GEN XYLOGLUCANASE'
PADA BERBAGAI EKSPLAN Acacia mangium Willd
NELLY ANNA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANLAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Peningkatan Efisiensi
Transformasi Gen Xyloglucanase pada berbagai Eksplan Acacia mangium Willd
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks clan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Nelly Anna
NRP E05 1050251
RINGKASAN
NELLY ANNA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
Judul Tesis : Peningkatan Efisiensi Transformasi Gen Xyloglucanase
pada berbagai Eksplan Acacia mangium Willd
Nama : Nelly Mna
NRP : E05 105025 1
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar. M.Aw Dr. Ir. Ennv s&annonowati. APU
Ketua Anggota
Diketahui,
u
.
C
Puji clan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilrniah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalarn
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2006 ini adalah transformasi
gen, dengan judul Peningkatan Efisiensi Transformasi Gen Xyloglucanase pada
berbagai Eksplan Acacia mangium Willd.
Terirna kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Ulfah Juniarti Siregar,
M.Agr dan Ibu Dr. Ir. Enny Sudarmonowati, APU selaku pembimbing. Di
sarnping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Research Institute for
Sustainable Huymanosphere, Kyoto University, Jepang atas kerja samanya
dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ibu Sri Hartati dan semua
s M Laboratorium Biologi Molekuler Bioteknologi-LIPI, yatlg telah membantu
selama penelitian ini berjalan serta teman-teman yang telah membantu dan
memberi motivasi. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilrniah ini bermanfaat.
Nelly Anna
RIWAYAT HIDUP
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................. xi
..
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi1
PENDAHULUAN ................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................... 1
Perurnusan Masalah .................................................................... 3
Tujuan Penelitian ..........................................................................3
Halaman
1 Persentase biji Acacia mangium Willd
yang berkecambah pada media MS tanpa zat pengatur tumbuh .........24
4 Kalus yang berasal dari embrio Acacia mangium Willd pada media
(MS + 0,25 mg/l IAA + 1 mg/l TDZ) .................................................. 27
Latar Belakang
Kerusakan hutan dam dewasa ini semakin meningkat, sedangkan
kebutuhan kayu semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk. Dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu, berbagai usaha telah
dilakukan diantaranya adalah dengan membangun hutan tanaman.
Laju penambahan hutan tanaman baru setiap tahun diperkirakan 4,5 juta
ha. Dari pertumbuhan hutan tanaman tersebut, Asia terutama China, Indonesia,
Malaysia, dan Vietnam memberikan kontribusi 70% terhadap pertumbuhan itu.
Melalui reboisasi lahan alang-alang dan hutan sekunder, lebih dari 9,9 juta ha
hutan tanaman telah dapat dibangun, terrnasuk f juta ha hutan tanaman jati dan
1,4 juta ha hutan tanaman Acacia mangium Willd di Sumatra dan Kalimantan.
Dengan dernikian, pada masa mendatang diharapkan Indonesia akan menjadi
negara terkemuka di dunia dalam produksi pulp dari hutan tanaman Acacia
mangium Willd (Kedu dun Diy, 2005). Bagi Indonesia yang kehilangan banyak
kayu berkualitas akibat illegal logging, kayu jenis Acacia mangium Willd dapat
menjadi alternatif devisa negara dan bisa bersaing di pasaran dunia.
Peningkatan produksi hutan tanaman dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
manipulasi f&or lingkungan dan peningkatan kualitas genetik melalui program
pemuliaan tanaman. Seiring dengan waktu dan perkembangan zaman, pemuliaan
tanaman telah menghadapi sejumlah kendala dalam operasionalnya, misalnya
aplikasi seleksi pada lahan yang terbatas, kondisi iklim dan tanah yang sangat
beragam, terbahsnya dana dan tenaga, serta memerlukan waktu yang lama untuk
memperoleh hasil persilangan. Selain itu, tujuan program pemuliaan tanaman
sekarang ini juga semakin kompleks, sehingga semakin terasa diperlukan teknik-
teknik tertentu untuk menciptakan keragaman, pendeteksian, dan penyeleksian
terhadap keragaman tersebut. Kehadiran bioteknologi dipandang akan
memberikan harapan dalam menutup celah kelemahan dan kekurangan dalam
pemuliaan tanaman. Dengan demikian bioteknologi bersifat komplementer
dengan pemuliaan tanaman dalam memperbaiki suatu karakter tanaman
(Nasir, 2001).
