Anda di halaman 1dari 73

ISSN 0854-3844 STT NO.

2239/SK/DITJENPPG/STT/1996

Volume 16, Nomor 2, MeiAgustus 2009


REDAKSI

Penanggung Jawab
Roy V. Salomo
Pemimpin Editor
Eko Prasojo
Dewan Editor
Agus Maulana, Amy S. Rahayu, Azhar Kasim, Bob Waworuntu, Bhenyamin Hoessein,
Chandra Wijaya, Eko Prasojo, Ferdinand D. Saragih, Martani Huseini, Roy V. Salomo,
Sudarsono Hardjosukarto, Gunadi, Haula Rosdiana, Irfan Ridwan Maksum, Lisman Manurung

Redaktur Pelaksana
Rachma Fitriati

Sekretaris Redaktur
Eko Sakapurnama

Editor Teknik
Defny Holidin

Kesekretariatan
Eliyani Noor, Gema Fikri A.P

Diterbitkan Oleh:
Pusat Kajian Ilmu Administrasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia

Alamat Redaksi
Ruang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi
Gedung Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi, Lantai 2, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia, Depok 16424
Telp/Fax: 021 78849145
Email: jbbfisip@ui.ac.id, bisnis.birokrasi_fisipui@yahoo.co.id
http://www.jurnalbisnisbirokrasi.com

JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI merupakan jurnal ilmiah yang menyajikan
artikel orisinil tentang pengetahuan dan informasi riset atau aplikasi riset, beserta pengembangan terkini dalam bidang
administrasi dan kebijakan publik, bisnis, dan fiskal. Jurnal ini merupakan sarana publikasi dan ajang berbagi karya riset dan
pengembangannya dalam bidang-bidang yang bersangkutan. Pemuatan artikel pada jurnal ini dialamatkan ke ruang redaksi.
Informasi lengkap mengenai pemuatan artikel dan petunjuk penulisan artikel tersedia pada setiap terbitan. Artikel yang masuk
akan melalui proses seleksi mitra bestari dan atau dewan editor. Sejak 1993, jurnal ini terbit secara berkala sebanyak tiga kali
dalam setahun (Januari, Mei, dan September).

JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI BISNIS & BIROKRASI is a scientific journal which publishes original
articles on the most recent knowledge, researches or applied researches and other developments in the fields of public, business,
and fiscal administration and policies. The journal provides a broad-bases forum for the publication and sharing of ongoing
researches and development efforts in the respective fields. Articles should be sent to the editorial office. Detailed information on
how to submit articles and instructions to the authors are available in every edition. All submitted articles will be subjected to
peer-review and may be edited. Since 1993, this journal has been published three times a year (January, May, and September).
Volume 16, Nomor 2, MeiAgustus 2009

DAFTAR ISI
Penetapan Target Premi Asuransi Jiwa Syariah untuk Sugeng Soedibjo, 59-67
Mencapai Titik Impas (Break Even Point) dengan Rachma Fitriati
Pendekatan Model Profit Testing

Consumers Perception under the Construct of Guido Benny Sunardi 68-73


Nationalism, Worldmindedness, Made In Label, and
Brands

Scenario Indonesia Tahun 2025 dan Tantangan yang Roy V. Salomo 74-81
Dihadapi oleh Administrasi Publik

Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen Samun Jaja Rahardja 82-86


Kebijakan Sektor Publik pada Pengelolaan Sungai

Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan setelah Perubahan Rozy Afrial Jafar 87-95
Kedudukan dan Fungsi Camat sebagai Perangkat Daerah

Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Badan Erwin Harinurdin 96-104

Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah Peluang dan Yusuf Wibisono 105-115


Tantangan Regulasi Industri Perbankan Syariah di
Indonesia

Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat Teguh Kurniawan 116-121


dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 59-67 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Penetapan Target Premi Asuransi Jiwa Syariah


untuk Mencapai Titik Impas
dengan Pendekatan Model Profit Testing

SUGENG SOEDIBJO1* & RACHMA FITRIATI2**

1
Teknik Asuransi BRIngin Life
2
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Abstract. This research aimed to give illustration of profit achievement through determination of premium income based on
technical assumptions that could be controlled by the company. This model could generally be used as a management tool
to take the decision and to arrange the company work planning through allocation of companys resources. The research
was carried out at BRIngin Life Syariah (BLS) company. The results of this study showed that premium income
achievement to reach the break even point depended on the kind of insurance products marketed, the operational cost,
the investment yield and the risk level of clients. Based on the analyses of profit testing and sensitivity, the product of
Tabarru produced a better break even point and profit indicator than the insurance products that had the savings
element. The results showed that the product of Tabarru with the operational cost between IDR 247,500.0 IDR302,500.00
per year would reach the break even point between 3.605.26 a year. The savings products that had the same operational
costs could reach the break even point at 3.915.47 a year.

Keywords: premium income, operational cost, tabarru, profit testing

PENDAHULUAN Sampai dengan tahun 2004, jumlah pemegang polis


asuransi jiwa di Indonesia baru berjumlah 33,6 juta or-
Perkembangan perolehan premi asuransi syariah di ang atau sekitar 15,29% dari total populasi. Hal ini berarti
Indonesia sampai tahun 2006 menunjukkan peningkatan bahwa setiap enam orang penduduk Indonesia hanya
yang cukup signifikan yaitu sebesar rata-rata 45,17% memiliki satu polis asuransi jiwa. Artinya terdapat potensi
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sampai dengan pasar asuransi jiwa yang demikian besar kurang lebih
bulan Juni 2006 total perolehan premi asuransi syariah sekitar 85% dari populasi Indonesia atau sekitar 190 Juta
sebesar Rp 231,524 miliar. Namun secara makro, kontribusi jiwa penduduk Indonesia yang belum memiliki polis
premi asuransi syariah hanya menyumbangkan sebesar asuransi jiwa. Sedangkan, sumbangan sektor asuransi
1,5% dari target premi asuransi nasional. Dibandingkan jiwa terhadap PDB kurang dari 1%, yaitu baru sekitar
dengan negara lain yang penduduknya mayoritas 0,77% terhadap PDB tahun 2004. Ini berarti masih terbuka
muslim, diperkirakan bahwa peranan asuransi syariah di peluang untuk meningkatkan pendapatan premi asuransi
Indonesia, seharusnya dapat memberikan sumbangan jiwa di masa datang. Peningkatan pendapatan premi
terhadap target perolehan premi nasional sekurang- asuransi jiwa ini sangat tergantung pada iklim
kurangnya sebesar 10% (Majalah Proteksi, 2006). perekonomian nasional yang memungkinkan
Dalam rangka mendorong pengembangan bisnis peningkatan pendapatan per kapita penduduk dan
asuransi jiwa syariah, diperlukan sejumlah indikator untuk peranan industri asuransi dalam memobilisasi dana
meyakinkan para investor bahwa bisnis asuransi jiwa masyarakat untuk bersaing dengan industri keuangan
syariah di Indonesia mempunyai prospek yang sangat lainnya.
baik. Di samping masih terbukanya peluang pasar Disamping potensi pasar asuransi, tumbuhnya
asuransi jiwa syariah di Indonesia yang penduduknya perusahaan asuransi dipengaruhi pula pada peranan
mayoritas muslim, juga beberapa indikator keuangan yang saling ketergantungan dari berbagai bidang.
lainnya yang menjadi acuan kegiatan operasional Pertama, pada bidang pemasaran, mobilisasi aparat
perusahaan memberikan daya tarik untuk dibukanya pemasaran dan pembuatan strategi pemasaran yang
industri asuransi jiwa syariah. Menurut data makro sesuai dengan visi dan misi perusahaan diharapkan
ekonomi yang telah diolah, bahwa potensi pasar asuransi dapat meningkatkan volume penjualan. Kedua, pada
jiwa di Indonesia (lihat tabel 1). bidang teknism perusahaan asuransi harus melakukan
valuasi-valuasi kekayaan dan kewajiban perusahaan
terhadap nasabahnya, pembuatan produk-produk yang
*Korespondensi: +6221 5261260, +6221 5261261; sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan penetapan
sugeng_sudibjo@yahoo.co.id standar operasional teknis dan seleksi terhadap risiko
** Korespondensi: +62812 969323; rachma.fitriati@ui.ac.id
calon peserta asuransi. Ketiga, pada bidang keuangan,
60 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67

Tabel 1. Indikator Ekonomi Makro tentang Potensi Pasar Asuransi di Indonesia Berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB), Premi
dan Polis Asuransi Jiwa Tahun 20012004
Keterangan 2001 2002 2003 2004
PDB pada harga berlaku (miliar Rp.) 1.449.398.10 1.610.016,00 1.786.691,00 2.303.030,00
Pendapatan per Kapita (Rp.) 6.938.000,00 7.594.000,00 9.572.480,00 10.641.730,00
Total Premi Asuransi Jiwa (miliar Rp.) 8.815,73 10.872,72 13.311,60 17.795,61
% Premi Asuransi Jiwa terhadap PDB 0,61 0,68 0,74 0,77
Pemegang Polis Asuransi Jiwa 25.293.099,00 24.246.485,00 30.867.931,00 33.600.000,00
Jumlah Penduduk (juta) 208,90 211,10 215,00 220,00
% Pemegang Polis Asuransi Jiwa
12,11 11,49 11,51 15,29
terhadap Jumlah Penduduk
Sumber: Bank Indonesia, BPS, Dewan Asuransi Indonesia (DAI), 2005

perusahaan asuransi harus dapat melakukan pengelolaan bersumber dari ujrah atau fee (fee pengelolaan penjualan
dana masyarakat agar memberikan hasil yang optimal, produk asuransi, nisbah bagi hasil investasi dan atau
pengendalian terhadap alokasi biaya-biaya perusahaan, dari surplus operasional dari pengelolaan risiko) yang
dan penyusunan terhadap rencana anggaran sebagian besar bersifat variabel, tergantung dari vol-
perusahaan agar sedini mungkin ditetapkan rencana tar- ume penjualan dan jumlah dana kelolaan oleh
get perolehan keuntungan perusahaan. Pada perusahaan, sedangkan sumber-sumber pengeluaran
perusahaan dengan prinsip syariah peranan ketiga perusahaan dikelompokkan pada pengeluaran biaya
bidang ini, harus senantiasa memenuhi karakteristik yang variabel (variable cost)-biaya-biaya yang dikeluarkan
selaras dengan etika dan bisnis perusahaan yang tergantung pada besarnya volume penjualan; dan biaya
berlandaskan pada etika bisnis Islam (Gillian, 1999; Alma, tetap (fix cost) - yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan
2003). Selain itu, misi yang harus diemban asuransi perusahaan untuk mendukung kegiatan operasional
syariah adalah misi akidah, ibadah (taawun), ekonomi yang tidak tergantung langsung pada volume penjualan.
(iqtisadl), dan pemberdayaan umat (sosial) (Anshori, Biaya tetap ini menjadi indikator langsung terhadap
2007). tingkat efisiensi suatu perusahaan.
Pada perusahaan asuransi syariah (tamin, takaful, Kegiatan operasional perusahaan asuransi syariah
atau tadhamum), hubungan kerjasama antar kedua belah ini dibiayai dari hasil perolehan ujrah (fee) atas seberapa
pihak akan terjadi jika transaksi dilakukan berdasarkan besar fee yang diperoleh perusahaan untuk menutup
prinsip mudharabah, yang bertujuan untuk melindungi seluruh biaya operasional yang telah dikeluarkan dalam
tertanggung dari risiko keuangan masa depan yang tidak kurun waktu tertentu. Selain itu, indikator pembagian
terduga (Billah, 1998). Peranan perusahaan hanya keuntungan perusahaan ditentukan oleh besarnya dana
berstatus sebagai pengelola dana atau mudharib, yang dikelola baik yang bersumber dari dana tabungan
sedangkan pemegang polis atau peserta asuransi atau (tabarru) atau dana tabungan peserta sesuai dengan
shahibul maal merupakan pemilik dana sepenuhnya jenis produk dan akad asuransi yang diterapkan.
(Billah, 1998). Hubungan muamalah keduanya disebut Pada perusahaan asuransi jiwa syariah, sumber dana
hubungan mudharabah (lihat gambar 1 & 2). dikaitkan dengan akad asuransi yang akan diterapkan
Prinsip asuransi syariah harus mampu menciptakan dan, daya saing terhadap tingkat persaingan pasar yang
keadilan, membangun moral, menetapkan bahwa uang dihadapi, salah satunya melalui inovasi. Inovasi-inovasi
bukan merupakan komoditas transaksi, diberlakukannya dalam bisnis berorientasi pada upaya pemenuhan
kebebasan dalam bertransaksi, menghindari adanya keinginan dan kebutuhan konsumen melalui penciptaan
kekayaan beku dan kegiatan yang bersifat monopoli dan manfaat atau nilai (Soeling, 2005), termasuk pada produk
tidak menganut economic value of time (Roy, 1991; asuransi syariah.
Billah, 1999). Selain itu, asuransi syariah juga tidak boleh Inovasi terhadap produk asuransi syariah mengacu
mengandung unsur gharar (penipuan), maysir pada kebutuhan pasar. Inovasi pada produk asuransi
(perjudian), riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), syariah sangat bergantung pada penerapan akad yang
barang haram dan maksiat (Anshory, 2007). Penempatan menjadi acuan pembagian hak dan kewajiban antara
dana investasi pada asuransi syariah juga harus perusahaan dan calon peserta asuransi. Namun, hal ini
memperhatikan kaidah yang berlaku dalam sistem tidak berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa syariah
syariah, misalnya tidak menempatkan dana pada lembaga yang baru, mengingat biaya awal operasional
keuangan yang berbasis bunga, atau pembelian saham perusahaan yang telah dikeluarkan belum mampu ditutup
perusahaan yang memperjualbelikan komoditi haram dari pendapatan perusahaan yang bersumber dari
secara syariah (Antonio, 2004 dan Sula, 2004). Selain beberapa fee tersebut di atas.
itu, pembagian keuntungan investasi dana didasarkan Pada kenyataannya biaya awal perusahaan yang
pada akad asuransi yang disepakati dengan peserta tinggi digunakan untuk membiayai awal operasi
yaitu dasar akad bagi hasil investasi (almudharabah) perusahaan dalam bentuk pembangunan infrastruktur
(Yusof , 1996; Karim, 2001). kantor dan pembukaan kantor-kantor cabang baru untuk
Sumber-sumber pendapatan perusahaan secara umum mendukung pemasaran produk-produk perusahaan.
SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH 61

Gambar 1. Mekanisme Kerja Produk Asuransi Jiwa Syariah dengan Unsur Tabungan
Sumber: PT. AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi Syariah, 2007

Gambar 2. Mekanisme Kerja Produk Asuransi Jiwa Syariah tanpa Unsur Tabungan
Sumber: PT. AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi Syariah, 2007

Biaya-biaya awal operasional perusahaan tersebut dan sebaliknya. Hal ini tergantung akad asuransi dan
bersifat biaya tetap atau fix cost sebagai Initial Invest- penetapan nisbah bagian perusahaan yang
ment perusahaan yang diharapkan akan ditutup dari memungkinkan untuk mampu bersaing dalam lingkungan
perolehan fees di tahun-tahun mendatang. Sedangkan pemasaran. Semakin kecil nisbah bagi perusahaan
sumber-sumber pendapatan perusahaan, sebagian besar memberi indikasi semakin efisiennya biaya-biaya operasi
bersumber dari fee penjualan produk yang meningkat perusahaan dan sebaliknya.
berdasarkan omset penjualan dari waktu ke waktu, fee Korelasi lainnya adalah semakin tingginya tingkat
bagi hasil mudharabah dari hasil investasi yang pengembalian hasil investasi menunjukkan perusahaan
tergantung pada jumlah dana kelolaan dan kondisi memiliki kemampuan dalam mengelola dana peserta. Hal
eksternal iklim investasi maupun dari fee surplus ini memberikan dampak terhadap meningkatnya
operasional pengelolaan risiko oleh manajer risiko kepercayaan peserta terhadap kemampuan perusahaan,
perusahaan yang tergantung pada besarnya pembayaran dan mendorong tumbuhnya perusahaan dalam
klaim dan manfaat asuransi jiwa pada peserta. menjaring peserta-peserta asuransi lainnya. Pada sisi
Terjadinya gap di awal operasi perusahaan diharapkan lain, secara agregat masalah yang dihadapi perusahaan
dapat dicapai dengan bertambahnya jumlah peserta adalah menetapkan target premi total peserta yang harus
asuransi dari tahun ke tahun. Penetapan waktu titik impas dikelola agar mencapai titik impas dan keuntungan
(break even point) yaitu terjadinya keseimbangan antara perusahaan (Emms, Haberman, Savoulli, 2007).
total biaya operasional perusahaan dan sumber Pencapaian target premi ini dipengaruhi oleh jenis produk
pendapatan menjadi indikator penting bagi para inves- yang akan dipasarkan, jaringan pemasaran, penerapan
tor untuk mengkaji kelayakan bisnis perusahaan. akad asuransi, dan kualitas pelayanan perusahaan.
Masalah lain yang terjadi dalam pengelolaan Pada PT AJ BRIngin Jiwa Sejahtera Divisi Bisnis
perusahaan asuransi jiwa syariah adalah, penetapan Syariah, analisa tentang penetapan target premi peserta
pengembalian hasil investasi dari dana kelolaan peserta. adalah merupakan penjumlahan dari setiap unit bisnis
Dengan akad asuransi syariah, perolehan hasil investasi pemasaran yang telah dibuka, baik yang bersumber dari
yang maksimal akan mempercepat tercapainya titik impas bisnis asuransi jiwa individu maupun asuransi jiwa
dan mempercepat perolehan keuntungan perusahaan kumpulan. Keragaman perusahaan berasal dari
62 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67

Tabel 2. Tarif Premi Resiko (Tabarru) per Rp. 1.000,00 Dana Kebajikan program asuransi yang dipilih, biaya mortalitas (mor-
Usia Tarif Usia Tarif Usia Tarif Usia Tarif tality load) yaitu penetapan tingkat kematian
20 1.97 40 3.06 60 20.28 80 131.17 berdasarkan tabel mortalita yang dipilih sebagai dasar
21 1.98 41 3.26 61 22.30 81 143.60 menghitung tarif premi Tabarru, dan asumsi tingkat
22 1.95 42 3.49 62 24.51 82 157.12
23 1.93 43 3.77 63 26.94 83 171.82
hasil investasi per tahun yang menggambarkan
24 1.87 44 4.11 64 29.61 84 187.79 kemampuan perusahaan untuk mengelola dana peserta.
25 7.85 45 4.56 65 32.55 85 205.11 Kedua, asumsi data pertanggungan yang meliputi
26 7.83 46 5.11 66 35.78 86 223.85 rata-rata usia peserta yang akan menjadi nasabah
27 1.82 47 5.78 67 39.29 87 244.14 perusahaan yang bersangkutan, rata-rata dana kebajikan
28 1.83 48 6.54 68 43.17 88 266.02 yang akan dikelola perusahaan yang mencerminkan
29 1.85 49 7.36 69 47.41 89 289.61
segmen pasar yang akan dituju oleh perusahaan, rata-
30 1.85 50 8.21 70 52.06 90 314.97
31 1.87 51 9.06 71 57.17 91 342.17 rata masa asuransi yang akan masuk sebagai pilihan
32 1.91 52 9.84 72 62.76 92 371.27 calon peserta, jumlah polis peserta baru (New Business
33 1.98 53 10.57 73 68.89 93 402.30 = NB) yang diharapkan oleh perusahaan pada setiap
34 2.09 54 11.33 74 75.59 94 435.32 tahunnya, dan asumsi kenaikan produksi baru per tahun
35 2.21 55 12.24 75 82.94 95 470.31 yang mencerminkan target pertumbuhan usaha
36 2.36 56 13.38 76 90.96 96 507.26
37 2.53 57 14.82 77 99.73 97 546.13
perusahaan pada setiap tahunnya.
38 2.71 58 16.56 78 109.31 98 586.82 Ketiga, asumsi biaya dan beban perusahaan yang
39 2.88 59 18.45 79 119.77 99 629.20 meliputi asumsi biaya pemasaran yaitu biaya-biaya yang
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 digunakan untuk memasarkan produk-produk
akumulatif keragaan bisnis-bisnis yang dibangunnya. perusahaan, investasi awal perusahaan (Initial Invest-
Untuk memberikan penilaian terhadap kinerja ment) yaitu dana awal yang dibutuhkan perusahaan
perusahaan, senantiasa dibutuhkan alat ukur dalam pada awal beroperasi, biaya over head yaitu biaya yang
menggambarkan keragaan tersebut secara kuantitatif digunakan untuk membiayai kegiatan kantor-kantor, dan
melalui indikator yang ditetapkan. Indikator-indikator ini asumsi kenaikan biaya over head per tahun untuk
antara lain penetapan target perolehan premi, penetapan mengatisipasi pertumbuhan biaya akibat koreksi faktor
waktu tercapainya titik impas, analisa profitabilitas inflasi.
perusahaan, dan analisa kepekaan (sensitivity analy-
sis) sesuai dengan asumsi-asumsi yang ditetapkan. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini dilakukan
untuk menganalisis cara menetapkan target premi agar A. Analisis Cost of Insurance (Premi Tabarru)
tercapai titik impas (break even point) yang mengacu Berdasarkan Tabel Mortalita Indonesia II 1993 (TMI
pada produk-produk asuransi yang dipasarkan dari akad- II 1993), dengan asumsi hasil investasi 8% per tahun
akad asuransi yang diterapkan. dan ditetapkan biaya sebesar 30% dari Premi Tabarru,
diperoleh tarif premi Tabarru untuk setiap Rp 1.000,00
METODE PENELITIAN dana kebajikan (lihat tabel 2).
Hal ini memberikan beberapa gambaran bahwa (a)
Penelitian dengan pendekatan kuantitatif ini dengan semakin meningkatnya usia calon peserta maka
menggunakan model Profit Testing (Hare dan risiko yang dihadapi perusahaan semakin tinggi
McCutcheon,1996; Mungall,1993), yaitu model sehingga peserta yang berusia lebih tinggi akan
matematis yang berupa proses iterasi dari keseimbangan membayar secara adil lebih mahal dibandingkan dengan
cash flow antara sumber pendapatan dengan sumber calon peserta yang berusia lebih muda; (b) Dengan
pengeluaran perusahaan pada setiap tahun produksi. asumsi hasil investasi 6% ini menunjukkan bahwa
Dalam model ini dilakukan identifikasi secara akurat apabila perusahaan dalam mengelola dana Tabarru
besaran sumber-sumber pendapatan perusahaan melalui tersebut memperoleh hasil investasi lebih dari 6%, marjin
dimensi waktu yang ditetapkan dan mampu yang diperoleh dari hasil investasi ini menjadi penambah
mengidentifikasi sumber-sumber pengeluaran pooling fund dana Tabarru yang dikelola perusahaan.
perusahaan dari periode waktu pengamatan. Sebaliknya, apabila hasil investasi kurang dari asumsi
Beberapa asumsi yang digunakan sebagai dasar yang ditetapkan maka defisit ini menyebabkan
penetapan perhitungan profit testing dalam penelitian berkurangnya Pooling Fund dana Tabarru; (c)
ini, adalah sebagai berikut. Pertama, asumsi teknis yang Penetapan asumsi biaya sebesar 30% menunjukkan
meliputi tabel mortalita yang digunakan, asumsi hasil bahwa dari setiap premi Tabarru yang dihimpun
investasi yang akan dicapai dalam tahun-tahun perusahaan mempunyai alokasi biaya yang digunakan
mendatang, penetapan bagi hasil investasi, besarnya untuk operasional sebesar 30%. Apabila realisasi biaya
profit sharing yang ditetapkan dalam mengelola risiko, operasional kurang dari 30% memberikan gambaran
penetapan biaya aktuaria (actuarial load) yaitu biaya selisih tersebut merupakan keuntungan perusahaan atas
yang dibebankan pada calon peserta untuk mengikuti efisiensi biaya yang dilakukan. Sebaliknya apabila
SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH 63

realisasi biaya operasional melebihi asumsi yang telah ini dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan target
ditetapkan, maka kerugian ini harus ditutupi dari premi- portofolio premi yang harus dicapai, agar pencapaian
premi lanjutan dimasa yang akan datang. target tersebut mampu menutup semua biaya dalam
masa tertentu serta menghasilkan keuntungan dan
B. Analisis Biaya pencapaian titik impas sesuai dengan target yang telah
Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan ditetapkan.
keuangan perusahaan tahun 2003-2005, diperoleh
sejumlah hasil. Pada awal berdirinya perusahaan tahun C. Analisis Portofolio Premi dan Profitabilitas
2003 biaya umum dan administrasi masih relatif rendah, Analisis premi dan portofolio yang pertama adalah
yaitu sebesar Rp 256.845.793,71. Hal ini dikarenakan produk tabungan. Dalam menganalisa portofolio premi
oleh masih terbatasnya jumlah sumber daya manusia, dan profitabilitas dari jenis produk non tabungan
baik aparat penjualan maupun pegawai organik. Sarana (Tabarru) ini, terdapat beberapa asumsi teknis yang
kantor masih sangat terbatas dan jumlah kantor cabang harus ditetapkan untuk menyusun perencanaan
yang dibuka baru satu kantor cabang. Pada tahun 2004 produksi setiap tahunnya.
biaya umum dan administrasi mengalami kenaikan 1) Asumsi Teknis
sebesar Rp 1.269.274.728,60 atau kenaikan 394,17% dari a Tabel Mortalita: TMI II 1999
tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan kebijakan b Hasil Investasi (Gross): 12,00%
perusahaan untuk menambah sarana dan sumber daya Hasil Investasi (Netto 60%
manusia dengan dukungan lima kantor cabang di c Mudharabah:
beberapa kota besar. Pada tahun 2005 terjadi perluasan a. Pesert 80,00%
jaringan distribusi dengan membentuk tujuh b. Perusahaa 20,00%
departemen pemasaran korporasi yang dikhususkan d Profit Shari 30,00%
untuk memasarkan produk-produk asuransi kumpulan e Loading Aktua 30,00%
secara korporasi. Hal ini mengakibatkan peningkatan f Mortality Lo 90,00%
jumlah biaya umum dan administrasi menjadi Rp g Hasil Investasi Tekn 6,00%
3.144.030.197,23 atau terjadi peningkatan sebesar 2) Data Pertanggung an
147,75% dari tahun 2004. a Usia M asuk (Tahun): 40
Hasil yang kedua, berdasarkan data pada hasil b JU P (Rupiah) 15.000.000,00
pertama di atas, terlihat bahwa setiap pembukaan satu c Masa Asura nsi (Tahun): 10
d Ju mlah Polis NB: 20.000
kantor cabang atau satu departemen pemasaran Kenaikan Produksi Polis NB/
perusahaan harus mengalokasikan biaya per tahunnya 10%
Tahun:
berkisar antara Rp 250 juta-Rp 275 juta. Biaya ini dalam 3) Biaya da n Beban
analisis perhitungan profitabilitas diperlakukan biaya a Biaya Pema saran 20,0 0%
modal kerja atau overhead cost kantor pemasaran. b Initial Investment: 500.000.000,00
Hasil yang ketiga,dengan memperhatikan faktor c OHC: 275.000.000,00
d +/- OHC / Thn 10,0 0%
inflasi, tanpa adanya penambahan julah kantor
pemasaran, diperkirakan biaya modal kerja tahunan Berdasarkan asumsi teknis, data kepesertaan dan
(diasumsikan) akan meningkat sebesar 10% pada tahun- rencana anggaran biaya sebagaimana tersebut di atas
tahun berikutnya dari tahun sebelumnya. dapat diperoleh proyeksi kepesertaan dan pendapatan
Hasil keempat, merujuk pada biaya underwriting dan premi tahun 2006 sampai dengan tahun 2015 seperti
biaya produksi/penjualan yang sangat tergantung pada dalam tabel 3. Berdasarkan anlisis portofolio premi dan
besaran portofolio premi yang diperoleh selama periode profitabilitas, maka diperoleh grafik premi, klaim, dan laba
berjalan. Biaya-biaya ini bersifat variabel dari premi (rugi) term insurance (yearly renewable term) Syariah
yang dihimpun. Dengan demikian, keuntungan Produk Non Tabungan (tabarru), seperti pada gambar
perusahaan sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya 3.
portofolio premi yang akan dihimpun. Jika portofolio Jika Kantor Cabang memenuhi pencapaian
yang dikelola sangat rendah mengakibatkan sumber pendapatan premi dan jumlah kepesertaan setiap
pendapatan perusahaan tidak akan cukup untuk tahunnya selama 10 tahun produksi kedepan sesuai
menutup biaya umum dan administrasi yang telah dengan target yang telah ditetapkan dan asumsi teknis
dikeluarkan. Sebaliknya, jika portofolio premi yang dan rencana anggaran terpenuhi, maka profitabilitas
dikelola sangat besar maka keuntungan perusahaan yang dicapai oleh kantor cabang adalah seperti dalam
menjadi sangat besar pula karena sumber-sumber poin nomor 4.
pendapatan perusahaan mampu menutup biaya umum Analisis produk premi dan portofolio yang berikutnya
dan administrasi. adalah produk tabungan. Dalam menganalisa portofolio
Hasil kelima besaran biaya underwriting dan biaya premi dan profitabilitas dari jenis produk dengan unsur
produksi/penjualan ditentukan berdasarkan pada jenis tabungan, terdapat beberapa asumsi teknis yang harus
produk dan sesuai kebijakan perusahaan dalam ditetapkan untuk menyusun perencanaan produksi
menetapkan prosentase biaya. Selanjutnya biaya-biaya setiap tahunnya.
64 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67

Tabel 3. Pencapaian Target Portofolio Jumlah Peserta dan Premi Tabel 4. Pencapaian Target Portofolio Jumlah Peserta dan Premi
Produk Asursni Jiwa Syariah Non Tabungan (Tabarru) Produk Asuransi Jiwa Syariah Tabungan (Mudharabah)
Tahun Jumlah Peserta Premi
Jumlah Premi Tahunan
2006 20,0000.00 917,789,757.41 Tahun
P eserta
2007 41,959.14 1,986,006,444.74 GRO SS NETTO
2008 66,070.72 3,227,361,456.31 2006 4 00,00 4.000 .0 00 .0 00,00 3 .6 00.000.000,00
2009 92,547.04 4,674,771,879.41 2007 7 99,18 7.991 .8 28 .0 00,00 7 .4 79.991.440,00
2010 121,620.92 6,364,253,460.13 2008 1.205 ,18 12.051.751.278,62 11.423.516.253,04
2011 153,547.78 8,351,182,730.29 2009 1.624 ,59 16.245.946.120,27 15.495.107.197,86
2012 188,607.21 10,696,016,881.93 2010 2.063 ,41 20.634.128.579,28 19.752.934.007,69
2013 227,105.36 13,468,676,395.96
2011 2.527 ,22 25.272.224.236,90 24.251.416.552,16
2014 269,377.51 16,733,478,592.64
2012 3.021 ,43 30.214.264.830,57 29.043.080.013,96
2015 315,791.49 20,556,561,037.31
2013 3.551 ,39 35.513.939.200,53 34.180.070.944,52
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
2014 4.122 ,58 41.225.816.802,21 39.715.352.046,97
2015 4.740 ,64 47.406.449.914,53 45.703.777.655,12

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Gambar 3.Grafik Premi, Klaim, dan Laba (Rugi) Term Insurance (Yearly Renewable Term) Syariah Produk Non Tabungan (Tabarru)
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Gambar 4. Grafik Premi, Klaim, dan Laba (Rugi) Term Insurance (Yearly Renewable Term) Syariah Produk Tabungan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH 65

