Anda di halaman 1dari 61

PENINGKATAN EFISIENSI TRANSFORMASI

GEN XYLOGLUCANASE'
PADA BERBAGAI EKSPLAN Acacia mangium Willd

NELLY ANNA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANLAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peningkatan Efisiensi
Transformasi Gen Xyloglucanase pada berbagai Eksplan Acacia mangium Willd
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks clan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Nelly Anna
NRP E05 1050251
RINGKASAN

NELLY ANSA. Peningkatan Efisiensi Transformasi Gel1 Xyloglucanase pada


berbagai Eksplan Acacia rnangium Willd. Dibimbing oleh ULFAH JUNIARTI
SZREGAR dan EWJY SUDARMONOWATI
Salah satu us&a untuk memperoleh tanarnan transgenik Acacia mangium
Willd, merupakan species cepat tumbuh, dengan kualitas kayu yang tinggi, dapat
dilakukan dengan teknik transfonnasi. Transformasi dilakukan dengan
menginduksi gen xyloglucanase melalui Agrobucterium tumefaciens, strain
LBA4404 yang mengandung gen XEG , gen nptII, dan promotor 35 S. Eksplan
yang digunakan untuk transformasi adalah pucuk, batang, kalus, tunas majemuk,
dan daun Acacia mangium Willd. Sebagai seleksi sel tanaman transgenik,
digunakan media seleksi MS yang mengandung zat pengatu tumbuh 0,25 mg/l
IAA dan 1 mdl TDZ, ditambah dengan antibiotik Carbenicilliri 225 mg/l dan
Kanamisin sebagai penyeleksi dengan konsentrasi 400 mgll. Eksplan yang telah
ditransformasi dapat beregenerasi, pada eksplan pucuk sebesar 5,5% dan pada
eksplan batang sebesar 8,3%. Sementara pada kaius, tunas majemuk, dan daun
belum terlihat beregenerasi. Dari sepuluh planlet yang resisten Kanamisin tidak
ada yang menunjukkan ekspresi XEG berdasarkan Western blot, namun demikian
hasil masih akan dikonfinnasi lebih lanjut.
ABSTRACT

NELLY ANNA. Increasing Efficiency of Xyloglucanase Gene Transformation


in Acacia mangium Willd Explants. Under the direction of ULFAH JUNIARTI
SIREGAR and ENNY SUDARMONOWATI
An effort to obtain transgenic Acacia mangium Willd, a fast growing
species with high wood quality was done through transformation techniques.
Transformation was performed by introducting xyloglucanase gene using
Agrobacterium tumefaciens, strain LBA4404 harboring pAaXEG300 which
contains XEG gene, nptII gene, and 35 S promoter. Different types of explants i.e.
bud, stem, callus, multiple adventious shoots, and leaf pieces of Acacia mangium
Willd were used as target tissues. The selection for transgenic was performed
through MS medium supplemented with 1 mg/l thidiadzuron, 0,25 mg/l indole-3-
acetac acid, 225 mg/l carbenicillin, and concentrations of canamysin 400 mgll.
Although the transformation experiment have not yet produced transgenic plants,
adventious shoots could be obtained at 8,3% from transformed stem, and 5,5%
from bud as explants. Confirmation of transgenic plants expressing xyloglucanase
gene using Western blot is still on going.

Key words: Transformation,Acacia mannium Willd , xyloglucanase gene.


O Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi Undang-undang
I. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan
karya ilmiah, penyusunan Iaporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan clan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalarn bentuk apapun tanpa seizin IPB
PENINGKATAN EFISIENSI TRANSFORMASI GEN
XYLOGLUCANASE PADA BERBAGAI EKSPLAN
Acacia mangium Willd

NELLY ANNA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Tesis : Peningkatan Efisiensi Transformasi Gen Xyloglucanase
pada berbagai Eksplan Acacia mangium Willd
Nama : Nelly Mna
NRP : E05 105025 1

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar. M.Aw Dr. Ir. Ennv s&annonowati. APU
Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Pengetahuan Kehutanan

u
.
C

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.

Tanggal Ujian: 23 Agustus 2007 Tanggal lulus: 0 5 S E P 2007


PRAKATA

Puji clan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilrniah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalarn
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 ini adalah transformasi
gen, dengan judul Peningkatan Efisiensi Transformasi Gen Xyloglucanase pada
berbagai Eksplan Acacia mangium Willd.
Terirna kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar,
M.Agr dan Ibu Dr. Ir. Enny Sudarmonowati, APU selaku pembimbing. Di
sarnping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Research Institute for
Sustainable Huymanosphere, Kyoto University, Jepang atas kerja samanya
dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Sri Hartati dan semua
s M Laboratorium Biologi Molekuler Bioteknologi-LIPI, yatlg telah membantu
selama penelitian ini berjalan serta teman-teman yang telah membantu dan
memberi motivasi. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilrniah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2007

Nelly Anna
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Binjai, Surnatera Utara pada tanggal 10 Juni 1981


dari ayah Agustarni Piliang dan ibu Hj. Nurani Koto. Penulis merupakan putri ke
sepuluh dari sepuluh orang bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh mulai
September 2000 di Program Studi Budidaya Hutan, Departernen Kehutanan,
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dan lulus pada tanggal 12 Maret
2005, Selama menempuh pendidikan sarjana, penulis berkesempatan
mendapatkan beasiswa dari PERTAMINA pada tahun 2002. Selain itu, penulis
juga pernah menjadi asisten laboratorium Silvikultur pada tahun 2003 dan
Teknologi Benih pada tahun 2004.
Pada tahun 2005, penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang Pascasarjana di Program Magister Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut
Fei-tdan Bogof.
DAFTAR IS1

Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................. xi
..
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi1
PENDAHULUAN ................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................... 1
Perurnusan Masalah .................................................................... 3
Tujuan Penelitian ..........................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4


Botani Acasia mangium Willd ....................................................... 4
Pemuliaan Tanaman secara Konvensional dan
Peranan Bioteknologi..................................................................... 5
Pertumbuhan dan Perkembangan Kayu ......................................... 6
Gen Xyloglucanase ..................................................................... 7
Transformasi Genetik Tanaman..................................................... 8
Seleksi Tanaman Transgenik .........................................................10
Regenerasi In vitro ......................................................................... 10
Kultur Jaringan ............................................................................ 1 1
Eksplan ...................................................................................... 1 1
Media......................................................................................... 12
. . .
Kondisi Fisik Kultur..................................................................13
Kondisi Lingkungan Kultur ...................................................... 13
Induksi Embrio Somatik ................................................................ 14
Analisis Tanaman Transgenik ....................................................... 15
..
Uji GUS..................................................................................... 15
Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) ............................16
Southern Blot ............................................................................ 16
Northern Blot ............................................................................17
Western Blot.............................................................................. 17
..
Uji Hayati .................................................................................. 18
BAHAN DAN METODE ................................................................... 19
Tempat dan Waktu ...................................................................... 19
Bahan dan Alat ...............................................................................19
Metode Penelitian .......................................................................... 19
Persiapan eksplan ............................................................... 19
Optimasi media seleksi.......................................................2 1
Kultur Agrobacterium tumefaciens ......................................21
Transforrnasi dan regenerasi...............................................21
Uji ekspresi Western blot .....................................................22

HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................24


Sterilisasi d m penanaman biji Acacia mangium Willd............. 24
X

Induksi embriosomatikAcacia mangium Willd ........................ 25


Seleksi terhadap resistensi Kanamisin pada
eksplan yang belum ditransformasi...........................................28
Penentuan nilai ODbo0Apbacferium tumefaciens ................. 30
Transformasi berbagai eksplan Acacia mangium Willd ..........31
Regenerasi tanaman Acacia mangium Willd
yang telah ditransformasi ..........................................................34
Seleksi eksplan Acacia mangium Willd yang telah
ditrmfonnasi pada beberapa konsentrasi Kanamisin .............. 37
Uji Ekspresi Western Blot ......................................................... 42

KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 43


Kesimpulan ....................................................................................43
Saran ..............................................................................................43

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................44


DAFTAR TABEL

Halaman
1 Persentase biji Acacia mangium Willd
yang berkecambah pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh .........24

2 Persentase embrio dari biji Acacia mangium Willd yang berkalus


Dan tumbuh tunas majemuk pada media MS + 0,25 mg/l IAA
+ 1 mg/l TDZ................................................................................... 26
3 Uji konsentrasi Kanamisin pada berbagai eksplan
Acacia mangium Willd yang tidak ditransfomasi ............................. 29

4 Persentase eksplan Acacia mangium Willd yang hidup


setelah direndam pada Agrobacterium tumefaciens
selama 5 menit pada beberapa nilai OD600........................................ 3 1

5 Persentase hidup eksplan Acacia mangium Willd yang telah


ditransformasi pada minggu ke 8 pada media seleksi (0,25 mgll IAA
+ 1 mg/l TDZ + 225 Carbenicillin + 400 mg/l Kanamisin) .............. 32
6 Persentase regenerasi eksplan pucuk dan batang
yang telah ditransformasi setelah 8 minggu pada media seleksi
dan 5 minggu pada media regenerasi ...............................................3 5

7 Persentase hidup kontrol clan eksplan yang telah ditransformasi


pada media seleksi yang mengandung 100 mg/l
dan 200 mg/l Kanamisin pada minggu ke 8 setelah tanam .................38
DAFTAR GAMBAR

1 Diagram integrasi bioteknologi ........................................................... 6

2 Peta plasmid pAaXEG300 RB (batas kanan) dan LB (batas kiri) ...... 19

3 Eksplan Acacia mangium Willd berumur 3 bulan pada media MS


(material untuk transformasi) ........................................................... 25

4 Kalus yang berasal dari embrio Acacia mangium Willd pada media
(MS + 0,25 mg/l IAA + 1 mg/l TDZ) .................................................. 27

5 Eksplan Acacia mangium Willd yang telah ditransformasi


pada media seleksi (0,25 mgA IAA + 1 mg/l TDZ +
225 mg/l Carbenicillin + 400 mg/l Kanamisin) pada minggu ke 8 .....34

6 Eksplan yang telah ditransformasi pada media regenerasi..................36

7 Eksplan Acacia mangium Willd setelah 8 minggu


pada media seleksi (0,25 mg/l IAA + 1 mg/l TDZ +
225 mg/l Carbenicillin + 400 mg/l Kanamisin) .................................. 39

8 Regenerasi eksplan Acacia mangium Willd yang telah


ditransformasi, setelah 8 minggu pada media seleksi (100 mg/l dan
200 mgA Kanamisin) dan 5 minggu pada media regenerasi ...............40
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kerusakan hutan dam dewasa ini semakin meningkat, sedangkan
kebutuhan kayu semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk. Dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu, berbagai usaha telah
dilakukan diantaranya adalah dengan membangun hutan tanaman.
Laju penambahan hutan tanaman baru setiap tahun diperkirakan 4,5 juta
ha. Dari pertumbuhan hutan tanaman tersebut, Asia terutama China, Indonesia,
Malaysia, dan Vietnam memberikan kontribusi 70% terhadap pertumbuhan itu.
Melalui reboisasi lahan alang-alang dan hutan sekunder, lebih dari 9,9 juta ha
hutan tanaman telah dapat dibangun, terrnasuk f juta ha hutan tanaman jati dan
1,4 juta ha hutan tanaman Acacia mangium Willd di Sumatra dan Kalimantan.
Dengan dernikian, pada masa mendatang diharapkan Indonesia akan menjadi
negara terkemuka di dunia dalam produksi pulp dari hutan tanaman Acacia
mangium Willd (Kedu dun Diy, 2005). Bagi Indonesia yang kehilangan banyak
kayu berkualitas akibat illegal logging, kayu jenis Acacia mangium Willd dapat
menjadi alternatif devisa negara dan bisa bersaing di pasaran dunia.
Peningkatan produksi hutan tanaman dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
manipulasi f&or lingkungan dan peningkatan kualitas genetik melalui program
pemuliaan tanaman. Seiring dengan waktu dan perkembangan zaman, pemuliaan
tanaman telah menghadapi sejumlah kendala dalam operasionalnya, misalnya
aplikasi seleksi pada lahan yang terbatas, kondisi iklim dan tanah yang sangat
beragam, terbahsnya dana dan tenaga, serta memerlukan waktu yang lama untuk
memperoleh hasil persilangan. Selain itu, tujuan program pemuliaan tanaman
sekarang ini juga semakin kompleks, sehingga semakin terasa diperlukan teknik-
teknik tertentu untuk menciptakan keragaman, pendeteksian, dan penyeleksian
terhadap keragaman tersebut. Kehadiran bioteknologi dipandang akan
memberikan harapan dalam menutup celah kelemahan dan kekurangan dalam
pemuliaan tanaman. Dengan demikian bioteknologi bersifat komplementer
dengan pemuliaan tanaman dalam memperbaiki suatu karakter tanaman
(Nasir, 2001).
Beberapa tahun terakhir, program bioteknologi telah terbukti memberikan
sejumlah manfaat u n W mengatasi berbagai keterbatasan &lam metoda
pemuliaan secara konvensional. Salah satunya adalah upaya transformasi genetik
tanaman dengan pemanfaatm sejurnlah gen yang bermanfaat dari berbagai species
untuk diekspresikan pada tanaman target.
Penerapan teknik transformasi genetik terbukti sangat membantu ddam
perakitan spesies tahan (herbisida, virus, dan penyakit) atau spesies unggul,
terutama jika ti& memunglunkan dilakukan dengan teknik konvensiond. Selain
itu juga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman
(Gunawan, 1992).
Tanaman cepat tumbuh, contohnya adalah Acacia mangium Willd yang
dikembangkan dengan penerapan teknik transfonnasi genetik dapat digunakan
sebagai solusi untuk meningkatkan produksi hutan. Kemajuan semacam itu dapat
menguntungkan dunia industri kayu, karena dalarn waktu yang relatif singkat
dapat menebang kayu untuk keperluan usahanya. Tanaman kayu yang biasanya
memerlukan wakh 10 hingga 12 t&un untuk bisa ditebang, dengan
transformasi genetik pohon tersebut sudah layak tebang dalam waktu 3 hingga 5
tahun dari waktu tanam.
Selain waktu tumbuh yang singkat, batang kayu juga bisa dibuat lurus
sehingga dapat menghemat areal hutan tanaman yang pada akhinya hasil
produksi kayu dapat ditingkatkan. Selain itu, kualitas kayu dapat ditingkatkan
karena proses tramformasi genetik dalam pohon tersebut dapat meningkatkan
berat jenis kayu sehingga kayu yang dihasilkan semakin bagus. Peningkatan berat
jenis pohon juga berarti peningkatan kandungan gula atau karbohidrat (C&I1206)
dalam pohon. Kandungan zat ini akan membuat semakin banyak gas
karbondioksida (C02)yang diserap oleh pohon. Sehingga adanya tanaman hail
transformasi genetik ini juga dapat digunakan mtuk mengurangi pencemaran
udara yang diakibatkan oleh gas C 0 2 .
Hartati et,al. (2005) menunjukkan bahwa pada beberapa eksplan yang telah
ditransformasi menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan
kontrol. Eksplan yang memberikan nilai tertinggi adalah pada eksplan pucuk
(63,63%) dan terendah addah pada kdus yang berasal dari embrio (3,35%).
Berdasarkan atas penelitian Hartati et.al. (2005) maka perlu dilakukan percobaan
selanjutnya untuk meningkatkan efisiensi transformasi pada berbagai eksplan
Acacia mangium Willd.
Sistem transformasi genetik yang paling umum digunakan adalah dengan
menggunakan Agrobacterium tumefaciens. Sistem ini telah banyak digunakan
karena efisien, sederhana dan stabil dalam mengintroduksikan suatu gen.

