Anda di halaman 1dari 28

Tinjauan Pustaka

Syok Hipovolemik pada Pasien Trauma


Tumpul
Edwinda Desy Ratu

Mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510

Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email: edwindadr@ymail.com

Pendahuluan

Syok adalah suatu sindroma klinis dimana terdapat kegagalan dalam hal mengatur
peredaran darah dengan akibat terjadinya kegagalan untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Kegagalan sirkulasi biasanya disebabkan oleh kehilangan cairan
(hipovolemik), Karena kegagalan pompa atau karena perubahan resistensi vaskuler perifer. 1

Renjatan hipovolemik terjadi sebagai akibat berkuranagnya volume darah


intravaskuler. Jenis renjatan ini yang paling banyak dijumpai dan merupakan penyebab
kematian terbanyak pada anak. Diseluruh dunia terdapat 6-20 juta kematian tiap tahun,
meskipun penyebab nya berbeda-beda tiap negara. Dinegara berkembang penyebab
utama hipovolemik adalah diare akut dan demam berdarah dengue, sedang dinegara maju
penyebab terbanyak hipovolemik adalah perdaraha akibat trauma. 2

Kehilangan cairan yang cepat dan banyak menurunkan preload ventrikel sehingga
terjadi penurunan isi sekuncup dan curah jantung sehingga terjadi penurunan hantaran
oksigen kejaringan tubuh. Pada renjatan karena perdarahan, selain terjadi penurunan

1
cardiac output juga terjadi pengurangan haemoglobin, sehingga transport dari oksigen ke
jaringan makin berkurang.1

Anamnesis
Pada pasien dengan cedera akibat kecelakaan kendaraan bermotor, anamnesis
riwayat trauma harus menyertakan kecepatan kendaraan, tipe tabrakan (tabrakan frontal,
lateral, geseran samping, belakang atau terguling), desakan kendaraan terhadap
kompartemen penumpang, tipe pengaman, adanya airbag, posisi pasien di kendaraan, dan
keadaan penumpang. Informasi ini dapat diperoleh dari pasien, penumpang lain, polisi, atau
petugas ambulans. Informasi mengenai tanda vital, cedera yang jelas terlihatm dan respon
dari terapi prahospital harus disampaikan oleh petugas prahospital.1
Pada orang yang sehat, kehilangan darah yang substansial atau derajat kehilangan
cairan bisa ditoleransi tanpa temuan klinis yang bermakna dan kehilangan selanjutnya bisa
menyebabkan syok yang sangat berbahaya. Dapatkan anamnesis lengkap mengenai cairan
yang masuk dan keluar. Dapatkan informasi dari pasien, kerabat, perawat, bagan
keseimbangan cairan, catatan anestesi, dan berat badan harian. Gejala hipovolemia bisa
berupa;
letargi dan kelelahan umum
pusing postural
haus
mulut kering
keluaran urin berkurang
merasa dingin
menggigil
sulit bernapas
perubahan status mental
Syok adalah manifestasi klinik yang penting. Syok harus segera dikenali dan diagnosis
penyebabnya harus ditegakkan secara akurat. Anamnesis yang dapat dilakukan adalah;
Kapan awal penyakit? Apa gejalanya?
Pernahkah nyeri dada, hemoptisis, atau sesak nafas?
Adakah gejala yang menunjukkan penurunan volume?2

2
Pemeriksaan Fisik
1. Status mental.2
Perubahan dalam sensorium merupakan tanda khas dari stadium syok. Ansietas,
tidak bisa tenang, takut, apatis, stupor, atau koma dapat ditemukan. Kelainan-kelaian ini
menunjukkan adanya perfusi cerebral yang menurun.
2. Tanda-tanda Syok
Bila syok disebabkan oleh kehilangan darah atau cairan, tanda-tandanya adalah:
Penurunan tekanan darah
Kenaikan frekuensi nadi
Pucat
Berkeringat
Kulit dingin
Singkatnya, syok telah terjadi bila pasien yang sebelumnya hangat, kering, merah jambu,
dan dengan nadi bagus, menjadi dingin, lembap dan pucat, dengan nadi buruk.1
a. Nadi
Lihat dan awasi nadi pasien dengan seksama, dengan memperhatikan khusus:
Kecepatan
Volume, yang menunjukkan tekanan darah
Irama, aritmia tidak jarang pada anestesia, tetapi maknanya tidak selalu jelas.
Nadi mudah di amati pada:
A. temporalis superficialis tepat di depan tragus
A. facialis di mana ini menyilang mandibulum, langsung di depan M. Masseter
A. carotis di leher khususnya jika nadi tidak teraba di tempat lain
A. radialis
A. dorsalis pedis tepat di samping (lateral) tendo ekstensor ibu jari kaki.
Jika pada operasi besar, tensimeter dan stetoskop harus melekat ke lengan
pasien dan pengecekan nadi dan tekanan darah setiap sepuluh menit dicatat pada
sebuah kartu. Informasi yang didapat dari observasi ini bernilai, tetapi tidak
menggantikan penilaian klinik yang baik juga pengawasan kartu tidak harus meng-
alihkan ahli anestesia dan tugasnya yang lebih penting.
b. Warna: Perhatikan tidak hanya sianosis tetapi juga kepucatan. Ini juga dilihat pertama
pada cuping telinga.

