Anda di halaman 1dari 19

Bertanam Budi

Apa Tanda Melayu jati


elok perangai mulia budi pekerti
sakit senang menanam budi

Apa tanda Melayu jati


Hidunya Tahu membalas budi

Apa tandanya melayu jati,


membalas budi sampailah mati

Apa tanda Melayu jaiti,


Karena budi berani mati

Apa tabda Melayu Jati,


Temakan budi ia takuti

Apa tanda Melayu terpilih


Bertanam budi tiada memilih

Apa tanda Melayu Pilihan


Bertanam Budi jadi amalan

Apa tanda Melayu pilihan


Bertanam budi jadi amalan

Apa tanda Melayu Pilihan,


Temakan budi ia elakkan,
bertanam budi ia galakkan

Apa tanda Melayu terbilang


jujur di muka, lurus dibilang

Apa tanda Melayu bertuah


Batinya jujur dan lembut lidah.

Konsep Budi yang menjadi nilai dasar atau nilai akhir dalam filsafat hidup orang Melayu berasal
dari bahasa Sansekerta buddhi yang berarti organ pikiran untuk menilai dan membedakan
perbuatan baik dan buruk (the organ of mind responsible for discrimination and judgement)[i].
Kata Budi ini menurut sebagian ahli juga menjadi akar pembentukan kata budhaya (bentuk jamak
dari buddhi) atau di-Indonesiakan menjadi budaya yang kemudian membentuk kata kebudayaan
atau kata culture[ii] dalam bahasa Inggris.
Belum diketahui secara pasti kapan kata Budi[iii] ini diserap dalam bahasa Melayu atau bahasa
lainnya di Nusantara yang juga menggunakan kata ini sebagai bagian dari sistem nilai
mereka. Tampaknya perlu pengkajian tersendiri untuk mengungkap asal-usul kata yang sangat
penting bagi berbagai etnik di kepulauan nusantara ini. Kuat dugaan kata ini diserap pada
masa berkembangnya agama Buddha di kekaisaran Melayu Sriwijaya abad ke 7 masehi[iv]. Kata
ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru nusantara ketika Sriwijaya mengalami masa kejayaan
yang menurut catatan sejarah dan bukti arkeologi abad ke-9 wilayah kekuasaanya meliputi hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, meliputi: Sumatera, Jawa, Pesisir Kalimantan, Semenanjung
Malaya, Thailand selatan, Kamboja, sebagian Vietnam, dan Filipina[v].
Di tanah Kamboja dan Thailand, kemaharajaaan Sriwijaya meninggalkan berbagai candi bercorak
Budha Vajrayana diantaranya peninggalan Wat (candi) Kaew yang berada di Chaiya, Thailand
Selatan[vi]. Sedangkan di tanah Jawa berdasarkan prasasti Kota Kapur, Sojomerto dan prasasti
Kedukan Bukit[vii], kekaisaran Sriwijaya bahkan sempat melahirkan wangsa Syailendra yang
mengembangkan konsep dan sistem kerajaan yang maju, menyebarkan kosa kata melayu yang
berakar pada bahasa sanskerta[viii] dan kemudian juga membangun candi Borobudur.
Sebagai kerajaan induk pengaruh kekaisaran Sriwijaya tidak hanya dalam menerapkan bahasa
melayu kuno sebagai bahasa perantara (lingua franca)tapi sekaligus menyebarkan tradisi filsafat
dan paham agama Buddha termasuk konsep Budi ke lingkungan kerajaan-kerajaan yang menjadi
wilayah pengaruhnya. Pada saat imperium Sriwijaya mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh,
pemakaian Konsep budi ini tampaknya tetap dipertahankan oleh kerajaan Melayu Dharmasraya dan
Pagaruyung yang menjadi pewaris hegemoni kekaisaran Melayu Sriwijaya di wilayah nusantara.

Ketika kesultanan Melaka yang dibangun oleh oleh keturunan kerajaan melayu asal Palembang
berlkembang (yang berazaskan Islam) berkembang pada abad ke 15 Masehi, Konsep Budi tersebut
tampaknya telah termelayukan dan memperoleh arti, fungsi dan nilai tersendiri dalam masyarakat
Melayu dan terlepas dari pengertian awal kata ini yang bernuansa relijius. Kata ini kemudian
diislamisasi dan dipertahankan pemakaiannya serta tetap menjadi konsep kearifan lokal untuk
penanaman nilai-nilai dan karakter kemelayuan (Malayness Character) pada masyarakat Melayu.

Andaya[ix] menyebut masa kesultanan Melaka adalah masa peralihan antara Budha dan Islam.
Bahkan menurutnya hingga pertengahan abad ke 15 lingkungan Istana Melaka belum sepenuhnya
berislam dan menjalankan pemerintahan bedasarkan islam. Proses peralihan nilai dan sistem
kepercayaan masyarakat Melayu dari sisa-sisa Budhisme ke dalam Islam tampaknya berjalan
alamiah dan bersifat bertahap dengan pihak istana sebagai pelopornya. Dengan Klaim sebagai
pelanjut kerajaan Sriwijaya yang telah membangun peradaban dan sistem niai kemelayuan yang
kuat[x], maka penerimaan islam sebagai Agama resmi kesultanan tampaknya tidak serta merta
menghilangkan nilai-nilai asli dan identitas kemelayuan. Kemungkinan besar berbagai konsep
pemikiran melayu khususnya menyangkup nilai-nilai utama yang terkait dengan indetitas
kemelayuan tetap dipelihara dan kemudian disesuaikan dengan Islam. Beberapa konsep yang
penting diantaranya kata Budi dan Bhakti yang tampaknya menjadi konsep penting dalam sistem
nilai Sriwijaya.
Menurut dugaan saya konsep Budi yang dibangun pada masa sriwijaya ini berhasil menanamkan
perilaku hidup yang baik dan kompetitif. Dua argumen yang dapat diajukan tentang hal ini adalah
adanya cacatan pedagang Arab Edrisi tahun 1158 yang menyebutkan bahwa Masyarakat Sriwijaya di
Wilayah Zhabag[xi] (Gabriel Ferrand meyakini kata Zhabag ini merujuk pada pulau Sumatra yang
saat itu masih dianggap satu kesatuan dengan wilayah Jawa) memiliki reputasi yang baik dalam
kejujuran dan keadilan (fairness), berperilaku terpuji (good conduct) dan
perilaku bertanggungjawab, serta sistem pelabuhan dan fasilitas perdagangan yang baik. Oleh
karena alasan ini lanjut Edrisi banyak sekali pedagang Cina yang membawa lari modal mereka ke
wilayah Sriwijaya ketika di Cina terjadi kekacauan[xii]. Argumentasi kedua adalah catatan
Yijing[xiii] (It-Sing) yang menyebutkan bahwa pendidikan keagamaan di wilayah Sriwijaya sangat
maju dan menjadi pusat pengkajian Budha aliran Mahayana di dunia. Yijing melihat ada seribuan
rahib yang belajar agama Budha dengan guru spiritual terkemuka Acarya Dharmakitri. Pada
Dharmakitri inilah berguru pendeta besar (Atisa) Dipankara Srijnana yang kemudian
menjadi pendeta dengan kedudukan paling tinggi di biara Vikramasila di India[xiv].
Disamping kata Budi dan Bakti, para cendikiawan Melayu juga tetap menggunakan ungkapan atau
kata Melayu yang berakar pada bahasa Sanksekerta untuk memahami konsep dan ajaran Islam.
Bukti terpenting tentang hal ini misalnya tampak dalam penggunaan kata-kata-kata spiritual seperti
dosya (dosa), pahala, syurga (surga) , naraka (neraka) , syiksya (siksa), syaksyi (saksi), dan daruhaka
(durhaka). Satu hal yang menarik bahwa kata budi kemudian tidak ditanggalkan meskipun dalam
konsep islam terdapat konsep Taqwa atau Saleh yang merupakan tujuan tertinggi dalam berislam.
Tampaknya para pemikir dan pemimpin melayu mencoba menyandingkan konsep Budi tersebut
dengan konsep ketaqwaaan sehingga identitas kemelayuan dan keislaman dapat dipadukan. Konsep
Budi menjadi identitas kemelayuan dan konsep taqwa menjadi identitas keislaman.

Para pemimpin melayu di berbagai wilayah khususnya Pulau Sumatra menyadari bahwa Indentitas
kemelayuan sudah terbentuk dengan solid, dan tidak semua penduduk menganut agama yang sama
(Islam) sementara mereka tetap merupakan warganegara kerajaaan Melayu/Sriwijaya. Olehkarenan
alasan ini maka nilai dan konsep kemelayuan harus dijaga sebagai identitas sekaligus perekat
seluruh masyarakat melayu.