Perurnusan Masalah
Transforrnasi gen xyloglucanase menggunakan Agrobacterium
tumefaciens dapat merupakan salah satu solusi untuk memperoleh bahan tanaman
Acacia mangium Willd yang unggul, tetapi ha1 yang harus diperhatikan adalah
bagian eksplan apa yang dapat memberikan hasil transformasi yang terbaik.
Dengan demikian pertanyaan yang muncul pada penelitian ini adalah: apakah
dengan membandingkan berbagai eksplan Acacia mangium Willd dapat
menghasilkan metoda transformasi gen xyloglucanase yang lebih efisien?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan metoda yang efektif untuk
mengintroduksikan gen xyloglucanase ke dalam tanaman dan regenerasi tanman
Acacia mangium Willd yang telah ditransformasi.
TINJAUAN PUSTAKA

Botani Acacia mangium Willd


Acacia mangium Willd jenis legurn yang termasuk dalam famili
Leguminosae, sub-famili Mimosoideae. Acacia mangium Willd secara umum
dikenal sebagai brown salwood, black wattle, hickory wattle (di Australia).
Manggae hutan, tongke hutan, nak, laj, jerri (di Indonesia). Di Papua New
Guinea dikenal sebagai arr, di Malaysia dikenal sebagai nama mangium, kayu
sofada. Di Thailand dikenal sebagai kra thin tepa. Mangium mempunyai
beberapa nama lain, diantaranya adalah : Mangium montanum Rump dan Acasia
glaucescena, serta Rancosperma mangium (Willd) (Awang dan Taylor, 1993).
Buahnya berupa polong kering yang merekah dan melingkar ketika masak,
agak keras dengan panjang 7.8 cm dan lebar 3-5 rnrn. Biji berwarna hitam
mengkilat, lonjong, funicle berwarna oranye. Daun besar, panjangnya mencapai
25 cm, lebar 3-10 cm, berwarna hijau gelap dengan empat urat longitudinal (tiga
pada Acasia auriculiformis), daun majemuk. Secara umum Acacia mangium
Willd mencapai tinggi 25-35 m dengan bebas cabang melebihi setengah dari total
tinggi. Diameternya dapat mencapai lebih dari 60 cm. Pada lahan yang miskin,
pohon biasanya lebih kecil, dengan rata-rata tinggi antara 7 dan 10 m. Pohon
yang masih muda berwarna hijau, kulit kasar dan beralur, berwma abu-abu atau
coklat (Awang dan Taylor, 1993).
Pada tempat tumbuh yang baik, pohon berumur 9 tahun tingginya mencapai
23 m, dengan mta-rata riap diameter 2-3 c d t h dan produksi kayunya 41.5 m3/ha.
Acacia mangium Willd tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi. Jenis
ini dapat tumbuh pada tanah miskin hara, padang alang-alang, bekas tebangan,
tanah tererosi, tanah berbatu dan juga tanah aluvial. Acacia mangium Willd dapat
beradaptasi dengan tanah asam (pH 4.5-6.5) di dataran tropis yang lembab
(Awang dan Taylor, 1993).
Acacia mangium Willd termasuk jenis yang tumbuh cepat, tidak
memerlukan persyaratan tumbuh yang tinggi dan tidak begitu terpengaruh oleh
jenis tanahnya. Faktor lain yang mendorong pengembangan jenis ini adalah sifat
perturnbuhan yang cepat. Pada areal yang diturnbuhi alang-alang, umur 13 tahun
mencapai tinggi 25 meter dengan diameter rata-rata 27 cm serta hasil produksi
rata-rata 20 m3/ha/tahun. Acacia mangium Willd termasuk dalam kelas kuat III-
IV, berat 0,56-0,60 dengan nilai kalori rata-rata antara 4800-4900 k.cal/kg
(Dephut, 1994). Kegunaan kayu Acacia mangium Willd sebagai bahan
konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga
(a.1. lemari), lantai, papan dinding, tiang, tiang pancang, gerobak dan rodanya,
pemeras minyak, gagang alat, alat pertanian, kotak dan batang korek api, papan
partikel, papan serat, vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas. Selain itu baik juga
untuk kayu bakar dan arang (Mandang dun Pandit, 1997).

Pemuliaan Tanaman secara Konvensional dan Peranan Bioteknologi


Pemuliaan tanaman merupakan kegiatan untuk mengubah susunan genetik
tanaman secara tetap, sehingga memiliki sifat atau penampilan sesuai dengan
tujuan yang diinginkan pelakunya. Pemuliaan tanaman umumnya mencakup
tindakan penangkaran, persilangan, dan seleksi. Produk pemuliaan tanaman
adalah kultivar dengan ciri-ciri yang khusus dan bermanfaat bagi penanamnya.
Dalam kerangka usaha pertanian (agribisnis), pemuliaan tanaman merupakan
bagian awalkulu dari mata rantai usaha tani dan memastikan tersedianya benih
atau bahan tanam yang baik dan bermutu tinggi (Anonim, 2007).
Pemuliaan bertujuan untuk memanfaatkan perbedaan genetika antar
individu dalam populasi, dengan maksud merubah rata-rata ekspresi sifat-sifat
yang penting secara ekonomi sehingga meningkatkan hasil. Kebanyakan dari sifat
yang dimuliakan dipengaruhi oleh faktor genetika dan faktor lingkungan
(Finkeldey, 2005). Strategi dalam pemuliaan tanaman masa kini adalah dengan
melakukan peningkatan variasi genetik yang diikuti kemudian dengan seleksi
pada keturunannya. Peningkatan variasi genetik dapat dilakukan melalui berbagai
cara: Introduksi, persilangan, manipulasi genom, manipulasi gen atau bagian
kromosom, dan transfer gen (Anonim, 2007).
Uji genetik

genotype
Materi
genetik
Hibridisasi IPembiakan
vegetatif

Rekayasa genetika
Gambar 1 Diagram integrasi bioteknologi

Pertumbuhan dan Perkembangan Kayu


Kayu adalah bahan organik dengan susunan unsur 50% C, 6% H, 44% 0
(berdasar bobot), dan sedikit saja unsur lain. Kayu dapat juga disebut polimer
alami, mengingat 97-99% bobotnya berupa polimer (sekitar 90% pada kayu
tropis). Dari jumlah itu, sebesar 65-75% adalah golongan polisakarida. Dari
persfektif kimia, jaringan kayu (termasuk bahan sel dan zat antarsel) merupakan
bahan komposit yang dibangun dari berbagai polimer organik, yakni molekul
yang terbuat dari ribuan subunit atau monomer. Struktur dasar atau materi
kerangka dari semua dinding sel kayu ialah selulosa, yaitu molekul gula linear
berantai panjang, termasuk dalam keluarga polisakarida (karbohidrat) yang
tersusun dari monomer glukosa. Untuk mengisi struktur selulosa ini, ada bahan
polisakarida lain yang berbobot molekul rendah dan memiliki rantai samping yang
pendek. Karbohidrat yang dimaksud umufnnya merupakan kombinasi-kombinasi
dari gula berkarbon 5 (xilosa dan arabinosa) dan gula berkarbon 6 (glukosa,
manosa, dan galaktosa). Kombinasi gula tersebut arnat berbeda dengan selulosa
(terutama dalam konformasi dan bobot molekul), dikenal dengan istilah
hemiselulosa (Achmadi, 1990).
Pertumbuhan kayu dalam dimensi memanjang dan melebar adalah berkat
aktivitas sel khusus yang disebut meristem. Meristem apikal terletak di bagian
ujung batang atau cabang, juga di ujung akar, dan berperan dalam pertumbuhan
memanjang (pertumbuhan primer) dari kayu. Setelah melewati tahun pertama,
mulailah kegiatan meristem lateral, atau lazim disebut kambium vaskuler. Semua
sel di dalam zone kambium adalah hidup. Pada waktu pembentukan xylem,
mulailah serangkaian transformasi yang mengubahnya menjadi unsur kayu
dewasa. Sebagian dari turunan xylem dapat mengalami perusakan diri dan
modifikasi dinding sel, sehingga terbentuklah lumen. Selama fase pembelahan
dan pembesaran sel, dinding sel merupakan kantong yang tipis, lentur, dan dapat
melar, yang disebut dinding primer. Menjelang akhir proses pembesaran,
mulailah pembentukan dinding sekunder ke arah lumen dari dinding primer. Serat
kayu, pembuluh, dan unsur xylem dan phloem tertentu yang tidak berfungsi
sebagai penyalur d d a t a u pendukung, biasanya membentuk dinding sekunder
(Haygreen et al., 2002).

Gen xyloglucanase
Xyloglucanase merupakan sejenis enzim yang mengkatalisis reaksi
hidrolisis xyloglucan (Irwin et al., 2003). Xyloglucan adalah penyusun utama
hemiselulosa polisakarida pada dinding sel tanaman dikotil termasuk di dalamnya
sel kayu, yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan mikrofibril selulosa dan
secara potensial membentuk ikatan silang dengan mikrofibril (Campbell dun
Braam, 1998; Valls et al., 2006). Xyloglucan terdapat pada 20 % berat kering
dinding sel primer (York dan Eberhard, 2003).
Overekspresi xyloglucanase pada tanaman poplar (Populus tremula)
berhasil menunjukkan perubahan fenotip yang berarti, yaitu tanaman lebih tinggi,
dam lebih lebar, pertambahan diameter batang, indeks volume kayu, berat kering
dan persentase selulosa dan hemiselulosa lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh
adanya keterlibatan xyloglucanase pada proses pemutusan ikatan xyloglucan
yang terjadi saat elongasi (pemanjangan) sel, menyebabkan melemahnya dinding
sel dan mempercepat proses elongasi serta meningkatkan deposisi selulosa pada
xylem sekunder sehingga kualitas kayu yang dihasilkan semakin baik (Park et al.,
2004). Aktivitas pemutusan ikatan rantai xyloglukan juga memberi kontribusi
untuk merperkuat hubungan antara dinding sel primer dan dinding sel sekunder
pada jaringan yang akan membentuk kayu (Kallas et al., 2005).

