Anda di halaman 1dari 3

PANTI WERDA CATUR NUGRAHA

1. Panti Werda Catur Nugraha di rintis oleh Suster Veronica Indrawati PMY yang memiliki
keinginan untuk merawat para lansia. Dan pada 10 Juni 2006, Panti Wreda Catur Nugraha
bawah naungan Yayasan Wahyo Bawono Keuskupan Purwokerto yang berlokasi di Karangsalam
Kulon, Suro, Kec. Kalibagor, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah resmi berdiri. Nama “Catur
Nugraha” disematkan untuk mematri empat pilar pendiri panti wreda ini, yakni Keuskupan
Purwokerto, tarekat imam Oblat Maria Imakulata (OMI), Kongregasi Putri Maria dan Yosef
(PMY), dan para donatur.
2. Dalam menerima para lansia yang akan masuk ke Panti, Suster In senantiasa mengunjungi pihak
keluarga, hal ini dilakukan agar dapat langsung melihat kondisi keluarga dan bisa mengetahui
kondisi kesehatan, ekonomi, dan yang lainnya. Sejak berdiri panti ini sudah melayani 269 orang
lanjut usia dan sekarang yang masih tinggal di panti ada sebanyak 40 lansia dari kapasitas
kamar 60 unit yang terdiri dari 7 kamar VIP dan 53 kamar biasa. Kamar VIP ini merupakan salah
satu sumber pendanaan di Panti yaitu agar terjadi subsidi silang dengan kamar biasa. Rutinitas
para opa/oma setiap harinya adalah ngobrol, bersih-bersih,  menikmati masa tua mereka
dengan teman-teman. Dalam pelayanannya Suster In ditemani Suster Magdalena Dwi
Apriliyanti PMY. Mereka dibantu 22 karyawan dan tiga sukarelawan yang berasal dari warga
sekitar Panti. Tidak semua penghuni panti jompo ini beragama Kristen/Katolik. Dari 40 orang,
hanya 18 orang yang beragama Katolik.
3. Ada cerita sedih ketika salah satu lansia meninggal dunia, Suster In sigap menghubungi
keluarga. Ponakannya berhasil dikontak. Si ponakan mengatakan, agar jenazah sang opa diurus
sampai dikremasi. Katanya, ponakan ini mau datang sore hari. Dalam tempo satu jam, jenazah
sudah siap. Tapi kemudian, si ponakan mengatakan bahwa dia tidak bisa datang, dan abu
jenazah sang opa akan diambil besok oleh kakaknya, lalu segera dilarung. Akhirnya, Suster In
ditemani Suster Magdalen dan satu prodiakon mengantar jenazah itu tempat kremasi. “Saya
sedih. Saya menangis.” Suster In berhenti berkata. “Saat sudah menjadi jenazah, opa itu seperti
sampah, dibuang begitu saja oleh keluarganya,” tutur Suster In sembari menyeka air yang
menggenang di ujung pelupuk matanya.
4. Dalam merawat para lansia ini tetap melibatkan pihak keluarga yakni pembayaran uang
bulanan yang bervariasi tergantung kemampuan dari para keluarga yaitu antara 300.000,- s.d
Rp750.000,00 per-bulan yang digunakan untuk biaya konsumsi, perawatan dan cuci pakaian.
Namun kenyataannya ada beberapa keluarga yang tidak mampu membayar atau tidak mau
membayar (hanya awalnya saja rutin membayar selanjut tidak bahkan hilang kontak). Maka
untuk menutupi biaya-biaya tersebut Suster In sangat berharap dari para donatur.

5. Kini, Suster yang telah sepuh ini berusaha untuk tidak terlampau banyak melakukan aktivitas di
panti. Meski demikian, ia masih mengunjungi panti setiap hari. Semua urusan mulai
dilimpahkan kepada Suster Magdalena yang diharapkan akan meneruskan karya ini.
6. Dengan curah hujan yang tinggi akhir-akhir ini serta lokasi Panti yang berada di perbukitan
maka pada akhir Desember 2020 terjadi musibah longsor di belakang bangunan dapur dan
sangat perlu segera dibuat penahan longsor yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit.
Suster In berharap adanya bantuan agar pembuatan penahan longsor dapat segera terlaksana.

Anda mungkin juga menyukai