4) Profitability: 4) Profitability:
a PVF Premium: 4,676,695,967.51
b PVF Profi 2,445,750,376.43 a PVF Premium: 122,794,211,151.36
c Profit Margi 5.47% b PVF Profit: 1,157,869,601.78
d Internal Rate of Return (IRR): 19.75% c Profit Margin: 0.94%
e Return on Investment (ROI): 43.98% Internal Rate of Return
d 20.13%
f Payback Period (th 3.60 (IRR):
Berdasarkan asumsi teknis, data kepesertaan, dan Return on Investment
e 54.94%
rencana anggaran biaya, dapat diperoleh proyeksi (ROI):
kepesertaan dan pendapatan premi tahun 2006 sampai f Payback Period (year): 4.66
dengan tahun 2015 pada tabel 4.
1) Asumsi Teknis dibandingkan dengan produk tabungan. Hal ini
disebabkan porsi keuntungan perusahaan yang
a Tabel Mortalita: TMI II 1999
bersumber dari biaya dan hasil investasi produk Tabarru
b Hasil Investasi (Gross): 12,00% lebih besar dibandingkan dengan produk tabungan.
Hasil Investasi (Netto): 9,60% Kedua, ROI, IRR dan profit margin produk Tabarru
c Mudharabah: lebih besar dari produk tabungan. Hal ini dikarenakan
a. Peserta: 80,00% produk Tabarru tidak memberikan nilai tunai kepada
b. Perusahaan: 20,00% peserta dalam masa kontrak asuransi sehingga
perusahaan dapat memperoleh keuntungan lebih besar
d Profit Sharing: 30,00%
dibandingkan dengan produk tabungan.
e Loading Aktuaria Thn-1: 10,00% Ketiga, Produk Tabarru memberikan potensi
Loading Aktuaria Thn-2, dst: 2,00% keuntungan dan pencapaian titik impas lebih baik dari
f Mortality Load: 90,00% produk tabungan. Namun demikian, pencapaian target
g Tingkat hasil Investasi Teknis: 6,00% portofolio premi harus dicapai dalam jumlah peserta
2) Data Pertanggungan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan produk
tabungan mengingat premi yang dipasarkan sangat
a Usia Masu k (Tahun): 40
murah.
b Jumlah Uang Pertanggungan: 10.000.000,00
Keempat, Tingkat kesulitan memasarkan produk
c Premi per Tahun (Rupi ah): 10.000.000,00 Tabarru lebih tinggi dibandingkan dengan produk
d Masa Asurans i (Tahun): 10 tabungan. Hal ini dikarenakan karena rancangan produk
e Jumlah Polis NB: 400 ini sangat sederhana - hanya memiliki satu manfaat
f Kenaikan P roduksi Pol is NB/ Tahun: 10% asuransi. Sedangkan untuk produk tabungan dapat
dirancang berbagai kombinasi produk sesuai dengan
3) Bi aya dan B eban
kebutuhan konsumen.
a Biaya P ema saran Thn-1: 8,0% Analisis portofolio premi dan profitabilitas yang
b Biaya P ema saran Thn-2, dst 2,0% keempat adalah analisis kepekaan. Dalam menganalisis
c Initial Inves tme nt: 500,000,000.00 kepekaan produk Tabarru dan Tabungan akan diuji
d OHC: 275.000.000,00
sensitivitas profit margin, ROI, IRR, dan payback pe-
riod terhadap perubahan hasil investasi, overhead cost
e +/- O HC/ Thn: 10,0% (OHC), dan mortality. Asumsi-asumsi teknis lainnya
dianggap tetap (cateris paribus). Berdasarkan
perhitungan profit testing, dapat diketahui masing-
Berdasarkan anlisis portofolio premi dan profitabilitas masing kepekaan terhadap perubahan variabel tersebut
diperoleh grafik premi, klaim, dan laba (rugi) term insur- diatas sebagai berikut.
ance (yearly renewable term) Syariah Produk Tabungan Kepekaan terhadap perubahan variabel tersebut yang
sebagai gambar 4. pertama adalah produk non tabungan (Tabarru). Untuk
Seandainya kantor cabang memenuhi pencapaian sensitivitas hasil investasi, peningkatan dan penurunan
pendapatan premi dan jumlah kepesertaan setiap hasil investasi sebesar 1% akan menyebabkan perubahan
tahunnya selama sepuluh tahun produksi kedepan terhadap indikator profitabilitas sebagaimana terdapat
sesuai dengan target yang telah ditetapkan dan asumsi pada tabel 5.
teknis dan rencana anggaran terpenuhi, profitabilitas Peningkatan hasil investasi sebesar 1% dari asumsi
yang dicapai oleh kantor cabang adalah sebagai berikut. semula menjadi akan menyebabkan peningkatan PM,
Analisa portofolio premi dan profitabilitas yang ketiga ROI, dan IRR masing-masing sebesar 3,87%, 4,08%, dan
adalah analisis produk. Berdasarkan hasil perhitungan 3,55%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih
profit testing dari kedua produk di atas diperoleh cepat 0,10 tahun.
gambaran sebagai berikut: Penurunan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsi
Pertama, pencapaian titik impas kantor cabang dalam semula menjadi 11 % akan menyebabkan penurunan PM,
memasarkan produk asuransi Tabarru lebih cepat ROI, dan IRR masing-masing sebesar 3,85%, 4,01% dan
66 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 59-67

Tabel 5. Sensitivitas Perubahan Asumsi Hasil Investasi Tabel 6. Sensitivitas Perubahan Asumsi Overhead Cost
Produk Tabarru terhadap Indikator Keuangan Perusahaan Produk Tabarru terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Hasil Pay Back Pay Back
Skenario PM ROI IRR Scenario Overhead Cost PM ROI IRR
Investasi (Tahun) (year)
1 12,0% 4,10% 60,67% 26,69% 4,33 1 275,000,000.0 4.10% 60.67% 26.69% 4.33
2 13,0% 4,26% 63,14% 27.64% 4,23 2 302,500,000.0 3.66% 51.14% 24.05% 4.88
3 11,0% 3,95% 58,24% 25,73% 4,44 3 247,500,000.0 4.54% 73.25% 29.40% 3.82
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Tabel 7. Sensitivitas Perubahan Asumsi Mortality Load Produk Tabel 8. Se nsitivitas Pe rubahan Asumsi Hasil Inve stasi
Tabarru terhadap Indikator Keuangan Perusahaan Produk Tabungan terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Mortality Pay Back Hasil Pay Back
Scenario PM ROI IRR Skenario PM ROI IRR
Load (year) Investasi (Tahun)
1 100.0% 4.10% 60.67% 26.69% 4.33 1 12,0% 0,93% 54,53% 19,97% 4,68
2 110.0% 2.73% 43.98% 19.75% 5.26 2 13,0% 1,04% 61,44% 22,09% 4,30
3 90.0% 5.47% 79.87% 32.78% 3.60 3 11,0% 0,83% 48,10% 17,77% 5,12
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Sumber : Hasil pengolahan data penelitian, 2007
Tabel 9. Sensitivitas Perubahan Asumsi Overhead Cost Produk
Tabel 10. Sensitivitas Perubahan Asumsi Mortality Load Produk Tabungan
Tabungan terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
terhadap Indikator Keuangan Perusahaan
Overhead Pay Back Pay
Scenario PM ROI IRR Mortality
Cost (year) Scenario
Load
PM ROI IRR Back
(year)
1 275,000,000.0 0.93% 54.53% 19.97% 4.68
1 100.0% 0.93% 54.53% 19.97% 4.68
2 302,500,000.0 0.77% 42.47% 16.77% 5.47 2 110.0% 0.92% 54.11% 19.81% 4.71
3 247,500,000.0 1.09% 71.58% 23.15% 3.91 3 90.0% 0.94% 54.94% 20.13% 4.66

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

3,60%. Sedangkan payback period akan dicapai lebih 8.


lama 0,11 tahun. Peningkatan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsi
Sementara pada sensitivitas overhead cost (OHC) semula menjadi 13% akan menyebabkan peningkatan
10% akan menyebabkan perubahan terhadap indikator PM, ROI dan IRR masing-masing sebesar 11,46%,
profitabilitas sebagaimana terdapat dalam tabel 6. 12,67%, dan 10,63%. Sedangkan payback period akan
Peningkatan OHC sebesar 10%, dari asumsi semula dicapai lebih cepat 0,38 tahun.
menjadi Rp 302.500.000,00 akan menyebabkan penurunan Penurunan hasil investasi sebesar 1%, dari asumsi
PM, ROI, dan IRR masing-masing sebesar 10,69%, semula menjadi 11% akan menyebabkan penurunan PM,
15,71%, dan 9,88%. Sedangkan payback period akan ROI dan IRR masing-masing sebesar 11,33%, 11,79%,
dicapai lebih lama 0,55 tahun. Penurunan OHC sebesar dan 10,99%, sedangkan payback period akan dicapai
10%, dari asumsi semula menjadi Rp 247.500.000,00 akan lebih lama 0,44 tahun.
menyebabkan peningkatan PM, ROI dan IRR masing-
Sementara pada sensitivitas overhead cost, peningkatan
masing sebesar 10,71%, 20,73% dan 10,14%. Sedangkan
dan penurunan OHC sebesar 10% akan menyebabkan
payback period akan dicapai lebih cepat 0,51 tahun.
perubahan terhadap indikator profitabilitas (lihat tabel 9).
Untuk sensitivitas mortality load, peningkatan dan
Peningkatan overhead cost sebesar 10%, dari asumsi
penurunan sebesar 10% akan menyebabkan perubahan
semula menjadi Rp 302.500.000,00 akan menyebabkan
terhadap indikator profitabilitas sebagaimana terdapat
penurunan PM, ROI dan IRR masing-masing sebesar
dalam tabel 7.
17,25%, 22,11%, dan 16,03%. Sedangkan payback pe-
Peningkatan mortality load sebesar 10%, dari asumsi
semula akan menyebabkan penurunan PM, ROI, dan IRR riod akan dicapai lebih lama 0,79 tahun. Penurunan
masing-masing sebesar 33,42%, 27,51% dan 26,00%. overhead cost sebesar 10%, dari asumsi semula menjadi
Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,93 Rp 247.500.000,00 akan menyebabkan peningkatan PM
tahun. Penurunan mortality load sebesar 10%, dari dan ROI 15,94%. Sedangkan payback period akan
asumsi semula akan menyebabkan peningkatan PM, ROI, dicapai lebih cepat 0,77 tahun.
dan IRR masing-masing sebesar 33,42%, 31,65% dan Untuk sensitivitas mortality load, peningkatan dan
22,82%, sedangkan payback period akan dicapai lebih penurunan mortality load sebesar 10% akan menyebabkan
cepat 0,73 tahun. perubahan terhadap indikator profitabilitas (lihat tabel 10).
Kepekaan terhadap peubahan variabel tersebut yang Peningkatan mortality load sebesar 10%, dari asumsi
kedua adalah produk tabungan. Untuk sensitivitas hasil semula akan menyebabkan penurunan PM, ROI, dan
investasi, peningkatan dan penurunan hasil investasi IRR masing-masing sebesar 0,98%, 0,76%, dan 0,8%.
sebesar 1% akan menyebabkan perubahan terhadap Sedangkan payback period akan dicapai lebih lama 0,03
indikator profitabilitas sebagaimana terdapat dalam tabel tahun.
SOEDIBDJO & FITRIATI, PENETAPAN TARGET PREMI ASURANSI JIWA SYARIAH 67

Penurunan mortality load sebesar 10%, dari asumsi produk secara kombinasi yaitu produk Tabarru dan
semula akan menyebabkan peningkatan PM, ROI, dan atau tabungan agar tercapai target yang optimum. Serta,
IRR masing-masing sebesar 0,98%, 0,76%, dan 0,80%. diperlukan kajian analisa investasi yang lebih mendalam
Sedangkan payback period akan dicapai lebih cepat dan seleksi risiko yang ketat mengingat kedua faktor ini
0,02 tahun. memberikan kontribusi keuntungan yang signifikan bagi
perusahaan. Manajemen perlu menganalis biaya-biaya
KESIMPULAN yang lebih dalam mengingat perubahan-perubahan
indikator ekonomi secara makro yang berdampak pada
Dari penjabaran sebelumnya dapat disimpulkan target perusahaan yang diluar kemampuan perusahaan
beberapa hal. Pertama, pencapaian portofolio premi untuk mengendalikannya.
dalam mencapai titik impas sangat tergantung pada jenis
produk yang dipasarkan, biaya operasional, hasil DAFTAR PUSTAKA
investasi, dan tingkat resiko calon peserta asuransi.
Kedua, berdasarkan analisa profit testing dan Alma, Buchari. 2003. Dasar-dasar Etika Bisnis Islami. Cetakan
sensitivitas, produk asuransi jenis Tabarru ke 3. Bandung: CV Alfabeta
menghasilkan titik impas dan indikator profitabilitas lebih Anshori, H.Abdul Ghofur. 2007. Asuransi Syariah di Indonesia:
baik dari pada produk yang mempunyai unsur tabungan. Regulasi dan Operasionalisasinya di dalam Kerangka
Hukum Positif di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Namun demikian jumlah portofolio peserta produk Antonio, M. Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik.
Tabarru harus besar agar dapat menutup segala biaya. Jakarta: Gema Insani Press.
Ketiga, pencapaian target portofolio peserta dari produk Billah, Mohd. Masum. 1998. Islamic Insurance: Its Origins and
tabungan membutuhkan jumlah populasi yang lebih Development, Arab Law Quarterly, Vol. 13, No. 4 (1998).
____. 1999. Quantum of Damages in Takaful (Islamic Insur-
kecil mengingat premi untuk produk tabungan ini jauh
ance): A Reappraisal of the Possibility of Adopting the Doc-
lebih mahal dibandingkan dengan produk Tabarru. trines of Al-Diyah and Al-Daman Arab Law Quarterly, Vol.
Keempat, setiap unit pemasaran membutuhkan biaya 14, No. 4 (1999).
operasional per tahun antara Rp 247.500.000 hingga Rp Emms, I. Haberman, dan I.S. Savoulli, I. 2007. Optimal Strate-
302.500.000. Untuk produk Tabarru, unit pemasaran akan gies for Pricing General Insurance, Insurance: Mathematics
and Economics 40 (2007).
mencapai titik impas pada selang 3,60 tahun sampai 5,26 Hare, D.J.P. dan J.J. McCutcheon. 1996. Some Remarks on
tahun. Sementara produk Tabungan akan mencapai titik Profit-Testing, NMG. Singapore: TRAINING COURSE.
impas pada selang 3,91 tahun sampai 5,47 tahun. Kelima, Karim, Rifaat Ahmed Abdel. 2001. International Accounting
faktor mortalita untuk produk Tabarru memilki tingkat Harmonization, Banking Regulation, and Islamic Banks.
Accounting and Auditing Organization for Islamic Finan-
kepekaan yang kuat dibandingkan dengan faktor-faktor cial Institutions 36 (2001).
lainnya yaitu hasil investasi dan biaya, sedangkan untuk Majalah Proteksi. 2006. No. 189, Tahun XXVII (Oktober).
produk Tabungan faktor yang paling sensitif adalah Mungall, John, R, FFA, 1993. Profit Testing. Konferensi Aktuaris
perubahan hasil investasi. Keenam, tingkat Indonesia II, Cimacan, Jawa Barat.
pengembalian dan profit marjin produk Tabarru lebih Rice, Gillian. 1999. Islamic Ethics and the Implications for Busi-
ness, Journal of Business Ethics, Vol. 18, No. 4 (Februari).
baik dibandingkan dengan produk tabungan.
Roy, Delwin A. 1991. Islamic Banking, Middle Eastern Studies,
Sehingga sebelum melakukan aktivitas pemasaran, Vol. 27, No. 3 (Juli).
manajemen menetapkan sasaran yang akan dicapai Soeling, Pantius D. 2005. Mendorong Munculnya Gagasan-
berdasarkan protofolio premi, kepesertaan, dan Gagasan Inovatif bagi Eksistensi dan Daya Saing Bisnis. Jurnal
indikator-indikator profitabilitas yang telah dirumuskan. Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi. Vol.3,
Manajemen perlu melakukan kajian terhadap beberapa No. 1 (Januari).
Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah (Life and Gen-
asumsi dan indikator profitabilitas setiap tahunnya untuk eral): Konsep dan Sistem Operasional, Cetakan 1 Jakarta :
mengukur penyimpangan terhadap asumsi dan indikator Gema Insani Press
profitabilitas agar sesuai dengan sasaran perusahaan. Yusof, Mohd Fadzli. 1996. Takaful: Sistem Insuransi Islam, Kuala
Kantor pemasaran perlu melakukan pemasaran Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 68-73 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Consumers Perception Under the Construct of Nationalism,


Worldmindedness, Made In Label, and Brands
GUIDO BENNY SUNARDI1*

1
Bussiness Administration, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia

Abstract. The implementation of economic integration under the ASEAN Community is accelerated to 2015. Many
observers argued that Indonesian businesses were not ready to compete. Then, a study was conducted to examine how
Jakarta consumers perceived the competitiveness of domestic shoes products, a leading Indonesian export products,
against similar products made in some ASEAN and other developed and newly industrialized countries. The study
employed six dimensions of Country Image for shoes products in revealing consumers perception of made in labels and
consumers perception of brands. The study also adopted the constructs of consumers nationalism and worldmindedness.
To increase the validity of the study, the respondents were carefully selected with judgemental quota sampling, using
gender, area and cohort variables. The research revealed some interesting results that would be important for business
people and government as regulator.

Keywords: consumers, nationalism, worldmindedness, brand origin, country of origin

INTRODUCTION attention to the brands origin. Studies of country of


origin (COO) effects in the discipline of international
The implementation of South East Asian Countries marketing observed the country image as the multi
Economic Integration, named The ASEAN Community dimensional constructs that influence perceived quality
was accelerated to 2015. To compete in the global (Han, 1989).
economy, the domestic business should prepare for the Stereotyping the products based on COO is universal
tighter competition. Goods and services are designed, but the level in which it applied and occurred to the
made, and marketed all over the world through a dynamic evaluation of the products varied. The consumers
production chain order and they have been able to go sensitivity to COO image varied from one country to
beyond country boundaries as well as across enterprises other country (Papadopoulus et al, 1990). It also varied
(Sangkala, 2005). by the level of consumers knowledge (Schaefer, 1997).
According to some experts in marketing sciences, Other study found the tendency that consumer may
building brand is one of the key to win consumer choice give positive attitude in evaluating their domestic
(Kotler, 2003). From the consumers perspective, a brand products (Kaynak and Cavusgil, 1983).
offers guarantee for consistent performance and give The tendency of consumer to prefer domestic
the signal of higher benefits than the unbranded products was mentioned in some study as consumer
products. For the consumers, brand is also perceived as nationalism (Rawwas, Rajendran, and Wuehrer, 1996).
the contract with the provider of the products that the Nationalist consumer regards that buying imported
products bearing the brand name are guaranteed to products as a wrong manner because it is unpatriotic,
del i ver qual i t y, com for t s, st a t us, a n d ot h er can ruin domestic economy, and lead to the loss of
considerations which are important for consumers domestic working opportunity.
purchase. Observing the nationalist consumer, Shimp and
The leading expert of economics for competitiveness, Sharma (1987) found that consumers with high
Michael Porter (1994) had revealed brand as one of the nationalism tended to pay attention to the positive
factors that form the competitive advantage (Rosinta, aspects of domestic products and tend to ignore the
2007). Brand can be a key to differentiate the offer of a positive aspects of the imported ones.
However, not every consumer is nationalist. In many
company from its competitors. Brand is also able to
countries, consumers face so many alternatives of
protect the company from fierce price war in the oligopoly
products to choose (Netemeyer et al, 1991). Furthermore,
competitive market. A strong brand can become a barrier
with the increasing level of immigration, foreign children
of entry for competitors who are willing to entry to a
adoption, international marriage, and continuous
business. Finally, brands make it possible for a company
transformation in the world because of the high adoption
to attract and maintain loyal and profitable customers.
of information and communication technology, a new
In global competition context, consumers give higher
culture was created in many countries (Weiner, 1994).
This hybrid culture gave birth to the appreciation of the
* Correspondence: +6285 6923 69807; guido.benny09@ui.ac.id shared world and public welfare. The citizen of those
SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION 69

Table 1. Description of Respondents Identity n = 288 Respondents


Valid
Variable Category / Groups Number of Respondents
percentage
Male 141 49%
Gender
Female 147 51%
15 to 19 years old 73 25.35%
Cohort /
20 to 34 years old 72 25.00%
age
35 to 49 years old 70 24.31%
50 years old or more 73 25.35%
Jakarta North, Central, West, South, East, Each 32 respondents Each 11.11%
Districts
Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok
Source: data by author
countries then showed empathy and understanding to of gender, four cohort groups and nine district areas.
other countries society. In the international business The majority of respondents education were senior high
context, this phenomenon is called consumer school or above.
worldmindedness by Sampson and Smith (1957).
This study used the constructs of consumer RESULTAND DISCUSSION
nationalism and consumer worldmindedness revealed
by Rawwas, Rajendran, and Wuehrer (1996). The study A. Consumer Nationalism and Worldmindedness
also used the study of Mohamad, et al (2000) that In the study, consumer nationalism was measured
examined the perception of the consumer on Malaysian by fourteen indicators. The indicators can be simplified
and imported clothing products. Inspired by those into three dimensions: attitude toward domestic
studies, the writer then carried a study in Indonesia. products, toward imported products, and perceived
Shoes, as product from Indonesia with high value of impact of import products to the national economy. Table
export, was choosen as the object of study. The research 2 shows the consumer nationalism attitude.
also studied the construct of brand origin that measure The majority of respondents agreed with the
the consumer perception to the products marketed with statements of attitude toward domestic products:
the brands of several countries. Then, the purposes of Indonesian citizen should always buy Indonesian
this paper were (1) to reveal the nationalism and products, purchasing Indonesian product will always
worldmindedness attitudes of Indonesian consumers; be the best option, and products made in Indonesia
(2) to describe the perceived quality of shoes products should be the first choice. However, they were not agree
made in several ASEAN and developed countries; (3) nor disagree if they wanted to stop buying imported
to describe the perceived quality of shoes products products and wanted to shift to buy products made in
marketed under the brand name from several ASEAN Indonesia. This result revealed that, the nationality of
and developed countries. Indonesian consumers was still high. However, they
were hesitant to shift to the Indonesian products
RESEARCH METHOD because they were not convinced enough that
Indonesian products would satisfy their needs and
To collect primary data, field survey was conducted desires.
to 288 consumers in the greater Jakarta area on Under the attitude toward imported products
November 2-14, 2007. The area consisted of nine dimension, majority of respondents agreed that: trade
districts; those are five districts of Jakarta (Central, or purchase of goods from other countries should be
North, South, East and West) and four neighboring pressed to the minimum level; prohibition to all imported
districts (Bogor, Tangerang, Bekasi, and Depok). products should be imposed on, except they were badly
The study used judgmental quota sampling needed; they should only purchase the imported
technique with gender, area, and cohort as the criteria products that were not produced in the country; and
variables. Each respondent is interviewed using a only the goods that were not available in our country
structured questionnaire. Each indicator in the consumer can be imported. However, most respondents shows
nationalism and consumer worldmindedness constructs their hesitant that they choose not to buy imported
was measured using 5-likert scale. The quality products that are subsidized by their government. This
perceptions constructs were measured using 5 points proved that, although respondents regarded themselves
secondary scale descriptors. The answers then were as nationalist, the pragmatism still their main attitude; if
analyzed using descriptive data analyses and paired t- the imported products were to made available with lower
test to test the difference of quality perception of price, they would choose the products.
products and brands. Under the third dimension of nationalism, the
Details of respondents identity are shown in Table perceived impact of imported products to the national
1. Respondents were chosen balanced based on quota economy, majority of respondents agreed to all the
70 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 68-73

Table 2. The Consumer Nationalism Attitude


Very disagree Not agree Agree and Very
Dimensions of Consumer Nationalism Average Value Modus
and Disagree nor disagree agree
1. Dimension 1: Attitude toward Domestic Products
We should always buy Indonesian products 16.32% 30.21% 53.47% 3.52 Agree
I am willing to stop buying imported products and shift to buy the
18.06% 37.50% 44.44% 3.33 Not agree nor disagree
products made in Indonesia.
Purchasing Indonesian product will always be the best option. 21.88% 33.33% 44.79% 3.33 Agree
The products made in Indonesia should be the first choice. 5.56% 27.78% 66.67% 3.82 Agree
2. Dimension 2: Attitude toward Imported Products
Trade or purchase of goods from other countries should be pressed
10.42% 18.06% 71.53% 3.77 Agree
to the minimum level, except if the goods are badly needed.
Prohibition to all imported products should be imposed on, except
21.88% 22.22% 55.90% 3.42 Agree
the products are badly needed.
We should only purchase the imported products that we do not
18.75% 23.96% 57.29% 3.45 Agree
produce in our country.
Only the goods that were not available in our country can be
19.10% 14.93% 65.97% 3.58 Agree
imported.
I choose not to buy imported products that are subsidized by their
13.89% 44.79% 41.32% 3.33 Not agree nor disagree
government.
3. Dimension 3: Perceived Impact Of Imported Products To The National Economy
We should not buy imported products because it is harmful for
25.69% 24.0% 50.35% 3.37 Agree
Indonesian business and employment.
Imported goods will affect negatively to our economy. 25.35% 28.47% 46.18% 3.28 Agree
Government should protect domestic industries by creating trade
21.53% 29.51% 48.96% 3.30 Agree
barriers.
Imported goods that threaten local industry should be banned 13.54% 23.61% 62.85% 3.66 Agree
We should only accept imported goods from countries that accept
22.22% 25.69% 52.08% 3.35 Agree
our exports.
Note: The numbers in the table show the number of respondents that give specific statements. N = 288
Source: data by author
Table 3. Consumer Worldmindedness Attitude
Very disagree Not agree nor Agree and Average
Dimensions of Consumer Worldmindedness Modus
and Disagree disagree Very agree Value
I find imported goods more desirable than domestically produced
40.28% 28.47% 31.25% 2.88 Disagree
products.
My quality of life would improve if more imported goods were
52.78% 27.08% 20.14% 2.58 Disagree
available.
Where a good is produced does not affect my decision to purchase that 16.67% 16.32% 67.01% 3.56 Agree
item.
Note: The numbers in the table show the number of respondents that give specific statements. (N = 288)
Source: data by author

statements. They admitted if imported goods will impact decision of respondents was not influenced highly by
adversely to our economy; that government should the place of production of a product or brand. If
protect domestic industries by creating trade barriers and products are available with acceptable quality and
imported goods that threaten local industry should be reasonable price, the products will get enough
banned; if they should not buy imported products opportunity to obtain consumer preference.
because it was harmful for Indonesian business and
employment; and they should only accept imported B. Consumer Perception on the Quality of Product
goods from countries that accepted exports from Under Made in Label
Indonesia. Under this dimension, the nationality of The perceived quality of products under made in label
respondents was high. was measured using questionnaire that ask respondents
Indonesian consumers attitude under the to rate the quality of shoes from eight countries/regions,
worldmindedness construct is exhibited in table 3. Majority as shown in Table 4. In general, consumer perceived
of respondent showed their disagreement if they found that the shoes with highest quality of eight countries/
imported goods more desirable than domestically produced regions are the shoes made in Europe. Together with
products. Even, majority of respondents disagree if quality shoes made in USA and Japan, the quality is perceived
of life would improve when more imported goods available. to be good. Then, the shoes from five other countries
However, when the third question is asked, that where a are perceived to be in so-so quality.
good is produced does not affect their decision to purchase How about the quality of shoes under each dimension
the item, most respondents agreed. of quality? The result are shown below (1) Product
This results were consistent with previos the result innovation and comfort of use: European shoes were
under nationalism construct. It implied that the purchase perceived to be the highest, followed by the USAs, and
SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION 71

Table 4. The Consumer Perception on Quality of Shoes Made in Indonesia Compared with Shoes Made in Seven Other Countries
Product
Product Design Product Prestige Workmanship Comfort to use Quality Ave rage
Innovation
t-test t-test
Rank Country/Region t-test value t-test t-test
value t-test val ue value
M ean and Mean and M ean value and Mean and signifi- M ean value and M ean and
signifi- si gnifi- signifi-
signifi- cance signifi-
cance cance cance
cance cance
-9.23 -9.41 -13.01 -10.68 -7.75 -12.00
1 Europe 3.99 3.97 4.09 4.02 4.0 4.01
(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)
-7.24 -7.60 -11.44 -9.82 -7.10 -10.18
2 USA 3.88 3.92 4.0 3.99 3.98 3.95
(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)
-5.66 -5.65 -8.30 -6.17 -3.97 -7.45
3 Japan 3.72 3.7 3.7 3.68 3.73 3.71
(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)
-0.24 -0.63 -3.29 -1.00 1.56 -0.85
4 Singapore. 3.4 3.43 3.39 3.41 3.44 3.41
(0.81) (0.70) (0.00) (0.32) (0.12) (0.39)
1.03 -0.38 -1.81 -0.64 2.03 -0.03
5 Hongkong 3.32 3.42 3.31 3.39 3.42 3.37
(0.30) (0.53) (0.07) (0.52) (0.04) (0.98)
6 Indonesia 3.38 - 3.4 - 3.21 - 3.34 - 3.52 - 3.37 -
4.88 3.28 2.51 2.89 4.85 4.77
7 China 3.11 3.23 3.09 3.2 3.27 3.18
(0.00) (0.00) (0.01) (0.00) (0.00) (0.00)
5.18 4.59 4.59 3.79 6.82 5.61
8 M alaysia 3.08 3.14 3.06 3.14 3.15 3.11
(0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00) (0.00)
Note: t-test value and significance was obtained from paired t-test procedure with the perceived quality of Indonesian product as the comparing variable.
Numbers in parenthesis were the value of significances 2 tailed test with df = 287; N = 288.
Source: data by author

Japans; while the Indonesian stood in the 4th rank; (2) in more developed countries (USA, Europe, and Japan)
product design, product prestige and workmanship: were perceived higher in quality than the less developed
European shoes were perceived to be the highest, countries. The result was also consistent with the
followed by the USAs, and Japans; while the Indonesian previous research (Tan and Farley, 1987; Hulland,
stood in the 6th rank. Todino, and Lecraw, 1996).
From paired t-test statistics, in general the shoes made What interesting is that there was tendency that
in Indonesia was perceived significantly lower than Indonesian consumers perceived Indonesian products
shoes made in Europe (t = -12.00; sig = 0.00), USA (t = - quality as higher than several neighboring countries
10.18; sig = 0.00), Japan (t = -7.45; sig = 0.00). Shoes product, which was the developing countries. The same
made in Indonesia was perceived not significantly result shown in Mohamad et al. study (2000) in
different in shoes from Singapore (t = -0.85; sig = 0.39) Malaysia, than Malaysian consumer tend to see the
and Hongkong (t = -0.03; sig = 0.98). However, shoes product of Malaysia higher than the other South East
made in Indonesia were perceived better in quality than Asian countries products. Both of the study support
Chinas (t = 4.77; sig = 0.00) and Malaysias (t = -5.61; sig the result of Kaynak and Cavusgils research (1983) that
= 0.00). there is a tendency that consumers may be more positive
Furthermore, the competitiveness of shoes made in in evaluating the products from their own country.
Indonesia in each dimension of quality was as follow (1) More interestingly, Indonesian consumers put
In product innovation dimension, product design Malaysian products as the lowest. Some incidents with
dimension and workmanship dimension, shoes made in this neighboring country, (Rasa Sayange Song, Batik,
Europe, USA and Japan was perceived significantly Indonesian workers, etc) might hurt Indonesian feelings
higher than Indonesian. The shoes from Indonesia was and then provoke Indonesian consumers nationality.
perceived insignificantly different with Singapores and
Hongkongs. However, Indonesian shoes was perceived C. Brand Origin: Consumer Perception on the Quality
significantly higher than Chinese and Malaysian. (2) of Product Under National Brand
Shoes made in Europe, USA and Japan was perceived as How is Indonesian consumers perception on the
significantly higher in product prestige than Indonesian quality of products under national brands and foreign
was. Shoes made in Indonesia was perceived in the same brands? Table 5 shows the result under brand origin
prestige level with Hongkongs. However, Indonesian construct; that is the perception on the quality of shoes
shoes was perceived significantly higher than Chinese under Indonesian brands compared with other
and Malaysian. (3) Finally, in comfort to use dimension, countries brands. In general, consumer perceived the
shoes made in Europe, USA, and Japan was perceived shoes brands quality from Europe, USA and Japan was
higher than Indonesias. Indonesian shoes product was the high. While, shoes under the brands from 5 other
perceived insignificantly different from Hongkongs. countries rated middle in quality. Brand origins
While, Indonesian made shoes was perceived as perceived quality under each dimension were as follows
significantly better than Singaporean, Chinese, and (1) for product innovation, product prestige, and
Malaysian. workmanship, the brands from Europe were perceived
The finding of this study then confirmed the similar to be the highest, followed by the USA, and Japan;
study in Malaysia (Mohamad et al, 2000). Products made while Indonesian stood in the sixth rank; (2) for product
72 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 68-73