Beberapa tahun terakhir, program bioteknologi telah terbukti memberikan
sejumlah manfaat u n W mengatasi berbagai keterbatasan &lam metoda
pemuliaan secara konvensional. Salah satunya adalah upaya transformasi genetik
tanaman dengan pemanfaatm sejurnlah gen yang bermanfaat dari berbagai species
untuk diekspresikan pada tanaman target.
Penerapan teknik transformasi genetik terbukti sangat membantu ddam
perakitan spesies tahan (herbisida, virus, dan penyakit) atau spesies unggul,
terutama jika ti& memunglunkan dilakukan dengan teknik konvensiond. Selain
itu juga bermanfaat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman
(Gunawan, 1992).
Tanaman cepat tumbuh, contohnya adalah Acacia mangium Willd yang
dikembangkan dengan penerapan teknik transfonnasi genetik dapat digunakan
sebagai solusi untuk meningkatkan produksi hutan. Kemajuan semacam itu dapat
menguntungkan dunia industri kayu, karena dalarn waktu yang relatif singkat
dapat menebang kayu untuk keperluan usahanya. Tanaman kayu yang biasanya
memerlukan wakh 10 hingga 12 t&un untuk bisa ditebang, dengan
transformasi genetik pohon tersebut sudah layak tebang dalam waktu 3 hingga 5
tahun dari waktu tanam.
Selain waktu tumbuh yang singkat, batang kayu juga bisa dibuat lurus
sehingga dapat menghemat areal hutan tanaman yang pada akhinya hasil
produksi kayu dapat ditingkatkan. Selain itu, kualitas kayu dapat ditingkatkan
karena proses tramformasi genetik dalam pohon tersebut dapat meningkatkan
berat jenis kayu sehingga kayu yang dihasilkan semakin bagus. Peningkatan berat
jenis pohon juga berarti peningkatan kandungan gula atau karbohidrat (C&I1206)
dalam pohon. Kandungan zat ini akan membuat semakin banyak gas
karbondioksida (C02)yang diserap oleh pohon. Sehingga adanya tanaman hail
transformasi genetik ini juga dapat digunakan mtuk mengurangi pencemaran
udara yang diakibatkan oleh gas C 0 2 .
Hartati et,al. (2005) menunjukkan bahwa pada beberapa eksplan yang telah
ditransformasi menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan
kontrol. Eksplan yang memberikan nilai tertinggi adalah pada eksplan pucuk
(63,63%) dan terendah addah pada kdus yang berasal dari embrio (3,35%).
Berdasarkan atas penelitian Hartati et.al. (2005) maka perlu dilakukan percobaan
selanjutnya untuk meningkatkan efisiensi transformasi pada berbagai eksplan
Acacia mangium Willd.
Sistem transformasi genetik yang paling umum digunakan adalah dengan
menggunakan Agrobacterium tumefaciens. Sistem ini telah banyak digunakan
karena efisien, sederhana dan stabil dalam mengintroduksikan suatu gen.
Perurnusan Masalah
Transforrnasi gen xyloglucanase menggunakan Agrobacterium
tumefaciens dapat merupakan salah satu solusi untuk memperoleh bahan tanaman
Acacia mangium Willd yang unggul, tetapi ha1 yang harus diperhatikan adalah
bagian eksplan apa yang dapat memberikan hasil transformasi yang terbaik.
Dengan demikian pertanyaan yang muncul pada penelitian ini adalah: apakah
dengan membandingkan berbagai eksplan Acacia mangium Willd dapat
menghasilkan metoda transformasi gen xyloglucanase yang lebih efisien?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan metoda yang efektif untuk
mengintroduksikan gen xyloglucanase ke dalam tanaman dan regenerasi tanman
Acacia mangium Willd yang telah ditransformasi.