3
c. Kulit: Sentuh pasien untuk memperhatikan adanya keringatan dan suhu kulit kira-kira.
d. Kehilangan darah: Taksir selalu jumlah darah yang hilang. Sekurang-kurangnya pasien
dapat diklasifiksikan sebagai: berdarah banyak, berdarah sedang, tidak berdarah
banyak.
e. Pernapasan: Takipnea adalah karakteristik dan alkalosis respiratorius sering
ditemukan apda tahap awal dari syok.
Adanya syok memerlukan terapi segera, serta tegakkan diagnosis akurat. Periksa
dengan teliti status hidrasi;
Periksa turgor kulit
Periksa membran mukosa
Periksa JVP, meningkat atau menurun.
Periksa semua kemungkinan sumber kehilangan volume (misalnya ruptur aneurisma
aorta, pendarahan gastrointestinal, dan lain-lain). Periksa tanda-tanda penyakit jantung atau
pernapasan mayor. Periksa dengan teliti tanda-tanda sepsis dan patologi abdomen. Periksa
tanda-tanda yang sesuai dengan reaksi anafilaktik.2
3. Pemeriksaan Fisik Abdomen1
Pemeriksaan abdomen paling baik dilakukan pada pasien dalam keadaan berbaring
dan relaks, kedua lengan berada disamping, dan pasien bemapas melalui mulut. Pasien
diminta untuk menekukkan kedua lutut dan pinggulnya sehingga otot-otot abdomen
menjadi relaks Dokter yang memeriksa harus merasa nyaman dan relaks, dan oleh sebab
itu ranjang harus dinaikkan atau pemeriksa berlutut di samping tempat tidur. Tangan
pemeriksa harus hangat untuk menghindari terjadinya refleks tahanan otot oleh pasien.
a. Inspeksi
Setelah melakukan inspeksi menyeluruh dan keadaaan sekitarnya secara cepat,
perhatikan abdomen untuk memeriksa hal berikut ini:
Apakah abdomen dapat bergerak tanpa hambatan ketika pasien bemapas?
Apakah pasien menderita nyeri abdominal yang nyata?
Apakah pasien menderita iritasi peritoneum, yaitu pergerakan abdomen menjadi
terbatas?
Apakah terdapat distensi abdominal yang nyata?
Apakah terdapat vena-vena yang berdilatasi?
Apakah terdapat gerakan peristaltik yang dapat terlihat?

4
Apakah terdapat kelainan-kelainan lain yang dapat terlihat?
Vena-vena yang mengalami dilatasi dapat dijumpai jika darah yang kembali dari
saluran cerna menuju hati tidak dapat melalui hati karena terjadi peningkatan
tekanan atau trombosit pada vena porta (ketika darah mengalir dari saluran cerna ke
dalam hati). Aliran darah pada vena yang berdilatasi akan menjauhi umbilikus, dan
menaik searah dengan sistem vena kava superior atau menurun searah dengan
sistem vena kava inferior.
Jika terdapat obstruksi vena kava inferior, darah secara keseluruhan akan
mengalir ke arah atas melewaii tepi kostal. Identifikasi aliran darah ke atas dengan
melakukan penekanan pada bagian bawah vena dengan menggunakan jari,
kosongkan vena tersebut dengan melakukan pemijatan ke arah atas dengan jari vang
lain, kemudian perhatikan adanya kegagalan pengisian vena oleh darah dari atas.
Untuk memastikan bahwa darah mengalir dari bawah ke atas, lakukan tindakan
sebaliknya (tekan bagian atas vena dengan jari, lalu pijat darah ke bawah dengan jari
yang lain), dan angkat jari yang menekan bagian bawah vena kemudian perhatikan
bahwa vena yang sebelumnya kosong mulai terisi oleh darah
b. Palpasi
Abdomen harus diperiksa secara sistematis, terutama jika pasien menderita
nyeri abdomen. Selalu tanyakan kepada pasien letak nyeri yang dirasa maksimal dan
periksa bagian tersebut paling akhir. Isi abdomen dapat bergerak, semi-solid,
tersem-bunyi di balik organ lain, pada dinding posterior abdomen, dapat diraba
melalui otot-otot abdomen, atau kelima-limanya. Namun, hasil pemeriksaan palpasi
yang baik sulit untuk dicapai (bahkan pada dokter yang berpengalaman sekalipun
seringkali menyembunyikan ketidakpastian mereka dengan menggunakan istilah
seperti organomegali yang "samar").
Lakukan palpasi pada setiap kuadran secara berurutan, yang awalnya dilakukan
tanpa penekanan yang berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam (jika
tidak terdapat area nyeri yang diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan palpasi
secara khusus terhadap beberapa organ
c. Perkusi
Perkusi bcrguna (khususnya pada pasien yang gemuk) untuk memastikan
adanya pembesaran beberapa organ, khususnya hati, limpa, atau kandung kemih.