Table 5. The Consumer Perception on the Quality of Shoes with Indonesian Brands Compared with Shoes with the Brands from Other Countries

Product Innovation Product Design Product Prestige Workmanship Comfort to use Quality Average
Rank Country/ Region t-test value t-test value t-test value t-test value t-test value t-test value
Mean and signifi- Mean and signifi- Mean and signifi- Mean and signifi- Mean and signifi- Mean and signifi-
cance cance cance cance cance cance
-11.32 -9.23 -15.61 -12.35 -8.60 -14.25
1 Europe 4.04 (0.00) 4.04 (0.00) 4.15 (0.00) 4.15 (0.00) 4.06 (0.00) 4.09 (0.00)
-9.95 -11.10 -5.86 -10.33 -7.98 -12.59
2 USA 3.99 (0.00) 4.08 (0.00) 4.04 (0.00) 4.05 (0.00) 4.03 (0.00) 4.04 (0.00)
-7.23 -6.72 -10.16 -8.53 -5.44 -9.77
3 Japan 3.76 (0.00) 3.76 (0.00) 3.72 (0.00) 3.83 (0.00) 3.80 (0.00) 3.77 (0.00)
-2.37 -1.13 -5.86 -1.08 0.18 -2.99
4 Singapore. 3.43 (0.02) 3.43 (0.26) 3.47 (0.00) 3.44 (0.28) 3.46 (0.86) 3.45 (0.00)
-0.93 -0.38 -3.89 -1.26 0.69 -1.47
5 Hongkong 3.37 (0.35) 3.40 (0.70) 3.34 (0.00) 3.39 (0.21) 3.44 (0.49) 3.39 (0.14)
6 Indonesia 3.31 - 3.38 - 3.11 - 3.31 - 3.47 - 3.32 -
2.87 2.49 1.72 4.16 0.88 3.08
7 China 3.15 (0.00) 3.25 (0.01) 3.03 (0.09) 3.09 (0.00) 3.20 (0.38) 3.14 (0.00)
4.09 3.04 1.46 2.43 0.80 4.33
8 Malaysia 3.08 (0.00) 3.08 (0.00) 3.04 (0.00) 3.18 (0.00) 3.22 (0.00) 3.12 (0.00)
Note: t-test value and significance was obtained from paired t-test procedure with the perceived quality of Indonesian product as the comparing variable.
Numbers in parenthesis were the value of significances 2 tailed test with df = 287; while number of samples were 288.
Source: data by author

design, USAs brands were perceived to be the highest, significantly better than Chinese and Malaysian.
followed by the European brands, and Japans; while Comparing the result of quality perception of shoes
Indonesian stood in the sixth rank; (3) for comfort to made in Indonesia and shoes that was marketed under
use, brands from Europe were perceived to be the Indonesian brands, there were some interesting
highest, followed by the USA, and Japan; while phenomena. In the dimension of product innovation,
Indonesian stood in the fourth rank. Indonesian brands were perceived lower in position
From paired t-test statistics, in general the Indonesia compared to when they were marketed using the made
shoes brands was perceived significantly lower than in Indonesia label, but marketed using the more
shoes made in Europe (t = -14.25; sig = 0.00), USA (t = - developed countries brands. In other dimensions,
12.59; sig = 0.00), Japan (t = -9.77; sig = 0.00) and consistently Indonesian brands obtained lower rating
Singapore (t = -2.99; sig = 0.00). Indonesian brands were than when they were using the made in Indonesia label
perceived not significantly different from the brands from but also were marketed under the more developed
Hongkong (t = -1.47; sig = 0.00). However, shoes made countries brands. From this phenomena, we can see
in Indonesia were perceived better in quality than Chinas that Indonesian consumer had not yet had enough trust
(t = 3.08; sig = 0.00) and Malaysias (t = -4.33; sig = 0.00). to domestic brands that they can maintain good quality
Furthermore, the position of competitiveness of of their products. This was an important note for
Indonesian brands in each dimension of quality was as domestic business to strive for trust from Indonesian
follows (1) in product innovation, the brands of shoes consumers.
from Europe, USA, Japan, and Singapore was perceived
significantly higher than Indonesian. The brands from CONCLUSION
Indonesia was perceived insignificantly different with
the Hongkongs. However, Indonesian brands was In this globalized world, tighter competition could be
perceived significantly higher than Chinese and the nightmare for the companies who do not well
Malaysian (2) in product design and workmanship, prepared. Some experts have shown their worries that
shoes with brands from Europe, USA, and Japan was the Indonesia people was just be the market in the more
perceived significantly higher than Indonesian. The integrated ASEAN economy.
brands from Indonesia was perceived insignificantly From consumer nationalism perspective, the
different with Singapores and Hongkongs. However, Indonesian consumer showed that their nationalistic
Indonesian brands was perceived significantly higher attitude was still high. They still showed positive attitude
than Chinese and Malaysian (3) shoes with brands from to domestic products, compared to imported products.
Europe, USA, Japan, Singapore, and Hongkong was Generally, they perceived that imported products might
perceived as significantly higher in product prestige than harm the national economy.
the Indonesian. However, Indonesian brands was However, pragmatism were shown by the majority of
perceived significantly higher than Chinese and consumer. If imported products were cheaper, they
Malaysian (4) finally, in comfort to use, brands from tended to choose them. Moreover, they showed hesitant
Europe, USA, and Japan was perceived higher than to stop buying imported goods and to shift to
Indonesian. Indonesian brands was perceived Indonesian products. This prove that Indonesian
insignificantly different from Singaporean and consumers were not ready to change if there was no
Hongkong. While, Indonesian brands was perceived as change in Indonesian products those were perceived
SUNARDI, CONSUMERS PERCEPTION 73

as lower in quality or more expensive than some imported Research (ICBMR), Bali-Indonesia, 27 29th August 2008.
products. The author expressed his gratitude to the Committee
The study also found that Indonesian consumers of A3 Program of the Department of Administrative
were heavily influenced by the country of origin of a Sciences FISIP UI, the Center of Research and
product. In this case, the products made in or marketed Development on Domestic Trade The Ministry of
under brands from more developed countries were Trade; and all the research assistants who made this
perceived better than the products made in or marketed research possible.
under the brands from developing countries.
The study also proved that there was a tendency that REFERENCES
Indonesian consumers were more positive in evaluating
the products made in and marketed under Indonesian Han, C.M. 1989. Country Image: Halo or Summary Con-
brands, comparing to other developing countries struct?. Journal of Marketing Research, Vol.26 (May).
____. 1988. The Effects of Cue Familiarity on Cue Utilization:
products. The Case of Country of Origin. Paper presented to the
Furthermore, the study showed that Indonesian Conference of the Academy of International Business, San
consumers give higher rating to the products with foreign Diego, CA.
brands although their products were made in Indonesia. Kotler, Philip, and Kevin Lane Keller. 2006. Marketing
Management12th Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Their ratings were higher than the products with
Mohamad, Osman, et al. 2000. Does Made In Matter to
Indonesian brands, although both the products were Consumers? A Malaysian Study of Country of Origin Effect.
made in Indonesia. Multinational Business Review, Vol. 8, No.2 (Fall); ABI/IN-
The study implies that country of origin can be a FORM Global.
powerful tool that can be used in position the product. Netemeyer, R.G., Durvasula, S. and Lichtenstein, D.R.. 1991. A
Cross-National Assessment of the Reliability and Validity of
From the result of study, it is apparent that Indonesian the CETSCALE. Journal of Marketing Research, Vol. 28
consumers prefer foreign brand-names than domestic (August).
brand-names. One of brand-naming strategy was giving Papadopoulos, N., and Heslop, L.A. 1990. A Comparative Im-
a foreign-image name to domestic made products. For age Analysis of Domestic versus Imported Products. Inter-
national Journal of Research in Marketing, Vol. 7 (Decem-
examples, the Eagle and Spotec brands in shoes ber).
products; Lea jeans, Henry Adams, and The Executive Porter, M.E. 1994. Keunggulan Bersaing. Jakarta: Bina Rupa
for apparel products; Polytron, Digitec, B/Y/O/N, A-Note Aksara,.
and Zyrex for electronic, etc. As the result, the products Rawwas, M..Y.A., K.N. Rajendran, and G.A. Wuehrer. 1996.
The Influence of Worldmindedness and Nationalism on Con-
marketed under those brand names were impressed as sumer Evaluation of Domestic and Foreign Products. Inter-
high in quality, although the brands are originally national Marketing Review, Vol.13 No.2.
domestic. Ries, Al and Laura Ries. 22 Immutable Law of Branding. 2000.
Finally, for the government as regulator, it is Rosinta, Febrina. 2007. Pengaruh Citra Merk terhadap Loyalitas
Pelanggan Museum Nasional. Jurnal Ilmu Administrasi dan
recommended that they should be aware to the Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No.1 (Januari).
competitiveness of Indonesian products and brands in Samiee, S. 1994. Customer Evaluation of Products in a Global
the global competition. While the time limits of ASEAN Market. Journal of International Business Studies, Third
Community is approaching, government should prepare Quarter.
Sampson, D.L., and H.P. Smith. 1957. A Scale to Measure
Indonesian business and consumers. Campaign for
Worldminded Attitudes. The Journal of Social Psychology,
loving Indonesian products and brands can be promoted Vol.45.
to increase the nationalism attitude of Indonesian Sangkala. 2005. Intellectual Capital Management Pattern in the
consumers. Advertisement Companies in Jakarta. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.13,
ACKNOWLEDGEMENT No.3 (September).
Shimp, T.A. and S. Sharma. 1987. Consumer Ethnocentrism:
Construction and Validation of the CETSCALE. Journal of
This paper have been presented and reviewed by Marketing Research, Vol.24, (August).
colleagues in the 14th Euro-Asia Conference/the 3rd Weiner, E. 1994. The Last Approaching Future. Arthur Andersen,
International Conference on Business and Management Retailing Issues Letter, Vol.6.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 74-81 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Scenario Indonesia Tahun 2025


dan Tantangan yang Dihadapi oleh Administrasi Publik
Roy V. Salomo1*

1
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Abstract. The research aimed to construct the scenario of sub-national government administration in Indonesia and its
available alternatives. The approach used was qualitative approach with the method of focus group discussion (FGD)
and in-depth interview with economic and social politicians and bureaucrats. In addition secondary data were used to
support the result. Two scenarios of the environment of Indonesian sub-national administration for 2025 are gained
from two FGDs: the Utopian Scenario and Tumble into the Gutter Scenario. According to the first FGD, the utopian
scenario is less likely to happen within the next 20 years, while the tumble-into-the-gutter scenario is considered more
likely, especially if the recent condition is long-drawn-out, the homework is never done, and there is lack of awareness
from national and local political elites on the recent crisis.

Keywords: scenario planning, public policy, public administration, governance, civil society

PENDAHULUAN berpikir yang dipacu oleh perubahan nilai-nilai tentang


tata cara penyelenggaraan pemerintahan. Gejala ini dapat
Lahirnya sejumlah undang-undang yang mengatur dikategorikan sebagai perubahan paradigma atau yang
tentang Pemerintahan Daerah seperti UU Nomor 22 oleh Khum disebut sebagai model for thinking (Clarke
Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004, serta undang- dan Stewart Clegg, 1998).
undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat Selain adanya tuntutan yang datang dari masyarakat,
dan Daerah seperti UU Nomor 25 Tahun 1999 dan UU tidak dapat disangkal pula banyak harapan diletakkan
Nomor 33 Tahun 2004 telah membawa banyak perubahan pada reformasi sistem pemerintahan daerah yang sedang
dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan, dan terjadi. Masyarakat (di daerah) berharap pelayanan
harapan dari banyak warga masyarakat akan adanya publik akan menjadi baik dalam arti kuantitas dan kualitas,
perubahan nasib mereka. Perubahan sistem termasuk akses kepadanya (PSKK UGM, 2001). Besar
penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut antara pula harapan agar KKN dapat diberantas, setidak-
lain dapat dilihat dari semakin besarnya kewenangan tidaknya dikurangi. Berbagai harapan di atas sangat
yang ada pada pemerintah daerah, kabupaten dan kota, wajar mengingat desentralisasi dimengerti dan
membesarnya peran DPRD dalam pengawasan (Maksum, dipercayai sebagai cara untuk mencapai berbagai
2006), pembuatan anggaran daerah dan pembuatan harapan di atas (Rondinelli dkk., 1983).
peraturan daerah. Harapan akan adanya perubahan nasib Nyatanya setelah kurang lebih satu dasawarsa
masyarakat daerah sangat berkaitan dengan usaha-usaha reformasi pemerintahan daerah (macro administrative
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan reform) dijalankan, selain muncul banyak perubahan
lebih cepat dan lebih baik melalui pelayanan publik dan yang bersifat positif, banyak pula terjadi perubahan yang
akses terhadap pelayanan publik. bersifat negatif yang sangat mengecewakan rakyat.
Proses desentralisasi yang drastis, yang muncul dari Pelayanan publik tidak menjadi lebih baik (Suwandi, dkk.,
dan bersama-sama proses reformasi politik telah 2004), partisipasi tidak banyak berubah, bahkan KKN
menuntut banyak hal. Salah satu yang dituntut oleh semakin merajalela di daerah. Kemiskinan,
masyarakat dalam proses perubahan ini adalah pengangguran, busung lapar, dan banyak masalah sosial
akuntabilitas dan transparansi serta partisipasi lain semakin parah keadaannya.
masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Sejumlah literatur dan penelitian memperlihatkan
(Abidin, 2004; Gardono, 2001). Tuntutan di atas terjadinya kegagalan dalam melakukan reformasi
merupakan gejala yang memperlihatkan bahwa pemerintahan daerah, terutama yang berkaitan dengan
perubahan yang sedang terjadi bukanlah sekedar substansi desentralisasi. Breton mengemukakan
perubahan struktur, atau cara ataupun gaya dalam sejumlah literatur yang secara eksplisit ataupun implisit
menjalankan pemerintahan lokal. Namun lebih dari itu, memperlihatkan bahwa kompetisi antar daerah berakibat
terjadi perubahan model atau pola, perubahan kerangka terjadinya inefisiensi, yang berarti tidak terjadi maxi-
mum social welfare. Daerah meningkatkan biaya
informasi, biaya partisipasi politik, biaya kordinasi, di-
*Korespondensi: +6221 7884 9078; roy.v09@ui.ac.id minishing supply cost, dan dynamic instability (Breton,
SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 75

2002). Jenie dkk. mendapatkan bahwa desentralisasi dengan ketidakpastian masa depan. Oleh karena itu,
bukan merupakan hal yang baik dan juga bukan hal yang dalam membangun scenario seringkali terdapat scenario
buruk bagi efisiensi, keadilan, dan stabilitas ekonomi. alternatif.
Pengaruh desentralisasi tergantung pada desain Selanjutnya Becker mengatakan preparing scenarios
kelembagaan yang spesifik (Litvack, 1998). Sementara as a future history requires that a possible evolution of
Tanzi berpendapat bahwa desentralisasi meningkatkan events and trends be described as an integral part of
korupsi, menimbulkan konflik dalam koordinasi kebijakan the scenario. Hasil penelitian berisi evolusi berbagai
ekonomi makro, kesulitan dalam transparansi fiskal serta kejadian dengan memasukkan sejumlah kecenderungan
meningkatkan kesenjangan antar wilayah (Tanzi, 2001). dan disajikan sebagai sebuah cerita sejarah masa
Azfar dkk. (2001) juga mengatakan bahwa desentralisasi depan dan merupakan bagian integral dari scenario
tidak selalu mendorong allocative efficiency, mengurangi planning itu sendiri.
korupsi, dan memfasilitasi cost recovery. Tambahan pula Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka
dikatakan bahwa hanya bentuk tertentu dari yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk
desentralisasi atau hanya dengan kelembaggaan tertentu mendeskripsikan scenario (optimis, status quo, dan
yang membawa desentralisasi berhasil. pesimis) lingkungan administrasi pemerintah lokal
Bagi Indonesia, berbagai pendapat di atas sangat sampai dengan tahun 2025dan tantangannya bagi
relevan. Ini berarti bahwa desentralisasi dan otonomi administrasi lokal.
daerah merupakan hal yang penting namun tidak cukup
untuk melakukan perubahan kemakmuran dan METODE PENELITIAN
kesejahteraan masyarakat daerah. Terdapat banyak hal
yang harus dibenahi pada birokrasi pemerintah daerah. Penelitian dilakukan dalam rangka membangun
Oleh karena itu, mau tidak mau reformasi administrasi skenario terhadap ketiga change drivers, yaitu aspek
harus dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan sosial, politik, dan ekonomi. Penelitian dilakukan melalui
yang dihadapi birokrasi daerah. Untuk itulah perlu dibuat teknik focused group discussion (FGD) sebanyak dua
grand strategy reformasi administrasi pemerintah lokal. kali, dengan pakar ilmu sosial (sosiolog), pakar ilmu
Upaya membangun grand strategy reformasi politik, dan pakar ilmu ekonomi dari Universitas Indone-
administrasi pemerintah lokal dihadapkan pada kondisi sia. FGD pakar merupakan metode yang banyak dipakai
ketidakpastian lingkungan yang tinggi dan berkaitan dalam membangun experts scenarios (Ringland, 1998),
dengan sejumlah strategyc issue, maka perlu dilakukan atau experts panels (Lindgren dan Bandhold). Selain itu
upaya memetakan beberapa kemungkinan masa depan, dilakukan pula sejumlah wawancara mendalam dengan
yang dikenal dengan skenario, yang terkait dengan sejumlah pakar politik, sosiolog dan ekonom dari Uni-
perkembangan administrasi pemerintah lokal. Kerangka versitas Hassanudin yang dianggap mewakili centre of
analisis yang dianggap paling relevan untuk menghadapi excellence di kawasan timur Indonesia. Teknik lain yang
keadaan di atas adalah scenario planning (Schoemaker, juga digunakan adalah penelitian dengan menelusuri data
1991; Maami dan Cavana, 2000). skunder berdasarkan hasil dari pihak lain, seperti HDI,
Scenario planning merupakan suatu kerangka analisis indeks korupsi, data demografi, data kecenderungan
yang dipakai untuk membangun strategi organisasi pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan sejumlah data
dengan menggali berbagai kemungkinan kondisi yang lainnya.
dapat terjadi di masa yang akan datang dengan rentang
waktu dua puluh tahun. Scenario planning bukanlah HASIL DAN PEMBAHASAN
usaha memproyeksikan masa kini ke masa depan melalui
ekstrapolasi. Maani dan Cavana (2008) mengatakan a A. Gambaran Daya Dorong Perubahan (Driving
scenario is not a forcast or an intention to describe a Forces)
certain future state, but it is intended to provide a pos- Skenario lingkungan administrasi pemerintah lokal
sible set of future conditions. pada awalnya dibahas dalam tiga faktor daya dorong
Porter dalam bukunya Competitive Advantage perubahan (driving forces), yaitu faktor sosial, faktor
mendefinisikan skenario sebagai an internally con- politik, dan faktor ekonomi. Faktor sosial politik mencakup
sistent view of what the future might turn out to be- sejumlah keadaan yaitu keadaan kohesi sosial,
not a forecast, but one possible future outcome. 2 keberadaan civil society, dan kondisi demokrasi. Dalam
Ringland sendiri mendefinisikan scenario planning faktor ekonomi keadaan yang dievaluasi adalah keadaan
sebagai that part of strategic planning which relates demografi, angkatan kerja dan pengangguran,
to the tools and technologies for managing the uncer- kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan peran pasar
tainties of the future. Mengacu pada sejumlah pada tingkat lokal. Berikut ini adalah gambaran kondisi
pengertian tentang scenario planning di atas, dapat sosial politik dan trennya.
disimpulkan bahwa scenario planning merupakan usaha Gambaran kondisi sosial politik dan tren yang pertama
untuk menggambarkan kemungkinan yang dapat terjadi adalah kohesi sosial. Focused group discussion (FGD)
pada masa depan tanpa melakukan ekstrapolasi keadaan menyimpulkan bahwa masyarakat pada umumnya telah
masa kini ke depan. Scenario planning juga dikaitkan kehilangan kesabaran terhadap masa transisi atau
76 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81

perubahan yang tidak kunjung membawa hasil yang 2006).


diharapkan. Rasa frustasi yang mendalam muncul karena Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang
di satu sisi Indonesia berada dalam keadaan yang kedua adalah keberadaan civil society. Sejak proses
dianggap lebih demokrasi. Namun di sisi lain, kehidupan reformasi politik bergulir, Indonesia memasuki babak
masyarakat semakin sulit. baru. Babak baru tersebut antara lain ditandai oleh
Masa transisi telah membawa masyarakat Indonesia proses demokratisasi yang sangat signifikan jika
berubah menjadi masyarakat yang tidak peduli akan dibandingkan kondisi sebelumnya. Pemilu tahun 1999
kepentingan orang lain atau pihak lain asalkan tujuan yang berlangsung umum bebas dan rahasia disebut-
tercapainya. Ketidakpedulian antara lain berkaitan sebut sebagai salah satu indikator kuat proses
dengan pengguna lalu lintas; pedagang yang memakai demokratisasi yang berhasil di Indonesia. Pers bebas
formalin dan pewarna untuk mengawetkan dan juga menjadi indikator kuat lainnya yang juga dapat
meningkatkan daya tarik makanan; pedagang kaki lima diberi acungan jempol. Indikator lainnya yang juga
yang memacetkan jalan; anak sekolah atau bahkan disebut-sebut sebagai salah satu indikator proses
mahasiswa yang tawuran di tempat umum dan demokratisasi adalah meningkatnya jumlah lembaga
membahayakan bagi orang lain; kelompok yang sedang swadaya masyarakat (LSM) atau dikenal pula dengan
pro ataupun kontra terhadap suatu rancangan kebijakan non-governmental organization (NGO).
atau kebijakan tertentu yang ada; birokrat dan etika
Dari ketiga indikator di atas, indikator ketiga adalah
kerjanya; wakil rakyat di DPR/DPRD yang lebih
indikator yang masih diragukan reliabilitasnya. Jika
mementingkan partainya dan dirinya; pemilihan umum
dilihat dari jumlah LSM yang secara resmi telah terdaftar,
pusat maupun daerah yang masih penuh kecurangan;
sebagai LSM nasional maupun LSM lokal, dapat dilihat
pilkada yang diwarnai dengan money politics,
jumlah kenaikan yang sangat signifikan. Namun, jika
kemarahan dan pembakaran; penegakan hukum yang
dilihat dari kemurnian pendiriannya maka jumlah yang
selalu melibatkan suap dalam prosesnya, dan seterusnya.
banyak tersebut patut di waspadai atau dicurigai.
Masing-masing bertindak untuk kepentingan dirinya,
Menayan2 mengatakan dari seluruh LSM yang ada di
kelompoknya tanpa menaruh perhatian akan akibatnya
Indonesia sekarang mungkin kurang dari separuh yang
bagi kepentingan orang lain atau pihak lain, bahkan bagi
murni berdiri sebagai LSM untuk memperjuangkan
kepentingan sistem secara menyeluruh, serta
kepentingan publik dan sisanya kontraktor pencari kerja.
kepentingan bangsa dan negara.
Kondisi LSM di Indonesia memang masih
Kondisi seperti ini, antara lain, dapat dikatakan
memprihatinkan, salah satu contoh buruk adalah kasus
sebagai salah satu gejala social disobedience dan masih
yang terjadi di Sulawesi Selatan. Di daerah ini LSM-
terus menjadi kecenderungan yang kuat dan belum ada
LSM di Makasar, bahkan di Sulawesi Selatan sempat
usaha signifikan pada tingkat kebijakan untuk
berembuk untuk mengganti nama panggilan menjadi
mengatasinya. Para pakar mengatakan kondisi seperti
ORNOP (Organisasi Non Pemerintah). Alasan
ini dikarenakan kohesi sosial berada pada derajat yang
penggantian dari LSM ke ORNOP adalah karena
sangat rendah. Suatu keadaan yang sangat jauh dan
masyarakat Sulawesi Selatan tidak percaya lagi dengan
bertentangan dalam konteks proses terbentuknya civil
LSM yang ada disana. hal ini disebabkan LSM di
society di Indonesia, yaitu masyarakat yang kritis dan
Sulawesi Selatan mempunyai reputasi atau citra yang
rasional dalam public discourse. Public discourse yang
sangat buruk3. Menurut Dwi lebih lanjut, Kredit Usaha
berlaku bagi wacana (ucapan) maupun tindakan atau
Tani (KUT) di Sulawesi Selatan yang disalurkan kepada
perbuatan (Chandoke; Nordholt, 2003).
masyarakat paling banyak diselewengkan oleh LSM. Hal
Dalam menggambarkan keadaan di atas, Pilliang (2006)
senada juga diutarakan oleh Haris yang mengatakan di
mengatakan, Ruang kehidupan bangsa kini dibangun
oleh ruang, kotak, dan pagar-pagar ekslusivisme, yang Sulawesi Selatan LSM adalah singkatan dari Lao Sala
di dalamnya setiap kelompok (sosial, politik, ekonomi, Maneng (semuanya dibawa pergi dan tidak ada yang
cultural, dan keagamaan) merayakan ruang-ruang beres/salah semua).4 Singkatan di atas dibuat sebagai
eksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa aman suatu sinisme terhadap LSM. Dalam kenyataan tentu
dan nyaman secara ekstensial, namun dengan cara ada LSM yang baik dan ada LSM yang dapat dilihat
menutup diri dari bahkan meniadakan pihak-pihak lain. dengan pesimisme.5
Ini secara paradoks menciptakan sebuah ruang Pernyataan di atas sangat mungkin terjadi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun keadaan demokrasi Indonesia belum terwujud dan
oleh prinsip fundamentalisme-the politics of fundamen- tingkat pengguran sangat tinggi (kurang lebih 30% dari
talism.. Pilliang berpendapat bahwa munculnya prinsip angkatan kerja). Pernyataan di atas juga sekaligus ingin
fundamentalisme di atas dikarenakan negara telah gagal
menciptakan ruang dialog di atas bangsa ini sehingga 2
Hasil wawancara dengan Rio Menayang, Direktur IPKOS
3
pintu komunikasi antar kelompok tertutup rapat. Hasil wawancara dengan Dr. Dwia Aries Tina P., MA, Pemerhati LSM
di Sulawesi Selatan. Yang bersangkutan juga merupakan dosen FISIP-
Akibatnya adalah amarah menjadi model psikologis UNHAS, pada tanggal Kamis 8 Desember 2005.
dalam penyelesaian setiap masalah dan kekerasan 4
Hasil wawancara dengan Dr. Andi Haris, Sosiolog dan pengamat
menjadi strategi politik dalam mencapai tujuan (Piliang, mayarakat dari FISIP-UNHAS
SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 77

mengatakan bahwa jumlah LSM, nasional maupun lokal, ini antara lain dapat dilihat dari nilai tukar rupiah terhadap
tidak dapat dijadikan patokan atau indikator tingkat dolar Amerika yang pada mulanya berada pada kisaran
kemajuan atau peran civil society. FGD juga sepakat dua ribuan rupiah per dolar Amerika terdepresiasi sampai
bahwa pada saat ini di Indonesia belum terbentuk civil nilai kurang lebih lima belas ribuan per dolar Amerika.
society. Kondisi Indonesia masih jauh dari keberadaan Pada tahun-tahun pertama terjadinya krisis, pertumbuhan
dan peran civil society, baik di tingkat nasional maupun ekonomi bahkan mengalami nilai negatif. Dunia perbankan
lokal. hancur dan harus diselamatkan dengan mengucurkan
Nordholt mengutip pernyataan Romo Mangunwijaya dana ratusan triliun untuk menyelematkannya. Berbagai
yang berpendapat bahwa tahun 2045 sebagai patokan perusahaan di berbagai bidang, terutama bidang properti
waktu (Nordholt, 2003). Pendapat para pakar dalam FGD- collapse.
pun sepakat bahwa pembentukan civil society di Indo- Yang menarik adalah ternyata pertumbuhan ekonomi
nesia akan memakan waktu yang sangat lama, paling Indonesia belum dapat membantu mengurangi tingkat
tidak lebih dari dua puluh tahun. pengangguran di Indonesia. Situasi seperti ini
Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang diperkirakan karena pertumbuhan yang terjadi
ketiga adalah demokrasi dan partai politik (lokal). Euforia merupakan hasil dari berkembangnya sektor keuangan,
demokrasi yang muncul dari reformasi politik pada tahun bukan sektor riil yang selama ini justru merupakan sektor
1998 antara lain telah memunculkan sistem multi partai yang menampung tenaga kerja paling banyak. Tingkat
di Indonesia. Litbang Kompas mengidentifikasi kemiskinan yang masih tinggi pada tahun 2006 di Indo-
bertambahnya jumlah partai politik dari 3 partai sebelum nesia juga merupakan fenomena yang memperburuk
reformasi menjadi 181 partai hanya dalam kurun waktu kondisi ekonomi Indonesia.
kurang dari setahun. Namun, hanya 48 partai politik Selain masalah sumber daya alam dari minyak, sumber
yang lolos seleksi dan ikut dalam pemilu 1999. daya hutan yang selama ini menjadi tumpuan penghasil
Pada kenyataan kondisi demokrasi di Indonesia pada devisa juga semakin mengkhawatirkan. Jika tidak ada
saat ini belum masuk pada demokrasi substansial, masih perubahan terhadap kebijakan penebangan hutan, maka
pada indikator formal seperti perkembangan jumlah Indonesia akan kehilangan 15 juta sampai 32,5 juta hektar
partai politik dan pelaksanaan pemilu. Wakil-wakil rakyat hutan lagi pada tahun 2020.6 Bukan hanya sekedar kayu
yang terpilih dalam pemilu pada kenyataanya lebih timber yang semakin sulit, tetapi kehilangan hutan
memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri, partainya, sebesar itu akan membawa bencana mata pencaharian
atau kelompoknya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat di bagi banyak orang yang selama ini hidupnya sangat
daerah belum mengarah pada kepentingan publik dan tergantung dari hasil hutan. Tambahan pula masalah
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi lingkungan hidup menjadi semakin serius.
masyarakat banyak. Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang
Indikator demokrasi yang telah mendapat pujian kelima adalah demografi Indonesia tahun 2000 dan 2025.
hanya pelaksanaan pemilu secara nasional dan Focus Group Discussion (FGD) pertama dipicu dengan
kebebasan pers. Pemilu nasional yang banyak dipuji- data tentang demografi Indonesia tahun 2000 dan tahun
puji adalah pemilu 1999 dan 2004. Namun, kebebasan 2025 yang bersumber pada US Census Bureau. Data
pers pada saat ini ada kecenderungan akan diperlakukan demografi tersebut disajikan pada gambar 1 untuk tahun
kembali seperti masa pemerintahan Orde Baru, pers di 2000 dan gambar 2 untuk tahun 2025.
bawah kontrol Pemerintah (Departemen Penerangan). Yang menjadi perhatian anggota FGD adalah
Pada saat ini apa yang terjadi Indonesia pada kelompok penduduk dari usia 024 tahun pada gambar
demokrasi di Indonesia adalah demokrasi oligarki. 1. Kelompok usia ini pada tahun 2000 adalah mereka
Konfigurasi politik Indonesia sekarang ini adalah yang sedang mengalami proses pertumbuhan fisik dan
konfigurasi politik oligarkis, yakni suatu konfigurasi otak dilihat dari aspek kesehatan dan pertumbuhan
politik yang didominasi kelompok elit yang mengerjakan pengetahuan dan keterampilan dilihat dari aspek
politik melalui transaksi-transaksi yang saling pendidikan. Kelompok yang sangat membutuhkan
memberikan keuntungan di antara para elit sendiri pelayanan kesehatan adalah usia pada kelompok 019
(Mahfud MD, 2006). Hal ini terjadi pula pada demokrasi tahun, yaitu mereka yang sedang membutuhkan
di tingkat lokal. Dimana elit lokallah (terutama anggota perkembangan fisik yang baik. Kelompok ini merupakan
DPRD dan Kepala Daerah) yang paling banyak jumlah terbanyak. Kelompok yang sangat membutuhkan
melakukan korupsi di daerah. pendidikan pada tahun 2000 adalah mereka yang berusia
Gambaran kondisi sosial politik dan trennya yang 5 sampai 24 tahun.
keempat adalah kondisi ekonomi. Indonesia merupakan Penduduk pada kelompok usia 024 tahun mendapat
negara di Asia yang pada saat dilanda krisis ekonomi perhatian khusus karena mereka pada tahun 2025
pada tahun 1997 mengalami pukulan paling parah. Hal
6
Merupakan analisis skenario Indonesia tahun 2025 yang dibuat oleh
5
Hasil wawancara dengan Dr. Andi Haris, Sosiolog dan pengamat Charles Victor Barber dengan judul The Case Study of Indonesia, dari
mayarakat dari FISIP-UNHAS World Resources Institute
78 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81