TINJAUAN PUSTAKA
genotype
Materi
genetik
Hibridisasi IPembiakan
vegetatif
Rekayasa genetika
Gambar 1 Diagram integrasi bioteknologi
Gen xyloglucanase
Xyloglucanase merupakan sejenis enzim yang mengkatalisis reaksi
hidrolisis xyloglucan (Irwin et al., 2003). Xyloglucan adalah penyusun utama
hemiselulosa polisakarida pada dinding sel tanaman dikotil termasuk di dalamnya
sel kayu, yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan mikrofibril selulosa dan
secara potensial membentuk ikatan silang dengan mikrofibril (Campbell dun
Braam, 1998; Valls et al., 2006). Xyloglucan terdapat pada 20 % berat kering
dinding sel primer (York dan Eberhard, 2003).
Overekspresi xyloglucanase pada tanaman poplar (Populus tremula)
berhasil menunjukkan perubahan fenotip yang berarti, yaitu tanaman lebih tinggi,
dam lebih lebar, pertambahan diameter batang, indeks volume kayu, berat kering
dan persentase selulosa dan hemiselulosa lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh
adanya keterlibatan xyloglucanase pada proses pemutusan ikatan xyloglucan
yang terjadi saat elongasi (pemanjangan) sel, menyebabkan melemahnya dinding
sel dan mempercepat proses elongasi serta meningkatkan deposisi selulosa pada
xylem sekunder sehingga kualitas kayu yang dihasilkan semakin baik (Park et al.,
2004). Aktivitas pemutusan ikatan rantai xyloglukan juga memberi kontribusi
untuk merperkuat hubungan antara dinding sel primer dan dinding sel sekunder
pada jaringan yang akan membentuk kayu (Kallas et al., 2005).
Regenerasi In vitro
Regenerasi tanaman rnerupakan suatu proses perkembangan yang sangat
kompleks. Regenerasi kultur in vitro terjadi melalui pembentukan organ langsung
dari eksplan, pembentukan embrioid langsung dari eksplan, pembentukan organ
melalui kalus serta pembentukan embrioid melalui kalus. Upaya untuk
memperoleh regenerasi yang efisien sebagian besar dipusatkan pada pemilihan
bagian tanaman yang paling responsif serta penentuan jenis dan konsentrasi zat
pengatur tumbuh yang efektif. Perlakuan lain yang kadang-kadang perlu diuji
adalah cahaya, panjang penyinaran serta reaksi dalam sub kultur (Bhaskaran dan
Smith, 1990).
Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan,
1992). Selain untuk perbanyakan tanaman, teknik ini juga dapat digunakan untuk
memperbaiki tanaman, menghasilkan tanaman bebas virus, produksi metabolit
sekunder dan preservasi tanaman (Hartmann et al., 1990).
Teori yang mendasari teknik ini adalah konsep totipotensi yaitu sel yang
hidup memiliki kemampuan untuk berproduksi, membentuk organ dan
berkembang menjadi individu sempurna jika ditempatkan pada media dan
lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan (Pierik, 1987). Keberhasilan
menggunakan metode kultur jaringan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan
morfogenesis, sangat tergantung pada jenis dan fisiologi eksplan yang dikulturkan
(seperti organ yang digunakan, umur fisiologi, umur saat diambil, dari tanaman
asal, ulcuran dan kualitas tanaman asal), media yang digunakan, dan kondisi fisik
kultur. Faktor-faktor tersebut dapat berinteraksi satu dengan yang lainnya.
Eksplan
Pada dasarnya setiap bagian tanaman dapat digunakan sebagai eksplan.
Pernilihan material eksplan yang tepat akan mempengaruhi kesuksesan kultur
jaringan, baik dari segi organ, ukuran, umur, dan cara mengkulturkannya
(George dan Sherrington, 1984).
Surnber eksplan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenetiknya.
Eksplan yang berasal dari satu organ memiliki keragarnan kemampuan
regenerasinya. Selain itu, morfogenetik juga dapat dipengaruhi oleh ukuran
eksplan. Ukuran yang terlampau kecil, baik berupa pucuk tunas maupun
meristem, fiagmen atau keseluruhan bagian tanaman, atau bagian kalus h a n g
daya hidupnya bila dikulturkan, sementara jika terlalu besar akan mempersulit
untuk mendapatkan eksplan yang steril dan dalam proses manipulasinya
(George dan Sherrington, 1984).
Kepadatan eksplan yang ditanam dalam tiap botol juga mempengaruhi
diferensiasi sel. Semakin banyak jumlah eksplan tiap botol, maka semakin
banyak jumlah sel yang tidak berdiferensiasi. Volume media kultur diduga ada
interaksinya dengan kepadatan eksplan dalam mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan kultur. Interaksi ini diduga berhubungan dengan menurunnya
senyawa inhibitor dalam media (George dun Sherrington, 1984).