Berkembangnya tradisi intelektual dan penulisan di lingkungan kesultanan Melaka pada abad
15[xv] memicu berkembangnya beragam bentuk gagasan dan hasil pemikiran tentang berbagai
aspek kehidupan bersama yang tertuang dalam beragam bentuk ungkapan, peribahasa, pantun,
bidal, gurindam ataupun petatah-petitih. Belum diketahui manakah dari khazanah peribahasa yang
ada di lingkungan masyarakat Melayu saat ini yang merupakan warisan pra-Islam dan mana pula
yang merupakan hasil pengembangan pemikiran masyarakat Melayu setelah ber-Islam. Satu hal
yang pasti adalah bahwa tradisi intelektual yang terbangun pada masa kesultanan Melaka memicu
berkembanya tradisi intelektual dikesultanan islam berikutnya yang kemudian mewariskan
emikiran dan gagasan tentang kemelayuan yang melimpah dan masih dapat ditelusuri.dengan
mudah[xvi] .
Beberapa buku yang penting yang dihasilkan pada masa berkembangnya intelektualisme di
lingkungan Melayu menurut James T. Collins diantaranya Malay Anal atau Sejarah Melayu yang
ditulis Tun Sri Lanang, Taj al-Salatin oleh Bukhari Al Jauhari dan Bustan al-Salatin oleh Nuruddin
Ar-Raniri. Bahkan termasuk teks abad ke 16 Al Aqaid al-Nasafi yang menurut Asmah Hj Omar
menggunakan 82% bahasa melayu yang kata-kataya umumnya masih digunakan pada saat ini[xvii].
Satu hal yang juga pasti adalah masuknya Islam ke tanah Melayu membuat seluruh sistem
gagasan dan pandangan dunia orang melayu yang berkembang sejak masa Sriwijaya (abad 7-11)
mengalami rekonstruksi dan ditata kembali dengan menggunakan ajaran Islam sebagai
pijakannya. Itu sebabnya seluruh sistem gagasan dan keyakinan orang Melayu yang tercermin
khususnya dalam peribahasa dan ungkapan yang ada saat ini dapat dikatakan sepenuhnya selaras
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Bahkan dapat dikatakan sistem gagasan dan nilai-nilai hidup
yang berlaku di lingkungan orang Melayu saat ini adalah nilai-nilai Islam. Ada kemungkinan
penyebaran nilai-nilai kemelayuan Islam termasuk konsep Budi yang bernuansa Islam ke seluruh
kepulauan Nusantara (Malay archipelago) terjadi pada masa kejayaan Melaka di bawah
Sultan Mansyur Sah (1458-1477) yang wilayahnya meliputi hampir seluruh semenanjung Malaysia
dan sebagian besar wilayah Sumatera[xviii].
Merujuk pada Wan Husin[xix] kata Budi ini sejak ber-Islamnya raja Melaka mulai direkonstruksi
dan diselaraskan dengan sistem keyakinan dan prinsip-prinsip ajaran Islam (Islamic teaching
principles)[xx]. Penyelarasan ini menjadi relatif mudah dilakukan karena banyak sistem gagasan
dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Melayu yang berkesuaian dengan ajaran Islam. Beberapa
inti gagasan masyarakat Melayu yang sejalan dengan ajaran Islam tersebut diantaranya terungkap
dalam peribahasa Berbuat baik akan mendapatkan kebaikan atau Umpan yang baik akan
menangkap ikan yang baik pula yang mencerminkan inti dari nilai dasar kebudian yakni berbuat
baik dan keyakinan bahwa setiap perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan pula. Pernyataan
ini sejalan dengan salah satu gagasan dasar ajaran Islam yang mengatakan Hal Jazaaul Ihsaan Illa
al Ihsaan[xxi] yang artinya tidak ada balasan bagi suatu kebaikan kecuali kebaikan juga.
Klinkert penulis Belanda yang pertama kali menginventarisasi peribahasa melayu tahun 1863, dan
kemudian dilanjutkan oleh Maxwell (peneliti Inggris) tahun 1878 yang mengalisis 301 peribahasa
melayu menemukan prinsip pertengahan atau kewajaran dalam masyarakat Melayu yang
ternyatakan dalam ungkapan (ber) buat baik berpada-pada, (ber) buat Jahat jangan sekali. Prinsip
kewajaran ini dalam Islam dikenal dengan istilah Wasathaniyyah (pertengahan) dan Tawazzun
(keseimbangan).

Contoh peribahasa lain yang sejalan dengan Ayat suci Al Quran misalnya Keruh air di hilir periksa
di hulunya, dalam air di hulu periksa muaranya yang menekankan pentingnya bersikap hati-
hati dan teliti dalam memeriksa informasi yang diterima dari orang lain . Dalam Al Quran
Peribahasa Melayu tersebut sejalan dengan ayat Y ayyuh al-ladzna man in jakum fsiqun
binabain fatabayyan an tushb qawman bi jahlatin fatushbih al m faaltum
ndimn[xxii] yang artinya Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang seorang fasiq
membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu
kaum karena suatu kebodohan, sehingga kalian menyesali perbuatan yang telah kalian lakukan.
Masih sangat banyak contoh peribahasa Melayu lainnya yang sejalan atau memuat nilai-nilai
keIslaman, termasuk peribahasa sederhana yang berbunyi Ketam menyuruhkan anaknya berjalan
betul yang berarti seseorang menyuruh orang lain melakukan sesuatu yang Ia sendiri tidak
melakukannya. Nasihat ini sejalan dengan ayat Al quran Kabura Maqtaan Indallaahi an taquuluu
maa laa tafaluun, yang terjemahannya kira-kira Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.[xxiii] Hal ini juga sejalan dengan cara berpikir orang
Melayu yang mementingkan satunya kata dan perbuatan yang secara khusus akan dibahas dalam
bab tentang aturan-aturan komunikasi yang baik.
Penyelarasan cara hidup Melayu dengan nilai-nilai Islam merupakan realisasi adagium utama adat
Melayu yakni adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Pernyataan ini menegaskan bahwa
norma-norma, nilai-nilai dan praktik kehidupan (termasuk praktik komunikasi)
hendaknya didasarkan pada ajaran Islam. Itu sebabnya maka konsep Budi sebagai nilai dasar (core
values) orang Melayu kemudian mengalami rekonstruksi sesuai ajaran Islam. Sebaliknya ajaran
Islam kemudian dibumikan di alam kehidupan orang Melayu sehingga menghasilkan identitas orang
Melayu yang beragama Islam tapi tetap menjadi orang Melayu. Konsep memelayukan berbagai
aspek atau anasir asing yang baik dalam masyarakat melayu dapat disebut dengan
istilah Melayujadi.

Kemelayuan dan ke-Islaman adalah seperti dua sisi pada satu mata uang[xxiv]. Kedua-duanya
membentuk identitas orang Melayu. Adat dipandang sebagai produk interaksi dan adaptasi orang
Melayu di lingkungan sosial-budayanya, sedangkan syarak (Islam) sebagai tuntunan pokok yang
bersumber dari yang Illahi. Orang Melayu menyebutnya dengan ungkapan adat mendaki, syarak
menurun yang berarti adat (norma kehidupan bersama) muncul dari bumi (Melayu)
sedangkan syarak atau syariat datang dari langit. Orang-orang Melayu berpandangan bahwa adat
sebagai norma kehidupan bersama yang bercorak Melayu tidak boleh hilang karena hal itu
merupakan salah satu penciri terpenting identitas kemelayuan. Dalam konsep melayu adat ini dibagi
ke dalam tiga kategori yakni adat yang sebenar adat, adat yang diadatkan dan adat yang
teradat. Masing-masing jenis adat tersebut memiliki daya tahan dan daya pengaruh yang berbeda-
beda. Adat yang sebenar adat mungkin dapat katakan sebagai adat yang paling sulit diubah karena
ia menjadi penciri kemelayuan yang berbasis ajaran Islam[xxv].
Adat yang bersifat normatif merupakan patokan perilaku yang bersifat khas yang diterima sebagai
bentuk perilaku yang normal dalam menjalani kehidupan bersama. Aturan-aturan tersebut
merupakan rujukan eksternal yang diberlakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Keberlakukan
aturan ini sangat bergantung dari ekspektasi sosial dan kesepakatan orang-orang yang menjalankan
aturan ini. Bila disepakati bahwa tantangan, lingkungan atau zaman telah berubah maka patokan
atau aturan-aturan yang adapun dapat dengan mudah menyesuaikan diri kapanpun diperlukan.
Tentang hal ini peribahasa Melayu menyatakan adat tumbuh atas mufakat, adat beralih atas
sepakat[xxvi] yang berarti semua norma-norma adat budaya yang menjadi rujukan eksternal orang
Melayu adalah hasil kesepakatan masyarakat, dan untuk mengubahnya juga diperlukan kesepakatan
kecuali adat yang seber adat yang berbasiskan pada Al quran dan sunnah..
Konsep Budi sebaliknya adalah konsep nilai yang bersifat internal yang memuat sistem
keyakinan orang Melayu tentang hal-hal penting, berguna dan ideal yang dikehendaki bersama oleh
mereka. Hal-hal yang bersifat ideal itu dianggap sangat penting karena memiliki kualitas yang
diidamkan oleh seluruh anggota masyarakat. Nilai ini adalah sesuatu yang dipelajari (learned
values) dan secara sistematik ditanam dalam diri seseorang oleh keluarga, sekolah dan institusi
masyarakat lainnya. Menurut Rokeach[xxvii] nilai merupakan bentuk keyakinan yang bersifat abadi
dan tidak tergerus oleh zaman. Oleh karena sifatnya yang demikian maka nilai kebudian menjadi
nilai dasar permanen dalam menentukan patokan-patokan perilaku yang benar atau salah dan
menentukan hal-hal yang penting dalam kehidupan orang melayu dari masa ke masa. Tingkat
internalisasi dan implementasi nilai-nilai ini bisa berbeda dari orang ke orang atau dari satu generasi
ke generasi, akan tetapi keberadaan nilai dasar Budi tetap menjadi pijakan fundamental yang
bersifat internal bagi orang Melayu.
Sebagai nilai dasar, konsep Budi tampaknya bukan hanya menjadi patokan berperilaku orang
Melayu, tapi juga selama berabad-abad konsep ini telah menjadi semacam semangat dan energi
hidup (elan vital) orang Melayu. Bila ditelusuri lebih jauh dapat dipastikan nilai-nilai Kebudian
merupakan mata rantai terpenting dalam mengeksplorasi dan menelusuri sistem gagasan dan
warisan pemikiran orang melayu sejak masa kejayaan Sriwijaya baik di Palembang, Jambi maupun
Murata Takus (Riau) hingga berakhirnya kerajaan-kerajaan Melayu Islam di Nusantara. Dari
analisis paremiologis juga tampak bahwa cita-cita hidup orang melayu termasuk dalam merengkuh
Kemuliaan, kehormatan, keberadaban dan kegemilangan sebagai sebuah bangsa atau etnik terletak
pada pencapaian Budi. Beberapa pernyataan yang meneguhkan tentang hal ini misalnya peribahasa
Putih tulang di kandung tanah, Budi baik dikenang jua yang mencerminkan nilai kehormatan
hidup orang melayu, atau pernyataan Orang kaya bertabur harta orang mulia bertabur Budi, dan
Baik bangsa karena budi, rusak bangsa karena budi yang memperlihatkan kemuliaan dan
keberadaban bangsa mesti didasarkan pada pencapaian Budi.

