Anda di halaman 1dari 3

Pengabdian Profesi Seorang BIDAN :))

Menjadi seorang BIDAN itu merupakan pangilan HATI mengabdi pada profesi, tak kenal panas dan
dingin hujan atau pun badai. Tak kenal lelah Menolong seorang Ibu dan Malaikat Kecilnya agar
Terselamatkan dan sehat :)) itulah Bidan, dan saya bangga menjadi seorang BIDAN. . . .

Banyak sekali bidan di Indonesia yang harus berjuang sedemikian kerasnya dalam upaya untuk
memenuhi panggilan hati serta tanggung jawab profesinya. Tidak jarang pula mereka harus
menjumpai sebuah daerah dengan sarana dan prasarana yang sangat minim, medan yang
berbahaya, atau berada di tengah-tengah masyarakat yang masih menganggap profesi bidan dengan
sebelah mata. Parahnya lagi, mereka harus menghadapi itu semua tanpa campur tangan yang kuat
dari pemerintah.

AKU menulis blog ini karna terinspirasi dari beberapa artikel yang aku baca tentang kisah seorang
bidan didaerah terpencil . . .

Berikut adalah kisah dari empat bidan luar biasa yang dedikasi serta perjuangannya patut untuk
dibaca oleh seluruh rakyat Indonesia agar mereka tahu, ketika para pejabat sedang berada di kantor
yang nyaman dan ber-AC, ibu-ibu bidan ini berpeluh keringat dan bahkan menyabung nyawa untuk
menyelamatkan putra-putri Indonesia calon penerus kejayaan bangsa di masa depan.

1. Bidan Eulis Rosmiati

Penyelamat dari Ujung Genteng Bidan Eulis Rosmiati adalah salah seorang bidan yang tidak hanya
mengabdi dengan ketulusan, tetapi juga senantiasa berinovasi dengan segala cara agar masyarakat
di sekitarnya mampu memperbaiki kualitas hidupnya. Walau pernah mengalami pergumulan antara
menerima penugasan di tempatnya bekerja atau menolaknya, tetapi waktu jugalah yang
membuktikan besarnya bakti dari ibu bidan yang menginjakkan kaki di desa Unjung Genteng pada
1991 yang lalu ini. Desa Ujung Genteng sendiri adalah sebuah desa terpencil yang terletak di daerah
pesisir selatan Jawa Barat. Penduduknya sekitar 4000 jiwa dan mayoritas termasuk dalam kelompok
ekonomi lemah. Jarak puskesmas terdekat ternyata cukup jauh, yakni mencapai 30 km. Menyadari
hal ini, Bidan Rosmiati pun berjuang agar penduduk desa Ujung Genteng tetap mendapatkan
pelayanan kesehatan yang baik. Adapun salah satu usahanya adalah mengadakan arisan WC. Di
daerah tersebut, masyarakatnya kurang menyadari pentingnya sanitasi yang baik. Kini, setelah
adanya arisan WC, hanya tinggal kurang dari 10% keluarga saja yang belum memiliki WC sendiri.
Bidan Rosmiati juga menyelenggarakan berbagai program berbasis ekonomi kerakyatan, yang
bertujuan untuk mengumpulkan cadangan kas di mana nantinya kas yang terkumpul akan digunakan
untuk pembiayaan dalam proses persalinan. Beberapa program tersebut antara lain adalah Program
Lima Ribu Kasih (mengumpulkan uang lima ribu rupiah sebulan dari para buruh penambang pasir),
Program Sagandu Seminggu (mengumpulkan sisa pengolahan gula aren, yang rata-rata dapat
terkumpul 2 kg gula aren dalam sebulan) serta Program Seliber (seliter beras, yakni mengumpulkan
2 sendok beras setiap harinya yang dalam sebulan ternyata dapat terkumpul seliter beras) Tidak
hanya itu, Bidan Rosmiati juga rutin menyelenggarakan donor darah desa, agar ketersediaan darah
bisa terjaga. Hal ini mengingat jarak puskesmas terdekat lumayan jauh. Dengan telaten Bidan
Rosmiati memeriksa jenis darah setiap penduduk dan melakukan donor darah secara berkala.
Sungguh bangga masyarakat Ujung Genteng, desa terpencil di pesisir selatan, dapat memiliki sosok
bidan kreatif yang dengan tulus mengabdi kepada rakyatnya.
. Bidan Siti Sumiyati

Wanita mulia penakluk Kepulauan Seribu Jika Pulau Panggang dan pulau-pulau di sekitarnya menjadi
bahan pembicaraan dunia internasional, maka Bidan Siti Sumiyatilah tersangka utamanya. Bidan
tegar yang sudah memberikan 38 tahun dari waktunya untuk mengabdi kepada masyarakat di
Kepulauan Seribu itu memang bidan jempolan andalan warga. Sehari saja tidak masuk, dipastikan
besoknya antrean akan menumpuk. Oleh warga, bidan satu ini disebut sebagai bidan cekatan yang
penuh dengan tanggung jawab. Pada masa lalu, Bidan Sumiyati benar-benar harus berjuang dengan
luar biasa. Bagaimana tidak? Hanya dengan sebuah perahu motor butut, ia harus melayani warga
yang tinggal di berbagai pulau di Kepulauan Seribu. Di masa mudanya dulu, ia dengan gagah berani
mengarungi laut utara Jakarta dan melayani para ibu hamil yang akan melahirkan. Keteguhannya
ternyata tercium oleh dunia internasional. Tidak tanggung-tanggung, organisasi sekelas WHO (Badan
PBB yang mengurusi masalah kesehatan) menghadiahinya sebutan Penyelamat Ibu Melahirkan.
Penghargaan yang diberikan pada Juni 2008 itu membuatnya semakin teguh untuk mengabdi kepada
rakyat Kepulauan Seribu, walau sebenarnya ia sudah memasuki usia pensiun. Angka kematian ibu
melahirkan yang turun hingga di titik nol persen juga membuat pemerintah Kuba tidak punya alasan
untuk tidak memberikannya penghargaan. Inilah bukti bahwa walaupun di tengah keterbatasan,
asalkan serius dan penuh ketulusan, kemajuan pun dapat diraih. Kini senyum Bidan Sumiyati dapat
terkembang. Di Kepulauan Seribu, sekarang sudah terdapat minimal satu tenaga kesehatan untuk
setiap pulau. Moda transportasi pun tidak sesulit ketika dirinya berjuang dulu.