Media
Media kultur jaringan pada prinsipnya harus bisa menyediakan unsur-unsur
hara yang diperlukan untuk pertumbuhan seperti tanamm dilapang. Keberhasilan
dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat tergantung pada media yang
digunakan. Pemilihan komposisi media dan jenis media tergantung pada jenis
tanaman yang dikulturkan, faktor aerasi, dan bentuk pertumbuhan dari
deferensiasi yang diinginkan (Pierik, 1987).
Media kultur jaringan tanaman tidak hanya menyediakan unsur-unsur hara
makro (N,P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Fe, Mn,B, Cu,dan Mo), tetapi juga
karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang
biasanya didapat dari atrnosfer melalui fotosintesis. Hasil yang lebih baik juga
akan diperoleh, bila ke dalam media tersebut ditambahkan vitarnin-vitamin, asam
amino, dan zat pengatur tumbuh. Pada keadaan tertentu media kultur jaringan
juga dilengkapi dengan arang aktif (Gunawan, 1992).
Interaksi dan keseirnbangan zat pengatur tumbuh yang diberikan ke dalam
media (eksogen) dengan yang dihasilkan oleh sel secara endogen, menentukan
arah pertumbuhan dan perkembangan suatu kultur. Pemilihan jenis dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh tergantung pada : (1) tipe pertumbuhan dan
perkembangan yang dikehendaki (kalus, akar, tunas, regenerasi dinding sel), (2)
taraf zat pengatur endogen, (3) kemampuan jaringan mensintesis zat pengatur
turnbuh, dan (4) interaksi antara zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen
(Gunawan, 1992).
Dalam kultur jaringan terdapat dua zat pengatur tumbuh tanaman yang
penting yaitu auksin dan sitokinin. Auksin berperan dalam merangsang
pembentukan kalus, pemanjangan sel, pembesaran dan pembentukan akar.
Beberapa eksplan secara alamiah memproduksi cukup auksin. Pengaruh sitokinin
adalah merangsang pembelahan sel dan multiplikasi tunas (George dan
Sherrington, 1984). Keseirnbangan auksin dan sitokinin pada media tumbuh juga
akan menentukan arah perkembangan eksplan. Tunas akan terbentuk bila
perbandingan konsentrasi auksin lebih tinggi dari sitokinin (Gunawan, 1992).
Kondisi fsik kultur
Kondisi fisik atau kepadatan media berpengaruh terhadap potensial air dan
tekanan osmotik, serta penyerapan hara tanaman. Kepadatan media ditentukan
oleh konsentrasi agar, pH media dan penambahan arang aktif. Konsentrasi agar
semakin tinggi dapat mengurangi difusi persenyawaan dari dan ke eksplan,
sehingga pengambilan hara dan zat pengatur tumbuh berkurang, sedangkan zat
penghambat dari eksplan tetap berkumpul di sekitar eksplan. Selain agar, ada
juga zat pemadat yang lain, yaitu gelrite yang dapat membentuk gel yang lebih
bening, pada konsentrasi 0,l-0,2% sudah dapat memadatkan media.
Derajat keasaman (pH) merupakan ha1 penting yang hams diperhatikan
dalam penyiapan media kultur jaringan tanaman. Karena pH dapat mempengaruhi
perturnbuhan dan perkembangan eksplan yaitu dapat mempengaruhi tersedianya
nutrisi dan hormon pada jaringan tanaman serta mempengaruhi fhgsi membran
sel dan pH sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan
fisiologi sel, juga hams memperhatikan : (1) kelarutan garam-garam penyusun
media, (2) pangaturan pengambilan zat-zat pengahu tumbuh dan gararn-garam
lainnya, dan (3) efisiensi pembekuan agar media (George & Sherrington, 1984).
Keasaman media pada umumnya berkisar antara 5,5-5,8 sebelum disterilisasi
(Gunawan, 1992).
Kondisi lingkungan kultur
Faktor lingkungan yang paling utarna mempengaruhi perturnbuhan dan
perkembangan kultur adalah cahaya dan suhu. Cahaya diperlukan karena
mempengaruhi morfogenesis, diferensiasi dm embriogenesis aseksual.