Gambar 1. Struktur Penduduk Indonesia Berdasarkan Usia Tahun 2000


Sumber: U.S. Cencus Bereau, International Data Base, 2000

Gambar 2. Struktur Penduduk Indonesia Berdasarkan Usia Tahun 2025


Sumber: U.S. Cencus Bereau, International Data Base, 2000

merupakan angkatan kerja produktif di Indonesia. Mereka frustasi dan mempunyai potensi konflik yang tinggi.
pada saat itu berusia 2549 tahun (lihat gambar 2) dan Masih dalam konteks kelompok usia, pada tahun 2025,
mereka merupakan kelompok dengan jumlah yang cukup Indonesia akan menghadapi masalah baru yang belum
banyak. Dengan nilai HDI kesehatan dan pendidikan pernah ada sebelumnya. Masalah tersebut adalah
yang relatif rendah, diperkirakan mereka adalah angkatan membesarnya jumlah penduduk usia tua yaitu kelompok
kerja yang tidak potensial. Penyebabnya kelompok ini usia 65 tahun ke atas. Kelompok usia ini diperkirakan
merupakan generasi yang tumbuh dengan gizi dan tingkat sudah tidak produktif lagi dan lonjakan jumlahnya cukup
kesehatan yang buruk serta dididik dalam sistem besar. Pada saat itu berbagai kebijakan bagi warga negara
pendidikan yang sekarang merupakan salah satu yang senior sudah merupakan kebijakan yang perlu mendapat
terburuk di ASEAN. Diperkirakan kelompok ini akan perhatian khusus terutama dalam konteks pelayanan.
menjadi angkatan kerja yang tidak mampu bersaing Hal ini berarti akan terjadi fiscal preasure bagi
dengan tenaga kerja lainnya di kawasan ASEAN. Padahal pemerintah subnasional untuk mengurus kelompok
pada tahun 2025 diperkirakan intensitas globalisasi sudah lansia ini.
semakin tinggi dan batas-batas di antara negara-negara Kesimpulan yang dibuat pada FGD pertama adalah
ASEAN semakin terbuka. Pada saat itu diperkirakan bahwa pada tahun 2025 Indonesia akan menghadapi
tenaga kerja Indonesia akan menjadi pekerja menengah potensi konflik yang cukup serius. Potensi konflik
ke bawah, sedangkan pekerja menengah ke atas (tingkat t ersebut di kar en a ka n di sa t u pi h ak ba nya k
manajer) akan diisi oleh tenaga kerja negara-negara kecenderungan yang mengarah ke pesimisme. Di pihak
tetangga. Pada saat yang sama daya saing Indonesia di lain, ada banyak ketidakpastian yang dihadapi dalam
kawasan AsiaPasifik juga akan rendah. Kondisi seperti perkembangan masa transisi reformasi sosial politik dan
ini akan membuat bangsa Indonesia menjadi sangat ekonomi.
SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 79

Kesimpulan kedua yang dibuat oleh FGD, walaupun lagi menjalankan fungsi dan perannya dengan kualitas
tidak sepenuhnya disetujui oleh seluruh peserta FGD, tinggi melalui administrasi publik yang ada. Kondisi
bahwa walaupun terjadi banyak kecenderungan yang administrasi publik pemerintah subnasional tersebut
bersifat negatif dan banyak ketidakpastian, namun In- pada saat ini sudah terbukti tidak mampu menjawab
donesia akan dapat keluar dari masalah ini pada tahun tantangan yang ada sekarang apalagi untuk mengejar
2025. Alasannya adalah sejarah memperlihatkan Indone- tantangan Indonesia tahun 2025. Oleh karena itu,
sia selalu dapat bangkit dari keterpurukannya. Senantiasa administrasi publik pemerintah subnasional harus segera
ada orang-orang brilian, cream of the cream7, yang dapat direformasi.
membawa pembaharuan dan membawa Indonesia keluar Hal yang harus segera di reformasi administrasi publik
dari masalah. Sejumlah best practices di daerah-daerah yang pertama adalah peran pemerintahan subnasional.
juga menjadi acuan optimisme yang berhati-hati ini. Kondisi change drivers pada Skenario Utopia
memungkinkan state berkolaborasi dengan unsur-unsur
B. Skenario Indonesia 2025 yang ada dalam lingkungannya. Unsur-unsur tersebut
Skenario pertama, pertumbuhan dan pemerataan adalah civil society yang semakin mapan, politisi yang
ekonomi baik (sedang sampai tinggi dan pada sektor riil), memberikan dukungan penuh terhadap reformasi
demokrasi dan civil society berkembang dengan baik. administrasi, serta pasar yang semakin kuat yang
Skenario ini merupakan the best case scenario baik driv- dihasilkan dari kompetisi yang semakin sehat dan
ing forces maupun kecenderungan yang terjadi good corporate governance yang semakin kuat. Ini
mendukung. Namun tampaknya untuk kondisi Indone- berarti bahwa reformasi administrasi publik pemerintah
sia sekarang, skenario pertama merupakan Skenario Uto- subnasional menjelang berakhirnya jangka waktu 20
pia sehingga merupakan Scenario yang ditolak oleh para tahun ke depan akan menghasilkan posisi state
pakar, terutama pada FGD pertama. Para pakar berdampingan dengan peran civil society dan pasar.
berpendapat bahwa kondisi kedua aspek dengan berbagai Jika Skenario Utopia terjadi di kota-kota besar seperti
indikatornya sekarang ini menunjukkan trend yang tidak Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Makassar,
menggembirakan. Oleh karena itu, skenario pertama posisi civil society dan pasar dapat semakin kuat
dianggap mempunyai kemungkinan yang sangat kecil sehingga dapat menjadi partner state yang signifikan.
untuk terjadi dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Namun, posisi state sebagai partner civil society dan
Walaupun skenario ini ditolak pada FGD pertama, akan pasar tidak berarti state menjadi lemah (weak state). Kuat
tetapi skenario ini justru diterima di FGD kedua dengan lemahnya posisi state merupakan pilihan politik dari
catatan bahwa optimisme dibangun secara hati-hati. regim yang berkuasa. Hal ini akan dibahas lebih detail
Optimisme secara berhati-hati melihat adanya best prac- kemudian.
tice yang terjadi di Indonesia dengan berbagai Keadaan akan berbeda jika skenario yang akan
kelemahannya. Optimisme berhati-hati juga dengan muncul adalah Skenario Masuk Kubangan. Pada
sejumlah catatan, yaitu jika muncul aktor terakhir lebih skenario ini infrastruktur sosial-politik dan ekonomi
sulit dicapai karena melibatkan jumlah aktor yang sangat dalam kondisi buruk, maka posisi state akan dominan.
banyak. Civil society belum dapat diandalkan sebagai kelompok
Skenario kedua, pertumbuhan ekonomi lamban penekan, elit politik masih mengalami disorientasi, dan
demikian pula halnya dengan demokrasi dan pasar belum didukung oleh karakteristik kompetisi dan
perkembangan civil society. Ini merupakan skenario good corporate governance. Pemain ekonomi (inves-
terburuk yang mungkin terjadi, namun dibangun tor) yang adapun dalam jumlah yang terbatas. Oleh
berdasarkan kecenderungan berbagai fakta yang ada. karena itu, reformasi administrasi akan didorong oleh
Pada FGD pertama skenario inilah yang dianggap paling kekuatan birokrasi (bureaucracy-driven). Sedangkan
besar kemunginannya terjadi. Skenario ini terutama terjadi politisi, civil society, dan pasar akan mempengaruhi
jika kondisi yang ada sekarang dibiarkan berlarut-larut, reformasi administrasi secara terbatas.
banyak pekerjaan rumah tidak dibuat, kesadaran elit Sejumlah hal secara spesifik dapat dituntut dari
politik nasional, terutama lokal akan krisis tidak ada. pemerintah pusat dan pemerintah subnasional (provinsi,
Skenario ini akan berakhir dengan konflik berkepanjangan kabupaten dan kota) sejak saat ini sampai tahun 2025
yang sulit diredakan. Skenario ini dapat pula dinamakan untuk dilakukan. Pertama, pemerintah harus mampu
sebagai Skenario Masuk Kubangan. membuat berbagai kebijakan yang tepat untuk mengatasi
masalah ekonomi, masalah pembangunan demokrasi dan
C. Peran, Desain, dan Kinerja Pemerintah yang pembangunan civil society. Pemerintah dituntut untuk
Dituntut sampai Tahun 2025 segera membuat kebijakan dalam rangka merespons krisis
Pada saat ini pemerintah subnasional (provinsi, minyak dunia dan nasional, krisis pangan, serta krisis
kabupaten ,dan kota) dapat dikatakan sudah tidak dapat lingkungan hidup. Pemerintah juga dituntut untuk dapat
7
memberantas KKN, dan menciptakan good governance
Istilah yang dilontarkan oleh Prof.Dr. Maswadi Rauf dalam
FGD kedua untuk menggambarkan orang-orang pilihan dari yaitu good and clean government, good corporate
antara banyak orang Indonesia. governance dan vibrant civil society. Lebih dari itu,
80 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 74-81

pemerintah dituntut untuk meningkatkan kemampuan bersifat interventionist melakukan empowering rather
dan daya saing masyarakat dan pemerintah subnasional than denigrating the bureaucracy. Tujuannya adalah
itu sendiri di tingkat regional dan internasional. Pada untuk menghasilkan suatu struktur atau sistem yang
akhirnya pemerintah dituntut untuk dapat diperbaharui, yang dapat memperbaiki kapasitas state
menyejahterakan masyarakatnya paling tidak pada atau birokrasi pemerintah agar dapat memimpin
tingkat yang signifikan, yaitu sejajar dengan rata-rata pembangunan bangsa dan usaha-usaha pembangunan
kesejahteraan negara-negara tetangga di ASEAN. ekonomi. Dengan demikian state-led atau dominated
Kedua, untuk dapat mendorong laju pertumbuhan economic development di negara-negara Asia tidak
ekonomi yang cukup tinggi dalam jangka panjang (20 konsisten dengan ideologi the private-led sebagai
tahun), maka pemerintah dituntut untuk memperbaiki dasar dari reformasi institusi neo liberalisme. Bahkan
pembangunan sektor pendidikan, pembangunan sektor negara seperti Malaysia yang mengadopsi reformasi
kesehatan dan pembangunan infrastruktur secepatnya. administrasi dengan orientasi New Public Management
Untuk itu dibutuhkan program-program pembangunan tetap menolak resep-resep ekonomi neo liberalisme.
yang kondusif, kinerja yang tinggi, dan alokasi anggaran Hal yang harus direformasi di administrasi publik
yang memadai agar pemerintah mampu menyejahterakan pemerintah subnasional yang ketiga adalah desain.
masyarakat. Ketiga, untuk dapat mewujudkan hal-hal di Dalam rangka merespons berbagai tuntutan lingkungan
atas pemerintah harus mempunyai kemampuan (a) di atas desain administrasi publik yang didasarkan pada
membuat kebijakan yang berkualitas dan mendesain aspek-aspek the Seven Ss harus ditetapkan.
program yang baik yang berkaitan dengan change Berdasarkan potret administrasi publik saat ini dan
drivers dan masalahnya, dan dengan menomorsatukan berdasarkan berbagai tuntutan di atas, maka berikut ini
kepentingan bangsa; (b) melaksanakan kebijakan dan akan ditetapkan desain administrasi publik yang harus
program-programnya dengan kinerja yang tinggi dan dibangun mulai dari sekarang sampai tahun 2025.
bertanggungjawab. Keempat, pemerintah dituntut untuk Adapun desain tersebut adalah sebagai berikut.
menjadi profesional dalam menjalankan kewajibannya Pertama, struktur yang ada harus ramping, efisien,
dan dapat memberikan pelayanan yang prima kepada dan mendorong profesionalisme sumber daya manusia
masyarakat dalam rangka mengentaskan kemiskinan dan dalam birokrasi. Kedua, sistem penganggaran yang ada
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelima, harus menjamin terjadinya efisiensi, alokasi pada
pemerintah dituntut mempersiapkan dirinya sendiri dan kepentingan publik dan menekan KKN secara signifikan.
masyarakat untuk dapat bersaing di tingkat regional dan Ketiga, sistem pengelolaan dan Kualitas SDM harus
global pada saat praktik globalisasi semakin intensif dan memungkinkan munculnya SDM profesional dan
meluas dijalankan. Keenam, pemerintah dituntut untuk
diterapkannya sistem merit. Keempat, setiap pemerintah
tetap menjaga integrasi bangsa dan Negara Kesatuan
subnasional harus mempunyai strategi yang baik dan
Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945, dengan menghindari sejauh mungkin digunakan dalam proses pembangunan (eksternal
konflik dan perpecahan. lingkungan mapun internal organisasi). Kelima, yang
Berbagai tuntutan di atas memperlihatkan terfokusnya dibutuhkan dalam desain administrasi publik masa
penekanan pada state-led development dan enhancing depan adalah budaya organisasi yang kondusif bagi
state capacity. Menurut Chung hal ini sebenarnya tidak terciptanya kinerja yang tinggi, good and clean gov-
aneh bagi negara-negara Asia dalam melakukan reformasi ernment yaitu profesionalisme, dan berorientasi pada
administrasinya karena secara tradisional state di negara- pelayanan publik. Keenam, desain administrasi publik
negara Asia bersifat interventionist. Jepang, Singapura, lokal yang baik harus pula ditunjang oleh desain
Cina, Vietnam, India, Korea Selatan, Taiwan, Malaysia, hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Thailand, dan Indonesia adalah contoh dari sejumlah Subnasional yang baik. Baik dalam arti desain sistemnya
negara Asia dimana state berperan secara dominan dalam maupun dalam arti komitmen untuk mendorong
proses pembangunan bangsa. Chung memperlihatkan pelaksanaan program-program otonomi daerah. Ketujuh,
bahwa Singapura yang telah melakukan empat tahapan hubungan pemerintah dan masyarakat harus dibangun
reformasi administrasi sejak merdeka pada tahun 1965, menuju partnership dan empowerment. Paradigma
secara terus menerus reformasi administrasinya dalam melihat masyarakat adalah masyarakat sebagai
bertujuan untuk memperkuat sektor publiknya. Secara citizen dan stakeholders, bukan sebagai konsumen (cus-
rinci Chung mengatakan Singapore has gone through tomers) saja. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah
four stages of public service reforms since independence tidak dapat hanya terfokus kepada politisi melalui
in 1965 from survival (1960s) and efficiency lembaga perwakilan saja, namun juga kepada masyarakat.
(1970s) to people (1980s) and change (1990s). All Karena itu prinsip partisipasi, akuntabilitas, responsive-
of these reform processes aimed to strengthen and ness serta transparansi merupakan prinsip yang dipakai
enhance the efficiency and leadership capacity of the dalam merekayasa hubungan pemerintah dan
civil service bureaucracy. masyarakat selain the three Es. Dengan demikian ukuran
Oleh karena itu, Chung berpendapat sebaiknya keberhasilan pemerintah (kinerja) tidak dapat hanya
negara-negara yang secara tradisi mempunyai state yang diukur melalui indikator output dan outcome, tetapi juga
SALOMO, SCENARIO INDONESIA 2025 81

proses menjadi sangat penting. Kedelapan, kualitas ministrative Reform. London: Allen Lane The Penguin Press.
Chandoke, Neera. 1995. State and Society, Exploration in Politi-
kebijakan dalam bentuk peraturan perundangan harus cal Theory. New Delhi: Sage Production India Pvt Ltd.
baik. Saat ini banyak terjadi tabrakan dalam berbagai Cheema, G Shabir and Dennis A. Rondinelli. 1983. Decentraliza-
peraturan perundangan yang ada. Pada tingkat lokal tion and Development: Policy Implementation in Developing
hal ini diperlihatkan dengan buruknya kualitas Perda. Countries. Beverly Hills: Sage Publication.
Clarke, Thomas, and Stewart Clegg. 1998. Changing Paradigm:
Demikian pula rule of law harus menjadi prinsip yang The Transformation of Management Knowledge for the 21 th
diimplementasikan dengan komitmen tinggi. Hal ini Century. London: Haper Collins Business.
diperlukan untuk menghilangkan sektor informal dalam Gardono, Iwan. 2001. Masyarakat Aktif, Transparansi dan Korupsi.
birokrasi dan menjamin kepastian hukum bagi Makalah yang dibawakan dalam Seminar Nasional Menciptakan
Transparansi Penyeleggaraan Pemerintahan Daerah:
masyarakat dan pelaku bisnis/investor. Rule of law juga Memberdayakan Momentum Reformasi, Kerjasama FISIP-UI
sangat dipentingkan untuk memberantas KKN. dan The Foundation, Jakarta: (Juni).
Hal yang harus direformasi di administrasi publik Ghez R. Gilbert dan Becker Gary S, 1975. The Alocation of Time
pemerintah subnasional yang ketiga adalah kinerja. and Goods Over the Life Cycle. New York: Collumbia Univer-
sity Press.
Kinerja yang harus dicapai sebagai respon dari tuntutan Hoessein, Bhenyamin,. Hubungan Penyelenggaraan Pemerintahan
lingkungan administrasi publik adalah kinerja yang Pusat Dengan Pemerintahan Daerah. Jurnal Ilmu Administrasi
sangat tinggi. Kinerja yang dimaksud disini adalah dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume I Nomor 1, (Juli).
efisiensi, effektivitas, dan ekonomisnya administrasi Lindgren, Mats dan Hans Bandhold, Scenario Planning: The Link
Between future and Strategy,.New York: PALGRAVE
publik dalam menjalankan fungsinya sebagai birokrasi MACMILLAN.
pemerintahan, maupun dalam konteks pembuatan Litvack, Jenie, Junaidi Ahmad dan Richard Bird. 1998. Rethinking
kebijakan dan penyediaan pelayanan publik. Kinerja Decentralization in Developing Countries, Washington, D.C.:
yang optimum dibutuhkan bagi tercapainya target The World Bank.
Maami, Kambiz E. dan Robert Y. Cavana. 2000. System Thinking
pembangunan dengan akselerasi yang tinggi untuk and Modeling: Understanding Change and Complexity .
mengejar ketertinggalan. Auckland: Pearson Education NZ Limited.
Oleh karena itu, untuk menjawab semua tantangan Made, Suwandi, I, et.al. 2004. Menggagas Format Otonomi daerah
agar Skenario Masuk Kubangan tidak terjadi dan Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama.
Mahfud MD, Moh., Hukum dalam Politik Oligarkis, KOMPAS,
skenario Utopia-lah yang terjadi, Pemerintah Pusat dan Jumat, 5 Mei 2006.
Pemerintah Lokal dituntut untuk melakukan reformasi Maksum, Irfan Ridwan. 2006. Pengawasan Internal Daerah Otonom
administrasi publik dalam rangka menjawab semua oleh DPRD. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis
& Birokrasi. Volume XIV, Nomor 4 (Desember).
tantangan di atas.
Mats Lindgren dan Hans Bandhold. Scenario Planning: The Link
Between future and Strategy . New York: PALGRAVE
KESIMPULAN MACMILLAN.
Newman, W. Lawrence. 2003. Social Research Methods: Qualita-
tive Approach. Boston: Pearson Education, Inc. Edisi kelima.
Scenario Indonesia tahun 2025 didominasi oleh Oentarto SM, Suwandi, dan Dosi Riyadmadji. 2004. Menggagas
skenario yang cenderung pesimis dan dinamakan Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Me-
Skenario Masuk Kubangan. Kondisi ekonomi dan dia Utama.
Pilliang, Y.A., Demokrasi Fundamentalis, KOMPAS, 29 April
sosial-politik yang memprihatinkan dapat membawa In- 2006.
donesia terpuruk lebih jauh. Alternative scenario Prasojo, Eko, KOMPAS, 6 November 2004.
lainnya adalah Skenario Utopia yang dibangun Ringland, Gill. 2006. Scenario Planning. West Sussex: John Willey
berdasarkan pendapat optimisme yang dilontarkan oleh & Sons Ltd.
Schoemaker Paul J.H.1991. When and How to Use Scenario Plan-
beberapa pakar. Terdapat sejumlah tantangan untuk ning: A Heuristic Approach With Illustration. Journal of
perubahan yang dihadapi oleh administrasi publik di Forescasting, Vol. 10, No.6 (November).
Indonesia sehingga perlu untuk dilakukan administra- Schoemaker, Pamela and Stephen D. Reese. 1991. Mediating the
tive reform baik di tingkat pusat maupun lokal. Message Theories of Influence on Mass Media Content. USA:
Longman.
Schulte Nordholt, Nico. 2003. Pelembagaan Civil Society dalam
DAFTAR PUSTAKA Proses Desentralisasi di Indonesia, dalam Henk Schulte
Nordholtdan Gusti Asnan, ed, Indonesia in Transsition.
Azfar, Omar, dkk,. 2001. Decentralization, Governance, and Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Public Services the Impact of Institutional Arrangement: A Tanzi, ed,, 2002. Managing Fiscal Decentralization. London:
review of the Literature. Working Paper. Maryland; USA: Routlege.
IRIS Center, University of Maryland, College Park. Zainal Abidin, Said. 2004. Akuntabilitas dan Transparansi
Breton, Albert. 1969. An Introduction To Decentralization Fail- Pemerintahan. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis
ure, dalam Ehtisham Ahmad dan Gerald Vito Caiden. Ad- & Birokrasi Vol.12, No.I (Januari).
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 82-86 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Paradigma Governance dalam Penerapan Manajemen


Kebijakan Sektor Publik pada Pengelolaan Sungai

SAMUN JAJA RAHARJA1*

1
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Abstract. The aim of this research is to analyze the public sector policy management in the management of Citarum
river by using governance paradigm. The research used qualititive approach by using triangular sources techniques
consisting of: the state, civil society, and private sector. The result shows that the management of drainage basin becomes
a public matter involving the three main governance actors. However, the involvement of these three actors entails
three implications: (1) the addition of core competence principle to the distribution of authority among actors, apart
from ultra vires and general competence principles; (2) the addition of accessibility and effectiveness criteria in the
affair distribution among the actors, apart from externality, efficiency, and accountability criteria; and (3) the revision
of Government Regulation Number 38 year 2007 particularly on the affair distribution that involves non-state elements
(civil society and private sectors) according to governance paradigm. More over there has been a need to revise the
regulations related to the management of drainage basin.

Keywords: governance, public policy, civil society, drainage basin

PENDAHULUAN atas nama hak yang dimilikinya, terjadi eksploitasi


sesuai dengan tujuan masing-masing yang spesifik.
Air merupakan sumberdaya alam yang makin Keadaan ini berpotensi memunculkan kompetisi dan
langka dan kritis akibat berbagai tekanan kehidupan. Di konflik, baik yang bersifat horisontal maupun vertikal.
dunia diperkirakan ada 1,4 km3 air, 97,3% merupakan Konflik yang dimaksud antara lain konflik kuantitas
air laut dan 2,7% merupakan air di permukaan bumi. berkaitan dengan kelangkaan, konflik kualitas karena
Dari 2,7% air di permukaan bumi, 77,3% merupakan pencemaran dan kerusakan lingkungan, konflik
salju dan geyser; 22,4% air tanah dan resapan (itupun organisasional, karena pengelolaan yang fragmentaris
yang dapat dijangkau hanya 0,79%); air rawa dan danau dan sektoral atau kewilayahan administratif, konflik
0,0035%; uap air 0,004%; dan air sungai 0,00001%. nilai berkaitan dengan pandangan penguasaan dan
Dari beberapa sumber air di atas, sumber air yang pemanfaatan sumber air sebagai barang publik atau
dapat dijangkau oleh masyarakat dan Perusahaan privat dan komoditas ekonomi global. Ironisnya dan
Daerah Air Minum (PDAM) adalah air tanah yaitu dari sekaligus juga paradoks, yaitu manakala terjadi hal-hal
sumur dangkal dan artesis sebesar 0,79%; air sungai; negatif pada aliran sungai, seperti pencemaran, banjir,
dan sumber mata air yang belum dikuasai oleh sektor dan kekeringan, masing-masing pihak cenderung
swasta atau produsen Air Minum Dalam Kemasan saling menyalahkan. Melihat banyaknya organisasi
(AMDK). Namun kondisi sungai yang merupakan yang terlibat atau memanfaatkan Sungai Citarum
penyedia sumber daya air, memiliki masalah tersendiri. memperlihatkan bahwa pengelolaan tidak dapat di
Pergantian musim hujan dan kemarau membuat kondisi lakukan oleh satu pihak saja. Tetapi harus melibatkan
sungai tidak stabil antara banjir dan kekeringan, pihak lainnya dalam suatu konsep multipihak. Tujuan
ditambah lagi masalah pencemaran berbagai limbah dari penelitian ini adalah untuk menganalisis manajemen
industri dan domestik yang menjadikan air di sungai kebijakan sektor publik pada pengelolaan Sungai
menjadi tidak layak dikonsumsi. Citarum denagn paradigma Governance berdasarkan
Sungai atau daerah aliran sungai merupakan suatu tiga pilar: state, civil society dan private.
sumber daya air yang memiliki karakteristik yang khas
dan sifat yang berbeda dengan sumberdaya lainnya. METODE PENELITIAN
Keberadaan sungai dengan sifatnya yang mengalir dari
hulu ke hilir memiliki potensi opportunity value dan Penelitian dilakukan dengan mengambil obyek
externality effect antara hulu-hilir atau di sepanjang pada pengelolaan Sungai Citarum. Di lintasan Sungai
aliran sungai (Pangesti, 2000, 2002). Sifat sungai yang Citarum, terdapat berbagai instansi pemerintah, swasta,
mengalir dan melintasi batas wilayah administratif dan dan organisasi kemasyarakatan yang mengelola dan
bahkan negara, banyak pihak yang berkepentingan dan memanfaatkan keberadaan Sungai Citarum tersebut.
Instansi pemerintah dan perusahaan antara lain PLTA,
*
Korespondensi: +6281 2200 3228; harja_63@unpad.ac.id PDAM, BBWS Citarum, BPSDA, BPDAS, dll,
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI 83

Sedangkan organisasi kemasyarakatan antara lain Mitra (pusat), tapi penyerahannya tidak selalu kepada
Cai, P3A, GP3A, LPC, Masyarakat Cinta Citarum, pemerintah daerah saja. Penyerahan ini dapat pula
dll. Di sinilah urgensinya pengelolaan menggunakan diberikan kepada suatu organisasi, badan atau bahkan
pendekatan atau paradigma governance. kepada individu. Terkadang desentralisasi dijadikan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bertalian dengan dekonsentrasi. Di sini terjadi peran
metode penelitian kualitatif. Konsisten dengan metode, ganda, antara sebagai administrasi lapangan dengan
data dikumpulkan dengan teknik triangulasi sumber, sebagai perangkat pemerintahan umum (Ridwan, 2005).
meliputi studi pustaka, angket, wawancara mendalam, Pengelolaan daerah aliran sungai merupakan
dan diskusi stakeholder. Unit analisis penelitian ini salah satu kewenangan pemerintah yang dapat
pada level organisasi, sesuai dengan pokok bahasan didesentralisasikan berdasarkan authority maupun
governance yang meliputi tiga pilar: state, civil society, urusan (fungsi). Bentuknya sendiri dapat mengacu
dan private. kepada model pembagian Cheema dan Rondinelli
(Agusalim, 2007) yaitu dekonsentrasi, delegasi kepada
HASIL DAN PEMBAHASAN organisasi parastral atau semi otonom, devolusi,
privatisasi atau transfer urusan dari pemerintah kepada
A. Kewenangan dan Urusan Pengelolaan Sungai lembaga non pemerintah.
dalam Tinjauan Teknis dan Organisasi Konteks penyerahan urusan sendiri dikenal dengan
Ada persoalan prinsip yang melekat dalam pengelolaan tiga pendekatan yaitu ultra vires, general competence,
daerah aliran sungai (DAS). Pertama, dalam kerangka dan campuran perpaduan keduanya. Pengelolaan DAS
desentralisasi dan otonomi daerah memungkinkan secara eksplisit merupakan urusan pemerintahan di
masing-masing wilayah administratif membagi aliran bidang kehutanan. Namun, sebagaimana diketahui
sungai sesuai dengan wilayah masing-masing. Hal ini dalam DAS, melekat juga wilayah sungai yang mengalir.
memungkinkan terjadinya benturan kewenangan dan Urusan pengelolaan sungai secara eksplisit menjadi
kepentingan. Kedua, sungai merupakan sumberdaya urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum diatur
yang mengalir, tidak mengenal batas-batas wilayah dalam PP Nomor 38 Tahun 2007. Dengan demikian
administratif dan secara teknis tidak memungkinkan terdapat dua instansi pemerintah yang bersama-sama
aliran sungai dihentikan atau dialihkan ke wilayah mengurusi satu entitas dalam daerah aliran sungai.
lain, sesuai dengan kewenangan setiap instansi atau Pembagian urusan pemerintahan dalam Peraturan
organisasi. Konsekuensinya pengelolaan daerah Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 menetapkan tiga kriteria
aliran sungai tidak memungkinkan untuk dilakukan sebagai dasar pembagian yaitu eksternalitas, akuntabilitas,
secara sektoral-mandiri oleh masing-masing instansi dan efisiensi. Kriteria eksternalitas adalah kriteria
pemerintah atau organisasi yang berkepentingan dan pembagian dengan memperhatikan dampak yang timbul
yang berada dalam lintasan daerah aliran sungai tersebut. dari penyelenggaraan suatu urusan apakah lokal, regional,
Urusan pemerintahan, khususnya urusan pemerintahan atau nasional. Kriteria akuntabilitas, kriteria pembagian
daerah merupakan bagian dari desentralisasi. Namun urusan berdasarkan tanggung jawab penyelenggaraan
banyak makna dalam desentralisasi. Pada konteks ini, urusan kepada masyarakat bersifat lokal, regional atau
terdapat ketidaksepakatan mengenai makna desentralisasi nasional. Kriteria efisiensi yaitu pembagian urusan
itu sendiri. Banyak pihak yang sepakat bahwa pengalihan berdasarkan daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari
kekuasan dan sumberdaya kepada pemerintahan daerah penyelenggaraan urusan pemerintahan.
bukanlah suatu bentuk desentralisasi. Meskipun begitu, Kriteria tersebut tidak memadai jika diterapkan
banyak yang mengasumsikan bahwa desentralisasi pada pengelolaan sungai. Hal ini dikarenakan, pertama,
pada konteks ini juga termasuk transfer kekuasaan dan berdasarkan pada kriteria eksternalitas, dampak aliran
sumberdaya dari pemerintahan pusat (Schneider, 2003). sungai bukan hanya dampak lintas daerah atau regional
Desentralisasi didefinisikan sebagai penyerahan tetapi juga dampak lintas stakeholder, lintas fungsi,
kekuasaan, pelimpahan kekuasaan, penyebaran dan lintas departemen/instansi/organisasi. Kedua,
dan pemencaran kekuasaan. Desentralisasi juga mendasarkan pada kriteria efisiensi, apabila diserahkan
didefinisikan sebagai penyerahan urusan (function) pada satu instansi saja tidak cukup karena pengelolaan
dan kewenangan (authority) dari pemerintahan yang sungai bersifat sangat kompleks dan mahal. Ketiga,
lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga ditingkat penerapan kriteria akuntabilitas pada satu tingkatan
yang lebih rendah atau kepada individu (Agusalim, pemerintahan juga tidak cukup. Hal ini karena dalam
2007). Cheema , Nellis, dan Rondinelli (1983) juga kenyataan aliran sungai tidak benar-benar secara eksak
memberikan pengertian desentralisasi dalam arti yang berada dalam satu lingkup/batas wilayah administrasi
lebih luas ...the transfer of authority to plan, make pemerintahan tertentu, tetapi selalu bersambung dengan
decision and manage public function from higher level wilayah administrasi lainnya.
of government to any individual organization or agency Jika dicermati, pembagian urusan pemerintahan
at lower level Pendapat Cheema dkk. ini menggariskan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
bahwa kendati desentralisasi itu berasal dari pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 masih menggunakan paradigma
84 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 82-86