Transformasi Genetik Tanaman


Teknik transformasi genetik merupakan salah satu metode penting dalam
biologi tanaman. Teknik transformasi genetik dapat dipergunakan untuk
mempelajari regulasi gen, identifikasi fhgsi gen, pengujian metabolisme,
mempelajari fisiologi serta perkembangan tanaman (Knight, 1992; Walkerpeach
dan Velten, 1994). Keberhasilan dalam melakukan rekayasa genetika
memerlukan beberapa faktor yaitu : tersedianya gen yang diinginkan, tersedianya
cara untuk mentransfer dan mengintegrasikan gen tersebut ke dalam sel tanaman
dan cara untuk meregenerasikan tanaman transgenik, dan kemampuan tanaman
untuk mengekspresikan gen yang telah diintroduksikan. Metode transformasi
genetik untuk mengintroduksikan gen terpilih ke dalam sel tanaman dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain menggunakan Agrobacterium
(Sudarsono, 1994).
Terdapat dua spesies Agrobacterium yang bersifat pathogen, yaitu
Agrobacterium tumefaciens sebagai penyebab penyakit tumor (crown gall) dan
Agrobacterium rhizogenes sebagai penyebab penyakit akar rambut (hairy root)
pada berbagai tanaman dikotil (Armitage et al., 1987). Agrobacterium
tumefaciens merupakan bakteri aerob obligat gram negatif yang hidup alami di
tanah, secara genetik dapat mentransformasi sel inang dan secara agronomi
merupakan penyakit yang penting menyerang tanaman dikotil. Interaksi antara
Agrobacterium dan sel tanaman adalah contoh alami yang diketahui dapat
mentransfer DNA (Deoxiribosa Nucleic Acid) antar kingdom. Pada proses ini,
DNA dipindahkan dari Agrobacterium ke dalam inti sel tanaman. Ekspresi dari
DNA yang ditransfer (T-DNA) mengakibatkan pertumbuhan tumor pada tanaman
inang. Gen yang dibawa T-DNA membawa gen-gen yang terlibat dalam sintesis
hormon pertumbuhan tanaman dan produksi opin (Sheng dan Citovsky, 1996).
Kemampuan bakteri mentransformasi sel tanaman berhubungan dengan
adanya plasmid penginduksi tumor (Ti) atau penginduksi akar (Ri) dalam
Agrobacterium. Dua daerah dalam Ti dan Ri yang penting untuk transformasi
yaitu T-DNA dan daerah vir. T-DNA merupakan bagian dari DNA yang terletak
dalam plasmid Ti yang berukuran 200 kb. Sedangkan daerah vir yang berukuran
35 kb terdiri dari tujuh lokus utarna (vir A, vir B, vir C, vir D, vir E, vir G, dan vir
H). Gen-gen vir mensintesis protein virulens yang berperan untuk menginduksi
terjadinya transfer T-DNA dan integrasi T-DNA ke tanaman. Gen vir berekspresi
jika terdapat inducer yang antara lain berupa senyawa monosiklik fenolik seperti
acetosyringone dan monosakarida seperti glukosa dan galaktosa. Disamping itu,
kondisi pH juga mempengaruhi ekspresi gen vir. Nilai pH yang sesuai berkisar
5,O-5,s. Senyawa fenolik dan monosakarida terbentuk pada saat tanaman dikotil
mengalami luka dan proses ini jarang terjadi pada monokotil
(Sheng dun Citovsky, 1996).
Interakasi antara Agrobacterium dengan sel tanaman didahului dengan
penginderaan (sensing) Agrobacterium terhadap sel rentan yang luka. Mekanisme
penginderaan ini terjadi secara kimiawi dimana sel tanaman yang luka
menghasilkan suatu metabolit yang berperan sebagai isyarat bagi Agrobacterium.
Metabolit tersebut dapat berupa senyawa gula, asam amino, atau senyawa fenol.
Dengan adanya isyarat tersebut maka Agrobacterium akan bergerak aktif menuju
sel tanaman target. Gerakan yang bersifat kemotaksis dipandu oleh senyawa yang
disekresikan oleh sel tanaman rentan yang luka (Schaad, 1988). Interaksi
dilanjutkan dengan terjadinya kontak antara Agrobacterium dengan sel tanaman
target. Untuk memperkuat kontak ini Agrobacterium mengeluarkan suatu
metabolit, yaitu P- 1,2-glukan. Beberapa gen dalam kromosom Agrobacterium
diketahui merupakan penyandi enzim yang berperan dalam sintesis berbagai
senyawa glukan, yaitu chvA, chvB dan exoC. Gen lain pada kromosom yang
peranannya seperti ketiga gen tersebut adalah cel, yang berperan dalam sintesis
senyawa selulosa fibril (Douglas et al., 1985).
Proses transfer T-DNA dari Agrobacterium ke genom tanaman memerlukan
adanya sekuen DNA yang berupa dua T-DNA border dan trans acting factor
virulensi. Satu atau beberapa molekul T-DNA dapat ditransfer dan terintegrasi
dalam genom tanaman, sehingga dalam kromosom tanaman akan terdapat satu
atau beberapa utas T-DNA yang terintegrasi pada satu situs yang sama atau
terpisah-pisah pada situs yang berbeda. Situs integrasi T-DNA di dalam DNA
tanaman tampaknya bersifat acak (Armitage et al., 1987).
Dengan menggunakan satu plasmid Ti dari Agrobacterium, maka beberapa
transgen dapat digabung dan ditempatkan di antara T-DNA dan selanjutnya
diintegrasikan ke dalam genom tanaman. Hal penting dalam proses transformasi
melalui Agrobacterium tumefaciens ini adalah transfer T-DNA ke inti tanaman
target, integrasi T-DNA tersebut ke dalam genom tanaman target yang diinduksi
oleh ekspresi gen-gen vir serta ekspresi gen-gen yang tertransformasi
(Cheng et al., 1998). Selain itu integrasi T-DNA yang membawa transgen ke
dalam genom resipien, akan mengalami sedikit pengaturan kembali secara intra
dan intermolekul, untuk memulihkan sistem iranskripsi dan translasi genom
tanaman resipien. Transformasi melalui Agrobacterium lebih menjamin
kestabilan genom tanaman resipien (Sheng dan Citovsky, 1996).

Seleksi Tanaman Transgenik


Tanaman transgenik yang terseleksi dapat diamati dengan adanya
pembentukan tumor pada sel-sel tanaman yang mengalami transformasi atau dapat
juga diamati melalui adanya pertumbuhan dalam kultur yang bebas hormon.
Selain itu dapat juga digunakan penanda seleksi yang disisipkan pada T-DNA
pada sel-sel yang mengalami transformasi (Nakas dan Hagedors, 1990).
Salah satu contoh penanda seleksi adalah gen ketahanan terhadap
antibiotik yaitu gen resisten terhadap kanamisin yang telah berhasil digunakan
sebagai penanda seleksi yang dapat terekspresi pada fenotipe untuk transformasi
pada beberapa spesies tanaman. Resistensi terhadap kanamisin telah berhasil
digunakan sebagai penanda seleksi pada beberapa tanaman. Resistensi terhadap
kanamisin ini disebabkan adanya gen nptII yang diperoleh dari transposon Tn5.
Gen ini menyandi enzim neomisin fosfotransferase dan cara pewarisannya pada
tanaman transgenik mengikuti pewarisan hukum Mendel untuk gen-gen dominan
(Nakas dan Hagedors, 1990).

Regenerasi In vitro
Regenerasi tanaman rnerupakan suatu proses perkembangan yang sangat
kompleks. Regenerasi kultur in vitro terjadi melalui pembentukan organ langsung
dari eksplan, pembentukan embrioid langsung dari eksplan, pembentukan organ
melalui kalus serta pembentukan embrioid melalui kalus. Upaya untuk
memperoleh regenerasi yang efisien sebagian besar dipusatkan pada pemilihan
bagian tanaman yang paling responsif serta penentuan jenis dan konsentrasi zat
pengatur tumbuh yang efektif. Perlakuan lain yang kadang-kadang perlu diuji
adalah cahaya, panjang penyinaran serta reaksi dalam sub kultur (Bhaskaran dan
Smith, 1990).
Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan,
1992). Selain untuk perbanyakan tanaman, teknik ini juga dapat digunakan untuk
memperbaiki tanaman, menghasilkan tanaman bebas virus, produksi metabolit
sekunder dan preservasi tanaman (Hartmann et al., 1990).
Teori yang mendasari teknik ini adalah konsep totipotensi yaitu sel yang
hidup memiliki kemampuan untuk berproduksi, membentuk organ dan
berkembang menjadi individu sempurna jika ditempatkan pada media dan
lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan (Pierik, 1987). Keberhasilan
menggunakan metode kultur jaringan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan
morfogenesis, sangat tergantung pada jenis dan fisiologi eksplan yang dikulturkan
(seperti organ yang digunakan, umur fisiologi, umur saat diambil, dari tanaman
asal, ulcuran dan kualitas tanaman asal), media yang digunakan, dan kondisi fisik
kultur. Faktor-faktor tersebut dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Eksplan
Pada dasarnya setiap bagian tanaman dapat digunakan sebagai eksplan.
Pernilihan material eksplan yang tepat akan mempengaruhi kesuksesan kultur
jaringan, baik dari segi organ, ukuran, umur, dan cara mengkulturkannya
(George dan Sherrington, 1984).
Surnber eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenetiknya.
Eksplan yang berasal dari satu organ memiliki keragarnan kemampuan
regenerasinya. Selain itu, morfogenetik juga dapat dipengaruhi oleh ukuran
eksplan. Ukuran yang terlampau kecil, baik berupa pucuk tunas maupun
meristem, fiagmen atau keseluruhan bagian tanaman, atau bagian kalus h a n g
daya hidupnya bila dikulturkan, sementara jika terlalu besar akan mempersulit
untuk mendapatkan eksplan yang steril dan dalam proses manipulasinya
(George dan Sherrington, 1984).
Kepadatan eksplan yang ditanam dalam tiap botol juga mempengaruhi
diferensiasi sel. Semakin banyak jumlah eksplan tiap botol, maka semakin
banyak jumlah sel yang tidak berdiferensiasi. Volume media kultur diduga ada
interaksinya dengan kepadatan eksplan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Interaksi ini diduga berhubungan dengan menurunnya
senyawa inhibitor dalam media (George dun Sherrington, 1984).
Media
Media kultur jaringan pada prinsipnya harus bisa menyediakan unsur-unsur
hara yang diperlukan untuk pertumbuhan seperti tanamm dilapang. Keberhasilan
dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat tergantung pada media yang
digunakan. Pemilihan komposisi media dan jenis media tergantung pada jenis
tanaman yang dikulturkan, faktor aerasi, dan bentuk pertumbuhan dari
deferensiasi yang diinginkan (Pierik, 1987).
Media kultur jaringan tanaman tidak hanya menyediakan unsur-unsur hara
makro (N,P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Fe, Mn,B, Cu,dan Mo), tetapi juga
karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang
biasanya didapat dari atrnosfer melalui fotosintesis. Hasil yang lebih baik juga
akan diperoleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan vitarnin-vitamin, asam
amino, dan zat pengatur tumbuh. Pada keadaan tertentu media kultur jaringan
juga dilengkapi dengan arang aktif (Gunawan, 1992).
Interaksi dan keseirnbangan zat pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam
media (eksogen) dengan yang dihasilkan oleh sel secara endogen, menentukan
arah pertumbuhan dan perkembangan suatu kultur. Pemilihan jenis dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh tergantung pada : (1) tipe pertumbuhan dan
perkembangan yang dikehendaki (kalus, akar, tunas, regenerasi dinding sel), (2)
taraf zat pengatur endogen, (3) kemampuan jaringan mensintesis zat pengatur
turnbuh, dan (4) interaksi antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen
(Gunawan, 1992).
Dalam kultur jaringan terdapat dua zat pengatur tumbuh tanaman yang
penting yaitu auksin dan sitokinin. Auksin berperan dalam merangsang
pembentukan kalus, pemanjangan sel, pembesaran dan pembentukan akar.
Beberapa eksplan secara alamiah memproduksi cukup auksin. Pengaruh sitokinin
adalah merangsang pembelahan sel dan multiplikasi tunas (George dan
Sherrington, 1984). Keseirnbangan auksin dan sitokinin pada media tumbuh juga
akan menentukan arah perkembangan eksplan. Tunas akan terbentuk bila
perbandingan konsentrasi auksin lebih tinggi dari sitokinin (Gunawan, 1992).
Kondisi fsik kultur
Kondisi fisik atau kepadatan media berpengaruh terhadap potensial air dan
tekanan osmotik, serta penyerapan hara tanaman. Kepadatan media ditentukan
oleh konsentrasi agar, pH media dan penambahan arang aktif. Konsentrasi agar
semakin tinggi dapat mengurangi difusi persenyawaan dari dan ke eksplan,
sehingga pengambilan hara dan zat pengatur tumbuh berkurang, sedangkan zat
penghambat dari eksplan tetap berkumpul di sekitar eksplan. Selain agar, ada
juga zat pemadat yang lain, yaitu gelrite yang dapat membentuk gel yang lebih
bening, pada konsentrasi 0,l-0,2% sudah dapat memadatkan media.
Derajat keasaman (pH) merupakan ha1 penting yang hams diperhatikan
dalam penyiapan media kultur jaringan tanaman. Karena pH dapat mempengaruhi
perturnbuhan dan perkembangan eksplan yaitu dapat mempengaruhi tersedianya
nutrisi dan hormon pada jaringan tanaman serta mempengaruhi fhgsi membran
sel dan pH sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan
fisiologi sel, juga hams memperhatikan : (1) kelarutan garam-garam penyusun
media, (2) pangaturan pengambilan zat-zat pengahu tumbuh dan gararn-garam
lainnya, dan (3) efisiensi pembekuan agar media (George & Sherrington, 1984).
Keasaman media pada umumnya berkisar antara 5,5-5,8 sebelum disterilisasi
(Gunawan, 1992).
Kondisi lingkungan kultur
Faktor lingkungan yang paling utarna mempengaruhi perturnbuhan dan
perkembangan kultur adalah cahaya dan suhu. Cahaya diperlukan karena
mempengaruhi morfogenesis, diferensiasi dm embriogenesis aseksual.
Kebutuhan cahaya dalam kultur meliputi kualitas cahaya, lama penyinaran, dan
intensitas cahaya (George dun Sherrington, 1984). Kualitas cahaya yang paling
baik untuk pertumbuhan kultur adalah putih. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan panjang penyinaran selama (14-16) jam memberikan hasil
yang baik. Intensitas cahaya dari lampu flourescent adalah antara (1000-4000)
lux dan ditempatkan dengan jumlah lampu dan kekuatan tertentu pada jarak
(40-50) cm dari tabung kultur, untuk luas area tertentu. Suhu di dalam ruang
kultur oleh banyak peneliti dilaporkan pada kisaran (25-28) OC memberikan
pengaruh yang baik untuk pertumbuhan tanaman in vitro. Suhu optimum untuk
pertumbuhan kultur jaringan tergantung dari jenis tanaman dan tempat turnbuh
alami dari tanaman tersebut (Gunawan, 1992).

Induksi Embrio somatik


Embriogenesis somatik yaitu suatu proses perkembangan nonseksual yang
menghasilkan suatu sel embrio bipolar yang berasal dari jaringan somatik. Tahap-
tahap perkembangannya serupa dengan embriogenesis normal dan menghasilkan
embrio tanpa hubungan vaskular dengan jaringan asalnya (Haccius, 1978).
Embriogenesis sornatik memiliki dua pola perkembangan yaitu embriogenesis
langsung (direct embriogenesis), yaitu embrio langsung terbentuk pada eksplan
tanpa melalui proses pengkalusan, dan embriogenesis tak langsung (indirect
embriogenesis), yaitu sebelum terbentuk embrio, eksplan membentuk kalus
terlebih dahulu. Embriogenesis langsung secara in vitro umurnnya terjadi pada
sel-sel eksplan yang masih muda Quvenil) sedangkan embriogenesis tak langsung
terjadi pada sel-sel yang telah mengalami diferensiasi, pembelahan sel,
transformasi menjadi sel embriogenik.
Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu
mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas.
Dengan memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui embrio somatik
lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar.
Disarnping stdturnya, tahap perkembangan embrio somatik menyerupai embrio
zigotik. Secara spesifik tahap perkembangan tersebut dimulai dari fase globular,
fase hati, fase torpedo, dan planlet (Henry et.al., 1998 dalam Gaj, 2001).
Lingkungan kimia dan lingkungan fisik mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap embrio somatik. Faktor kimia terpenting yang terlibat dalam
proses munculnya embrio somatik adalah kandungan auksin pada media,
campuran nitrogen yang ditambahkan sebagai nutrisi. Faktor fisik seperti
temperatur, intensitas cahaya, fotoperiode, udara, keadaan media dan kecepatan
pengocokan juga telah dilaporkan mempengaruhi embrio somatik. Temperatur
optimum adalah spesifik untuk setiap spesies clan tahap perkembangan. Perlakuan
panas atau dingin pada tahap tertentu dapat meningkatkan embriogenesis dan
perkecambahan dari embrio somatik dan propagul lain untuk perkembangan yang
lebih lengkap (Vajrabhaya, 1988).