Kebutuhan cahaya dalam kultur meliputi kualitas cahaya, lama penyinaran, dan
intensitas cahaya (George dun Sherrington, 1984). Kualitas cahaya yang paling
baik untuk pertumbuhan kultur adalah putih. Banyak penelitian menunjukkan
bahwa penggunaan panjang penyinaran selama (14-16) jam memberikan hasil
yang baik. Intensitas cahaya dari lampu flourescent adalah antara (1000-4000)
lux dan ditempatkan dengan jumlah lampu dan kekuatan tertentu pada jarak
(40-50) cm dari tabung kultur, untuk luas area tertentu. Suhu di dalam ruang
kultur oleh banyak peneliti dilaporkan pada kisaran (25-28) OC memberikan
pengaruh yang baik untuk pertumbuhan tanaman in vitro. Suhu optimum untuk
pertumbuhan kultur jaringan tergantung dari jenis tanaman dan tempat turnbuh
alami dari tanaman tersebut (Gunawan, 1992).
Metode Penelitian
Persiapan eksplan
Bahan tanaman yang digunakan untuk menyediakan eksplan yang akan
ditransformasi adalah biji Acacia mangium Willd. Prosedur sterilisasi yang
digunakan adalah yang telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi -
LIPI, Cibinong. Sterilisasi dilakukan dengan cara biji Acacia mangium Willd
diberi deterjen (Sunlight) kemudian diletakkan pada air mengalir selama 10 menit.
Kemudian, biji Acacia mangium Willd direndam pada air panas (80 OC) selama
30 menit, rendaman biji Acacia mangium Willd dikocok dengan menggunakan
shaker selama 30 menit dengan menambahkan Dithane (4 g/100 ml), dibilas 3 kali
dengan menggunakan akuades. Tahap selanjutnya biji Acacia mangium Willd
direndam pada larutan Masalgin (4 g1100 ml), dikocok dengan menggunakan
shaker selama 30 menit, kemudian dibilas 3 kali dengan akuades steril di dalam
laminar airflow. Setelah itu, biji Acacia mangium Willd direndam pada larutan
Bayclin yang telah diencerkan 1.5 kaIi selama 10 menit, kemudian dibilas 3 kali
dengan akuades steril. Selanjutnya, biji Acacia mangium Willd direndam pada
Ethanol 70% selama 5 menit, lalu dibilas dengan akuades steril3 kali. Biji Acacia
mangium Willd dipindahkan ke botol steril, kemudian ditutup rapat dengan
aluminium foil dan dikocok dengan menggunakan shaker selama 24 jam.
Bahan tanaman yang digunakan untuk induksi embrio somatik adalah
berupa embrio dan kotiledon yang berasal dari biji Acacia mangium Willd yang
telah steril, dengan cara biji dikupas untuk diambil embrionya cialam laminar
airflow. Untuk mendapatkan kalus yang embriogenik, embrio dikecambahkan
pada media MS yang dilengkapi dengan 0,25 mg/l IAA, 1 mg/l TDZ, 20 grA
sukrosa, dan 2 g/l gelrite selama 3-4 bulan. Biji Acacia mangium Willd yang
tidak dikupas kulit bijinya, dikecambahkan pada media MS tanpa zat pengatur
tumbuh selarna 3-4 bulan.
Ekstraksi protein. Bahan tanaman (2-3 tangkai daun) yang diduga transgenik
berdasarkan uji media seleksi yang mengandung Kanamisin dirnasukkan ke
tabung Eppendorf yang berisi 200 p1 buffer pengekstrak (Sodium acetat pH 5,5),
digerus dengan penggerus plastik biru sampai dengan homogen. Kemudian
dibiarkan selama 30 menit di dalam es. Setelah disentrifbgasi dengan kecepatan
12.000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 "C, kemudian supernatan diambil dan
disentrifugasi kembali dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit pada 4 OC.