lama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terlibat, (3) koordinasi antar swasta dan publik baik
bertumpu pada government. Penggunaan paradigma secara formal maupun informal, (4) konsep atau teori
lama dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun yang mencerminkan koordinasi suatu sistem sosial
2007 dapat ditelaah dalam pasal-pasal maupun (Laffer, 2002; Pierre)
penjelasannya. Pasal 1 ketentuan umum tentang urusan Konsep networks sebagai bentuk spesifik dari
pemerintahan menjelaskan .... urusan pemerintahan governance dalam menganalisis relasi antar aktor/
adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak organisasi diimplementasikan dalam berbagai bentuk
dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan (mode of governance) atau mode of governing. Koiman
pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi- mengemukakan beberapa mode of governing yaitu
fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam co-governing dan mixed mode governing (Kooiman,
rangka melindungi, melayani, memberdayakan, 2000; Pierre). Co-governing dicirikan dengan dominasi
dan menyejahterakan masyarakat...... Hal ini juga hubungan yang bersifat horizontal dan kesetaraan antar
dipertegas dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan .... pihak yang berelasi. Pada co-governing, para pihak
Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan bekerja sama, berkoordinasi, dan berkomunikasi tanpa
yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah terlalu didominasi oleh aktor pengatur.
dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama Ada beberapa tipe dari modus co-governance, yaitu
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.... (1) public private partnership yang menekankan co-
Ketentuan umum maupun pasal dalam dalam PP 38 operation ; (2) communicative governing, yaitu suatu
tahun 2007 tersebut sama sekali tidak menyinggung atau proses belajar dan penyesuaian pola perilaku dalam
menyebut sektor privat atau civil society sebagai unsur pengelolaan perubahan structural sebagai tanggung
yang terlibat atau dilibatkan dalam penyelenggaraan jawab bersama; (3) responsive regulation, dimana
urusan pemerintahan. institusi-institusi kunci dalam tatatan sosial (masyarakat,
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 negara, dan asosiasi) berpartisipasi secara langsung.
tentang desentralisasi juga menyiratkan dan menyuratkan Mixed mode governing mencirikan berperannya
tidak dilibatkannya unsur di luar pemerintah dalam masyarakat sipil, pasar, dan pemerintah secara mixed
urusan pemerintahan. Penyelenggaraan desentralisasi (bercampur). Pada saat bersamaan peran sentral
mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah secara langsung menurun, sehingga bergeser
pemerintah dengan pemerintahan daerah. Urusan menjadi mitra kerja dan fasilitator melalui bentuk
pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang pengaturan bersama (shared governance). Argumentasi
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan model ini didasarkan pada pemikiran bahwa masalah
urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar kolektif bersifat kompleks dan dinamis yang dalam
tingkatan dan susunan pemerintahan. penanganannya memerlukan pembagian tanggung jawab
Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah dan aransemen bersama.
bergeser dari government ke governance yang bercirikan Mengacu kepada makna governance sebagai network
...adanya multi-aktor dalam penyelenggaraan maka keterlibatan aktor non state dalam pengelolaan
pemerintahan, aktor tersebut meliputi state, civil society sungai merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu,
dan privat. Keterlibatan para aktor ini mengakhiri penerapan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang
monopoli state dalam penyelenggaraan pemerintahan bertumpu pada tiga kriteria yang disebutkan terdahulu,
(Prasojo, 2007; Muluk). dipandang tidak cukup memadai. Sehubungan dengan
Berdasarkan terminologi umum, governance itu, perlu ditambahkan setidaknya dua kriteria tambahan
dipahami sebagai keterkaitan antar organisasi, pelibatan yaitu aksesibilitas dan efektivitas.
lembaga publik dalam formulasi dan implementasi Kriteria aksesibilitas adalah pengelolaan urusan
kebijakan, serta terhubungnya berbagai organisasi untuk dengan mempertimbangkan instansi atau organisasi
melaksanakan tujuan-tujuan publik (Keban, 2004). apa yang (1) paling dekat dengan lokasi, (2) paling
Perluasan makna tentang governance juga dikemukakan mengetahui tata cara pengelolaan sesuai dengan nilai-
Rhodes (2002), yaitu (1) governance sebagai corporate nilai kearifan lokal yang berlaku, serta (3) paling dekat
governance, (2) governance sebagai new public dengan masyarakat yang terkena dampak suatu urusan
management, (3) governance sebagai good governance, dijalankan. Penelitian di Sungai Citarum Jawa Barat
(4) governance sebagai international interdependence, misalnya ditemukan bahwa kendati masalah yang terjadi
(5) governance sebagai socio cybernetic system, (6) secara organisatoris merupakan urusan pemerintah
governance sebagai new political economy, dan (7) pusat, justru masyarakat mengajukan tuntutan kepada
governance sebagai network. pemerintah daerah setempat melalui LSM. Berdasarkan
Governance sebagai networks juga memiliki ini, maka terdapat dua organisasi yang memenuhi kriteria
beberapa makna yaitu (1) cara para stakeholder aksesibilitas yaitu organisasi pemerintah daerah setempat
berinteraksi untuk mempengaruhi kebijakan, (2) pola dan organisasi swadaya masyarakat (non-state).
atau struktur yang muncul dalam sistem sosial politik Pada kerangka yang lebih luas, kriteria ini juga terkait
sebagai keluaran bersama dari seluruh aktor yang dengan konsep kebijakan publik dan otonomi daerah.
RAHARJA, GOVERNANCE PENGELOLAAN SUNGAI 85

Sebagaimana diketahui sasaran kebijakan otonomi daerah kompetensi inti. Penerapan doktrin ini, khususnya pada
adalah untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan pelayanan pengelolaan sungai ini didasarkan pada beberapa hal.
publik yang lebih baik. Implementasinya harus sesuai Pertama, instansi atau organisasi tertentu yang terlibat
dengan content, context, dan kondisi lapangan. Dalam pada dasarnya memiliki kelebihan dibanding yang lain
hal ini masyarakat setempat lebih tahu apa yang harus dalam urusan atau kasus tertentu. Kedua, kelebihan-
dilakukan. Di samping masyarakat merupakan target group kelebihan seperti (1) sektor society (masyarakat)
dalam implementasi kebijakan yang secara teoritis target pada edukasi dan motivasi masyarakat, (2) kelebihan
group merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sektor pemerintahan lokal pada aksesibilitas, artikulasi
implementasi kebijakan, di samping pelaksana kebijakan persoalan dan urgensi penyelesaian kasus, (3) kelebihan
(Suwaryo, 2005). departemen teknis pada aspek teknis, (4) kelebihan
Kriteria efektivitas adalah pengelolaan urusan dengan sektor private pada pengelolaan secara efisien, dan
mempertimbangkan hasil guna tertinggi yang diperoleh (5) masyarakat lokal dengan pengetahuan tradisional
dari suatu penyelenggaraan urusan pemerintahan. dan kearifan lokal. Ketiga, pengelolaan sungai pada
Kriteria hasil guna diukur bukan hanya dalam perspektif dasarnya adalah otonomi bersama di antara organisasi
berjalannya program dan tercapainya tujuan/urusan yang terlibat dengan menggabungkan kompetensi inti
pemerintahan saja, tetapi tercapainya tujuan berdasarkan masing-masing.
perspektif para stakeholder lainnya. Kriteria efektivitas
juga berkaitan dengan kebijakan publik dan otonomi C. Ilustrasi Empirik dalam Pengelolaan DAS
daerah. Berhasil tidaknya suatu kebijakan tergantung Citarum
kepada insterest affected dari suatu masyarakat yaitu sejauh Dalam Pengelolaan DAS Citarum masih kuat terlihat
mana kepentingan masyarakat terakomodasi oleh suatu ego sektoral masing-masing instansi pemerintah maupun
kebijakan dan dapat memberi ruang gerak, partisipasi dan organisasi masyarakat. Hal ini terlihat dari beberapa temuan
berbagi kekuasaan dengan masyarakat (Grindle, 2005; penelitian yang dikompilasi dari persepsi atau berdasarkan
Suwaryo). perspektif pengelola saat ini. Temuan penelitian diringkas
Perlunya penerapan kriteria aksesibilitas maupun sebagai berikut.
efektivitas diperkuat oleh temuan penelitian Atmanto di Pertama, dalam praktik pengelolaan DAS Citarum
Citarum dan Ciliwung (2007). Atmanto mengemukakan masih terjadi benturan otoritas antara instansi pemerintah
empat hal yang terkait dengan partisipasi masyarakat, pusat dengan pemerintah daerah bahkan dengan masyarakat
khususnya dalam pengelolaan sungai. Pertama, penerapan khususnya dalam menetapkan wilayah kewenangan. Hal
ekohidraulik dalam pengelolan kualitas air sulit berhasil ini terlihat dalam otoritas pengelolaan dan pemberian izin
tanpa melibatkan masyarakat. Kedua, adanya modal dalam area in-stream dan off stream untuk DAS yang
sosial yang kuat dengan member ruang gerak peran serta sama.
masyarakat. Ketiga, penerapan sosio hidraulik pada Sungai Kedua, beberapa benturan kepentingan secara lebih
Citarum telah berhasil dengan baik karena didukung oleh luas dapat dipaparkan sebagai berikut (1) perbedaan
konstribusi masyarakat. Keempat, pengelolaan air sungai kehendak antara masyarakat dengan instansi lain
berbasis masyarakat terjadi penguatan karena masyarakat dalam pemanfaatan lahan di sekitar DAS; (2) benturan
memiliki kemampuan dalam mengelola sungai khususnya kepentingan antara pemerintah Kabupaten Bandung
dalam hal kualitas. Pengelolaan sumber daya air dengan dengan Propinsi Jawa Barat, khususnya dalam pemanfaatan
model Dharma Tirta menunjukan bahwa aksesibilitas dan air permukaan; (3) benturan antara kemanfaatan ekonomi
efektifitas ini berkaitan dengan kelembagaan birokrasi pada dan kebutuhan akan pengendalian dampak lingkungan
level pelaksana daerah dan pola paternalisme keterlibatan yang terjadi karena inkonsistensi dan perbedaan sikap
masyarakat setempat (Ridwan, 2006). dan posisi organisasi pengendali dampak lingkungan; (4)
benturan kepentingan antara pemerintah daerah, khususnya
B. Pergeseran Prinsip dalam Ultra Vires and di perbatasan. Aktivitas pemerintah daerah tertentu di
General Competence ke Core Competence perbatasan, membawa dampak ke wilayah pemerintah
Tidak ditemukannya penjelasan tentang pembagian lainnya di seberang perbatasan; (5) benturan kepentingan
kewenangan atau urusan yang bersifat perpaduan antara berkaitan dengan peran dan fungsi tiap instansi baik antara
doktrin ultra vires dan general competence mengundang instansi di daerah maupun antar instansi pemerintah daerah
satu pertanyaan penting. Hal itu berkaitan dengan tidak dengan pemerintah pusat.
ada penjelasan resmi pembagian kewenangan campuran
tersebut seperti kewenangan apa saja? Apa dasar KESIMPULAN
pembagian? Apa kriteria distribusi pembagian? Dan
penetapan mana yang harus dibagi dan tidak dibagi? Pengelolaan sungai merupakan urusan bersama
Oleh karena itu, perlu diajukan satu doktrin atau di antara organisasi, baik organisasi pemerintah pusat
kriteria berdasarkan kompetensi inti (core competence). maupun daerah (government sector), society (lembaga
Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa setiap swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal setempat),
organisasi pada umumnya memiliki satu atau lebih serta private. Implementasi kebijakan dari pengelolaan
86 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 82-86

sungai sebagai urusan bersama memiliki implikasi. Michaels S., Nancy P. Goucher, Dan McCarthy. 2006. Policy
Pertama, implikasi prinsip pembagian urusan Windows, Policy Change, and Organizational Learning: Watersheds
pemerintahan yaitu perlu ditambahkannya prinsip in the Evolution of Watershed Management. Environt Manage Journal.
pembagian kewenangan dari dua prinsip (ultra vires 38:983992.
dan general competence) menjadi tiga prinsip (ultra Muluk, MR Khairul. 2007. Menggugat Partisipasi Publik dalam
vires, general competence, dan core competence). Pemerintahan Daerah. Malang, Penerbit Bayu Media.
Kedua, implikasi kriteria pembagian urusan dari Pangesti, Dyah Rahayu. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan
tiga kriteria (eksternalitas, efisiensi, akuntabilitas) Sungai Menyongsong Abad21. Orasi Ilmiah APU, Depkimbangwil.
menjadi lima kriteria (eksternalitas, efisiensi, dan ____. 2002. Sungai sebagai Sumberdaya Alam Yang Mengalir,
akuntabilitas, aksesibilitas dan efektivitas). Ketiga, dalam Kodoatie (ed) Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Era Otonomi
implikasi kebijakan yaitu perlunya penyempurnaan Daerah. Yogyakarta. Penerbit Andi.
kembali Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007. Pierre, Jon. 2000, Debating Governance : Authority, Steering, and
Pada hal ini khususnya dalam pembagian urusan yang Democracy. London: Oxford Univerisity Press
memasukan unsur nonstate sesuai dengan paradigma Raharja, Samun Jaja. 2008. Model Kolaborasi dalam Pengelolaan
baru penyelenggaraan pemerintahan, governance, yang Daerah Aliran Sungai Citarum. Disertasi, Program Pascasarjana Ilmu
multi aktor yang terdiri unsur state, civil society, dan Administrasi FISIP UI.
private. Peraturan khusus terkait dengan sungai secara Ridwan, Irfan. 2005. Dekonstentrasi dan Instansi Vertikal (Catatan
umum juga perlu ditinjau kembali. Kritis UU No.32 Tahun 2004). Jurnal Ilmu Administasi dan Organisasi,
Bisnis & Brokrasi, Vol.12, No.2 (Mei).
DAFTAR PUSTAKA ____. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Air Model Dharma Tirta
di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis &
Agusalim, Gadjong Andi. 2007. Pemerintah Daerah : Kajian Birokrasi, Vol. 14, No. 1 (Januari).
Politik dan Hukum. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Rodhes, RAW, 1999. Foreword in Walter JM Kickert et.al. (ed)
Atmanto, Dwi. 2007. Pendekatan Sosio Hidraulik dalam Pengelo- Managing Complex Network : Strategies for the Public Sector. London:
laan Kualitas Air: Studi Kasus Pengelolaan Sungai Ciliwung dan Sage Publication.
Citarum. Disertasi Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Schneider, Aaron. 2003. Decentralization: Conceptualization and
Indonesia Measurement. Comparative International Development, (Fall), Vol.38,
Cheema, G. Shaber et.al.1983. Decentralization in Developing No. 3.
Countries : A Review of Recent Experience, World Bank Paper. Suwaryo, Utang. 2005. Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah.
Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Disertasi, Bandung, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Publik : Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Penerbit Gava Media Bandung.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei-Agustus 2009, hlm. 87-95 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan


setelah Perubahan Kedudukan dan Fungsi Camat
sebagai Perangkat Daerah
ROZY AFRIAL J.1*

1
Micronutrient Initiative Indonesia

Abstract. This research aims to analyze the quality of subdistrict public services in decentralization era, identify
services dimensions or attributes that are prioritized by subdistrict for a better performance, and conduct comparative
study to analyze whether a subdistrict with larger delegated authorities has a better quality of public services. The analysis
was conducted using the Service Quality (ServQual) that had been developed into Importance Performance Analysis (IPA).
The research was conducted through surveys in two locations i.e. Katapang Subdistrict in Bandung and Dramaga Subdistrict
in Bogor, on three types of services namely 1) civil administration/registration services 2). Business license services and 3).
Building construction license services.The research result showed that although the subdistricts had legally and formally
shifted into local government institution, the quality of public service performance is still not optimal. This was indicated
by the lower performance index as well as the importance index of the respondents for both subdistricts, in other words
there were gaps between respondents perception and respondents expectation on public service quality.

Keywords: local government institution, subdistrict, service quality, importance performance analysis

PENDAHULUAN dalam Wasistiono, 2005). Penggabungan asas


desentralisasi dan dekonsentrasi atau disebut dengan
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun Fused Model hanya terjadi pada tingkat provinsi. Propinsi
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di sebagai wilayah administrasi merupakan wakil pemerintah
revisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pusat (menjalankan asas dekonsentrasi) sekaligus juga
telah membawa perubahan paradigma yang mendasar adalah daerah otonom yang melaksanakan asas
dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. desentralisasi.
Reformasi pemerintahan daerah ini diwujudkan dalam Perubahan mendasar tersebut telah secara nyata
bentuk pergeseran model dan paradigma pemerintahan mempengaruhi pula kedudukan, peran, dan fungsi camat
dari pendekatan structural efficiency model yang dan kecamatan. Dengan dihapuskannya wilayah
menekankan peningkatan efisiensi, efektivitas dan administrasi pemerintahan untuk tingkat kabupaten/kota
keseragaman. Penyelenggaraan pemerintahan menjadi ke bawah, kecamatan bukanlah lagi wilayah administrasi.
pendekatan local democracy model yang Camat adalah perangkat daerah kabupaten/ kota bukan
menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam lagi kepala wilayah administrasi pemerintahan seperti pada
penyelenggaraan pemerintahan lokal. Seiring dengan masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 (lihat UU Nomor
pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004). Sebagai
pengutamaan dekonsentrasi ke pengutamaan konsekuensinya camat bukan lagi penguasa tunggal yang
desentralisasi (Hoessein, 2002), atau dari paradigma berfungsi sebagai administrator pemerintahan,
pemerintahan yang sentralistik kearah desentralistik. pembangunan dan kemasyarakatan. Camat kini tidak lagi
Salah satu perubahan mendasar dengan secara otomatis memiliki kewenangan untuk menjalankan
diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU urusan pemerintahan umum (Hoessein, 2002; Rosyidi,
Nomor 32 Tahun 2004 adalah dihapuskannya wilayah 2007). Dengan demikian, kecamatan bukan lagi wilayah
administrasi pemerintahan untuk tingkat kabupaten/ administrasi pemerintahan (Ambs-kring), melainkan
kota ke bawah. Wilayah administrasi yang masih ada sebagai wilayah kerja (Werk-kring) kecamatan bukan lagi
hanya wilayah administrasi propinsi (Ridwan, 2005), wilayah kekuasaan camat melainkan menjadi areal tempat
sehingga pemerintahan untuk tingkat kabupaten/kota camat bekerja (Wasistiono, 2005). Camat tidak lagi menjadi
kebawah sepenuhnya menjalankan asas desentralisasi, pusat dalam menjalankan tugas-tugas dekonsentrasi,
kecuali untuk lima kewenangan pemerintah pusat, ini namun telah beralih menjadi perangkat daerah yang hanya
yang dinamakan dengan Split Model (BC Smith, 1985, memiliki Werk-kring dalam lingkungan wilayah kecamatan
(Kertapradja; Kinseng, 2008).
Pelayanan publik merupakan unsur paling penting
*Koresponding penulis: +6221 7981 651, 7987 130; dalam meningkatkan kualitas hidup sosial di dalam
rjafar@micronutrient.org; www.micronutrient.org masyarakat manapun (Saragih, 2006). Reformasi
88 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95

pelayanan publik terjadi dalam konteks usaha banyak faktor yang bersifat intangible (tidak nyata/tidak
pembangunan dan promosi proses globalisasi ekonomi berwujud) dan memiliki banyak aspek psikologis yang
(Reed, 2002). Reformasi pelayanan publik merupakan rumit untuk diukur (Zaithaml, Parasuraman dan Berry,
prime mover (penggerak utama) yang dinilai strategis 1990). Idealnya pengukuran kualitas pelayanan dilakukan
untuk memulai pembaharuan praktik governance terhadap dua dimensi yang saling terkait dalam proses
(Dwiyanto, 2005). Sesuai dengan paradigma Reinventing pelayanan, yakni penilaian kepuasan pada dimensi
Government maupun Good Governance, pendelegasian pengguna layanan/pelanggan (service users) dan
sebagian kewenangan pemerintahan dari bupati/walikota penilaian yang dilakukan pada penyedia pelayanan
kepada camat harus dapat memaksimalkan prinsip 4E, (service providers). Pengembangan service quality gap
yakni efektivitas, efisiensi, equity/keadilan dan model kedalam suatu instrumen skala pengukuran multi
ekonomis. (Terry, 1961, Frederickson, 1997 dan E.S. dimensi yang dinamakan Servqual (Zathaml, dkk., 1990).
Savas, 1987; Wasistiono, 2005). Pendelegasian Dalam perkembangannya, Zaithaml, Parasuraman dan
kewenangan bukan hanya sekedar memindahkan Bery kemudian menyederhanakan sepuluh dimensi
kewenangan yang dijalankan secara langsung oleh menjadi lima dimensi Servqual (Zaithaml dkk., 1990),
bupati/walikota kepada camat, melainkan dalam rangka yakni Tangible (Nyata, Berwujud), Reliablility
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemberian (Keandalan), Responsiveness (Cepat tanggap),
pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Assurance (Jaminan) dan Emphaty (Empati).
Dewasa ini kualitas merupakan bahasan yang penting Kaitannya dengan reformasi pemerintahan daerah
dalam penyelenggaraan pelayanan, termasuk pada dimana camat tidak lagi menjadi pusat dalam menjalankan
organisasi atau institusi pemerintah sebagai lembaga tugas-tugas dekonsentrasi, namun telah beralih menjadi
penyedia pelayanan publik. Negara dan sistem perangkat daerah yang hanya memiliki wilayah kerja
pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan warga negara dalam lingkungan wilayah kecamatan. Sudah selayaknya
dalam memperoleh jaminan atas hak-haknya karenanya apabila kecamatan dijadikan sebagai Pusat Pelayanan
peningkatan kualitas pelayanan (quality of services) akan Masyarakat (Pusyanmas) untuk jenis-jenis pelayanan
menjadi penting (Zauhar, 2001, Prasojo, Pradana dan yang sederhana, cepat, dan murah untuk meningkatkan
Hiqmah, 2006). Lembaga atau organisasi pemerintah kualitas pelayanan kepada masyarakat. Penelitian ini
semakin dituntut untuk menciptakan kualitas pelayanan bertujuan mengetahui dan memperbandingkan kualitas
yang dapat mendorong dan meningkatkan kegiatan pelayanan Kecamatan Katapang dan Kecamatan
ekonomi masyarakat. Karena itu, pelayanan (aparatur) Dramaga setelah perubahan kedudukan dan fungsi
pemerintah harus lebih proaktif dan cermat dalam kecamatan sebagai perangkat daerah. Selain itu,
mengantisipasi paradigma baru global agar penelitian ini membandingkan tiga jenis pelayanan
pelayanannya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat kecamatan yakni pelayanan administrasi kependudukan,
yang dinamis. pelayanan izin-izin usaha, dan izin gangguan serta
Sejumlah ahli menjelaskan konsep kualitas dengan pelayanan IMB.
pengertian yang saling menguatkan sesuai dengan
perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri METODEPENELITIAN
pelayanan yang spesifik (Feigenbaum, 1986; Albrecht
dan Zemke, 1990; Bahill dan Gissing, 1998; Goetsh dan Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang
Davis, 1994, Mulyawati, 2003; WE. Deming;Sinambela menggunakan pendekatan kuantitatif-positivistik.
dkk., 2006). Kualitas pelayanan merupakan perbandingan Metode ini dilakukan untuk mengetahui arah dan fokus
antara kenyataan atas pelayanan yang diterima dengan penelitian yang ditujukan untuk menguraikan dan
harapan atas pelayanan yang ingin diterima (Brady dan menggambarkan secara obyektif dan logis sifat-sifat dari
Conin, 2001). Pada awalnya instrumen untuk mengukur fenomena atau gejala sosial yang diteliti - dalam hal ini
kualitas pelayanan (service quality) dikembangkan oleh adalah adalah kualitas pelayanan publik kecamatan-
peneliti pemasaran untuk melakukan evaluasi terhadap dengan cara verifikasi langsung melalui data empirikal.
kualitas pelayanan yang dapat memenuhi kepuasan Untuk dapat melakukan analisis komparatif kualitas
pelanggan (Jiang, Klein, dan Carr, 2002). Kaitannya pelayanan publik kecamatan, maka diperlukan dua lokus
dengan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh atau daerah penelitian, yaitu Kecamatan Katapang di
birokrasi didalam negara demokrasi paling tidak harus Kabupaten Bandung dan satu lagi Kecamatan Dramaga
memenuhi tiga indikator, yakni responsiveness, di Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian
responsibility, dan accountability (Lenvine, 1990). dilakukan secara purposive yang didasarkan
Dalam hal ini kinerja pelayanan publik terdiri dari aspek pertimbangan adanya kekhasan delegasi kewenangan
produksi, mutu, efisiensi, fleksibilitas, dan kepuasan dari bupati kepada camat, pada masing-masing
untuk ukuran jangka pendek, sedangkan aspek kabupaten. Pemilihan Kabupaten Bandung dan
persaingan dan pengembangan untuk jangka menengah Kabupaten Bogor didasarkan pertimbangan bahwa pada
serta aspek kelangsungan hidup untuk jangka panjang. kedua kabupaten tersebut telah ada pendelegasian
Selain itu, ukuran kualitas pelayanan ditentukan oleh kewenangan bupati kepada camat dengan jumlah, jenis
AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN 89

Tabel 1. Sampe l Pe nelitian


Jumlah sampel
No Jenis Layanan Kec. Katapang Kec. Dramaga
1 Administrasi kependudukan, (KTP, KK dll) 100 100
2 Izin usaha/ izin tempat usaha (SITU, SIUP, HO dll) 60 100
3 Pelayanan izin bangunan atau IMB 50 36
Jumlah 210 236
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

serta besaran kewenangan yang berbeda. Kabupaten setiap indikator dituangkan dalam tabel frekuensi untuk
Bandung merupakan representasi dari kabupaten yang seluruh 20 indikator kualitas pelayanan, baik untuk
melimpahkan cukup besar kewenangan kepada camat, indikator kinerja maupun indikator kepentingan
sedangkan Kabupaten Bogor adalah representasi pelayanan. Kemudian ,dihitung tingkat kesesuaian antara
kabupaten yang minim melimpahkan kewenangan tingkat kinerja dengan tingkat kepentingan, sebagai
kepada camat (gambar 1). berikut.
Obyek penelitian terdiri dari tiga jenis kelompok
pelayanan yang umumnya terdapat pada kecamatan, Tki = Xi X 100%,
yaitu (1) Pelayanan administrasi kependudukan (KTP, Yi
KK dll), (2) Pelayanan izin usaha/ izin tempat usaha Dimana:
(SITU, SIUP, HO dll), dan (3) Pelayanan izin bangunan Tki = Tingkat kesesuaian responden untuk
atau IMB. Sampel penelitian diperoleh secara purposive indikator i
terhadap responden yang sudah atau pernah Xi = Skor penilaian kinerja pelayanan indikator i
menggunakan pelayanan kecamatan dengan Yi = Skor penilaian kepentingan indikator i
menggunakan teknik gabungan accidental sampling
dan snowballing sampling. Pada accidental sampling, Setelah seluruh analisis kuantitatif selesai, maka
responden adalah siapa saja yang ditemukan peneliti dilakukan FGD untuk mengklarifikasi, menggali, dan
ketika sedang mengurus atau mendapatkan pelayanan menelusuri lebih mendalam permasalahan dan kendala
publik di kantor kecamatan. Sedangkan snowballing yang dihadapi oleh kecamatan untuk dapat menghasilkan
sampling dilakukan melalui penelusuran baik dari data
kualitas pelayanan yang lebih baik.
yang ada pada kecamatan maupun dari responden yang
telah diwawancarai untuk mendapatkan responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
berikutnya dengan sampel dalam tabel 1.
Survei dengan kuesioner Service Quality yang
A. Kualitas Pelayanan Publik Kecamatan
dirancang untuk menjaring: (1) data kualitas pelayanan
kecamatan yang diharapkan dan (2) data kualitas Hasil perhitungan IPA menunjukkan belum optimalnya
pelayanan kecamatan yang diterima oleh masyarakat kualitas pelayanan publik kecamatan. Belum optimalnya
pengguna layanan. Setiap jenis kuesioner terdiri dari dua kualitas pelayanan ditunjukkan oleh indeks kinerja
bagian. Pertama adalah penilaian responden terhadap seluruh 20 atribut pada ketiga jenis pelayanan (Pelayanan
kualitas pelayanan publik kecamatan yang diterima atau Adminsitrasi Kependudukan, Pelayanan Izin Usaha.,
dialami (tingkat kinerja) dan kedua adalah penilaian dan Izin Gangguan dan Pelayanan IMB) yang lebih
responden terhadap kualitas pelayanan publik kecamatan rendah dari indeks kepentingan. Kualitas layanan publik
yang diharapkan (tingkat kepentingan) dengan dimensi kecamatan dapat dilihat melalui perbandingan pelayanan
dan indikator (tabel 2). publik pada kecamatan Katapang dan Dramaga. Secara
Selanjutnya, analisis data dilakukan dua tahap, umum dapat dilihat pada gambar 1-7.
pertama menggunakan teknik analisis kuantitatif dengan
Importance-Performance analysis/IPA atau analisa B. Perbandingan Pendelegasian Kewenangan Bupati
tingkat kepentingan-kinerja (Martila dan James, 1977; kepada Camat
Supranto 1997) dan Focus Group Discussion (FGD). IPA, Pemerintah Kabupaten Bandung memiliki komitmen
pelayanan yang diharapkan (expected service) untuk mendelegasikan kewenangan kepada camat yang
masyarakat pengguna layanan dikonversi menjadi jauh lebih baik dibanding pemerintah Kabupaten Bogor.
tingkat kepentingan akan pelayanan, sedangkan Keputusan Bupati Bandung Nomor 21 Tahun 2001 Bupati
pelayanan yang diterima masyarakat (perceived service) Kabupaten Bandung melimpahkan 27 Bidang
dikonversi menjadi tingkat kinerja pelayanan. Data Kewenangan yang mencakup 110 Rincian Kewenangan
yang diperoleh ditransformasikan menjadi data kuantitatif kepada camat. Jumlah, jenis, serta besaran kewenangan
dengan pembobotan menggunakan skala likert yang yang dilimpahkan bupati kepada camat kemudian
terdiri dari 5 skala kontinum. Perhitungan pembobotan ditingkatkan menjadi 25 bidang kewenangan dan 614
90 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95

Tabel 2 . Dimensi dan Indikator Surv ey Kualitas Pe layanan Ke camatan

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Gambar 1. Kerangka Analisis


Sumber: Hasil olahan penelitian, 2007
AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN 91

pelayanan langsung kepada masyarakat yang harus


diselenggarakan Kecamatan Katapang Bandung. Status
hukum pendelegasian kewenangan bupati kepada camat
ini kemudian ditingkatkan dimana pada tahun 2007
berhasil disahkan Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2007
mengenai pendelegasian sebagian kewenangan bupati
kepada pemerintah kecamatan. Selain itu, pemerintah
Kabupaten Bandung telah menata ulang organisasi
kecamatan kemudian, mengisi organisasi kecamatan
dengan pegawai yang sesuai dengan kebutuhan serta
merencanakan dan melaksanakan pendidikan teknis
fungsional bagi personil yang akan ditempatkan di
Gambar 2. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan kecamatan sesuai kebutuhan lapangan. Walaupun
Pelayanan Adminsitrasi Kependudukan, Kecamatan
Ketapang, Kabupaten Bandung. belum memenuhi kebutuhan, diklat-diklat teknis tetap
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 dilaksanakan bertahap bagi personel yang telah
ditempatkan di kecamatan. Demikian pula peralatan dan
perlengkapan secara bertahap mulai diisi untuk
memenuhi kebutuhan kantor kecamatan dalam
menyelengarakan pelayanan publik yang kini menjadi
kewenangannya. Komitmen untuk implementasi
pendelegasian kewenangan bupati kepada camat
diwujudkan secara kongkrit dengan mengalokasikan
anggaran bagi masing-masing kecamatan sesuai dengan
beban tugasnya dengan mempertimbangkan kemampuan
keuangan pemerintah daerah sehingga kecamatan di
Kabupaten Bandung adalah pengguna anggaran sama
seperti satuan perangkat daerah lainnya.
Kabupaten Bogor hanya melimpahkan 12 bidang
kewenangan yang meliputi 31 rincian kewenangan
kepada camat. Akibat ketiadaan political will dari Bupati
Gambar 3. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Bogor untuk sungguh-sungguh mendelegasikan
Pelayanan Izin Usaha dan Izin Gangguan, Kecamatan kewenangan kepada camat dari 12 bidang kewenangan
Ketapang, Kabupaten Bandung yang dilimpahkan Bupati Bogor kepada Camat Dramaga.
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 Hanya satu bidang kewenangan yang berjalan efektif
dan merupakan kewenangan penuh camat, yaitu
pelayanan administrasi kependudukan (KTP/KK) yang
merupakan kewenangan penuh camat untuk
menyelenggarakannya (lihat gambar 2). Sementara
pelayanan lainnya seperti dalam pelayanan perijinan
usaha, izin gangguan atau HO dan izin bangunan (IMB),
kewenanganan kecamatan hanya mengeluarkan surat
keterangan atau surat rekomendasi. Kewenangan
mengeluarkan IMB yang sebelumnya pernah diserahkan
kepada camat khusus untuk bangunan dengan luas di
bawah 200 m2 kemudian pada tahun 2007 ditarik kembali
oleh dinas pemukiman. Kecamatan Dramaga bukan
pengguna anggaran sebagaimana perangkat daerah
lainnya. Anggaran kecamatan masih dikelola oleh
Gambar 4. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan lembaga atau instansi lain seperti bagian otonomi daerah,
Pelayanan IMB, Kecamatan Ketapang, Kabupaten Bandung sekretariat daerah, dan dinas catatan sipil di kabupaten.
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 Kondisi SDM, peralatan, dan perlengkapan untuk
menyelenggarakan pelayanan juga nampak seadanya
rincian kewenangan melalui keputusan Bupati Bandung saja pada Kecamatan Dramaga. Dua kondisi yang
No. 8 Tahun 2004. Dari 614 rincian kewenangan yang berbeda dari dua daerah ini, tentunya berimplikasi
dilimpahkan Bupati Bandung kepada Kecamatan terhadap kualitas pelayanan yang diselenggarakan oleh
Katapang (dan kecamatan lain di Kabupaten Bandung), kedua kecamatan yang diuraikan pada pembahasan
empat puluh dua diantaranya adalah kewenangan berikut ini.
92 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95

Gambar 5. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Pelayanan


Adminsitrasi Kependudukan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Gambar 6. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan Gambar 7. Perbandingan Indeks Kinerja dengan Indeks Kepentingan
Pelayanan Izin Usaha dan Izin Gangguan, Kecamatan Pelayanan IMB, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor
Dramaga, Kabupaten Bogor
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

kesesuaian pada Kecamatan Dramaga (67,99%).


