Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pasal 1 ayat 14
pencemaran lingkungan, yaitu masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia
sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Sedangkan menurut PP No. 41 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 pencemaran udara
adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam
udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi
fungsinya.
Berdasarkan hasil studi Ostro (1994) dalam Farida (2004) menunjukkan
bahwa pencemaran udara di Jakarta mengakibatkan munculnya 1200 kasus
kematian prematur, 32 juta kasus gejala penyakit pernafasan dan 464 ribu kasus
penyakit asma. Kerugian finansial akibat kasus-kasus ini diperkirakan sebesar 500
milyar rupiah. Hal ini tentu bertentangan dengan pernyataan di dalam UUD 1945
yang menyangkut langsung hak atas lingkungan hidup terdapat di dalam Pasal 28
H ayat 1: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan". Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah melakukan
suatu tindakan yang ekstra untuk menangani masalah pencemaran udara ini.
Untuk mencegah terjadinya pencemaran udara lebih jauh serta untuk
mengevaluasi dan mengestimasi tingkat dampak pencemaran udara dan juga
untuk menilai keberhasilan program pengendalian pencemaran udara maka
dibutuhkanlah suatu sistem pemantauan kualitas udara ambien. Menurut
BAPPENAS (2006) dan Sutardi (2008) salah satu cara pemantauan kualitas udara
ambien di Indonesia adalah dengan mengoperasikan jaringan pemantau kontinyu
otomatis yang dilakukan di 10 kota sejak tahun 2000 untuk memantau konsentrasi
CO, debu (PM10), SO2, NOx, dan O3. Akan tetapi dibalik itu, menurut Sutardi
(2008) selain memerlukan biaya investasi, operasional, dan perawatan yang tinggi
pemantauan kualitas udara ambien dengan cara ini juga memiliki beberapa
kendala lainnya, antara lain terbatasnya alat pemantau, minimnya dana, dan
pengamatan yang hanya terfokus pada jalan raya sehingga pengambilan sampel
tidak mewakili lingkungan secara keseluruhan.
Alternatif lain yang murah dan lebih sederhana namun tetap efektif serta
akurat perlu dipertimbangkan dimana salah satu di antaranya adalah dengan
menggunakan bioindikator dalam pemantauan kualitas udara atau yang dikenal
dengan biomonitoring. Menurut Mulgrew et al (2000) biomonitoring adalah
penggunaan respon biologi secara sistematik untuk mengukur dan mengevaluasi
perubahan dalam lingkungan, dengan menggunakan bioindikator. Sedangkan
bioindikator adalah organisme atau respons biologis yang menunjukan masuknya
zat tertentu dalam lingkungan. Salah satu cara pemantauan pencemaran udara
adalah dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator. Menurut Karlianyah
(1997) tumbuhan adalah bioindikator yang baik dan daun adalah bagian tumbuhan
yang paling peka pencemar.
Lichen sebagai tumbuhan pioneer memiliki peranan yang sangat penting
dalam kehidupan. Jenis ini menjadi tumbuhan perintis pada daerah-daerah yang
keras dan kering sehingga pada akhirnya dapat mendukung pertumbuhan
organisme lainnya. Saat ini Lichen telah banyak dimanfaatkan oleh sebagian
masyarakat, beberapa jenis Asolichen telah dimanfaatkan dan dapat pula
dikonsumsi. Oleh karena itu, perlu dijelaskan mengenai Lichen tersebut
khususnya pada pemanfaatan Lichen bagi kehidupan.
Simbiosis mutualisme adalah hubungan antar organisme yang saling
menguntungkan. Jamur pada lumut kerak berfungsi sebagai pelindung dan
penyerap air serta mineral. Ganggang yang hidup di antara miselium jamur
berfungsi menyediakan makan melalui fotosintesis. Lumut kerak adalah
organisme hasil simbiosis mutualisme. Jamur pada lumut kerak tidak dapat hidup
sendiri di alam. Lumut kerak mampu hidup subur pada suhu dan kelembaban
yang ekstrim seperti gurun dan kutub. Populasinya tersebar luas di seluruh dunia
dan tumbuh di Indonesia lebih dari 1000 species yang diketahui dari 2500 species
yang ada. Lumut adalah organisme komposit, terdiri dari simbiosis asosiasi dari
jamur (mycobiont) dengan fotosintesis mitra (yang photobiont atau phycobiont),
biasanya baik ganggang hijau (umumnya Trebouxia sp) atau cyanobacterium
(umumnya Nostoc).
Lumut terjadi dibeberapa lingkungan yang paling ekstrim di Bumi, tundra
Arktik, padang pasir panas, pantai berbatu, dan tumpukan terak beracun. Namun,
mereka juga berlimpah sebagai epifit pada daun dan cabang di hutan hujan dan
hutan subtropis, pada batu telanjang, termasuk dinding, batu nisan dan pada
permukaan tanah yang terbuka (misalnya Collema) dinyatakan habitat mesic.
Lumut yang luas dan dapat berumur panjang. Namun, banyak spesies juga rentan
terhadap gangguan lingkungan, dan mungkin berguna untuk ilmuwan dalam
menilai efek dari polusi udara, penipisan ozon, dan kontaminasi logam.
Lumut juga telah digunakan dalam pembuatan pewarna dan parfum, serta
obat-obatan tradisional. Tubuh (talus) dari lumut yang paling cukup berbeda
dengan baik jamur atau alga tumbuh secara terpisah, dan menyolok mungkin
menyerupai tanaman sederhana. Lichen merupakan organisme yang sangat kuat
untuk bertahan hidup, namun organisme ini sangat sensitif terhadap polutan udara
sulfur oksida.
Berdasarkan penjelasan di atas perlu untuk dilakukan studi literatur terkait
penggunaan tumbuhan sebagai indikator dalam pemantauan pencemaran udara.
Studi literatur yang dilengkapi dengan studi kasus sebagai bentuk implementasi
dari studi literatur, diharapkan dapat menjadi suatu solusi dalam melaksanakan
upaya pemantauan pencemaran udara.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas diperoleh beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana respon lichen dan tumbuhan tingkat tinggi terhadap pencemaran
udara?
2. Bagaimana kriteria-kriteria lichen dan tumbuhan tingkat tinggi yang dapat
digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara?
3. Apa kelebihan dan kekurangan menggunakan lichen dan tumbuhan tingkat
tinggi sebagai bioindikator pencemaran udara?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan berdasarkan rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami respon lichen dan tumbuhan tingkat tinggi
terhadap pencemaran udara.
2. Mengetahui dan memahami kriteria-kriteria lichen dan tumbuhan tingkat tinggi
yang dapat digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara.
3. Mengetahui dan memahami kelebihan dan kekurangan menggunakan lichen
dan tumbuhan tingkat tinggi sebagai bioindikator pencemaran udara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Lumut Kerak