Tabel 1 Persentase biji Acacia mangium Willd yang berkecambah pada media
MS tanpa zat pengatur tumbuh
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada OD600 sebesar 0,6 eksplan pucuk yang
telah direndam pada Agrobacterium tumefaciens selama 5 menit hanya 27,58%
yang tumbuh tanpa mengalami gangguan pertumbuhan berlebihan dari
Agrobacterium tumefaciens, pengulangan yang dilakukan bahwa setelah nilai
ODm diturunkan menjadi 0,4 terlihat bahwa 100% eksplan dapat tumbuh tanpa
ada gangguan dari pertumbuhan Agrobacterium tumefaciens. Berdasarkan hasil
inilah, maka nilai OD6()()yang digunakan untuk transforrnasi berikutnya adalah
0,4.
Masing-masing strain Agrobacterium mempunyai sensitivitas yang
berbeda-beda terhadap antibiotik, sehingga perlu pengujian awal untuk
menentukan jenis dan konsentrasi antibiotik yang sesuai untuk menghambat
pertumbuhan Agrobacterium yang digunakan. Antibiotik yang umum digunakan
untuk mengeliminasi Agrobacterium adalah Carbenicillin dan Cefotaxim.
Keduanya temasuk kelompok P-laktam yang menghambat pembentukan dinding
sel balcteri. Narnun, Carbenicillin sensitif terhadap enzim fl-laktamase yang
dihasilkan oleh bakteri sehingga kurang efektif dalam mengeliminasi
Agrobacterium pasca kokultivasi (Rahmawati, 2006).
Gambar 5 Eksplan Acacia mangium Wiild yang telah ditransformasi pada media
seleksi (MS + 0,25 mgA LAA + 1 mg/l TDZ + 225 mgll Carbenicillin +
400 mgll Kanamisin) rninggu ke 8. A. eksplan pucuk, B. eksplan
batang, C. kalus, D. eksplan tunas majemuk, dan E. eksplan daun
Jenis eksplan
- Jumlah eksplan yang
- - telah Persentase regenerasi eksplan
ditr&sformasi yang telah ditransformasi
Pucuk 36 2/36 (53%)
batang 24 2/24 (8,3%)
Media regenerasi untuk pucuk, batang , kalus, tunas majemuk, dan daun
yang telah ditransformasi adalah MS + 0,25 mgA IAA + 1 mg/l TDZ + 225 mgA
Carbeniciliin + 100 mg/l Kanamisin. Khusus pucuk dan batang setelah 8 minggu
dipindahkan pada MS + 0,25 mg/l IAA + 225 mg/l Carbenicillin + 100 mg/l
Kanamisin.
Tanarnan dalam satu genus atau bahkan satu spesies memiliki tingkat
ketahanan yang berbeda. Pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro
dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh dengan
eksplan. Kondisi zat pengatur tumbuh pada eksplan tergantung dari zat pengatur
tumbuh endogen dan zat pengatur tumbuh eksogen yang diserap dari media.
Perimbangan sitokinin dan auksin yang tinggi secara umurn akan memacu
pembentukan tunas, akan tetapi ha1 ini dipengaruhi oleh jenis eksplan, genotip,
kondisi kultur, sertajenis sitokinin dan auksin yang digunakan.
Murthy dan Saxena (1994) menjelaskan bahwa aktifitas TDZ sebagai
sitokinin dapat merangsang pembelahan sel dan differensiasi, juga dapat
mempengaruhi aktifitas auksin dan zat pengatur tumbuh endogenus lainnya di
dalam eksplan. Selain digunakan untuk menginduksi embrio somatik, TDZ pada
saat ini banyak digunakan menginduksi tunas aksiler maupun tunas adventif pada
berbagai tamman, sehingga dengan demikian TDZ digunakan untuk
meregenerasikan sel-sel yang sudah ditransformasi pada percobaan transformasi
genetik.
Dari penelitian ini terlihat bahwa kemungkinan besar keseimbangan nisbah
auksin sitokinin yang sesuai untuk pecahnya inisial tunas belum tercapai.
Salisbury dun Ross (1995) menyatakan bahwa nisbah sitokinin dan auksin
berperan penting dalam mengendalikan dominansi apikal. Davies (1995)
menyatakan bahwa konsep keberhasilan zat pengatur tumbuh ditentukan antara
lain oleh konsentrasi yang diberikan, sensitivitas jaringan, dan transportnya dalam
jaringan target.
1. Media induksi embriogenik kalus yang digunakan (MS + 0,25 mg/l IAA + 1
mgfl TDZ) baru dapat menginduksi kalus dari embrio zigotik serta dari daun
dan batang yang telah ditransformasi, tetapi belum bersifat embriogenik.