5
Lakukan selalu perkusi dari daerah resonan ke daerah pekak, dengan jari pemeriksa
yang sejajar dengan bagian tepi organ.
d. Auskultasi
Bising sistolik aorta atau arteri femoralis dapat terdengar di atas arteri yang
mengalami aneurisma atau stenosis. Pastikan selalu bahwa murmur seperti itu tidak
dihantarkan dari jantung. Bising sistolik yang terdengar di atas hati hampir tidak
pernah terdengar, tetapi keadaan tersebut menunjukkan adanya neoplasma
vaskular, angioma, kanker hati primer, atau hepatitis alkoholik.
Dengungan vena yang kontinu dapat menunjukkan adanya obstruksi vena kava
inferior atau obstruksi vena porta. Bunyi gesekan hati atau limpa jarang ditemukan,
tetapi penting karena menunjukkan adanya jaringan abnormal.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Setelah pemeriksaan diatas dilakukan, hasil pemeriksaan lebih lanjut, yaitu
pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan tergantung pada kemungkinan penyebab
hipovolemia, seperti juga pada stabilitas kondisi pasien.
Pemeriksaan laboratorium awal harus mencakup analisis CBC, kadar elektrolit
(misalnya, Na, K, Cl, HCO3-, BUN, kreatinin, kadar glukosa), masa protrombin (PT), masa
tromboplastin parsial (PTT), masa tromboplastin parsial teraktivasi (APTT), urinalisis (pada
pasien dengan trauma), dan tes urin kehamilan. Serta tes golongan darah mungkin
diperlukan.2

Pemeriksaan X-Ray untuk Trauma Abdomen


Pemeriksaan x-ray thorax anteroposterior (AP) dan pelvis dianjurkan pada penilaian
pasien dengan trauma tumpul multisistem. 1

Focused Assesment Sonography in Trauma (FAST)

Focused Assesment Sonography in Trauma (FAST) adalah salah satu dari dua
pemeriksaan paling cepat untuk mengidetifikasi pendarahan atau potensi cedera organ
berongga. Pada FAST, teknologi ultrasonografin digunakan oleh dokter yang terlatih untuk
mendeteksi adanya hematoperitoneum. Dengan perlengkapan yang spesifik oleh dokter

6
yang terlatih, ultrasonografi mempunyai sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi deteksi cairan
intraabdominal sebanding denga DPL dan CT abdomen. Jadi, ultrasonografi merupakan
pemeriksaan yang cepat, noninvasive, akurat dan tidak mahal dalam mendiagnosis
hematoperitoneum dan dapat diulang apabila diperlukan. Ultrasonografi dapat dilakukan di
ruang resusitasi secara bedside sambil secara simultan melakukan pemeriksaan atau terapi
lain.1

Diagnosis Peritoneal Leveage (DPL)

Diagnostic Peritoneal Leveage (DPL) adalah pemeriksaan kedua tercepat unutk


mengidentifikasi pendarahan atau potensi cedera organ berrongga. DPL adalah prosedur
yang invasive yang secara bermakna mempengaruhi tindakan selanjutnya dan dianggap 98%
sensitive untuk pendaragan intraperitoneal. DPL harus dilakukan oleh tim bedah terhadap
pasien dengan abnormalitas hemodinamik dan trauma tumpul multiple, terutama bila
terdapat situasi seperti berikut:

- Perubahan sensorium cedera otal, intoksikasi alcohol atau penggunaan narkoba


- Perubahan sensasi cedera medulla spinalis
- Cedera struktur sekitar iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
- Pemeriksaan fisik yang meragukan
- Hilang kontak dengan pasien dalam waktu lama anastesi umum untuk cedera
ekstra abdomen, pemeriksaan x-ray yang lama
- Lap-belt sign (kontusio dinding abdomen) denga kecurigaan cedera usus

Adanya darah, isi usus, serat sayuran, atau empedu yang keluar melalui kateter lavase
pada pasien dengan abnormalitas hemodinamik merupakan indikasi untuk laparotomi. Bila
tidak terdapat darah gross (>10mL) atau isi usus, lavase dilakukan dengan cairan kristaloid
isotonic yang hangat sebanyak 1000 mL(10mL/kg pada anak). Setelah isi peritoneal
tercampur denan baik dengan cairan lavase dengan cara mengkompresi abdomen dan
menggerakkan pasien dengan cara logrolling atau memiringkan ke posisi head-down dan
head-up. Tes dikatakan positif pada trauma tumpul bila terdapat >10.000 sel darah merah
per millimeter kubik, 500 sel darah putih per millimeter kubik, atau adanya bakteri pada
pewarnaan Gram.1

7
Working Diagnosis
Diagnosis klinis dari syok hipovolemik tidak sulit bila ditemukan hipotensi dan
kehilangan cairan yang terlihat seperti pada trauma (misalnya fraktur), perdarahan saluran
cerna dan paru, luka bakar dan diare. Perdarahan internal akibat ruptur aneurisma aorta,
trauma tumpul abdomen, dan hemotoraks sulit didiagnosa kecuali dari anamnesis dan
tanda fisik yang nyata, seperti redup pada perkusi dada, nyeri dan distensi abdomen
menunjukkan kemungkinan adanya perdarahan internal. Pada kasus perdarahan saluran
cerna bagian atas, harus dicari tanda-tanda penyakit hati kronis, seperti eritema palmar,
spider nevi, dan hipertensi portal (asites), karena hal ini dapat menunjukkan perdarahan
varises yang menyebabkan syok hipovolemik.1

Tabel 1. Derajat klinis beratnya syok hipovolemik setelah pendarahan.