Analisis lebih jauh lagi, hampir seluruh atribut
C. Perbandingan Kualitas Pelayanan Kecamatan pelayanan publik Kecamatan Katapang memiliki indeks
Katapang dan Kecamatan Dramaga kinerja pelayanan dan tingkat kesesuaian yang lebih
Untuk mengetahui perbandingan antara kualitas tinggi dibanding indeks kinerja pelayanan dan tingkat
pelayanan publik di Kecamatan Katapang, Kabupaten kesesuaian Kecamatan Dramaga. Dari dua puluh atribut
Bandung dan kualitas pelayanan publik di Kecamatan pelayanan administrasi kependudukan kecamatan,
Dramaga maka dilakukan analisis komparatif kualitas kecuali atribut nomor 2, yaitu kenyamanan, kebersihan,
pelayanan di dua kecamatan tersebut. Analisis dilakukan dan kerapihan ruang pelayanan, seluruh atribut
dengan membandingkan kinerja pelayanan dan tingkat pelayanan lainnya menunjukkan kualitas pelayanan
kesesuaian (antara apa yang dialami dengan apa yang Kecamatan Katapang lebih baik dari kualitas pelayanan
diharapkan oleh responden) untuk ketiga jenis pelayanan Kecamatan Dramaga (lihat gambar 8).
(pelayanan administrasi kependudukan, pelayanan izin Gambar 8 memperlihatkan hanya atribut nomor 2, yaitu
usaha dan izin gangguan, dan pelayanan izin mendirikan kenyamanan, kebersihan dan kerapihan ruang pelayanan
bangunan) pada dua Kecamatan (lihat tabel 3). indeks kinerja pelayanan Kecamatan Dramaga lebih baik
Te rdapat perbandingan kualitas pelayanan dari Kecamatan Katapang. Kondisi yang sama juga terjadi
administrasi kependudukan di kecamatan Katapang dan pada tingkat kesesuaian antara persepsi responden akan
kecamatan Dramaga. Secara umum kualitas pelayanan kualitas pelayanan dengan harapan responden akan
publik di Kecamatan Katapang lebih baik dari kecamatan kualitas pelayanan kecamatan (gambar 9), dimana
Dramaga (tabel 3). Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata Kecamatan Katapang memiliki tingkat kesesuaian yang
indeks kinerja pelayanan administrasi kependudukan lebih tinggi dari Kecamatan Dramaga untuk hampir
Kecamatan Katapang yang lebih tinggi (3.27) dari rata- seluruh atribut pelayanan.
rata indeks kinerja pelayanan administrasi kependudukan Terdapat perbandingan kualitas pelayanan izin-izin
Kecamatan Dramaga (2.90) serta rata-rata tingkat usaha dan izin gangguan di Kecamatan Ketapang dan
kesesuaian (antara apa yang dialami dengan apa yang Kecamatan Dramaga. Secara umum kualitas pelayanan
diharapkan oleh responden) yang lebih tinggi pada publik di Kecamatan Katapang lebih baik dari Kecamatan
Kecamatan Katapang (75%) dibanding tingkat Dramaga (tabel 3). Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata
AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN 93

Tabel 3. Perbandingan Kinerja Pelayanan dan Tingkat Kesesuaian Pelayanan Publik antara Kecamatan Katapang dan Kecamatan
Dramag a
Kec am atan Katapang Kecamatan Dramaga
atribut

Izin usaha dan Izin u saha dan


Adm Kpddk IMB Adm Kpddk IMB
gangguan ganggua n
Indeks Tkt ke- Indek s Tkt ke- Indek s Tkt ke- Ind eks Tkt ke- Indek s Tkt ke- Ind eks Tkt ke-
kinerja sesuaian kinerja sesuaian kinerja se sua ian kiner ja sesuaian kinerja se sua ian kiner ja sesuaian
1 3.6 0 88 .2 4% 3.53 90.21% 3.56 86.41% 3.40 84.16% 3.48 85.29% 3.39 89.71%
2 3.3 2 76 .1 5% 3.48 80.69% 3.36 80.77% 3.36 80.77% 3.52 83.02% 3.42 84.83%
3 3.3 6 80 .7 7% 3.38 77.19% 3.36 77.78% 3.24 74.31% 3.48 78.38% 3.33 75.95%
4 3.0 8 68 .7 5% 3.33 74.07% 3.12 71.56% 3.00 63.56% 3.28 71.30% 3.11 68.71%
5 3.6 0 81 .0 8% 3.32 78.66% 3.48 85.29% 3.12 70.91% 3.32 74.11% 3.31 71.69%
3.3 9 7 9.00% 3.41 80 .1 6% 3.38 80.36% 3.22 74.74% 3.42 78.42% 3.31 78.18%
6 3.2 0 72 .7 3% 3.13 68.61% 3.40 77.98% 2.92 64.04% 2.68 60.36% 2.47 53.61%
7 3.0 8 66 .3 8% 2.93 64.71% 3.20 73.39% 2.76 62.16% 2.80 63.06% 2.72 64.05%
8 3.5 2 79 .2 8% 3.43 75.46% 3.52 78.57% 3.28 73.21% 3.12 72.90% 3.28 73.75%
9 3.1 2 70 .2 7% 3.38 75.75% 3.20 73.39% 2.64 60.00% 2.52 59.43% 2.67 59.63%
10 3.1 6 75 .2 4% 3.32 75.38% 3.20 74.77% 2.76 62.73% 2.84 67.62% 2.67 60.38%
3.2 2 7 2.78% 3.24 71 .9 8% 3.30 75.62% 2.87 64.43% 2.79 64.67% 2.76 62.28%
11 3.2 0 68 .9 7% 3.15 70.79% 3.52 78.57% 2.76 63.89% 2.80 66.04% 3.03 70.78%
12 3.2 4 71 .0 5% 3.55 79.48% 3.48 79.09% 2.88 69.23% 2.92 69.52% 2.86 67.76%
13 3.4 4 76 .7 9% 3.45 79.62% 3.60 85.71% 2.96 68.52% 3.28 78.85% 2.97 68.15%
3.2 9 7 2.27% 3.38 76 .6 3% 3.53 81.13% 2.87 67.21% 3.00 71.47% 2.95 68.90%
14 3.2 0 76 .1 9% 3.10 79.49% 3.24 80.20% 2.20 47.41% 2.40 53.57% 2.64 61.69%
15 2.9 2 72 .2 8% 3.25 77.38% 3.08 73.33% 2.68 70.53% 2.88 75.79% 3.06 85.27%
16 3.2 4 75 .0 0% 3.45 76.95% 3.52 83.81% 2.92 68.87% 2.84 68.93% 2.92 70.95%
17 3.0 4 70 .3 7% 3.55 80.08% 3.44 79.63% 3.08 71.30% 3.32 79.05% 3.47 73.10%
3.1 0 7 3.46% 3.34 78 .4 7% 3.32 79.24% 2.72 64.53% 2.86 69.34% 3.02 72.75%
18 3.4 8 81 .3 1% 3.22 76.89% 3.56 81.65% 2.96 75.51% 3.12 74.29% 3.22 76.82%
19 3.2 4 73 .6 4% 3.47 80.31% 3.44 78.90% 2.52 60.00% 3.04 72.38% 3.11 75.17%
20 3.3 2 75 .4 5% 3.30 72.26% 3.40 75.22% 2.64 68.75% 3.04 76.00% 3.14 70.63%
3.3 5 7 6.80% 3.33 76 .4 9% 3.47 78.59% 2.71 68.09% 3.07 74.22% 3.16 74.20%
3.2 7 7 5.00% 3.34 76 .7 0% 3.38 78.80% 2.90 67.99% 3.03 71.49% 3.04 71.13%

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007


indeks kinerja pelayanan izin-izin usaha (SITU, SIUP)
dan izin gangguan (HO) Kecamatan Katapang yang lebih
tinggi (3.34) dari rata-rata indeks kinerja pelayanan
pelayanan izin-izin usaha dan izin gangguan Kecamatan
Dramaga (3.03). Selain itu, rata-rata tingkat kesesuaian
yang lebih tinggi pada Kecamatan Katapang (76.70%)
dibanding tingkat kesesuaian pada Kecamatan Dramaga
(71,49%).
Jika ditinjau dari masing-masing atribut pelayanan izin-
izin usaha dan izin gangguan, sebagian besar atribut
pelayanan Kecamatan Katapang memiliki indeks kinerja
yang lebih tinggi dibanding indeks kinerja Kecamatan
Gambar 8. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut Pelayanan Dramaga (gambar 10). Hanya pada atribut nomor 2 yakni
Administrasi Kependudukan pada Kecamatan Katapang dan kenyamanan, kebersihan, dan kerapihan ruang
Kecamatan Dramaga pelayanan dan atribut nomor 3 yakni pengaturan loket
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
pelayanan indeks kinerja pelayanan izin-izin usaha dan
izin gangguan Kecamatan Dramaga lebih tinggi dari pada
indeks kinerja Kecamatan Katapang.
Sedangkan jika ditinjau dari tingkat kesesuaian untuk
masing-masing atribut, Kecamatan Katapang juga
memiliki tingkat kesesuaian antara persepsi responden
akan kualitas pelayanan dengan harapan responden akan
kualitas pelayanan izin-izin usaha dan izin gangguan
yang lebih baik dari Kecamatan Dramaga (gambar 11).
Atribut nomor 2 yakni kenyamanan, kebersihan, dan
kerapihan ruang pelayanan, atribut nomor 3 yakni
pengaturan loket pelayanan dan atribut nomor 20 yakni
Gambar 9. Perbandingan Tingkat Kesesuaian Atribut kemudahan menghubungi pegawai, jika ada masalah
Pelayanan Administrasi Kependudukan pada Kecamatan dalam pengurusan SITU dan HO Kecamatan Dramaga
Katapang dan Kecamatan Dramaga memiliki tingkat kesesuain pelayanan yang sedikit lebih
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007
94 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, Mei-Agust 2009, hlm. 87-95

Gambar 10. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut Pelayanan Gambar 12. Perbandingan Indeks Kinerja Atribut Pelayanan
Izin-Izin Usaha dan Izin Gangguan pada Kecamatan Katapang IMB pada Kecamatan Katapang dan Dramaga
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

Gambar 11. Perbandingan Tingkat Kesesuaian Atribut Gambar 13. Perbandingan Tingkat Kesesuaian Atribut
Pelayanan Izin-Izin Usaha dan Izin Gangguan Pelayanan IMB pada Kecamatan Katapang dan Dramaga

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007 Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2007

tinggi dibanding Kecamatan Katapang. pelayanan IMB, sebagian besar atribut pelayanan
Terdapat perbandingan kualitas izin mendirikan Kecamatan Katapang memiliki indeks kinerja yang lebih
bangunan di Kecamatan Katapang dan Kecamatan tinggi dibanding indeks kinerja Kecamatan Dramaga
Dramaga. Tabel 4 diatas juga menggambarkan (gambar 12). Hanya untuk atribut 2 yakni Kenyamanan,
perbandingan kinerja pelayanan dan tingkat kesesuaian kebersihan, dan kerapihan ruang pelayanan dan atribut
untuk seluruh atribut pelayanan izin mendirikan 17 yakni jaminan keamanan dalam pelayanan IMB
bangunan (IMB) pada Kecamatan Kecamatan Katapang (keamanan surat2/berkas), keamanan diruang tunggu
dan Kecamatan Dramaga. Sama seperti pada pelayanan indeks kinerja pelayanan IMB Kecamatan Dramaga lebih
administrasi kependudukan dan pelayanan izin-izin baik dari Kecamatan Katapang.
usaha izin gangguan, pada pelayanan izin mendirikan Mengenai kesesuaian pelayanan IMB, Kecamatan
bangunan pun secara umum kualitas pelayanan Katapang memiliki tingkat kesesuaian yang lebih baik
Kecamatan Katapang lebih baik dari Kecamatan Dramaga dari Kecamatan Dramaga (gambar 13). Hanya pada atribut
(tabel 6). Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata 1 yaitu Fasilitas dan keadaan fisik gedung kantor
indeks kinerja pelayanan IMB Kecamatan Katapang lebih Kecamatan, atribut yaitu kenyamanan, kebersihan, dan
tinggi (3.38) dari rata-rata indeks kinerja pelayanan IMB kerapihan ruang pelayanan dan atribut 15 yaitu
Kecamatan Dramaga (3.04) serta rata-rata tingkat mekanisme atau jalur pengaduan, jika pengguna layanan
kesesuaian pelayanan Kecamatan Katapang lebih tinggi mengalami masalah dalam pengurusan IMB Kecamatan
(78.80%) dibanding tingkat kesesuaian pelayanan Dramaga memiliki tingkat kesesuaian pelayanan IMB
Kecamatan Dramaga (71,13%). yang lebih baik dari Kecamatan Katapang. Untuk atribut-
Jika ditinjau dari indeks kinerja masing-masing atribut atribut lainnya tingkat kesesuaian pelayanan IMB
AFRIAL, KUALITAS PELAYANAN PUBLIK KECAMATAN 95

Kecamatan Katapang lebih baik dari Dramaga. ity: A Hierarchical Approach. Journal of Marketing, Vol. 65,
No. 3 (July).
Dwiyanto, Agus 2005. Mewujudkan Good Governance melalui
KESIMPULAN Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Hoessein, Bhenyamin. 2002. Kebijakan Desentralisasi. Jurnal
Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung memiliki Administrasi Negara Vol. I, No. 02, (Maret).
Jiang, James J., Gary Klein, L. Christopher. Carr. 2002. Measur-
kualitas pelayanan yang lebih baik dibanding Kecamatan ing Information System Service Quality: SERVQUAL from
Dramaga, Kabupaten Bogor. Seperti pendelegasian the Other Side. MIS Quarterly, Vol. 26, No. 2 (Juni).
kewenangan bupati kepada camat yang relatif berjalan Kinseng A. Rulius. 2008. Kecamatan di Era Otonomi Daerah:
Kekuasaan dan Wewenang serta Konflik Sosial.
lebih efektif di Kabupaten Bandung dibanding
Prasojo, Eko, Aditya Perdana dan Nor Hiqmah. 2006. Kinerja
Kabuputen Bogor. Komitmen kuat pemerintah Pelayanan Publik, Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja,
Kabupaten Bandung juga diperlihatkan meningkatkan Keterlibatan dan Partispasi Masyarakat dalam Pelayanan
produk hukum pendelegasian kewenangan bupati kepada Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Kependudukan ,
YAPPIKA. Jakarta.
camat dari Keputusan Bupati menjadi peraturan daerah.
Reed, Daryl. 2002. Corporate Governance Reforms in Develop-
Meski demikian, masih terdapat sejumlah catatan yang ing Countries. Journal of Business Ethics, Vol. 37, No. 3,
menandai bahwa kualitas pelayanan publik kecamatan, Corporate Governance Reforms in Developing Countries
setelah perubahan kedudukan dan fungsi kecamatan (May).
Ridwan, Irfan. 2005. Desentralisasi dan Instansi Vertikal: Catatan
sebagai perangkat daerah, masih belum optimal. Hal ini
Kritis UU No. 32 Tahun 2004. Jurnal Ilmu Administrasi dan
ditunjukkan oleh indeks kinerja seluruh dua puluh atribut Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume XII, Nomor 2 (Mei).
pada ketiga jenis pelayanan (pelayanan adminsitrasi Rosyidi, Unifah. 2007. Reformasi Administrasi Sub Nasional:
kependudukan, pelayanan izin usaha dan izin gangguan, Analisis Reformasi Pemerintahan Kecamatan Kota Bogor.
Disertasi, Program Pasca Sarjana Ilmu Adminsitrasi FISIP
dan pelayanan IMB) yang lebih rendah dari indeks
Universitas Indonesia.
kepentingan. Saragih, Ferdinand D. 2005. Menciptakan Pelayanan Publik yang
Prima Melalui Metode Benchmarking Prakts. Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.3
DAFTAR PUSTAKA (September).
Wasistiono, Sadu. 2005. Optimalisasi Peran dan Fungsi
Kecamatan, Modul Badan Diklat Depdagri-JICA.
Bahill, A.T. and B. Gissing.1998. Re-evaluating systems engi- Zaithaml, A. Vallerie, A Passuraman and Leonard L. Berry. 1990.
neering concepts using systems thinking, IEEE Transactions Delivering Quality Service: balancing Customer Perception
on Systems, Man and Cybernetics, Part C: Applications and and Expectation: Maxwell Macmillan, Canada.
Reviews, Vol. 28, No. 4 (November). Zauhar, Susil. 2001. Administrasi Pelayanan Publik: Sebuah
Brady, Michael K. Brady and J. Joseph Cronin Jr. 2001. Some Perbincangan Awal. Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1 No.
New Thoughts on Conceptualizing Perceived Service Qual- 2, (Maret).
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, MeiAgustus 2009, hlm. 96-104 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Perilaku Kepatuhan Wajib Pajak Badan


ERWIN HARINURDIN1*

1 Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Abstract. This research was carried out to research the behavior of the companys tax compliance especially the big
company that was registered in the Large Tax Ofce in Jakarta. The design of this research was the survey research
by using the instrument of the questionnaire. The data in the analysis by using Structural Equation Modeling (SEM)
with the LISREL program 8,54. This research found proof that was the same as the research beforehand Bradley
(1994), Bobek (2003), Lussier (200), Sihaan (2005) and Mustikasari (2007) those are (1) the Perception of the
control behavior have positive and signicant the professional intention to the tax compliance. (2) the professional
intention have inuential tax positive and signicant of the companys tax compliance, (3) the Perception of the
condition for the companys have positive and signicant of the companys tax compliance, (4) the Perception of
the companys facilities have positive and signicant the companys tax compliance, (5) the Perception of the
Climate Organization have positive and signicant of the companys tax compliance. Whereas the variable (6) the
perception of the control behavior have not signicant was directly of the companys tax compliance.

Keywords: perceived behavioral control, tax professional intention, companys tax compliance.

PENDAHULUAN mencapai sebesar 20%. Bahkan jika dibandingkan


dengan beberapa negara yang berpendapatan perkapita
Perpajakan merupakan salah satu instrumen kebijakan lebih rendah, tax ratio Indonesia masih dibawah Pa-
skal yang dinamis, penerapannya harus senantiasa kistan dan Srilangka yang memiliki tax ratio 13,76%
mengikuti dinamika perekonomian, baik domestik dan 19,8% (Gunadi, 2005).
maupun internasional (Rosdiana, 2006). Mengingat Dari gambaran sebelumnya, ada dua implikasi utama
adanya dua fungsi yang melekat pada pajak (budgetair berkaitan dengan rendahnya tax ratio. Pertama, pada satu
dan regulerend), maka dalam pemungutan pajak bukan sisi mencerminkan rendahnya kepatuhan pajak (tax com-
hanya ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan pliance) masyarakat sehingga jumlah pajak yang berhasil
momentum pertumbuhan ekonomi, juga menggenjot dikumpulkan masih relatif sedikit dibandingkan dengan basis
penerimaan negara. Oleh karena itu, setiap tahun Dirjen pajak (tax base) yang ada. Kedua, relatif rendahnya jumlah
Pajak dituntut untuk selalu meningkatkan penerimaan pajak yang dikumpulkan dibanding dengan basis pajak yang
dari sektor pajak sejalan dengan meningkatnya ada juga memberikan harapan untuk peningkatan peneriman
kebutuhan dana untuk pembangunan (Rahayu, 2007). pajak selanjutnya. Dengan kata lain, masih tersedia ruang bagi
Selama lebih dari dua dasawarsa terakhir, penerimaan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak (Gunadi,
dari sektor pajak di Indonesia mengalami tren yang 2005).
selalu meningkat. Hingga saat ini tidak kurang dari Menurut Simon (2003) seperti yang dikutip oleh
76% anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Gunadi (2005) pengertian kepatuhan pajak (tax com-
tahun 2008 dibiayai oleh penerimaan dari sektor pajak. pliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk
Sebagai sebuah kebijakan yang lebih memandang ke memenuhi kewajiban pajaknya. Pemenuhan kewajiban
dalam (inward looking policy), penerimaan dari sektor perpajakan tersebut harus sesuai dengan aturan yang
pajak diharapkan mampu mengurangi ketergantungan berlaku tanpa perlu ada pemeriksaan, investigasi sek-
pada utang luar negeri serta mampu membangkitkan sama (obtrusive investigation), peringatan, ancaman,
kembali kepercayaan diri bangsa Indonesia. Ini selaras dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.
dengan misi yang diemban oleh Direktorat Jenderal Kepatuhan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajak-
Pajak selaku otoritas pajak yang berkompeten di negeri kannya akan meningkatkan penerimaan negara dan pada
ini, yaitu menghimpun penerimaan negara dari sektor gilirannya akan meningkatkan besarnya rasio pajak
pajak guna menunjang kemandirian pembiayaan (Nurmantu, 2007).
APBN (Iswahyudi, 2005). Melayani wajib pajak berarti melakukan komuni-
Pada akhir tahun 2005, tax ratio atau rasio kasi dengan wajib pajak. Isi pesan yang disampaikan
penerimaan perpajakan terhadap Produk Domestik skus adalah tangibles terkait pada lingkungan layan-
Bruto di Indonesia sebesar 12,3% menurun dibandingkan an itu disampaikan; reability terkait pada kinerja dan
pada tahun 2003 yaitu 13,5%. Tax ratio Indonesia kepercayaan; responsiveness terkait dengan kemauan
masih di bawah angka rata-rata internasional yang untuk membantu langganan; courtesy terkait dengan
perilaku pihak yang melayani seperti kesopanan dan
*Korespondensi: +6281 8715 832; erwinh@ui.ac.id, erwinh@ui.edu keramah-tamahan; communication terkait pada ke-
HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN 97

Tabel 1. Penelitian Terdahulu Mengenai Pengaruh Persepsi Kontrol wajib pajak yang memenuhi semua kewajiban per-
Perilaku dan Niat Tax Professional terhadap Kepatuhan pajakan dan melaksanakan hak perpajakannya dalam
Peneliti Hasil bentuk formal dan kepatuhan material. Konsep ke-
Blanthorne (2000) Persepsi kontrol perilaku patuhan perpajakan di atas sesuai dengan pendapat
berpengaruh positif terhadap Yoingco (1997) yang menyebutkan tingkat kepatuhan
Niat perpajakan sukarela memiliki tiga aspek yaitu aspek
Bobek dan Hatfield Persepsi kontrol perilaku dan formal, material (honestly), dan pelaporan (reporting).
(2003) niat berpengaruh positif terhadap Penelitian terhadap kepatuhan pajak dapat menggunakan
kepatuhan indikator perilaku wajib pajak berdasarkan kerangka mo-
Mustikasari (2007) Persepsi kontrol perilaku del Theory of Planned Behavior (TPB) atau perilaku
berpengaruh negatif terhadap yang direncanakan. Teori tersebut digunakan untuk menje-
kepatuhan laskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Adapun pe-
Niat berpengaruh positif terhadap nelitian terhadap persepsi kontrol perilaku dan niat tax
kepatuhan professional dapat dilihat pada tabel 1.
Penelitian terdahulu mengenai pengaruh persepsi
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008
kontrol perilaku dan Niat Tax Professional terhadap
Tabel 2. Penelitian Terdahulu Mengenai Pengaruh Persepsi Kondisi kepatuhan (tabel 1) memperlihatkan bahwa sikap,
Keuangan, Persepsi Fasilitas Perusahan, dan Persepsi Iklim Organisasi norma subyektif, niat, dan persepsi kontrol perilaku
terhadap Kepatuhan
atau perilaku individu mempunyai pengaruh positif
Peneliti Hasil terhadap kepatuhan pajak. Perilaku yang dimunculkan
Reichers dan Iklim organisasi berpengaruh positif
oleh individu timbul karena adanya niat untuk ber-
Scheider (1990) terhadap kepatuhan
Slemrod (1992) Profitabilitas dan arus kas berpengaruh perilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku di-
terhadap kepatuhan tentukan oleh 3 faktor penentu, yaitu behavioral be-
Bradley (1994) Fasilitas perusahaan mempunyai liefs, normative beliefs, dan control beliefs. Secara ber-
pengarauh terhadap kepatuhan pajak urutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap dan niat
Vardi (2001) Iklim keorganisasian berpengaruh terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs
terhadap perilaku perusahaan menghasilkan tekanan soial yang dipersepsikan dan
Lussier (2005) iklim organisasi berpengaruh positif
terhadap kepatuhan control beliefs menghasilkan kontrol perilaku yang
Siahaan (2005) Perilaku Organisasi bepengaruh positif dipersepsikan (Ajzen, 2002)
terhadap kepatuhan Teori ini menggunakan tiga indikator dalam mengukur
kontrol keprilakuan, yaitu pertama, kemungkinan diperiksa
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008
oleh skus; kedua, kemungkinan dikenakan sanksi dan;
kemampuan menyampaikan pesan sehingga dapat ketiga, kemungkinan pelaporan pihak ketiga (Blathorne,
dipahami oleh pelanggan (Nurmantu, 2007). Berla- 2000, Bobek dan Harled, 2003, Mustikasari, 2003). Se-
kunya self assessment di Indonesia mempunyai dangkan, untuk menjelaskan variabel niat menggunakan
pe-ranan wajib pajak dalam menentukan penerimaan indikator kecenderungan dan memutuskan. Hasil penelitian
negara dari sektor pajak. Masalahnya, apakah kepa- tersebut dapat menunjukkan bahwa variabel kontrol perilaku
tuhan pajak sudah mendukung pelaksanaan sistem mempengaruhi secara positif dan signikan terhadap ni-
tersebut (Mansury, 2000). Sistem self assessment, at. Selanjutnya niat berpengaruh positif dan signikan
wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, terhadap kepatuhan pajak. Persepsi kontrol perilaku
membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang ter- mempunyai pengaruh yang positif dan signikan terhadap
hutang. Sistem self assesment diterapkan atas dasar kepatuhan pajak. Namun menurut hasil penelitian lain,
kepercayaan pihak otoritas pajak kepada wajib pajak persepsi kontrol perilaku mempunyai pengaruh yang
(Rahayu, 2007). Implikasi dari sistem ini adalah bahwa negatif dan signikan terhadap kepatuhan (Mustikasari,
instansi yang bertugas memungut pajak harus memiliki 2003).
kemampuan baik untuk mengadministrasikan pajak, Penelitian kepatuhan wajib pajak badan/perusahaan
serta wajib pajak harus diawasi oleh skus sehingga berdasarkan indikator perilaku organisasi/perusahaan,
dapat diketahui apakah kewajiban perpajakan telah yang menggunakan indikator kondisi keuangan, fasilitas
dijalankan dengan benar oleh wajib pajak. Dari data perusahaan dan iklim organisasi telah banyak dilakukan.
wajib pajak yang telah diadministrasikan akan terlihat Adapun daftar peneliti yang telah melakukan studi
apakah wajib pajak tersebut telah patuh atau belum terhadap kepatuhan pajak badan dapat dilihat pada tabel
(Brotodihardjo, 1998). 2.
Tax Compliance atau kepatuhan pajak diartikan Dari tabel 2, lebih lanjut Slemrod (1989) menjelaskan
sebagai kondisi ideal wajib pajak yang memenuhi pengaruh protability dan arus kas terhadap kepatuhan.
peraturan perpajakan serta melaporkan penghasilannya Perusahaan yang mempunyai protabilitas yang tinggi
secara akurat dan jujur. Dari kondisi ideal tersebut, cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur dari
kepatuhan pajak didenisikan sebagai suatu keadaan pada perusahaan yang mempunyai protabilitas ren-
98 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 96-104

X1_1
(Luissier, 2005). Indikator tersebut dapat digunakan
X1_2
Y1_1 dalam melihat perilaku perusahaan terhadap kepatuhan
H1 (+)
X1_3 pajak badan (Siahaan, 2005).
PERILAKU NIAT

X1_4
Lebih jauh lagi, terdapat bukti empiris bahwa fasilitas
Y1_2
perusahaan berpengaruh positif terhadap kepatuhan
X1_5
H2(+) wajib pajak badan dan bukti tersebut juga telah diteliti
H3 (+) Y2_1 lebih lanjut oleh Siahaan (2005) (Bradley, 2005). Ha-
X1_6

sil dari penelitian Siahaan juga memperkuat hasil pe-


Y2_2 nelitian Bradley terhadap fasilitas perusahaan.
X2_1
KEUANGAN Perlu ditumbuhkan terus menerus kesadaran dan
X2_2 Y2_3
kepatuhan masyarakat untuk mencapai target pajak.
H4 (+) Hal ini untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai
X3_1 Y2_4
dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat kesadaran
KEPATUHAN
X3_2 Fasilitas dan kepatuhan wajib pajak merupakan faktor penting
Y2_5

X3_3
bagi peningkatan penerimaan, maka perlu secara in-
Y2_6
tensif dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi ke-
H5 (+)
X4_1 patuhan pajak, khususnya wajib pajak badan.
H6 (+)
X4_2 Y2_7
Penelitian mengenai kepatuhan pajak sudah banyak
dilakukan. Bradley (1994), Siahaan (2005), dan Mus-
X4_3 Iklim_Or
Y2_8 tikasari (2007) melakukan penelitian kepatuhan wajib
X4_4 pajak badan dengan responden tax professional. Pe-
X4_5
nelitian tersebut bukan merupakan penelitian perilaku.
Tax professional adalah profesional di perusahaan
X4_6
yang ahli di bidang perpajakan. Oleh karena itu, untuk
Gambar 1. Gambar Model Penelitian dengan Predicted Sign menjelaskan perilaku wajib pajak badan yang diwakili
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008 oleh tax professional perlu menggunakan teori perilaku
individu dan perilaku organisasi. Perilaku kepatuhan
Blanthorne (2000),
(compliance) atau tidak patuh (noncompliance) wajib
Bobek & Hatfield
pajak sangat dipengaruhi oleh variabel persepsi kon-
PERILAKU NIAT trol perilaku (Blanthorne, 2000, Bobek, 2003). Ber-
dasarkan uraian tersebut, tujuan penelitian tentang
Blanthorne (2000),
kepatuhan wajib pajak badan adalah (1) mengetahui
Hanno & Violette (1996) pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat tax
Bobek & Hatfield
(203) Blanthore (2000) professional untuk berperilaku patuh, (2) mengetahui
KEUANGAN
Bobek (2003)
persepsi kontrol perilaku berpengaruh langsung ter-
hadap kepatuhan (3) mengetahui pengaruh niat tax
Slemrod
(1992),
professional terhadap kepatuhan, (4) mengetahui pe-
Fasilitas KEPATUHAN
ngaruh persepsi kondisi keuangan perusahaan ter-
hadap kepatuhan, (5) mengetahui pengaruh persepsi
Slemrod (1992) Reicher & Schneider
kondisi fasilitas perusahaan terhadap kepatuhan, dan (6)
Bradley (1994), (1990) mengetahui pengaruh persepsi kondisi iklim organisasi
terhadap kepatuhan
Iklim_Or Vardi (2001)

