Anda di halaman 1dari 131

Dr.

Aan Juhana Senjaya

STATISTIKA DESKRIPTIF UNTUK RISET


BIDANG PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

Program Studi Pendidikan Matematika


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Wiralodra Indramayu
FKIP Press - 2017
STATISTIKA DESKRIPTIF UNTUK RISET
BIDANG PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

Penulis:
Dr. Aan Juhana Senjaya

Diterbitkan oleh:
Program Studi Pendidikan Matematika
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Widalodra Indramayu
FKIP Press

Cetakan pertama 2017

ISBN ...............................
Kata Pengantar
Berdasarkan pengalaman memberi kuliah
Statistika Terapan di beberapa program studi di
lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(Metoda Statistika, Biostatistika, Statistika Dasar, dan
Statistics for Educational English Research) diperoleh
kesan bahwa para peserta kuliah merasa: (1) khawatir
tidak mampu mengikuti perkuliahan; (2) pesimis karena
menganggap statistika merupakan materi kuliah yang
terdiri dari rumus-rumus yang tidak mudah dimengerti; (3)
kesulitan menerapkan pada kasus-kasus riset yang akan
dilakukannya.
Walaupun nama mata kuliah berbeda-beda untuk
tiap program studi, namun tujuan utamanya sama yaitu
memberi bekal kepada para mahasiswa untuk
menganalisis data riset dengan menggunakan analisis
statistika. Di samping nama mata kuliah yang berbeda,
bobot sks-nya pun berbeda-beda. Ada yang memberi bobot
2 sks ada juga yang memberi bobot 3 sks. Ditambah
dengan latar belakang persepsi mereka terhadap
matematika dan statistika, maka beberapa kesulitan
memilih strategi, metode, dan pendekatan memberi kuliah
pun menjadi satu tantangan tersendiri.
Terdorong oleh keinginan membantu para
mahasiswa dan para periset pemula memahami konsep-
konsep dasar statistika untuk riset sekaligus untuk
membantu menyelesaikan tugas akhir berupa laporan hasil
risetnya yang memerlukan analisis statistik, maka
penyusun mencoba menyusun buku ini dengan judul
Statistika Terapan Untuk Riset Bidang Pendidikan dan
Pengajaran. Namun, karena masalah teknis tentang aturan
penerbitan, maka diputuskan buku tersebut dibagi menjadi
4 Buku, yaitu: Buku I diberi judul Statistika Deskriptif
Untuk Riset Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Buku II
diberi judul Statistika Inferensi Untuk Riset
Eksperimental Satu dan Dua Perlakuan dalam Bidang
Pendidikan dan Pengajaran, Buku III diberi judul
Statistika Inferensi Untuk Riset Survey (Korelasional)
dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran, dan Buku IV
diberi judul: Statistika Inferensi dengan ANAVA dan
ANKOVA Untuk Riset Eksperimental dalam Bidang
Pendidikan dan Pengajaran. Walaupun latar belakang
penyusunan buku ini dari pengalaman memberi kuliah,
namun diharapkan buku ini juga bermanfaat bagi para
periset pemula sebagai acuan langkah-langkahnya.
Buku Statistika untuk analisis statistik yang dibuat
oleh para ahli atau profesional telah banyak beredar.
Namun, dari beberapa kasus, berdasarkan pengalaman,
para pembaca merasa kesulitan dengan alasan: (1) ditulis
dan disajikan terlalu teoretis; (2) contoh-contoh yang
dimunculkan langsung contoh-contoh perhitungan, tanpa
contoh kasus yang jelas; (3) contoh-contoh untuk bidang
pendidikan dan pengajaran masih belum banyak atau
paling tidak dirasa belum lengkap.
Berdasarkan alasan di atas, serta terdorong untuk
menciptakan strategi perkuliahan yang efisien (karena sks
cukup kecil), maka disusunlah buku ini. Buku ini belum
disertai soal-soal latihan. Maksudnya, agar para pembaca
mencoba dan simulasi dari data riil (dari laporan-laporan
riset (penelitian) seperti skripsi, tesis, bahkan desertasi
atau laporan riset (penelitian) lainnya.
Buku ini dapat terselesaikan berkat dorongan,
bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu,
penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ujang
Suratno, M.Si sebagai Rektor Universitas Wiralodra
periode tahun 2015-2018, atas dorongannya. Bapak Nasori
Effedi, M.Pd sebagai Dekan FKIP Universitas Wiralodra
periode 2016-2019, atas dukungannya. Teman sejawat
Dosen di FKIP, terutama Bapak Rosyadi, M.Pd dan Bapak
Farid Gunadi, M.Pd sebagai Ketua dan Sekretaris Program
Studi Pendidikan Matematika yang memberi kesempatan
untuk menuangkan berbagai ide. Pengelola Penerbitan atas
kesediaannya menerbitkan buku ini.
Selanjutnya, sebagai pelengkap secara terpisah,
buku ini dilengkapi dengan Program Edukasi Statistik
untuk Riset Ilmu Pendidikan dan Pengajaran (PESRIPP).
Program ini merupakan program paket dibuat dengan
Microsoft EXCEL dan Microsoft PowerPoint). PESRIPP
ini selain dapat membantu menganalisis data sesuai
dengan masalah dan tujuan riset (penelitian), juga dapat
digunakan sebagai alat bantu pembelajaran Statistik
Terapan berupa Lembar Kerja. Dengan demikian, bagi
para pembaca yang ingin memahami proses analisis
(inferensi) dapat berlatih secara manual dengan
menggunakan Lembar kerja dari program ini. Program
dapat diperoleh dengan cara menghubungi penulis
langsung melalui E-Mail: aanjsenjaya@yahoo.com.

Indramayu, Nopember 2016


Penyusun,

Aan Juhana Senjaya.


DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar i
DAFTAR ISI iv

1 PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat 1
1.2 Konsep Dasar dan Istilah yang Lazim
Digunakan dalam Statistika ........................... 4
1.3 Lambang atau Simbol yang Lazim
Digunakan dalam Statistika ........................... 31

2 PENGUMPULAN DATA
(INSTRUMENTASI)
2.1 Alat atau instrumen pengumpul data ............ 33
2.2 Kualitas data dan kualitas instrumen ............ 34
2.3 Analisis kualitas instrumen secara empiris ... 41

3 DESKRIPSI DATA
3.1 Diagram Batang-Daun (leaf-Diagram) ........ 60
3.2 Tabel Distribusi Frekuensi dan Diagram
Batang ........................................................... 62
3.3 Kecenderungan memusat (Central Tendency) 72
3.4 Sebaran (dispersi) ......................................... 81
3.5 Kategorisasi (Konversi data berskala interval
menjadi skala ordinal) .................................. 98
3.6 Tabulasi Silang (Cross Tabulation) ............... 105

DAFTAR PUSTAKA ........................................ 108


LAMPIRAN .......................................... 112
1 PENDAHULUAN
I.1. Sejarah Singkat
Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada awalnya,
sekitar lebih dari 200 tahun yang lalu, kata statistika
merujuk kepada satu cabang ilmu politik yang mencakup
pengumpulan dan kajian fakta-fakta dan gambaran politik.
Khususnya, data numerik (angka) yang menggabarkan
pemerintahan atau masyarakat/penduduk seperti jumlah
penduduk atau nilai total produk dari sarana dan layanan.
Selanjunya, seiring dengan berkembangnya
matematika, terutama ilmu peluang (Probabilitas), maka
kata statistika juga mengalami perubahan sehingga
menjadi dua cabang besar, yaitu statistika murni (Pure)
dan statistika terapan (Aplied). Penggunaannya pun
mengalami perluasan tidak hanya untuk kepentingan
politik, namun memasuki berbagai kepentingan baik untuk
kehidupan sehari-hari maupun untuk pengembangan ilmu.
Perkembangan berikutnya, dari penggunaan istilah
atau kata juga mengalami perkembangan. Kata statistika
dan kata statistik memiliki arti berbeda. Kata statistika
menunjuk pada ilmu yang mempelajari statistik. Kata
statistik sendiri dapat berarti ringkasan data dari fokus
amatan sekelompok karakteristik entitas.
Saat ini statistika berkembang seiring kebutuhan dan
perkembangan teknologi. Cabang-cabang statistika secara
garis besar dapat digambarkan sebagaimana pada Gambar
1 tentang struktur statistika.

Aan Juhana Senjaya


5
9
Statistika
Statistika adalah ilmu yang mempelajari tata cara
men-deskripsi-kan karakteristik sekelompok entitas (data)
serta menaksir karakteristik populasi melalui karakteristik
sampel berdasarkan ilmu peluang (Probabilitas).

Statistika Murni atau Statistika Matematik


Statistika murni atau Statistika matematik adalah ilmu
yang mempelajari kaidah men-deskripsi-kan (memerikan)
karakteristik sekelompok data, serta menemukan, menguji,
mengembangkan teori, dan rumus-rumus untuk menaksir
karakteristik populasi melalui karakteristik sampel
berdasarkan ilmu peluang (Probabilitas) secara teoretis.

Statistika Terapan
Statistika terapan adalah ilmu yang mempelajari tata
cara: (1) mengumpulkan, mengorganisasikan, dan
meringkas data menjadi statistik; (2) menyajikan statistik
sebagai karakteristik sekelompok data, serta (3) menaksir
karakteristik populasi (parameter) melalui karakteristik
sampel (statistik) secara praktis. Secara ringkas, statistika
terapan dapat dimaknai sebagai ilmu untuk menjawab
pertanyaan berdasarkan data empiris.

Statistika Deskriptif
Statistika deskriptif adalah ilmu yang mempelajari
tata cara meringkas karakteristik sekelompok data menjadi
statistik serta tata cara menyajikannya.

Statistika Inferensi
Statistika Inferensi adalah ilmu yang mempelajari tata
cara menaksir karakteristik populasi melalui karakteristik
sampel berdasarkan ilmu peluang (probabilitas). Secara
ringkas, statistik inferensi dapat dinyatakan sebagai ilmu
tentang tata cara menaksir parameter melalui statistik.
Statistika Parametris
Statistika parametris adalah ilmu yang mempelajari
tata cara menaksir karakteristik populasi melalui
karakteristik sampel berdasarkan distribusi peluang
(probabilitas) tertentu. Distribusi peluang yang banyak
digunakan adalah distribusi peluang Normal Standar (Z),
distribusi peluang Students (t), distribusi peluang Chi-
Square (), dan distribusi peluang Fisher (F).

Statistika Non-Parametris
Statistika non-parametris adalah ilmu yang
mempelajari tata cara menaksir karakteristik populasi
melalui karakteristik sampel berdasarkan ilmu peluang
(probabilitas) tetapi tidak berdasarkan distribusi peluang
tertentu.

I.2. Konsep Dasar dan Istilah yang Lazim


Digunakan dalam Statistika.
I.2.1. Karakteristik
Karakteristik adalah ciri-ciri tertentu dari satu
entitas (datum) atau sekelompok entitas (data). Ciri-ciri
tertentu yang dimaksud dapat berupa ciri ciri fisik maupun
non-fisik.
Contoh 1.1:
Tinggi badan, berat badan, warna kulit, jenis
kelamin, hasil belajar, penguasaan kosta-kata, IQ,
kemampuan berpikir logis, dst.

I.2.2. Populasi
Populasi adalah seluruh objek dari subjek
karakteristik entitas yang menjadi fokus amatan dan
sebagai sasaran pemberlakuan hasil penarikan kesimpulan
atau inferensi. Istilah lain adalah semesta pembicaraan
atau himpunan semesta pembicaraan.
Contoh 1.2:
Jika fokus amatannya Hasil Belajar Trigonometri
siswa SMP kelas IX, maka populasinya adalah Hasil
Belajar Trigonometri Siswa SMP kelas IX. Jadi, bukan
siswanya. Siswa hanya merupakan tempat (subjek) Hasil
Belajar yang menjadi fokus amatan. Oleh karena itu, fokus
amatan ini harus diambil terlebih dahulu (melalui
instrumen tertentu) dari tempatnya, yaitu siswa SMP kelas
IX. Dapat juga dinyatakan secara lengkap, yaitu populasi
objek (karakteristik yang akan diamati) dan populasi
subjek (tempat atau pemilik karakteristik).

I.2.3. Ruang sampel


Ruang sampel adalah himpunan dari seluruh
himpunan bagian dari populasi. Istilah lain yang sering
muncul dan sama maknanya adalah Ruang contoh, Ruang
sampel, dan Ruang terok.
Contoh 1.3:
(1) Populasi: IQ siswa SD N Kota Indah kelas 6 sebanyak
15 orang. Ruang sampel IQ dari 15 orang tersebut
adalah IQ dari siswa {Anjani, Budiman, Carniti,
Dadang, Eni, Fadli, Gina, Hari, Indah, Joni,
Kardiman, Leli, Maman, Nani, Opik}.
(2) Ruang sampel: IQ dari siswa {(Anjani), (Budiman),
(Carniti), ..., (Opik), (Anjani, Budiman), (Anjani,
Carniti), (Anjani, Dadang), ..., (Nani, Opik), (Anjani,
Budiman, Carniti), (Anjani, Budiman, Dadang),
(Anjani, Budiman, Eni), ..., (Maman, Nani, Opik), ...,
(Anjani, Budiman, Carniti, Dadang, ..., Opik)}.
Semuanya ada 152 anggota ruang sampel.

I.2.4. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi (anggota
ruang sampel) yang datanya diambil, diamati, dan
dianalisis untuk menaksir karakteristik populasi.
Contoh 1.4:
Populasi: Hasil Belajar Trigonometri (objek) Siswa
SMP kelas IX (subjek) yang terdiri dari 6 kelas.
Sampelnya adalah Hasil Belajar Trigonometri siswa kelas
IX C dan Kelas IX F. Karena Hasil Belajar Trigonometri
ini ada pada siswa (subjek), maka untuk keperluan
pengambilan sampel, yang diambil (dipilih atau diundi)
adalah siswanya (tempatnya). Kemudian, karena siswanya
dikelompokan ke dalam kelas-kelas, maka yang diundi
kelasnya. Adapun yang dianalisis tetap Hasil Belajar
Trigonometrinya.

I.2.5. Statistik
Statistik adalah ringkasan data dari sampel yang
menggambarkan karakteristik sampel tertentu. Statistik
dapat berupa, tabel, diagram, gambar, lokasi data,
pengelompokan data, nisbah atau proporsi, pemusatan
data, dan sebaran data.

I.2.6. Parameter
Parameter adalah karakteristik populasi.
Karakteristik populasi dapat merupakan hasil taksiran dari
karakteristik sampel, sehingga dapat berupa tabel,
diagram, gambar, lokasi data, pengelompokan data, nisbah
atau proporsi, pemusatan data, dan sebaran data. Pada
umumnya hanya berupa pemusatan data (Rerata, Median,
dan Modus), sebaran (simpangan baku dan
ragam/varians), serta proporsi.

I.2.7. Variabel
Variabel adalah sebutan/atribut/karakteristik fokus
amatan yang bersifat variatif. Jadi, ciri utama dari variabel
adalah memiliki kemungkinan berisi minimal dua datum
yang berbeda (variatif). Jika tidak memiliki variasi, berarti
bukan variabel.
Contoh 1.5:
Variabel dan variatifnya:
1) Jenis kelamin, variatifnya: Laki-laki dan Perempuan.
2) Jenis pekerjaan, variatifnya: Petani, Buruh tani,
Usahawan, PNS, ABRI, POLRI.
3) IQ, variatifnya: Skor tes IQ tiap individu.
4) Hasil Belajar siswa, variatifnya: Skor tes Hasil Belajar
tiap siswa.
5) Pemberian hadiah, variatifnya: diberi hadiah dan tidak
diberi hadiah.
6) Pemupukan, variatifnya: diberi pupuk dan tidak diberi
pupuk.
7) Kuantitas pupuk, variatifnya: 0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr, dst.
8) Jenis pupuk, variatifnya: Urea, MPK, Kompos, dst.
9) Metode pembelajaran, variatifnya: Ceramah, Diskusi,
TTW, STAD, dst.
10) Teknik pengelompokan pada metode pembelajaran
STAD, variatifnya: ditentukan guru, ditentukan
siswa.
Metode pembelajaran tertentu, misal STAD, bukan
variabel, karena tidak variatif.
I.2.8. Variabel terikat
Variabel terikat adalah variabel yang isinya
(datanya) terikat/tergantung pada isi variabel bebas.
Dengan kata lain, variabel terikat adalah variabel yang
isinya (datanya) ditentukan oleh isi variabel bebas. Istilah
lain yang sering muncul adalah variabel gayut, variabel
bergayut, variabel kriterium, dan variabel bergantung.

I.2.9. Variabel bebas


Variabel bebas adalah variabel yang isinya
(variarifnya) tidak terikat pada isi variabel lain, tetapi
dapat mempengaruhi isi variabel lain. Dengan kata lain,
variabel bebas adalah variabel yang isinya (variatifnya)
dapat menyebabkan berubahnya isi (variatif) variabel lain.
Contoh1.6:
(1) X + 5 = 13.
X merupakan variabel, karena variatif (bisa diganti
berapa saja). Namun, bukan merupakan variabel
bebas maupun terikat, karena isinya tidak
menyebabkan maupun disebabkan oleh isi variabel
lain. Variabel seperti ini bisa disebut variabel amatan.
(3) Y = 1,3 + 0,85X.
X dan Y adalah variabel, karena variatif.
X disebut variabel bebas (menyebabkan berubahnya
Nilai Y). Setiap penambahan satu satuan X, maka Y
bertambah sebesar 0,85 satuan. Y disebut variabel
terikat (Nilainya tergantung/terikat pada Nilai variabel
X). Hasil Belajar tergantung kepada: motivasi belajar,
metode mengajar, media pembelajaran, persepsi pada
mata pelajaran, kemampuan awal, IQ, teknik
pengelompokan pada pendekatan pembelajaran
kooperatif, dst. Jadi, Hasil Belajar merupakan variabel
terikat; sedangkan yang lainya merupakan variabel
bebas. Variabel terikat dalam riset (penelitian)
merupakan fokus utama dari riset (penelitian);
sedangkan variabel bebas merupakan fokus
berikutnya yang diperkirakan dapat mengubah
karakteristik fokus utama.

I.2.10. Data
Data adalah isi (variatif) dari variabel sebagai
fakta yang dapat berupa kategori/kualitas maupun
kuantitas yang dilambangkan dengan huruf atau angka. Isi
variabel juga merupakan variatif dari variabel tersebut.
Secara umum data statistik selalu dinyatakan dalam
bentuk angka. Data merupakan kata majemuk. Artinya,
lebih dari satu entitas. Jika hanya satu entitas disebut
datum. Dengan kata lain, data adalah sekumpulan datum.
Contoh: Jenis kelamin dan Hasil Belajar matematika 5
orang siswa SD Nurul Ilmi seperti pada Tabel 1.
Tabel 1.1: Variabel dan data
I.2.11. Skala pengukuran
Skala pengukuran adalah angka atau bilangan
yang digunakan untuk mewakili karakteristik datum, data,
atau variabel. Angka/bilangan dimaksud dapat diperoleh
melalui kategorisasi atau penandaan atau melalui
pengukuran dengan sebuah instrumen/alat (observasi,
wawancara, angket, kuisener, alat rekam suara, alat rekam
gambar, timbangan, meteran, tes, dst.).
Agar jelas skala pengukurannya, maka datum atau
data yang bukan berupa angka (seperti jenis kelamin di
atas) maka diubah dulu ke dalam bentuk angka sebagai
simbol. Misal: 1. Laki-laki; 2. Perempuan. Angka yang
digunakan dapat berupa angka diskrit (bilangan bulat) dan
kontinu (berkelanjutan/bersambung).