Analisis Tanaman Transgenik

Analisis tanaman transgenik dalam proses transformasi genetik tanaman


dapat dilakukan pada berbagai tahapan, yaitu : introduksi gen, transkripsi,
translasi, dan pengujian efektifitas protein yang dihasilkan. Dewasa ini telah
dikenal berbagai teknik analisis tanaman transgenik seperti : Uji histokirnia P-
glucuronidase (uji Gus), analisis Polymerase Chain Reaction (PCR), analisis
Sothern Blot, Northern, Western, ELISA dan lain-lain. Untuk gen ketahanan
terhadap serangga, pengujian efektifitas protein yang dihasilkan terhadap serangga
target dapat d i l w a n melalui uji hayati, uji pakan dan sebagainya.
Uji GUS
Uji histokimia P-glucuronidase (uji GUS) dapat dilakukan pada tahap awal
segera setelah ko-kultivasi maupun setelah gen terintegrasi dengan stabil di
kromosom. Warna biru yang muncul pada sel atau jaringan menunjukkan hasil
transformasi positif. Warna biru disebabkan oleh reaksi substrat X-gluc (5-bromo-
dengan enzim P-glucuronidase menjadi
4-chrorno-3-irtdoZyZ-~-D-glucuronide)
suatu senyawa perantara yang kemudian melalui reaksi dimerisasi oksidatif
membentuk senyawa dichloro-dibromoindigo (CIBr-Indigo) yang berwarna biru
(Stomp, 1992). Warna biru tersebut menunjukkan telah terekspresinya gen gus-A.
Pemakaian gen gus-A sebagai gen penanda pada proses transformasi genetik
sangat menguntungkan, karena produk gen ini dapat diarnati secara in vivo pada
irisan jaringan dengan menggunakan teknik histokirnia, sehingga gen gus-A sering
dipergunakan sebagai penanda dalam kondisi dimana pemakaian antibiotik tidak
memunglunkan bagi regenerasi tanaman (Lal dan Lal, 1993). Gen gus banyak
dipergunakan sebagai penanda pada sistem transformasi tanaman dan seringkali
digunakan untuk mempelajari fimgsi promoter (Jefferson, 1987).
Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR merupakan teknik analisis tingkat DNA, yang menggunakan
penggandaan urutan basa DNA spesifik secara in vitro, seperti pada cara replikasi
DNA, dengan bantuan enzirn polimerase dan pemanfaatan perubahan sifat fisik
DNA terhadap suhu (Davis et al., 1994). Keuntungan teknik PCR diantamnya
adalah analisisnya cepat, tidak diperlukan DNA dalam jumlah banyak, dapat
dilakukan pada fase awal pertumbuhan dan metode ekstraksi DNAnya relatif
sederhana. Dalam transformasi genetik, teknik PCR dapat dipergunakan untuk
mengamplifikasikan gen yang telah diintroduksi ke sel tanaman target untuk
membuktikan keberadaannya.
Dengan reaksi PCR, DNA dapat diperbanyak dengan menggunakan enzim
polymerase yang dihasilkan oleh bakteri termofilik melalui serangkaian
pengaturan suhu yang berbeda selama waktu tertentu pada satu siklus
perbanyakan. Dalam satu siklus perbanyakan, terjadi penggandaan urutan basa
cetakan. Masing-masing siklus terdiri dari tiga tahap yaitu tahap denaturasi DNA,
penempelan (annealing) dan sintesis DNA (Krawetz, 1989). Pada tahap pertama
DNA didenaturasi dengan meningkatkan suhu sehingga 95 O C selama 60-90 detik.
Tahap berikutnya suhu diturunkan hingga 55 "C atau antara 40-60 "C tergantung
panjang primer selama 30-60 detik untuk penempelan primer ke DNA target
secara spesifik. Pada tahap terakhir suhu dinaikkan kembali sekitar 72 OC untuk
sintesis DNA yang dimulai dari ujung 3' hidroksil pada masing-masing primer
(Krawetz, 1989; Cha dun Thilly, 1993). PCR merupakan metode yang sangat
sensitif sehingga dengan hanya satu molekul DNA dapat memperbanyak DNA
jutaan kali, sehingga sangat bermanfaat baik pada penelitian maupun penggunaan
komersial (Promega, 1996).
Southern Blot
Keuntungan analisis Southern blot selain dapat menunjukkan integrasi gen,
juga dapat mengetahui jumlah salinan DNA yang terintegrasi, serta galur
independent transgenik. Analisis Southern blot dapat dipergunakan untuk
mengetahui jumlah salinan gen dan kejadian transformasi yang berbeda setelah
pemotongan DNA tanaman transgenik dengan enzim restriksi tertentu yang
memotong pada situs tunggal dalam DNA plasmid. Produk hibridisasi berasal
dari gen yang diintroduksikan dari hasil pemotongan DNA genomik sehingga
polimorfisme yang terbentuk menunjukkan sisi integrasi yang berbeda (Casas et
al., 1995). Selain dipergunakan untuk membedakan kejadian transformasi,
analisis Southern blot dapat membedakan integrasi ekstra kromosomal dan
kromosomal (Davis et al., 1994). Kelemahan penerapan metode Southern blot
adalah memerlukan sejumlah DNA yang relatif banyak dengan kemurnian tinggi
dan waktu pelaksanaan relatif lama (Sambrook et al., 1989).
Northern Blot
Hibridisasi Northern merupakan suatu prosedur yang dipergunakan untuk
identifikasi dan analisis transkip RNA (Kafatos et al., 1979). RNA tidak dapat
berikatan secara efisien pada membran, sehingga dalam analisis northern
dipergunakan suatu membran spesifik dimana RNA dapat berikatan secara
kovalen. Ikatan RNA tersebut dapat dihibridisasi dengan menggunakan probe
RNA radioaktif atau DNA utas tunggal (Freifelder, 1995).
Dalam analisis Northern, sekuen RNA spesifik dideteksi menggunakan
teknik bloting yaitu RNA ditransfer dari agarose ke membran. Hasil bloting
dianalisis melalui proses hibridisasi dengan probe RNA. RNA merupakan bentuk
utas tunggal, sehingga dapat membentuk struktur sekunder melalui pasangan basa
intramolekul, sehingga hams dielektroforasi di bawah kondisi denaturasi.
Denaturasi dilakukan dengan penambahan formaldehid ke gel maupun loading
buHer, atau perlakuan glyoxal dan dimethyl sulfoxide (DMSO) pada loading
bufler. Berbagai bahan untuk denaturasi gel RNA telah dipergunakan termasuk
formaldehid, glyoxal dan methilmercuri klorida yang sangat toksik. Total RNA
dapat dipergunakan untuk proses hibridisasi northern, akan tetapi total RNA
biasanya memberikan hasil yang kurang memuaskan sebab terjadi hibridisasi
nonspesifik. Meskipun sedikit, molekul rRNA akan menghasilkan signal
hibridisasi yang lebih kuat (Ausubel, 1995).
Western Blot
Western blot merupakan suatu metode yang dipergunakan untuk
mendeteksi DNA-binding protein. Dalarn metode ini protein dipisahkan dengan
elektroforesis dan ditransfer ke suatu membran sehingga protein akan berikatan
secara kovalen. Sebagai probe dipergunakan utas ganda DNA radioaktif dengan
cara penggabungan dari radioaktivitas dengan pita-pita protein yang menunjukkan
bahwa protein tertentu merupakan DNA binding protein (Dale 1995;
Freifelder, 1995).
Prinsip dasar Western blot adalah identifikasi pemisahan protein yang tidak
terlabel dengan SDS gel elektroforesis polyacrilamide (PAGE) yang didasarkan
pada immunoradioaktivitasnya dengan menggunakan antibodi monoklonal.
Kemudian protein ditransfer ke membran dan diberi perlakuan awal untuk
mereduksi ikatan nonspesifik dari antiserum ke membran. Inkubasi membran
dilakukan dengan antiserum spesifik, kemudian diinkubasi dengan antibodi yang
berkonjugasi dengan reagen pendeteksi dan berikatan pada antiserum primer.
Setelah itu diikuti deteksi dari immunoreaksi diantara antiserum primer dan target
protein spesifik (Davis et al., 1994).
Park et. al. (2004) telah melakukan uji ekspresi pada tanaman poplar yang
telah ditransformasi dengan menggunakan teknik Western blot. Analisis
Polymerase Chain Reaction (PCR) juga telah dilakukan sebelum Western blot.
Hasil uji ekspresi memberikan nilai positif dengan munculnya pita-pita. Western
blot adalah teknik yang paling tepat untuk uji ekspresi protein pada tanaman yang
telah ditransformasi.
Uji Hayati
Untuk pengujian resistensi tanarnan terhadap serangga tersedia berbagai
teknik uji hayati baik yang dilakukan pada skala rumah kaca, laboratorium
maupun lapang. Tahap perkembangan serangga yang diinfestasikan sangat
bervariasi baik dalam bentuk telur, larva maupun nirnfa, dan bagian tanaman yang
diinfestasikan juga beragam baik berupa daun, batang, bagian tanaman lain
maupun tanaman utuh. Di samping itu, dikenal berbagai teknik untuk
menentukan mekanisme resistensi seperti uji antisenosis, uji antibiosis, dan uji
toleransi (Panda dan Khush, 1995).
BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu


Penelitian dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler Tanaman,
Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI, Cibinong, mulai bulan Agustus 2006 sarnpai
dengan Agustus 2007.
Bahan dan Alat
Eksplan yang digunakan pada transformasi adalah kalus clan tunas
majemuk yang berasal dari embrio. Sedangkan pucuk, batang dan daun berasal
dari biji Acacia mangium Willd yang telah dikecambahkan pada media MS. Biji
berasal dari Kebun Botani PUSPIPTEK, Serpong.
Vektor yang digunakan dalam transformasi adalah Agrobacterium
tumefaciens LBA4404 yang membawa gen xyloglucanase, gen nptII, dan
promotor 35s pada plasmid pAaXEG300. Vektor ini diperoleh Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIP1 dari RISH (Research Institute for Sustainable
Huymanosphere), Kyoto university, Jepang dalam rangka kerjasama Bioteknologi
Kehutanan.

Gambar 2 Peta plasmid pAaXEG300. RB (batas kanan) dan LB (batas kiri)


T-DNA (Sumber: Research Institute for Sustainable
Huymanosphere, Kyoto University, Jepang)
Media yang digunakan yaitu media MS (Murashige Skoog), media ?4MS
dengan penambahan Kanarnisin, Carbenicillin, TDZ (Thidiamron), dan IAA.
Bahan kimia yang digunakan pada kegiatan sterilisasi adalah deterjen, fungisida
Dithane M-45, Masalgin, Ethanol 70%, Byclin, dan akuades steril. Bahan kimia
lain yang juga digunakan adalah Yeast Extract 1 grtl, Saytone 4 grll, Peptone 5
grll, Sucrose 5 grll, MgS04 . 7 H20 0.246 grll, dan Bacto Agar 14 grll.
Alat dan barang aus yang digunakan pada penelitian ini antara lain
aluminium foil, botol kultur, otoklaf, petridish, botol alkohol, corong, gelas piala,
gelas ukur, hot plate magnetic, stirer, inkubator, laminar airflow, bunsen, pH
meter, shaker, spatula, mikro pipet, dan timbangan analitik.

Metode Penelitian
Persiapan eksplan
Bahan tanaman yang digunakan untuk menyediakan eksplan yang akan
ditransformasi adalah biji Acacia mangium Willd. Prosedur sterilisasi yang
digunakan adalah yang telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi -
LIPI, Cibinong. Sterilisasi dilakukan dengan cara biji Acacia mangium Willd
diberi deterjen (Sunlight) kemudian diletakkan pada air mengalir selama 10 menit.
Kemudian, biji Acacia mangium Willd direndam pada air panas (80 OC) selama
30 menit, rendaman biji Acacia mangium Willd dikocok dengan menggunakan
shaker selama 30 menit dengan menambahkan Dithane (4 g/100 ml), dibilas 3 kali
dengan menggunakan akuades. Tahap selanjutnya biji Acacia mangium Willd
direndam pada larutan Masalgin (4 g1100 ml), dikocok dengan menggunakan
shaker selama 30 menit, kemudian dibilas 3 kali dengan akuades steril di dalam
laminar airflow. Setelah itu, biji Acacia mangium Willd direndam pada larutan
Bayclin yang telah diencerkan 1.5 kaIi selama 10 menit, kemudian dibilas 3 kali
dengan akuades steril. Selanjutnya, biji Acacia mangium Willd direndam pada
Ethanol 70% selama 5 menit, lalu dibilas dengan akuades steril3 kali. Biji Acacia
mangium Willd dipindahkan ke botol steril, kemudian ditutup rapat dengan
aluminium foil dan dikocok dengan menggunakan shaker selama 24 jam.
Bahan tanaman yang digunakan untuk induksi embrio somatik adalah
berupa embrio dan kotiledon yang berasal dari biji Acacia mangium Willd yang
telah steril, dengan cara biji dikupas untuk diambil embrionya cialam laminar
airflow. Untuk mendapatkan kalus yang embriogenik, embrio dikecambahkan
pada media MS yang dilengkapi dengan 0,25 mg/l IAA, 1 mg/l TDZ, 20 grA
sukrosa, dan 2 g/l gelrite selama 3-4 bulan. Biji Acacia mangium Willd yang
tidak dikupas kulit bijinya, dikecambahkan pada media MS tanpa zat pengatur
tumbuh selarna 3-4 bulan.