Gambar 2. Gambar Model Penelitian METODE PENELITIAN


Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008
Berdasarkan pemikiran dan tinjauan literatur serta
dah. Perusahaan dengan protabilitas rendah pada penelitian-penelitian sebelumnya, maka penelitian ini
umumnya mengalami kesulitan keuangan (nancial bertujuan untuk menguji hipotesis pengaruh perilaku
difculty) dan cenderung melakukan ketidakpatuhan tax profesional dan kondisi organisasi/perusahaan
pajak. Demikian pula, perusahaan yang mengalami terhadap kepatuhan pajak badan. Model yang diba-
kesulitan likuiditas ada kemungkinan tidak mematuhi ngun dalam studi ini melibatkan enam variabel laten,
peraturan perpajakan dalam rangka upaya untuk mem- yaitu persepsi kontrol perilaku untuk berperilaku pa-
pertahankan arus kasnya. tuh; persepsi kondisi keuangan; persepsi fasilitas pe-
Iklim keorganisasian yang sering digunakan dalam rusahaan; persepsi iklim organisasi; niat tax profes-
melihat perilaku perusahaan menggunakan tujuh di- sional dan; kepatuhan pajak badan. Berdasarkan hi-
mensi, yaitu struktur, kewajiban, imbalan, keakraban, potesis penelitian maka predicted sign dapat dilihat
dukungan, identitas organisasi dan loyalitas, dan risiko dalam gambar 1, sedangkan model penelitian dilihat
HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN 99

pada gambar 2. terlambat tidak lebih dari tiga masa pajak untuk setiap
Penelitian ini akan menguji hipotesis pengaruh jenis pajak dan tidak berturut-turut; (c) SPT Masa yang
perilaku individu dan kondisi organisasi atau per- terlambat sebagaimana dimaksud telah disampaikan
usahaan terhadap kepatuhan pajak badan. Penelitian tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa
ini merupakan penelitian empiris dengan mengguna- masa pajak berikutnya; (d) tidak mempunyai tung-
kan analisis untuk mendapatkan gambaran penga- gakan pajak untuk semua jenis pajak kecuali telah
ruh perilaku individu dan kondisi organisasi atau memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
perusahaan terhadap kepatuhan pajak badan. Pengujian pembayaran pajak dan tidak termasuk tunggakan pa-
dilakukan dengan menggunakan Structural Equation jak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk
Model (SEM) dengan perangkat lunak yang disebut dua masa pajak terakhir; dan (e) tidak pernah dijatuhi
Linear Structural Relationship (LISREL). Peneliti hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang
menggunakan SEM karena ada salah satu variabel laten perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun terakhir.
endogen yang berfungsi sebagai variabel dependen Pada penelitian ini, variabel perilaku yang diteliti
dan berfungsi juga sebagai variabel independen untuk menggunakan kerangka Theory of Planned Behavior
varaibel laten lainnya serta pengujiannya dilakukan (TPB), untuk menggali keyakinan-keyakinan perilaku
secara simultan dan bersamaan sehingga tidak bisa (behavioral beliefs), dan keyakinan-keyakinan kendali
menggunakan analisis multiple regresi. Selain itu, (control beliefs) responden, yang mendorong wajib
penggunaan SEM untuk menggambarkan model al- pajak berperilaku patuh dan tidak patuh.
ternatif dan menguji kecocokan model serta hipotesis Variabel teramati merupakan variabel yang dapat
model berdasarkan data sampel. diamati atau diukur secara empiris, sering pula disebut
Populasi penelitian ini adalah perusahaan besar sebagai indikator (Wijanto, 2006). Pada penelitian ini
yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Wajib setiap pertanyaan yang ada dalam kuesioner mewakili
Pajak Besar karena pada umumnya perusahaan besar sebuah variabel teramati. Semua jawaban atas butir-
memiliki sistem informasi akuntansi formal (Bouwens butir pertanyaan akan diukur dalam skala likert 7 point.
dan Abernethy, 2000; Siahaan, 2005) memungkinkan Penggunaan skala likert 7 points telah digunakan oleh
tax professional untuk menyusun pelaporan pajak Siahaan (2005) dan Mustika (2007).
badannya. Lokasi penelitian adalah kantor pajak per- Untuk melihat klasikasi variabel laten dan vari-
tama yang menerapkan administrasi perpajakan mo- abel indikator dalam penelitian ini dapat dilihat pa-
dern berdasarkan sistem teknologi informasi untuk pada tabel 3. Data yang terkumpul melalui daftar
meningkatkan pelayanan, kepatuhan, dan penerimaan kuesioner yang telah diisi oleh responden dianalisis
negara. menggunakan Structural Equation Modeling (SEM)
Data-data yang diperoleh dari survei lapangan dianalisis dengan alat aplikasi program yang disebut LISREL.
dengan menggunakan model Structural Equation Model- Model yang akan dianalisis dengan SEM harus me-
ing (SEM). Oleh karena itu, ukuran sampel yang miliki kerangka teori yang mendukungnya, yaitu teori
sesuai jika menggunakan teknik Maximum Likelihood tax compliance dengan pendekatan teori perilaku in-
Estimation dalam pemodelan ini antara 100150 sampel dividu dan teori perilaku organisasi. Kontrol kepe-
(Ferdinand, 2002). Teknik pengambilan sampel dila- rilakuan dalam kerangka konsep dan teori sudah di-
kukan dengan cara stratied random sampling yaitu paparkan memberikan pengaruh yang kuat dalam niat
pengambilan sampel perusahaan besar. Populasinya perilaku individu, sementara teori tax compliance yang
adalah seluruh wajib pajak badan kantor pelayanan menyatakan bahwa kepatuhan perpajakan dipengaruhi
pajak (KPP) Wajib Pajak Besar. Kuesioner dikirimkan oleh kontrol keperilakuan, niat, kondisi dan perilaku
ke perusahaan melalui Account Representative yang organisasi seperti struktur, rewards, punishment, tek-
terdapat di KPP tersebut untuk selanjutnya dikirimkan nologi informasi, perpustakaan.
kepada wajib pajak. Korelasi antarvariabel merupakan alat ukur yang
Responden yang dijadikan sasaran adalah ahli pajak utama dalam SEM dengan menggunakan faktor-faktor
atau staf pajak atau yang lebih dikenal dengan sebutan utama tipe skala pengukuran: rentang nilai (range of
tax professional yang bekerja pada perusahaan tersebut values) yang homogen, timpang atau kurtosis, linear,
dengan kriteria perusahaan telah terdaftar minimal dua jumlah sampel yang cukup (mewakili dan tepat),
tahun, dan pernah mengisi SPT. Persyaratan tersebut signikan, dan kuat (Schumacker dan Lomax, 1996).
dibuat agar sampel yang diambil dapat obyektif dalam Skala pengukuran yang digunakan dapat memakai
mengukur kepatuhan pajak. Adapun kriteria wajib skala nominal, ordinal, interval, atau rasio, akan tetapi
pajak patuh menurut Keputusan Menteri Keuangan tidak direkomendasikan untuk menggunakan skala
Nomor 235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003, adalah yang berbeda dalam matriks korelasi.
wajib pajak patuh yang memenuhi semua syarat se- Korelasi pe arson produc t -mome nt digunakan
bagai berikut. (a) Tepat waktu dalam menyampaikan sebagai dasar analisis regresi, path, analisis faktor, dan
surat pemberitahuan tahunan dalam dua tahun terakhir; structural equation modeling. Mengukur nilai variabel
(b) dalam tahun terakhir, penyampaian SPT Masa yang digunakan skala numerical (1-7 atau 1-9) sehingga
100 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 96-104

Tabel 3. Klasikasi Variabel Laten dan Variabel Indikator

No Variabel Variabel Indikator


1 Niat tax professional berperilaku 1. Kecenderungan pribadi untuk melakukan kepatuhan pajak
patuh (Y1) 2. Keputusan pribadi untuk melakukan kepatuhan pajak
2 Kepatuhan pajak badan (Y2) 1. Kepatuhan penyerahan SPT (filing compliance)
2. Kepatuhan pembayaran (payment compliance)
3. Kepatuhan pelaporan (reporting compliance)
3 Persepsi kontrol perilaku (X1) 1. Kemungkinan diperiksa pihak fiskus
2. Kemungkinan dikenai sanksi
3. Kemungkinan pelaporan oleh pihak ketiga
4 Persepsi tentang kondisi keuangan 1. Kondisi arus kas tahun terakhir
(X2) 2. Laba sebelum pajak tahun terakhir
5 Persepsi tentang fasilitas perusahaan 1. Kecukupan tax professional perusahaan
(X3) 2. Perpustakaan
3. Sistem informasi
6 Persepsi tentang Iklim Organisasi 1. Struktur
(X4) 2. Imbalan (reward) dan hukuman ( punishment)
3. Dukungan atasan
4. Dukungan sesama (keakraban)
4. Risiko
6. Kewajiban
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008

Tabel 4. Uji Kecocokan pada Beberapa Kriteria Goodness of Fit Index

Sumber: Hasil pengolahan data penelitian, 2008

mendapatkan pengukuran interval atau rasio (Schuma- nilai yang digunakan sebagai acuan dalam pengujian
cker dan Lomax, 1996). Skala pengukuran yang sama model secara keseluruhan. Pengujian kesesuaian ke-
akan sangat membantu dan memudahkan interpretasi seluruhan model berdasarkan daftar ukuran goodness
hasil dan perbandingan variabel. of t yang dikompilasi dari Hair dkk. (1995), Chin dan
Kerangka teori yang digunakan akan sangat menentukan Todd (1985), Doll, Xia, dan Tordadeh (1994), Joreskog
dalam menginterpretasikan korelasi antar variabel. Bisa saja dan Sorbon (1993), dan Byrne (1998) dalam Wijanto
didapatkan korelasi antar variabel yang kuat, akan tetapi (2006). Berdasarkan tabel 4 maka dapat disimpulkan
hubungan antar variabel tersebut tidak bermakna sama bahwa keseluruhan nilai memenuhi model t. Semua
sekali. Hubungan antar variabel yang digunakan sebagai variabel memenuhi kriteria dan derajat kesesuaian
dasar sebuah model berasal dari kerangka teori yang model pengukuran adalah baik (good-t). Jadi, dapat
jelas dan masuk akal, serta telah menjadi kesepakatan disimpulkan bahwa model isi secara keseluruhan me-
di antara pakar dalam disiplin ilmu tersebut. miliki kecocokan yang tinggi di antara semua variabel
Model yang akan diuji dalam penelitian ini adalah laten dan semua variabel teramati ( lihat tabel 4).
pengaruh persepsi kontrol perilaku, niat, kondisi keuangan, Kecocokan model dengan tingkat kecocokan
iklim organisasi, dan perilaku organisasi terhadap kepatuhan yang baik. Diperoleh nilai P-Value sebesar 0,08737
pajak. Pengujian model menggunakan structural equation yang berada di atas nilai minimal yang disyaratkan
modeling (SEM), yang akan mengestimasi model hubungan yaitu sebesar 0,050. Nilai P-Value ini mendukung
antara variabel independen terhadap variabel dependen. kecocokan, sementara itu kecocokan model ini juga
Prosedur SEM dilakukan dengan langkah-langkah didukung oleh nilai GFI yang disyaratkan mendekati
(1) spesikasi model; (2) identikasi; (3) estimasi; (4) 1. Nilai GFI diperoleh sebesar 0,96. Nilai RMSEA
uji kecocokan; dan (5) respesikasi (Bollen dan Long, sebesar 0.037 menunjukan model yang baik karena
tt; Wijanto, 2006). lebih kecil di 0,050. Nilai NNFI sebesar 0.96 (bernilai
lebih besar di 0.90) menunjukkan model baik (good
HASIL DAN PEMBAHASAN t). Semakin tinggi nilai NNFI atau nilainya mendekati
(1), maka semakin baik model. Berdasarkan pada
A. Structural Equation Modeling nilai-nilai koesien, maka dapat disimpulkan bahwa
Berdasarkan output analisis SEM diperoleh nilai- secara umum, model yang diperoleh memiliki tingkat
HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN 101

Gambar 3. Gambar T-Value dari Persamaan Model Struktural Gambar 4. Gambar Standarized Solution untuk Model Persamaan Struktural
Sumber: Hasil pengolahan penelitian dengan program Lisrel versi 8,54 Sumber: Hasil pengolahan penelitian dengan program Lisrel versi 8,54

kecocokan yang baik.


ditunjukkan oleh nilai signikansi P-value 0.184 lebih
B. Pengujian Jalur IndividualMeasurement Model besar dari alpha 0.05 dan lebih kecil nilai nilai T-Value
Setelah dilakukan pengujian secara keseluruhan, yaitu 1.33 dari pada T-tabel 1.96.
langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian se- Koesien jalur dan besaran pengaruh dari variabel
secara individual, yaitu untuk melihat apakah seluruh laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.14 (0.0196).
jalur yang dihipotesiskan memiliki tingkat signikansi Karena memiliki T-value yang lebih kecil dari T-tabel,
yang tinggi atau tidak. Untuk mengetahui apakah ma- maka nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang
sing-masing jalur memiliki tingkat signikansi yang diukur sertakan dalam model, variable persepsi kontrol
tinggi atau tidak dilakukan dengan melihat nilai t-hitung perilaku tidak memiliki pengaruh yang signikan
yang diperoleh. Sebuah jalur dikatakan signikan jika dalam pembentukan kepatuhan (compliance).
nilai t-hitung untuk jalur tersebut lebih besar dari Tidak sinikannya pengaruh langsung persepsi
1,96 (lihat gambar 3, berisikan nilai-nilai T-Value dan kontrol perilaku terhadap kepatuhan (compliance)
Standardized Solution untuk seluruh koesien jalur). dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian
Dari gambar 4 terlihat bahwa seluruh jalur dari yang disimpulkan sama oleh Bobek dan Hateld (2003)
model pengukuran memiliki nilai t-hitung yang lebih dan Blanthorne (2000). Variabel persepsi kontrol perilaku
besar dari 1,96 dan dapat disimpulkan bahwa seluruh bisa membuktikan bahwa persepsi kontrol perilaku
koesien jalur model pengukuran tersebut signikan. berpengaruh positif terhadap kepatuhan (Bobek dan
Rangkuman hasil P-values dan standarized solution Hateld, 2003, Blanthorne, 2000. Sedangkan peneliti
pada hasil output LISREL 8.54 dapat dilihat pada tabel lain membuktikan bahwa persepsi kontrol perilaku
4. berpengaruh negatif terhadap kepatuhan pajak badan
Dari gambar dan tabel sebelumnya terlihat bahwa (Mustikasari, 2007). Tidak signikannya hasil pene-
seluruh jalur yang dihipotesiskan memiliki t-hitung litian terhadap variabel persepsi kontrol perilaku mem-
lebih besar dari 1.96 dan p-value di bawah 0.05 se- pengaruhi kepatuhan berarti bahwa persepsi kontrol
hingga dapat disimpulkan bahwa seluruh koesien tax professional atas kontrol yang dimilikinya tidak
jalur tersebut signikan. mampu mendorong badan untuk berperilaku patuh.
Semakin rendah persepsi atas kontrol yang dimiliki
C. Pengujian Jalur Individual Structural Model tax professional, maka akan mendorong perilaku tidak
Untuk pengujian jalur individual masing-masing patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakan ba-
variabel dapat dilihat dari nilai T-Value masing-masing dan yang diwakilinya.
variabel. Nilai T-Value masing-masing variabel dapat Pengujian persepsi kontrol perilaku terhadap
dilihat pada tabel 5. niat tax professional menghasilkan variabel persepsi
Pengujian persepsi kontrol perilaku terhadap ke- kontrol perilaku signikan mempengaruhi niat un-
patuhan pajak menghasilkan variabel persepsi kontrol tuk berperilaku patuh. Ini ditunjukkan oleh nilai sig-
perilaku tidak signikan mempengaruhi kepatuhan. Ini nikansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 3.84 dan
102 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 96-104

Tabel 5. Faktor Muatan (Loading Factor) dan Nilai t Hasil nilai signikansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 2,99
Perhitungan
Faktor
dan nilai P-Value-nya sebesar 0.003 masih lebih kecil
Variabel Indikator T-Value P-Value
Muatan dari alpha 0.05.
Sikap WP Diperiksa 0.84 10.76 0,000 Koesien jalur dan besaran pengaruh dari variabel
Sikap WP Dikenai Sanksi 0.83 10.25 0,000
KONTROL Sikap WP Dilaporkan Pihak Ketiga 0.74 8.72 0,000 laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.116 (0.0256).
PERILAKU Sikap Perusahaan Diperiksa 0.86 10.64 0,000
Sikap Perusahaan Dikenai Sanksi 0.85 10.81 0,000 Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang di-
Sikap perusahaan Dilaporkan Pihak Ketiga 0.72 8.42 0,000
KONDISI Arus Kas 0.95 12.79 0,000 ukur sertakan dalam model, variabel niat memiliki
KEUANGAN Laba Sebelum Pajak 0.99 13.86 0,000
Jumlah Tax Profesional 0.87 11.06 0,000 pengaruh cukup besar dalam pembentukan kepatuhan.
KONDISI
FASILITAS
Perpustakaan
Sistem Informasi
0.89
0.88
11.33
11.11
0,000
0,000
Adanya pengaruh niat terhadap kepatuhan dalam
Wewenang 0.77 8.98 0,000 penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama oleh
Reward 0.76 8.91 0,000
KONDISI Bobek dan Hateld (2003) dan Hanno dan Violette
Dukungan dari atasan 0.85 10.54 0,000
IKLIM
Dukungan sesame rekan 0.73 8.40 0,000
ORGANISASI
Resiko pribadi 0.84 10.36 0,000 (1996). Keempat peneliti tersebut membuktikan bahwa
Resiko perusahaan 0.81 9.74 0,000
Cenderung 0.85 ------ -----
variabel niat berpengaruh positif terhadap kepatuhan
NIAT
Memutuskan
Denda SPT Masa
1.06
0.85
9.36
------
0,000
------
pajak badan. Niat yang diwakili oleh kecenderungan
Denda SPT Tahunan 0.91 12.89 0,000 dan keputusan berarti bahwa niat seseorang belum
Bunga Keterlambatan 0.77 9.75 0,000
KEPATUHAN
Bunga Kekurangan 0.87 11.92 0,000 tentu diwujudkan dalam perilakunya. Pengaruh teka-
Akuntan yang tdk masalah 0.85 10.67 0,000
Wajar Tanpa Pengecualian 0.87 12.08 0,000 nan orang sekitar (perceived social pressure) yang
Koreksi Fiskal 0.84 8.88 0,000
Tindak Pidana 0.85 11.31 0,000
kuat mempengaruhi niat tax professional untuk ber-
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel
perilaku patuh.
2003 Pengujian kondisi keuangan perusahaan menghasil-
Tabel 6. T-Value dan Signikansi kan variabel kepatuhan dipengaruhi secara signikan
oleh variabel kondisi keuangan. Ini ditunjukkan oleh
nilai signikansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 4.41
dan nilai P-Value-nya sebesar 0.000 masih lebih kecil
dari alpha 0.05.
Adanya pengaruh kondisi keuangan terhadap kepa-
tuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama
oleh Slemrod dan Watts Zimmerman (Siahaan, 2005)
dan Bradley (1994). Para peneliti tersebut membuktikan
bahwa variable kondisi keuangan berpengaruh positif
terhadap kepatuhan pajak badan.
Pengujian kondisi fasilitas perusahaan menghasilkan
variabel kepatuhan dipengaruhi secara signikan oleh
variabel fasilitas perusahaan. Ini ditunjukkan oleh nilai
signikansi yang lebih besar dari 1,96 yaitu 5.57 nilai
P-Value-nya sebesar 0.050 masih lebih kecil sama
dengan dari alpha 0.05.
Adanya pengaruh fasilitas perusahaan terhadap
kepatuhan dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel 2003
sama oleh Siahaan (2005) dan Bradley (1994). Para
P-Value-nya sebesar 0.000 masih lebih kecil dari alpha peneliti tersebut membuktikan bahwa variabel fasilitas
0.05 berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan.
Koesien jalur dan besaran pengaruh dari variabel Pengujian iklim organisasi menghasilkan variabel
laten terhadap kepatuhan adalah sebesar 0.41 (0.1681). kepatuhan dipengaruhi secara signikan oleh variabel
Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel yang di- iklim organisasi. Ini ditunjukkan oleh nilai signikansi
ikut sertakan dalam model, persepsi kontrol perilaku yang sama dari 1,96 yaitu 1.96 dan nilai P-Value-nya
memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan sebesar 0.000 masih lebih kecil dari alpha 0.05.
niat untuk berperilaku patuh. Adanya pengaruh iklim organisasi terhadap kepatuhan
Adanya pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap dalam penelitian ini ternyata juga disimpulkan sama
niat dalam penelitian ini ternayata juga disimpulkan oleh Vardi (2001) dan Lussier (2005). Para peneliti
sama oleh Bobek dan Hateld (2003) dan Hanno dan Violette tersebut membuktikan bahwa variabel iklim organisasi
(1996). Variabel persepsi kontrol prilaku berpengaruh positif berpengaruh positif terhadap kepatuhan pajak badan.
terhadap niat (Bobek dan Hateld, 2003, Hanno dan Violette, Nilai pengaruh dari persepsi kontrol perilaku
1996). terhadap niat dan persepsi kontrol perilaku, kondisi
Pengujian niat tax profesional terhadap kepatuhan keuangan perusahaan, kondisi fasilitas perusahaan,
pajak menghasilkan variabel kepatuhan dipengaruhi se- dan kondisi iklim perusahaan terhadap kepatuhan
cara signikan oleh variabel niat. Ini ditunjukkan oleh pajak badan hasil pengaruhnya secara keseluruhan
HARINURDIN, KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN 103

Tabel 7. Nilai Pengaruh Secara Keseluruhan kondisi fasilitas perusahaan mempunyai pengaruh posi-
tif yang signikan terhadap kepatuhan pajak. Karena
itu, jika tax professional berpersepsi bahwa fasilitas
yang disediakan perusahaan tinggi atau mencukupi,
maka kepatuhan pajak akan tinggi. Kelima, kondisi iklim
organisasi mempunyai pengaruh positif yang signikan
Sumber: Hasil pengolahan data penelitian dengan program Excel terhadap kepatuhan pajak sehingga jika persepsi ik-
2003 lim organisasi positif atau baik akan berpengaruh
ditampilkan pada tabel 6. terhadap tingginya kepatuhan pajak, Keenam, niat
Terlihat dari tabel 7 bahwa pengaruh total terhadap mempunyai pengaruh yang signikan terhadap kepa-
niat adalah sebesar 0,17, sedangkan terhadap kepatuhan tuhan pajak. Apabila tax professional memiliki niat
pajak badan adalah sebesar 0,75. Angka tersebut kepatuhan pajak tinggi, kepatuhan pajak badan yang
menunjukkan bahwa dari empat variabel laten yang dimilikinya tinggi begitu pula sebaliknya. Hal ini
diteliti, variabel kondisi keuangan perusahaan, fasilitas memperkuat pendapat Ajzen bahwa niat seseorang
perusahaan kondisi perusahaan, dan iklim perusahaan diwujudkan dalam perilakunya. Ketujuh, kesimpulan
mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tax terakhir berkenaan terhadap niat dan kepatuhan ialah
professional untuk patuh dalam menjalankan ke- apabila tax professional memiliki kontrol perilaku
wajiban perpajakan perusahaannya sedangkan variabel terhadap kepatuhan positif, niat kepatuhan pajaknya
persepsi control perilaku tidak dapat mendorong tinggi dan pengaruh lingkungan perusahaan yang kuat
tax professional untuk berperilaku patuh. Variabel mempengaruhi tax professional untuk berperilaku patuh
kontrol tax professional hanya berpengaruh cukup dalam menjalankan kewajiban perpajakan perusahaan
kecil terhadap niat untuk berperilaku patuh dalam yang diwakilinya.
melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan DAFTAR PUSTAKA
pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya
kontrol perilaku, niat, dan kondisi organisasi atau pe- Blanthorne, Cynthia M. 2000. The Role of Opportunity and Beliefs
rusahaan serta manfaat patuh terhadap peraturan per- On Tax Evasion: A Structural Equation Analysis. Dissertation.
pajakan bagi banyak pihak. Bagi organisasi atau peru- Arizona State University.
sahaan dapat memberikan gambaran mengenai kondi- Bobek, D dan Richard C. Hateld. 2003. An Investigation of Theory
si perusahaan sangat berpengaruh terhadap kepatuhan of Planned Behavior and the Role of Moral Obligation in Tax
pajak sehingga sangat penting untuk meningkatkan Compliance. Behavioral Research in Accounting.
kinerja kondisi perusahaan. Bagi tax profesional niat Bradley, Cassie Francies. 1994. An Empirical Investigation of Factor
untuk patuh sangat dipengaruhi oleh kontrol perilaku. Affecting Corporate Tax Compliance Behavior. Dissertation, The
Jadi, penting untuk mengetahui dan menjaga kontrol University of Alabama, USA.
perilaku berpengaruh positif terhadap niat untuk patuh Brown, Robert E. and Mazur Mark J. 2003. IRSs Comprehensive
terhadap pajak. Terakhir bagi pemerintah, kondisi Approach to Compliance Measurement. National Tax Journal.
pelayanan dan teknologi juga mempengaruhi wajib Vol. 56, Iss.: 3 (September).
pajak untuk bersikap patuh. Ferndinand, Augusty. 2002. Structural Equation Modelling Dalam
Penelitian Manajemen. Semarang: Badan Penerbit Universitas
KESIMPULAN Diponegoro.
Fishbein, M. and I Ajzen . 1975. Beleif, Attitude, Intention and
Beberapa kesimpulan dari hasil penelitian adalah Behavior: An Introduction to Theory and Research. Reading,
sebagai berikut. Pertama, persepsi kontrol perilaku MA: Addison-Wesley.
tidak signikan berpengaruh langsung pada kepatuhan Gunadi. 2002. Indonesian Taxation; A Reference Guide. Jakarta:
pajak. Perihal bahwa persepsi tax professional atas Multi Utama Publishing.
kontrol yang dimilikinya tidak sesuai dengan badan . 2005. Kebijakan Pemeriksaan Pajak Pasca Berlakunya
yang dilayaninya. Kedua, persepsi kontrol perilaku Undang Undang Perpajakan Baru, Berita Pajak.
mempunyai pengaruh positif yang signikan terhadap Hanno, D.M. dan G.R. Violette. 1996. An Analysis of Moral and
niat. Berarti semakin tinggi persepsi tax professional Social Inuences on Taxpayer Behavior. Behavioral Research in
atas kontrol yang dimilikinya akan mendorong ke- Accounting.
patuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Badan Husnan, Suad. 1998. Manajemen Keugan Teori dan Penerapan
yang dilayani. Ketiga, kondisi keuangan mempunyai (Keputusan jangka panjang). Buku 1, Edisi 4, Yogyakarta:
pengaruh positif yang signikan terhadap Kepatuhan BPFE.
Pajak. Jadi, jika tax professional mempunyai persepsi Icek, Ajzen., dan Fishbein, M. 1980. Understanding Attitudes and
bahwa kondisi keuangan perusahaan baik, maka Predicting Social Behavior. Prentice-Hall, Englewood Scliffs,
akan mendorong kepatuhan menjalankan kewajiban NJ.
perpajakan perusahaan yang diwakilinya. Keempat, Icek, Ajzen. 1988. Attitudes, Personality, dan Behavior. Dorsey
104 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 96-104

Press, Chicago. Climate and Culture. San Francisco: Jossey-Bass.


Icek, Ajzen. 2005. Attitudes, Personality and Behavior,. (2nd edition), Riyanto, Bambang. 1991. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan,
Berkshire, UK: Open University Press-McGraw Hill Education Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada.
_____. 2002. Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and Schumacker, Randall E dan Ricard G Lomax. 1996. A Beginners
Methodological Considerations. (September ). Guideto Structural Equation Modeling. Lawrence Erlbaum
_____. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Associates. New Jersey.
Behavior and Human Decision Processes. Siahaan, Fadjar O.P. 2005. Faktor-Faktor yang Memepengaruhi
Iswahyudi. 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Perilaku Kepatuhan Tax Professional dalam Pelaporan Pajak
Pajak, Berita Pajak . Jakarta Badan pada Perusahaan Industri Manufaktur di Surabaya.
Kiryanto. 1999. Pengaruh Penerapan Struktur Pengendaliuan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Tidak
Intern Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam Dipublikasikan.
Memenuhi Pajak Penghasilannya. Makalah dalam Simposium Slemrod, J. 1989. Complexity, Compliance Cost, and Tax Evasion.
Nasional Akuntansi II. An Agenda for Compliance Research, Vol. 2. Philadelphia:
Koeswara, E. 1989. Motivasi, Teori dan Penelitiannya. Bandung: University of Pensylvania Press.
Penerbit Angkasa. Turner Mark and David Hulme. 1997. Governance, Administration
Lussier, Robert N. 2005. Human Relations In Organization, Irwin, and Development : Making the State Work. London: Macmilan
USA. Press Ltd.
Mustikasari Elia. 2007. Kajian Empriris Tentang Kepatuhan Wajib Vardi, N. 2001. Deviant Workplace Behavior and the Organizations
pajak Badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya. Ethical Climate, Journal of Business and Psychology, Springer
Simposium Nasional Akuntansi X, Universitas Hasanudin Netherlands.
Makassar. Violette, G. 1989. Effect of Communication Sanctions on Taxpayer
Nurmantu, Safri. 2007. Faktor- Faktor yang mempengaruhi Compliance. The Journal of American Taxation Association
Pelayanan Perpajakan. Jurnal Ilmu Adminstrasi dan Organisasi, (Fall).
Bisnis & Birokrasi, Vol.15, No.1 (Januari). Wijanto, Setyo Hari. 2006. Catatan Kuliah : Structural Equation
Rahayu, Ning. 2007. Kebijakan Baru Direktorat Jenderal Pajak Modeling dengan Lisrel 8.7. FE UI Pascasarjana Ilmu
Dalam Pengajuan Restitusi PPN dan Perencanaan Pajak untuk Manajemen. Jakarta.
Menghadapinya. Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Yoingco, Angel Q. 1977. Taxation in the Asia Pasicif Region : A
Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No.1 (Januari). Salute to the years of RegionalCooperation in Tax Administration
Reichers, A.E. dan Schneider, B. 1990. Climate and Culture: An and research. Dalam studi Group in Asian Tax Administrtion &
Evolution of Constructs. In B. Schneider (Ed.) Organizational Research.Manila.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, MeiAgustus 2009, hlm. 105-115 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Politik Ekonomi UU Perbankan Syariah


Peluang dan Tantangan
Regulasi Industri Perbankan Syariah

YUSUF WIBISONO1*

1Pusat Ekonomi Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Abstract. Building an effective legal and regulatory framework for Islamic banking is imperative. Initiative to
enact Islamic banking laws in Indonesia can be regarded in this respect. The objective of this paper is to examine
the critical issues in Islamic banking laws. This paper examines and highlights the main features of Islamic banking
laws. It is suggested that the main goal of the laws are to enhance Shari compliance and promoting stability
of the system. Despite the progress achieved through this approach, it is recommended that Islamic banking
development needs more efforts and initiatives. This paper also attempts to provide an analysis of future direction
in the development of Islamic banking industry in Indonesia.