Angka diskrit adalah angka yang merupakan


tanda atau simbol. Ada dua jenis angka diskrit, yaitu angka
nominal dan dan ordinal. Angka nominal hanya
merupakan tanda atau simbol, sedangkan angka ordinal
disamping sebagai tanda atau simbol juga menunjukan
peringkat. Angka bersambung/kontinu ada yang terbatas
(interval) dan ada yang merupakan hasil nisbah atau
perbandingan (rasio).
Skala pengukuran diperlukan untuk menentukan
teknik analisis statistik yang tepat, baik statistik deskriptif
maupun statistik inferensi. Skala pengukuran sebagai
petunjuk teknik analisis statistik adalah skala nominal,
ordinal, interval, dan rasio.
Contoh 1.7:
a. Variabel dengan skala pengukuran nominal:
(1) Jenis kelamin, skala pengukurannya (misal: 1.
Laki-laki; 2. Perempuan)
(2) Metoda pembelajaran, skala pengukurannya: 1.
Diskusi; 2. Tanya-jawab;
(3) Media pembelajaran: 1. Media gambar; 2. Media
animasi
Skala nominal hanya merupakan kategorisasi atau
penandaan yang umumnya diperlukan untuk
penandaan/kategorisasi kelompok.
b. Variabel dengan skala pengukuran ordinal:
(1) Golongan gaji: I, II, III
(2) Urutan kelahiran: 1. Pertama; 2. Kedua; 3. Ketiga
(3) Tingkat kemampuan awal: 1.Tinggi; 2. Sedang; 3.
Rendah (Sesungguhnya interval diordinalkan)
(4) Tingkat motivasi belajar: 1.Tinggi; 2. Sedang; 3.
Rendah (Sesungguhnya interval diordinalkan)
(5) Nilai Ujian Semester: A. Sangat baik; B. Baik; C.
Cukup; D. Kurang; E. Gagal. Untuk kepentingan
skala pengukuran, maka kategori A, B, C, D, dan E
dikonversi menjadi: 4. Sangat baik; 3. Baik; 2.
Cukup; 1. Kurang; dan 0. Gagal.
Nomor (3), (4), dan (5) merupakan hasil konversi dari
skala interval atau rasio menjadi skala ordinal.
c. Variabel dengan skala pengukuran interval:
(1) Hasil ulangan: skor terendah 0 terRendah 29 (dapat
ditulis 0 Skor 29)
(2) Nilai UN: Nilai terendah 0 dan terRendah 10
(dapat ditulis 0 Nilai 10)
(3) Motivasi belajar: misal, Skor terendah 15
terRendah 75 (dapat ditulis 15 Skor 75)
(4) Kemampuan berpikir logis: misal, Skor terendah 0
dan terRendah 35 (dapat ditulis 0 Skor 35)
d. Variabel dengan skala pengukuran rasio:
(1) Berat badan: 54 kg (hasil membandingkan dengan
ukuran berat standar)
(2) Tinggi badan: 171 cm (hasil membandingkan
dengan ukuran panjang standar)
(3) Rasio guru terhadap siswa: 0,25 (dari 1 orang guru
sebanding dengan 4 siswa)
(4) Proporsi siswa yang mencapai KKM: 0,75 (75%
dari jumlah siswa).

I.2.12. Probabilitas
Probabilitas adalah peluang kejadian/peristiwa
tertentu terjadi dalam situasi dan kondisi tertentu. Besar
peluang (p) berada pada kisaran 0 hingga 1. Secara umum
peluang (p) merupakan perbandingan dari banyaknya
peristiwa/kejadian yang diharapkan (ditulis n(H)) dengan
seluruh kejadian yang mungkin terjadi ditulis (n(K)). Jadi,
p = n(H)/n(K). Peluang (p) memiliki ciri-ciri:
1) Selalu positif atau nol (p 0);
2) Ada pada kisaran 0 hingga 1 (0 p 1).
Peluang 0 (p = 0) berarti kejadian/peristiwa tidak mungkin
terjadi atau tidak diharapkan. Peluang 1 (p = 1) berarti
kejadian pasti terjadi atau sesuai harapan.
Contoh 1.8:
(1) Peristiwa: kelahiran anak dari seorang ibu hamil
ditinjau dari jenis kelaminnya. Kemungkinan
kejadiannya adalah anak yang lahir berjenis kelamin
Laki-laki atau perempuan. Ditulis K ={Laki-laki,
Perempuan}. Jadi, kemungkinannya terjadinya
peristiwa ada 2 kemungkinan ditulis n(K) = 2.
Andaikan berharap yang lahir berjenis kelamin
perempuan (ditulis n(H) = 1), maka peluangnya
menjadi atau 0,5.
(2) Peristiwa: Seorang mahasiswa mengikuti perkuliahan
Statistika. Jika ditinjau dari kategori nilai yang akan
diperolehnya, maka ada 5 kemungkinan atau n(K)=5),
yaitu K={A, B, C, D, E}. Jika ia berharap mendapat
kategori nilai A, maka yang diharapkan berarti hanya
1 kategori, yaitu A. Berarti, n(H)=1). Dengan
demikian peluang ia mendapatkan nilai A sebesar p =
n(H)/n(K) = 1/5 = 0,2. Andaikan ia berharap nilainya
kategori nilainya A atau B, maka yang diharapkan ada
2 kategori, yaitu A atau B. Berarti, n(H) = 2. Dengan
demikian, peluang ia mendapatkan kategori nilai A
atau B sebesar p = 2/5 = 0,4.
(3) Peristiwa: Nilai ulangan dinyatakan dalam bentuk
bilangan sampai ketelitian 1 desimal (per sepuluhan).
Rentang nilai menggunakan skala 11, yaitu dari 0
hingga 10 (dapat ditulis 0,0 Nilai 10,0).
Kemungkinan nilai ulangan siswa adalah K={0,0; 0,1;
0,2; 0,3, ...; 10,0}. Ada 101 kemungkinan atau ditulis
n(K) = 101. Jika seorang siswa berharap nilainya 6,5,
maka n(H) = 1, dan peluangnya sebesar p = 1/101.
Jika ia berharap nilainya antara 6,0 hingga 7,5, maka
n(H) = 16, dan peluangnya p = 16/101. Jika ia
berharap memperoleh nilai -5, maka n(H) = 0, dan
peluangnya p = 0/101 = 0,0. Namun, jika ia pasrah
nilainya berapapun akan ia terima, maka n(H) = 101,
dan peluangnya p = 101/101 = 1.
I.2.13. Sampling
Sampling merupakan salah satu istilah yang
digunakan dalam statistika. Sampling adalah suatu proses
pengambilan sampel (contoh) dari populasi untuk
kemudian dianalisis. Ada dua pendekatan untuk
mengambil sampel, yaitu pendekatan probabilistik
(Probability sampling) dan pendekatan non probabilistik
(Non Probability sampling).
a. Probabilistic Sampling
Probabilistic Sampling adalah suatu pendekatan
pengambilan sampel yang memperhitungkan peluang
keterambilan sampel. Pendekatan ini dilakukan apabila
periset akan membuat generalisasi dari karakteristik
sampel menjadi karakteristik populasi. Dengan kata lain,
periset akan menaksir karakteristik populasi berdasarkan
karakteristik sampel. Ada istilah yang penting dalam
pelaksanaan sampling dengan menggunakan probabilistic
sampling, yaitu random dan random sampling. Umumnya
kata random hanya diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan kata acak. Namun, sesungguhnya kata
random memiliki arti yang bukan hanya berarti acak.
Random mengandung arti suatu kondisi bahwa setiap
anggota/kelompok populasi memiliki peluang/kesempatan
yang sama untuk mengalami satu peristiwa/kejadian
tertentu.
Adapun Random sampling adalah sampling
probabilistik yang mengkondisikan agar setiap anggota
populasi atau kelompok anggota populasi memiliki
peluang yang sama untuk terambil sebagai sampel. Inti
dari pengambilan sampel secara random adalah adanya
pengundian. Ada beberapa teknik random sampling
dengan pendekatan probabilistik. Masing-masing teknik
ini perbedaannya terletak pada apa yang diundi dan cara
mengundinya.
1) Simple Random Sampling
Penarikan/pengambilan sampel random secara
sederhana, yaitu penarikan sampel dengan
mengkondisikan agar setiap anggota populasi secara
individu memiliki peluang yang sama untuk terambil
sebagai sampel. Jadi, yang diundi adalah masing-
masing individu.
Contoh 1.9:
(a) Guru-guru di satu sekolah mengadakan arisan.
Andai pada satu penarikan arisan semua peserta
menginginkan memperoleh giliran mendapat
uang, maka agar terasa adil, dilakukan
pengundian. Cara pengundiannya adalah bahwa
setiap nama peserta ditulis dalam sepotong kertas.
Kemudian digulung dan dimasukan ke dalam
wadah (bisanya gelas). Setelah diaduk atau
dikocok, kemudian diambil/dikeluarkan satu
gulungan. Giliran yang memperoleh kesempatan
mendapatkan uang arisan pada saat itu adalah
nama yang tertulis pada gulungan kertas yang
terambil tersebut.
(b) Peristiwa sama dengan nomor (1) di atas. Namun,
para peserta diurutkan dan diberi nomor urut.
Kemudian nomor urut tersebut ditulis pada secarik
kertas seperti pada peristiwa nomor (1).
Selanjutnya, langkahnya sama seperti contoh
nomor (1).
(c) Seorang periset ingin mengetahui kemampuan
berpikir kritis siswa kelas VIII di satu sekolah
yang terdiri dari 180 siswa. Ia akan mengambil
sampel sebanyak 36 siswa. Apabila ia akan
menggunakan cara random sederhana (simple
random sampling), maka ia harus mengurutkan
seluruh siswa dan memberi nomor urut mulai dari
1 sampai dengan 180. Kemudian menuliskan
nomor urut tersebut pada secarik kertas dan
digulung. Langkah berikutnya sama dengan
contoh nomor (1) dan (2).
2) Sistematic Random Sampling
Sistematic random sampling adalah pengambilan
sampel secara sistematis. Cara ini dilakukan apabila
anggota populasi cukup banyak jumlahnya sehingga
jika dibuat gulungan kertas menjadi tidak efektif. Di
samping itu, jika jumlah sampel yang dikehendaki
cukup banyak, maka pengundian individu menjadi
tidak efisien.
Contoh 1.10:
Dari 360 siswa kelas X suatu SMA akan diambil
sampel sebanyak 40 orang. Jika menggunakan cara
simple random sampling, maka diperlukan 360
gulungan kertas dan 40 kali pengundian. Ini tidak
efektif dan tidak efisien. Untuk menangani hal
tersebut, maka diperlukan cara lain, yaitu dengan
sistematic random sampling. Langkahnya sebagai
berikut:
(1) Daftar dan urutkan seluruh anggota populasi serta
diberi nomor urut;
(2) Bagilah jumlah anggota populasi dengan jumlah
sampel yang diperlukan. Dalam contoh ini, 360/40
= 9;
(3) Buatlah gulungan kertas yang bertuliskan nomor 1
sampai dengan 9 (hasil pembagian jumlah anggota
populasi dengan jumlah sampel yang diperlukan);
(4) Undi dan keluarkan 1 gulungan, maka akan
diperoleh satu nomor tertentu (misal keluar nomor
3);
(5) Tetapkan anggota sampel, yaitu anggota dengan
nomor urut kelipatan dari 9 mulai dari nomor urut
3. Akan diperoleh himpunan nomor urut sampel S
= {3, 12, 21, 30, 39, ..., 354}. Jadi, sampelnya
adalah anggota populasi dengan nomor urut
tersebut pada S.
3) Cluster Random Sampling
Cluster memiliki makna seikat atau sekelompok
dalam satu tempat. Cluster random sampling adalah
pengambilan sampel berupa kelompok anggota
tertentu dari populasi yang anggota-anggotanya
merupakan kelompok-kelompok atau dapat
dikelompokan menjadi beberapa kelompok.
Contoh 1.11:
Seorang periset ingin melakukan percobaan untuk
mengetahui alat peraga yang lebih baik diantara dua
jenis alat peraga pembelajaran. Ia menetapkan
populasinya Hasil Belajar siswa kelas X di suatu
SMA. Untuk itu, ia memerlukan 2 kelompok sampel.
Apabila ia menggunakan simple random atau
sistematis random sampling, maka tentu akan
membuat kelas baru di sekolah tersebut. Hal
demikian, biasanya, tidak diizinkan oleh pihak
sekolah karena akan mengganggu sistem yang sedang
berjalan. Untuk mengatasi kendala seperti itu, ia
memandang bahwa populasi dapat dipandang sebagai
cluster-cluster, yaitu kelas-kelas. Dengan demikian, ia
tinggal mengundi kelas dan diambil dua kelas.
Pengundian bisa dilakukan satu-satu sebanyak dua
kali, atau satu kali dengan menetapkan pasangan kelas
yang mungkin sebagai ruang sampel.
Contoh 1.12:
Misal kelas X di satu SMA terdiri dari 6 kelas, yaitu
kelas XA, XB, XC, XD, XE, dan XF.
Akan diambil dua kelas sebagai sampel, maka:
Cara 1:
(1) Membuat gulungan kertas yang bertuliskan XA
sampai dengan XF;
(2) Mengaduk, kemudian memilih/mengeluarkan 1
untuk kelompok yang akan diajar dengan alat
peraga 1;
(3) Mengulang seperti nomor (2) untuk kelompok
yang akan diajar dengan alat peraga 2.
Cara 2:
(1) Menetapkan ruang sampel, yaitu kombinasi
pasangan-pasangan kelas yang masing-masing
terdiri 2 kelas yang mungkin terjadi. R =
{(XA,XB), (XA,XC), (XA,XD), (XA,XE),
(XA,XF), (XB,XC), ..., (XE,XF)} ada 15
pasangan;
(2) Menuliskan pasangan-pasangan tersebut pada
gulungan kertas. Kemudian diaduk dan
dikeluarkan satu gulungan.
(3) Kelas yang tertulis pada gulungan kertas yang
keluar/muncul itulah yang menjadi sampelnya.
4) Quota atau Proporsional Random Sampling
Quota berati jatah sedangkan proporsional berarti
perimbangan. Proporsional random sampling
adalah pengambilan sampel secara berimbang dari
populasi yang terdiri dari beberapa kelompok anggota
populasi dengan jumlah anggota masing-masing
kelompok relatif berbeda. Untuk cara ini diperlukan
proporsi dasarnya dulu, yaitu sebesar jumlah sampel
yang diperlukan dibagi jumlah populasi dikalikan
dengan 100%. Selanjutnya, tiap-tiap kelompok dijatah
sesuai prosentase tersebut. Setelah diperoleh jatah tiap
kelompok, kemudian pada asing-masing kelompok
dilakukan pengundian untuk anggota sampel dari
asing-masing kelompok.
Contoh 1.13:
Seorang periset akan mengetahui kecenderungan
minat siswa kelas XII di satu SMA untuk memilih
jurusan di perguruan Rendah yang akan mereka
masuki dengan mempertimbangkan gender. Untuk itu,
ia mengumpulkan informasi terlebih dahulu mengenai
jumlah siswa kelas XII (sebagai populasi) beserta
komposisinya dari segi gender. Misal, jumlah seluruh
siswa kelas XII di sekolah tersebut ada 180 orang
dengan komposisi gender: siswa laki-laki 98 orang
dan siswa perempuan 82 orang. Akan diambil sampel
sebanyak 45 orang. Proporsi sampel terhadap populasi
sebesar p = (45/180) x 100% = 25%. Kemudian, ia
menetapkan jumlah siswa laki-laki sebanyak 25% x
98 = 24,5 25 orang; siswa perempuan sebanyak
25% x 82 = 20,5 21 orang. Setelah diketahui asing-
masing jatahnya, kemudian mengundi masing-masing
anggota kelompoknya dengan simple atau sistematic
random sampling.
Catatan: Ada cara untuk menentukan jumlah sampel
(untuk riset (penelitian) survey) yang
diantaranya adalah dari Slovin atau dari
McKrejcki.
5) Stratified Random Sampling
Stratified random sampling adalah pengambilan
sampel berdasarkan strata dari populasi yang
anggotanya dapat dikelompokan berdasarkan
strata/tingkatan. Pada prakteknya cara ini
mempertimbangkan proporsi tiap strata. Bedanya
dengan quota atau proporsional terletak pada dasar
pengelompokan. Pada quota random sampling dasar
pengelompokannya wilayah atau tempat; sedangkan
pada stratified dasar pengelompokannya strata atau
tingkatan.
Contoh 1.14:
Seorang periset ingin mengetahui hasil ulangan
semester untuk materi pelajaran bahasa Inggris di
suatu SMP mulai kelas VII sampai dengan kelas IX.
Dengan demikian, ia harus mengambil sampel dari
tiap-tiap tingkatan (Strata), yaitu dari kelas VII, kelas
VIII, dan kelas IX. Untuk itu, ia mengundi beberapa
siswa (sesuai kebutuhan) di tiap tingkatan. Apabila
yang diundi kelasnya, maka jenis sampling-nya
menjadi Stratified cluster random sampling.
6) Multistage Random Sampling
Multistage random sampling cara pengambilan
sampel cluster secara bertahap (stage). Digunakan
apabila data menyebar begitu luas dan dapat
dipandang terdiri Berdasarkani beberapa tahapan
hierarki. Contoh yang sering terdengar adalah pada
proses pooling untuk mengetahui suara pemilih pada
pemilihan calon anggota legislatif, calon anggota
DPR baik pusat maupun daerah, pemilihan kepala
daerah, dan pemilihan presiden berupa hitung cepat
(Quick Count). Sampel diambil pertama kali dengan
cara mengundi Propinsi, dari tiap propinsi yang
terpilih diambil beberapa kabupaten, dari tiap
kabupaten terpilih diundi dan diambil beberapa
kecamatan, dari tiap kecamatan diundi dan dipilih
beberapa desa, akhirnya dari tiap desa yang terpilih
diundi dan dipilih beberapa TPS.
b. Non Probability Sampling
Non Probability Sampling adalah penarikan/
pengambilan sampel dari populasi dengan tidak
mempertimbangkan kesamaan peluang keterambilan bagi
setiap anggota populasi. Hasil analisis dari sampel non
probabilitas tidak baik untuk menaksir karakteristik
populasi. Oleh karena itu, umumnya digunakan dalam
riset (penelitian)-riset (penelitian) dengan pendekatan
kualitatif, naturalistik, etnografi, atau grounded yang
mengutamakan deskripsi mendalam daripada membuat
generalisasi.
1) Purposive Sampling
Purposive Sampling adalah teknik atau cara
pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan
keterkaitan dengan tujuan dan objek yang akan diteliti
tanpa mempertimbangkan kesamaan peluang setiap
anggota populasi lainnya untuk terambil sebagai
sampel.
Contoh1.15:
(a) Seorang guru akan mengetahui pola belajar siswa
yang memiliki kesulitan belajar pecahan. Untuk itu
ia melihat hasil ulangan pecahan. Kemudian
memilih siswa yang hasil ulangannya di bawah 5
(sebagai sampel) untuk diteliti.
(b) Seorang guru BP ingin mengetahui penyebab siswa
yang sering telat datang ke sekolah. Untuk itu, ia
mencari catatan di buku piket. Kemudian ia
memilih siswa yang dalam sebulat telat ke sekolah
lebih dari 5 kali sebagai sampel untuk diteliti.
2) Accidental sampling atau Convenient Sampling
Teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan
apa adanya atau kebetulan.
Contoh 1.16:
Seorang guru BP ingin mengetahui penyebab siswa
yang sering telat datang ke sekolah. Untuk itu, ia
menjadi guru piket pada hari tertentu. Kemudian ia
memilih siswa yang telat datang ke sekolah pada saat ia
piket untuk dijadikan sampel.
3) Quota Sampling
Quota sampling adalah teknik pengambilan sampel
yang banyaknya berdasarkan jatah. Biasanya subjek
populasi terdiri dari minimal dua kelompok.
Pertimbangan lain yang biasanya diperhitungkan adalah
proporsi atau prosentase.
Contoh 1.17:
Seorang guru matematika akan mengetahui
gambaran minat belajar matematika di satu sekolah
berdasarkan jenis kelamin. Di sekolah tersebut ada 200
orang laki-laki dan 150 siswa perempuan. Ia
menetapkan akan mengambil sampel sebanyak 30%.
Dengan demikian ia akan mengambil 60 orang siswa
laki-laki dan 45 orang siswa perempuan.
4) Snowball Sampling
Snowball Sampling teknik pengambilan sampel yang
bertahap dari sampel pertama menuju sampel
berikutnya berdasarkan hasil pengumpulan data dari
sampel pertama. Seolah-olah menggelinding seperti
bola-salju. Pertimbangan menentukan sampel
berikutnya adalah akurasi data. Artinya, sampel
berikutnya dipandang lebih mengetahui atau
memahami karakteristik yang sedang diteliti. Teknik
snowball ini biasa digunakan oleh para periset
berdasarkan pendekatan kualitatif. Subjek yang
dijadikan sampel biasa juga disebut Key informan.