Optimasi media seleksi


Untuk mendapatkan konsentrasi antibiotik Kanamisin dan Carbenicillin
yang tepat dalam menyeleksi tanaman Acacia mangium Willd transgenik,
dilakukan uji efektifitas konsentrasi antibiotik pada media MS yang dilengkapi
dengan 0,25 mg/l IAA, 1 mg/l TDZ, 20 gr/l sukrosa, dan 2 grA gelrite. Kanamisin
dan carbenicillin ditarnbahkan pada media seleksi setelah media diotoklaf dan
dibiarkan dingin sampai suhu sekitar 50 OC. Konsentrasi Kanamisin yang diuji
adalah 0, 100, 200, dan 400 mg/l. Sementara konsentrasi Carbenicillin yaitu
225 mg/l.

Kultur Agrobacterium tumefaciens


Agrobacferium tumefacciem yang mengandung pAaXEG300 ditumbuhkan
pada media YES-cair yang telah ditarnbah 50 mg/l Kanamisin. Diinkubasi dan
dikocok dengan menggunakan shaker (1 50 rpm) pada suhu 28 OC selama 24 jam.
Selanjutnya diremajakan pada media YES-cair baru, diinkubasi dan dikocok
kembali dengan menggunakan shaker (150 rpm) pada suhu 28 OC selama 24 jam.
Suspensi bakteri ini disentrifbgasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit
pada suhu 4 OC untuk diambil peletnya. Kemudian pelet dibilas dengan air steril
clan disentrifbgasi kembali (3000 rpm) selama 10 menit pada suhu 4 OC. Pelet
bakteri kemudian dilarutkan dengan aquades steril, diukur pada
selanjutnya siap digunakan untuk transformasi.

Transformasi dan regenerasi


Transformasi dilakukan dengan mengikuti prosedur dari Xi dan Hong
(2002) dengan beberapa modifikasi. Inokulasi dilakukan dengan perendaman
eksplan bersarna suspensi bakteri selama 5 menit. Setelah kokultivasi selama 1
hari pada media ?4 MS eksplan dipindah ke media seleksi dengan konsentrasi
kanamisin 0, 100, 200, dan 400. Pengamatan dilakukan terhadap eksplan yang
tumbuh pada tiap media seleksi.
Eksplan yang tumbuh pada media seleksi selanjutnya dipindah pada media
regenerasi yang terdiri dari media MS yang dilengkapi dengan 0,25 mg/l IAA, 1
mg/l TDZ, 20 grll sukrosa, dan 2 g/l gelrite. Pengamatan dilakukan terhadap
persentase eksplan kalus yang membentuk somatik embrio, jumlah daun yang
tumbuh pada eksplan pucuk dan batang. Untuk menumbuhkan akar pada eksplan
pucuk dan batang, eksplan dipindah ke media MS yang dilengkapi den- 0,25
mg/l IAA, 20 grll sukrosa, dan 2 g/l gelrite.

Uji ekspresi Western blot


Untuk mengetahui keberhasilan transformasi, pada eksplan hasil kokultivasi
dan eksplan yang tumbuh di media seleksi dilakukan uji ekspresi Western blot.
Metoda yang digunakan adalah metoda yang telah dilakukan di Pusat Penelitian
Bioteknologi-LIPI, Cibinong sesuai dengan metoda yang telah dilakukan Park et
al. (2004) pada tanaman poplar yang telah ditransformasi.

Ekstraksi protein. Bahan tanaman (2-3 tangkai daun) yang diduga transgenik
berdasarkan uji media seleksi yang mengandung Kanamisin dirnasukkan ke
tabung Eppendorf yang berisi 200 p1 buffer pengekstrak (Sodium acetat pH 5,5),
digerus dengan penggerus plastik biru sampai dengan homogen. Kemudian
dibiarkan selama 30 menit di dalam es. Setelah disentrifbgasi dengan kecepatan
12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 "C, kemudian supernatan diambil dan
disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit pada 4 OC.

Prosedur Western blot. Sampel protein dipisahkan dengan 10% SDS-PAGE.


Selanjutnya dielektrotransfer ke membran Hybond ECL. Membran direndam pada
larutan blocking buffer (4% susu rendah lemak + TBS), diinkubasi pada suhu 4 "C
semalaman. Kemudian dibilas dengan aquades steril dan pembilasan dilanjutkan
dengan TBS sebanyak 3 M i . Selanjutnya direndam kembali pada antibodi
primer (10 pl TBS + 10 pl XEG), digoyang dengan menggunakan shaker selama
60 menit. Bilas dengan TBS sebanyak 3 M i . Membran direndam pada antibodi
sekunder (10 pl TBS + 2 pl anti rabbit), dieoyang dengan menggunakan shaker
selama 60 menit. Bilas dengan TBS sebanyak 3 kali. Membran direndarn pada
antibodi ke tiga (10 pl TBS +2 pl S-avidin + 2 pl HRP), digoyang dengan
menggunakan shaker selama 30 menit. Bilas dengan TBS sebanyak 3 kali.
Protein dideteksi dengan ECL solution.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Sterilisasi dan penanaman biji Acacia mcmgium Willd


Metoda sterilisasi yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan atas
metoda standar Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong. Biji Acacia
mangium Wiild berasal dari Kebun Botani PUSPIPTEK, Serpong. Pada Tabel 1
dapat dilihat persentase biji yang berkecambah pada media MS.

Tabel 1 Persentase biji Acacia mangium Willd yang berkecambah pada media
MS tanpa zat pengatur tumbuh

Percobaan Jumlah biji yang Persentase biji yang


dikecambahkan berkecambah
1 150 1201150 (80%)

Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata persentase biji Acacia mangium


Willd yang berkecambah sebesar 86,67%. Persentase kecambah ini dipengaruhi
oleh kematangan biji secara fisiologis, kesehatan biji, dan perlakuan pemecahan
dormansi. Biji yang telah matang secara fisiologis akan cepat berkecambah.
Secara visual biji yang telah matang secara fisiologis mempunyai ciri-ciri yaitu
berkulit hitam mengkilat, ukuran lebih besar dibanding biji yang lain, dan biji
lebih bersih. Selain itu, Acacia mangium Willd memiliki kulit biji yang sangat
keras, sehingga perlu perlakuan pemecahan dormansi. Pemecahan dormansi dapat
dilakukan dengan 3 cara yaitu, menggunakan bahan kirnia seperti perendaman
pada HzS04, perlakuan secara biologi seperti penjemuran biji dibawah sinar
matahari, dan perlakuan secara mekanis seperti pengamplasan clan perendaman
pada air 80 "C . Pada penelitian ini, pemecahan dormansi dilakukan secara
mekanis yaitu dengan cara perendarnan pada air 80 OC selama 30 menit. Biji
mulai berkecambah pada hari ke 3 setelah tanam pada media MS.
Perendaman biji pada air 80 OC juga berfhgsi untuk memudahkan
kegiatan isolasi eksplan, mengurangi faktor kontaminan yang menempel pada
permukaan kulit biji seperti debu, cendawan, dan bakteri. Semakin besar ukuran
eksplan maka semakin luas permukaannya dan kemungkinan adanya kontaminan
juga semakin besar. Selain itu, kontaminan juga dapat berasal dari alat diseksi
yang digunakan.

Gambar 3 Eksplan Acacia mangium Willd berumur 3 bulan pada media MS


(material untuk transformasi)

Gambar 3 menunjukkan pertumbuhan biji Acacia mangium Willd pada


media MS dan diinkubasi pada suhu 20-22 "C. Pertumbuhan tanaman secara in
vitro dipengaruhi oleh jenis eksplan, media, kondisi fisik kultur, dan kondisi
lingkungan kultur seperti cahaya dan suhu ruangan kultur. Kualitas cahaya yang
paling baik untuk pertumbuhan kultur adalah put& sedangkan suhu optimum
untuk pertumbuhan kultur tergantung dari jenis tanaman dan tempat tumbuh alami
dari tanaman tersebut, namun umumnya untuk tanaman tropis berkisar 25 "C.

Induksi embrio somatik Acacia mangium Willd


Induksi embrio somatik ini bertujuan untuk mendapatkan embrio somatik
yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan b.ansformasi. Media induksi
yang digunakan pada penelitian ini adalah media MS dengan 2% gelrite, 0,25
mgll IAA dan 1 mgA TDZ. Komposisi ini diperoleh dari peneliti sebelumnya
(Mardewi, 2005) dengan sedikit modifikasi. Komposisi zat pengatur tumbuh
yang digunakan Mardewi (2005) yaitu 0,25 mg/l IAA dan 2 mg/l TDZ, dengan
persentase eksplan yang memproduksi kalus adalah 96%.
Tabel 2 Persentase embrio dari biji Acacia mangium Willd yang berkalus dan
tumbuh tunas majemuk pada media MS + 0,25 mg/l IAA + 1 mg/l TDZ

Percobaan Jumlah embrio Persentase embrio Persentase tumbuh


yang diinduksi yang mengkalus tunas majemuk
1 100 901100 (90%) 151100 (15%)

Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata persentase embrio dari biji Acacia


mangium Willd yang mernproduksi kalus sebesar 92,33%. Pertumbuhan kalus
sangat dipengaruhi oleh media tanam yang dilengkapi dengan unsur hara dan zat
pengatur tumbuh. Persentase tunas majemuk yang tumbuh sebesar 11,67%.
Tunas majemuk ini muncul karena tidak sempurnanya pemisahan yang dilakukan
antara embrio dengan titik tumbuh, sehingga pertumbuhan tunas majemuk yang
tidak diharapkan terjadi.
Gunawan (1992) menyatakan bahwa interaksi dan perimbangan antara zat
pengatur hunbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara
endogen akan menentukan arah perkembangan suatu kultur. Untuk biakan yang
diambil dari jaringan yang berbeda, zat pengatur tumbuh di dalam media terutama
auksin, atau auksin yang dikombinasikan dengan sitokinin tarnpaknya penting
bagi pertumbuhan awal dan induksi embriogenesis. Wetherel (1982) menyatakan
bahwa peran auksin yang pertama dalam kultur adalah merangsang pembelahan
dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman clan menyebabkan
pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Sedangkan peran auksin kedua adalah
merangsang pembentukan akar. Peranan sitokinin dalam mikropropagasi adalah
merangsang pembelahan sel dalam jaringan eksplan dan merangsang
pertumbuhan tunas dam. Menurut Watimena (1992) sitokinin juga berpengaruh
terhadap perkembangan embrio, menghambat proses penghancuran butir klorofil.
Gambar 4 Kalus yang berasal dari embrio Acacia mangium Willd
pada media MS + 0,25 mg/l IAA + 1 mg/l TDZ
(A. Embrio berumur 12 rninggu, B. Kalus ,dan C. tunas majemuk)

Pengamatan yang dilakukan pada pembentukan kalus diawali dengan


terjadinya pemanjangan dan pembengkakan pada hari ke 3 setelah tanam pada
media induksi dan terjadi perubahan warna, yaitu warna embrio sebelum tanam
adalah kuning, setelah tanam berubah menjadi kuning keputihan. Kalus mulai
muncul pada hari ke 12. Zat pengatur tumbuh yang digunakan pada penelitian ini
adalah IAA dari golongan auksin dan TDZ dari golongan sitokinin. TDZ
merupakan jenis sitokinin yang paling kuat untuk pembelahan sel. Menurut
Sulistiani (1997) bahwa keberhasilan TDZ dalam menghasilkan embrio somatik
dari biji sengon adalah dengan menggunaan TDZ pada konsentrasi 1,s mg/l
dengan lama induksi 8 minggu.
Mekanisme perubahan ekspresi gen tersebut ternyata berhubungan dengan
banyaknya auksin eksogen. Dengan demikian, penggunaan auksin atau senyawa
mirip auksin pada metode induksi embriogenesis somatik sangat diperlukan. Pada
beberapa jenis tanaman, sitokinin digunakan dan dikombinasikan dengan auksin
untuk induksi embriogenesis somatik.
Terdapat dua fase pertumbuhan yaitu fase pembelahan dan fase
pembesaran sel. Pada fase pembelahan zat pengatur tumbuh yang berperan adalah
sitokinin, selanjutnya sel akan mengalami pembesaran yang distimulir oleh
auksin. Auksin dalam konsentrasi rendah akan menstimulir pembesaran dan
perpanjangan sel setelah terjadinya pembelahan sel yang distimulir oleh sitokinin
(Watirnena, 1987).
Pengamatan yang dilakukan pada rninggu ke 12, dapat dilihat bahwa kalus
berubah warm menjadi coklat. Siswanto (2000) menyatakan bahwa fenolik yang
menyebabkan pencoklatan pada kopi arabika terlihat menghambat embriogenesis
somatik. Menurut Figueora et al. (2001) pencoklatan pada jaringan yang
disebabkan oleh akumulasi senyawa fenolik yang berlebihan penting untuk proses
embriogenesis somatik pada tanaman kopi. Kemungkinan senyawa fenolik ini
berperan sebagai signal untuk induksi diferensiasi. Kemungkinan lain, senyawa
ini juga berperan sebagai faktor yang menginaktifkan senyawa-senyawa
penghambat yang terdapat dalam kultur embriogenik.
Kendala dalam penerapan embriogenesis yaitu peluang terjadinya mutasi
lebih tin@ apabila menggunakan auksin dengan konsentrasi tinggi dalam jangka
waktu lama, metode lebih sulit, ada p e n m a n daya morfogenesis dari kalus
embriogenik karena sub kultur berulang serta memerlukan penanganan yang lebih
intensif untuk memelihara kemampuan embriogenesis. Apabila tidak secara
kontinyu dipelihara maka akan kehilangan kemampuan embriogenesis karena
tertutupi kalus fiiabel yang tidak diinginkan.

