ABSTRAK
Pendahuluan
Tanaman kakao termasuk tanaman tropis yang dikenal masyarakat Indonesia
pertama kali pada tahun 1780. Ada beberapa OPT utama pada tanaman kakao.
Salah satu OPT pada tanaman kakao adalah penyakit Antraknosa (Colletotrichum
gloeosporioides). Jamur penyebab penyakit ini menyerang daun muda dengan
gejala terjadinya bintik-bintik nekrosis berwarna coklat. Jika penyakit ini menyebar
keseluruh daun muda dan terjadi berulangkali, maka ranting tanaman terserang
akan mengalami kematian (Mahneli, 2007). Akibat serangan penyakit ini tanaman
kakao menjadi kehilangan daun padahal daun merupakan tempat untuk proses
fotosintesis pada tanaman (Semangun, 2000). Tanaman terserang tumbuh merana
dan produksinya rendah. Pada serangan lanjut tanaman menjadi mati meranggas.
a b c
Gambar 1. Gejala serangan antraknosa (a) pucuk, (b) buah, (c) ranting
Menurut Sulistiowati, dkk, 2003 cara pengendalian penyakit ini dilakukan dengan
memadukan teknik pengendalian kultur teknis, mekanis, dan kimiawi. Cara
pengendalian tersebut berbeda untuk setiap intensitas serangan. Untuk lebih jelas
dapat di lihat pada Tabel 1 berikut.
Tujuan Kegiatan
Kegiatan ini bertujuan untuk mensosialisasikan metode pengendalian
penyakit antraknosa yang efektif pada tanaman kakao dalam bentuk demplot
pengendalian dan mendorong agar petani tahu, mau dan mampu menerapkan PHT
penyakit antraknosa di kebunnya sendiri.
Metode Pelaksanaan
Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan November 2016
yang dilaksanakan di desa Kutomulyo Dusun Semandi Angin, Kecamatan Sibiru-
biru Kabupaten Deliserdang, koordinat lokasi N 03024,033 E 098040,342. Luas
lahan yang digunakan 2 Ha, umur tanaman 13 tahun, varietas kakao yang ditanam
adalah TSH dan RCL dengan jarak tanam 3 x 3 m.
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi pupuk urea, SP36, KCL,
Kieserit, Pf, dan fungisida kimia berbahan aktif Difenokonazol 250 g/l dan alat-alat
yang digunakan Plank merk, Mistblower, gunting pangkas atas/gunting tarik, seng
plat, hand counter, dan ATK.
Kegiatan ini dimulai dengan koordinasi penetapan lokasi, kemudian persiapan
alat dan bahan, fiksasi lokasi, sosialisasi ke kelompok tani, pelaksanaan
pengendalian, pengamatan, supervisi dan sosialisasi hasil pengendalian ke
kelompok tani. Hasil akhir yang diharapkan adanya penurunan serangan penyakit
antraknosa setelah pengendalian penyakit antraknosa. Dengan melihat adanya
pengaruh pengendalian diharapkan dapat mendorong petani mengendalikan
penyakit antraknosa di kebunnya.
Aplikasi pengendalian dilakukan dengan memadukan beberapa teknologi
PHT seperti pemupukan, sanitasi, penyemprotan fungisida biologi (Pseudomonas
fluorescens) dan penyemprotan dengan fungisida kimia. Bila serangan ringan maka
pemupukan, penyemprotan fungisida biologi dan kimia dilakukan berdasarkan dosis
anjuran. Tetapi bila serangan berat maka aplikasi pemupukan, penyemprotan
fungisida kimia dan biologi dilakukan dua kali dari dosis anjuran.
Parameter pengamatan adalah intensitas serangan antraknosa pada
tanaman yang dikendalikan. Pengamatan dilakukan sebanyak 6 (enam) kali dengan
interval 1 (satu) bulan sekali. Jumlah tanaman yang diamati adalah 100 pohon.
Pengamatan 1 dilakukan sebelum ada perlakuan dan pengamatan ke 2 dilakukan 1
bulan setelah pengendalian. Demikian seterusnya hingga pengamatan ke 6 sampai
dilakukan 5 bulan setelah pengendalian. Parameter yang diamati adalah tingkat
serangan penyakit pada buah, pucuk dan ranting. Tingkat serangan dikategorikan
atas kategori berikut:
Tabel 2. Kategori serangan penyakit antraknosa pada buah, pucuk
dan ranting.
Objek Kategori/
No. OPT Kriteria Serangan
Pengamatan Skor
0 Tidak ada serangan
Daun berubah
1 bentuk/mengerut/pinggir daun
seperti terbakar, ranting melidi
Antraknos <10%
2. Daun dan
daun dan
ranting 2 Ranting melidi >10-50%
ranting
3 Ranting melidi >50%
Efektifitas
Pengamatan Waktu Pengamatan Intensitas Serangan
Pengendalian
1 Sebelum pengendalian 53,25 % -
Kesimpulan.
Dari hasil demplot ini dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1. Upaya PHT yang dilakukan dapat menurunkan intensitas serangan penyakit
antraknosa pada kebun kakao.
2. Intensitas serangan penyakit antraknosa pada kebun lokasi demplot menurun
secara bertahap dari 53,25% menjadi 16% setelah 5 bulan pengendalian. Berarti
upaya pengendalian telah menurunkan tingkat serangan penyakit sebesar
37,25%.
3. Hasil PHT demplot pengembangan metode pengendalian penyakit antraknosa
telah disosialisasikan kepada petani kakao dan mendapat apresiasi positif. Ke
depan diharapkan petani kakao dapat menerapkan PHT antraknosa di kebunnya
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Mahneli, R, 2007. Pengaruh Pupuk Organik Cair dan Agensia Hayati Terhadap
Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides
(Penz.)Sacc.) pada Pembibitan Tanaman Kakao (Theobromae cacao L.)
http://repository.usu.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/7712/09E00239.p
df?sequence=1.