3. Bidan Agnes Kundimgo

Si tangguh yang selalu menolak menyerah Tanah Boven-Digul yang berawa-rawa serta masih sulit
diakses menjadi saksi bagi perjuangan Bidan Agnes Kundimgo. Sosok bidan asli Papua yang
mengabdi sejak tahun 1997 ini menghadapi dua persoalan berat sekaligus. Pertama, medan yang
benar-benar sulit. Kedua, adat masyarakat yang tidak mempercayai bidan, juga menganggap bidan
sebagai pembawa sial. Pernah suatu ketika, Bidan Agnes baru diperbolehkan membantu persalinan
ketika kepala sang bayi sudah keluar. Dia juga sering dicegah oleh masyarakat ketika akan
menjalankan tugasnya. Tetapi bukan Bidan Agnes Kundimgo namanya kalau langsung jatuh mental.
Dengan ketekunan dan ketulusan, bidan satu ini akhirnya cukup berhasil menembus pandangan
lama yang ada di masyarakat itu. Walau begitu, masih ada satu masalah lagi, yakni medan yang
berat. Tidak jarang ia harus berjalan berjam-jam dan ketika sampai, bayinya sudah keluar. Tidak
jarang pula ia harus menempuh waktu tiga hari tiga malam dengan menggunakan perahu untuk
sampai di perkampungan warga. Menurut pengakuannya, mobil ambulan adalah barang langka di
Papua, apalagi rumah sakit. Tenaga kesehatan juga dirasa sangat tidak mencukupi. Lantas kita pun
wajib bertanya, kemana mengalirnya triliunan dolar uang hasil penambangan emas di Papua selama
ini? Apakah rakyat Papua harus mendirikan negara sendiri agar pelayanan kesehatan di daerahnya
dapat dilakukan dengan baik? Tetapi itu semua permasalahan politis, yang sering hanya berujung
janji manis tanpa realisasi. Untungnya tanah Boven-Digul masih punya Bidan Agnes, si tangguh yang
menolak untuk menyerah, meskipun dalam keadaan

4. Bidan Eros Rosita

Pembawa secercah cahaya untuk mereka yang terkucilkan Masyarakat Badui Banten dikenal sebagai
masyarakat tradisional yang masih memegang nilai-nilai adat. Hal ini membuat mereka hidup
terpencil dari dunia luar. Walau begitu, kedekatannya dengan alam membuat mereka jarang terkena
penyakit-penyakit berat seperti hipertensi, jantung, paru-paru ataupun AIDS. Meski begitu, bukan
berarti tidak ada masalah kesehatan di sana. Karena kuatnya adat, membuat masyarakat Badui
merasa enggan menggunakan jasa bidan. Bidan-bidan yang diterjunkan di sana pun langsung patah
arang. Hal ini karena selain harus menempuh medan yang sangat sulit untuk mencapai
perkampungan, mereka pada akhirnya ditolak. Tapi ada satu bidan yang memiliki semangat sekeras
baja. Bidan itu tidak lain adalah Bidan Eros Rosita, bidannya orang Badui. Dengan penuh ketelatenan
ia sambangi orang Badui, bahkan ia menggunakan metode door to door, dengan menawarkan bubur
kacang atau melakukan sosialisasi lapangan langsung. Meski begitu, orang Badui tetap saja
menolaknya, hingga suatu kejadian heboh menerpa mereka pada tahun 1999-2000. Pada waktu itu,
orang Badui terkena penyakit merah. Ternyata ketika para dukun Badui angkat tangan, Bidan Eros
turun tangan. Dengan bermodalkan ketulusan dan suntikan penisilin, rakyat Badui pun dibuat
sembuh. Sejak saat itu, masyarakat Badui menerima kehadirannya dengan antusias. Andaikan para
pemimpin negeri ini mencontoh Bidan Eros, mungkin sudah sejak lama negeri ini melesat jauh dari
keterpurukan. Sayangnya, ketulusan Bidan Eros mungkin hanya dianggap sebuah kekonyolan.
Apalagi ternyata untuk setiap persalinan, pegawai tidak tetap kesehatan itu hanya mendapat Rp
20.000. Sungguh sangat tidak sebanding dengan keringat yang ia keluarkan untuk berjalan kaki
belasan kilometer di pedalaman Banten. Tapi itulah Bidan Eros, sosok wanita yang selalu
menempatkan kata ikhlas sebagai pijakannya dalam mengabdi dan berbakti bagi masyarakat Badui,
masyarakatnya Bidan Eros Rosmita.

Bagi saya empat kisah bidan diatas sebagai suatu inspirasi tentang sebuah pengabdian Profesi dan
menjalankan sumpah Profesi yang telah diikrarkan, Aku bangga ketika mendampingin seorang ibu
berjuangang antara hidup dan matinya demi melahirkan malaikat kecil yang menjadikan
pengharapan bagi kehidupannya kelak, semoga kelak aku yang akan menggantikan perjuangan -
perjuangan itu AAMIIN :))

Anda mungkin juga menyukai