Seleksi terhadap resistensi Kanamisin pada eksplan yang belum


ditransformasi
Seleksi eksplan terhadap resistensi Kanamisin bertujuan untuk mengetahui
konsentrasi Kanamisin yang menghambat pertumbuhan dan bahkan dapat
menyebabkan eksplan tersebut mati. Eksplan yang digunakan pada penelitian ini
yaitu; pucuk, batang, daun, kalus, dan tunas majemuk. Media seleksi yang
digunakan diberi zat pengatur turnbuh 0,25 mg/l IAA dan 1 mg/l TDZ.
Sedangkan antibiotik yang digunakan adalah 225 mg/l Carbenicillin clan
Kanamisin dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 0,100,200, dan 400 mg/l.
Pada pucuk Acacia mangium Willd yang berasal dari lapang kemudian
ditumbuhkan secara in vitro hingga 3-5 bulan, kemudian ditumbuhkan pada media
yang mengandung 300 mg/l Kanarnisin, pertumbuhan bahan tanaman sudah mulai
terhambat (Xie dan Hong, 2002). Penelitian yang dilakukan Hartati et al. (2004)
pada tanaman Acacia mangium Willd menunjukkan bahwa bahan tanaman mulai
terhambat pertumbuhannya pada media seleksi yang mengandung Kanamisin
dengan konsentrasi 600 mg/l. Dari penelitian sebelumnya dapat diduga bahwa
perbedaan ketahanan terhadap Kanamisin dipengaruhi oleh adanya perbedaan
genotip tanaman, umur jaringan, serta kondisi kultur jaringan.
Salah satu tahapan penting yang harus dilalui dalam proses transformasi
genetik untuk memperoleh tanaman transgenik adalah seleksi. Tersedianya
metode seleksi awal pada tanarnan transgenik sangat membantu dalam menyeleksi
tanaman transforman. Tahap awal yang dapat dilakukan adalah dengan
menumbuhkan tanaman hasil transformasi pada media seleksi yang mengandung
antibiotik tertentu tergantung gen penanda yang dipakai.
Gen penanda yang digunakan pada penelitian ini adalah Kanamisin,
sehingga perlu dilakukan uji coba ketahanan terhadap Kanamisin yang dilakukan
hingga 8 minggu. Kanamisin merupakan kelompok antibiotika aminoglikosida
yang efektif menghambat sintesis protein melalui aksinya terhadap ribosom sub-
unit 30s dan bekerja efektif baik pada organisme prokariot maupun eukariot.
Media seleksi yang digunakan diberi zat pengatur tumbuh 0,25 mg/l IAA
dan 1 mg/l TDZ. Sedangkan antibiotik yang digunakan adalah 225 mg/l
Carbenicillin dan Kanamisin dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 0, 100, 200,
dan 400 mg/l. Eksplan yang digunakan pada penelitian ini ada lima jenis, yaitu;
pucuk, batang, daun, kalus, dan tunas majernuk. Eksplan yang mengalami
nekrosis hingga rninggu ke 8 pengamatan pada media yang mengandung
Kanarnisin dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Uji konsentrasi Kanamisin pada berbagai eksplan Acacia mangium


Willd yang tidak ditransformasi

Konsentrasi Persentase eksplan yang nekrosis


kanamisin pucuk batang Daun tunas kalus
(m@J1) majemuk
0 015 (0) 015 (0) 015 (0) 015 (0) 015 (0)

Tabel 3 menunjukkan bahwa eksplan bertahan hidup namun pada


konsentrasi Kanamisin 200-400 mg/l beberapa eksplan mengalami nekrosis
hingga minggu ke 8 pengamatan. Pada media tanpa Kanamisin (0) dapat dilihat
bahwa eksplan tidak mengalami nekrosis, tumbuh segar, tetapi eksplan
membentuk kalus. Begitu juga pada eksplan yang ditumbuhkan pada media
seleksi 100 mgh Kanamisin, tetapi eksplan tidak membentuk kalus. Konsentrasi
Kanamisin 200 mg/l dan 400 mg/l menyebabkan nekrosis dan eksplan mengalami
browning dan akhirnya mati. Eksplan tampak kering dan mengalami browning
dan mati. Eksplan yang mengalami neksrosis tertinggi terlihat pada eksplan
dam, sebesar 80% dan yang terendah adalah pada eksplan pucuk dan tunas
majemuk sebesar 40%. Sebelumnya telah dilakukan pengujian yaitu eksplan
pucuk ditumbuhkan pada konsentrasi Kanamisin 600 mg/l, pada minggu ke 2
tanaman mengalami nekrosis dan pada minggu ke 4 mengalami kematian.
Penggunaan sistem seleksi antibiotik dilaporkan sering menyebabkan
sebagian besar sel yang tertransformasi tidak atau sulit beregenerasi, diduga
karena adanya penghambat pertumbuhan atau toksin yang dikeluarkan dari sel
nontrmsgenik yang mati atau karena terganggunya transportasi senyawa esensial
melalui jaringan mati tersebut (Haldrup et al., 200 1).
Seleksi tahap awal dengan menggunakan media yang mengandung
antibiotik Kanamisin dan menentukan konsentrasi Kanamisin yang tepat sangat
diperlukan, mengingat respon setiap tanaman terhadap antibiotik K a n d s i n
berbeda-beda. Sel atau kalus yang tidak dilengkapi dengan sifat ketahanan
Kanamisin akan berhenti tumbuh atau mati bila ditumbuhkan pada media seleksi
yang mengandung Kanamisin. Dari penelitian optirnasi media seleksi ini,
dihasilkan bahwa penambahan Kanamisin 400 mgll ke dalam media seleksi dapat
digumkan sebagai konsentrasi yang menghambat pertumbuhan. Dosis ini
digunakan pada media seleksi pada tahapan percobaan selanjutnya.

Penentuali trilai OD6o0 Agrubacterim tuntefens


Konsentrasi bakteri yang dapat diketahui dengan mengukur nilai ODm juga
memberi pengaruh terhadap keberhasilan transformasi. Bakteri yang digunakan
untuk menginfeksi sel tanaman sebaiknya bekteri yang sedang tumbuh aktif (fase
logaritmik) (Rahmawati, 2006). Pucuk yang direndam pada suspensi bakteri
OD6000,6 Sangat sulit untuk dibersihkan dan disterilkan sejak awal kokultivasi.
Bakteri tumbuh setelah 3 hari eksplan yang telah ditransformasi dipindahkan pada
media seleksi (0,25 mg/l IAA + 1 mgA TDZ + 225 Carbenicillin + 400 mg/l
Kanamisin).
Tabel 4 Persentase eksplan Acacia mangium Willd yang hidup setelah direndam
pada Agrobacterium tumefaciens selama 5 menit pada beberapa nilai
OD600

Nilai ODm Jumlah eksplan Persentase eksplan yang hidup


0,4 41 41/41 (100%)
04 87 24/87 (27,58%)

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada OD600 sebesar 0,6 eksplan pucuk yang
telah direndam pada Agrobacterium tumefaciens selama 5 menit hanya 27,58%
yang tumbuh tanpa mengalami gangguan pertumbuhan berlebihan dari
Agrobacterium tumefaciens, pengulangan yang dilakukan bahwa setelah nilai
ODm diturunkan menjadi 0,4 terlihat bahwa 100% eksplan dapat tumbuh tanpa
ada gangguan dari pertumbuhan Agrobacterium tumefaciens. Berdasarkan hasil
inilah, maka nilai OD6()()yang digunakan untuk transforrnasi berikutnya adalah
0,4.
Masing-masing strain Agrobacterium mempunyai sensitivitas yang
berbeda-beda terhadap antibiotik, sehingga perlu pengujian awal untuk
menentukan jenis dan konsentrasi antibiotik yang sesuai untuk menghambat
pertumbuhan Agrobacterium yang digunakan. Antibiotik yang umum digunakan
untuk mengeliminasi Agrobacterium adalah Carbenicillin dan Cefotaxim.
Keduanya temasuk kelompok P-laktam yang menghambat pembentukan dinding
sel balcteri. Narnun, Carbenicillin sensitif terhadap enzim fl-laktamase yang
dihasilkan oleh bakteri sehingga kurang efektif dalam mengeliminasi
Agrobacterium pasca kokultivasi (Rahmawati, 2006).

Transforrtlasi berbagai eksplan Acacia msn&rn WilM


Keberhasilan proses infeksi melalui Agrobacterium tergantung
kompatibilitas antara kultivar tanaman dengan isolat Agrobacterium yang
digunakan. Isolat Agrobacterium yang kompatibel akan mampu menangkap
signal dari tanaman yang terluka untuk memulai proses infeksi, sebaliknya
tanaman yang kompatibel akan mampu memberi signal kepada Agrobacterium
untuk mengekspresikan berbagai gen virulen yang diperlukan dalarn proses
infeksi (Winans, 1992).
Hasil pengamatan hingga minggu ke 8 menunjukkan bahwa eksplan Acacia
mangium Willd yang telah ditransformasi dapat bertahan pada media seleksi. Pada
Tabel 5 dapat dilihat persentase hidup eksplan yang telah ditransformasi clan
ditumbuhkan pada media seleksi dengan konsentrasi Kanamisin 400 mg/l sebesar.

Tabel 5 Persentase hidup eksplan Acacia mangium Willd yang telah


ditransforrnasi pada minggu ke 8 pada media seleksi (0,25 mg/l IAA +
1 mg/l TDZ + 225 Carbenicillin + 400 mgfl Kanamisin)

Jenis eksplan Jumlah Persentase Jumlah Persentase


eksplan eksplan hidup eksplan eksplan hidup
kontrol kontrol
Pucuk 5 40% 36 63,89%

Batang 5 60% 24 95,83%

Tunas majemuk 5 40% 26 48,39%

Daun 5 80% 40 2,5%

Hasil pengamatan pada berbagai eksplan Acacia mangium Willd hingga


minggu ke 8 dapat dilihat pada Tabel 5. Secara umum eksplan yang telah
ditransformasi memiliki persentase hidup yang tinggi dibandingkan dengan
kontrol, kecuali pada eksplan daun, persentase hidup eksplan daun yang telah
ditransformasi hingga minggu ke delapan lebih rendah yaitu sebesar 2,5%
dibandingkan dengan kontrol sebesar 80%. Sedangkan persentase hidup eksplan
yang telah ditransformasi tertinggi adalah pada eksplan batang sebesar 95,83%.
Rendahnya persentase hidup eksplan daun yang telah ditransformasi
diduga karena belum sesuainya metoda transformasi yang dilakukan. Nilai
kerapatan bakteri juga mempengaruhi keberhasilan transformasi. Pada eksplan
daun, kerapatan bakteri dapat d i m a n . Hasil transformasi yang telah
dilakukan oleh Park et.al(2004) pada eksplan daun poplar menunjukkan adanya
regenerasi dari eksplan dam yang telah ditransformasi, berupa munculnya tunas
adventif pada bagian daun yang telah mengalami perlukaan.
Keberhasilan infeksi dan transfer gen oleh A. tumefaciens antara lain
ditentukan oleh jenis dan kondisi eksplan, ada tidaknya luka/perlukaan, kerapatan
bakteri, lama inokulasi, dan lama kokultivasi (Hinchee et al., 1988). Untuk jenis
eksplan, semakin muda jaringan eksplan akan semakin mudah diinfeksi oleh
bakteri. Pada penelitian ini, eksplan yang digunakan sebagai bahan transformasi
adalah eksplan yang telah dikecambahkan pada media MS selama tiga bulan.
Persentase hidup eksplan yang telah ditransformasi hingga minggu ke 8
dipengaruhi oleh tumbuhnya bakteri pada media seleksi (MS +0,25 mg/l IAA + 1
mg/l TDZ + 225 mg/l Carbenicillin + 400 mg/l Kanamisin). Siswanto et al.
(1997) menyatakan bahwa jumlah bakteri yang diperlukan dalarn proses infeksi
suatu eksplan h m tepat. Jika jurnlahnya kurang, proses infeksi tidak efektif,
sebaliknya jika jumlah bakteri terlalu banyak akan terjadi pertumbuhan bakteri
yang berlebih (overgrowth). Akibatnya tingkat kompetisi bakteri sangat tinggi dan
pertumbuhan eksplan terhambat atau mati sehingga proses infeksi tidak efektif
Lama inokulasi juga menentukan keberhasilan infeksi bakteri. Semakin
lama waktu inokulasi, peluang infeksi semakin tinggi. Xnokulasi dilakukan selama
5 menit. Untuk eksplan yang berukuran besar dan tebal seperti pada penelitian ini
adalah kalus dan tunas majemuk diperlukan waktu inokulasi yang lebih lama.
Seperti yang telah dinyatakan Park et al. (2004) bahwa lamanya inokulasi eksplan
pada suspensi bakteri untuk tanaman poplar adalah 5 menit. Begitu juga yang
dilaporkan Hartati et al. (2005) bahwa waktu inokulasi yang efisien untuk pucuk
Acacia mangium Willd adalah selama 5 menit. Sementara untuk eksplan dam
chrysanthemum, Boase et al. (1998) menyatakan bahwa perendaman eksplan
pada suspensi bakteri selama 5 menit lebih baik daripada 1 menit.
Lama kokultivasi (inkubasi) antara bakteri dan eksplan juga sangat
mempengaruhi keefektifan infeksi bakteri. Inkubasi yang terlalu cepat
menyebabkan pertumbuhan bakteri kurang baik, sehingga belum marnpu
menginfeksi sel-sel eksplan dengan sempurna. Sebaliknya, jika inkubasi terlalu
lama akan terjadi pertumbuhan koloni bakteri yang berlebihan sehingga
menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan eksplan. Hartati et al. (2004)
menyatakan bahwa pada Acacia mangium Willd masa kokultivasi yang efektif
adalah 1 hari. Begitu juga dengan Park et al. (2004) yang menyatakan bahwa
masa kokultivasi untuk tanaman poplar adalah 1 hari. Lain halnya dengan
Xie dan Hong (2002), bahwa masa kokultivasi untuk tanaman Acacia mangium
Willd adalah 3 hari.