I.2.14. Hipotesis
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani kuno yang
terdiri dari dua suku kata, yaitu hypo dan these. Hypo
artinya bawah atau rendah, sedangkan these artinya
pernyataan. Jadi, secara harfiah, hipotesis berarti
pernyataan yang kadar kepercayaannya masih dianggap
rendah. Dalam riset dikenal beberapa jenis hipotesis, yaitu
hipotesis riset, hipotesis tindakan, dan hipotesis statistik.
a. Hipotesis riset (penelitian)
Hipotesis riset adalah pernyataan sementara sebagai
jawaban yang diharapkan dari rumusan masalah riset
kuantitatif inferensial.
Contoh 1.18:
Rumusan masalah Hipotesis
penelitian (Jawaban sementara)
Apakah media TORSO Media TORSO efektif
efektif untuk mengajarkan untuk mengajarkan organ
organ tubuh manusia? tubuh manusia
Apakah teradapat Terdapat perbedaan
perbedaan penguasaan penguasaan operasi
operasi hitung perkalian hitung perkalian bilangan
bilangan bulat antara siswa bulat antara siswa yang
yang diajar dengan metode diajar dengan metode dril
Rumusan masalah Hipotesis
penelitian (Jawaban sementara)
drill dan dengan metode dan dengan metode
AHA? AHA?
Manakah penguasaan Penguasaan materi siswa
operasi hitung perkalian yang diajar dengan
bilangan bulat yang lebih metode drill lebih baik
baik antara siswa yang daripada yang diajar
diajar dengan metode drill dengan metode AHA.
dan dengan metode AHA?
Apakah terdapat hubungan Terdapat hubungan
positif antara minat positif antara minat
membaca dengan membaca dengan
kemampuan menyusun kemampuan menyusun
kalimat? kalimat.
atau atau
Apakah minat membaca Minat membaca
berkorelasi secara positif berkorelasi secara positif
dengan kemampuan dengan kemampuan
menyusun kalimat? menyusun kalimat.
Apakah terdapat hubungan Terdapat hubungan
positif antara minat positif antara minat
membaca dan kuantitas membaca dan kuantitas
membaca secara bersama- membaca secara
sama dengan kemampuan bersama-sama dengan
menyusun kalimat? kemampuan menyusun
kalimat.
atau atau
Apakah minat membaca Minat membaca dan
dan kuantitas membaca kuantitas membaca secara
secara bersama-sama bersama-sama berkorelasi
berkorelasi secara positif secara positif dengan
dengan kemampuan kemampuan menyusun
menyusun kalimat? kalimat.
b. Hipotesis tindakan
Hipotesis tindakan adalah pernyataan yang
merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah
riset (penelitian) tindakan (Action Research). Bentuk
umum pernyataannya adalah jika tindakan tertentu
dilaksanakan/diberikan maka akan tampak
karakteristik variabel amatan yang diharapkan.
Hipotesis tindakan pada umumnya tidak dibuktikan
atau diverifikasi secara inferensi, karena tidak untuk
memprediksi/menaksir karakteristik populasi.
Pembuktian hanya bersifat deskripsi dan tidak
melakukan generalisasi. Dalam dunia pendidikan dan
pengajaran riset (penelitian)nya biasa disebut riset
(penelitian) tindakan kelas (Class Action Research).
Contoh 1.19:
Rumusan masalah Hipotesis
penelitian (Jawaban sementara)
Apakah penggunaan Jika siswa diajar dengan
media TORSO dapat media TORSO maka
meningkatkan penguasaan materi organ
penguasaan materi tubuh manusia-nya akan
organ tubuh manusia? meningkat.
Apakah media komik Jika siswa diajar dengan
dapat meningkatkan media komik maka
penguasaan kosa kata penguasaan kosa kata-nya
siswa? akan meningkat.
Apakah metode Jika siswa diajar dengan
permainan dapat metode permainan, maka
meningkatkan minat minat belajar-nya akan
belajar siswa? meningkat.
Apakah metoda drill Jika siswa diajar dengan
dapat meningkatkan metoda drill, maka
Rumusan masalah Hipotesis
penelitian (Jawaban sementara)
keterampilan membaca keterampilan membaca
puisi? puisinya meningkat.
c. Hipotesis statistik
Hipotesis statistik adalah jawaban sementara dari
jawaban rumusan masalah berupa taksiran
karakteristik populasi dari karakteristik sampel.
Karena sifatnya menaksir, maka diperhitungkan besar
peluang kekeliruan menaksir yang diperkenankan
(ditolelir). Hipotesis statistik disusun menjadi
sepasang hipotesis yang terdiri dari hipotesis nol (Null
hypothesis, disingkat Ho) dan Hipotesis alternatif
(alternative hypothesis, disingkat Ha atau H1).
Penulisan Ho maupun Ha lazimnya ditulis adalah
bentuk lambang karakteristik yang diamati, bukan
dalam bentuk kalimat pernyataan biasa. Ada dua
mazhab atau aliran dalam memaknai hipotesis nol
(Ho). Kelompok pertama, mendefinisikan bahwa yang
dimaksud Ho adalah hipotesis yang menyatakan
ketiadaan (nol) perbedaan, hubungan, atau pengaruh
antara dua atau lebih karakteristik populasi.
Kelompok kedua, mendefinisikan bahwa Ho
merupakan lawan dari Ha. Definisi yang berbeda ini
berpengaruh kepada cara penulisan Ho. Penulis
sendiri mengambil kedua-duanya. Dalam artian,
tergantung kepada pertanyaan atau rumusan masalah
riset (penelitian), hipotesis riset (penelitian), dan
karakteristik populasinya. Contoh-contohnya sebagai
berikut:
Contoh 1.20:
(1) Hipotesis riset (penelitian):
Penggunaan media gambar efektif untuk
mengajarkan materi bangun ruang.
Hipotesis statistik:
Madzhab 1 Madzhab 2 Penulis
Ho: = 75 Ho: 75 Ho: 75 = 0
Ha: > 75 Ha: > 75 Ha: 75 > 0
Keterangan :
: Rerata skor materi bangun ruang
Skor batas efektif: 75 (dari skor total 100) atau
75%.
(2) Hipotesis riset (penelitian):
Terdapat perbedaan Hasil Belajar materi identitas
Trigonometri antara siswa yang diajar dengan
menggunakan media gambar grafik fungsi
Trigonometri dengan media gambar koordinat
Cartesius.
Hipotesis statistik:
Madzhab 1 Madzhab 2 Penulis
Ho: 1 = 2 Ho: 1 2 = 0 Ho: 1 2 = 0
Ha: 1 2 Ha: 1 2 0 Ha: 1 2 0
Keterangan :
1: Rerata skor hasil belajar materi identitas
Trigonometri yang diajar dengan media
gambar grafik fungsi;
2: Rerata skor hasil belajar materi identitas
Trigonometri yang diajar dengan media
koordinat Cartesius.
(3) Hipotesis riset (penelitian):
Hasil Belajar materi identitas Trigonometri siswa
yang diajar dengan menggunakan media gambar
grafik fungsi Trigonometri lebih baik daripada
yang diajar dengan media gambar koordinat
Cartesius.
Hipotesis statistik:
Madzhab 1 Madzhab 2 Penulis
Ho: 1 = 2 Ho: 1 2 Ho: 1 2 = 0
Ha: 1 > 2 Ha: 1 > 2 Ha: 1 2 > 0
Keterangan :
1: Rerata skor hasil belajar materi identitas
Trigonometri yang diajar dengan media
gambar grafik fungsi;
2: Rerata skor hasil belajar materi identitas
Trigonometri yang diajar dengan media
koordinat Cartesius.
(4) Hipotesis riset (penelitian):
Terdapat hubungan positif antara skor butir
dengan skor total.
Hipotesis statistik:
Madzhab 1 Madzhab 2 Penulis
Ho: = 0 Ho: 0 Ho: = 0
Ha: > 0 Ha: > 0 Ha: > 0
Keterangan :
: Koefisien korelasi antara skor butir dengan
skor total.
(5) Hipotesis riset (penelitian):
Ada perbedaan frekuensi antara frekuensi
observasi (empiris) dengan frekuensi harapan
(ekspektasi) pada distribusi normal.
Hipotesis statistik:
Madzhab 1 Madzhab 2 Penulis
Ho: fo = fh Ho: fo - fh = 0 Ho: fo - fh = 0
Ha: fo fh Ha: fo fh 0 Ha: fo fh
0
Keterangan :
fo : Frekuensi observasi (empiris)
fh : Frekuensi harapan (Ekspektasi)
(6) Hipotesis riset (penelitian):
Terdapat perbedaan varian (ragam) skor diantara
n kelompok varian skor.
Hipotesis statistik:
Madzhab 1 Madzhab 2 Penulis
Ho: 1 = 2 = ...= n Ho: 1 = 2 = ...= n Ho: 1 = 2 = ...= n
Ha: bukan Ho Ha: bukan Ho Ha: bukan Ho
Keterangan:
1, 2, ..., n Varian kelompok 1 hingga kelompok n.

I.2.15. Uji Hipotesis


Uji hipotesis dilakukan terhadap hipotesis
statistik dengan cara inferensi, yaitu menaksir karakteristik
populasi melalui karakteristik sampel. Taksiran dilakukan
dengan cara membandingkan karakteristik sampel dengan
karakteristik populasi melalui distribusi peluang yang
bersesuaian. Distribusi peluang yang banyak digunakan
adalah distribusi Normal dan Normal Standar (Z),
distribusi peluang Students (t), distribusi peluang Chi-
Suare (2), dan distribusi peluang Gamma khusus dari
Fisher yang lebih dikenal dengan distribusi peluang F.
Hipotesis statistik yang diuji adalah hipotesis nol atau Ho;
sedangkan Ha merupakan alternatif jika Ho ditolak.
Dengan demikian, keputusan analisisnya adalah gagal
menolak/menerima Ho atau menolak Ho. Kesimpulannya,
adalah data tidak cukup meyakinkan untuk menyatakan
karakteristik nol, sehingga alternatifnya Ha (bukan Ha
diterima).

I.2.16. Taraf signifikan (Significancy level)


Dalam melakukan inferensi, yaitu menaksir
karakteristik populasi melalui karakteristik sampel, tentu
ada peluang kekeliruan taksir. Oleh karena itu, kekeliruan
taksir ini biasa dinyatakan dalam bentuk peluang yang
secara teoretis berkisar antara 0 hingga 1. Namun, secara
praktis pada umumnya ada pada kisaran 0,001 hingga 0,2
atai 0,1% hingga 2% tergantung kepada resiko akibat
pemberlakuan hasil keputusan.

Makin beresiko keputusan yang diambil, maka makin


kecil kekeliruan taksir yang harus diterapkan. Angka yang
menunjukan peluang kekeliruan taksir (menolak Ho,
padahal Ho benar) disebut taraf signifikan dilambangkan
dengan atau dalam SPSS dengan p.

I.2.17. Taraf kepercayaan (Convident level)


Taraf kepercayaan atau Confident level adalah
peluang bahwa keputusan yang diambil benar adanya.
Besar peluang taraf kepercayaan adalah 1- (satu
dikurangi taraf signifikan).
Contoh 1.30:
Jika taraf signifikan = 0,05 atau 5%, maka taraf
kepercayaannya 1-0,05=0,95 atau 95%.

1.3 Lambang atau Simbol yang Lazim Digunakan


dalam Statistika
Statistika merupakan salah satu cabang
matematika. Oleh karena itu, lambang atau simbol yang
lazim digunakan dalam matematika berlaku juga pada
statistika. Pada dasarnya, siapapun bebas memberikan
lambang atau simbol. Namun, simbol tersebut harus dapat
dikenal secara luas. Untuk itu, dalam naskah ini simbol
atau lambang yang digunakan diupayakan agar dikenal
terlebih dahulu. Di samping itu, simbol-simbol yang sudah
banyak digunakan secara internasional diupayakan untuk
tetap dipertahankan. Berikut adalah simbol dan maknanya
yang akan digunakan dalam tulisan berikutnya.
2 PENGUMPULAN DATA (INSTRUMENTASI)

Statistika bekerja untuk mengolah data. Oleh


karena itu, tahap awal untuk bekerja dengan statistika
adalah tahap pengumpulan data. Berbagai cara dapat
dilakukan untuk mengumpulkan data. Cara tersebut dapat
berupa: (1) praktek (dikondisikan) atau digunakan seperti
data mengenai perlakuan (contoh: metoda mengajar, bahan
ajar, media pembelajaran); (2) Pengamatan (Observasi)
seperti data tentang aktivitas, bentuk fisik, hasil pekerjaan,
dll.; (3) wawancara (interview) seperti data yang
berkenaan dengan pendapat seseorang tentang sesuatu; (4)
Pengukuran untuk data yang berkenaan dengan peguasaan,
kemampuan, hasil atau prestasi belajar (kognitif, afektif,
dan psikomotor), kondisi fisik dan kesehatan, gejala
psikologis (motivasi, persepsi, minat, bakat, alineasi, dll).

2.1 Alat atau instrumen pengumpul data


Pada umumya, untuk mengumpulkan data
digunakan alat atau instrumen, kecuali untuk data berupa
tindakan/perlakuan. Untuk data tentang
tindakan/perlakuan yang terpenting adalah
tidakan/perlakuan diupayakan betul-betul dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang dimaksudkan (secara
teoretis).
Jenis alat pengumpul data tergantung kepada: (1)
jenis data yang diinginkan; (2) ketersediaan alat yang
sudah baku; (3) kemampuan membuat atau menyusunnya;
(4) kemampuan menggunakannya; (5) kewenangan yang
dimiliki.
Secara garis besar alat/instrumen pengumpul data
dapat dikelompokan menjadi tes dan non-tes. Instrumen
berupa tes apabila akan digunakan untuk mengumpulkan
data berupa kemampuan (kognifif, afektif atau gejala
psikologis, dan psikomotor) dengan ciri utama ada
kriteria benar atau salah. Instrumen berupa non-tes
digunakan apabila ingin mengumpulkan data berupa
bentuk fisik atau sesuatu yang dapat langsung diamati atau
diperoleh serta gejala psikologis yang bersifat latent
seperti motivasi, persepsi, minat, bakat, gaya kognitif, dll.
Ciri utamanya adalah tidak ada kriteria benar atau
salah.

2.2 Kualitas data dan kualitas instrumen


Agar hasil analisis akurat, maka data yang
terkumpul harus berkualitas. Data yang berkualitas hanya
dapat diperoleh dengan alat pengumpul data atau
instrumen yang berkualitas. Instrumen dikatakan
berkualitas apabila (secara klasik) memenuhi kriteria:
(a) Betul-betul mengukur apa yang akan diukur (valid),
dan
(b) Bersifat ajeg atau konsisten (reliable). Artinya, jika
digunakan kapan saja, kepada siapa saja, dan oleh
siapa saja akan menghasilkan hasil yang relatif sama
(misal: alat ukur meteran atau timbangan).
Untuk penggunaan instrumen berupa tes dengan
tujuan khusus ditambahkan kriteria sesuai dengan maksud
dan tujuan penyusunan instrumen.
(a) Untuk membedakan antar kelompok sukses (pandai)
dan tidak sukses (bodoh) ditambah kriteria daya beda;
(b) Untuk seleksi ditambah kriteria taraf sukar.
Untuk kepentingan riset (penelitian), kriteria
kualitas instrumen, cukup dengan memenuhi kriteria (a)
valid dan (b) reliabel.

2.2.1 Validitas butir/item instrumen


Untuk menunjukan bahwa instrumen yang akan
digunakan valid, maka ditunjukan bahwa tiap butir atau
item instrumen valid baik secara logis maupun secara
empiris. Validitas logis untuk instrumen pengumpul data
riset (penelitian) ada dua jenis validitas, yaitu: (a) Validitas
isi (Content Validity) jika yang akan diukur (variabel)
berkenaan dengan sesuatu yang sudah ditetapkan
sebelumnya seperti Hasil Belajar, Prestasi Belajar,
Kemampuan atau Penguasaan sesuatu (ada kurikulum dan
silabinya); (b) Validitas konstruk (Construct Validity), jika
yang akan diukur (variabel) berkenaan dengan gejala
psikologis yang tidak ada unsur benar atau salah seperti
motivasi, persepsi, minat, alineasi (sesuai dengan konstruk
gejala psikologis dimaksud).
a. Validitas logis
Untuk menunjukan bahwa instrumen yang akan
digunakan valid secara logis, maka ditunjukan dengan
langkah-langkah penyusunan instrumen sebagai berikut:
1) Menetapkan nama variabel yang akan diukur;
2) Menyusun definisi konsep variabel yang akan diukur
melalui analisa dan sintesa dari berbagai teori (untuk
memenuhi kebenaran koherensi);
3) Menyusun definisi operasional mulai dari : (a)
penetapan indikator, (b) menyusun butir/item yang
bersesuaian dengan indikator, (c) jawaban untuk butir
berupa tes dan tanggapan yang disediakan untuk non-
tes, (d) pemberian skor untuk tiap jawaban/tanggapan
butir, (e) penyampaian total skor maksimum ideal dan
total skor minimum ideal sebagai wakil dari data
variabel yang diukur.
4) Menyusun kisi-kisi berdasarkan langkah 3) di atas.
5) Mengkonsultasikan dan meminta validasi dari pakar
(ahli instrumentasi dan ahli dalam bidang yang
berkaitan dengan variabel yang akan diteliti) antara 3
sampai 5 orang. Validasi pakar menggunakan isian
terbuka untuk koreksi dan saran perbaikan. Telaah
kualitatif terhadap butir-butir instrumen ditinjau dari 3
aspek, yaitu: (a) aspek isi/substansi, dengan indikator
kesesuaian antara butir dengan indikator; (b) aspek
konstruksi, dengan indikator ketepatan option
respon/jawaban dengan pernyataan/pertanyaan butir,
dan tidak ambigos; (c) aspek bahasa, dengan indikator
ketepatan penggunaan kaidah bahasa yang baku dan
bahasa yang digunakan sesuai dengan karakteristik
responden.
6) Validasi panelis (minimal 15 orang pakar) dilakukan
untuk menguji validitas isi setiap butir instrumen
secara logis. Koefisien validitasnya menggunakan
nilai indeks inter-rater yang diantaranya
menggunakan indeks Aiken dengan rumus
sebagaimana berikut.

V=
f i|iS r|
F ( St 1 )
Keterangan:
V: Indeks Inter-rater Aiken
Sr: Skor butir terendah
St: Skor butir tertinggi
i : Bilangan bulat dari Sr + 1 hingga Sr+St-1
fi : Frekuensi Skor pada i
F : Jumlah fi atau fi
Beberapa literatur menunjukan bahwa kriteria validitas isi
ditetapkan dengan indek Aiken V 0.79. Artinya, butir
dipertahankan jika V 0,79, sebaliknya dikeluarkan jika V
< 0,79.
b. Validitas Empiris
Untuk menunjukan validitas empiris dilakukan uji
coba sebelum instrumen digunakan. Uji coba ini untuk
melihat konsistensi butir, yaitu apakah skor butir
berkorelasi secara positif dengan skor total (skor
responden/siswa). Dengan kata lain, dikatakan konsisten
apabila skor butir yang kecil bersesuaian dengan skor total
(skor responden/siswa) yang kecil pula. Demikian
sebaliknya, skor butir yang besar bersesuaian dengan skor
total (skor responden/siswa) yang besar pula. Oleh karena
itu, data hasil uji coba dianalisis dengan analisis korelasi.
Secara umum, langkah-langkahnya sebagai berikut:
(1) Memberikan instrumen kepada sejumlah
responden/siswa yang karakteristiknya relatif sama
dengan responden/siswa yang akan diukur (diambil
datanya). Dalam hal ini, makin banyak jumlah
responden, maka uji coba makin baik. Dianjurkan
responden uji coba minimal 30 orang. Namun, untuk
upaya pembakuan instrumen dianjurkan dimulai dari
100 orang atau 200 orang hingga ribuan bahkan puluh
ribuan responden.
(2) Menyusun atau mengorganisasikan data;
(3) Menetapkan rumus koefisien korelasi yang tepat
sesuai dengan jenis data jawaban instrumen (diskrit
atau kontinyu);
(4) Menghitung koefisien korelasi;
(5) Menetapkan kriteria keputusan valid tidaknya butir
instrumen. Ada 2 pilihan: (a) dengan r kriteria
(beberapa literatur paling rendah menetapkan r
0,20); (b) melalui uji signifikansi koefisien korelasi
(transformasi r ke distribusi peluang t).
(6) Memutuskan valid tidaknya butir instrumen.
(a) Jika menggunakan r kriteria berarti butir dikatakan
valid apabila nilai korelasi skor butir dengan skor
responden r 0,20. Sebaliknya, butir dinyatakan
tidak valid jika r < 0,20.
(b) Jika menggunakan uji signifikansi koefisien
korelasi (r), langkahnya setelah langkah (4)
adalah:
(b.1) Menetapkan hipotesis kebermaknaan
koefisien korelasi
Ho : = 0
Ha : > 0
Catatan: Ha menyatakah bahwa koefisien korelasi
skor butir dengan skor responden
signifikan jika > 0.
(b.2) Melakukan transformasi nilai koefisien
korelasi menjadi nilai t observasi atau to
(distribusi probabilitas t Students);
(b.3) Menetapkan taraf signifikansi (peluang
salah menolak Ho) yang umumnya untuk
riset (penelitian) pendidikan dan pengajaran
= 0,01 atau = 0,05);
(b.4) Melihat nilai t kritis atau tk yang bersesuaian
dengan taraf signifikan () dan derajat
bebas pada Tabel Distribusi Students atau
Distribusi t;
(b.5) Menguji signifikansi koefisien korelasi
dengan cara membandingkan nilai t
observasi (to) dengan t kriteria atau t kritis
(tk). Jika tk > to, keputusannya Ho ditolak.
Artinya, > 0 atau koefisien korelasi
signifikan. Sebaliknya, jika tk to,
keputusannya gagal menolak Ho atau Ho
diterima. Artinya, koefisien korelasi tidak
signifikan.
(b.6) Menyimpulkan validitas butir dengan
kriteria jika Ho ditolak berarti butir
instrumen valid, dan sebaliknya, jika gagal
menolak Ho atau menerima Ho berarti butir
instrumen tidak valid;
Selanjutnya, butir/item yang tidak valid di
keluarkan (di drop) dari instrumen sehingga tidak
digunakan dalam instrumen yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data. Apabila di drop akan mengganggu
terpenuhinya kelengkapan indikator variabel, maka
sebaiknya butir diganti dan diuji coba kembali hingga
menemukan butir yang valid.
Dalam kasus tertentu, yaitu populasi riset yang
terbatas (tidak ada sampel untuk uji coba), biasanya
analisis kualitas instrumen (validitas dan reliabilitas)
dilakukan dengan menggunakan data hasil instrumentasi
saat riset. Dari data hasil instrumentasi, sebelum dianalisis
lebih lanjut, dianalisis terlebih dahulu validitas (disebut
Concurent Validity) dan reliabilitasnya. Data yang
digunakan, selanjutnya, adalah data dari skor butir-butir
yang valid saja.

2.2.2 Reliabilitas Instrumen (secara empiris)


Untuk menunjukan reliabilitas instrumen secara
empiris dilakukan dengan cara melihat konsistensi
ekternalnya, yaitu dengan cara meng-korelasikannya
dengan instrumen yang setara (parallel) yang sudah
diketahui reliabilitasnya. Instrumen dikatakan reliabel
apabila dikorelasikan dengan instrumen yang setara,
korelasinnya signifikan. Kenyataannya, tidak begitu
banyak instrumen yang setara (paling tidak respondennya
yang setara) ditemukan. Selain itu, berarti responden harus
mengerjakan dua instrumen yang berbeda (waktu
instrumentasi harus ada jeda waktu). Untuk di beberapa
kota yang berkaitan dengan pengajaran mungkin bisa
menggunakan skor hasil tes IQ, TOEFL, ETL, atau hasil
instrumentasi dari instrumen yang terstandar.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut di atas,
maka beberapa literatur memberikan beragam alternatif
sehingga dikenal beberapa teknik korelasi seperti: teknik
belah dua (split-half), Alpha (dari Cronbach), Hoyt,
Flanagan, KR-20 dan KR-21 dari Kuder dan Richardson,
Omega (pada analisis faktor). Dalam buku ini tidak semua
diperkenalkan simulasinya. Adapun langkah-langkah uji
reliabilitas, secara umum, adalah sebagai berikut:
(1) Berdasarkan hasil uji validitas, keluarkan (drop) butir
yang tidak valid sehingga skor responden yang
digunakan adalah skor setelah butir yang tidak valid
sudah dikeluarkan;
(2) Menghitung koefisien korelasi;
(3) Menetapkan kriteria reliabel. Beberapa literatur
terdahulu ada yang menggunakan uji signifikansi
koefisien korelasi melalui transformasi nilai korelasi
(r) menjadi nilai fungsi distribusi Students (t).
Namun, kebanyakan literatur mutahir menggunakan
nilai r kriteria sebagai r kritis. Nilai r kriteria
berkisar antara 0,60 hingga 0,90. Pertimbangan
yang digunakan untuk reliabilitas instrumen adalah
keajengan hasil. Oleh karena secara kuantitatif
disandingkan (dikorelasikan) dengan yang serupa,
maka secara nalar satu sama lain memiliki kontribusi
yang memadai. Kontribusi satu sama lain dimaksud
dapat dinyatakan dengan kontribusi relatif, yaitu r 2 x
100%. Makin besar prosentase kontribusi, maka
keajengannya makin meyakinkan. Oleh karena itu,
sangat logis apabila kontribusinya minimal 50%.
Berarti r2 0,50 atau r 0,71. Artinya, instrumen
dikatakan reliabel apabila r 0,71, dan sebaliknya.
(4) Menyimpulkan reliabilitas instrumen (reliabel atau
tidak reliabel).
Berikut adalah contoh dan langkah-langkah untuk
menganalisis kualitas butir instrumen dan kualitas
instrumen secara empiris. Tidak semua teknik korelasi
disajikan dalam contoh berikut, namun hanya contoh yang
paling sering dilakukan karena dipandang paling mudah
dan sederhana.

2.3 Analisis Kualitas Instrumen Secara Empiris


2.3.1 Validitas Empiris Butir Instrumen Berupa Tes
Objektif
Berikut adalah contoh kasus pengujian validitas
instrumen (validitas empiris) dari instrumen berupa tes
pilihan ganda dengan skor dikotomi 1 untuk jawaban
benar dan 0 untuk jawaban salah.
Contoh 2.1:
Seorang penyusun instrumen ingin mengetahui validitas
butir-butir instrumen yang terdiri dari 10 butir. Untuk itu,
ia mengambil sampel 12 orang (hanya contoh). Langkah-
langkahnya adalah:
1) Memberikan instrumen kepada sejumlah
responden/siswa yang karakteristiknya relatif sama
dengan responden/siswa yang akan diukur (diambil
datanya). Dalam contoh ini, instrumen berupa tes
objektif yang terdiri dari 10 butir diberikan kepada 12
orang respoden/siswa.
2) Menyusun atau mengorganisasikan data;
Hasil langkah 1) disusun (sebaiknya menggunakan
MS-EXCEL) sebagai berikut:

Nomor dan Skor Butir/Item (Xi) Skor


No.
Resp.
Resp. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
(Y)
1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 9
2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
3 0 1 0 1 1 0 0 1 1 0 5
4 1 1 0 0 1 1 0 1 1 1 7
5 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 9
6 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 8
7 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 4
8 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 8
9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 10
10 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
11 0 1 0 1 0 1 0 1 1 0 5
12 1 1 1 1 0 1 0 1 1 1 8
9 9 6 9 8 8 5 11 10 9 84
3) Menguji validitas butir instrumen
Menetapkan rumus koefisien korelasi yang tepat
sesuai dengan jenis data jawaban instrumen (diskrit
atau kontinyu). Untuk contoh ini datanya dikotomi (0
dan 1). Oleh karena itu, rumus koefisien korelasi yang
tepat adalah koefisien korelasi Point biserial (rpb)
dengan rumus:
Keterangan:
r pb =
i
Y i1 Y t
st pi
qi

rpbi: Koefisien korelasi Point-Biserial butir ke i


i1: Rerata skor responden yang menjawab benar butir
i
t: Rerata skor Total (seluruh responden)
st : Simpangan baku skor seluruh responden
pi : Proporsi responden yang menjawab benar butir i
qi : 1- pi
4) Menghitung koefisien korelasi
Berdasarkan susunan data pada langkah 2) dibuat
tabel ringkasan statistik sebagai berikut:
Tabel 2.1 Ringkasan Statistik
Untuk Perhitungan Koefisien Korelasi Point Biserial

Penjelasan:
Taraf sukar (pi) diperoleh dari Jumlah butir yang
dijawab benar dibagi jumlah seluruh butir. Contoh
untuk butir nomor 1, p1 = 9/12 = 0,75; untuk butir
nomor 5 p5 = 8/12 = 0,67. Adapun q i diperoleh dari 1
pi (proporsi butir yang dijawab salah. Adapun i 1
diperoleh dari jumlah skor responden yang menjawab
benar pada butir ke i dibagi jumlah responden yang
menjawab benar. Contoh untuk butir nomor 7: 71 =
(9+10+9+8+10)/5 = 9,2. Dengan MS-EXCEL dapat
dicari dengan syntax =SUMIF(range butir 7;1;range
skor responden)/COUNTIF(range butir 7;1). Rerata
skor responden total (t) diperoleh dari rerata skor
responden. Jika menggunakan MS-EXCEL syntax-
nya adalah =AVERAGE(range skor responden).
Menghitung simpangan baku total (st) dengan MS-
EXCEL menggunakan syntax =STDEV(range skor
responden). Statistik tersebut selanjutnya dimasukan
ke dalam Rumus untuk menghitung rpb.
5) Menetapkan kriteria keputusan valid tidaknya butir
instrumen. Ada 2 pilihan: (a) dengan r kriteria
(beberapa literatur paling rendah menetapkan r
0,20); (b) melalui uji signifikansi koefisien korelasi
(transformasi r ke t).
6) Memutuskan valid tidaknya butir instrumen.
(a) Jika menggunakan r kriteria berarti butir dikatakan
valid apabila nilai korelasi skor butir dengan skor
responden r 0,20. Sebaliknya, butir dinyatakan
tidak valid jika r < 0,20. Berdasarkan hasil
perhitungan di atas, maka keputusannya adalah
ada satu butir yang tidak valid, yaitu butir nomor 8
(karena -0,22 < 0,20). Butir-butir nomor 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7, 9, dan 10 semuanya valid (karena r pb >
0,20.
(b) Jika menggunakan uji signifikansi koefisien
korelasi (r), langkahnya setelah langkah (4)
adalah:
(b.1) Menetapkan hipotesis kebermaknaan koefisien
korelasi
Ho : = 0
Ha : > 0
Catatan: Ha menyatakah bahwa koefisien
korelasi skor butir-skor responden
signifikan jika > 0.
(b.2) Melakukan transformasi nilai koefisien korelasi
menjadi nilai t observasi atau to (distribusi t
Students). Dalam contoh ini, transformasi
korelasi (rpb) ke t (distibusi Student's) menjadi t
observasi (to) dengan rumus transformasi:

t o =r pb
i i
n2
1r 2pb
Contoh untuk butir nomor 2:
i

t o =r pb
2
n2
1r 2pb
2
2

t o =0,56
2

122
1( 0,56 )
2
=2,14

(b.3) Menetapkan taraf signifikan (), derajat bebas.


Dalam contoh ini ditetapkan taraf signifikan =
0,05 dan derajat bebas, db = n-2 = 12-2 = 10.
(b.4) Melihat nilai t kritis atau tk yang bersesuaian
dengan taraf signifikan () dan derajat bebas
db=n-2 pada Tabel t atau menggunakan MS-
EXCEL. Dalam perhitungan besar peluang
dihitung dari t = -~ hingga t k atau dari kiri ke
kanan. Dengan demikian, tk menjadi t(1-0,05;10)
atau tk = t(0,95;10). Nilai tk ini dapat dicari pada
Tabel t pada baris n =10 dan kolom taraf
signifikan = 0,95. Dari Tabel akan diperoleh
nilai tk = 1,81. Jika menggunakan MS-EXCEL
menggunakan syntax =T.INV(0,95;10).

Kriteria keputusan:
Tolak Ho: = 0, jika to2 > 1,81. Sebaliknya,
Gagal menolak atau terima Ho: = 0, jika to2
1,81.
(b.5) Menguji signifikansi koefisien korelasi dengan
cara membandingkan nilai t observasi (to)
dengan t kriteria atau t kritis (tk). Jika tk > to,
keputusannya Ho ditolak. Artinya, > 0 atau
koefisien korelasi signifikan. Sebaliknya, jika tk
> to, keputusannya gagal menolak Ho atau Ho
diterima. Artinya, koefisien korelasi tidak
signifikan. Dalam contoh ini, Dalam contoh ini,
ternyata to2 = 2,14 > 1,81, berati tolak H o: = 0.
Alternatifnya, Ha : > 0 yang berarti butir
instrumen nomor 2 valid.
(b.6) Menyimpulkan validitas butir dengan kriteria
jika Ho ditolak berarti butir instrumen valid, dan
sebaliknya, jika gagal menolak Ho atau
menerima Ho berarti butir instrumen tidak valid.
Karena Ho: = 0 ditolak, maka alternatifnya,
Ha: > 0 yang berarti butir instrumen nomor 2
valid.
Silahkan coba untuk butir-butir lainnya sebagai
latihan. Kemudian, hasilnya cocokan dengan Tabel
2.2 yang menyajikan data lengkap pengujian validitas
butir dari contoh kasus di atas.
Tabel 2.2
Data simulasi uji coba instrumen butir objektif

2.3.2 Validitas Empiris Butir Instrumen Berupa Tes


Uraian (Essay) dan Kuisener/Angket (Skala
Sikap)
Validitas butir ditunjukan oleh koefisien korelasi
antara skor butir dengan skor responden (skor total
respoden). Pada beberapa literatur, skor butir instrumen
berupa tes uraian (essay) dan skor butir angket/kuisener
skala sikap dianggap datanya berskala interval. Pengujian
validitas butir langkah-langkahnya sama dengan pengujian
validitas butir untuk instrumen dengan butir tes objektif.
Pernbedaannya terletak pada rumus koefisien korelasi
yang digunakan. Untuk data berskala interval atau rasio
banyak digunakan koefisien korelasi Product Moment.
Oleh karena itu, Koefisien korelasi dihitung dengan
menggunakan rumus koefisien korelasi Product Moment
dari Pearson (Karl Pearson) sebagaimana berikut.

n X i Y ( X i ) ( Y )
rX Y=
( n X ( X ) ) ( n Y ( Y ) )
2 2
i
2 2
i i

Keterangan:
r : Koefisien korelasi Product Moment
X: Skor butir nomor i
Y: Skor responden
Berikut adalah contoh kasus pengujian validitas
instrumen (validitas empiris) dari instrumen berupa berupa
tes uraian (essay) dan skor butir angket/kuisener skala
sikap.
Contoh 2.2:
Seorang penyusun instrumen ingin mengetahui validitas
butir-butir instrumennya yang terdiri dari 5 butir soal
uraian (essay). Untuk itu, ia melakukan uji coba dengan
sampel sebanyak 10 orang. Langkah-langkahnya adalah:
1) Memberikan instrumen kepada sejumlah
responden/siswa yang karakteristiknya relatif sama
dengan responden/siswa yang akan diukur (diambil
datanya). Dalam contoh ini, instrumen berupa tes
objektif yang terdiri dari 5 butir diberikan kepada 10
orang respoden/siswa.
2) Menyusun atau mengorganisasikan data;
Hasil langkah 1) disusun (sebaiknya menggunakan
MS-EXCEL) sebagai berikut:
Tabel 2.3
Data simulasi uji coba instrumen butir essay

Sumber: Data simulasi pada PESRIPP


3) Menetapkan rumus koefisien korelasi yang tepat
sesuai dengan jenis data jawaban instrumen (diskrit
atau kontinyu). Untuk contoh ini datanya kontinyu.
Oleh karena itu, rumus koefisien korelasi yang tepat
adalah koefisien korelasi Product Moment (rXiY)
dengan rumus:
n X i Y ( X i ) ( Y )
rX Y=
( 2 2
i

)
n X 2i ( X i ) ( n Y 2( Y ) )
Keterangan:
r : Koefisien korelasi Product moment
X: Skor butir nomor i
Y: Skor responden
4) Menghitung koefisien korelasi
Berdasarkan susunan data pada langkah 2) dibuat
tabel ringkasan statistik sebagai berikut:

Tabel 2.3 Ringkasan Statistik


Untuk Menghitung Koefisien Korelasi Product
Moment
Berdasarkan ringkasan statistik pada Tabel 2.3 dapat
dihitung koefisien korelasi skor tiap butir dengan skor
totalnya (skor responden).
Contoh untuk butir nomor 1. Dari Tabel 2.3 dapat
diketahui statistik yang diperlukan untuk substitusikan
ke dalam rumus, yaitu: n = 10; X 1Y = 718; X1 = 39;
X12 = 167; Y = 175 atau (Y)2 = 30625; dan Y2 =
3181. Koefisien korelasinya adalah:
10 ( 718 ) (39)(718)
rX Y= =0,84
1

(10.(167) (39 ) ) ( 10 (3181 ) ( 175 ) )


2 2

Dipersilahkan butir-butir lainnya dicoba sebagai


latihan. Kemudian cocokan hasilnya dengan tabel
berikut.

5) Menetapkan kriteria keputusan valid tidaknya butir


instrumen. Ada 2 pilihan: (a) dengan r kriteria
(beberapa literatur paling rendah menetapkan r
0,20); (b) melalui uji signifikansi koefisien korelasi
(transformasi r ke t).
6) Memutuskan valid tidaknya butir instrumen.
(a) Jika menggunakan r kriteria berarti butir dikatakan
valid apabila nilai korelasi skor butir dengan skor
responden r 0,20. Sebaliknya, butir dinyatakan
tidak valid jika r < 0,20. Berdasarkan hasil
perhitungan di atas, maka keputusannya adalah
ada satu butir yang tidak valid, yaitu butir nomor 3
(karena 0,08 < 0,20). Butir-butir nomor 1, 2, 4,
dan 5 semuanya valid (karena rXiY > 0,20.
(b) Jika melalui uji signifikansi koefisien korelasi
(transformasi r ke t)
(b.1) Menetapkan hipotesis statistik untuk
kebermaknaan/signifikansi koefisien korelasi,
yaitu:
Ho: = 0
Ha: > 0
Catatan: Butir instrumen dikatakan valid jika
koefisien korelasinya signifikan (>0)
(b.2) Korelasi (r) ditransformasi ke t (distibusi
Student's) menjadi t observasi (to).
Contoh untuk butir nomor 1.
t o =0,84
1
102
1( 0,84 )
2
=4,38

(b.3) Menetapkan taraf signifikan (), derajat bebas.


Dalam contoh ini ditetapkan taraf signifikan=
0,05 dan derajat bebas, db = n-2 = 10-2 = 8.
(b.4) Melihat nilai t kritis atau tk yang bersesuaian
dengan taraf signifikan () dan derajat bebas
db=n-2 pada Tabel t atau menggunakan MS-
EXCEL. Dalam perhitungan besar peluang
dihitung dari t = -~ hingga t k atau dari kiri ke
kanan. Dengan demikian, tk menjadi t(1-0,05;8) atau
tk = t(0,95;8). Nilai tk ini dapat dcari pada Tabel t
pada baris n = 8 dan kolom taraf signifikan =
0,95. Dari Tabel akan diperoleh nilai t k = 1,86.
Jika menggunakan MS-EXCEL menggu-nakan
syntax =T.INV(0,95;8).

Kriteria keputusan:
Tolak Ho: = 0, jika to1 > 1,86. Sebaliknya,
Gagal menolak atau terima Ho: = 0, jika to1
1,86.
(b.5) Menguji signifikansi koefisien korelasi dengan
cara membandingkan nilai t observasi (to)
dengan t kriteria atau t kritis (tk). Jika tk > to,
keputusannya Ho ditolak. Artinya, > 0 atau
koefisien korelasi signifikan. Sebaliknya, jika tk
> to, keputusannya gagal menolak Ho atau Ho
diterima. Artinya, koefisien korelasi tidak
signifikan. Dalam contoh ini, Dalam contoh ini,
ternyata to1 = 4,38 > 1,86, berati tolak H o: = 0.
Alternatifnya, Ha : > 0 yang berarti butir
instrumen nomor 1 valid.
(b.6) Menyimpulkan validitas butir dengan kriteria
jika Ho ditolak berarti butir instrumen valid, dan
sebaliknya, jika gagal menolak Ho atau
menerima Ho berarti butir instrumen tidak valid.
Karena Ho: = 0 ditolak, maka alternatifnya,
Ha: > 0 yang berarti butir instrumen nomor 1
valid.
Silahkan coba untuk butir-butir lainnya sebagai
latihan. Kemudian, hasilnya cocokan denganTabel 2.4
yang menyajikan data lengkap pengujian validitas
butir dari contoh kasus di atas.

2.3.3 Reliabilitas empiris butir instrumen berupa tes


Essay (Uraian)
Banyak cara atau teknik untuk menentukan
reliabilitas suatu instrumen seperti teknik belah dua (Split-
Half), KR20, KR21, Hoyt, dan Alpha atau Alpha Cronbach.
Salah satu cara untuk instrumen yang butir-butirnya
berskala diskrit dikotomi (0 dan 1) seperti butir pilihan
ganda, betul-salah atau isian singkat adalah Koefisien
korelasi dari Kuder-Richardson 20 atau dikenal KR20 yang
rumusnya sebagaimana Rumus 2.5 di halaman berikut.
Untuk menetapkan reliabel tidaknya ada beberapa cara,
yaitu: Untuk menetapkan reliabel tidaknya ada dua cara,
yaitu: (1) dengan menetapkan nilai batas koefisien
reliabilitas (r kritis) yang dianggap signifikan (misal r
0,6); (2) membandingkan dengan nilai r yang bersesuaian
dengan taraf signifikan dan banyak sampel uji coba (n).
Nilai r kritis ini dapat dilihat pada Tabel r (korelasi
Product Moment).

pq
r KR20=
k
(
( k 1 )
1 2
sy )
Keterangan:
rKR20: Koefisien korelasi KR20
k : Jumlah butir (yang valid)
s : Varians skor responden
p : Proporsi responden yang menjawab benar (skor 1)
q : Proporsi responden yang menjawab salah (skor 0)
Langkah-langkah pengujiannya adalah:
1) Mengumpulkan data (observasi/tes)
2) Menguji validitas butir-butir instrumen
3) Membuang butir intrumen yang tidak valid dan
membuat tabel ulang
4) Menghitung koefisien korelasi KR20
5) Menentukan Kriteria keputusan
6) Mengambil keputusan.
Contoh 2.4:
Contoh kasus lanjutan dari contoh 2.1.
Jika menggunakan MS-EXCEL Syntax-nya adalah
=VAR(range skor Y).
Langkah-langkahnya adalah:
1) Mengumpulkan data (observasi/tes). Lihat contoh 2.1
2) Menguji validitas butir-butir instrumen. Lihat contoh
2.1
3) Membuang butir intrumen yang tidak valid dan
membuat tabel ulang. Berdasarkan data hasil uji
validitas butir sebagaimana Tabel 2.1 di atas, maka
setelah butir yang tidak valid dikeluarkan (di drop),
dapat disusun tabel 2.5 sebagaimana berikut:
4) Menghitung koefisien korelasi KR20
5) Menentukan Kriteria keputusan
(a) Jika menggunakan kriteria r kritik berdasarkan
nilai r tertentu.
Misal, ditetapkan r kritis-nya adalah r = 0,60.
Kriteria keputusannya adalah: instrumen reliabel
jika rKR20 > 0,60, sebaliknya instrumen tidak
reliabel jika rKR20 0,60.
(b) Jika menggunakan r kritis berdasarkan taraf
signifikan () tertentu dan banyak sampel uji coba.
Misal, taraf signifikan diambil = 0,05. Banyak
sampel uji coba n = 12. Nilai r kritis dapat
diperoleh dari Tabel Koefisien Korelasi (Product
moment?). Caranya: tandai pada kolom n angka 12
(jumlah sampel), kemudian lihat pada kolom taraf
signifikan 0,05 sel yang terletak pada baris n=12.
Akan diketemukan angka 0,576. Artinya, r kritir
untuk = 0,05 dan n = 12 atau r(0,05;12)=0,576.
Dengan demikian, kriteria keputusannya adalah:
instrumen reliabel jika rKR20 > 0,576, sebaliknya
instrumen tidak reliabel jika rKR20 0,576.
6) Mengambil keputusan
Dalam contoh ini, berdasarkan kedua cara menentukan
r kritis, 0,89 > 0,60 dan 0, 89 > 0,576. Keputusannya
adalah instrumen (setelah butir yang tidak valid di
drop) reliabel.

2.3.4 Reliabilitasempiris butir instrumen berupa


uraian (Essay), dan kuisener/angket (skala
sikap)
Salah satu cara untuk instrumen yang butir-butirnya
berskala interval atau non dikotomi seperti butir Essay
atau angket/skala sikap adalah Koefisien korelasi atau
koefisien reliabilitas dari Alpha Cronbach dengan rumus:
2
s
( )(
r 11 =
k
k 1
1 2 Xi
sY )
Keterangan:
r: Koefisien korelasi (reliabilitas Alpha)
k : Jumlah butir
s: Varians skror butir nomor i
s : Varians skor responden
Untuk menetapkan reliabel tidaknya ada dua,
yaitu: (1) dengan menetapkan nilai batas koefisien
reliabilitas (r kritis) yang dianggap signifikan (misal r
0,6); (2) membandingkan dengan nilai r yang bersesuaian
dengan taraf signifikan dan banyak sampel uji coba (n).
Nilai r kritis ini dapat dilihat pada Tabel r (korelasi
product moment). Langkah-langkah pengujiannya sama
dengan langkah-langkah di atas.
Contoh 2.5:
Berdasarkan data hasil uji validitas butir
sebagaimana Tabel 2.2 di atas, maka setelah butir yang
tidak valid dikeluarkan (di drop), dapat disusun tabel 2.6
sebagaimana berikut:

Tabel 2.6
Data Hasil Uji Coba Instrumen Untuk Menguji
Reliabilitas Instrumen Butir Essay Atau Skala Sikap

Keputusan:
Baik menggunakan r kritis berdasarkan nilai r tetap
(r > 0,60) maupun menggunakan r kritis berdasarkan taraf
signifikan dengan jumah sampel uji coba n,
keputusannya sama-sama memutuskan bahwa instrumen
reliabel. Hal ini didasarkan pada 0,81 > 0,60 dan 0,81 >
0,576.
Analisis butir sebagaimana hasilnya pada Tabel
2.1, 2.5, dan 2.6 tersedia pada Program Edukasi Statistik
Riset Ilmu Pendidikan dan Pengajaran (PESRIPP).
3 DESKRIPSI DATA
Tahap kedua untuk bekerja dengan statistika
adalah tahap deskripsi data yang gunanya untuk menjawab
pertanyaan bagaimana gambaran (data) variabel yang akan
diteliti. Bentuk deskripsi data, secara umum, dapat berupa:
(1) Diagram batang, diagram Batang-daun (leaf diagram),
tabel distribusi frekuensi, histogram dari tabel distribusi
frekuensi, dll; (2) Kecenderungan memusat (central
tendency) yang dapat berupa: Rerata (umumnya
mengatakan rata-rata) atau Mean, Median, dan Modus; (3)
Sebaran (dispersi) yang dapat berupa range, kuartil,
simpangan antara kuartil, simpangan baku, dan ragam
(varian). Adapun bentuk deskripsi yang pas/tepat
tergantung kepada jenis datanya (nominal, ordinal, interval
atau rasio).
Persyaratan (asumsi) analisis dengan statistika
parametrik yang paling penting adalah bahwa populasi
dari karakteristik (variabel) yang akan dianalisis
berdistribusi normal dan sampel diambil secara
random/acak. Inti dari random adalah suatu kondisi yang
menunjukan bahwa seluruh anggota populasi memiliki
peluang yang sama untuk terambil sebagai sampel. Intinya
adalah dengan melakukan pengundian dengan berbagai
teknik. Persyaratan berikutnya tergantung kepada analisis
apa yang akan digunakan: korelasional/ regresi atau uji
beda.
Tabel 3.1
Bentuk Deskripsi Data Yang Tepat Berdasarkan
Jenis Data

3.1 Diagram Batang-Daun (Leaf-Diagram)


Diagram batang-daun akan tepat untuk
mendeskripsikan data variabel interval atau kontinyu yang
terdiri dari maksimal 2 digit (puluhan dan satuan atau
satuan dan sepersepuluhan). Dikatakan diagram batang-
daun, karena cara penyusuan maupun tampilannya seperti
menunjukan batang dan daun seperti gambar 3.1 berikut.

Langkah-langkah untuk menyusunnya dapat disimak pada


contoh berikut.
Contoh 3.1:
Misal terdapat data skor hasil ulangan matematika sebagai
berikut:

(1) Data yang ada diurutkan terlebih dahulu sehingga


menjadi:

(2) Susun ke bawah angka digit pertama dari kiri mulai


dari yang terkecil. Jika ada data yang hanya terdiri
dari satuan berarti puluhannya 0.
(3) Buat garis pemisah, kemudian susun di sebelah kanan
garis pemisah angka yang mengikuti angka digit
pertama tadi mulai dari yang terkecil. Hasilnya seperti
Gambar 3.1 di atas. Jika rumusan masalah melibatkan
variabel jenis kelamin dan datanya sebagai berikut:

Maka diagram batang-daunnya akan menjadi sebagai


berikut.
Di samping tidak meninggalkan sisi estetika,
diagram Batang-Daun ini lebih informatif daripada
diagram lainnya. Terutama jika jumlah data tidak terlalu
besar. Berdasarkan diagram Batang-Daun akan dengan
mudah dilihat: (1) skor minimum dan maksimum; (2)
frekuensi tiap kelompok berdasarkan digit pertama; (3)
modus; (4) Median; bahkan (5) Kuartilnya. Selain itu dari
diagram ini akan dengan mudah menyusun Tabel distribusi
frekuensi kelas intervalnya (Transformasi dari data
variabel interval atau rasio menjadi data ordinal). Oleh
karena itu, untuk deskripsi data variabel yang berkenaan
dengan bidang pendidikan dan pengajaran, disarankan
agar menggunakan diagram Batang-Daun ini.
Kelemahannya, hanya efektif jika data terdiri maksimal 2
digit dan digit pertama harus variatif (minimal 2 variasi).

3.2 Tabel Distribusi Frekuensi dan Diagram


Batang
3.2.1 Tabel Distribusi Frekuensi dan Diagram Batang
Data Variabel Diskrit (Nominal atau Ordinal)
Diagram batang lebih tepat digunakan untuk data
variabel diskrit (nominal atau ordinal murni). Diagram
batang dibuat, pada dasarnya, untuk visualisasi dari
distribusi frekuensi.
Contoh 3.2: Untuk data variabel nominal (Jenis kelamin)
Berdasarkan tabel distribusi frekuensi di atas dapat dibuat
diagram batangnya, sebagai visualisasi dari tabel distribusi
frekuensi tersebut, sebagai berikut:

Contoh 3.3:
Untuk data variabel nominal (Buku Paket)
Tabel distribusi frekuensi di atas dapat divisualisasikan
dengan diagram batang sebagai berikut:

Contoh 3.4:
Untuk data variabel nominal (Jumlah siswa)
Misalkan akan mendeskripsikan jumlah siswa
berdasarkan tingkatan kelas di suatu SMP. Misal, setelah
dibuat Tabel distribusi frekuensinya diperoleh data sebagai
berikut:
Visualisasi dari Tabel 3.3 di atas adalah diagram
batang seperti berikut.

3.2.2 Tabel Distribusi Frekuensi dan Diagram Batang


(Histogram) Data Variabel kontinyu (interval atau
rasio)
Untuk mendeskripsikan data variabel kontinyu
tidak sesederhana mendeskripsikan variabel diskrit.
Terutama jika variasi skor sangat beragam. Data variabel
kontinyu perlu ditransformasi terlebih dahulu menjadi data
ordinal. Contoh dan langkah-langkahnya sebagai berikut:
Contoh 3.5:
Misal akan mendeskripsikan data hasil ulangan
matematika siswa, yaitu:

Sebaiknya, data ini dibuat dulu diagram Batang-Daunnya.


Kemudian lakukan langkah-langkahnya berikut:
(1) Menentukan Range atau Rentang
Rentang adalah selisih skor maksimum dengan. Jika
dituliskan sebagai rumus (formula) maka rumusnya
menjadi:
R = S a Sb
Keterangan:
R : Rentang (Range)
Sa: Skor atas (skor maksimum)
Sb: Skor bawah (skor minimum)
Pada contoh ini (lihat diagram Batang Daun) R = 46
25 = 21.
(2) Menetapkan jumlah kelompok data yang akan dibuat.
Beberapa literatur, pada umumnya menggunakan
istilah banyak kelas interval. Untuk hal ini, cara
menetapkannya berbeda-beda. Ada yang
menggunakan perkiraan (dari pengalaman), misalnya
benyak kelompok (k) antara 5 sampai dengan 15. Ada
yang menganjurkan menggunakan aturan Sturgess
sebagaimana rumus berikut:
k = 1 + 3,3log n
Keterangan:
k : Banyak kelas interval (kelompok data)
n: Banyak data (total data/seluruh anggota)
Menurut penulis, jumlah kelompok data
tergantung kepada tujuan atau kebutuhan. Misal: (1)
jika akan mengelompokan menjadi skor Tinggi dan
Rendah maka jumlah kelas interval (kelompok data)
cukup 2 atau k = 2; (2) jika ingin menggambarkan
berdasarkan kategori Tinggi, sedang, Rendah atau
Baik, Cukup, dan Kurang, maka jumlah kelas interval
k = 3; (3) jika akan menggambarkan kategori Sangat
Baik, Baik, Cukup, Kurang, dan Sangat Kurang
(seperti kategorisasi nilai di Perguruan Tinggi), maka
jumlah kelas interval k = 5. Untuk keperluan uji
normalitas distribusi populasi penulis menganjurkan k
= 6. Hal ini berkenaan dengan fakta secara empiris
rentang variasi pada kurva normal standar merentang
dari -3 hingga 3 (secara teoretis merentang dari -
hingga ). Oleh karena itu, dalam contoh ini k = 6.
(3) Menghitung panjang kelompok (panjang kelas
interval).
Dapat diilustrasikan bahwa panjang kelas interval (p)
ini dengan panjang seutas tali (R) kemudian dibagi
menjadi beberapa potong yang sama panjang (k).
Masing-masing potongan akan tertentu panjang dan
tepi-tepi dimana tali ini harus dipotong. Dalam hal ini,
berarti panjang kelas interval adalah rentang dibagi
banyak kelas interval:
R
p=
k
Keterangan:
p: panjang kelas interval (jarak antar skor tepi bawah
dan atas)
R: Rentang (Range)
k : Banyak kelas interval (kelompok data)
Dalam contoh ini, berarti p = 21/6 = 3,5. Selanjutnya,
hasil baginya ini (3,5) dibulatkan ke atas atau ke
bawah sehingga menjadi 3 atau 4. Untuk memastikan
mana yang pas, sebaiknya dicoba-coba dulu, disusun
kelompok-kelompok (kelas-kelas) intervalnya. Nilai p
dikatakan pas apabila seluruh data (terutama data/skor
terbesar masuk ke dalam kelompok terakhir). Nilai p,
pada umumnya dibulatkan ke atas. Pada contoh ini
akan digunakan pembulatan ke atas sehingga p = 4.
(4) Menyusun tepi-tepi kelas interval (tepi kelompok
data/skor).
Dari p = 4 dan skor maksimum = 25, maka kelompok
pertama dapat ditentukan dengan cara mencacah
mulai dari data terkecil atau minimum (pada contoh
ini 25) sebanyak p data pertama, yaitu 25, 26, 27, dan
28. Dengan demikian, pada contoh ini, kelompok skor
(kelas interval) pertama adalah 25 28. Tepi
bawahnya (Tb) adalah 25 dan tepi atasnya (Ta) adalah
28. Kelompok-kelompok berikutnya tingal menambah
4 pada masing-masing tepi bawah dan atas sehingga
kelompok lengkapnya (6 kelompok) adalah 25 - 28,
29 32, 33 36, 37 40, 41 44, dan 45 48
(peringatan: tanda di sini bukan berarti operasi
pengurangan, tapi pengganti dari kata sampai
dengan). Jika diurutkan ke bawah menjadi sebuah
kolom yang memuat kelas-kelas interval seperti pada
tabel 3.4 berikut.
(5) Menyusun batas-batas kelompok (kelas interval).
Batas-batas bawah kelompok/interval ke i (Bbi)
diperoleh dengan cara tepi bawah (Tbi) dikurangi
kali satuan terkecil skor (u). Dalam contoh ini, satuan
terkecilnya adalah u = 1. Jika datanya terdiri dari
satuan dan sepersepuluhan seperti: 1,3; 2,1; 7,5; 6,6;
dst., maka satuan terkecilnya adalah u = 0,1. Dalam
bentuk rumus akan terlulis sebagai berikut:
Bbi = Tbi u
Keterangan:
Bbi: Batas bawah kelas interval ke i
Tbi: Tepi bawah kelas interval ke i
u : Unit (satuan terkecil yang digunakan)
i : {1,2,3, ..., k}
Jadi, batas bawah kelas interval pertama adalah Tb1
0,05 = 25 0,5 = 24,5. Selanjutnya batas atas (B ai)
diperoleh dari tepi atas ditambah kali satuan skor
terkecil (u). Dengan demikian, batas atas untuk kelas
interval pertama untuk contoh ini adalah Ba1 = Ta1 +
0,5 = 28 + 0,5 = 28,5. Demikian seterusnya hingga
kelas interval terakhir. Hasilnya tampak pada kolom
ke dua dari Tabel 3.4 di atas.
(6) Menentukan nilai atau titik tengah tiap kelas interval.
Nilai atau titik (Xi) tengah tiap kelas interval
diperoleh dari menjumlahkan tepi bawah dengan tepi
atas kemudian dibagi 2. Dalam bentuk rumus dapat
ditulis sebagai berikut:
T bi+T ai
X i=
2
Keterangan:
Xi: Titik/nilai tengan kelas interval ke i
Tbi: Tepi bawah kelas interval ke i
Tai: Tepi atas kelas interval ke i

Pada contoh, untuk kelas interval pertama, X1 =


(25+28)/2 = 26,5. Demikian seterusnya hingga X6 =
(45+48)/2 = 46,5. Cara cepat untuk menentukan nilai
tengah kelas interval berikutnya adalah nilai tengah
sebelumnya ditambah dengan panjang kelas interval
(dalam contoh ini p = 4). Hal tersebut dapat ditulis
dalam bentuk rumus sebagai berikut:
Xi+1 = Xi + p
Keterangan:
Xi: Nilai/titik tengah kelas interval ke i
p: panjang kelas interval
i : 1, 2, 3, ..., k.
Jadi, X2 = 26,5 + 4 = 30,5; X3 = 30,5 + 4 = 34,5, dst.
(7) Menghitung banyak anggota tiap kelompok (frekuensi
kelas interval). Untuk hal ini akan lebih mudah
melihat diagram Batang-Daun. Dari digram Batang-
Daun tampak bahwa banyak anggota kelompok
(interval) pertama adalah 2, yaitu 25 dan 26; banyak
anggota kelompok kedua ada 5, yaitu 29, 29, 30, 31,
dan 32. Demikian seterusnya sebagaimana tampak
pada kolom ke tiga dari Tabel 3.4 di atas.
(8) Menentukan persentase jumlah anggota kelompok (fi)
tiap kelas interval.
Persentase tiap kelas interval diperoleh dari
pembagian jumlah anggota kelompok tiap interval (fi)
oleh Jumlah total anggota (n atau fi) dikalikan
dengan 100%. Misal untuk persentase anggota
kelompok pertama adalah (2/28) x 100% = 7,14%;
kelompok ke dua (5/28) x 100% = 21,42%; dan
seterusnya. Dalam bentuk rumus ditulis sebagai
berikut.
fi
Persentase= x 100
fi
Keterangan:
fi: Frekuensi (jumlah anggota kelompok) kelas
interval ke i
Perhitungan akan lebih cepat jika dihitung terlebih
dahulu 1% dari n atau 1% dari fi. Pada contoh ini
adalah (1/28) x 100% = 3,57%. Persentase anggota
tiap kelas interval tingal mengalikan fi dengan 3,57%.
Misal untuk kelas interval pertama persentase = 2 x
3,57% = 7,14% dan seterusnya.
Untuk visualisasi tabel distribusi frekuensi dari
data variabel kontinyu yang dikelompokan (dibuat kelas
interval) digunakan histogram (diagram batang untuk data
variabel kontinyu yang dikelompokan). Sumbu-sumbu
histogram terdiri dari, biasanya, sumbu mendatar untuk
kelas interval dan sumbu tegak untuk frekuensi sehingga
akan diperoleh histogram sebagaimana Gambar 3.6.
Perlu diperhatikan (karena sering ditemukan
kesalahan) bahwa ada beberapa ciri histogram yang
berbeda dari diagram batang untuk data variabel diskrit,
yaitu pada histogram: (1) pada sumbu mendatar (kelas
interval) ada patahan garis antara 0 dengan kelas interval
pertama karena dari 0 ke batas kelas interval pertama
(24,5) biasanya akan lebih panjang daripada batas antar
kelas interval (dari 24,5 sampai 28,5 dst); (2) antar batang
harus berimpit atau tidak ada celah karena batas atas
interval sebelumnya akan sama dengan batas atas interval
berikutnya (bersifat kontinyu); (3) tiap batang pada sumbu
mendatar, sebaiknya, digunakan batas-batas kelas interval
agar sifat kontinyu-nya tampak.

Gambar 3.6: Diagram batang (Histogram) distribusi


frekuensi Hasil Ulangan Matematika
Bentuk-bentuk lain visualisasi tabel distribusi
frekuensi seperti diagram garis, diagram lingkaran atau
diagram pastel, diagram pareto, dan ojif tidak penulis
sajikan, karena menurut pengalaman jarang digunakan.

3.3 Kecenderungan memusat (Central Tendency)


Kecederungan memusat merupakan salah satu
bentuk deskripsi data variabel kontinyu yang sekaligus
sebagai perwakilan karakteristik suatu kelompok.
Dikatakan kecenderungan memusat karena
mendeskripsikan bahwa data cenderung memusat pada
satu titik (skor/Nilai) tertentu. Kecenderungan memusat
terdiri dari Rerata (istilah lain: Rata-rata, Rataan, Mean),
Median, dan Modus. Walaupun, pada umumnya, dapat
digunakan untuk sembarang data variabel kontinyu,
namun sesungguhnya akan lebih tepat disesuaikan dengan
karakteristik data yang akan dideskripsikan.
3.3.1 Rerata (rata-rata) Aritmatika
Secara intuitif setiap orang dewasa memahami apa
yang disebut Rerata atau rata-rata. Jika seorang siswa
SMA ditanya: Berapa rata-rata uang jajanmu per hari?,
maka ia akan menjawab tanpa harus mengambil alat tulis
lalu menghitung menggunakan rumus Rerata secara
statistik. Tentu saja jawabannya belum tentu sesuai dengan
hasil perhitungan statistik (karena taksiran). Namun, dari
sisi konsepsi, ia telah mamahami apa yang dimaksud
Rerata atau rata-rata. Rerata dikelompokan ke dalam
konsep kecenderungan memusat, karena secara empiris
Rerata akan menggambarkan skor yang paling banyak
muncul (Modus) atau titik tengah (Median) dari
sekelompok data jika diurutkan. Cara menentukan besar
Rerata sekelompok data, secara prinsip umum, adalah
dengan cara menjumlahkan seluruh skor atau besaran
kelompok data kemudian dibagi dengan banyaknya
anggota kelompok data. Jika ditulis dalam bentuk rumus
menjadi:
n

Xi
X = i=1
n
Keterangan:
X : Rerata skor/nilai (untuk data kontinyu/rasio)
xi: skor/nilai data ke i, dimana i = {1, 2, 3, 4, ...n}
n: Banyak data (anggota himpunan data)
Tidak semua kelompok data deskripsi-nya dapat
secara tepat diseskripsikan oleh Rerata. Kelompok data
yang tepat dideskripsikan oleh Rerata adalah kelompok
data kontinyu (interval atau rasio) yang tidak memiliki
anggota atau sub kelompok data ekstrim, baik ekstrim ke
atas maupun ekstrim ke bawah. Untuk data variabel diskrit
(nominal atau ordinal) penggunaan Rerata sebagai
deskripsi tidaklah tepat.
Contoh 3.6: (Data yang memiliki nilai ekstrim)
Misal, dari 10 KK di suatu RT, penghasilan
masing-masing KK per bulan (dalam rupiah) adalah
1.800.000, 2.500.000, 3.000.000, 3.000.000, 3.100.000,
3.100.000, 3.100.000, 3.500.000, 4.200.000, dan
25.000.000. Jika dihitung Reratanya, maka akan diperoleh
5.230.000 yang tidak pas untuk menggambarkan Rerata
penghasilan tersebut.
Contoh 3.7: (Data yang tidak memiliki nilai ekstrim)
Misal, dari data pada contoh 3.6, data ekstrim
dikeluarkan sehingga tinggal 9 KK. Setelah data ekstrim
tidak dilbatkan dalam analisis, maka akan diperoleh Rerata
sebesar 3.033.333. Bandingkan dengan Rerata dari contoh
3.6, maka Rerata yang dapat dipandang mewakili Rerata
kelompoknya adalah Rerata pada contoh 3.7. Skor atau
nilai-nilai ekstrim, dalam analisis statistik, biasa disebut
data outlier. Jika banyak data ekstrim dalam suatu
kelompok data tidak terlalu banyak maka, dalam suatu
analisis statistika, biasanya dikeluarkan.
Contoh 3.8: (Kelompok data bukan data kontinyu)
Misal, dari 10 KK contoh 3.6 di atas yang
diamati adalah jumlah anggota KK pada setiap KK, yaitu:
2, 5, 3, 4, 3, 3, 3, 6, 2, 4. Jika dihitung Reratanya akan
diperoleh Rerata = 3,5. Artinya, Rerata jumlah KK di RT
tersebut sebanyak 3,5 orang. Ini sesuatu yang tidak lazim.
Tidak mungkin jumlah orang dinyatakan dalam bentuk
desimal. Demikian juga untuk data diskrit lainnya, seperti
jumlah buku paket, banyak telor asin, dsb. Tidaklahlah
tepat mendeskripsikannya dengan Rerata.
Contoh 3.9: (Data dalam bentuk distribusi frekuensi titik
atau tunggal)
Ada kalanya data yang akan dihitung Reratanya
sudah dalam bentuk tabel distribusi frekuensi data tunggal
(bukan dalam bentuk kelas interval). Apabila data pada
contoh 3.6 di atas disusun dalam bentuk tabel distribusi
frkuensinya, maka akan diperoleh tabel distribusi
frekuensi sebagai berikut.
Tabel 3.5
Distibusi frekuensi penghasilan per bulan (Xi) dari 10 KK
Xi fi Xi.fi
1.800.000 1 1.800.000
2.500.000 1 2.500.000
3.000.000 2 6.000.000
3.100.000 3 9.300.000
3.500.000 1 3.500.000
4.200.000 1 4.200.000
JUMLAH 9 27.300.000
Sumber: Data rekaan
Berdasarkan Tabel 3.5, dengan mudah, tampak
bahwa nilai Rerata dapat diperoleh dari hasil bagi jumlah
pada kolom ke 3 (kolom Xi.fi) dengan jumlah pada kolom
2 (kolom fi). Apabila ditulis dalam bentuk rumus menjadi:

X =
Xi. f i
fi
Keterangan:
X : Rerata skor/nilai (untuk data kontinyu/rasio)
Xi: Skor/nilai (untuk data kontinyu/rasio)
Dengan demikian, pada contoh 3.9 ini nilai Reratanya
adalah:

Contoh 3.10: (Data dalam bentuk distribusi frekuensi kelas


interval atau kelompok)
Selain dalam bentuk tabel distribusi frekuensi
titik, Rerata juga dapat dihitung dari data yang sudah
tersusun dalah bentuk tabel distribusi frekuensi kelas
interval (kelompok) seperti pada Tabel 3.4. Untuk
menghitung nilai Rerata data yang sudah tersusun
demikian, secara prinsip, sama dengan untuk tabel
distribusi frekuensi titik sebagaimana Rumus 3.9.
Bedanya, hanya pada Xi diambil dari nilai tengah interval
ke i. Dengan demikian, Rerata skor hasil ulangan
matematika seperti pada Tabel 3.4 di atas adalah:

3.3.2 Median
Median mempunyai arti menengah atau (kalau
dalam data terurut) datum yang letaknya di tengah-tengah.
Dalam kasus lain, Median dapat berarti sedang atau cukup
(biasanya untuk ukuran). Berkaitan dengan data statistik
berupa bilangan, maka Median diartikan sebagai anggota
kelompok data (datum) yang terletak di tengah-tengah
apabila data dalam kelompok tersebut diurutkan terlebih
dahulu. Jika banyak data ganjil, maka letak Median akan
persis menunjukan datum sebagai Median. Jika banyak
data genap, maka letak Median berada diantara dua datum.
Oleh karena itu, Mediannya adalah jumlah kedua datum
tersebut dibagi dua. Median dapat digunakan untuk
medeskripsikan kelompok data variabel diskrit maupun
kontinyu. Median juga dapat mendeskripsikan pembatas
dari kelompok bawah dan kelompok atas, yaitu 50%
kelompok bawah dan 50% kelompok atas. Dengan kata
lain, Median membatasi (membagi) dua kelompok data
secara seimbang, yaitu 50% di bawah Median dan 50% di
atas Median. Perlu diperhatikan bahwa untuk data variabel
diskrit jumlah variatifnya (kategori) minimal 3 kategori.
Berbeda dengan Rerata, Median tidak
terpengaruh oleh data ekstrim. Oleh karena itu, jika dalam
sekelompok data terdapat data ekstrim, maka salah satu
cara deskripsinya adalah dengan Median. Karena jumlah
data dapat ganjil atau genap maka cara menentukan
Median juga ada dua cara, yaitu cara jika banyak data
ganjil dan genap. Namun demikian, secara rumus sama
yaitu data ke (n+1)/2. Untuk banyak data ganjil, maka
(n+1) menjadi genap. Bilangan genap dibagi dua pasti
bilangan bulat. Jika banyak data ganjil
Contoh 3.11: (Banyak data ganjil dan data tidak
dikelompokan)
Diketahui data sebagai berikut:
3, 4, 4, 5, , 8, 8, 9, 10.
Karena banyak data n = 9 adalah ganjil, maka mediannya
adalah nilai yang terletak di urutan (n+1)/2. Untuk contoh
rangkaian data di atas, Median adalah nilai yang terletak di
urutan ke (9+1)/2, yaitu urutan ke 5. Nilai yang terletak di
urutan ke-5, dari kiri, adalah 6 (ditulis Med = 6).
Contoh 3.12: (Banyak data genap dan data tidak
dikelompokan)
Data skor ujian statistik dari 8 mahasiswa adalah:
20, 45, 50, 60, 75, 80, 85, 90. Mediannya adalah skor/nilai
yang terletak di urutan ke (8+1)/2 = 4,5. Tidak ada datum
yang terletak di urutan ke 4,5. Oleh karena itu, nilai
Median diambil dari datum yang terletak di urutan ke 4
dan ke 5 (karena 4,5 terletak antara 4 dan 5). Data di
urutan ke 4 adalah 60, sedangkan data di urutan ke 5
adalah 75. Dengan demikian, Mediannya adalah Med =
(60+75)/2 = 67,5.
Contoh 3.13: (Banyak data genap dan data dikelompokan
menjadi beberapa kelas interval atau
kelompok)
Untuk data berkelompok yang dinyatakan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi kelas interval seperti Tabel 3.4 di
atas, nilai Median dihitung mengikuti langkah-langkah
berikut:
1) Tandai kelas interval dimana Median berada (Median
taksiran). Pada umumnya adalah kelas interval yang
frekuensinya terRendah (ingat pengertian
kecenderungan memusat). Jika tiap kelas interval
frekuensinya relatif sama, maka yang ditandai adalah
kelas interval yang apabila frekuensi sebelumnya
dijumlahkan, jumlahnya setengah atau lebih dari
jumlah data (n). Dari tabel di atas frekuensi terRendah
bersesuaian dengan kelas interval 33-36.
2) Tandai frekuensi interval tersebut (dari Tabel 3.4 adalah
fmed = 11)
3) Tentukan Batas bawah (Bb) interval tersebut (dari tabel
di atas, Bb = 32,5)
4) Tentukan panjang kelas interval (lihat tabel, p=4).
5) Jumlahkan frekuensi semua kelas interval sebelum
kelas interval Median (dari tabel di atas, fs=6 + 2= 8).
6) Masukan ke dalam rumus (lihat halaman berikut).
7) Berdasarkan tersebut akan diperoleh:
n f s
Med=Bb + p ( f med )
Med=32,5+ 4 ( 148
11 )
=32,5+2,18=34,68

n f s
Med=Bb + p ( f med )
Keterangan:
Med: nilai/skor Median
Bb : Batas bawah kelas interval yang bersesuaian
dengan Median taksiran
p : Panjang kelas interval
n : Banyak data atau fi.
fs : Frekuensi sebelum kelas interval Median taksiran
fmed: Frekuensi kelas interval Median taksiran

3.3.3 Modus
Dalam keseharian mungkin pernah mendengar
istilah modus operandi. Misal, untuk kejadian kejahatan
perampokan di rumah-rumah, pihak kepolisian
mengatakan bahwa modus operandinya adalah si
perampok pura-pura bertamu. Artinya, kejadian
perampokan di rumah-rumah yang sering (modus)
dilakukan perampok (operandi) adalah berpura-pura
bertamu. Secara sederhana Modus (Mod) dapat
didefinisikan sebagai fakta atau data yang paling sering
terjadi/muncul. Dalam istilah statistik modus adatah data
yang frekuensinya paling besar.
Contoh 3.14: (Data tidak dikelompokan)
1) Kelompok data: 3, 4, 4, 5, 6, 8, 8, 8, 9 mempunyai satu
modus yaitu Mod = 8
2) Kelompok data: 3, 4, 4, 6, 8, 8, 9, 10 mempunyai 2
modus (bimodus) yaitu Mod = 4 dan Mod = 8
3) Kelompok data: 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10 tidak mempunyai
modus.
Contoh 3.15: (Data dikelompokan atau dari tabel distribusi
frekuensi)
Cara menentukan modus dari data yang sudah
berbentuk statistik berupa Tabel distribusi kelas interval
seperti Tabel 3.4 di atas.

Langkah-langkahnya adalah:
1) Tandai kelas interval dimana modus akan berada
(modus taksiran). Sesuai dengan definisi, berarti kelas
interval yang memiliki frekuensi (f) terRendah. (dari
Tabel 3.4 adalah kelas interval 33-36)
2) Lihat frekuensi kelas interval tersebut. (dari Tabel 3.4,
fmod = 11)
3) Tentukan Batas bawah kelas interval (bo) tempat modus
berada (dari Tabel 3.4, Bb = 32,5)
4) Tentukan panjang kelas interval p (dari Tabel 3.4, p =
4).
5) Hitung f1, yaitu selisih antara frekuensi kelas modus
dengan frekuensi kelas interval sebelum kelas modus
(dari Tabel 3.4, f1= 11- 6 = 5).
6) Hitung f2, yaitu selisih frekuensi kelas modus dengan
frekuensi kelas interval sesudah kelas modus (dari
Tabel 3.4, f2 = 11 5 = 6).
7) Masukan ke dalam:
f1
Mod=Bb + p ( )
f 1+ f 2
Keterangan:
Mod: datum modus
Bb: Batas bawah kelas interval modus taksiran
p : panjang kelas interval
f1: selisih antara frekuensi kelas interval modus taksiran
dengan frekuensi kelas interval sebelumnya.
f2: selisih antara frekuensi kelas interval modus taksiran
dengan frekuensi kelas interval sesudahnya.
f1
Mod=Bb + p ( )f 1+ f 2

Mod=32,5+ 4 ( 5+65 )
Mod=32,5+1,182=34,52 34

3.4 Sebaran (dispersi)


Deskripsi sekelompok data dapat juga berupa
sebaran data. Sebaran data dapat ditunjukan dengan: (1)
Rentangan (range); (2) Simpangan antar kuartil; (3)
Simpangan baku (standard deviation); dan (4) Ragam atau
varians (variance).

3.4.1 Rentangan (Range)


Rentangan (range) sekumpulan data dapat
digunakan untuk menunjukan sebaran data. Rentang data
dapat diperoleh dari selisih antara skor/nilai terkecil atau
minimum dengan skor/nilai terbesar atau maksimum.
Makin besar range, berarti data makin menyebar.
Contoh 3.16:
(1) Kelompok 1, data: 5, 6, 7, 7, 7, 5, 7, 6, 6, 6
(Rentang: 7-5 = 2)
(2) Kelompok 2, data: 6, 7, 7, 7, 7, 6, 7, 6, 6, 7
(Rentang: 7-6 = 1)
(3) Kelompok 3,data: 2, 3, 3, 4, 5, 6, 6, 7, 8, 9
(Rentang: 9-2 = 7)
(4) Kelompok 4,data: 2, 2, 2, 2, 2, 2, 6, 7, 8, 9
(Rentang: 9-2 = 7)
Berdasarkan ketiga kelompok data tersebut,
tampak bahwa kelompok 3 lebih menyebar (rentang = 7)
daripada kelompok 1 (rentang = 2) maupun kelompok 2
(rentang = 1). Namun demikian, rentangan tidak baik
digunakan untuk gambaran atau deskripsi variasi data.
Artinya, rentangan yang lebih besar belum cukup untuk
menunjukan variasi skor/nilai. Dari contoh di atas rentang
kelompok 3 dan 4 mempunyai rentang yang sama, namun
kelompok 3 datanya lebih bervariasi daripada kelompok 4.

3.4.2 Kuartil dan simpangan antar kuartil


Median membagi data menjadi dua bagian sama
banyak, 50% di bawahnya dan 50% di atasnya. Konsep
Median dapat diperluas lagi dengan membagi data
menjadi empat kelompok secara seimbang yang dibatasi
oleh Kuartil 1 (K1), Kuartil 2 (K2) (sama dengan Median),
dan Kuartil 3 (K3). Sebagai gambaran dapat dilihat pada
ilustrasi berikut:

Oleh karena itu, rumus letak kuartilnya juga dapat


dikembangkan Berdasarkan rumus letak Median yang
secara umum ditulis sebagaimana berikut:
n+1
i ( )
Letak K i : dataurutan ke :
4
Keterangan:
Ki: Kuartil ke i, dimana i = {1, 2, 3}
n : Banyak data
K1 terletak pada urutan data ke 1(n + 1)/4, K 2 terletak pada
urutan ke 2(n+1)/4 atau (n+1)/2, dan K3 terletak pada
urutan ke 3(n+1)/4.
Contoh 3.17: (Untuk banyak data ganjil dan tidak
dikelompokan)
Dari 19 data berikut:
Letak K1: data urutan ke (19+1)/4 = 5, maka K1 = 7
Letak K2: data urutan ke (19+1)/4=10, maka K2=30
Letak K3: data urutan ke (19+1)/4=15, maka K3=34
Contoh 3.18: (Untuk banyak data genap dan tidak
dikelompokan)
Dari 20 data berikut:

Letak K1: data urutan ke (20+1)/4 = 5, maka


K1 = 27+(28-27) = 27,25
Letak K2: data urutan ke (19+1)/4 = 10, maka
K2 = (30+30)/2=30
Letak K3: data urutan ke (19+1)/4 = 15, maka
K3 = 34+(35=34)=34,75
Perlu diperhatikan bahwa secara ideal data merentang
secara kontinyu dari skor/nilai terkecil hingga skor/nilai
terbesar. Dengan demikian, walaupun data yang muncul
datum berupa bilangan bulat, nilai kuartil bisa dalam
bentuk desimal.
Contoh 3.19: (Untuk data yang dikelompokan dalam tabel
distribusi frekuensi)
Untuk menentukan kuartil dari data dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi dapat diikuti langkah-langkah
dari contoh berikut:
Misal, data dalam bentuk tabel distribusi frekuensi seperti
pada Tabel 3.4 di atas dan akan menghitung nilai K 1.
Langkah-langkah menentukan nilai/skor kuartilnya adalah
sebagai berikut:
1) Tentukan letak K1 (L1) berarti data ke dari jumlah
data atau data ke x n (Dari contoh L1= x 28 = 7)
2) Tentukan interval dimana K1 akan berada, yaitu f
yang memuat urutan data ke L1 (dari tabel di atas, f:
(2+6) = 8. Jadi, kelas interval yang memuat urutan
data ke 7 adalah kelas interval 29-32).
3) Hitung panjang kelas interval p (data di atas p = 4).
4) Tentukan batas bawah (Bb) kelas interval yang akan
memuat K1 (dari tabel di atas Bb = 28,5).
5) Lihat dan tandai frekuensi kelas interval (f 1) yang
memuat K1 tersebut (dari tabel di atas fK1 = 6).
6) Jumlahkan seluruh frekuensi sebelum kelas interval
yang memuat K1 (dari tebel di atas, sebelum kelas
interval K1 (dari tabel di atas fs = 2).
7) Masukan ke dalam rumus:
Li f s
K i=Bb + p ( f Ki )
Keterangan:
Ki: Kuartil ke i (dimana i = {1, 2, 3}
Bb: Batas bawah kelas interval yang memuat Ki
p : Panjang kelas interval
Li: Letak Ki
fs: Frekuensi kelas interval sebelum kelas interval Ki
fKi: Frekuensi kelas interval Ki
8) Tentukan/hitung nilai/skor setiap Kuartil, yaitu:
L1 f s
K 1=Bb + p ( f K1 )
K 1=28,5+ 4 ( 72
6 )
=28,5+3,33=31,83

L2 f s
K 2=Bb + p ( f K2 )
K 2=32,5+ 4 ( 148
11 )
=32,5+2,18=34,68

L3 f s
K 3=Bb + p ( fK3 )
K 3=36,5+ 4 ( 2119
5 )
=36,5+1,6=38,1

Simpangan antar kuartil adalah selisih antara K 3


dengan K1 atau jika ditulis dalam bentuk rumus:
SAK = K3 K1
Keteragan:
SAK: Simpangan antar kuartil
K1 : Kuartil pertama
K3 : Kuartil ketiga
Simpangan antar kuartil dapat digunakan untuk
menaksir sebaran data. Makin besar SAK, maka berarti data
makin menyebar.
Contoh 3.20:
Berdasarkan data berikut:
(1) Data 1: 5, 5, 6, 6, 6, 6, 7, 7, 7, 7
(K1= 5,5; K2=6; K3=7; SAK= 1,5)
(2) Data 2: 6, 6, 6, 6, 7, 7, 7, 7, 7, 7
(K1= 6; K2=7; K3=7; SAK= 1)
(3) Data 3 : 2, 3, 3, 4, 5, 6, 6, 7, 8, 9
(K1= 3; K2=5,5; K3=6,5; SAK= 3,5)
(4) Data 4 : 2, 2, 2, 2, 2, 2, 6, 7, 8, 9
(K1= 2; K2=2; K3=6,5; SAK= 4,5)
Pada 3 kelompok pertama, tampak bahwa makin besar S AK
makin besar sebaran datanya. Namun, untuk kelompok
data ke 4, walau pun S AK-nya lebih besar daripada SAK
kelompok 3, sebaran datanya tidak lebih menyebar
daripada kelompok ketiga. Perlu diperhatikan bahwa
penyebabnya adalah karena ada 4 data yang ekstrim.
Enam data pertama adalah 2, sedangkan 4 data berikutnya
6, 7, 8, 9 yang ekstrim dibandingkan dengan 2. Oleh
karena itu, simpangan kuartil ini hanya tepat untuk
mendeskripsikan kelompok data yang tidak ada nilai/skor
yang ekstrim (seperti halnya, Rerata).

3.4.3 Simpangan Rerata, Simpangan baku, dan


varian atau ragam (variance)
Deskripsi sebaran data berikutnya, adalah
simpangan Rerata, simpangan baku, dan varians. Walau
pun disajikan terahir, namun kedua statistik terakhir
(simpangan baku dan varian) akan banyak digunakan.
Penggunaan yang paling sering adalah ketika melakukan
pengujian hipotesis dalam Statistika inferensi. Simpangan
baku terdiri dari dua kata, yaitu simpangan dan baku.
Simpangan Rerata yang dimaksud di sini adalah Rerata
simpangan dari simpangan setiap titik (datum) dari Rerata
seluruh datum (data) dan diberi simbol d . Adapun
simpangan baku adalah Rerata simpangan setiap anggota
data (datum) dengan Rerata keseluruhan yang dijadikan
unit satuan pada distribusi peluang normal. Simbol s
digunakan untuk simpangan baku data sampel dan
(dibaca sigma) untuk simpangan baku pada populasi.
Adapun varians (ragam) adalah simpangan baku
dikuadratkan dengan simbol s2 untuk sampel dan 2 untuk
populasi. Simpangan Rerata dan simpangan baku akan
selalu positif, karena berarti selisih atau beda. Demikian
juga varian, karena varian merupakan kuadrat dari
simpangan baku.

3.4.3.1 Simpangan dan Simpangan Rerata


Dalam lambang statistik simpangan dinyatakan
2
dalam Nilai mutlak. d=| X X|atau d = ( X X ) . Nilai
mutlak itu sendiri, secara matematis didefinisikan sebagai:

{ x ,x 0
|x|=f ( x )= x ,x <0

Berdasarkan pengertian di atas, maka Simpangan


(Rerata simpangan) dapat dinyatakan dalam:

d=
|di|
n
Katerangan:
d : Simpangan (Rerata simpangan)
di: Selisih data ke i (Xi) dengan Rerata data ( X )
n: banyak data
atau
n

( X i X )
2

d= i=1
n
Katerangan:
d : Simpangan (Rerata simpangan)
Xi: data ke i
X : Rerata data
n: banyak data
Seperti halnya Rerata, simpangan Rerata akan
tepat jika digunakan untuk mendeskripsikan sebaran data
yang tidak memiliki datum yang ekstrim. Jika sebaliknya,
maka deskripsi sebaran data dengan simpangan akan
kurang tepat. Sebagai ilustrasi, dapat disimak
Berdasarkani beberapa contoh berikut:
Contoh 3.21:
(1) Data 1: 5 5 5 5 5 5 5 5 5
Rerata : X = 45/9 = 5
Simpangan titik atau di: 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah simpangan titik/datum : di = 0
Simpangan Rerata: d = 0/9 = 0
(2) Data 2: 4 5 5 5 5 5 5 5 6
Rerata : X = 45/9 = 5
Simpangan titik atau di: 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Jumlah simpangan titik/datum atau di= 2
Simpangan Rerata: d = 2/9 = 0,22
(3) Data 3: 3 4 5 5 5 5 5 6 7
Rerata : X = 45/9 = 5
Simpangan titik atau di: 2 1 0 0 0 0 0 1 2
Jumlah simpangan titik/datum atau di= 6
Simpangan Rerata: d = 6/9 = 0,67
(4) Data 4: 2 3 4 5 5 5 6 7 8
Rerata : X = 45/9 = 5
Simpangan titik atau di: 3 2 1 0 0 0 1 2 3
Jumlah simpangan titik/datum atau di= 12
Simpangan Rerata: d = 12/9 = 1,5
(5) Data 1: 3 3 3 3 4 4 5 10 10
Rerata : X = 45/9 = 5
Simpangan titik atau di: 2 2 2 2 1 1 0 5 5
Jumlah simpangan titik/datum atau di= 20
Simpangan Rerata: d = 20/9 = 2,22
Berdasarkan kelima contoh di atas, tampak bahwa
simpangan Rerata, dari contoh data 1 hingga 5, makin
meningkat. Hal tersebut, seiring dengan sebaran datanya
kecuali untuk data 5. Untuk data 5, walaupun simpangan
Rerata-nya lebih besar daripada data 3 da 4, namun
ternyata sebarannya tidak lebih menyebar daripada data 3
maupun data 4. Hal ini dikarenakan pada data 5 terdapat
datum ekstrim (disebut outlier). Oleh karena itu, deskripsi
sebaran data untuk data 5 menjadi kurang tepat.

3.4.3.2 Simpangan baku


Simpangan baku merupakan deskripsi sebaran
data berupa simpangan Rerata khusus. Kekhususannya
adalah bahwa data diasumsikan berdistribusi normal, dan
Simpangan baku merupakan unit satuan terkecil dalam
kurva normal. Lambang Simpangan baku untuk data
sampel adalah s dan untuk data populasi adalah (dibaca
sigma).
Ilmu statistik atau Statistika didasarkan pada ilmu
peluang. Ada beberapa distribusi peluang. Jika ditinjau
dari jenis data variabel-nya dikenal fungsi distribusi
peluang diskrit dan distribusi peluang kontinyu.Tentang
fungsi distribusi peluang normal ini dibahas lebih lanjut
dalam Buku II.
Ilustrasi kurva fungsi distribusi peluang normal
dapat dilihat pada gambar berikut:

Untuk menentukan nilai Simpangan baku (s),


Varians (s2), dan Koefisien variasi (Kv) data sampel
digunakan rumus 3.16a sampai dengan rumus 3.19a .
Untuk Simpangan baku (), Varians (2), dan Koefisien
variasi (Kv) data populasi digunakan Rumus 3.16b sampai
dengan Rumus 3.19b sebagai berikut:
(1) Untuk data yang tidak dikelompokan

|X i X| atau
i=1
s=
n1


n
2
( X i X ) untuk data sampel
i=1
s=
n1

n

( X i )2 untuk data populasi


i=1
=
N
Keterangan:
Xi: Datum ke i dimana i={1, 2, 3, 4, ..., n}
X : Rerata data sampel
: Rerata data populasi
n : banyak data sampel
N: Banyak data Populasi
(2) Untuk data yang dikelompokan

f i|X i X|
s=
i=1 atau
k

f i1
i=1


k
2
f i ( X i X )
s= i=1 untuk data sampel
k

f i1
i=1

f i ( X i ) 2
= i=1 untuk data populasi
k

fi
i =1

Keterangan:
Xi: kelompok datum ke i atau titik tengah kelas intrval
ke i dimana i={1, ..., k}
k : banyak kelompok data atau banyak kelas interval
X : Rerata data sampel
: Rerata data Populasi
f i : frekuensi kelompok datum ke i atau frekuensi
kelas intrval ke i dimana i={1, ..., k}
3.4.3.3 Varians (s ) 2

Varians adalah kuadrat dari Simpangan baku.


Fungsinya, dalam statistika deskriptif, sama dengan
Simpangan baku, yaitu menggambarkan sebaran atau
variasi data. Adapun rumusnya:
n n
2
|X i X| atau
( X i X ) atau
s 2= i=1 s 2= i=1
n1 n1
n

( X i )2
2 = i=1
N
Keterangan:
s: Simpangan baku untuk data sampel
: Simpangan baku untuk data populasi
Xi: Datum ke i dimana i={1, 2, 3, 4, ..., n}
X : Rerata data sampel
: Rerata data populasi
n: banyak data sampel
N: Banyak data Populasi

3.4.3.4 Koefisien variasi (Kv)


Koefisien korelasi adalah varians dikalilak 100%.
Koefisien korelasi digunakan untuk mendeskripsikan
persentase dari sebaran data. Rumusnya adalah:
s
K v= x 100
X

K v= x 100

Keterangan:
Kv: Koefisien variasi
X : Rerata data sampel
: Rerata data populasi
Contoh berikut, menyajikan contoh-contoh untuk
data dari sampel. Dari contoh-contoh di bawah ini,
walaupun Rerata dan jumlah datanya sama, namun
sebaran (heterogenitas) datanya makin menyebar
bersesuaian dengan meningkatnya besaran Simpangan
baku, Varians, dan Koefisien variasinya. Besaran-besaran
Rerata, banyak data, varias, simpangan baku, dan
koefisien variasi contoh 3.21e sama dengan besaran-
besaran pada contoh 3.21d. Namun, ternyata sebaran
(heterogenitas) datanya lebih menyebar (heterogen) pada
contoh 3.21d. Hal ini terjadi karena pada contoh 3.21e ada
datum ekstrim, yaitu 10. Oleh karena itu, apabila ada data
ekstrim deskripsi sebarannya jadi kurang tepat. Biasanya,
dalam analisis statistik data ekstrim ini dikeluarkan
terlebih dahulu dengan alasan bahwa data tersebut
merupakan kasus khusus. Istilah yang biasa digunakan
untuk data ekstrim dalam statistik sering disebut data
outlier.
Contoh 3.21: (Untuk data yang tidak dikelompokan)
Contoh 3.21a:
Contoh 3.21b:

Contoh 3.21c:
Contoh 3.21d:

Contoh 3.21e:
Contoh 3.22: Untuk data yang dikelompokan menurut titik
(kelompok datum)
Contoh-contoh berikut diambil dari data pada
contoh di atas yang kemudian dikelompokan.
Contoh 3.22a:
Contoh 3.22b:

Contoh 3.22c:
Contoh 3.22d:

3.5 Kategorisasi (Konversi Data Berskala Interval


Menjadi Skala Ordinal)
Ada kalanya, dalam deskripsi data atau keperluan
tertentu, diperlukan kategorisasi atau leveling
(pengelompokan peringkat atau order) data yang berskala
interval atau rasio. Untuk kategorisasi data berskala
interval atau rasio diperlukan kriteria batas-batas antar
kategori. Adapun data yang dikategorikan dapat berupa
data ideal (data populasi, dan untuk kepentingan analisis
inferensi) atau data empiris (dari sampel, untuk
kepentingan deskripsi data empiris).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka perlu
ditetapkan karakteristik yang diperlukan untuk
mengelompokan data (kategorisasi). Dalam hal ini,
distribusi populasi diasumsikan berdistribusi normal.
Adapun karakteristik dimaksud adalah:
1) Karakteristik data ideal (dari skor instrumen secara
teoretis)
Skor maksimum ideal:
Skor seandainya responden (siswa) merespon sempurna
(menjawab soal betul semua) disingkat Xmaksid.
Skor minimum ideal:
Skor seandainya responden (siswa) merespon paling
rendah (menjawab soal salah semua) disingkat Xminsid.
Rerata ideal:
( Skor maksimum ideal +Skor minimum ideal )
=
2
Simpangan baku ideal:
(Skor maksimum idealSkor minimum ideal)
=
6
Panjang kelas interval tiap kategori ideal:
1
p= 6
k
2) Karakteristik data empiris (dari skor hasil instrumentasi
pada responden/siswa)
Skor maksimum ideal:
Skor maksimum dari hasil instrumentasi/tes
Skor minimum ideal :
Skor minimum dari hasil instrumentasi/tes
Contoh 3.23:
Seorang periset menyusun instrumen untuk
mengukur penguasaan materi persamaan kuadrat berupa
soal tes berbentuk uraian sebanyak 5 butir (telah duji coba
dan memenuhi validitas dan reliabilitasnya). Skor
minimum idealnya 0 (salah semua), dan skor maksimum
idealnya 24 (betul semua). Setelah diberikan kepada
subjek riset (penelitian), ternyata diperoleh skor terendah 9
dan skor tertinggi 22, retata X =16 , dan simpangan
bakunya, s = 2,1. Skor ini akan digunakan untuk
mengelompokan subjek (siswa) menjadi k kelompok.
Diasumsikan distribusi skor berdistribusi normal.
Bagaimana cara periset tersebut membuat kategori, jika
banyak kategori: (a) 2 kategori; (b) 3 kategori; (c) 4
kategori; dan (d) 5 kategori?.
Jawab:
Buat ilustrasi/sket kurva normal sebagai berikut:

(a) Dua kategori (k=2), kategori penguasaan materi: (1)


Tinggi dan (2) Rendah.
Berdasarkan gambar kurva normal, nampak bahwa
rerata ( atau X ) membagi garis mendatar X
menjadi dua bagian masing-masing (6) atau (6s),
dari rerata ( atau X ) ke atas (3 atau 3s) dan dari
rerata ( atau X ) ke bawah (3 atau 3s). Dengan
demikian, kategorisasi manjadi:
(a.1) Untuk kepentingan analisis inferensi

Kategori 1 (Tinggi):
< Skor Skor maksimum
12 < Skor 24
Kategori 2 (Rendah):
Skor minimum Skor
0 Skor 12
(a.2) Untuk kepentingan deskripsi data empiris
X =16 dan s = 2,1
Kategori 1 (Tinggi):
X < Skor Skor maksimum
16 < Skor < 22
Kategori 2 (Rendah):
Skor minimum Skor
0 Skor 16
(b) Tiga kategori, penguasaan materi: (1) Tinggi, (2)
Sedang, dan (3) Rendah.
Berdasarkan gambar kurva normal, nampak bahwa
batas-batas kategori masing-masing berjarak
(6)=2 atau (6s)=2s. Dengan demikian,
kategorisasinya adalah:
(b.1) Untuk kepentingan analisis inferensi

Kategori 1 (Tinggi):
+1 < Skor Skor maksimum
16 < Skor 24
Kategori 2 (Sedang):
-1 Skor +1
8 < Skor 16
Kategori 3 (Rendah):
Skor minimum Skor -1
0 < Skor 8
(b.2) Untuk kepentingan deskripsi data empiris
X =16 dan s = 2,1
Kategori 1 (Tinggi):
X +1 s < Skor Skor maksimum
18,1 < Skor < 22
Kategori 2 (Sedang):
X 1 s Skor X +1 s
13,9 Skor 18,1
Kategori 3 (Rendah):
Skor minimum Skor X 1 s
9 Skor 13,9
(c) Empat kategori, penguasaan materi: (1) Sangat
Tinggi, (2) Tinggi, (3) Rendah, dan (4) Sangat
Rendah.

Berdasarkan gambar kurva normal, nampak bahwa


batas-batas kategori masing-masing berjarak (6)
=1,5 atau (6s) =1,5s. Dengan demikian,
kategorisasinya adalah:
(c.1) Untuk kepentingan analisis inferensi

Kategori 1 (Sangat Tinggi):


+1,5 < Skor Skor maksimum
18 < Skor 24
Kategori 2 (Tinggi):
Skor +1,5
12 < Skor 18
Kategori 3 (Rendah):
-1,5 Skor
6 < Skor 12
Kategori 4 (Sangat Rendah):
Skor minimum Skor -1,5
0 Skor 6
(c.2) Untuk kepentingan deskripsi data empiris
X =16 dan s = 2,1
Kategori 1 (Tinggi):
X +1,5 s < Skor Skor maksimum
19,15 < Skor 22
Kategori 2 (Sedang):
X Skor X +1,5 s
16 < Skor 19,15
Kategori 3 (Rendah):
X 1,5 s < Skor X
12,85 < Skor 16
Kategori 4 (Sangat Rendah):
Skor minimum < Skor X 1,5 s
9 < Skor 12,85
(d) Lima kategori, penguasaan materi: (1) Sangat Tinggi,
(2) Tinggi, (3) Cukup Rendah, (4) Rendah, dan (5)
Sangat Rendah.
Berdasarkan gambar kurva normal, nampak bahwa
batas-batas kategori masing-masing berjarak
1 1
( 6 ) =1,2 atau ( 6 s )=1,2 s .
5 5
Dengan demikian, kategorisasinya adalah:

(d.1) Untuk kepentingan analisis inferensi

Kategori 1 (Sangat Tinggi):


+1,8 < Skor Skor maksimum
19,2 < Skor 24
Kategori 2 (Tinggi):
+0,6 Skor +1,8
14,4 < Skor 19,2
Kategori 3 (Cukup Tinggi):
-0,6 < Skor +0,6
9,6 < Skor 14,4
Kategori 4 (Rendah):
-1,8 < Skor -06
4,8 < Skor 9,6
Kategori 5 (Sangat Rendah):
Skor minimum Skor -1,8
0 Skor 4,8
(d.2) Untuk kepentingan deskripsi data empiris

Kategori 1 (Sangat Tinggi):


X +1,8s < Skor Skor maksimum
19,78 < Skor 24
Kategori 2 (Tinggi):
X +0,6s Skor X +1,8s
17,26 < Skor 19,78
Kategori 3 (Cukup Tinggi):
X -0,6s < Skor X +0,6s
15,74 < Skor 17,26
Kategori 4 (Rendah):
X -1,8s < Skor X -06s
12,22 < Skor 15,74
Kategori 5 (Sangat Rendah):
Skor minimum Skor X -1,8s
9 Skor 12,22
Langkah-langkah sebagaimana contoh di atas
dapat digunakan dalam kegiatan konversi dari skor hasil
ulangan atau ujian menjadi nilai ulangan atau ujian. Jika
menggunakan skala 11 (dari 0 sampai dengan 10), maka
panjang kelas intervalnya menjadi:

Nilai 5 diperoleh apabila X 0,275 s< Skor < X+ 0,275 s


3.6 Tabulasi Silang (Cross Tabulation)
Untuk memperjelas deskripsi dari dua variabel atau
lebih yang saling terkait diperlukan tabulasi silang atau
Tabel Distribusi Frekuensi Bersama. Tabulasi silang
disusun berupa matrik berdasarkan variasi dari variabel
yang saling terkait. Data yang tepat dideskripsikan dengan
tabulasi silang adalah data dari variabel beskala nominal
atau ordinal. Jika dua variabel terdiri dari variabel bebas
dan variabel terikat, maka variatif atau kategori variabel
terikat diposisikan sebagai baris, dan variatif atau kategori
variabel bebas diposisikan pada kolom. Bentuk matrik
tabulasi silang secara umum dapat dilihat pada Gambar
3.7 berikut.

Gambar 3.7: Bentuk umum Matrik Tabulasi Silang dua


Variabel
Contoh 3.24:
Suatu sekolah setiap tahun menjadwalkan kegiatan
Study Tour ke luar kota dengan lokasi sasaran
pegunungan, pantai, dan Kota besar. Untuk
mengoptimalkan layanannya, kepala sekolah tersebut
ingin mengetahui deskripsi antara Profesi Orang Tua siswa
dengan pilihan lokasi study tour yang dipilih siswanya.
Bentuk Tabulasi Silang yang dapat disusun adalah sebagai
berikut.

Contoh 3.25:
Seseorang guru olahraga ingin mengetahui
gambaran keterkaitan antara Jenis kelamin (1. Pria; 2
Wanita) dengan rutinitas olahraga (1. Rutin atau terjadwal;
2. Tidak rutin atau tidak terjadwal). Tabulasi Silang untuk
mendeskripsikan keterkaitan dimaksud dapat disusun
sebagaimana Tabel 3.7 berikut.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Irianto. 2007. Statistik: Konsep Dasar dan


Aplikasinya. Jakarta: Prenada Madia Grup.
Allen, Mary J.; Yen, Wendy M. 1979. Introduction do
measurement theory. Monterey, California:
Brooks/Cole Publishing.
Anastasi, Anne; Susana, Urbina. 1998. Tes psikologi. Edisi
Bahasa Indonesia. Jilid 1 Singapore: Simon and
Schulter (Asia) Pte Ltd.
-----------. 1998. Tes psikologi. Edisi Bahasa Indonesia.
Jilid 2 Singapore: Simon and Schulter (Asia) Pte
Ltd.
Anto Dajan. 1986. Pengantar Metode Statistik Jilid I.
Jakarta: LP3ES.
Butler, Christopher (Trj. Suryanto). 1995. Statistika dalam
linguistik. Bandung: ITB.
Djaali dan Pudji Muljono. 2008. Pengukuran dalam
bidang pendidikan. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Erman Suherman dan Yaya Sukjaya. 1990. Petunjuk
Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi
Pendidikan Matematika. Bandung:
Wijayakusumah.
Fernandes, H. J. X.. 1984. Testing and Measurement.
Jakarta: National Education Planning, Evaluation
and Curriculum Development.
Fraenkel, Jack R., Wallen, Norman E. tt. How do design
and evaluate Research in Education. Seventh
edition. Boston: McGraw-Hill Higher Education.
Gronlund, Norman E. 1982. Constructing Achievement
Tests. New York: Prentice-Hall Inc.
-----------. 1985. Measurement and Evaluation in Teaching.
New York: Macmillan Publishing Company.
Gulliksen, Harold. 1986. Perspective on Educational
Measurement. Journal of Applied Psychological
Measurement, Vol.10, No.2, pp 109 132.
Hatch, Evelyn; Farhady, Hossein. 1982. Research desing
and statistis for linguistis. Rowley,
Massachusetts: Newbury House Publisher, Inc.
Hulin, Charles L.; Drasgow, Fritz; Parson, Charles K.
1983. Item respons theory. Application do
psychological measurement. Homewood, Illinois:
Dow Jones-Irvin.
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. 1985. Metode
Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Medley Donald M., Homer Coker dan Robert S. Soar.
1984. Measurement-Based Evaluation of Teacher
Performance An Empirical Approach. New York:
Logman Inc.
Mendenhall, William; Ott, Lyman; Larson, Richard F.
1974. Statistics: A tol for the social sciences.
Belmont, California: Wadsworth Publishing
Company, Inc.
Nitko, Anthony J. 1983. Educational Tests and
Measurement An Introduction. New York:
Harcourt Brace Jovanovich Inc.
Olson, Charles L. 1987. Statistics. Makin sense of data.
Massachusets: Allyn And Bacon, Inc.
Popham, W. James; Sirotnik, Kenneth A. 1973.
Educational Statistics use and interpretation.
Second edition. New York: Harper & Row
Publishers.
Popham, W. James. 1974. Evaluation in Education
Current Applications. Berkeley: McCutcham.
-----------. 1981. Modern Educational Measurement. New
York: Prentice-Hall Inc.
Pratiknyo Prawironegoro. 1981. Teknik Evaluasi Bagian II
Penilaian dengan Non Tes dalam Proses Belajar
Mengajar Evaluasi Hasil Belajar Khusus
Analisis Soal Bidang Studi Matematika. Jakarta:
Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti.
Saifuddin Azwar. 1986. Reliabilitas dan Validitas:
Interpretasi dan Komputasi. Yogyakarta: Liberty.
Scheaffer, Richard L., Mendenhall, William & Ott,
Lyman. 1979. Elementary survey sampling.
Massachusetts: Duxbury Press.
Sudjana. 2005. Metoda statistika. Bandung: Tarsito.
Sumadi Suryabrata. 1987. Pengembangan tes hasil
belajar. Jakarta: Rajawali.
Suryatna Rafii. 1985. Teknik Evaluasi. Bandung: Angkasa
Thorndike, Robert L dan Elizabeth P. Hagen. 1977.
Measurement and Evaluation in Psychology and
Education. New York: John Wiley and Sons.
Tuckman, Bruce W. 1988. Conducting Educational
Research, diterjemahkan oleh Suhardjo
Danusastro. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Walpole, Ronald E.; Myers, Reymond H. (Trj. Sembiring,
R. K.). 1995. Ilmu peluang dan statistika untuk
insinyur dan ilmuwan. Bandung: ITB.
Warwick, Donald P. dan Charles A. Lininger. 1975. The
Sample Survey: Theory and Practice. New York:
McGraw-Hill Inc.
Lewis R. Aiken, Content Validity and Reliability
of Single Items or Questionnaires,
Educational and Psychologcal
Measurement, No. 40, 1980, h. 956
RIWAYAT HIDUP
Aan Juhana Senjaya, lahir di
Tasikmalaya pada tanggal 13 Nopember
1957 sebagai anak kedua dari sembilan
bersaudara. dari pasangan Bapak Abidin
Suryaman dan Ibu Juhanah. Ayah
seorang guru, sedangkan ibu sebagai ibu
rumah tangga.
Menempuh pendidikan Sekolah Dasar (SD)
berpindah-pindah sekolah, mulai dari SD Rakyat di
Kecamatan Indihiang Tasikmalaya, kemudian pindah ke
SD Pengadilan 1 di Kecamatan Tawang Kabupaten
Tasikmalaya, dan SD Parakanyasag Kecamatan Indihiang
Tasikmalaya. Kelas 5 hingga menjelang ujian SD
menempuh pelajaran di SD Dian (sekarang SD Angkasa)
jalan Pajajaran Bandung dan menamatkan SD di SD
Jajaway 2 Tasikmalaya tahun 1971. Setamat SD
melanjutkan ke SMP Negeri 2 Tasikmalaya (lulus tahun
1974). Melanjutkan ke SMA Negeri 1 Tasikmalaya dengan
mengambil jurusan IPA (lulus tahun 1977).
Menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi
diawali dengan mengambil Jurusan Pendidikan Ilmu Pasti
(sekarang Matematika) di IKIP Yogyakarta (Sekarang
UNY) dan mendapat ijazah Sarjana Muda pada tahun
1981. Melanjutkan ke tingkat doktoral (sekarang S-1) di
Perguruan Tinggi dan jurusan yang sama dan mendapat
ijazah Sarjana Pendidikan matematika pada tahun 1983.
Tahun 1990 melanjutkan studi ke jenjang S-2 di IKIP
Jakarta Kelompok Penyelenggara Kuliah (KPK) IKIP
Yogyakarta dengan mengambil Jurusan Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan (PEP) lulus tahun 1993. Tahun 2010
melanjutkan studi ke jenjang S-3 Jurusan Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan (PEP) di Universitas Negeri Jakarta
dan lulus tahun 2016.
Jenjang karir dimulai setelah lulus S-1 dan pulang
ke daerah kelahiran Tasikmalaya menjadi Dosen tetap
Yayasan di Universitas Siliwangi Tasikmalaya (1983-
1986). Di samping itu, mengajar pula di SMA Negeri 3
dan SMA Galunggung Tasikmalaya (1983-1986). Mulai
tahun 1986 menjadi PNS di bawah naungan Kopertis
Wilayah IV Jawa Barat (sekarang Jawa Barat dan Banten)
dengan status dipekerjakan (dpk) di Universitas Wiralodra
Indramayu. Setelah menjadi dosen dpk di Universitas
Wiralodra, di Universitas Siliwangi Tasikmalaya masih
tercatat dan aktif sebagai dosen tidak tetap hingga tahun
1990.
Selain sebagai tenaga pengajar (Dosen) inti dengan
Jabatan Fungsional Lektor Kepala (2005) pada Jurusan
Pendidikan Matematika FKIP Universitas Wiralodra
Indramayu, juga mengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, dan
Pendidikan Biologi pada Fakultas yang sama. Pernah
mengajar di Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik, FISIP,
dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Wiralodra
Indramayu. Pernah menjadi Tutor Program penyetaraan D-
2 dan S-1 Universitas Terbuka (1996-1998), dosen
Matematika di AMIK Purnama Niaga Indramayu (2000-
2001) dan Kebidanan POLTEK Kesehatan Tasikmalaya di
Cirebon (2003).
Karya tulis yang pernah dibuat diantaranya:
Pengantar Pemograman BASIC (penulis, 1986); Permainan
Matematika dan Pengembangannya (penulis, 1987);
Pemanfaatan Bahasa Pemograman BASIC untuk Penilaian
(penulis, 1988); Permainan Matematika menentukan
jumlah (penulis, 1989); Faktor-faktor penentu tingkat
penguasaan dasar matematika mahasiswa PGSD (penulis,
1993); Komputer selayang pandang (penulis, 1993);
Kemampuan verbal matematika (1993); Program Failing
dengan Turbo BASIC (1993); Psikologi kepemimpinan
teknik mempengaruhi orang lain (penulis, 1995); Problem
solving (penulis, 1995); Kalkulus I (Anggota Tim
Penyusun Bahan ajar untuk PTS, 1996); Aljabar Linier
(Anggota Tim Penyusun Bahan ajar untuk PTS, 1996);
Menelusuri Konsekuensi Logis Penerapan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) Sebagai Bahan Penyusunan
Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) (penulis, 2004)
Analisis Swot Dalam Pendidikan Dan Persekolahan
(penulis, 2012); Kiat Menulis Artikel Untuk Jurnal Ilmiah
(Penelitian dan Konseptual (penulis, 2015); Filsafat
pengetahuan, Ilmu, dan Sains Suatu pengenalan awal
(penulis, 2016). Sedang menyusun buku referensi
Statistika Terapan untuk Riset (Penelitian) Bidang
Pendidikan dan Pengajaran
Jabatan struktural yang pernah diduduki adalah
sebagai Sekretaris Jurusan Program Diploma Pendidikan
Matematika Universitas Siliwangi (1984-1988); Pembantu
Dekan I FKIP Universitas Wiralodra (1994-1995); Kepala
Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan (1995-
1998); Ketua Lembaga Penelitian (1994-1998); Pembantu
Rektor I (1998-1999); Ketua Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (1999-2002); dipercaya
sebagai Rektor periode 2002-2006; Pjs Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat (2005-2006); Dekan FKIP periode
2006-2010 dan periode 2010-2014.
Aktivitas pada organisasi sosial dan
kemasyarakatan yang pernah dan sedang dijalani adalah:
Anggota ICMI (Ketua Bidang Litbang 1998-2002);
Anggota Dewan Pakar (2009-2013); Ketua Bidang
Pengembangan SDM pada DEKOPINDA Kabupaten
Indramayu (1999-2004); Ketua Umum DEKOPINDA
Kabupaten Indramayu (2005-2010) dan mendapat
penghargaan Satya Lencana Bhakti Koperasi dari
Kementrian Koperasi dan KUKM (2011); Anggota
Litbang LPTQ Kabupaten Indramayu (2001); sebagai
Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Indramayu (2002-
2010); sebagai Ketua Umum Federasi Panjat Tebing
Indonesia (FPTI) Cabang Indramayu periode 2004-2006;
anggota Badan Akreditasi Sekolah (BAS) Kabupaten
Indramayu (2004-2007); sebagai Ketua Cabang, Ketua
Jaringan, dan Asisten Guru Besar Olah Raga Pernafasan
Maju Sehat Bersama (MAHATMA) di bawah Yayasan
MAHATMA Indonesia dari 2005 hingga sekarang.

Anda mungkin juga menyukai