: the Task Force on cardiac pacing and resynchronization therapy of the
European Society of Cardiology (ESC). Developed in collaboration with the
European Heart Rhythm Association (EHRA). Eur Heart J. 2013
Aug;34(29):2281-329.
11. Bristow MR, Saxon LA, Boehmer J, Krueger S, Kass DA, De Marco T, dkk.
Cardiac-resynchronization therapy with or without an implantable defibrillator in
advanced chronic heart failure. N Engl J Med. 2004 May 20;350(21):2140-50.
12. Moss AJ, Hall WJ, Cannom DS, Klein H, Brown MW, Daubert JP, dkk. Cardiac-
resynchronization therapy for the prevention of heart-failure events. N Engl J
Med. 2009 Oct 1;361(14):1329-38.
13. Cleland JG, Daubert JC, Erdmann E, Freemantle N, Gras D, Kappenberger L,
dkk. The CARE-HF study (CArdiac REsynchronisation in Heart Failure study):
rationale, design and end-points. Eur J Heart Fail. 2001 Aug;3(4):481-9.
14. Lam SK, Owen A. Combined resynchronisation and implantable defibrillator
therapy in left ventricular dysfunction: Bayesian network meta-analysis of
randomised controlled trials. BMJ. 2007 Nov 3;335(7626):925.
15. Barnett D, Phillips S, Longson C. Cardiac resynchronisation therapy for the
treatment of heart failure: NICE technology appraisal guidance. Heart. 2007
Sep;93(9):1134-5.
vi

16. Parsai C, Bijnens B, Sutherland GR, Baltabaeva A, Claus P, Marciniak M, dkk.


Toward understanding response to cardiac resynchronization therapy: left
ventricular dyssynchrony is only one of multiple mechanisms. Eur Heart J. 2009
Apr;30(8):940-9.
17. Yu CM, Sanderson JE, Gorcsan J, 3rd. Echocardiography, dyssynchrony, and the
response to cardiac resynchronization therapy. Eur Heart J. 2010
Oct;31(19):2326-37.
18. Lecoq G, Leclercq C, Leray E, Crocq C, Alonso C, de Place C, dkk. Clinical and
electrocardiographic predictors of a positive response to cardiac
resynchronization therapy in advanced heart failure. Eur Heart J. 2005
Jun;26(11):1094-100.
19. Rickard J, Kumbhani DJ, Popovic Z, Verhaert D, Manne M, Sraow D, dkk.
Characterization of super-response to cardiac resynchronization therapy. Heart
rhythm : the official journal of the Heart Rhythm Society. 2010 Jul;7(7):885-9.
20. Ypenburg C, van Bommel RJ, Borleffs CJ, Bleeker GB, Boersma E, Schalij MJ,
dkk. Long-term prognosis after cardiac resynchronization therapy is related to the
extent of left ventricular reverse remodeling at midterm follow-up. Journal of the
American College of Cardiology. 2009 Feb 10;53(6):483-90.

Anda mungkin juga menyukai