Gambar 5 Eksplan Acacia mangium Wiild yang telah ditransformasi pada media
seleksi (MS + 0,25 mgA LAA + 1 mg/l TDZ + 225 mgll Carbenicillin +
400 mgll Kanamisin) rninggu ke 8. A. eksplan pucuk, B. eksplan
batang, C. kalus, D. eksplan tunas majemuk, dan E. eksplan daun

Gambar 5 menunjukkan berbagai eksplan Acacia mangium Willd yang telah


ditransformasi. Pada eksplan pucuk dm batang belum ada pertumbuhan, hanya
ada perubahan warna yaitu menjadi kuning kecoklatan, begitu juga dengan kalus.
Sementara pada eksplan tunas majemuk dan eksplan dam berwarna coklat,
bahkan masih ada bakteri yang tumbuh pada bagian eksplan yang bersentuhan
dengan media. Metoda yang digunakan untuk transformasi tunas majemuk clan
daun diduga belum sesuai, perlu dilakukan percobaan selanjutnya dengan metoda
transformasi yang lebih bervariasi.

Regenerasi tanaman Acacia mangium Willd yang telah ditransformasi


Keberhasilan penelitian transformasi sangat ditentukan oleh metoda
regenerasi dan transformasi yang digunakan. Setiap tanaman memiliki tingkat
resistensi yang berbeda terhadap berbagai mekanisme ketahanan, bahkan satu
spesies memiliki tingkat ketahanan yang berbeda.
Tabel 7 Persentase regenerasi eksplan pucuk dan batang yang telah ditransformasi
setelah 8 minggu pada media seleksi dan 5 minggu pada media regenerasi

Jenis eksplan
- Jumlah eksplan yang
- - telah Persentase regenerasi eksplan
ditr&sformasi yang telah ditransformasi
Pucuk 36 2/36 (53%)
batang 24 2/24 (8,3%)

Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase regenerasi eksplan batang yang


telah ditransformasi lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan pucuk yang telah
ditransformasi yaitu sebesar 8,3% dibanding 53%. Komposisi media seleksi
dapat juga digunakan sebagai media regenerasi selanjutnya. Pada penelitian ini,
komposisi media seleksi dan media regenerasi adalah sama yaitu MS + 0,25 mg/l
IAA + 1 mg/l TDZ + 225 mg/l Carbenicillin, tetapi konsentrasi Kanamisin
berbeda, yaitu pada media seleksi sebesar 400 mg/l sedangkan pada media
regenerasi sebesar 100 mg/l. Kanarnisin masih tetap digunakan pada media
regenerasi untuk menghindari tumbuhnya bakteri pada media regenerasi. Setelah
rninggu ke 8 pada media seleksi, eksplan pucuk dan batang yang telah
ditnmsforrnasi dipindahkan pada media regenerasi yang tidak mengandung 1 mg/l
TDZ, untuk merangsang pertumbuhan akar.
Penggunaan sistem seleksi antibiotik dilaporkan sering menyebabkan
sebagian besar sel yang tertransformasi tidak atau sulit beregenerasi, diduga
karena adanya penghambat pertumbuhan atau toksin yang dikelwkan dari sel
nontransgenik yang mati atau karena terganggunya transportasi senyawa esensial
melalui jaringan mati tersebut (Haldrup et al., 2001). Penggunaan antibiotik
dilanjutkan pada media regenerasi (Yam et al., 2001) untuk menghindari
berkembangnya Agrobacterium. Bakteri tidak terdeteksi pada media seleksi yang
mengandung antibiotik, namun setelah dipindahkan pada media regenerasi yang
tidak mengandung antibiotik bakteri muncul kembali.
Garnbar 6 Eksplan yang telah ditransformasi pada media regenerasi
(A. eksplan pucuk, B. eksplan yang telah ditransforrnasi pada media MS +
0,25 mg/l IAA + 225 m&/lCarbenicillin + 100 mg/l Kanamisin. C. kalus, D.
tunas majemuk, dan E. daun, pada media MS + 0,25 mg/l IAA + 1 mgll TDZ
+ 225 mg/l Carbenicillin + 100 rnd Kanamisin)

Media regenerasi untuk pucuk, batang , kalus, tunas majemuk, dan daun
yang telah ditransformasi adalah MS + 0,25 mgA IAA + 1 mg/l TDZ + 225 mgA
Carbeniciliin + 100 mg/l Kanamisin. Khusus pucuk dan batang setelah 8 minggu
dipindahkan pada MS + 0,25 mg/l IAA + 225 mg/l Carbenicillin + 100 mg/l
Kanamisin.
Tanarnan dalam satu genus atau bahkan satu spesies memiliki tingkat
ketahanan yang berbeda. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro
dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh dengan
eksplan. Kondisi zat pengatur tumbuh pada eksplan tergantung dari zat pengatur
tumbuh endogen dan zat pengatur tumbuh eksogen yang diserap dari media.
Perimbangan sitokinin dan auksin yang tinggi secara umurn akan memacu
pembentukan tunas, akan tetapi ha1 ini dipengaruhi oleh jenis eksplan, genotip,
kondisi kultur, sertajenis sitokinin dan auksin yang digunakan.
Murthy dan Saxena (1994) menjelaskan bahwa aktifitas TDZ sebagai
sitokinin dapat merangsang pembelahan sel dan differensiasi, juga dapat
mempengaruhi aktifitas auksin dan zat pengatur tumbuh endogenus lainnya di
dalam eksplan. Selain digunakan untuk menginduksi embrio somatik, TDZ pada
saat ini banyak digunakan menginduksi tunas aksiler maupun tunas adventif pada
berbagai tamman, sehingga dengan demikian TDZ digunakan untuk
meregenerasikan sel-sel yang sudah ditransformasi pada percobaan transformasi
genetik.
Dari penelitian ini terlihat bahwa kemungkinan besar keseimbangan nisbah
auksin sitokinin yang sesuai untuk pecahnya inisial tunas belum tercapai.
Salisbury dun Ross (1995) menyatakan bahwa nisbah sitokinin dan auksin
berperan penting dalam mengendalikan dominansi apikal. Davies (1995)
menyatakan bahwa konsep keberhasilan zat pengatur tumbuh ditentukan antara
lain oleh konsentrasi yang diberikan, sensitivitas jaringan, dan transportnya dalam
jaringan target.

Sekksi eksplan Acacia mztzgittm WiUd yang teiah ditransformasi pada


beberapa konsentrasi Kanamisin

Eksplan yang telah ditransforrnasi juga diseleksi pada beberapa konsentrasi


Kanamisin yaitu 100 mg/l dan 200 mg/l. Perlakuan ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat ketabanan eksplan yang telah ditransformasi pada beberapa
konsentrasi Kanamisin lainnya. Kontrol mash bertahan pada media seleksi yang
mengandung 100 mg/l Kanamisin, tetapi pertumbuhan eksplan sudah mulai
terhambat pada konsentrasi 200 mg/l Kanamisin. Persentase hidup eksplan yang
telah ditransformasi dapat dilihat pada Tabel 6.
Eksplan yang telah ditransformasi pertumbuhannya berbeda dengan eksplan
yang tidak ditransformasi, meskipun ditanam pada media seleksi yang sama. Pada
eksplan yang telah ditransformasi, selain dipengaruhi oleh antibiotik yang
terkandung pada media seleksi, pertumbuhan juga terhambat karena proses
introduksi gen, sehingga menyebabkan tanaman menjadi stres dan pertumbuhan
menjadi terhambat. Perbedaan pertumbuhan antara eksplan yang telah
ditransformasi dengan eksplan yang tidak ditransformasi dapat dilihat pada
Gambar 7.
Tabel 6 Persentase hidup kontrol dan eksplan yang telah ditransformasi pada
media seleksi yang mengandung 100 mg/l dan 200 mg/l Kanamisin pada
minggu ke 8 setelah tanam

Jenis Konsentrasi Jwnlah Persentase Jumlah Persentase


eksplan Kanamisin kontrol hidup eksplan telah hidup eksplan
kontrol ditransformasi telah
ditransformasi
Pucuk 100 5 515 (100%) 5 515 (1000/o)

Batang 100 5 515 (100%) 5 515 (1000/0)


200 5 315 (60%) 5 515 (1000/0)
Kalus 100 5 515 (100%) 5 515 (100%)
200 5 415 (80%) 5 515 (100%)
Tunas 100 5 215 (40%) 5 315 (60%)
majemuk
200 5 115 (20%) 5 315 (60%)

Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase hidup eksplan yang telah


ditransformasi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada eksplan
daun, yaitu pada 100 mgfl Kanamisin sebesar 40% dan pada 200 mgfl Kanamisin
20%. Hal ini diduga disebabkan antara lain oleh perttmbuhan bakteri yang
berlebihan dan antibiotik yang diberi pada media seleksi, sehingga eksplan daun
tidak dapat bertahan hingga minggu ke delapan pada media seleksi. Pada hari ke
tiga di media seleksi, pertumbuhan bakteri yang berlebihan sudah mulai muncul.
Meskipun pencucian dilakukan dengan antibiotik 225 mg/l Carbenicillin dengan
cara pengocokan, bakteri masih tetap tumbuh. Eksplan daun yang telah
ditransformasi yang terbebas dari bakteri masih dapat bertahan hingga minggu ke
empat, tetapi pada minggu ke lima eksplan dam yang telah ditransformasi mulai
browning.
Eksplan pucuk dan batang yang telah ditransformasi belum beregenerasi
hingga rninggu ke 3 pada media seleksi. Pada minggu ke 4, regenerasi mulai
dapat diperhatikan yaitu berupa munculnya bakd tunas baru.
Gamba.7 Eksplan Acacia mangium Willd setelah 8 minggu pada media seleksi
(MS + 0,25 mgll IAA + 1 mg/l TDZ + 225 mgA Carbenicillin + 100
mgll Kanamisin). A. pucuk, C. batang, E. kalus, G. tunas majemuk,
dan I. dam yang belum ditransforrnasi. Semen- B. pucuk, D.
batang, F. kalus, H. tunas majemuk, dan J. dam yang telah
ditransforrnasi
G H
Gambar 8 Regenerasi eksplan Acacia mangium Willd yang telah ditransformasi,
setelah 8 minggu pada media seleksi dan 5 minggu pada media
regenerasi. A. pucuk, C. batang, E. kalus, dan G. daun pada media
seleksi 100 mgtl Kanamisin. B. pucuk, D. batang, F. kalus, dan H.
daun pada media seleksi 200 mg/l Kanamisin.
Regenerasi eksplan Acacia mangium Willd yang telah ditransformasi dan
diseleksi pada media seleksi 100 mg/l dan 200 mg/l Kanamisin selama 8 minggu
dapat dilihat pada Gambar 8. Regenerasi pada eksplan pucuk dan batang yang
telah ditransformasi pada media seleksi 100 mgll Kanamisin lebih cepat
dibandingkan dengan media seleksi 200 mgA Kanamisin. Media regenerasi yang
digunakan yaitu MS + 0,25 mgA IAA + 1 mg/l TDZ + 225 mgA Carbenicillin +
100 mg/l Kanamisin. Perbedaan regenerasi diduga dipengaruhi oleh konsentrasi
Kanamisin yang digunakan pada media seleksi. Penggunaan antibiotik pada
media dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman yang
telah ditransformasi dapat diamati setelah tanaman yang telah ditransformasi
ditanam di lapang, yaitu pengaruh antibiotik sudah tidak ada.
Kalus yang telah ditransformasi dan diseleksi pada media seleksi 100 mgA
Kanamisin berbeda dengan media seleksi 200 mg/l Kanarnisin, yaitu warna kalus
lebih coklat pada media seleksi 200 mgA Kanamisin. Pada eksplan daun yang
telah ditransformasi dan diseleksi pada 100 mgA Kanarnisin telah berkalus pada
minggu ke 5 pada media regenerasi, setelah 8 minggu pada media seleksi.
Sementara eksplan daun yang telah ditransformasi dan diseleksi pada media
seleksi 200 mg/l Kanamisin pertumbuhannya terhambat, yaitu terjadi perubahan
warm daun (hijau menjadi coklat dan akhirnya mati). Berdasarkan hasil
pengamatan, untuk metoda transformasi pada eksplan dam, sebaiknya digunakan
konsentrasi Kanamisin yang lebih rendah seperti 50 mgA dan nilai ODm yang
lebih rendah sebesar 0,2.
Eksplan tunas majemuk yang telah ditransformasi tidak ada yang bertahan
hidup hingga minggu ke 5 pada media regenerasi, baik yang diseleksi pa& 100
mg/l maupun yang diseleksi pada 200 mgll Kanamisin. Pertumbuhan bakteri
yang berlebihan menyebabkan eksplan tunas majemuk yang telah ditransformasi
tidak bertahan hidup, meskipun telah dilakukan pencucian dengan menggunakan
225 mgll Carbenicillin. Eksplan tunas majemuk yang berkelompok diduga
penyebab sulitnya bakteri dibersihkan, meskipun pada minggu 1 dan ke 2 pada
media seleksi, eksplan tunas majemuk terbebas dari bakteri. Bakteri masih dapat
tumbuh hingga pada saat eksplan di media regenarasi. Karena itu, penggunaan
antibiotik pada media regenerasi masih dilakukan.
Eksplan tunas majemuk yang telah ditransformasi yang berasal dari 1
kelompok tidak semuanya tertransfonnasi. Ada bagian yang tertransformasi dan
ada bagian yang tidak tertransformasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
perbedm warna daun pada satu kelompok tunas majemuk, yaitu sebagian hijau
dan sebagian berwarna coklat serta sebagian mengalami nekrosis. Karena
ketidakseragaman inilah, maka tunas majemuk tidak direkomendasikan sebagai
material untuk transfomasi.