Menurut Fitting et al. (1954) diacu dalam Ronoprawiro (1989); Noer
(2004); Tjitrosoepomo (1981), lumut kerak merupakan tumbuhan rendah yang
temasuk dalam divisi Thallophyta yang merupakan tumbuhan komposit dan
perpaduan fisiologik dari dua makhluk, yakni antara fungi dan alga. Menurut
Dharmaputra et al. (1989), fungi merupakan salah satu organisme heterotrof
yang tidak termasuk tumbuhan maupun hewan, yaitu termasuk dalam regnum
fungi. Fungi dapat hidup sebagai saprob atau parasit. Saprob merupakan
organisme yang hidup dari bahan organik mati, sedangkan parasit adalah
organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan mengambil makanan
darinya.
Keberadaan simbiosis antara dua organisme ini masih diperdebatkan.
Lumut kerak seharusnya termasuk dan diklasifikasikan dengan fungi sejati
(Bessey, 1950; Martin, 1950; Alexopoulos, 1956 diacu dalam Pandey &
Trivendi, 1977). Namun, menurut Smith (1955) diacu dalam Pandey &
Trivendi (1977) menerangkan bahwa lumut kerak harus berada pada
kelompok yang terpisah dari alga dan fungi.
Dua organisme tersebut hidup berasosiasi satu sama lain, sehingga
muncul sebagai satu organisme. Penyusun komponen fungi disebut mycobiont
yang pada umumnya berasal dari kelas Ascomycetes dan dua atau tiga genus
termasuk kelas Basidiomycetes, sedangkan penyusun komponen alga disebut
phycobiont, berasal dari divisi alga biru-hijau (Chyanophyceae) atau alga
hijau (Chlorophyta). Tercatat bahwa terdapat 12 genus dari divisi alga biru-
hijau (Chyanophyceae) dan 21 dari alga hijau (Chlorophyta). Pada umumnya
genus yang termasuk dalam Cyanobacteria adalah Nostoc, Gloeocapsa dan
Rivularia, sedangkan yang termasuk alga hijau diantaranya Protococcus,
Trentepohlia dan Cladophora (Pandey & Trivendi, 1977).
Menurut Misra & Agrawal (1978), menyatakan bahwa klasifikasi lumut
kerak berdasarkan komponen fungi terbagi menjadi tiga tipe, yaitu:
1. Ascolichens
Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak berasal dari
kelas Ascomycetes. Tipe ini terbagi dalam dua bagian yaitu Gymnocarpae
yang memiliki tubuh buah berupa apotesium dengan struktur terbuka,
contohnya Parmelia. Sedangkan pada bagian Pyrenocarpae, memiliki tubuh
buah berupa peritesium dengan struktur tertutup, contohnya Dermatocarpon.
Komponen alga dari Ascolichen termasuk dalam Myxophyceae di antaranya
Scytonema, Nostoc, Rivularia, Gleocapsa. Pada Chlorophyceae di antaranya
adalah Protococcus, Trentepohlia, Cladophora.
2. Basidiolichens
Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari
kelas Basidiomycetes. Basidioliches memiliki komponen alga yang termasuk
dalam kelas Myxophyceae, berupa filamen (Scytonema) atau non-filamen
(Chroococcus).
3. Lichen Imperfecti
Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari
kelas Deuteromycetous dengan contoh antara lain Cystocoleus, Lepraria,
Leprocanlon, Normandia. Fink (1961), menambahkan bahwa golongan ini
tidak dapat membentuk spora fungi dan talus tersusun dari hifa atau massa
padat yang seringkali terlihat menyerupai serbuk atau bubuk pada substrat
yang ditumbuhinya.
Menurut Pandey & Trivendi (1977), simbiosis antara alga dan fungi,
memberikan dua penafsiran yang berbeda, yaitu:
a. Disebut simbiosis mutualisme, bila dipandang ke dua simbion dapat
memperoleh keuntungan dari hidup bersama. Pada simbiosis tersebut alga
memberikan hasil fotosintesisnya, terutama yang berupa karbohidrat
kepada fungi, dan sebaliknya fungi memberikan air dan garam-garam
kepada alga.
b. Disebut helotisme, bila keuntungan yang timbal balik itu hanya sementara,
yaitu pada permulaannya saja, tetapi pada akhirnya alga akan diperalat oleh
fungi.