8
Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan
hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila
perdarahan tak ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau
hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka biasanya
hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi, atau
terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan
sebagai adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi,
kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin
meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia.
Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena
penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung dan
mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adanya tanda syok
kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan gallop S3 maka semua dapat
dibedakan.
Secara hemodinamik, syok hipovolemik ditandai oleh penurunan preload ventrikel
yang menyebabkan penurunan tekanan dan volume diastolik ventrikel. Indeks jantung dan
indeks curah jantung menurun, adanya hipotensi dan penurunan tekanan nadi. Karena
adanya penurunan curah jantung sedangkan kebutuhan metabolik tidak berubah atau
meningkat, aaturasi oksigen vena campuran (Sv02) menurun, sehingga perbedaan
kandungan oksigen arterio-vena melebar. Karakteristik klinis meliputi, kulit yang dingin dan
lembab (sering kali berbintik-bintik); pucat, takikardia (atau jika syok berat, bradikardia),
takipneu, vena perifer yang kolaps, penurunan denyut vena jugular, penurunan keluaran
urin, dan perubahan kesadaran.
Kehilangan akut 10% darah yang beredar masih dapat ditoleransi dengan baik melalui
takikardi sebagai tanda yang nyata. Indeks jantung sedikit menurun walaupun terjadi
kompensasi berupa peningkatan kontraktilitas miokardium. Bila terjadi kehilangan volume
20%-25% maka mekanisme kompensasi mulai gagal. Dapat terjadi hipotensi ringan - sedang
dan penurunan indeks jantung. Lalu dapat terjadi pula ortostatik (penurunan tekanan darah
10 mmHg dan peningkatan frekuensi jantung 20-30 kali per menit). Kemudian bila terjadi
kehilangan volume sirkulasi 40% atau lebih, terjadi hipotensi berat dengan tanda klinis syok
yang jelas. Indeks jantung dan perfusi jaringan yang menurun sampai dengan setengah dari
normal. Pada keadaan ini dapat pula terjadi asidosis laktat dengan prognosis yang buruk.3

9
Etiologi

Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat trauma


termasuk kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang dimaksud dapat
berupa trauma tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis atau fraktur femur dan
trauma tumpul seperti trauma tumpul abdomen (ruptur hepar, spleen, dan perforasi organ
berongga) maupun trauma tumpul dada (seperti pneumothorax, hemothorax atau
hemopericardium dan temponade). Ruptur anuerisme aorta dan perdarahan
gastrointestinal merupakan penyebab kedua tersering dari syok hipovolemik.1
Penyebab syok hipovolemik nontrauma termasuk diabetes mellitus yang tidak
terkontrol dan insufisiensi akut korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan tubuh
yang banyak melalui ginjal. Mual muntah hebat, diare, dan luka bakar dapat menimbulkan
kehilangan cairan plasma. Berikut adalah tabel yang menggambarkan penyebab syok
hipovolemik.3

Tabel 2. Penyebab syok hipovolemik3

Causes of Hypovolemic Shock


Loss of Blood Internally- rupture of vessels, spleen,
liver, extrauterine pregnancy
Externally- Trauma, gastrointestinal,
pulmonary,renal blood loss
Loss of Plasma Burn Wound, gastrointestinal losses
(diarrhea, ileus, pancreatitis)
Loss of Fluids and Electrolytes Gastrointestinal and renal losses
(uncontrolled diabetes mellitus,
adrenocortical insufficiency)

Klasifikasi Syok Hipovolemik4


Syok hipovolemik memiliki beberapa bentuk sebagai berikut:
a. Syok hemoragik
Mungkin merupakan bentuk syok yang diteliti secara mendalam sebab mudah
dieksperimenkan pada hewan percobaan. Dengan perdarahan dengan derajat sedang (5-
15 ml/kgBB), tekanan nadi berkurang namun rata-ratatekanan arteri dapat tetap normal.
Pada perdarahan yang berat, tekanan darah selalu menurun drastis. Setelah perdarahan,
protein plasma yang hilang dari darahsecara periodik digantikan dengan sintesis protein

10
baru di hati sehinggakonsentrasinya dalam darah menjadi normal kembali dalam 3-4 hari.
Peningkatan eritropoietin yang bersirkulasi meningkatkan pembentukan sel darah
merah,namun dibutuhkan 4-8 minggu untuk mengembalikan jumlah sel darah merah
menjadi normal.
b. Syok traumatik
Terjadi saat otot dan tulang mengalami kerusakan. Bentuk syok ini biasanya terjadi
pada peperangan atau pada korban kecelakaan lalu lintas.Perdarahan pada bagian tubuh
yang cedera marupakan penyebab paling utama pada syok. Jumlah darah yang hilang di
bagian tubuh yang cedera dapatdiperkirakan. Misalnya, otot paha dapat
mengakomodasikan 1 liter darah yang terekstravasasi, dengan peningkatan 1 cm pada
diameter paha. Kerusakan padatulang dan otot merupakan masalah tambahan yang
serius pada saat syok disertai dengan kerusakan yang meluas pada otot (crush
syndrome). Ketika tekanan pada jaringan meningkat dan terjadi perfusi kembali, radikal
bebasdapat masuk dan merusak jaringan tersebut (reperfused-induced injury).
Peningkatan kalsium di dalam sel yang rusak dapat mencapai kadar toksik. Sejumlah
besar kalium masuk ke dalam sirkulasi. Mioglobin dan produk lainyang berasal dari
jaringan yang mengalami reperfusi dapat terakumulasi diginjal di mana filtrasi glomerulus
berkurang akibat hipotensi, dan tubulus-tubulus dapat tersumbat sehingga terjadi anuria.
c. Syok surgical
Terjadi akibat kombinasi makanisme syok, dengan proporsi yang beraneka ragam, dari
perdarahan eksternal, perdarahan di jaringan yangmengalami cedera, dan dehidrasi. Syok
luka bakar, terjadi kondisi kehilangan plasma dari permukaan tubuh yang terbakar
hematokrit cenderung meningkat, mengakibatkan terjadinya hemokonsentrasi berat.
Selain itu, terjadi perubahan metabolisme yang kompleks.