Diperlukan variasi komposisi media induksi lainnya.
2. Persentase hidup setelah transformasi tergantung jenis eksplan yang
digunakan. Persentase hidup dengan nilai tertinggi pada media seleksi
adalah batang (95,83%), kemudian diikuti dengan kalus (90,48%), pucuk
(63,89%), tunas majemuk (48,39%), dan daun (2,5%) yang berasal dari kultur
in vitro.
3. Media regenerasi untuk pucuk, batang ,kalus, tunas majemuk, dan daun yang
telah ditransformasi adalah MS + 0,25 mg/l IAA + 1 mg/l TDZ + 225 mg/l
+ 100 mgfl Kanamisin. Khusus pucuk dan batang setelah 8
Carbenicillin
minggu dipindahkan pada MS + 0,25 mg/l IAA + 225 mg/l Carbenicillin +
100 mgfl Kanamisin.
4. Dari sepuluh planlet yang resisten Kanamisin tidak ada yang menunjukkan
ekspresi XEG berdasarkan Western blot.
Saran
Cha RS, Thilly WG. 1993. Specificity, efficiency and fidely of PCR. PCR
methods and application. 3:5 18-529.
Douglas CJ, Stanloni RJ,Rubin RA, Nester EW. 1985. Identification and genetic
analysis of an Agrobacterium tumefaciens chromosomal virulence region J.
Bacterial 161:850-860.
Finkeldey R. Pengantar genetika hutan tropis. Djamhuri E, Siregar IZ, Siregar UJ,
Kertadikara AW, penerjemah; Bogor. Terjemahan dari: An Introduction to
Tropical Forest Genetics.
Freifelder D. 1995. Molecular Biology. London: Jones and Barlet Publisher, Inc.
him 834
Gaj MD. 2001. Direct somatic embryogenesis as a repid and efficient system for
in vitro regeneration of Arabidopsis thaliana. Plant Cell and Organ Culture
64: 39-46.
Gunawan LW. 1992. Teknik kultur jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Hartmann TH, Kesten DE, Davies ST. 1990. Plant propagation principle and
practice. London: Prentice-Hall International Edition. hlm 647
Haygreen JG, Bowyer JL, Shmulsky R. 2003. Forest product and wood science.
America: Iowa State Press. hlm 3-9
Hinchee MAW. 1988. Production of transgenic soybean plants using
Agrobacterium mediated DNA transfer. Bio. Tech. 6: 915-922.
Irwin DC, Cheng M, Xiang B, Rose JKC, Wilson DB. 2003. Cloning, expression
and characterization of a family-74 xyloglucanase from Tkermobzj?dafusca.
Eur. J. Biochem 270; 3083-3091
Jefferson RA. 1987. Assaying chimeric genes in plant: the GUS gene fusion
system. Plant Mol Biol Rep 55:387-405.
Kedu, Diy. 2005. 9,9 juta hectare hutan sudah dibangun lagi. hm://air
.bappenas.no.idlopenPDF. [2 Juni 20061.
Knight MR. 1992. Using transgenic plants to investigate plant physiology and
development. Agbiotech News Info 4(3):73N-76N.
Krawetz SA. 1989. The polymerase chain reaction: opportunities for agriculture.
Biotech News and Information 1 (6):897-90 1.
La1 R, La1 S. 1993. Genetic engineering of plants for crop improvement. New
Delhi: CRC Press. hlm 1-48
Mandang YI, Pandit KN. Pedoman identifikasi jenis kayu di lapangan. Bogor;
Yayasan Prosea. Hlm 77
Panda N, Khush GS. 1995. Host plant resistence to insects. Manila: CAB
International-IRRI. hlm 43 1
Pierik RLM. 1987. In vitro culture of higher plant. Boston: Martinus Nijhoff
Publisher. hlm 344
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi tumbuhan jilid I dan 11. Diterjemahkan
oleh DR Lukman, Sumaryono). Bandung: Institut Teknologi Bandung
Wattimena GA. 1987. Zat pengatur tumbuh tamman. Bogor: Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Wattimena GA. et al. 1992. Biotelcnologi tanaman. Bogor:PAU, IPB. Hlm 309.