2.2 Morfologi Lumut Kerak


Menurut Fink (1961), bagian utama lumut kerak adalah talus yang
merupakan jaringan vegetatif. Keberadaan talus dapat terangkat atau tegak
lurus dari substratnya, terjumbai, tergantung atau talus juga dapat terlihat
tubuh secara rapat atau jarang pada substrat. Menurut Dharmaputra et al.
(1989), talus adalah merupakan istilah umum untuk bagian vegetatif
tumbuh-tumbuhan tak berpembuluh (non-vascular) Lumut kerak dapat
dikelompokkan dalam tiga tipe berdasarkan morfologi talusnya yaitu
crustose, foliose, dan fruticose. Pengelompokan itu berdasarkan pada
organisasi jaringan tubuh dan perlekatan talus pada substratnya, yaitu:
1. Talus Crustose
Ukuran talus crustose bermacam-macam dengan bentuk talus rata,
tipis, dan pada umumnya memiliki bentuk tubuh buah yang hampir sama.
Talus berupa lembaran tipis atau seperti kerak yang permukaan bawahnya
melekat pada substrat. Permukaan talus biasanya terbagi menjadi areal-
areal yang agak heksagonal yang disebut areole (Vashishta 1982, diacu
dalam Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979).
2. Talus Foliose
Talus foliose bertingkat, lebar, besar, kasar dan menyerupai daun yang
mengkerut dan melipat. Permukaan talus foliose bagian bawah dan atas
berbeda, pada permukaan bawah berwarna lebih terang atau gelap dan
pada bagian tepi talus biasanya menggulung ke atas (Vashishta 1982,
diacu dalam Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979).

Gambar 1. Bentuk Lobus Tipe Talus Foliose (Hale, 1989)

3. Talus Fruticose
Talus fruticose merupakan tipe talus kompleks dengan cabang-cabang
yang tidak teratur. Talus ini memiliki bentuk cabang silinder atau pita. Talus
hanya menempati bagian dasar dengan cakram bertingkat. Lumut kerak
fruticose ini memperluas dan menunjukan perkembangannya hanya pada batu-
batuan, daun, dan cabang pohon (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania
1995; Moore, 1972).
4. Talus Squamulose
Talus ini memiliki bentuk seperti talus crustose dengan pingiran yang
terangkat ke atas di atas tempat hidupnya. Talus ini memiliki bentuk
seperti sisik yang tersusun oleh banyak cuping (lobes) yang kecil tetapi
tidak memiliki rizin (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995;
Moore, 1972; Hale, 1979; Noer,2004).

Gambar 2. Morfologi Talus (www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens)

2.3 Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak


Lumut kerak hidup sebagai tidak hanya menjadi tumbuh pada pohon-
pohonan, tetapi juga di atas tanah, terutama pada daerah tundra di sekitar
kutub utara. Lokasi tumbuhnya dapat di atas maupun di dalam batu dan tidak
terikat pada tingginya tempat di atas permukaan laut. Lumut kerak dapat
ditemukan dari tepi pantai sampai di atas gunung-gunung yang tinggi.
Tumbuhan ini tergolong dalam tumbuhan perintis yang ikut berperan
dalam pembentukan tanah.
Beberapa jenis dapat masuk pada bagian pinggir batu-batu, yang biasa
disebut sebagai bersifat endolitik (Tjitrosoepomo, 1981). Lumut kerak juga
dapat hidup dan tumbuh pada habitat yang agak kering (Polunin, 1990).
Menurut Fink (1981), lumut kerak yang ada pada pohon umumnya tumbuh
pada batang atau bagian batang yang lebih rendah. Menurut Pandey &
Trivendi (1977); Misra & Agrawal (1978), habitat lumut kerak dapat dibagi
menjadi 3 katagori, yaitu:
1. Saxicolous adalah jenis lumut kerak yang hidup di batu. Menempel pada
substrat yang padat dan di daerah dingin.
2. Corticolous adalah jenis lumut kerak yang hidup pada kulit pohon.
Jenis ini sangat terbatas pada daerah tropis dan subtropis, yang
sebagian besar kondisi lingkungannya lembab.
3. Terricolous adalah jenis lumut kerak terestrial, yang hidup pada
permukaan tanah.
Menurut Pandey & Trivendi (1977); Fitting et al. (1954) diacu dalam
Ronoprawiro (1989); Misra & Agriwal (1978), penyebaran koloni lumut
kerak dapat terjadi secara vegetatif yaitu dengan cara fragmentasi,
soredia, dan isidia serta secara seksual. Penyebaran secara vegetatif secara
tidak langsung dapat dibawa oleh air, angin, serangga atau satwa (Moore,
1972). Air hujan sangat penting dalam penyebaran soredia, meskipun
dengan angin juga dapat terjadi penyebaran.
Menurut Pandey & Trivendi (1977), fragmentasi merupakan salah
satu cara penyebaran secara vegetatif yang paling umum dijumpai. Lumut
kerak yang kering dengan kondisi yang sangat rapuh, bila terpisah dari
talus utamanya maka potongan talus tersebut akan terbawa oleh angin atau
air sehingga akan jatuh pada tempat yang baru. Pada tempat yang baru,
potongan talus tersebut akan tumbuh menjadi talus yang baru. Soredia
merupakan struktur berbentuk bubuk yang berwarna putih keabuan atau
hijau keabuan, yang biasanya terletak pada permukaan talus atau
pinggiran talus. Soredia akan disebarkan oleh angin atau air hujan dalam
mencari substrat yang sesuai sehingga dapat berkembang menjadi talus
baru. Isidia merupakan struktur yang memiliki bentuk seperti karang yang
terdapat pada permukaan atau pinggiran talus.
Untuk reproduksi seksual terbatas untuk pasangan fungi yang terdapat
pada lumut kerak, sebab sebagian besar komponen fungi pada lumut kerak
termasuk dalam golongan Ascomycetes. Reproduksi ini meliputi
pembentukan askokarp dalam struktur khusus yang disebut dengan asci,
tumbuh pada apotesium atau peritesium. Banyak jenis fungi pada lumut
kerak membentuk askokarp, tergantung pada golongannya.
Menurut Vashishta (1982) diacu dalam Januardania (1995),
menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang membantu penyebaran
lumut kerak. Penyebaran secara vegetatif merupakan cara efisien
membantu penyebarannya, hal tersebut juga didukung oleh sifat lumut
kerak yang memiliki ketahanan terhadap suhu dan kelembaban yang
ekstrim.

