Anda di halaman 1dari 3

GERD

Etiologi dan Patogenesis

Faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat
refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara
bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan resistensi jaringan
mukosa esofagus (1)

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone)
yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu
normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau muntah.
Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES
tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Makmun,2009).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1). Refleks
spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang mendahului
kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra abdomen.
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti refluks,
bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor ofensif dari
bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD
adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara
lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying
(Makmun, 2009).

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD
merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung (Makmun, 2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan
rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai salah
satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan dengan
negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu studi di
Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan adanya
hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi H. pylori.
Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah eradikasi
H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai predisposisi
terhadap refluks hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006).

Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan
makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan
endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan
angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin
terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrets esophagus.
Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat
(Makmun,2009).

Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala
tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada
non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma,
bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain (Makmun 2009), (Jung, 2009).

Pada pasien GERD yang datang ke dokter THT, seringkali tidak mengeluhkan gejala
tipikal, melainkan gejala atipikal seperti, suara serak pagi hari, mulut berbau, lendir
kental, mulut kering, sering meludah. Bila hal ini terjadi maka beri tatalaksana PPI
selama 8 minggu,bila gejala hilang maka merupakan kasus GERD sekunder dengan
manifestasi THT.

Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga


Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI.
2007.

Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high
pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES
(Makmun,2009). Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara
bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara
gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).

Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan utama
dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata
heartburn mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang
sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa Cina,
Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata tentang apa
yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada mengasumsikan
bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di Malaysia, banyak
pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan angin yang merujuk pada dispepsia dan
gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina, banyak pasien GERD
yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest pain atau dispepsia (Goh
dan Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang dilakukan, berdasarkan
pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga sering ditemui di Indonesia.

GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejala-
gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan
produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-
Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi
umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada
aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti
penyakit jantung kongestif dan artritis kronik (Hongo dkk, 2007).

1. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi


B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-
5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2009.hal.481-95.

2. Goh KL, Wong CH. Gastrooesophageal reflux disease: An Emerging Disease


in Asia. J Gastroenterol Hepatol 2006; 2:118-23.

3. Jung HK. Epidemiology of gastroesophageal reflux disease in Asia : A


systematic review. J Neurogastroenterol Motil 2011; 17: 14-2

Anda mungkin juga menyukai