Kata Budi pada kenyataanya bukan hanya menjadi konsep penting di lingkungan masyarakat
Melayu, tapi juga dalam kehidupan beragam etnik lain di kepulauan nusantara seperti Jawa, Sunda
bahkan Ternate[xxviii]. Pada suku Jawa penggunaan kata Budi misalnya tampak dalam peribahasa
Tansah ajeg mesu budi lan raga nganggo cara ngurangi mangan lan turu( Kurangi makan dan tidur
yang berlebihan agar kesehatan jiwa dan raga kita senantiasa terjaga) dan ungkapan Bhuda Bhudi,
Jawa Jawi, Mata Siji yang mengambarkan kesadaran bahwa keutamaan manusia adalah
menggunakan akal Budi, pengertian yang benar, dan mata batin dalam berbuat sesuatu. Dalam
naskah klasik Serat Centhini yang menjadi rujukan penting dalam filsafat Jawa, kata Budi juga
sudah digunakan untuk menggambarkan makhluk suprahuman, yakni entitas spiritual yang
menjadi penghubung antara manusia dan Tuhan[xxix].
Dalam perbendaharaan bahasa Sunda[xxx] pemakaian kata Budi terdapat pada beberapa ungkapan
dan peribahasa diantaranya Legeg lebe, Budi Santri, ari lampah euwah-euwah atau pada kata
ambek sadu santa budi yang diartikan hati yang baik, budi yang halus, dan bersikap betul-betul
sabar. Sedangkan pada orang Ternate[xxxi] salah satu representasi kata Budi dalam peribahasa
mereka adalah Gudu-gudu to tede suba korana ni ronga budi sebahasa yang berarti pentingnya
memiliki Budi yang baik, berakhlak tinggi dan memelihara nama baik agar memperoleh
kehormatan di masyarakat.
Dalam khazanah peribahasa dan ungkapan Melayu sendiri kata Budi memiliki beragam arti
meliputi; (1) kemuliaan seperti tertuang dalam peribahasa Orang kaya bertabur harta , orang mulia
bertabur budi, (2) akhlak seperti ternyatakan dalam peribahasa budi elok perangai terpuji atau
meski ilmu setinggi tegak, tidak berbudi apa gunanya; (3) Perbuatan baik misalnya dalam
ungkapan bertanam budi, membalas budi atau berbudi jangan meminta ganti atau ungkapan
sepertiHancur badan dikandung tanah, Budi baik terkenang jua. ; (4) akal seperti terungkap
dalam pernyataan laut budi tepian akal atau laut pikiran timbunan budi; (5) terkait dengan
perasaan, sopan santun dan keramah-tamahan seperti dalam pernyataan Budi elok basa setuju
atau yang elok budi yang indah basa, (6) Beradaptasi dan bertindak diantaranya dalam
peribahasa kurang budi teraba-raba, tiada ilmu suluh padam; dan terkahir (7) Kompetensi atau
kecakapan melakukan sesuatu secara baik dan benar seperti terungkap dalam pernyataan Hidup
kalau tak berbudi, ke mana pergi ke mari canggung.

Definisi Budi sebagai kemuliaan mencerminkan pengertian konsep Budi yang paling mendasar
yakni sebagai keadaan yang terhormat dan berharga. Kemuliaan tersebut sangat terkait dengan
akhlak, atau perangai atau cara bertindak dalam menjalani hidup. Inti dari hidup dalam sistem
gagasan orang melayu adalah tindakan atau perbuatan. Manusia yang hidup diartikan sebagai
menusia yang bertindak atau berbuat. Berdasarkan pengertian ini maka nilai manusia akan
ditentukan oleh perbuatan yang dia lakukan dalam hidupnya. Manusia yang berbuat baik dan
mengarahkan hidupnya untuk menciptakan kebaikan bersama di sebut sebagai manusia berbudi.
Sebaliknya orang yang tak dapat berbuat baik dengan sesamanya atau tidak dapat membalas budi
dianggap sebagai orang yang tidak berbudi.

Berbuat baik merupakan inti dari konsep Budi. Hidup adalah untuk berbuat baik. Orang Melayu
mengajarkan manusia untuk tidak ragu-ragu berbuat baik (menanam Budi) terhadap orang lain atau
sesama makhluk (peribahasa; Berbaik-baik sesama umat, berpatut-patut sesama makhluk). Mereka
juga harus percaya bahwa manusia adalah makhluk yang berkecederungan baik. Oleh karena alasan
ini maka orang melayu percaya bahwa setiap perbuatan baik akan dibalasi dengan kebaikan pula
cepat atau lambat (peribahasa; Umpan yang baik akan menangkap ikan yang baik). Mereka juga
percaya bahwa segala perbuatan yang diawali dengan niat baik akan berakhir dengan kebaikan juga
(peribahasa; awal yang baik memberikan akhir yang baik). Meskipun orang melayu meyakini bahwa
perbuatan baik selalu akan dibalasi kebaikan, dalam melakukan perbuatan baik ternyata orang
melayu dilarang untuk mengharapkan balasan dari orang lain. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam
peribahasa berbudi jangan meminta ganti.

Perbuatan baik sebagai niat dasar dalam berperilaku, menurut sistem gagasan orang melayu harus
melibatkan akal dan perasaan. Akal menjadi pemandu perilaku yang logis, objektif dan deskriptif
sedangkan perasaan menjadi pemandu hubungan antarmanusia yang hangat, ramah dan saling
berempati. Penggunaan akal dan perasaan juga memungkinkan manusia melakukan hidup secara
terencana dan seimbang. Hidup dengan akal adalah hidup yang dipikirkan, hidup yang senantiasa
mencari cara terbaik dalam menyelesaikan masalah dan membangun hidup yang lebih berkulitas.
Bila manusia telah mampu hidup dengan niat baik, menggunakan akal dan hati, dan mampu
bersiasat dengan benar maka dalam perspektif orang melayu disebut sebagai orang yang kompeten.
Orang seperti ini dapat menjalani hidup dengan baik dan benar, mudah menyesuaikan diri dan juga
mudah diterima oleh orang lain dimanapun berada.

Orang yang dapat menjalani hidup secara kompeten akan mampu meninggalkan nama yang baik
setelah yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam nilai dasar kebudian, hidup manusia hendaknya
ditujukan untuk mampu mengukir nama yang baik, meninggalkan jejak-jejak kebaikan yang
berguna bagi manusia lain. Hanya dengan torehan kebaikan itu maka nama manusia akan
tetap dimuliakan meskipun yang bersangkutan telah lama meninggal dunia. Salah satu peribahasa
melayu terkenal yang mencerminkan pemikiran ini adalah Putih tulang dikandung tanah, Budi baik
dikenang jua.

Kedelapan pengertian konsep Budi yang parsial diatas kemudian dapat diintegrasikan dalam
definisi konsep Budi yang luas seperti dalam pernyataan Baik bangsa karena Budi, rusak budi
bangsa binasa. Dalam peribahasa ini pengertian Budi sudah bersifat menyeluruh dan
mengandung elemen kemuliaan, hidup berakhlak, berbuat baik, menggunakan akal, berperasaan
dan bersopan santun, membuat perencanaan, serta kemampuan melakukan sesuatu secara
memadai sesuai tuntutan peran yang diharapkan. Seluruh elemen tersebut menjadi pembentuk
nilai-nilai personal yang memandu cara hidup bersama dan berinteraksi di lingkungan masyarakat
Melayu.