2.4 Pengaruh Faktor Lingkungan bagi Lumut Kerak


Beberapa faktor lingkungan yang memepengaruhi pertumubuhan lumut
kerak adalah sebagai berikut.
1. Faktor Lingkungan
a. Suhu udara
Pertumbuhan lumut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan,
antara lain suhu udara, kelembaban udara dan kualitas udara. Lumut kerak
memiliki kisaran toleransi suhu yang cukup luas. Lumut kerak dapat hidup
baik pada suhu yang sangat rendah atau pada suhu yang sangat tinggi.
Lumut kerak akan segera menyesuaikan diri bila keadaan lingkungannya
kembali normal. Salah satu contohnya alga jenis Trebouxia tumbuh baik
pada kisaran suhu 12-24C, dan fungi penyusun lumut kerak pada
umumnya tumbuh baik pada suhu 18-21C (Ahmadjian, 1967).
b. Kelembaban udara
Walaupun lumut kerak tahan pada kekeringan dalam jangka waktu
yang cukup panjang, namun lumut kerak tumbuh dengan optimal pada
lingkungan yang lembab (Ronoprawiro, 1989).
c. Kualitas Udara
Menurut Kristanto (2002), udara adalah suatu campuran gas yang
berada pada lapisan yang mengelilingi bumi, dengan komposisi campuran
gas tersebut tidak selalu konstan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 1999; Soedirman (1975) diacu dalam Ryadi (1982); Kozak &
Sudarmo (1992) diacu dalam Purnomohadi (1995), pencemaran udara
adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain
berupa debu, uap air, bau, asap, dan berbagai jenis gas lainnya yang dalam
jumlah konsentrasi, sifat dan lama waktu keberadaannya di atmosfer,
sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya dan dapat
menyebabkan gangguan terhadap lingkungan disekitarnya baik terhadap
gangguan kesehatan, kerusakan pada kualitas barang/benda tertentu atau
kenyamanan makluk disekitarnya.
Kemampuan lumut kerak untuk merespon perubahan yang
ditimbulkan oleh kondisi lingkungan menyebabkan lumut kerak dapat
dipakai sebagai bioindikator untuk pencemaran udara (Galun, 1988 diacu
dalam Noer, 2004). Hal tersebut dijelaskan oleh Woodruff (1996) diacu
dalam Simonson (1996) yang menyatakan bahwa berdasarkan objek
penelitian yang telah dilakukan beberapa jenis lumut kerak dapat menjadi
indikator dalam waktu pendek karena pertumbuhannya yang lambat dan di
dalam sel terdapat bahan campuran dari polusi yang telah telah ada.