Patofisiologi

Hantaman langsung, seperti kontak dengan kemudi kendaraan atau dorongan pintu
penumpang yang masuk ke dalam akibat suatu kecelakaan, dapat menyebabkan kompresi
dan cedera crushing terhadap viscera abdomen. Kekuatan hantaman dapat merusak organ
solid maupun organ berongga dan dapat menyebabkan rupture dengan pendarahan
sekunder, kontaminasi oloeh isi dalaman usus, dan peritonitis. Pasien yang mengalami

11
kecekakaan bermotor dapat menderita cedera deselerasi, sebagai akibat dari perbedaan
differensiasi dari gerakan organ yang terfiksasi dengan organ yang tidak terfiksasi. Sebagai
contoh antara lain laserasi liver dan lien, keduanya organ yang bebas bergerak, pada lokasi
fiksasi ligamentumnya.1

Syok ditandai dengan kolpasnya hemodinamik tubuh. Bila terjadi penurunan tekanan
darah maka tubuh akan mengadakan respon untuk mempertahankan sirkulasi dan perfusi
yang adekuat pada organ-organ vital melalui reflex neurohumoral. Integritas sirkulasi
tergantung pada volume darah yang beredar, tonus pembuluh darah dan system pompa
jantung. Gangguan dari salah satu fungsi tersebut dapat menyebabkan terjadinya syok. Bila
terjadi syok hipovolemik maka mekanisme kompensasi yang terjadi adalah melalui:

1. Baroreseptor

Reseptor ini mendapat rangsangan dari perubahan tegangan dalam pembuluh darah.
Bila terjadi penurunan tekanan darah maka rangsangan terhadap baroreseptor akan
menurun, sehingga rangsangan yang dikirim baroreseptor ke pusat juga berkurang
sehingga akan terjadi:
- Penurunan rangsangan terhadap cardioinhibiotor centre
- Penurunan hambatan terhadap pusat vasomotor
Akibat dari kedua hal tersebut maka akan terjadi vasokonstriksi dan takikardia.
Baroreseptor ini terdapat di sinus karotikus, arkus aorta, atrium kiri dan kanan, ventrikel
kiri dan dalam sirkulasi paru. Baroreseptor sinus karotikus merupakan baroreseptor
perifer yang paling berperan dalam pengaturan tekanan darah.

2. Kemoreseptor
Respon baroreseptor mencapai respon maksimal bila tekanan darah menurun sampai
60mmHg, maka yang bekerja adalah kemoreseptor, yang terangsang bila terjadi hipoksia
dan asidosis jaringan. Akibat rangsangan kemoreseptor ini adalah vasokonstriksi yang
luas dan rangsangan pernafasan.

3. Cerebral ischkemic reseptor

12
Bila aliran darah ke otak menurun sampai <40mmHg maka akan terjadi sympathetic
discharge massif. Respon dari reseptor di otak ini lebih kuat dari pada reseptor-reseptor
perifer .

4. Reseptor humoral
Bila terjadi hipovolemik/ hipotensi maka tubuh akan mengeluarkan hormone-hormon
stress seperti epinefrin, glucagon, dan kortisol yang merupakan hormone yang
mempunyai efek kontra dengan insulin. Akibat dari pengeluaran dari hormone ini adalah
terjadinya takikardia, vasokonstriksi dan hiperglikemi. Vasokonstriksi diharapkan akan
meningkatkan tekanan darah perifer dan preload, isi sekuncup dan curah jantung.
Sekresi ADH aleh hipofisee posteriosr juga meningkat sehingga pengeluaran air dari
ginjal dapat dikurangi.

5. Retensi air da garam oleh ginjal


Bila terjadi hipoperfusi ginjal maka akan terjadi pengeluaran rennin oleh apparatus
yukstaglomerulus yang merubah angiotensin menjadi angiotensin I. angiotensin I ini oleh
converting enzyme dirubah menjadi angiotensin II yang mempunyai sifat:
- Vasokonstriksi kuat
- Merangsang pengeluaran aldosteron sehingga meningkatkan reabsorbsi natrium di
tubulus ginjal.
- Menigkatkan sekresi vasopressin3

Volume sirkulasi

Preload

Volume sekuncup

Baroreseptor, kemoreseptor, cerebral ischemic reseptor

Cardio inhibitor center dihambat Aktivasi cardiostimulator center

Output simpatetik meningkatkat,output


parasimpatetik menurun
13

HR, kontraktilitas otot jantung ,


vasokonstriksi
Gambar 1. Refleks kardiovaskular pada hipotensi3
6. Autotransfusi

Autotransfusi adalah suatu mekanisme didalam tubuh untuk mempertahankan agar


volume dan tekanan darah tetap stabil. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan
antara jumlah cairan intravascular yang keluar ke ekstravaskular atau sebaliknya. Hal ini
tergantung pada keseimbangan antara tekanan hidrostatik intravascular akan menurun
makan akan terjadi aliran cairan dari ekstra ke intravascular sehingga tekanan darah
dapat dipertahankan. Hal ini tergantung dari kecepatan hilangnya cairan, bila proses
hilangnya cairan tubuh cepat maka proses ini tidak akan mampu menaikkan tekanan
darah.