Muatan nilai Budi yang demikian lengkap-menyeluruh, membuat konsep Budi menjadi inti gagasan
orang melayu tentang kehidupan bersama manusia. Budi menjadi nilai dasar atau nilai akhir yang
dikehendaki bersama oleh masyarakat Melayu dalam membentuk karakter mereka. Dalam konteks
ini pernyataan Kling[xxxii] Kim Hui[xxxiii] terasa betul-betul benar ketika menyimpulkan konsep
Budi sebagai inti dari sistem keyakinan masyarakat Melayu. Demikian halnya ketika Wan Husin
menyebutkan bahwa Budilah yang menjadi dasar sistem nilai yang membentuk kepribadian dan
mental orang Melayu[xxxiv].
Konsep nilai dasar atau nilai akhir merupakan gagasan yang penting dalam membicarakan filsafat
sebagai pandangan hidup. Para filsuf mengartikan nilai akhir (final value) ini sebagai sesuatu yang
ideal, suatu kebaikan tertinggi (summum bonum) yang dikejar oleh semua orang[xxxv]. Nilai akhir
ini berdasarkan penelusuran Bagus[xxxvi] ternyata berbeda-beda antara filsuf yang satu dengan
filsuf yang lain atau antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya. Aristoteles
misalnya menganggap kebahagiaan sebagai nilai akhir yang harus dikejar oleh manusia dalam
hidup mereka, Albert Camus menyebut solidaritas kemanusiaan yang paling penting dan besar
artinya bagi kemanusiaa, Filsuf Comte berpendapat lain lagi, Ia memandang kemajuan dan
keteraturanlah sebagai yang paling pokok dalam hidup manusia, sedangkan Ortega Y Gasset dan
Jean-Paul Sartre memandang autentisitas sebagai hal terpenting dalam hidup dan menjadi nilai
final bagi manusia.
Bila kita telusuri berbagai gerakan filsafat yang ada, mereka juga menyodorkan nilai final yang
berbeda-beda, misalnya kaum neohegeliaan yang merekonstruksi pandangan Eudamonistik
Aristoteles berpendapat bahwa Realisasi diri atau pemenuhan diri sebagai nilai tertinggi dalam
kehidupan, sedangkan gerakan Stoisisme menekankan Apathia atau ketenangan berpikir sebagai
nilai final yang mesti dicari. Gerakan Filsafat abad 21 yang mengeksplorasi nilai-nilai universal
untuk menghadapi persoalan yang timbul akibat globalisasi dan lompatan teknologi
informasi meyakini bahwa kebenaran, penghargaan terhadap manusia, dan pantangan menyakiti
orang yang tak bersalah merupakan tiga pilar utama nilai kemanusiaan[xxxvii].
Dalam konteks masyarakat, kita melihat bangsa Jepang dan bangsa Cina juga memiliki nilai akhir
yang berbeda meskipun sama-sama dipengaruhi oleh ajaran budhisme. Orang Jepang memandang
harmoni kelompok sebagai nilai dasar (key values) yang terpenting dan sepenuhnya memandu
hidup orang Jepang, sementara orang Cina yang hidup dalam tradisi konfusianisme
memandang Jen((kemanusiaan) dan Li (Kepantasan) sebagai nilai final mereka[xxxviii]. Lalu
bagaimana dengan orang Melayu? Sebagaimana telah dikemukakan sejak awal tulisan ini,
masyarakat Melayu menetapkan Budi atau kebudian sebagai nilai akhir yang harus mereka bangun.
Di lingkungan masyarakat Melayu kata Budi digunakan secara masif, sistematik, dan mencakup
berbagai aspek dan rentang kehidupan. Sejak manusia lahir hingga meninggal dunia mereka
ditanami nilai dasar Budi. Nilai kemanusiaan seseorang bahkan juga nama baiknya setelah
meninggal dunia diukur dari apakah seseorang termasuk berbudi atau tidak selama hidupnya.
Peribahasa seperti badan hancur dikandung tanah budi baik dikenang jua menunjukkan bahawa
dalam pikiran orang Melayu konsep Budi bukan hanya terkait dengan kehidupan saat ini tapi juga
kehidupan sesudah mati. Perilaku berbudi ini tampaknya membimbing manusia Melayu dalam
segala tahapan kehidupan (life developmental).

Dalam membangun karakter orang melayu yang berbudi, masyarakat melayu mengembangkan
konsep tunjuk ajar yang berisikan tentang budi. Tunjuk ajar adalah adalah sejenis petuah, petunjuk,
nasehat, amanah, pengajaran , contoh teladan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kedudukan tunjuk ajar bagi orang Melayu sangat tinggi dan penting,. Orang yang tidak memahami
dan mengamalkan tunjuk ajar disebut kurang ajar. Orang yang tidak mengamalkan tunjuk ajar
juga dianggap sebagai orang tidak berbudi.

Merujuk pada Effendy, tunjuk ajar tersebut meliputi dimensi bertanam budi dan membalas budi.
Berikut adalah konsep tunjuk ajar tersebut[xxxix];
Apa tanda Melayu jati

Elok perangai mulia budi pekerti

Sakit senang menanam budi

Apa tanda Melayu jati

Hidunya tahu membalas budi

Apa tandanya Melayu jati,

Membalas budi sampailah mati

Apa tanda Melayu jati,

Karena budi berani mati

Apa tanda Melayu Jati,

Termakan budi ia takuti

Apa tanda Melayu terpilih

Bertanam budi tiada memilih

Apa tanda Melayu pilihan

Bertanam budi jadi amalan

Apa tanda Melayu pilihan,

Termakan budi ia elakkan,

bertanam budi ia galakkan


Apa tanda Melayu terbilang

Jujur di muka, lurus dibilang

Apa tanda Melayu bertuah

Batinnya jujur dan lembut lidah.

Dimensi membalas budi secara khusus terungkap dalam syair tunjuk ajar berikut;

Apa tanda orang tersesat

membalas budi tiada ingat

Apa tanda orang celaka,

termakan budi ianya lupa

Apa tanda orang malang,

tidak mengingat budi orang

Tanda tidak bermalu

membalas budi ia tak mau

Tanda orang tak berakhlak

membalas budi ia mengelak

Tanda orang tak senonoh,

membalas budi bertangguh-tangguh

Tanda orang tidak beradat

membalas budi sambil mengumpat


Tandaorang tidak amanah

membalas budi sambil menyumpah

Tanda orang tidak berperasaan

membalas budi ianya enggan

Tanda orang terkutuk

budi baik dibalas buruk

Tanda orang haram jadah

Budi baik dibalas fitnah

Tanda orang keji,

budi baik dibalas maki

Tanda orang celaksa

Membalas budi mengambil muka

Kedua dimensi Tunjuk Ajar melayu ini merupakan nilai-nilai yang secara tradisional
ditanamkan kepada anggota-anggota masyarakat melayu sepanjang perkembangan hidup merek
sejak masa kanak, remaja hingga dewasa.

Dalam keseluruhan dimensi kehidupan sejak masa kanak-kanak hingga dewasa, dan akhirnya
menjadi tua dan meninggal dunia, nilai Budi menjadi pedoman penting hidup bermasyarakat.
Sepanjang hidupnya manusia harus bertanam dan membalas Budi. Manusia disadarkan agar hidup
berlandaskan Budi yang baik. Ungkapan yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut adalah Amal tidak
menanti umur, Budi tidak menanti mati. Pernyataan ini menegaskan kita harus berbuat yang patut,
baik, layak dan bermanfaat sepanjang hidup kita, dan perilaku berbudi tersebut bukan hanya
dilakukan setelah berumur atau menjelang ajal tiba tapi dalam seluruh rentang usia manusia sejak
lahir hingga masuk liang lahat. Dalam konteks komunikasi, peribahasa diatas juga dapat diartikan
bahwa untuk hidup yang baik maka diperlukan komunikasi yang baik (to live well is to communicate
well).

Orang Melayu tampaknya menempatkan konsep Budi sebagai nilai dasar dalam memaknai
hidup (the meaning of life). Hidup adalah Budi. Hidup mesti didasari oleh tindak kemuliaan dan
kebaikan yang mewujud dalam perintah menggunakan akal dan emosi secara benar, melakukan
ikhtiar untuk kebaikan, membangun akhlak atau watak yang baik, dan dapat bersopan santun dalam
menjalin komunikasi antarmannusia dan kehidupan bersama. Dalam sistem gagasan orang Melayu
hanya hidup yang berbudi yang dapat membangun keharmonisan hidup bersama.