2.5 Biondikator Kualitas Udara


Alexopolous & Mims (1979) menyatakan bahwa pusat kota dengan
polusi industri beratnya tidak ditemukan atau jarang ditemukan lumut
kerak. Populasi lumut kerak secara bertahap bertambah pada jarak
semakin jauh dari pusat kota tersebut. Dengan demikian lumut kerak dapat
digunakan sebagai petunjuk didalam program mengukur kualitas
lingkungan, dimana bahwa tidak ada organisme lain yang lebih peka
terhadap sulfur dioksida (SO2) daripada lumut kerak.
Sulfur dioksida (SO2) merupakan hasil samping pembakaran batubara
(dan juga minyak bumi pada batas-batas tertentu) dan bentuk sulfur
lainnya, dimana hasil-hasil tersebut akan mempengaruhi banyak tumbuh-
tumbuhan khususnya lumut kerak (Lubis, 1996). Menurut Noer (2004),
jenisjenis lumut kerak yang tumbuh di daerah tercemar berat antara lain
adalah Desmococcus viridis, L. conizoides, Lepraria incana, B. punctata,
Diploicia canescens, L. expallens, Xanthoria parietina, Cladonia
coniocraea, C. macilenta, dan L. dispersa. Untuk jenisjenis lumut kerak
yang tumbuh pada daerah yang tercemar sedang antara lain Hypogymnia
physodes, Ramalina farinacea, Evernia prunastri, Physia adscendens,
Physia tenella, Lecanora chlarotera, Foraminella ambigua, Platismatia
glauca, Lecidella elaeochroma, P. sulcata, P.saxatilis, P. glabratula.
Jenisjenis lumut kerak yang tumbuh di daerah tercemar ringan adalah
Pseudevernia furfuracea, Bryria fuscescens, Physconia distorta,
Physconia enteoxantha, Phaeophysia orbicularis, Physia aipolia,
Opegrapha varia, P. cerperta, P.a acetabulum, G. scripta, G. elegans, dan
Anaptychia ciliaris. Jenisjenis lumut kerak yang tumbuh di daerah yang
bersih adalah Usnea rubicunda, U. subfloridana, U. florida, U. articulata,
Teloschistes flavicans, Lobaria pulmonaria, P. perlata, Lobaria
scrobiculata, R. fastigiata, R. fraxinea, R. calicaris, Pannaria rubiginosa,
dan Degelia plumbea.
Menurut Clark et al. (1999) diacu dalam Wijaya (2004), ada beberapa
sifat lumut kerak yang ideal sebagai bioindikator antara lain :
1. Secara geografis penyebarannya luas
2. Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim
3. Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudah air, larutan dan
logam serta mineral diserap oleh lumut kerak
4. Nutrisinya tergantung dari bahan-bahan yang diendapkan dari udara
5. Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun
Menurut Kovacs (1992), lumut kerak sangat peka terhadap emisi
pencemar bila dibanding dengan tumbuhan tinggi. Adapun kepekaan
tersebut dikarenakan adanya perbedaan fisiologis dan morfologi, yaitu :
1) Kandungan klorofil yang sangat kurang, sehingga mengakibatkan laju
fotosintesis dan metabolisme yang rendah serta kemampuan regenerasi
yang terbatas.
2) Tidak adanya kutikula, maka pencemar dapat dengan mudah masuk ke
dalam talus.
3) Lumut kerak golongan corticolous, dapat menyerap air dan nutrien
langsung dari udara.
4) Keseimbangan air di dalam lumut kerak hampir sepenuhnya untuk
menjaga kelembaban atau presepitasi, sehingga menyebabkan
kesempatan untuk asimilasi dan regenerasi menjadi terbatas.
5) Lumut kerak dapat mengakumulasi berbagai macam bahan tanpa
melakukan seleksi.
6) Sekali bahan pencemar diserap, maka akan diakumulasikan dan tidak
dieksresikan.
7) Terjadi perubahan warna talus, akibat adanya bahan pencemar.

Kadar tertentu zat pencemar udara akan mampu menghambat


pertumbuhan lumut kerak, tetapi logam-logam berat tidak banyak
mempengaruhi pertumbuhan lumut kerak. Lumut kerak dan Bryophyta akan
mampu menimbun logam-logam berat yang dipancarkan ke udara lebih cepat
daripada tanaman tinggi (Noer dan Bonito, 1982 diacu dalam Soedaryanto et
al., 1992). Menurut Garty (2000) diacu dalam Wijaya (2004), berdasarkan
daya sensitivitasnya terhadap pencemar udara maka lumut kerak
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: sensitif, merupakan jenis yang sangat peka
terhadap pencemaran udara, pada daerah yang telah tercemar jenis ini tidak
akan dijumpai; toleran merupakan jenis yang tahan (resisten) terhadap
pencemaran udara dan tetap mampu hidup pada daerah yang tercemar;
pengganti merupakan jenis yang muncul setelah sebagian besar komunitas
lumut kerak yang asli rusak karena pencemaran udara.
Menurut Noer (2004), terdapat beberapa parameter yang dapat
dipergunakan dalam penelitian lumut kerak untuk mengukur adanya
pencemaran udara:
1. Keanekaan; jumlah jenis yang terdapat di setiap substrat yang diamati.
Pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada
sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang.
2. Pertumbuhan; diamati dengan melihat keadaan morflogi dan warna
talusnya. Lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya
kurang baik, warnanya pucat atau berubah.
3. Kesuburan; dilihat ada tidaknya alat berkembangbiak yaitu soredia,
isidia, lobules, chypellae dan chepaloidia. Pada daerah tercemar, lumut
kerak yang ada kurang subur dan alat berkembang biak tidak ada.
4. Frekuensi; penyebaran dan pengelompokan lumut kerak pada setiap
substrat yang diamati, sedangkan frekuensi adalah kehadiran lumut
kerak pada setiap pohon contoh di masing-masing stasiun pengamatan.
5. Persentase penutupan (density); diukur dengan menghitung luas
penutupan lumut kerak pada substrat atau habitat yang diamati.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.1.1 Lumut Kerak (Lichen)
Penelitian lumut kerak dilakukan di kawasan industri Pulo Gadung,
arboretum Cibubur Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Pengambilan
data di lapangan, dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan
Desember 2005.
3.1.2 Tumbuhan Tingkat Tinggi
Penelitian dengan menggunakan tumbuhan tingkat tinggi dilakukan di jalan
Ahmad Yani dan di dalam reaktor rumah tanaman.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian


3.2.1 Lumut Kerak (Lichen)
Bahan dan alat yang digunakan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian

No Nama Fungsi
Bahan
1 Peta lokasi Melihat lokasi penelitian
2 Plastik transparan Menggambar lumut kerak
3 Amplop Menyimpan sampel lumut kerak
4 Akuades, laktofenol-anali blue, Membuat preparat
tissue
Alat
5 Pita meteran Mengukur keliling batang pohon
6 Kape, pahat, dan martil Mengambil sampel lumut kerak
7 Termometer bola basah dan Mengukur suhu (C) dan
bola kering kelembaban udara (%)
8 Planimeter Mengukur luas lumut kerak
9 Imvinger dan dust sampler Mengukur kualitas udara
10 Alat tulis dan tally sheet Mencatat hasil
11 Kamera Dokumentasi
12 Object glass, cover glass, Melihat ciri-ciri mikroskopik
pinset, pipet, pisau silet,
3.2.2 Tumbuhan Tingkat Tinggi
Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu, 5 buah tanaman Bayam
(Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa) di
dalam reaktor rumah tanaman. Di jalur tengah trotoar pembatas Jalan Ahmad Yani
terdapat 5 buah Bayam (Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat
(Mirabilis jalapa). Sebagai tanaman kontrol yaitu 5 buah tanaman Bayam
(Amaranthus sp) dan 5 buah tanaman Bunga Pukul Empat (Mirabilis jalapa).

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Lumut Kerak (Lichen)
A. Pemilihan Lokasi Contoh
Lokasi contoh pengamatan pada masing-masing lokasi ditentukan secara
purposive/sengaja yaitu dengan kriteria lokasi merupakan habitat
tumbuhnya lumut kerak dengan dugaan memiliki kondisi kualitas udara yang
berbeda. Pemilihan lokasi pengamatan yaitu di kawasan industri Pulo
Gadung (A) dan arboretum Cibubur (B) dan tegakan mahoni Cikabayan (C)
merupakan daerah relatif tidak tercemar.
B. Jenis Data
Talus lumut kerak yang diamati terbagi secara makroskopik dan
mikroskopik. Pengamatan secara mikroskopik mencakup bentuk, keadaan
serta warna talus lumut kerak, luas talus lumut kerak serta frekuensi
perjumpaan serta melakukan komposisi jenis (melalui pendekatan tipe
morfologi talus lumut kerak). Pengamatan secara mikroskopik dilakukan
untuk melihat struktur jaringan penyusun talus lumut kerak.
Jenis data faktor biotik yang diperoleh adalah jenis tanaman sebagai
substrat bagi lumut kerak dan keliling batang atas tanaman, sedangkan
jenis data faktor abiotik yang diperoleh adalah iklim mikro, terdiri dari
suhu dan kelembaban udara rata-rata serta kandungan udara ambien.

C. Prosedur Pengambilan Data


1) Data Lumut Kerak
Membuat lokasi contoh pengamatan berbentuk lingkaran seluas 0,1 ha,
kemudian melakukan pengamatan secara makroskopik terhadap tiap unit
contoh pohon. Ciri-ciri yang diamati antara lain adalah warna, bentuk, dan
keadaan talus serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman yang
terletak pada jarak 5 meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran
kualitas udara. Pengambilan titik pengamatan data lumut kerak yang tumbuh
pada kedua sisi batang pohon (menghadap dan membelakangi titik
pengukuran kualitas udara ambien).
Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengukur luas lumut kerak
sebagai berikut :
a) Mengukur lingkar batang bawah pohon pada ketinggian 150 cm dari
permukaan tanah dan lingkar batang pohon pada tepat di atas
permukaan tanah.
b) Menggambar luas lumut kerak tersebut pada batang pohon bagian
bawah pada plastik transparan.
c) Menghitung luas lumut kerak pada setiap pohon dengan menggunakan
planimeter.
Contoh talus yang diambil adalah yang tumbuh pada batang tanaman pada
ketinggian 0-150 cm di atas permukaan tanah. Contoh talus disimpan
dalam amplop, kemudian diberi label/keterangan. Contoh talus tersebut
akan di identifikasi di Herbarium Bogorensis dan dilakukan pengamatan
secara mikroskopik.
Pengamatan secara mikroskopik dilakukan pada beberapa jenis lumut
kerak. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui struktur internal jaringan
talus lumut kerak. Lumut kerak diiris setipis mungkin dengan menggunakan
silet. Irisan diletakkan di atas gelas objek, kemudian diberi beberapa tetes
air dan diberi gelas penutup lalu diamati strukturnya dengan menggunakan
mikroskop. Setelah mendapatkan struktur lumut kerak yang jelas, baru
ditambahkan laktofenol-analin blue dengan cara meneteskannya disamping
gelas penutup dan kelebihan larutan diserap dengan menggunakan tissue
(Trisusanti, 2003).
2) Faktor Abiotik
Melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara dengan digantungkan
pada ketinggian sekitar 120 cm di atas permukaan tanah (Pukul 07.30;
13.30; dan 17.30 WIB). Pengukuran dilakukan dalam kurun waktu satu
bulan dan kemudian melakukan pengukuran kandungan polutan (NO2,
CO2, SO2, dan debu) di udara dengan menggunakan satu set alat
pengukur kualitas udara (impvinger dan dust sampler).
3) Analisis Data
a. Luas Talus Lumut Kerak
Menentukan luas suatu jenis lumut kerak dengan menggunakan
planimeter. Luas areal yang diamati sampai setinggi 150 cm pada setiap
pohon contoh dihitung berdasarkan rumus trapesium sebagai berikut (Noer,
2004):
Luas areal yang diamati = x (A+B) x C ...............(1)

b. Frekuensi Perjumpaan Lumut Kerak


Perjumpaan lumut kerak digunakan untuk melihat penyebaran jenis
lumut kerak pada tiap lokasi. Rumus yang digunakan dalam analisis ini
adalah :