Akibat dari semua ini maka akan terjadi:

- Vasokonstriksi yang luas


Vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada pembu;uh darah skeletal, splancnic dan
kulit, sedang pada pembuluh darah otak dan koronaria tidak terjadi vasokonstriksi,
nahkan aliran darah pada kelenjar adrenal meningkat sebagai usaha kompensasi
tubuh utuk meningkatkan respon katekolamin pada syok. Vasokonstriksi ini
menyebabkan suhu tubuh perifer menjadi dingin dan kulit menjadi pucat.
- Sebagai akibat vasokonstriksi ini maka tekanan distolik akan meningkat pada fase
awal, sehingga tekanan nadi menyempit, tetapi bila proses berlanjut ini tidak dapat
dipertahankan dan tekanan datah akan semakin menurun sampai tidak teratur.
- Takikardia
- Iskemia jaringan akan menyebabkan metabolism anaerobic dan terjadi asidosis
metabolic

14
- Hipovolemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat sehingga keseimbangan
pertukaran O2 dan Co2 kedalam pembuluh darah lama dan kaibatnya terjadi
perbedaan yang besar antara tekanan O2 dan CO2 arteri danvena.

Akibat dari hipoksia dan berkurangnya nutrisi kejaringan maka metabolisme menjadi
metabolisme anaerobic yang tidak efektif dan hanya menghasilkan 2 ATP dari setiap
molekul glukosa. Pada metabolism oerobik dengan oksigen dan nutrisi yang cukup dengan
pemecahan 1 molukel glukosa akan menghasilkan 36 ATP. Akibat dari metabolism anaerobic
ini akan terjadi penumpukan asam laktat dan pada khirnya metabolism tidak akan mampu
lagi menyediakan energy yang cukup untuk mempertahan homeostasis seluler, terjadi
kerusakan popma ionic dinding sel, natrium masuk ke dalam sel dan kalium keluar sel
sehingga terjadi akumulasi kalsium dalam sitosol, terjadi edema dan kematian sel. Pada
akhirnya terjadi banyak kerusakan sel organ-organ tubuh atau terjadi kegagalan organ
multiple dan renjatan yang ireversibel.

Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem


fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin.

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan
mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelelepasan
tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2
lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah
yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan
menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan


meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan
penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus,
arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga
berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi
kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.

15
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin
dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi
angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dah hati.
Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada
syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi
aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif
natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.

Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan


Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior
sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan
terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak
langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus
distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.3

Gambar 2. Berbagai jenis umpan balik yang dapat menimbulkan per-kembangan syok.

16
Manifestasi klinis

Tergantung pada penyakit primer penyebab syok, kecepatan dan jumlah cairan yang
hilang, lama renjatan serta kerusakan jaringan yang terjadi, tipe dan stadium renjatan.
Secara klinis perjalanan renjatan dapat dibagi dalam 3 fase yaitu fase kompensasi,
dekomensasi, dan ireversibel.4

Tabel 3. Manifestasi Klinis Syok Hipovolemik4

Tanda klinis Kompensasi Dekompensasi Ireversible


Blood loss ( %) Sampai 25 25 40 > 40

Heart rate Takikardia + Takikardia ++ Taki/bradikardia

Tekanan Sistolik Normal Normal/menurun Tidak terukur

Nadi/volume Normal/menurun Menurun + Menurun ++

Capillary refill Normal/meningkat Meningkat > 5 Meningkat ++


3-5 detik detik

Kulit Dingin, pucat Dingin/mottled Dingin+/deadly


pale

Pernafasan Takipneu Takipneu + Sighing


respiration

Kesadaran Gelisah Lethargi Reaksi -/ hanya


bereaksi terhadap nyeri

Penatalaksanaan5

Penanganan pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian
atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja

17
mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan
memulai penanganan yang sesuai. Penekanan sumber perdarahan yang tampak dilakukan
untuk mencegah kehilangan darah yang lebih lanjut. pada kasus tertentu stabilisasi
mungkin bermanfaat, transportasi segera pasien ke rumah sakit tetap paling penting pada
penanganan awal sebelum di rumah sakit. Penanganan definitif pasien dengan hipovolemik
biasanya perlu dilakukan di rumah sakit, dan kadang membutuhkan intervensi bedah.
Beberapa keterlambatan pada penanganan seperti terlambat dipindahkan sangat berbahaya.
Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin
jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:

1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,


peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien
sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi
pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi
(seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan,
harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator
harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat
berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille
mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan
berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal
adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya.
Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan,
atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur
utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang
dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam
melakukannya adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri
akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah
kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada

18
orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital
sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim
untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan
dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak
ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-)
harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan
komplikasi lanjut).
Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan
darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang
diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya
menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang
bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah
kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan
meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan
hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak
memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.
2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan
intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan
menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan
intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi
kehilangan darah.
Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya,
dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta
diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif
dan butuh segera dibawa di ruang operasi.
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2
bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif,
seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena
itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman,
tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide telah