Konsep budi ini dalam masyarakat Melayu menurut Alisyahbana[xl] dan Kim Hui[xli] memiliki dua
dimensi penting yakni pikiran (reasoning) dan perasaan (emotion). Kedua aspek ini pada
kenyataanya menjadi modal penting dalam menjalani kehidupan bersama manusia. Hidup yang
bermodal akal saja tidaklah lengkap dan pula tidak seimbang karena sisi emosi yang sejatinya
menjadi bagian dari keberadaan manusia menjadi tersisihkan. Manusia bukan hanya makhluk
berpikir tapi juga makhluk yang merasa. Sisi emosilah sebenarnya yang lebih banyak memicu
perselisihan dan konflik antarmanusia ketimbang aspek pikiran. Oleh karena itu keseimbangan
keduanya dalam praktek kehidupan sehari-hari menjadi penting. Menurut Alisyahbana orang
Melayu atau Indonesia beruntung memiliki konsep Budi yang memadukan akal (reasoning) dengan
emosi (feeling), Sementara tradisi filsafat barat sebagaimana disesalkan Frithjof Schuon dalam
bukunya The Transfiguration of Man (1995)[xlii], memisahkan atau mendikotomikan kedua aspek
terpenting dalam diri manusia tersebut.
Dalam perspektif komunikasi, integrasi pikiran dan emosi (rasa) ini menegaskan bahwa dalam
berkomunikasi kita tidak melulu menyampaikan pesan pikiran (logika) tapi juga pesan perasaan
(hati). Kedua jenis pesan ini harus dapat diekspresikan secara baik dan tepat. Integrasi tersebut
juga menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi penonjolan bukan hanya diberikan pada
aspek kebenaran isi pesan (Truth) tetapi terutama malah pada aspek peemeliharaan
hubungan (relationship) di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Dalam konteks tersebut kebenaran isi pesan (Truth) bukanlah segalanya. Kebenaran bukanlah
harga mati atau sesuatu yang semata-mata dicari dalam menjalin komunikasi. Bahkan kebenaran
menjadi tidak penting ketika komunikasi yang dilakukan dapat merusak hubungan yang ada. Bagi
Orang melayu apalah artinya kita memonopoli kebenaran, merasa diri paling benar atau
memenangkan kebenaran dalam percakapan sementara pihak lain yang berkomunikasi dengan kita
dipermalukan, merasa bodoh, kehilangan muka, kehilangan harga diri dan akhirnya memupus atau
merusak hubungan yang seharusnya terjalin lebih kuat sebagai hasil dari komunikasi.

Komunikasi yang dilandasai semangat bertanding (kompetisi) memenangkan kebenaran,


memposisikan diri lebih superior atau lebih pintar dari orang lain, atau lebih berpengaruh terhadap
orang lain hanya akan menghasilkan komunikasi yang penuh ketegangan, dingin, kaku, kering,
penuh konflik terpendam dan memuakkan.

Kebenaran menjadi sesuatu yang cair dalam komunikasi orang melayu. Bukan substansi kebenaran
yang cair tapi cara kita memeprcakapkannya menjadi sangat lentur. Untuk sampai pada kebenaran
tidak perlu menggunakan cara hitam putih dengan menyatakan secara tegas bahwa seseorang salah
atau keliru apalagi dengan intonasi yang keras dan merendahkan. Cukup misalnya balik bertanya
sambil menyelipkan jawaban dalam pernyataan kita atau sekadar membiarkan percakapan yang
berisi informasi salah tersebut berlalu apabila memang bukan hal yang penting untuk diluruskan.
Hubungan natar pelaku komunikasi lebih bernilai untuk dijaga daripada sekadar menjaga atau
meluruskan informasi yang keliru tapi tidak perlu.

Beria kalau berkata, berkwan kalau berjalan, ungkapan ini dalam sekali maknanya , artinya
komunikasi itu ia aja, cari teman bersanding, bukan bertanding.

Dalam perspektif komunikasi berbudi, komunikasi bukanlah tindakan memonopoli atau


berkompetisi yang bertujuan saling menglahkan atau saling menjatuhkan atau saling mengklaim diri
paling benar. Komunikasi bukanlah perbantahan, pertentangan, atau persaingan. komunikasi bukan
pula upaya untuk mempenaruhi dan menaklukakan orang lain agara berperilaku sperti yang kita
kehendaki. Karena cara pandang komunikasi yang demikian maka banar atau salah dalam
berkmunikasi, sepakat atau tidak sepakat dengan sebuah gagasan, bersetuju atau tidak dengan
sebuah argumentasi bukan menjadi sesuatu yang utama. Kenikmatan berkomunikasi sejatinya
bukan diperoleh ketika orang tidak saling berlomba menjadi yang paling benar, paling pintar, paling
fasih, atau paling berpengaruh. Kenikmatan komunikasi terjadi justru ketika setiap orang saling
mnyesuaikan diri, saling menguatkan, saling menjaga muka satu sama lain, saling
menggembirakan dan saling mencerahkan atau menuntun kearah kebenaran dengan cara yang
santun dan patut. Inilah yang disebut sebagai komunikasi cara bersanding bukan bertanding.
Prinsip persandingan adalah prinsip bahu membahu, tolong menolong dengan semangat
persaudaraan untuk saling memperoleh manfaat dari komunikasi yang dilakukan . persandingan
karenanya mementingkan kesetaraan, kerjasama, saling mengisi dan mengembangkan satu sama
lain.

Kata bersanding selama ini seolah hanya diperuntukanbagi peristiwa perkawinanan atau perjodohan
semata. Padahal substansi kata tersebut adalah dekat/mendekati atau damping/mendampingi.
Kata ini olehkarenya dapat digunakan untuk segala bentuk perjupaan atau interaksi diantara
manusia. Jadi kalau orang bersanding pengertian sebenarnya adalah saling mendekati satu sama
lain, baik dari aspek pikiran, perasaan atau harapan. Dengan cara begitu mempertemukan apa yang
ada di dalam pikiran dan perasaan seseorang menjadi lebih mudah. Dengan saling mendekati orang
mau saling mendengarkan, saling member, saling menrima dan saling menggenapi satu saama lain.
Dalam konteks ini setiap orang berusaha untuk mendampingi orang lain sehingga berada dalam
posisi memberikan dorongan atau penguatan sehingga satu sama lain mampu mentakatan diri
secara penuh, tanpa takut dievaluasi, disalahakan atau direndahkan.

Orang yang berbudi berkomunikasi secara bersanding. Akan tetapi ketika budi separuh jadi maka
niat bersandingpun bisa mengelinding menjadi pertandingan. Fenomena ini sama dengan ungkapan
bulat bersegi bersanding melukai. Dalam pengertiannya yang sejadi seharusnya ketika bersanding
orang berkomitmen dengan penuh niat untuk berkomunikasi saling menggenapi. Ungakapan yang
sesuai dengan hal ini adalah bersanding menggenapi, bertanding melukai.

Dalam perspektif komunikasi berbudi komunikasi lebih dipandang sebagai tindakan kerjasama yang
melibatkan kedua belah pihak yang dilandasai oleh akal dan hati atau oleh logika (kebenaran isi
pesan) dan perasaan (hubungan baik). dalam perspektif ini tujuan Dalam konteks ini komunikasi
harus dilakukan dengan memenuhi dua prinsip dasar komunikasi yakni prinsip penyesuaian
rasa dan prinsip penyesuaian isi. Prinsip penyesuaian rasa terkait dengan bagaimanan cara kita
berhubungan dengan orang-orang disekitar kita. Orang yang berbeda akan diperlakukan secara
sesuai sehingga kehormatan dan harga dirinya tetap terjaga. Dalam kaitan ini dikenal knsep kata
mendaki, kata mendatar dan kata menurun. Sedangkan dalam prinsip penyesuai isi, setiap
pembicaraan dipandang menuntut cara berpikir dan mengkode kata secara berbeda yang
menghendaki penggunaan akal dan pertimbangan, dalam kontkes ini dikenal konsep bercakap
dengan adab, berbual dengan akal, dan berbicara berkira-kira. Integrasi kedua aspek itu
memungkinkan manusia bertindak lugas dan sensitif sehingga pengungkapan pikiran atau gagasan
dalam komunikasi dapat dilakukan dengan baik tanpa harus merusak hubungan yang ada.

Komunikasi yang berbudi dengan demikian berarti tindakan komunikasi yang mementingkan
kebenaran isi pesan dan pernyataan pesan secara lugas dan penuh sopan santun (lugas tapi sopan)
sehingga aspek emosi atau sisi perasaan orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat tetap
terjaga dan hubungan diantara orang-orang tersebut dapat terpelihara. Dalam Istilah masa kini
fenomena ini hampir dapat disamakan dengan konsep komunikasi asertif yakni menyatakan
sesuatu yang ingin kita sampaikan secara terusterang tanpa harus menyinggung perasaan orang lain
atau membuat orang lain kehilangan muka. Komunikasi seperti ini dalam perspektif Budi-Melayu
harus didasarkan pada pikiran yang jernih dan hati yang bersih.

Kejernihan pikiran dan kebersihan hati akan membuat suatu tindakan komunikasi berlangsung di
jalan yang benar. Lewat pikiran yang jernih seseorang dapat melihat fakta dan mencari kata yang
tepat untuk mendeskripsikan fakta atau kenyataan tersebut. Sedangkan melalui hati yang bersih
maka orang akan menemukan hanya niat kebaikan yang berada dibalik semua tindakan komunikasi.
Dengan demikian maka segala hal yang dapat menghalangi kebaikan tersebut seperti sikap curiga,
buruk sangka, merendahkan, berat sebelah, atau sikap diskriminatif dapat disingkirkan. Orang
berbudi melakukan komunikasi bukan semata untuk menyampaikan pesan tapi juga untuk menjalin
hubungan yang saling bermanfaat dengan orang-orang yang terlibat dalam peristiwa komunikasi
tersebut.