Uji ekspresi Western blot


Hasil transfomasi Acasia mangium Willd dengan gen xyloglucanase
melalui Agrobacterium tumefaciens menghasilkan beberapa eksplan yang tahan
pada media seleksi yang dapat berkembang membentuk tunaslplanlet. Tetapi
hanya ada beberapa planlet yang bisa diambil bagian daunnya untuk selanjutnya
diuji Western blot.
Hasil analisis molekuler menunjukkan bahwa dari sarnpel tanaman yang
putatif transgenik (bertahan pada media seleksi), tidak satu pun yang positif
mengekspresikan gen yang ditandai dengan tidak adanya pita, sehingga tanaman
tersebut kemungkinan besar tidak mengandung gen xyloglucanase. Walaupun
kesepuluh tanaman tersebut telah 1010s pada media seleksi yang mengandung
Kanarnisin, kemungkinan besar tanaman tersebut escape yaitu tanaman tahan
Kanamisin tapi tidak mengandung gen target.
Menmt Rahrnawati (2006) bahwa berdasarkan pengalaman di
laboratorium, peningkatan konsentrasi gen penyeleksi secara bertahap dapat
menekan munculnya tanaman escape. Kemungkinan lain penyebab belum
berhasilnya uji ekspresi Western blot adalah jumlah material yang digunakan
terlalu sedikit, sehingga mempengaruhi tarnpilan pita yang muncul. Uji ekspresi
Western blot yang dilakukan Park et al. (2004) pada tanaman poplar yang telah
ditransformasi menggunakan material daun sebesar 300 mg, sedangkan pada
penelitian ini menggunakan material daun sebesar 100 mg. Dari data ini diduga
bahwa jurnlah material juga berpengaruh terhadap keberhasilan munculnya signal
positif pada uji Western blot.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

1. Media induksi embriogenik kalus yang digunakan (MS + 0,25 mg/l IAA + 1
mgfl TDZ) baru dapat menginduksi kalus dari embrio zigotik serta dari daun
dan batang yang telah ditransformasi, tetapi belum bersifat embriogenik.
Diperlukan variasi komposisi media induksi lainnya.
2. Persentase hidup setelah transformasi tergantung jenis eksplan yang
digunakan. Persentase hidup dengan nilai tertinggi pada media seleksi
adalah batang (95,83%), kemudian diikuti dengan kalus (90,48%), pucuk
(63,89%), tunas majemuk (48,39%), dan daun (2,5%) yang berasal dari kultur
in vitro.
3. Media regenerasi untuk pucuk, batang ,kalus, tunas majemuk, dan daun yang
telah ditransformasi adalah MS + 0,25 mg/l IAA + 1 mg/l TDZ + 225 mg/l
+ 100 mgfl Kanamisin. Khusus pucuk dan batang setelah 8
Carbenicillin
minggu dipindahkan pada MS + 0,25 mg/l IAA + 225 mg/l Carbenicillin +
100 mgfl Kanamisin.
4. Dari sepuluh planlet yang resisten Kanamisin tidak ada yang menunjukkan
ekspresi XEG berdasarkan Western blot.

Saran

1. Perlu dilakukankan percobaan untuk induksi embryogenesis somatik dengan


variasi zat pengatur tumbuh lainnya pada Acacia mangium Willd seperti MS +
0,25 mg/l IAA dengan 1,5 mg/l TDZ atau 2 mg/l TDZ.
2. Perlu dilakukan transformasi dengan metode yang lebih bervariasi untuk
mengetahui metode yang lebih tepat untuk tanarnan Acacia mangium Willd
seperti:
Nilai OD diturunkan hingga 0,2 khususnya untuk eksplan daun
Waktu perendaman pada Agrobacterium tumefaciens ditarnbah
hingga 10 menit
Waktu kokultivasi ditambah 1 atau 2 hari
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS. 1990. Kimia kayu. Bogor: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Ilrnu Hayati Institut Pertanian Bogor. Hlm 9

Anonim. 2007. Pemuliaan Tanaman. Wikimedia Foundation, Inc


tanaman" [ 16 Agustus 20071.
"htt~://id.wikipedia.org/wiki/Pemuliaan

Armitage P, Walden R, Draper J. 1987. Plant genetic transformation and gene


expression. University of Leicester. hlm 1-38

Ausubel FM et al. 1995. Current protocol in moleculer biology. Vol. I. New


York: John Willey and Sons.

Awang K, Taylor D. 1993. Acacia mangium growing and utilization. Bangkok:


Winrock International and the Food and Agriculture Organization of the
United Nations. hlm

Bhaskaran S, Smith RH. 1990. Regeneration in cereal tissue culture: a review.


Crop Sci 30:1328-1336.

Boase MR, Butler C, Borst NK. 1998. Chrysanthemum cultivar Agrobacterium


interaction reveald by GUS expression time course exprernint. Science Hort.
77:89=107

Campbel P, Braam J. 1998. Co andl Post-Translational modification are critical


for TCH4 activity. The Plant Journal 15(4);553-56 10

Casas AM et a1. 1995. Transgenic sorghum plants via microprojectile


bombardment. Proc Natl Acad Sci USA 90: 11212-11216.

Cha RS, Thilly WG. 1993. Specificity, efficiency and fidely of PCR. PCR
methods and application. 3:5 18-529.

Cheng X, Sardan R, Kaplan H, Altosaar I. 1998. Agrobacterium transformed rice


plants expressing synthetic cryIA(b) and cryIA(c) genes are highly toxic to
stripe and yellow stem borer. Proc Natl Acad Sci USA 90:2767-2772.

Dale JW. 1995. Methods and terminology. Di dalam: Moleculer genetics of


Bacteria. New York: Jhon Willey and Sons. hlm 27-44

Davies PJ. 1995. Plant hormone, physiology, biochemistry, and moleculer


biology. London: Kluwer Academic Publisher

Davis L, Kuehl M, Battey J. 1994. Basic methods in molecular biology.


Appleton and Lange. Norwalk Connecticut. hlm 183-187
[Dephut] Departemen Kehutanan. 1994. Acacia mangium.
http://air.bappenas.qo.id/o~enPDF.ph~?fn=doc/pdf/klipinq/9,9%20Juta%20Hektar
e%20Hutan%20Sudah%20Dibanqun%20Laqi.pdf&PHPSESSlD=4d2e86fdc7d21
da2ef9cb8el Ib38f371. [2Juni 20061.

Douglas CJ, Stanloni RJ,Rubin RA, Nester EW. 1985. Identification and genetic
analysis of an Agrobacterium tumefaciens chromosomal virulence region J.
Bacterial 161:850-860.

Figueroa Q et al. 2001. Growth and somatic embryogenesis in Coffe Arabica


tissue culture can be induced by salicylates.
http://abstract.aspb.org/aspp2OO l/public/p26/0122.html. [2 Juni 20061.

Finkeldey R. Pengantar genetika hutan tropis. Djamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ,
Kertadikara AW, penerjemah; Bogor. Terjemahan dari: An Introduction to
Tropical Forest Genetics.

Freifelder D. 1995. Molecular Biology. London: Jones and Barlet Publisher, Inc.
him 834

Gaj MD. 2001. Direct somatic embryogenesis as a repid and efficient system for
in vitro regeneration of Arabidopsis thaliana. Plant Cell and Organ Culture
64: 39-46.

George EF, Sherrington. 1984. Plant propagation by tissue culture. England:


Exegenetics Limited. hlm 709

Gunawan LW. 1992. Teknik kultur jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Haccius B. 1978. Question of unicellular origin on non-zygotic embryos in callus


cultures. Phytomorphology 28:74-81.

Haldrup A, Noerremark M, Okkela FT. 2001. Plant selection principle based on


xylose isomerase. Invitro Cell. Dev. Biol. Plant 37:114-1 19

Hartati S, Park YW, Sudarmonowati E, Hayashi T. 2005. Agrobacterium-


mediated genetic transformation of Acasia mangium bearing xyloglucanase
gene. Proceedings of the 6& International Wood Science Symposium LIP1 -
JSPS Core University Program in the Field of Wood Science; Bali, 29-31
Agustus 2005. hlm 395-399.

Hartmann TH, Kesten DE, Davies ST. 1990. Plant propagation principle and
practice. London: Prentice-Hall International Edition. hlm 647

Haygreen JG, Bowyer JL, Shmulsky R. 2003. Forest product and wood science.
America: Iowa State Press. hlm 3-9
Hinchee MAW. 1988. Production of transgenic soybean plants using
Agrobacterium mediated DNA transfer. Bio. Tech. 6: 915-922.

Ignacimuthu S. 1997. Plant Biotechnology. Science Publishers Inc. Hampshine.


hlm. 204-208.

Irwin DC, Cheng M, Xiang B, Rose JKC, Wilson DB. 2003. Cloning, expression
and characterization of a family-74 xyloglucanase from Tkermobzj?dafusca.
Eur. J. Biochem 270; 3083-3091

Jefferson RA. 1987. Assaying chimeric genes in plant: the GUS gene fusion
system. Plant Mol Biol Rep 55:387-405.

Kafatos FC, Jones CW, Efstratiadis A. 1979. Determination of nucleic acid


sequence homologies and relative concentrations by a dot hybridization
procedure. Di dalam: Ausubel FM et al. 1995. Current protocol in
moleculer biology. Vol. I. New York: John Willey and Sons.

Kallas AM et al. 2005. Enzymatic properties of native and


deglycosylatedbhybrid aspen (Populus tremula x tremuloides) xyloglucan
endotransglycosylase 16A expressed in Pichia pastoris. Biochem J. 390; 105-
113

Kedu, Diy. 2005. 9,9 juta hectare hutan sudah dibangun lagi. hm://air
.bappenas.no.idlopenPDF. [2 Juni 20061.

Knight MR. 1992. Using transgenic plants to investigate plant physiology and
development. Agbiotech News Info 4(3):73N-76N.

Krawetz SA. 1989. The polymerase chain reaction: opportunities for agriculture.
Biotech News and Information 1 (6):897-90 1.

La1 R, La1 S. 1993. Genetic engineering of plants for crop improvement. New
Delhi: CRC Press. hlm 1-48

Mandang YI, Pandit KN. Pedoman identifikasi jenis kayu di lapangan. Bogor;
Yayasan Prosea. Hlm 77

Mariska I. 2001. Somatic embryogenesis in different soybean varieties.


Proceedings of Workshop on Soybean Biotechnology for A1 Tolerant in Acid
Soils and Disease Resistance. Bogor: Central Research Institute for Food
Crops Biotechnology. p. 34-45

McHughen A, Jordan, Feist G. 1989. A prculture period prior to Agrobacterium


inoculation increases production of transgenic plants. J. Plant Physiol.
135:245-248
Murthy BNS, Saxena PK. 1994. Somatic embryogenesis in peanut (Arachis
hypogea L): stimulation of direct differentiation of somatic embryo by
forchlorfenuron (CPPU). Plant Cell Rep. 14: 145-150

Nakas JP, Gagedorm C. 1990. Biotechnology of plant microbe interaction. New


York: Mc Grow Hill-Pub. Corn

Nasir M. 2001. Pengantar pemuliaan tanaman. Jakarta: Direktorat Jenderal


Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Hlm 269.

Nasir M. 2002. Bioteknologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Hlrn 9.

Panda N, Khush GS. 1995. Host plant resistence to insects. Manila: CAB
International-IRRI. hlm 43 1

Park YW et al. 2004. Enhancement of growth and cellulosa accumulation by


ovaerexpression of xyloglucanase in poplar. FEBS Letters 564: 183- 187.

Pierik RLM. 1987. In vitro culture of higher plant. Boston: Martinus Nijhoff
Publisher. hlm 344

Promega. 1996. Protocols and application guide. USA.

Rahmawati S. 2006. Status perkembangan gerbaikan sifat genetic padi


menggunakan transformasi Agrobacterium. AgroBiogen2(1):36-44

Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi tumbuhan jilid I dan 11. Diterjemahkan
oleh DR Lukman, Sumaryono). Bandung: Institut Teknologi Bandung

Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular cloning. A laboratory


manual. Cold spring harbour laboratory press.

Schaad NW. 1988. Laboratory guide for identification of plant pathogenics


bacteria. St Paul-Minnesota: Phytipathol soc press.

Sheng J, Citovsky V. 1996. Agrobacterium plant cell DNA transport: have


virulence proteins will travel. The Plant Cell 8: 1699-17 10.

Siswanto A. Budiani T. Chaidamsari. Darussarnin. 1997. Ekspresi gen transien


GUS pada tahap awal transfonnasi genetik tanaman kopi melalui
Agrobacterium tumefaciens. Surabaya: Prosiding Seminar Perhimpunan
Bioteknologi Pertanian Indonesia. hlm. 149-157.

Stomp AM. 1992. Histochemical localizationof g-glucuronidase. Di dalam: S.R.


Gallagher (ed) GUS Protocols: using the GUS gene as a reporter of gene
expression. London: Academic press, Inc. hlm 103- 113
Sudarsono. 1994. Penggunaan protein pembungkus (coat protein) dari pathogen
virus dan rekayasa genetika untuk memperoleh tanaman unggul tahan virus.
JIPI 350-55.

Sulistiani E. 1997. Studi pembentukan kalus embrional dan introduksi gen


marker dengan bantuan Agrobacterium tumefaciens pada tanaman Sengon
(Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen). Bogor: Tesis. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Vajrabhaya M. 1988. Embriogenesis. In Cell and Tissue Culture in Field


Improvement. China.

Valls MS et al. 2006. Kinetic analysis using low-moleculer mass xyloglucan


oligosaccharides defines the catalytic mechanism of Populus xyloglucan
endotransglycosylase. Biochem J395;99- 106.

Walkerpeach C, Velten J. 1994. Agrobacterium-mediated gene transfer to plant


cell: cointegrate and binary vector systems. Plant Mol Biol Man B1: 1-19.

Wattimena GA. 1987. Zat pengatur tumbuh tamman. Bogor: Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Wattimena GA. et al. 1992. Biotelcnologi tanaman. Bogor:PAU, IPB. Hlm 309.

Wetherell DF. 1982. Introduction to in vitro propagation. Avery Publishing


Group Inc.

Winans SC. 1992. Two-way chemical signaling in Agrobacterium plant


interaction. Microbiological Reviews 56(1): 12-13

Xie DY, Hong Y. 2002. Agrobacterium-mediated genetic transformation of


Acacia mangium. Plan Cell Rep (2002)20:9 17-922

Yara A et al. 2001. Production of transgenic Japonica rice (Oryza sativa)


cultivar. Plant Biotechnol. 18(4):305-3 10

York W, Eberhard S. 2003. Xyloglucan. Complex Carbohydrate Research


Center. The University of Georgia.
Zarnbryski P. Tempe J. Schell J. 1989. Transfer and function of T-DNA genes
from Agrobacterium Ti and Ri plasrnid in plants. Cell 50: 193-201.

Anda mungkin juga menyukai