..(2)

c. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak


Analisis ciri talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan secara
deksriptif kualitatif yaitu dengan melihat bentuk, keadaan serta warna talus lumut
kerak pada masing-masing lokasi.
d. Ciri Mikroskopis Lumut Kerak
Analisis ciri-ciri mikroskopis terhadap lumut kerak dilakukan secara
deskriptif kualitatif yaitu dengan melihat jaringan-jaringan yang menyusun talus
lumut kerak tersebut.
e. Suhu Udara Harian Rata-rata
Suhu udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan
pengukuran 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 WIB, dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :

...................(3)

f. Kelembaban Udara Harian Rata-rata


Kelembaban udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan
pengukuran 3 kali sehari. Rumus yang digunakan untuk menghitung kelembaban
udara harian adalah:

.........(4)

g. Kandungan Udara Ambien


Analisis hasil kandungan udara ambien dilakukan secara deskriptif kualitatif,
kemudian membandingkan dengan peraturan pemerintahan yang ada yaitu
Peraturan Pemerintahan No. 41 Tahun 1999.

3.3.2 Tumbuhan Tingkat Tinggi


1) Variabel
Variabel-variabel yang diamati yaitu tinggi tanaman, panjang daun, jumlah
daun, keliling batang, warna daun serta luka daun yang terlihat.
2) Kelompok Perlakuan
Terdapat 3 kelompok perlakuan yang digolongkan berdasarkan lama dan
tingkat pemaparan dari polutan pencemaran udara. Perincian kelompok perlakuan
adalah sebagai berikut :
Kelompok 1 : diberi pemaparan gas polutan selama 0 jam (kontrol)
Kelompok 2 : diberi pemaparan gas polutan asap sepeda motor selama 7 jam
(reaktor rumah tanaman)
Kelompok 3 : diberi pemaparan gas polutan kendaraan -kendaraan bermotor
selama 24 jam (Jalan Ahmad Yani)
3) Analisis dan Pembahasan
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman terkait parameter tinggi
tanaman, panjang daun, jumlah daun, dan keliling batang kemudian akan diolah
dengan menggunakan program Ms. Excel sehingga akan diperoleh grafik yang
menggambarkan perbedaan pertumbuhan tanaman pada setiap parameter di
seluruh perlakuan. Sedangkan untuk parameter luka daun dan warna daun akan di
analisa secara visual deskriptif dan kemudian di akhir semuanya akan dibahas
dengan menggunakan studi literatur.
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan
1. Respon lichen sebagai bioindikator pencemar udara adalah ada tidaknya
lichen spesies tertentu di daerah yang terkena pencemar, banyaknya individu
yang tumbuh, morfologi dan warna talusnya. Sedangkan respon pada
tumbuhan tingkat tinggi berupa kerusakan daun, gangguan perkecambahan,
perubahan morfologi, penurunan kadar klorofil, perubahan biokimia dan
fisiologi, penurunan kandungan lemak dan gula dan penurunan laju fiksasi
CO2.
2. Kriteria lichen yang dapat dijadikan bioindikator pencemar udara adalah
sebagai berikut:
a. Secara geografis penyebarannya luas
b. Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim
c. Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudah air, larutan dan
logam serta mineral diserap oleh lumut kerak
d. Nutrisinya tergantung dari bahan-bahan yang diendapkan dari udara
e. Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun
Sedangkan kriteria tumbuhan tingkat tinggi yang dapat dijadikan bioindikator
pencemar udara adalah sebagai berikut:
a. Spesifik jenis dan spesiesnya
b. Mudah diukur
c. Harus memiliki respon berbeda tiap pencemar sehingga jenis polutan
dapat diidentifikasi
d. Tumbuhan indikator harus sesuai dengan ruang lingkup pemantauan
dan dapat menggambarkan hubungan sebab-akibat antar indikator
3. Kelebihan menggunakan lichenes sebagai bioindikator pencemar udara
adalah efisien untuk polusi udara dan perubahan asam dengan biaya
pengelolaan yang murah, menunjukkan beban polusi yang terjadi dalam
waktu yang lama, menunjukkan perubahan yang signifikan dalam
menanggapi polusi udara, kemampuan regenerasi tinggi, dan dapat tumbuh
kembali apabila kondisi udara di ekosistem tempatnya tumbuh mulai pulih
kembali, sedangkan kekurangannya tidak dapat dijadikan bioindikator di
lokasi yang gersang atau kelembabannya rendah. Kelebihan menggunakan
tumbuhan tingkat tinggi sebagai bioindikator adalah mudahnya menganalisa
pencemar udara dari luka makroskopis di tumbuhan dan umur tumbuhan
tingkat tinggi relatif lebih panjang daripada jenis tumbuhan lain, sedangkan
kekurangannya memerlukan sejumlah besar sampel yang harus diambil untuk
memenuhi presisi statistik yang dibutuhkan.