Konsep Budi dalam masyarakat Melayu secara tegas mengatakan pentingnya hubungan
(relationship) antarmanusia dalam membangun kehidupan bersama. Hubungan antarmanusia
merupakan faktor pengikat dan pembentuk harmoni masyarakat. Semua aktivitas kehidupan
bersama manusia pasti melibatkan komunikasi mulai dari perawatan anak, persahabatan,
kehidupan keluarga, bermasyarakat, bersekolah, bekerja, berorganisasi, hingga berpolitik. Nilai-
nilai filosofis masyarakat Melayu mendorong bahwa hubungan tersebut harus dilakukan dengan
cara berbudi menggunakan akal dan perasaan secara tepat. Melalui konsep Budi orang Melayu
menempatkan hubungan antarmanusia dalam tempat yang istimewa yang harus dipelihara sehingga
dapat menghasilkan kerukunan (harmoni) dan kebaikan bersama. Hubungan yang dibangun atas
dasar Budi akan mampu bertahan dan berkembang karena semua didasarkan pada perilaku
kebaikan yang saling memberikan manfaat.

Konsep Budi yang memuliakan diri sendiri dan orang lain serta mementingkan pemeliharaan
hubungan diantara orang yang terlibat dalam komunikasi, secara lebih jauh dapat dilihat pada salah
satu definisi Budi yakni berbuat baik. Perbuatan baik inilah yang mendasari cara pikir orang melayu
dalam membangun hubungan dengan sesama manusia. Manurut Orang melayu ketika seseorang
berkenalan maka tindakan itu harus ditujukan untuk membangun kebaikan dalam bentuk
persahabatan berjangka panjang. Keyakinan ini misalnya didukung oleh peribahasa yang berbunyi
Diulas supaya lebar, disambung supaya panjang yang berarti berkenalan hendaknya bertambah
sahabat dan karena alasan ini maka sebuah hubungan yang dibangun melalui komunikasi harus
diniatkan untuk kebaikan dan saling memberikan manfaat.

Kehidupan bersama manusia bagi masyarakat Melayu merupakan keniscayaan yang tak
terhindarkan. Untuk dapat hidup bersama secara harmonis maka orang harus mengembangan cara
pikir (mindset) membangun hubungan baik dengan sesama manusia daripada membangun
hubungan yang buruk dan penuh konflik dengan orang-orang disekitarnya. Setiap manusia terlepas
dari segala embel-embel latar belakangnya tetaplah manusia yang memiliki hasrat hidup bersama
orang lain. Oleh karena alasan ini maka dalam menjalani hidup bersama, setiap orang hendaknya
berinteraksi dengan cara baik-baik, saling menghormati dan senantiasa bertujuan untuk
memberikan manfaat bagi orang di sekitarnya seperti terekspresikan dalam peribahasa Berbaik-
baik sesama umat, berpatut-patut sesama makhluk dan pernyataan adat hidup tolong menolong,
adat bercakap berelok-elok. Pernyataan ini menegaskan bahwa pertama-tama manusia itu
dihormati karena Ia adalah manusia. Sebagai manusia seseorang memiliki hak hidup yang tak dapat
diganggu gugat, sedangkan embel-embel lainnya hanyalah penyerta atau identitas belaka yang
harus dipahami dan bukan disalahpahami. Cara berpikir seperti ini mirip dengan peribahasa Latin
homo homini socius yang berarti manusia merupakan sahabat bagi sesamanya. Prinsip manusia
bersahabat ini di Indonesia dikembangkan oleh filsuf Driyarkara[xliii] yang secara konsisten
menggaungkan pandangan bahwa manusia dari sananya merupakan makhluk yang cenderung
hidup bersama dengan jiwa yang bersahabat.
Keyakinan bahwa orang melayu merupakan manusia yang memiliki jiwa bersahabat senang
bekerjasama, menghargai orang lain dan mengedepankan kerukunan hidup (harmoni) juga
didukung oleh sistem nilai-nilai komunikatif dalam hubungan antarmanusia di lingkungan
masyarakat Melayu. Menurut Wan Husin[xliv] Secara tradisional nilai-nilai tersebut muncul dalam
bentuk nilai kompromi (compromise), penghargaan (respect), Kerjasama (cooperation), Toleransi
(tolerance), kerendahan hati (modesty), Permaafaan (forgiveness), dan kesabaran (patience).
Ketujuh nilai yang dikemukakan Wan Husin diatas sebenarnya bukan seluruh nilai sosial orang
melayu dalam memandang hubungan dan komunikasi antarmanusia. Apabila ditelusuri lebih
jauhdengan menggunakan analisis paremiologis nilai-nilai yang menjadi patokan
dalam komunikasi antarmanusia di lingkungan Melayu sesungguhnya lebih luas, yakni meliputi
juga nilai Keseimbangan (balance), kebenaran (truthfulness), penyesuain diri (adaptability),
kepahaman (understanding), kredibilitas (credibility), dan nilai timbal balik (reciprocity).

Berbagai nilai tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya juga menjadi kekhasan orang Melayu.
Penelusuran Nilai-nilai universal abd 21 yang dikompilasi oleh Christians dan
Traber[xlv] menegaskan bahwa nilai Kebenaran dan Penghormatan terhadap sesama manusia
misalnya disebut sebagai nilai-nilai yang bersifat universal. Sedangkan Gouldner dan juga
Berkowitz[xlvi]menyebutkan bahwa nilai timbal balik yang seringkali hadir sebagai nilai sosial
diberbagai masyarakat, sebenarnya telah lama berkembang di berbagai bangsa atau suku bangsa di
dunia. Bahkan menurut Gouldner[xlvii] dapat dipastikan nilai-nilai ini menjadi nilai social utama
diberbagai bangsa atau etnik. Dalam lingkungan masyarakat melayu sendiri nilai ini berakar sangat
kuat dan mendalam, hal ini terbukti dengan banyaknya ungkapan dan peribahasa yang menekankan
pentingnya saling menolong, saling membantu, dan saling membalas budi. Ungkapan saling
tersebut dalam masyarakat melayu diekspresikan lewat berbagai peribahasa seperti dalam
pernyataan adat hidup balas membalas atau Kalau berlebih beri-memberi, Kalau kurang isi-
mengisi, Kalau sempit sama berhimpit , kalau lapang sama melenggang.
Dalam nilai dasar Budi terdapat prinsip saling membalas Budi yang mencerminkan tindakan
Resiprositas dan keseimbangan dalam komunikasi di antara masyarakat melayu. Orang melayu
selalu berpikir bahwa apapun yang dilakukan dalam menjalni hidup harus didasarkan prinsip
resiprositas. Dalam konteks ini, Konsep Budi yang memadukan otak (reasoning) dan perasaan
(feeling) juga termasuk dari representasi pentingnya nilai resiprositas dalam masyarakat melayu.

Konsep Budi yang terkait dengan pikiran dan perasaan secara konsisten direpresentasikan dalam
khazanah peribahasa melayu melalui pengaitan kata Budi dengan kata akal dan kata Budi dengan
kata basa. Kata akal dan basa pada prinsipnya merupakan dua konsep yang melekat pada nilai
dasar Budi. Kedua kata ini meneguhkan dua dimensi penting Budi sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya yakni pikiran dan perasaan. Kata basa lebih terkait dengan dimensi perasaan yang
terwujud dalam bentuk etiket (sopan santun) atau manner (tatacara bertingkah laku) yang membuat
orang merasakan kenyamanan, kesenangan dan keindahan berkomunikasi. Sedangkan kata akal
digunakan sebagai cara bertindak yang rasional, objektif dan deskriptif dalam menjalin komunikasi
antarsesama manusia.

Konsep akal sebagai salah satu dari dua elemen pokok Budi terungkap dalam beragam peribahasa.
Secara umum penyandingan kata Budi dengan akal merujuk pada satu pengertian baru yakni
penggunaan akal untuk menjalani hidup termasuk menjalani komunikasi. Salah satu ungkapan
terpenting tentang kepaduan kedua konsep tersebut adalah peribahasa lubuk akal tepian budi.
Ungkapan ini menyatakan bahwa orang yang menggunakan akalnya biasanya berbudi baik atau budi
yang baik muncul dari penggunaan akal yang baik.
Akal menjadi intrumen pikir yang sangat penting dalam sistem nilai orang Melayu. Orang harus
menggunakan akalnya untuk hidup dan untuk berkomunikasi dengan baik, benar dan bermartabat.
Tentang hal ini peribahasa Melayu menyatakan hidup berakal mati beriman. Konsep hidup
berakal dapat diartikan sebagai tindakan menjalani hidup secara logis, objektif dan menggunakan
pertimbangan rasional dalam menangani hal apapun yang dihadapi dalam hidup. Pernyataan hidup
berakal mati beriman merupakan satu kesatuan keyakinan bahwa hidup manusia bukan hanya
semata di dunia tapi juga diakhirat. Hidup yang benar adalah menyerahkan akal pada iman ketika
segala penjelasan tidak lagi masuk akal.

Kata akal dalam bahasa sehari-hari orang melayu sering disebut dengan kata pikiran, ilmu atau
istilah lainnya yang merepresentasikan akal. Dari bergam istilah yang ada, Kata pikiran lebih
dominan digunakan untuk mendorong orang melayu menggunakan akal. Bahkan untuk menegaskan
pentingnya kesatuan akal dan hati digunakan ungkapan pikir itu pelita hati. Nafsu atau hasrat
manusia terletak di hatinya. Segala bentuk hasrat keserakahan, keangkuhan, kemarahan, tindakan
tidak sewenang-wenang hingga hasrat-hasrat yang baik seperti kedermawanan atau keramahan
bersemayam dalam hati manusia. Apabila hasrat ini tidak terkendali maka akibat yang dihasilkan
adalah rusaknya kehidupan bersama manusia. Itu sebabnya masyarakat melayu mengajarkan
penting menggunakan pikiran untuk mengendalikan hati. Hati juga dalam banyak ungkapan dan
peribahasa diartikan sebagai perasaan bahkan sebagian besar ungkapan dan peribahasa melayu
mendefinisikan hati dalam pengertian ini. Beberapa contoh penggunaan kata hati untuk
mengartikan perasaan misalnya : hati bagai pelepah, jantung bagi jantung pisang, telinga bagai
telinga rawah yang mencerminkan orang yang tidak memiliki perasaan dan tidak merasakan apa-
apa mendengar perkataan orang yang menyindir atau menghina dirinya. Beragam ungkapan juga
mengartikan hati sebagai perasaan seperti dalam ungkapan mengambil hati, mencuri hati,
menyayat hati atau ungkapan hati bagai dianyang yang menggambarkan perasaan hati yang
sangat pedih dan sakit akibat perkataan orang lain.

Bagi orang Melayu pikiran adalah pengendali perasaan itu sebabnya mereka mengungkapkan bahwa
orang yang bertindak dan berbuat sekehendak hati tanpa memperhatikan perasaan orang lain
direpresentasikan dengan istilah berakal ke lutut, berotak ke empu kaki. Peribahasa lainnya
seperti lading perahu dilautan, padang hati dipikiri juga memperlihatkan betapa penting
menggunakan akal-pikiran untuk memecahkan beragam masalah hidup. Walau hati meresa senang
atau terbujuk oleh sesuatu, akal sehat tetap harus memegang kendali keputusan.

Pada masyarakat Melayu penggunaan pikiran tampaknya selalu didahulukan dan terus menerus
digunakan. Dalam bertindak terhadap apapun orang Melayu diajarkan untuk menggunakan akal
dahulu sebelum memutuskan. Ungkapan yang paling tepat tentang hal ini adalah Pikir dahulu
pendapatan sesal kemudian tiada berguna dan pernyataan bahwa akal harus digunakan secara
terus menerus terepresentasikan dalam kalimat akal tak sekali timbul, pikiran tak sekali datang
yang menegaskan bahwa hasil berpikir yang baik adalah terus berpikir ulang dengan menambahkan
informasi baru dalam keputusan yang akan diambil sehingga keputusan itu menjadi keputusan yang
paling logis untuk dilaksanakan.

Meskipun salah satu pengertian Budi bagi masyarakat melayu adalah pikiran yang cerminannya
muncul dalam bentuk penguasaan pengetahuan atau ilmu, namun keluasaan pengetahuan atau
ilmu sesorang bagi masyarakat melayu bisa jadi tidak merepresentasikan Budi secara keseluruhan.
Itu sebabnya orang melayu menyatakan penyesalan terhadap orang berilmu tapi tidak berbudi
sebagaimana ternyatakan dalam peribahasa Meski ilmu setinggi tegak tidak berbudi apa gunanya.
Di sini kata budi diartikan lebih dari sekadar ilmu atau pikiran, tapi sudah diartikan sebagai akhlak
dalam menjalani hidup. Kata Budi dalam peribahasa ini juga tampak dinilai lebih tinggi dari ilmu
atau kemampuan orang mengolah pikir.
Berbeda dengan kata akal yang lebih terkait dengan penggunaan pikiran, kata basa lebih
berhubungan dengan aspek perasaan (emotion). Dalam komunikasi antarmanusia sehari-hari aspek
perasaan ini mewujud dalam bentuk keramahan dan sopan santun. Penyandingan kata Budi dengan
basa (bahasa) dalam berbagai peribahasa dan ungkapan melayu mencerminkan pentingnya dimensi
perasaan dalam membangun hubungan antarmanusia. Terjaganya perasaanlah yang membuat
hubungan antarmanusia terjalin dan terpelihara. Seringkali peribahasa, gurindam atau ungkapan-
ungkapan bijak menyatakan bahwa Budi seseorang akan tercermin dalam bahasanya. Ungkapan
yang secara tegas menyatakan hal ini diantaranya budi baik basa sesuai. Bahasa yang sesuai disini
ditujukan untuk komunikasi yang baik. Pernyataan ini mencerminkan bahwa tujuan komunikasi
adalah untuk menciptakan harmoni dalam hubungan antarmanusia.

Harmoni dalam hubungan anatarmanusia tidaklah tercipta begitu saja tapi harus di-niati dan
diupayakan lewat pembentukan perilaku berbahasa (komunikasi) yang baik. Konsep Budi basa disini
tampak menjadi satu kesatuan yang menegaskan bahwa komunikasi yang tepat dan bermanfaat
hanya dapat dilandasi oleh Budi yang baik. Konsep ini juga menegaskan bahwa Budi merupakan
titik mula bagi sebuah perilaku komunikasi yang baik. Menurut orang Melayu pada Budi yang baik
tersimpan bahasa yang baik. Jadi sebelum orang mengolah kata maka ia harus mengolah Budi
terlebih dahulu.

Jadi ungkapan Budi dan basa sebenarnya merupakan satu kesatuan nilai. Budi sebagai dimensi
internalnya dan basa sebagai dimensi eksternalnya. Budi sebagai dimensi etisnya dan basa sebagai
aspek etiketnya. Pengertiannya dapat menjadi basa yang baik mencerminkan Budi yang baik, atau
Budi yang baik adalah pangkal dari perilaku komunikasi tepat dan penuh sopan santun. Di sini juga
terkandung pengertian bahwa basa yang sesuai harus diniati untuk tujuan yang baik. Berbasa yang
sesuai harus dilakukan dengan kerelaan (keikhlasan) semata demi kebaikan. Bila ini yang dilakukan
maka saling pemahaman saling penyesuaian atau saling berempati menjadi sebuah keniscayaan
yang tak terhindarkan.

Pernyataan lain yang menyandingkan Budi dan basa adalah peribahasa Nan indah basa, nan baik
budi. Basa disini dikaitkan dengan rasa (feeling) dan kenikmatan berkomunikasi. Basa yang
indah dirasakan dan disamakan dengan sesuatu yang memiliki keindahan seperti halnya kita dapat
merasakan keindahan pada warna warni bunga atau keindahan alam. Ungkapan ini juga
menegaskan dorongan berkomunikasi dengan kata-kata, intonasi, atau bahasa wajah yang
menimbulkan rasa senang dan kenyamanan dalam pendengaran dan penglihatan orang lain. Melalui
penggunakan kata-kata yang tepat maksud komunikasi dapat tetap tersampaikan secara lugas tanpa
perlu menimbulkan ketersinggungan atau kemarahan.

Bahasa dalam sistem keyakinan orang melayu memang banyak dikaitkan dengan emosi. Ungkapan
seperti orang Berbudi kita berbahasa, orang memberi kita merasa menjelasakan betapa eratnya
kaitan antara bahasa dengan perasaan. Bahasa dalam sistem keyakinan orang melayu diyakini
memiliki kekuatan untuk mengubah suasana hati, meredam emosi dan mengendalikan kemarahan
seperti terungkap dalam pernyataaan hanya air dingin jua yang dapat memadamkan api kata air
dingin dalam pernyataan merupakan metafora untuk kata-kata yang lembut dan dapat
menyejukkan hati.

Masyarakat Melayu sangat percaya dengan kekuatan komunikasi untuk menyelesaikan masalah dan
konflik. Segala persoalan hendaknya diselesaikan melalui komunikasi terlebih dahulu sebisa
mungkin. salah satu pernyataan yang terkait dengan hal ini adalah peribahasa setelah beralur baru
beralu yang berarti menyelesaikan masalah lewat komunikasi adalah pilihan utama, dan cara
kekrasan fisik adalah pilihan terakhir ketika semua tindakan komunikatif telah ditempuh.
Peribahasa lain yang terkait penggunaan konsep budi untuk penyelesaian masalah dinataranya
Bose diombat dengan adat, kocik dilocut dengan Budi (besar diembat dengan adat, kecil dilecut
dengan Budi) yang menegaskan bahwa segala persoalan serius dan melibatkan banyak orang perlu
diselesaikan menggunakan norma-norma (adat) yang berlaku, tetapi jika permasalahan tersebut
kecil dan atau bersifat pribadi cukup diselesaikan dengan Budi baik.

Sebagai masyarakat yang menekankan hidup berbudi, orang Melayu hanya berupaya mencara
teman dan sahabat dalam hidup dan dilarang mencari musuh. Prinsip ini tampaknya benar-benar
berlaku dilingkungan Melayu sehingga peribahasa yang ada juga sangat sedikit menggunakan kata
musuh, berbeda dengan kata Budi, adat, akal, elok atau bahkan kata mulut dan mata yang
dinyatakan dalam banyak peribahasa. Pernyataan tentang musuh inipun lebih kepada
mengingatkan agar berhati-hati atau mempersiapkan diri menghadapi musuh yang datang. Sikap
bermusuhan memang tidak dianjurkan dalam pandangan orang Melayu. Tapi sikap yang mulia
ketika bertemu musuh adalah dengan menghadapinya apapun resikonya. Orang melayu
mengatakan Utang darah dibayar darah, utang nyawa dibayar nyawa atau daripada hidup
berputih mata , lebih baik mati berputih tulang atau Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik
mati berkalang tanah yang mencerminkan sikap terhormat dalam menjawab penghinaan atau
menghadapi musuh. Namun demikian sikap dasar orang Melayu terhadap pertikaian fisik adalah
kalah jadi abu menang jadi arang yang mencerminkan perbuatan yang sia-sia.

Penyandingan kata Budi dan basa juga dapat memiliki pengertian yang lain seperti dalam
peribahasa elok basa kan bekal hidup, elok Budi kan bekal mati yang memperlihatkan bagaimana
basa dan budi memiliki keterkaitan yang erat antara hidup dan mati. Masyarakat Melayu meyakini
bahwa hidup manusia tidak hanya di dunia saja tapi juga ada kehidupan setelah mati (akhirat), oleh
karenanya bekal untuk kehidupan selanjutnya menjadi penting dan perlu dipersiapkan. Bekal
kehidupan akhirat adalah perbuatan baik, perbuatan yang bermanfaat dan bernilai yang disebut
perilaku hidup berbudi. Dalam sistem keyakinan Melayu juga dipercaya bahwa segala perbuatan
berbudi akan mendapatkan balasan yang baik. Konsep ini sepenuhnya cocok dengan ajaran Islam
yang berbunyi Hal Jazaaul Ihsaan Illal Ihsaan yang berarti tidak ada balasan bagi kebaikan
kecuali kebaikan pula.

Dalam perspektif komunikasi maka dapat dikatakan Budi basa merupakan satu kesatuan nilai yang
menegaskan bahwa komunikasi yang baik harus didasarkan pada niat dan keadaan diri yang baik.
Basa yang sesuai mudah dilakukan ketika orang memiliki keadaan diri yang baik. Atau orang
berbudi baik akan mampu berbahasa/berkomunikasi sesuai dengan tuntutan situasi. Budi
basa menjadi inti dari seluruh tindakan komunikasi. Budi basa memberikan pengertian bahwa
persoalan komunikasi bukan hanya masalah kebenaran (truth) seperti dikatakan Wojtyla (Drozdz,
2009)[xlviii] dan Korzybsky[xlix] tapi juga melibatkan aspek perasaan (emosi) yang sangat terkait
dengan kehormatan dan kenyamanan orang-orang yang terlibat dalam komunikasi.
Menurut Wojtyla hakikat keberhasilan sebuah komunikasi terletak pada kebenaran tentang apa yang
dipercakapkan (the main condition of successful communication is truth).

Sejauh seseorang mampu berkomunikasi dengan berlandaskan pada isi pesan yang benar dan
membagi kebenaran itu kepada pihak lain sehingga dipahami sebagaimana adanya maka
komunikasi telah berhasil menjalankan tugasnya. Tugas manusia dalam berkomunikasi semata
menyampaikan kebenaran atau fakta sebagaimana adanya apapun risikonya. Tugas pelaku
komunikasi juga menafsirkan pesan sesuai dengan fakta dan maksud yang dimiliki penyampai
pesan. Dalam hal penafsiran pesan secara benar ini, orang melayu tampaknya memiliki pandangan
yang sama seprti terungkap dalam peribahasa kena-kena seperti santan bergula, tak kena-kena
bagai antan pukul kepala yang berarti menafsirkan pesan secara benar sesuai dengan fakta apa
adanya tidaklah akan mendatangkan masalah.
Pandangan Wojtyla yang mengedepankan bahkan menempatkan pengungkapan kejujuran dan
kebenaran sebagai ukuran keberhasilan komunikasi mendapat dukungan dari berbagai filsuf
diantaranya Klaus Steigleder, Konrad Adenaeur, dan Immanuel Kant[l] yang juga menempatkan
kebenaran (truthfulness) sebagai aturan dasar berkomunikasi. Bahkan menurut Dietmar Mieth
apapun situasinya kebenaran harus disampaikan, karena hanya dengan cara begitu maka
komunikasi menjadi bernilai, dapat membangun saling pemahaman, saling percaya, dan dapat
dipertangungjawabkan. Menurut Clifford G. Christians[li] sikap tegas dalam mengkomunikasikan
kebenaran sangat dipengaruhi oleh Rasionalisme etis yang menjadi dasar filsafat moral barat.
Cara pandang yang menekankan kebenaran, sebenarnya hanya refeksi dari pandangan dunia orang
barat yang menekanakn rasionalitas, .

Dari cara pandang seperti itu kemudian muncul berbagai panduan dan konsep komunikasi cara
barat, seperti assertiveness, seldisclosure, general semantics, hingga konsep maksim dari Grice

Konsep komunikasi Grice atau lebih dikenal dengan Maksi Grice, merepresentasikan cara barat
dalam memadang komunikasi yang menekankan aspek Kuantitas, kualitas, relevan dan kesopanan?

Sejalan dengan pandangan para filsuf dan ahli filsafat tersebut, Nilai-nilai kemelayuan juga
menempatkan nilai-nilai kejujuran dan kebenaran berkomunikasi pada posisi yang sangat tinggi.
Beberapa peribahasa bahkan menujukkan secara absolut bahwa berkomunikasi merupakan tindakan
yang didasari laku kejujuran dan kebenaran. Kedua nilai itu mutlak adanya untuk membangun
masyarakat yang saling percaya. Beberapa peribahasa yang menegaskan tentang hal ini diantaranya
; Bercakap lurus berkata benar, putih diluar putih di dalam, pepat diluar pepat di dalam atau
peribahasa bercakap menuju benar yang kedua-duanya secara gamblang menujukkan arti penting
kebenaran dan kejujuran dalam komunikasi antarmanusia. Namun demikian dalam pandangan
orang Melayu kebenaran atau kejujuran yang harus disampaikan bukanlah kebenaran yang bersifat
telanjang. Banyak cara untuk menyampaikan kebenaran tersebut dan tidak semata melalui
pernyataan verbal langsung. Oleh karena alasan ini maka menurut orang Melayu
kebenaran haruslah dikemas sesuai situasi atau konteks yang dihadapi sehingga pesan dapat
diterima secara baik. Inilah cara berbudi menyampaikan kebenaran. Orang tidak hanya
mempertimbangkan penerimaan pesan secara received ( di terima secara fisik) tapi juga
secara accepted (diterima secara hati). Dalam Tunjuk Ajar Melayu, Pendekatan ini dinyatakan
dengan pantun Apa tanda Melayu terbilang, Jujur di muka lurus dibilang; Apa tanda Melayu
bertuah, Batinnya jujur dan lembut lidah.

Pengertian ungkapan Batin yang jujur dan lembut lidah adalah kemampuan untuk memeisahkan
yang benar dan salah serta kemampuan mengolah pesan secara cerdas sehingga kebenaran dapat
disampaikan tapi orang dapat menerimanya dengan sukarela. Tindakan komunikatif semacam lebih
penting dilakukan ketika berhadapan dengan situasi sulit yang menyebabkan pesan komunikasi
akan menimbulkan efek yang buruk atau fatal bagi kelangsungan hubungan dan kehidupan bersama.

Akhirnya pandangan Wojtyla dan Kant yang sepenuhnya mendasarkan keberhasilan komunikasi
pada pengungkapan kebenaran isi pesan, tampaknya secara substantif dapat diterima tapi secara
ekspresif masih belum sejalan sepenuhnya dengan nilai-nilai kemelayuan. Dalam sistem
keyakinan masyarakat Melayu komunikasi yang sukses tidak semata-mata didasarkan pada
penyampaian kebenaran (truth) tapi juga terkait pemeliharaan hubungan yang harmonis
antarpihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi tersebut. Dengan kata lain komunikasi yang
berhasil dalam pandangan orang Melayu adalah komunikasi yang mampu mengkonstruksi
pemahaman yang benar dan dapat diterima diantara pihak-pihak yang terlibat. Gagasan komunikasi
yang demikian didukung pula oleh sistem keyakinan komunikasi orang melayu yang berbasiskan
pada nilai-nilai keseimbangan, nilai timbal balik, penghargaan, kerjasama, toleransi, kerendahan
hati, permaafaan, kesabaran, penyesuain diri, kepahaman, dan nilai kredibilitas. Seluruh nilai nilai
ini secara berurutan akan dikupas pada bab berikutnya @.

Anda mungkin juga menyukai