19
menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari
varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping
yang signifikan.
Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya
kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran)
memerlukan intervensi bedah. Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah
kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan
pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan
yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal
ini harus dilakukan segera.
Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi
cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang
kedatangan pasien. Pada pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai
contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya
aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus
dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
3. Resusitasi Cairan.
Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium
(croosmatch, hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit, creatinin, analisis gas
darah dan pH, laktat, parameter koagulasi, transamine, albumin). Nilai kebutuhan
oksigen, intubasi, atau ventilasi (PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%).
Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid sebesar 3:1.
Bila kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat, sementara
kehilangan darah > 60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma (setelah 1 jam
pemberian konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan
utama terapi syok hipovolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah. Penggantian
volume intravascular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan suplai oksigen
ke jaringan. Syok hipovolemik yang disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah
besar sering perlu dilakukan transfusi darah. Adapun indikasi transfusi darah atau
komponen darah pada syok hipovolemik yaitu:
Tabel 4. Indikasi transfusi komponen darah

20
Indication for blood component therapy
Component indication Usual strating dose
Packed RBC Replacement of 2-4 units IV
Oxygen-carrying
capacity
Platelets Thrombocytopenia 6-10 units IV
with bleeding
Fresh frozen plasma Coagulopaty 2-6 units IV
Crycoprecipitate Coagulopaty with 10-20 units IV
fibrinogen

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit
dan kelainan metabolic yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut
kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan
salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

Terdapat beberapa jenis cairan resusitasi yaitu cairan koloid, kristaloid dan darah.
koloid merupakan cairan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi dibandingkan plasma
(cairan hiperonkotik). Hipertonik dan hiperonkotik adalah cairan plasma expander karena
kemampuan untuk memindahkan cairan intrselular dan interstisial selama resusitasi dan
dengan cepat menggantikan volume plasma (seperti albumin, dextran, dan starch). Cairan
kristaloid adalah cairan yang mengandung air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai
campuran. Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan hipertonik terhadap cairan plasma.
Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang Berat Molekulnya tinggi. Cairan kristaloid terdiri
dari:

1. Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu
penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada dehidrasi
kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan hipernatremi
yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus. Cairan ini tidak dapat
digunakan sebagai cairan resusitasi pada kegawatan (dextrosa 5%).

21
2. Cairan Isotonik

Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan plasmalyte.
Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler yang adekuat dan
diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya. Cairan ini cukup
efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukan relatif lebih pendek dibanding
dengan cairan koloid.

3. Cairan Hipertonik

Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh karena
itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke dalam
ekstraseluler.Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu cairan natrium
hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain memvasodilatasi pembuluh darah
paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena dapat mengurangi edema
pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya
NaCl 3%. Beberapa contoh cairan kristaloid :

1) Ringer Laktat (RL)


Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l, Klorida
109mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan ini dimetabolisme
didalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini akan
terganggu pada penyakit yang menyebabkan gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme
menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh
enzimpiruvat dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua
proses ini akan membentuk HCO3. Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan
karena komposisi elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini
digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Cairan ini diberikan
pada dehidrasi berat karena diare murni dan demam berdarah dengue. Pada keadaan syok,
dehidrasi atau DSS pemberiannya bisa diguyur.

2) Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4 mEq/l,
Kalsium 3mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi keadaan asidosis

22
metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir di dalam otot, sedangkan
laktat didalam hati. Laju metabolisme asetat 250 400 mEq/jam, sedangkan laktat 100
mEq/jam.Asetat akan dimetabolisme menjadi bikarbonat dengan cara asetat bergabung
dengan ko-enzim A untuk membentuk asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A
sintetase danmengkonsumsi ion hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa mengganti
pemakaian Ringer Laktat. Glukosa 5%, 10% dan 20%Larutan yang berisi Dextrosa 50
gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9 Glukosa 5% digunakanpada keadaan gagal jantung
sedangkan Glukosa 10% dan 20% digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut
dengan anuria dan gagal ginjal akut dengan oliguria.

3) NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L Klorida, yang
digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk penatalaksanaan
hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau alkalosis metabolik.
Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan renjatan kardiogenik juga pada
sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi
adrenokortikaldan luka bakar. Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl biasanya
dikombinasikan dengancairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa 5%.

Adapun Jenis-jenis cairan koloid adalah :

1) Albumin.Terdiri dari 2 jenis yaitu:

a. Albumin endogen. Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan


dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584
asam amino. Albumin merupakanprotein serum utama dan berperan 80% terhadap
tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan
onkotik plasmanya 1/3nya.
b. Albumin eksogen. Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin
eksogen yang diproduksiberasal dari serum manusia dan albumin eksogen yang
dimurnikan (Purified protein fraction)dibuat dari plasma manusia yang
dimurnikan.8Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis.
Albumin 25% biladiberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler
mendekati 5x jumlah yangdiberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan

23
onkotik plasma. Peningkatan inimenyebabkan translokasi cairan intersisial ke
intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi. Komplikasi albumin
adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi fungsi miokardium, reaksi
alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi protein yangdimurnikan. Hal ini
karena factor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan disamping ituharganya pun
lebih mahal dibanding dengan kristaloid. Larutan ini digunakan padasindroma
nefrotik dan dengue syok sindrom.

2) HES (Hidroxy Ethyl Starch). Merupaka senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen.
Cairan ini mengandung partikel denganBM beragam dan merupakan campuran yang sangat
heterogen.Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya
adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari hidroksilasi
aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa. Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa
HES merupakan volume ekspander yang cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat
berlangsung 3-24 jam. Pengikatan cairan intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan
oleh karena tekanan onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai adalah adanya
gangguan mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila dosisnya melebihi 20ml/ kgBB/
hari.

3) Dextran. Merupakan campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan
berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang dikembangbiakkan
di mediasucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton.Ada 2 jenis dextran
yaitu dextran 40 dan 70. dextran 70 mempunyai BM 70.000 (25.000-125.000). Sediaannya
terdapat dalam konsentrasi 6% dalam garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan
dibandingkan dextran 40. Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander
dan merupakan pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40. Dextran 40 mempunyai BM
40.000 tersedia dalam konsentrasi 10% dalam garam fisiologis atau glukosa 5%. Molekul
kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil
dapat menembus membran kapiler dan masuk ke ruang intertisial dan sebagian lagi melalui
sistim limfatik kembali ke intravaskuler. Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada
syok dan kegawatan menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan transpor

24
oksigen. Cairan ini digunakan pada penyakit sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.
Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik dan gangguan pembekuan darah.

4) Gelatin. Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada orang
dewasa. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:1.Modified Fluid Gelatin (MFG) 2.Urea Bridged
Gelatin (UBG). Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume
expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi anafilaksis.
Cairan ini digunakan sebagai cairan rumatan pada penyakit bronkopneumonia, status
asmatikus dan bronkiolitis.

Pemilihan cairan resusitasi pada syok hipovolemik hingga saat ini masih menjadi
perdebatan. Pemberian infus koloid (plasma/albumin) pada syok hipovolemik post
operative dapat meningkatkan pengambilan okisgen lebih cepat dibandingkan infus
kristaloid. Inisial resusitasi pada syok hipovolemik sering dimulai dengan hypertonic dan
isotonic kristaloid yang kemudian dilanjutkan dengan cairan koloid dan infuse eritrosit dan
plasma.

Resusitasi syok hipovolemik pada luka bakar dimana terjadi kehilangan plasma maka
dilakukan resusitasi dengan kombinasi kristaloid dan koloid. Pada kasus diabetes yang tidak
terkontrol, diare dan insufisiensi korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan
plasma dan elektrolit maka cairan resusitasi terpilih adalah cairan kristaloid. Cairan ini dapat
mempertahankan volume intravascular, interstisial, dan intraselular. Pembarian transfusi
darah diindikasikan pada kasus dengan kehilangan darah >40% atau syok derajat IV.
Menurut CPG 2007 resusitasi cairan optimal pada syok hipovolemik yang disebabkan oleh
trauma adalah penggunaan darah. Bila transfusi darah tidak tersedia maka penggunaan
kristaloid isotonic lebih dianjurkan karena kristaloid menghasilkan peningkatan cardiac
output yang dapat diperkirakan dan secara umum didistribusikan ke ekstraselular.
Compound Sodium Lactat adalah alternative pilihan yang dianjurkan untuk resusitasi awal
pasien hipovolemik.compound sodium lactate mengandung precursor bicarbonate yang
ketika dimetabolisme dapat membantu memperbaiki asidosis metabolic. Pemberian cairan
ini dihentikan pada pasien dengan gangguan hati. Alternative lain yang dapat diberikan yaitu
normal saline (NaCl 0.9%) meskipun pemberiannya dalam dosis besar dapat menyebabkan
asidosis metabolic.

25
Gambar 3. Bagan Penatalaksanaan Syok Hipovolemik.

Komplikasi4

- Gagal ginjal akut


- ARDS (acute respiratory distress syndrome/shock lung)
- Depresi miokard-gagal jantung
- Gangguan koagulasi/pembekuan
- SSP dan Organ lain

26
Evaluasi gejala sisa SSP sangat penting, mengingat organ ini sangat sensitif terhadap
hipoksia yang dapat terjadi pada renjatan berkepanjangan.
- Renjatan ireversibel.

Prognosis

Syok hipovolemik merupkan kondisi yang mengancam jiwa dan bila tidak ditangani
segera maka dapat menjadi ireversibel. Resusitasi yang cepat dan adekuat dibutuhkan untuk
meyelamatkan hidup.1

Kesimpulan

Syok hipovolemi adalah keadaan tersering yang menyebabkan kegagalan sirkulasi


pada anak maupun dewasa. Penyebab tersering syok hipovolemik adalah trauma. Bila
keadaan perfusi jaringan yang tidak adekuat tidak segera dikenali dan ditangani maka akan
menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan yang memicu ke arah kegagalan multiorgan
(Multiple Organ Failure) dan dapat berakhir dengan kematian.

Sehingga dapat dimengerti bahwa shok hipovolemik merupakan suatu kondisi yang
mengancam jiwa, membutuhkan penegakan diagnosa dini dan terapi awal yang adekuat
untuk mencegah terjadinya kegagalan sistem organ dan kematian. Prinsip utama
penatalaksanaan syok hipovolemik yaitu penggantian volume sirkulasi darah secara cepat
dan penatalaksanaan terhadap sumber atau penyebab yang mendasarinya.

Daftar Pustaka

1. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support for
Doctors. 8th Edition. Chicago: American College of Surgeons, 2008.p.61-80,129-38
2. Davey P. At a glance medicine. Jakarta: Erlangga, 2006.h.271-9
3. Pascoe S, Lynch J. Management Hypovolemic Shock in Trauma Patient dalam Adult
Trauma Clinical Practice Guideline: Shock Hipovolemic Guideline. New York: McGraw
Hill, 2007.p.1-58.

27
4. Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB. Harisson: prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Jakarta: EGC, 2008.h.219-21
5. Vincent JL, Gerlach H. Fluid resuscitation in severe sepsis and septic shock in critical care
medicine. 10th edition. New York: McGraw Hill, 2004.p.451-54

28

Anda mungkin juga menyukai