5.2 Saran
1. Penelitian ini hanya membahas lumut kerak sebagai bioindikator dengan
melihat bentuk fisiknya saja, sehingga salah satunya perlu dilakukan
penelitian dengan melihat kandungan zat pencemar yang diterima oleh lumut
kerak.
2. Pengelompokan berdasarkan marga masih sangat terbatas terhadap spesies
yang ditemukan, sehingga diperlukan penelitian selanjutnya untuk melakukan
identifikasi pada beberapa sampel lumut kerak yang belum diketahui.
3. Memperhatikan lokasi penelitian dengan kondisi yang relatif sama,
diantaranya adalah jenis tanaman/substrat, umur tanaman dan kondisi iklim
mikro
4. Kajian lumut kerak sebagai bioindikator perlu diteliti lebih lanjut dengan
memperluas daerah penelitian dan stasiun pengamatan.
5. Untuk tumbuhan tingkat tinggi dapat dilakukan studi kasus yang serupa
dengan disertai analisis laboratorium terhadap kandungan yang ada dalam
daun seperti analisa klorofil dan stomata untuk lebih mengetahui jenis
kerusakan yang diakibatkan oleh perlakuan pemaparan.
6. Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dan
lama pemaparan yang lebih lama untuk lebih mengetahui jenis kerusakan
nyata yang diakibatkan oleh perlakuan pemaparan.
7. Penggunaan tumbuhan - tumbuhan lainnya dapat dilakukan dalam penelitian
ini sehingga dapat menambah literatur dan mengembangkan ilmu di bidang
biomonitoring.
8. Diperlukan pengembangan dalam bidang ilmu rekayasa genetika dimana
dimungkinkan untuk menciptakan varietas tumbuhan yang dapat menjadi
indikator pencemaran udara tanpa mengalami pengaruh dari faktor-faktor
lainnya.
9. Sebaiknya tumbuhan indikator yang digunakan dalam pemantauan
pencemaran udara secara aktif adalah tumbuhan yang hidup dalam keadaan
kondisi udara ambien yang benar-benar bersih.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadjian, V. 1967. The Lichen Symbiosis. Blaisdell Publishing Company


Waltham, Massachusetts.Toronto-London.

Alexopoulos, C.J & C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology, Third Edition.
John Wiley and sons, Inc. New York.

Anonim. 2006. Strategi dan Rencana Aksi Nasional Peningkatan Kualitas Udara.
BAPPENAS.

Dharmaputra, O.S; Wydia, A & Nampiah, G. 1989. Penuntun Praktikum


Mikologi Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Dobson, F.S. Lichens: An Illustrated Guide to British and Irish Species,


Morphology.http://www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens/lichenmm.ht
ml [30 Agustus 2005]

Farida. 2004. Pencemaran Udara dan Permasalahannya. Bogor: Institut


Pertanian Bogor.

Fink, B. 1961. The Lichen Flora of The United States. Ann Harbor, The
University of Michigan. United State of America.

Hale, M.E. 1979. How to Know The Lichens, Second Edition. WCB
McGraw-Hill. Boston.

Januardania, D. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang pada


Tegakan Pinus dan Karet di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi.
Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Karliansyah dan Nastiti Soertiningsih Wijarso .1997. Kerusakan Daun Tanaman


sebagai Bioindikator Pencemaran Udara (Studi Kasus Tanaman Peneduh
Jalan Angsana dan Mahoni dengan Pencemar Udara NO dan SO 2). <URL:
http://eprints.lib.ui.ac.id/id/eprint/10609.

Kovacs, M. 1992. Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood.


New York.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI. Yogyakarta.

Misra, A & Agrawal, R.P. 1978. Lichens (A Preliminary Text) Oxford & IBH
Publishing. India.
Moore, E. 1972. Fundamental of The Fungi, 4 th Edition. Landecker Prentince
Hall International Inc.

Mulgrew, et.al. 2000. Biomonitoring of Air Quality Using Plants. [Online] WHO
Collaborating Centre for Air Quality Management and Air Pollution
Control URL:http://umweltbundesamt.de/ whocc/ AHR10/ I-Introd. htm.

Noer, I.S. 2004. Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya


Pencemaran Udara. Forum Komunikasi Lingkungan III, Kamojang.
Bandung.

Pandey, S.N & Trivendi, P.S. 1977. A Text Book of Botany (Algae, Fungi,
Bacteria, Hycoplasma, Viruses, Lichens and Elementary Plant
Pathology), Volume I.

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang: Pengendalian Pencemaran


Udara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. No 41 Tahun 1999 Tentang


Pengendalian Pencemaran Udara.

Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan beberapa Ilmu


Serumpun. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Ronoprawiro, S. 1989. Gulma Lumut dan Lumut Kerak terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Teh (Camellia sinensis.L). Disertasi.
Universitas Gajah Mada. Yogjakarta.

Soedaryanto; Hardini, Y; Proborini, M.W & Yusuf, D.S. 1992. Lichens


Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara di Jalan Pb. Sudirman,
Denpasar. Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Bali.

Sutardi, Tata. 2008. Tehnik Pengukuran Udara Ambien. <URL:


http://www.ccitonline.com/mekanikal/tiki-print_ article.php?articleId=97.

Tjitrosoepomo, G. 1981. Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Thallophyta,


Bryophyta, Pteridopyta. Bhantara Karya Aksara. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup.

Wijaya, L.F. 2004. Biomonitoring Beberapa Kandungan Logam


Mempergunakan Parmelia wallichiana Tayl di Wilayah Muntakul
Buruz Bandung. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai