Anda di halaman 1dari 7

Upacara Ritual Buddhist

untuk

Pembersihaan Suasana Tempat

Cahya Dharma

Sekolah Tinggi Agama Buddha


Dharmawidya

Serpong 2013
Pendahuluan

Upacara ritual pembersihan suasana atau tempat merupakan hal yang dilakukan saat
kita menempati suatu tempat yang baru. Tempat itu bisa digunakan untuk membuka usaha
baru ataupun tempat tinggal dan lain-lain. Upacara ritual pembersihan tempat inipun
bermacam-macam. Sesuai dengan suku atau keturunan dan keyakinan ajaran agama setiap
orang. Upacara menurut kamus bahasa Indonesia adalah perbuatan atau perayaan yg
dilakukan atau diadakan sehubungan dng peristiwa penting. Upacara artinya Upacara adalah
rangkain tindakan terorganisir dengan tatanan atau aturan tertentu yang mengedepankan
berbagai tanda atau symbol simbol kebesaran dan menggunakan cara-cara yang ekspresif
dari hubungan social, terkait dengan suatu tujuan atau peristiwa yang penting. Jadi upacara
adalah Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai dengan tradisi
dan perkembangan jaman asalkan selalu di dasarkan pada pandangan benar. Ritual adalah
tata cara dalam pelaksanaan upacara. Pembersihan tempat adalah tindakan membebaskan
tempat dari sesuatu yang menggangu baik yang terlihat maupun tidak terlihat.

Upacara ritual ini berguna untuk membersihkan tempat dari makhluk-makhluk yang
merugikan kita atau yang tidak baik untuk kita dengan cara memancarkan cinta kasih agar
mereka pergi dengan damai tanpa rasa dendam. Makhluk yang dimaksud adalah makhluk
yang berasal dari 4 alam apaya (alam rendah) alam yang tidak menyenangkan (duggati
bhumi) baik itu binatang, makhluk peta dan asura serta neraka.

Makalah upacara ritual tentang pembersihan suasana ini dibuat bertujuan untuk
memberitahu pengetahuan kepada para pembaca terutama pembaca makalah ini agar tahu
bagaimana tata upacara ritual pembersihan yang benar sesuai dengan ajaran agama Buddha.
Harapan dari penulis adalah agar para pembaca juga memberitahukan tata cara upacara ritual
pembersihan tempat yang benar kepada yang lain.
Isi

Upacara ritual pembersihan suasana tempat ini bukan suatu keharusan mesti diadakan
saat menempati tempat baru. Upacara ini dilakukan bagi mereka yang ingin mengadakan
upacara ritual sesuai dengan ajaran agama Buddha. Upacara ini dilakukan untuk mengusir
mereka yang merugikan kita. Kata mengusir ini bukan mengusir mereka dengan paksa tetapi
mempersilahkan mereka pergi dengan tenang dan damai dengan cara memancarkan cinta
kasih dari paritta-paritta yang dibacakan, meditasi cinta kasih (Metta Bhavana). Memang
tidak semua mereka pergi tetapi minimal mereka tidak menggangu dan merugikan kita.
Mereka juga bisa menjaga kita dari hal yang negatif jika kita tidak menggangu mereka dan
selalu melimpahkan jasa dan memancarkan cinta kasih kepada mereka. Makhluk yang
dimaksud adalah jin, setan, tikus, ular dan lain-lain.
Berikut adalah tata cara upacara ritual untuk membersihakan suasana atau tempat :

- Pembacaan paritta tanpa kehadiran bhikkhu


o Namakaragatha (dihadapan altar Buddha)
o Vandana
o Tisarana
o Buddhanussati
o Dhammanussati
o Sanghanussati
o Saccakiriya gatha
o Karaniyametta sutta (bait 8, 9, 10)
o Khanda paritta (mulai dari Appamano Buddho..)
o Atanatiya paritta
o Abhaya paritta atau Dhajagga paritta
o Sumangala gatha II ( pemercikan air )

Paritta diatas memiliki arti tersendiri. Berikut beberapa sejarah paritta sehingga
bisa digunakan untuk Upacara Ritual Pembersihan Ritual.

Karaniyametta sutta
Paritta ini terdapat dalam sutta nipata. Pada suatu ketika lima ratus orang
bhikkhu sampai kehutan untuk berlatih meditasi. Dewa-dewi yang tinggal
disana, yaitu diatas pohon, merasa terganggu. Mereka terpaksa turun
ketanah menghormati Bhikkhu-bhikkhu tersebut (supaya mereka tidak
duduk lebih tinggi dari para Bhikkhu). Setelah beberapa hari kemudian
dewa-dewi itu merasa hampa lalu menjelma sebagai hantu dan memekik
untuk menghalau mereka. Bhikkhu-bhikkhu itu kembali pada Sang
Buddha untuk mendapat nasehat. Sang Buddha mengajarkan mereka Sutta
ini. Setelah itu dewa-dewi merasakan kasih sayang yang dipancarkan dan
mereka tidak menghalau para bhikkhu lagi. Paritta kasih sayang ini
dibacakan supaya dewa dan hantu tidak membahayakan dan menggangu
mereka.
Khanda paritta
Dalam buku Cula Vagga (Vinaya Pitaka) terdapat kisah seorang Bhikkhu
yang meninggal karena digigit ular. Sang Buddha memberitahu
penganutnya bahwa Bhikkhu patut memancarkan pikiran kasih sayang
kepada ular dengan mengajarkan paritta ini kepada mereka untuk
mendapatkan perlindungan. Paritta ini digunakan untuk sebagai suatu
perlindungan dari ular dan semua makhluk terutama saat di hutan.
Atanatiya paritta
Terdapat dalam Digha Nikaya memberitahu bahwa Maharajika (dewa)
Vesavaba (Kuvera) berjumpa dengan Sang Buddha dan mengucapkan
paritta ini supaya dilindungi dari Yakkha dan Dewa jahat lainnya.
Abhaya paritta
Paritta yang digunakan untuk perlindungan terhadap tanda-tanda jelek,
mimpi buruk dan lain-lain.
Dhajagga paritta
Dalam Samyutta Nikaya, Sang Buddha memberitahu pengikutnya bahwa
Dewa Raja Sakka meminta dewa-dewa melihat Panji Ketua Dewa
Pajapati, Varuna dan Isana, apabila mereka merasa takut sewaktu
bertempur dengan Asura. Oleh karena itu pengikut Sang Buddha apabila
seorang Bhikkhu atau umat merasa takut, gemetar atau bulu roma berdiri,
dia patut mengingat kepada Buddha, Dhamma, Sangha. Dengan ini semua
perasaan itu akan hilang. Paritta ini adalah untuk menghapuskan segala
ketakutan, gemetar dan bulu roma berdiri.
- Pembacaan paritta dengan kehadiran bhikkhu Sangha
o Namakara Gatha (dihadapan altar Buddha)
o Aradahana Tisarana Pancasila (permohonan sila)
o Aradhana Paritta ( permohonan paritta)
o Aradhana Dhammadesana
o Amisa Puja dari keluarga yang mempunyai tempat
o Blessing air berkah/Paritta
o Bersujud kepada Bhikkhu Sangha
o Namakara Gatha

Selain pembacaan paritta juga bisa dilengkapkan dengan pelimpahan jasa yaitu bisa
dengan cara mengundang para bhikkhu supaya pemiliki tempat serta umat lain bisa berdana
makanan kepada para bhikkhu. Selain itu juga bisa dengan cara berdana jubah atau
perlengkapan bhikkhu kepada bhikkhu Sangha saat berada di tempat itu.

Tata cara menuang air pelimpahan jasa adalah suatu hal yang harus dilakukan dengan
bernar dan penuh dengan keyakinan agar perbuatan kita bisa diterima sanak keluarga kita dan
makhluk yang ada di tempat itu. Cara menuang airnya adalah:

- Air yang digunakan untuk upacara pelimpahan jasa dituang saat


bhikkhu/samanera membacakan syair pelimpahan jasa (yatha varivaha ...).
Saat menuangkan air bisa mengucapkan doa-doa kita agar jasa yang kita
lakukan bisa diterima. Saat menuang air, tidak perlu dituang memutar dan
menyodorkan jari tangan menyentuh air yang tertuang. Setelah
bhikkhu/samanera mulai mengucapkan syair anumodana (sabbitiyo..) air
yang dituang diusahakan telah tertuang habis. Selanjutnya umat beranjali
dan mendengarkan pembacaan syair ini. Setelah selesai bersujud kepada
bhikkhu/samanera. Kemudian air tersebut dibuang ke pepohonan/tanaman
atau dituang kembali kealam (tanah). Penuangan air ini sekedar sebagai
simbol pelimpahan jasa.
Pelimpahan jasa ini ada karena ada penyebabnya yaitu Raja Bimbisara
suatu ketika mengundang Sang Buddha dan seluruh bhikkhu ke istana.
Raja dalam kesempatan itu mempersembahkan dana makan serta jubah.
Setelah berdana, raja merasakan kebahagiaan. Akan tetapi pada malam
harinya raja memperoleh banyak gangguan dari para makhluk tak tampak.
Buddha menerangkan bahwa para makhluk yang mengganggu itu
sebenarnya adalah sanak keluarga raja sendiri dari banyak kehidupan yang
lalu.Namun, karena mereka telah melakukan kesalahan, mereka kemudian
terlahir di alam menderita, alam setan kelaparan. Oleh karena itu, Buddha
kemudian menyarankan kepada raja agar ia sekali lagi mengundang para
bhikkhu ke istana. Bila para bhikkhu telah sampai di istana, raja
hendaknya mempersembahkan dana makanan dan jubah atas nama para
makhluk menderita yang pernah menjadi saudaranya itu. Keesokan
harinya, raja Bimbisara mengundang para bhikkhu dan Buddha untuk
menerima persembahan dana makan dan jubah. Kemudian jasa
kebaikannya dilimpahkan kepada mereka.Para makhluk menderita itu
merasakan pula kebahagiaan yang luar biasa.Kebahagiaan inilah yang
menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir kembali di
alam bahagia. Dalam kesempatan itulah Buddha membabarkan
Tirokuddha Sutta.Buddha bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-
gerbang, di persimpangan-persimpangan jalan banyak keluarga kita yang
terlahir di alam menderita menunggu kebaikan hati kita.Mereka menanti
pelimpahan jasa kita dengan penuh kesedihan.Ketika sanak keluarganya
berpesta pora dan menikmati kebahagiaan, tidak ada satu pun di antara
mereka yang diingat. Padahal di sana tidak ada perdagangan, tidak ada
warung dan restoran. Lalu bagaimana caranya kita menolong mereka. Kita
bisa menolong mereka dengan melakukan kebaikan, dan melimpahkan
jasanya kepada mereka.
Kesimpulan

Upacara ini dilakukan dengan tujuan yang baik bukan semata-mata untuk
menunjukkan kemewahan atas yang dimiliki. Upacara ini bukan suatu kewajiban bagi
pemiliki tempat baru. Tidak perlu pesta yang mewah untuk pembersihan suatu tempat. Yang
penting dilakukan dengan tekad dan keyakinan yang kuat dan tulus ikhlas dalam berdana,
membaca paritta dan melakukan pelimpahan jasa.

Daftar pustaka

1. Wakito. (2006). Kamus Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Wahyumedia.


2. Wijaya-Mukti, Krishnanda. 2006. Wacana Buddha dan Dharma. Jakarta : Yayasan Darma
Pembangunan.
3. Sangha Theravada Indonesia. 2005. Paritta suci. Jakarta; Yayasan Sangha Theravada
Indonesia. h. 14-16.
4. Phra Mahawirat Khemacari. 2012. Paritta suci dan kebaktian pagi-sore. Jakarta:
Buddha Metta Arama. h. 13-17.
5. Tuntunan Kebaktian Paritta Suci. Usaha Bersama.

Anda mungkin juga menyukai