Keywords: regulation and business law, islamic banks

PENDAHULUAN bangan perbankan syariah hampir selalu berasosiasi


dengan minimnya regulasi yang mendukung. Bank
Perkembangan perbankan syariah yang telah men- syariah pertama di Kuwait, Kuwait Finance House,
dapat momentum sejak 1970-an, secara umum meng- berdiri pada 1977. Namun hingga kini, Kuwait baru
ambil dua pola. Pertama, mendirikan bank syariah memiliki dua bank syariah dan dua puluh sembilan
berdampingan dengan bank konvensional (dual ban- perusahaan investasi syariah. Minimnya jumlah bank
king system) seperti kasus di Mesir, Malaysia, Arab syariah di Kuwait dikarenakan regulasi yang dibu-
Saudi, Yordania, Kuwait, Bahrain, Bangladesh, dan tuhkan baru dikeluarkan pada tahun 2003, yaitu UU
Indonesia. Kedua, merestrukturisasi sistem perbankan Nomor 30 Tahun 2003, sebagai tambahan terhadap
secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam (full Bab 3 UU Nomor 32 Tahun 1968. Praktek perbankan
fledged Islamic financial system) seperti kasus Sudan, syariah di Indonesia baru dimulai pada tahun 1992
Iran, dan Pakistan. Peranan regulasi menjadi titik kritis dan stagnan selama hampir 7 tahun sesudahnya, dika-
terpenting dalam kedua kasus tersebut. Seluruh inisiasi renakan oleh minimnya dukungan regulasi.
awal perbankan syariah dimulai dengan dukungan Perkembangan pesat perbankan syariah di Indonesia
regulasi yang memadai.1 saat ini juga tidak bisa dilepaskan dari dukungan re-
Di Iran, bank syariah beroperasi setelah UU Per- gulasi. Kehadiran bank syariah pertama, Bank Mua-
bankan Bebas-Bunga disahkan pada Agustus 1983 dan malat Indonesia, pada 1992, terjadi berkat dukungan
berlaku pada Maret 1984. Faisal Islamic Bank of Sudan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Per-
mulai beroperasi sejak 1978 dengan dekrit khusus kembangan perbankan syariah secara pesat sejak 1999
dan seluruh sistem perbankan Sudan di-Islamisasi juga merupakan hasil dari dukungan regulasi yang
pada September 1984. Bank Islam Malaysia Berhad memadai yaitu UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang
beroperasi pada Juli 1983 setelah disahkannya UU perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 dan UU Nomor
Perbankan Islam Nomor 276 pada Maret 1983. Jordan 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian
Islamic Bank for Finance and Investment berdiri pada diperkuat oleh UU Nomor 3 Tahun 2004.
1978 berdasarkan UU Sementara Khusus Nomor 13 Terhitung sejak 17 Juni 2008, industri perbankan
yang kemudian diperkuat oleh UU Permanen Nomor syariah Indonesia secara resmi memasuki era baru.
62 pada 1985. RUU Perbankan Syariah yang telah masuk ke DPR
Kemajuan perkembangan industri perbankan sya- sejak pertengahan 2005 sebagai RUU inisiatif DPR,
riah selalu dapat ditelusuri dari dukungan regulasi yang telah disahkan sehingga Indonesia kini resmi memiliki
diperolehnya. Dan sebaliknya, lambannya perkem- regulasi perbankan syariah yaitu UU Nomor 21 Tahun

*
Korespondensi: +62815972 7904; yusuf.wibisono@ui.edu, yusuf.wibisono@ui.ac.id
1
Sebagian besar negara di dunia mengadopsi common law atau civil law sehingga kerangka hukum mereka tidak mendukung perkembangan
perbankan syariah yang memiliki karakteristik unik. Sebagai misal, aktivitas utama perbankan syariah adalah jual beli (murabahah) dan
penyertaan modal (musyarakah dan mudharabah). Namun hukum dan regulasi perbankan pada umumnya justru melarang bank komersial
untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut. Lihat Habib Ahmed and Tariqullah Khan, Risk Management in Islamic Banking, in M. Kabbir
Hasan and Mervyn K. Lewis (Eds.). Handbook of Islamic Banking. Cheltenham: Edward Elgar, 2007, hal. 146.
106 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 105-115

2008 tentang Perbankan Syariah. bank sentral juga mendapat kewenangan untuk me-
UU PS sebagai regulasi terhadap perbankan syariah, lakukan pengelolaan moneter berbasis syariah. Tugas
memiliki banyak argumentasi. Rasionalitas utama ada- pokok tersebut mempertegas bahwa BI berkewajiban
lah pertimbangan sistemik, kegagalan sebuah bank mengembangkan bank syariah dengan menyusun
akan berimplikasi luas pada stabilitas sistem keuangan ketentuan dan menyiapkan infrastruktur yang sesuai
dan perekonomi secara keseluruhan. UU PS juga men- dengan karakteristik bank syariah.
jadi penting untuk melindungi konsumen/nasabah. Dukungan undang-undang inilah yang kemudian
Bank harus menjaga risiko dengan bersikap rasional melahirkan Biro Perbankan Syariah di BI pada tahun
dan hati-hati dalam keputusan investasi, menghindari 2001 yang kemudian pada tahun 2004 ditingkatkan
mis-manajemen, dan tidak mengambil tindakan yang statusnya menjadi Direktorat Perbankan Syariah.
berisiko tinggi. Berbekal otoritas ini pula, BI memperkenalkan ins-
UU PS juga diharapkan dapat menjamin kepatuhan trumen moneter syariah pertama yaitu Sertifikat Wa-
perbankan syariah terhadap prinsip-prinsip syariah da- diah BI (SWBI) di tahun 1999. Di tahun 2000, BI
lam operasionalnya. Dan terakhir, UU PS ini diharapkan bergerak maju dengan memperkenalkan Pasar Uang
dapat memuluskan langkah perbankan syariah nasional Antar-bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS). Peran
di pasar antarbank internasional. Perbankan syariah BI ini semakin diperkuat dalam UU Nomor 3 Tahun
nasional dituntut untuk menerapkan standar regulasi 2004 tentang perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999.
perbankan internasional untuk berkiprah di tingkat Di tahun 2002, BI memperbaiki aturan tentang
internasional. unit usaha syariah melalui PBI Nomor 4/1/PBI Tahun
Namun regulasi yang terlalu ketat dan komprehensif, 2002 yang mengatur tentang: [1] konversi bank
dapat menjadi bumerang. Regulasi yang berlebihan da- konvensional menjadi bank syariah; [2] konversi
pat meningkatkan biaya kepatuhan serta menghambat cabang konvensional menjadi cabang syariah; [3]
inovasi dan kreativitas. Trade-off antara stabilitas dan konversi kantor kas konvensional menjadi cabang
efisiensi harus mendapat perhatian yang memadai. Hal ini syariah; [4] pembukaan sub-cabang syariah di cabang
mengingat bahwa industri perbankan syariah masih kecil konvensional; dan [5] pembukaan unit syariah di ca-
dan sangat membutuhkan pertumbuhan yang signifikan. bang konvensional.
Di bulan Maret 2006, BI meluncurkan kebijakan
PEMBAHASAN syariah office channeling (layanan syariah) melalui
PBI Nomor 8/3/PBI Tahun 2006, yaitu mekanisme
A. Kerangka Regulasi Perbankan Syariah kerjasama penghimpunan dana antara kantor cabang
Indonesia syariah sebagai bank induk dengan kantor cabang
Jejak rekam regulasi terhadap perbankan syariah konvensional bank yang sama. Ketentuan ini kemu-
nasional selama ini sudah positif. Tonggak sejarah dian disempurnakan melalui PBI Nomor 9/7/PBI Ta-
penting dari kerangka regulasi perbankan syariah di- hun 2007, ketentuan pembukaan office channeling
mulai pada tahun 1990 dengan diselenggarakannya diperlonggar dan fungsinya diperluas dimana semula
simposium MUI yang menyepakati pendirian bank hanya menghimpun dana menjadi dapat melakukan
syariah di Indonesia. Simposium MUI ini mendorong pembiayaan dan pelayanan jasa keuangan. Ketentuan
lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan office channeling ini secara efektif memperluas ja-
yang memperkenalkan bank bagi hasil. Dengan ringan pelayanan dan menaikkan aset perbankan sya-
aturan pelaksana PP Nomor 72 Tahun 1992 tentang riah. Sampai dengan bulan Desember 2008, jumlah
Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, maka lahirlah jaringan office channeling lebih dari 1.400 outlet
bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Mua- dengan dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun
malat Indonesia di tahun 1992. telah menembus Rp1 triliun.
Eksperimen dual banking system di Indonesia Melalui berbagai dukungan regulasi inilah, industri
berpuncak di tahun 1998 dengan lahirnya UU Nomor perbankan syariah tumbuh pesat. Di tahun 1992, hanya
10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun terdapat 1 bank umum syariah (BUS) yaitu Bank Mua-
1992 yang mengizinkan perbankan konvensional un- malat Indonesia dan 9 BPR Syariah (BPRS). Di tahun
tuk membuka unit usaha syariah. Regulasi baru ini 1999, berdiri BUS kedua yaitu Bank Syariah Mandiri
memicu ekspansi industri perbankan syariah nasional dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang pertama yaitu
secara signifikan setelah mengalami stagnasi selama UUS Bank IFI, dan jumlah BPRS melonjak mencapai
lebih dari 7 tahun dan sekaligus secara resmi menandai 78. Di tahun 2004, berdiri BUS ketiga yaitu Bank
penerimaan Bank Indonesia terhadap eksistensi bank Syariah Mega Indonesia dan jumlah UUS dan BPRS
syariah dalam dual banking system. melonjak berturut-turut menjadi 15 dan 86.
UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Dan kini, per Desember 2008, terdapat 5 BUS, 27
(BI) menegaskan tanggung jawab bank sentral atas UUS, dan 131 BPRS dengan total jaringan kantor
regulasi dan supervisi sistem perbankan nasional ter- BUS, UUS, dan BPRS mencapai 951 kantor. Pada
masuk bank syariah dan BPR syariah. Melalui UU ini, November 2008 berdiri BUS keempat yaitu Bank
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 107

Syariah BRI dan pada Desember 2008 berdiri BUS Secara umum, kerangka regulasi untuk perbankan
kelima yaitu Bank Syariah Bukopin. Per Desember adalah penting untuk memberi lingkungan yang baik
2008, aset perbankan syariah telah mencapai Rp 49,55 untuk pertumbuhan dan pengembangan industri serta
trilyun. Per November 2008, aset perbankan syariah stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan. Hal
ini telah mencapai 2,05% dari total aset perbankan ini sangat relevan untuk perbankan syariah dimana
nasional, sedangkan aset BPRS mencapai 4,8% dari terdapat beragam jenis investasi yang rumit dan ha-
total aset BPR nasional. rus mematuhi ketentuan syariah dan dengan inovasi
Selain UU tentang Perbankan dan Bank Sentral, yang terus berlanjut beserta implikasi risiko yang
terdapat beberapa perundang-undangan yang terkait terkandung didalamnya. Ketersediaan regulasi yang
industri perbankan syariah antara lain UU Nomor 38 sesuai akan berkontribusi pada perbaikan pembinaan
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU Nomor 41 dan pengawasan, peningkatan efektivitas kebijakan
Tahun 2004 tentang Wakaf, UU Nomor 24 Tahun 2004 moneter dan kredit, serta stabilitas dan jaring pe-
tentang Lembaga Penjamin Simpanan, UU Nomor 3 ngaman sistem.
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 40 Kerangka regulasi untuk perbankan syariah harus
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 19 mengakomodasi karakter dasar perbankan syariah
Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, dengan pada saat yang sama mengatur isu-isu yang
UU tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia umum bagi semua lembaga intermediasi keuangan
serta beberapa regulasi yang sedang dipersiapkan seperti manajemen kontrak, kepailitan, jaminan, dan
seperti RUU Pembiayaan (leasing), RUU Jaring Pe- pemulihan aset. Regulasi perbankan syariah juga
ngaman Sektor Keuangan, dan RUU PPN. harus memberi definisi yang tegas tentang lembaga
bank syariah sejalan dengan persyaratan perizinan,
B. Rasionalitas Undang-Undang Perbankan Syariah permodalan, cakupan aktivitas, dan hubungannya de-
Rasionalitas utama dari regulasi terhadap perbankan ngan otoritas regulator. Regulasi perbankan syariah
adalah alasan sistemik, begitupun halnya dengan juga harus mampu mengidentifikasi, menilai, dan
perbankan syariah. Regulasi terhadap perbankan sya- mengelola risiko yang inheren di dalam aktivitas per-
riah sangat dibutuhkan sebagaimana halnya terhadap bankan syariah.
perbankan konvensional untuk beberapa alasan (Er- Regulasi untuk perbankan syariah adalah tantangan bagi
rico dan Farahbaskh,1998; Chapra dan Khan, 2000): otoritas agar dapat memahami dan menyeimbangkan
[1] risiko kebangkrutan perbankan syariah tidak bisa antara pengawasan yang efektif dan memfasilitasi in-
diabaikan, terutama ketika operasi bank dijalankan dustri untuk pertumbuhan dan pengembangan lebih
ber-dasarkan skema two-tier mudharabah dimana si- lanjut. Pada saat yang sama, regulasi adalah keperluan
si aset dan kewajiban dari neraca bank secara penuh industri untuk level playing field, infrastruktur yang
diintegrasikan3; [2] risiko kerugian ekonomi sebagai efektif, berfungsi-nya pasar dan penetrasi ke pasar
hasil dari buruknya keputusan investasi, yang bisa global. Regulasi untuk perbankan syariah adalah
dikarenakan oleh kombinasi berbagai faktor seperti tantangan bagi otoritas agar dapat memahami dan
lingkungan usaha yang rentan, lemahnya tata kelola menyeimbangkan antara pengawasan yang efektif
internal dan rendahnya disiplin pasar; [3] bank yang dan memfasilitasi industri untuk pertumbuhan dan
lemah akan menurunkan kinerja makroekonomi se- pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama,
perti efisiensi sistem pembayaran dan efektivitas ke- regulasi adalah keperluan industri untuk level playing
bijakan moneter khususnya kebijakan yang diimple- field, infrastruktur yang efektif, berfungsinya pasar
mentasikan melalui instrumen tidak langsung, serta dan penetrasi ke pasar global4.
dapat menurunkan tingkat kepercayaan publik ter- Peranan pemerintah dan otoritas pengawasan bu-
hadap sistem finansial secara keseluruhan; dan [4] kanlah untuk mendikte industri atau memaksakan aturan,
sistem perbankan yang lemah akan menghalangi per- namun untuk memfasilitasi pengembangan perbankan
ekonomian untuk mendapat manfaat dari globalisasi syariah dengan menciptakan lingkungan usaha yang
dan liberalisasi pasar finansial domestik. kompetitif dan sehat. Tujuan dari setiap usaha regulasi
3
Secara teoritis, terdapat dua jenis sistem operasi perbankan syariah: [i] Two-tier mudharabah: di sisi kewajiban, dana masuk dengan kontrak
mudharabah, dan di sisi aset, bank menyalurkan dana juga dengan kontrak mudharabah. Sebagai tambahan, bank juga diizinkan menerima
demand deposits yang tidak menerima return dan bank berhak mengenakan biaya. Dengan skema ini, tidak ada reserve requirement yang
dibutuhkan; [ii] two windows: sisi kewajiban bank terbagi dua jenis yaitu rekening giro dan rekening investasi. Dengan skema ini, 100%
reserve requirement diterapkan untuk demand deposit, dan tidak ada reserve requirement untuk rekening investasi. Namun dalam prakteknya
hal ini sulit dilakukan. IFSB (Islamic Financial Services Board) menetapkan ketentuan kecukupan modal untuk perbankan syariah adalah 8%
dari total modal.
4
Meski demikian, perbankan syariah masih tetap menghadapi legal risk terutama lintas wilayah yurisdiksi yang berasal dari interaksi antara
hukum komersial dan syariah. Jika terdapat konflik antara ke-duanya, terdapat peluang bagi pihak yang mengalami gagal bayar untuk
menghindari tanggungjawab dengan cara tidak patuh terhadap syariah. Hal ini terjadi di pengadilan Inggris antara Shamil Bank of Bahrain
E.C. dan Beximco Pharmaceuticals Ltd and Others. Lihat Yusuf Talal DeLorenzo and Michael J.T. McMillen. Law and Islamic Finance: An
Interactive Analysis, in Simon Archer and Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds.). Islamic Finance: The Regulatory Challenge. Singapore: John
108 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 105-115

adalah untuk mempertahankan kepercayaan terhadap sesuai syariah sehingga mendorong terciptanya
sistem perbankan secara keseluruhan, melindungi perekonomian yang sehat dan kuat. Keberadaan
konsumen, dan mendorong kesadaran publik. UU Perbankan Syariah diharapkan tidak hanya
Regulasi juga harus memberi kerangka untuk sekedar mempercepat perkembangan syariah sebagai
kebijakan, standar, kontrol, dan instrumen pengawasan alternatif, namun lebih dari itu menjadikan perbankan
yang baik dan efektif, sesuai dengan syariah dan syariah sebagai solusi bagi perekonomian yang kuat
standar internasional.5 Kerangka pengawasan bank dan dinamis7.
konvensional dapat dijadikan benchmark, dalam hal Regulasi terhadap perbankan syariah di Indonesia
ini, seperti ketentuan tentang kecukupan modal, pe- harus memperhatikan beberapa hal krusial. Pertama,
ngelolaan likuiditas, tata kelola perusahaan, trans- regulasi harus mampu mendukung kegiatan
paransi, disclosure, disiplin pasar, manajemen risiko, dan operasional perbankan syariah yang sehat dan sesuai
perlindungan konsumen. Kontribusi benchmarking sendiri dapat dengan karakteristik operasionalnya. Kedua, regulasi
dimanifestasikan melalui pengkajian ulang secara harus mampu mendorong perkembangan bank syariah
fundamental kualitas pelayanan menurut standar nilai di masa depan. Regulasi harus mendukung terciptanya
terbaik (Saragih, 2006). Terkait hal ini, kerangka re- iklim yang kondusif untuk masuknya para pemain baru,
gulasi yang ditujukan pada perbankan konvensional termasuk pemain asing dan bank-bank konvensional
sering dijadikan rujukan seperti kerangka regulasi dari yang sudah memiliki jaringan operasional yang luas
Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)6. atau mendorong aliansi strategis antara bank syariah
Sebagai bagian integral dari proses regulasi, per- dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya guna
bankan syariah adalah pengembangan infrastruktur mencapai skala ekonomis operasional.
pasar keuangan syariah untuk menjamin keberlanjutan Ketiga, regulasi harus mampu memberi landasan
dan berfungsinya perbankan syariah. Fokus dari usaha dan menjawab ketiadaan institusi-institusi pendukung
ini adalah dengan membangun instrumen syariah yang diperlukan bagi industri perbankan syariah,
yang efektif untuk memfasilitasi pengelolaan dana Dewan Syariah Nasional, Badan Arbitrase Syariah
perbankan syariah di pasar modal. Keberadaan industri Nasional, auditor syariah, lembaga penjamin sim-
penunjang, seperti perusahaan sekuritas dan asuransi, panan dan pembiayaan syariah, peradilan syariah,
juga penting untuk mendukung pengembangan per- serta pusat informasi dan data keuangan syariah.
bankan syariah. Institusi pendukung yang lengkap, efektif, dan efisien
Pada kasus Indonesia, kehadiran UU Perbankan berperan penting untuk memastikan stabilitas dan
Syariah akan menjadi legitimasi paling akurat untuk pengembangan perbankan syariah secara keseluruhan.
berjalannya praktik perbankan syariah. Selain itu,
kehadiran UU Perbankan Syariah juga akan menjadi C. Pokok-Pokok Pikiran UU Perbankan Syariah
daya dorong kepada pemerintah pusat dan daerah serta Pembahasan RUU PS membutuhkan waktu yang
pihak-pihak lain untuk melaksanakan sistem ekonomi panjang, terhitung sejak digulirkan pada tahun 2000,
dan perbankan syariah. Tanpa undang-undang, masuk ke parlemen pada 2005, dan disahkan pada 17
sosialisasi dan pengembangan perbankan syariah Juni 2008. Namun yang menarik, pembahasan intensif
dinilai akan kurang efektif. RUU PS dengan pemerintah sendiri berlangsung dalam
Kehadiran UU Perbankan Syariah di Indonesia waktu yang tidak terlalu lama, bahkan pembahasan
seharusnya tidak hanya sebagai kekuatan akselerator intensif hanya dilakukan pada bulan-bulan terakhir
bagi industri perbankan syariah yang sedang tumbuh menjelang 17 Juni 2008.
cepat, namun juga sebagai kekuatan transformatif bagi Dari naskah RUU PS April 2008, RUU PS usu-
industri perbankan nasional secara keseluruhan agar lan DPR terdiri dari 15 bab dan 75 pasal. Secara
lebih berorientasi kepada sektor riil dan beroperasi umum, pokok-pokok pikiran RUU PS ini dapat di-

5
Perbankan syariah menghadapi resiko sebagaimana perbankan konvensional sehingga juga membutuhkan pengawasan yang efektif untuk
menjamin stabilitas sistem secara keseluruhan. Perbankan syariah menghadapi credit risk lebih besar terkait masalah adverse selection, moral
hazard dan costly state verification. Begitupun halnya dengan liquidity risk terkait cash flow yang lebih tidak terprediksi dan keterbatasan
instrumen keuangan untuk menutup defisit. Namun perbankan syariah menghadapi inflation risk dan market risk yang lebih rendah karena pada
instrumen bagi hasil melekat fungsi indeksasi penuh secara otomatis. Lihat Tarsidin dan Perry Warjiyo. Perbankan Syariah dan Perbankan
Berdasarkan Bunga: Manakah yang Lebih Optimal?, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2006.
6
BCBS pada 2004 mengeluarkan dokumen berjudul International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards: A Revised
Framework, dokumen yang dikenal sebagai Basel II, menggantikan Basel I yang dikeluarkan pada 1988. Struktur Basel II terdiri dari tiga
pilar, yaitu: (i) ketentuan modal minimum, dengan pendekatan baru terhadap resiko kredit dan resiko operasional; (ii) proses tinjauan
pengawasan, dari sudut pandang regulator untuk mempromosikan stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan; dan (iii) disiplin pasar;
menguraikan ketentuan pengungkapan publik (disclosure) minimum terkait resiko dan manajemen resiko.
7
Secara teoritis, perbankan syariah dengan sistem bagi hasil memiliki dua karakter utama yaitu cost of fund bank selalu lebih kecil daripada
pendapatan operasionalnya dan risk sharing antara nasabah penyimpan dana dan bank terkait resiko aktivitas pembiayaan bank. Dua hal ini
sangat penting untuk optimalitas fungsi intermediasi perbankan dan stabilitas sistem keuangan.
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 109

Tabel 1. Komparasi Struktur RUU Perbankan Syariah

Sumber: Naskah DIM RUU Perbankan Syariah, April 2008.

Tabel 2. Struktur UU Perbankan Syariah

BAB I: KETENTUAN UMUM


BAB II: ASAS, TUJUAN DAN FUNGSI
BAB III: PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR DAN KEPEMILIKAN
Bagian Pertama: Perizinan
Bagian Kedua: Bentuk Badan Hukum
Bagian Ketiga: Anggaran Dasar
Bagian Keempat: Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah
BAB IV: JENIS, KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA DAN LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS
Bagian Pertama: Jenis dan Kegiatan Usaha
Bagian Kedua: Kelayakan Penyaluran Dana
Bagian Ketiga: Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS
BAB V: PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS, DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI, DAN TENAGA
KERJA ASING
Bagian Pertama: Pemegang Saham Pengendali
Bagian Kedua: Dewan Komisaris dan Direksi
Bagian Ketiga: Dewan Pengawas Syariah
Bagian Keempat: Penggunaan Tenaga Kerja Asing
BAB VI: TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH
Bagian Pertama: Tata Kelola Perbankan Syariah
Bagian Kedua: Prinsip Kehati-hatian
Bagian Ketiga: Kewajiban Pengelolaan Risiko
BAB VII: RAHASIA BANK
Bagian Pertama: Cakupan Rahasia Bank
Bagian Kedua: Pengecualian Rahasia Bank
BAB VIII: PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama: Pengaturan dan Pengawasan
Bagian Kedua: Tindak Lanjut Pengawasan
BAB IX: PENYELESAIAN SENGKETA
BAB X: SANKSI ADMINISTRATIF
BAB XI: KETENTUAN PIDANA
BAB XII: KETENTUAN PERALIHAN
BAB XIII: KETENTUAN PENUTUP

Sumber: UU Perbankan Syariah, 17 Juni 2008.


110 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 105-115

pilah ke dalam empat kelompok besar: [1] regulasi ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, pe-
terhadap operasional perbankan syariah yang khas nyaluran dana, larangan bagi bank syariah dan UUS,
seperti jenis dan kegiatan usaha yang sesuai dengan kerahasiaan bank, serta penyelesaian sengketa.
prinsip-prinsip syariah; [2] regulasi terhadap infra- Kedua, menjamin kepatuhan syariah (shariah compliance).
struktur yang dibutuhkan perbankan syariah, seperti Hal ini terlihat dari ketentuan kegiatan usaha yang tidak
pembentukan komite perbankan syariah; [3] regulasi boleh bertentangan dengan prinsip syariah, penegasan
terhadap perbankan syariah sebagai bagian dari sis- kewenangan fatwa syariah oleh MUI, kewajiban pem-
tem perbankan dan keuangan nasional seperti ke- bentukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap
tentuan perizinan, pemegang saham pengendali, dan bank syariah dan UUS, serta pembentukan Komite Pe-
kerahasiaan bank; dan [4] regulasi terhadap tata kelola ngawas Syariah di Bank Indonesia (BI).
dan disiplin pasar perbankan syariah. Ketiga, menjamin stabilitas sistem. Hal ini ter-
Naskah RUU PS April 2008 usulan pemerintah lihat dari diadopsi-nya 25 Basel Core Principles for
cukup jauh berbeda dengan naskah usulan DPR. Effective Banking Supervision seperti ketentuan ten-
Beberapa perubahan penting yang terlihat dari naskah tang pendirian dan kepemilikan, pemegang saham
RUU PS usulan pemerintah adalah [1] penghapusan bab pengendali, tata kelola, prinsip kehati-hatian, kewa-
VI tentang Komite Perbankan Syariah; [2] perubahan jiban pengelolaan risiko serta pembinaan dan pe-
di bab IV tentang ketentuan pelaksanaan prinsip ngawasan.8 Semangat stabilitas sistem ini semakin
syariah dengan masuknya DSN MUI menggantikan terlihat jelas dengan adanya ketentuan tentang sanksi
Komite Perbankan Syariah; [3] penghapusan Dewan administratif dan ketentuan pidana.
Pengawas Syariah di bab V bagian kedua dan men- Beberapa aspek penting lain dalam UU PS nampak
jadikannya di bagian baru dengan ketentuan lebih sudah berada pada arah yang tepat antara lain, [1]
ringkas; [4] penghapusan komisaris yang melakukan ketentuan bahwa bank konvensional dapat dikonversi
pengawasan terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip syariah; menjadi bank syariah dan larangan bank syariah dan
[5] penambahan ketentuan tata kelola yang baik (good BPRS dikonversi menjadi bank konvensional atau
governance) dan prinsip akuntansi syariah pada bab BPR; [2] mengizinkan kepemilikan asing secara ke-
VII; [6] penghapusan bab X tentang jaring pengaman mitraan dengan investor domestik; [3] mendorong
sistem perbankan syariah; [7] penghapusan bab XI spin-off UUS menjadi BUS secara smooth yaitu ketika
tentang kewenangan dalam penyidikan tindak pidana aset UUS telah mencapai 50% dari induknya atau
di bidang perbankan; dan [8] penambahan satu bab 15 tahun setelah berlakunya UU PS; [4] saat terjadi
tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah. merger atau konsolidasi bank syariah dengan bank
Selain itu, terdapat berbagai perubahan lainnya dari lain, maka bank hasil merger atau konsolidasi harus
naskah usulan DPR baik teknis maupun substantif menjadi bank syariah; [5] dana zakat dan sosial yang
yang tersebar di berbagai tempat. dihimpun perbankan syariah harus disalurkan ke or-
ganisasi pengelola zakat; [6] bank syariah dapat meng-
Dengan demikian, naskah RUU PS usulan peme-
himpun wakaf uang; [7] penegasan dan landasan yang
rintah secara umum lebih ramping dibandingkan nas-
kuat untuk BPR Syariah; dan [8] kewajiban tata ke-
kah usulan DPR yaitu terdiri dari 13 bab dan 68 pasal
lola yang baik dan penyampaian laporan keuangan
(lihat tabel 1).
berdasarkan prinsip akuntansi syariah.
Yang menarik, UU PS yang disahkan sangat mirip
Melihat kecenderungan tersebut, UU PS akan me-
dengan RUU PS usulan pemerintah, baik dari sisi
miliki dampak positif terhadap aspek kepatuhan sya-
struktur maupun substansi (lihat tabel 2). Dengan kata
riah, iklim investasi dan kepastian usaha, serta per-
lain, walau UU PS adalah UU inisiatif DPR, dan telah
lindungan konsumen, dan stabilitas sektor perbankan
masuk secara resmi di DPR sejak pertengahan 2005,
secara keseluruhan. Dari sisi supply, hal ini langsung
namun pemerintah ternyata jauh lebih dominan dalam
bisa dirasakan dampaknya oleh industri dengan ren-
pembahasan RUU yang ternyata berlangsung relatif
cana berdirinya sejumlah BUS dan UUS baru, ter-
lancar dan singkat.
masuk asing. Dari sisi demand, dibutuhkan waktu
Secara umum, substansi ketentuan dalam UU PS
lebih panjang untuk melihat dampak UU PS ini seiring
memiliki beberapa tujuan utama. Pertama, menjamin
proses sosialisasi.
kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus
memberi keyakinan bagi masyarakat untuk menggu- D. Evaluasi UU Perbankan Syariah
nakan produk dan jasa perbankan syariah. Hal ini Hasil evaluasi UU Perbankan Syariah menunjukkan
terlihat dari ketentuan-ketentuan tentang jenis usaha, terdapat beberapa masalah substantif ekonomi dan

8
BCBS dalam dokumen berjudul Core Principles for Effective Banking Supervision (1997) menetapkan 25 prinsip-prinsip dasar yang
dibutuhkan untuk sistem pengawasan perbankan yang efektif, yaitu: pra-kondisi untuk pengawasan yang efektif (prinsip 1), perizinan dan
struktur (prinsip 2-5), regulasi dan persyaratan kehati-hatian (prinsip 6-15), metode pengawasan perbankan yang berkelanjutan (prinsip 16-
20), persyaratan pengungkapan informasi (prinsip 21), otoritas pengawasan formal (prinsip 22), dan cross-border banking (prinsip 23-25).
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 111

beberapa masalah yuridis-formal. Pada dasarnya age- mite Perbankan Syariah di BI tetap ada namun dengan
nda terpenting industri perbankan syariah saat ini kewenangan untuk menterjemahkan fatwa MUI ke da-
adalah peningkatan daya tarik dan daya saing untuk lam regulasi BI.
membesarkan dirinya. Daya tarik dan daya saing per- Di sisi lain, telah terdapat arah positif untuk pe-
bankan syariah akan meningkat jika setidaknya empat ngembangan jaringan perbankan syariah yaitu dengan
hal terpenuhi yaitu: [1] ukuran (size) perbankan syariah penegasan ketentuan UUS, ketentuan bank syariah
yang cukup besar sehingga dapat efisien dan kompetitif; tidak dapat dikonversi menjadi bank konvensional,
[2] variasi produk-produk perbankan syariah yang be- memfasilitasi spin-off UUS menjadi BUS, dan pe-
ragam sesuai kebutuhan bisnis dan masyarakat; [3] negasan kewenangan BI terkait perizinan pembukaan
terdapatnya jaringan perbankan syariah yang luas; dan kantor cabang.
[4] adanya pasar modal dan pasar uang syariah yang
Di saat yang sama, pengembangan pasar modal sya-
memiliki produk dan instrumen keuangan syariah yang
riah ke depan diprediksi akan semakin baik dan ce-
beragam, kompetitif dan likuid.
pat pasca dikeluarkannya UU Nomor 19 Tahun 2008
Sudahkah UU PS bergerak ke arah sana? Dari pem-
tentang SBSN pada 9 April 2008 yang lalu. Sementara
bahasan sebelumnya terlihat bahwa semangat utama
itu, pasar uang syariah semakin kompetitif dengan
UU PS adalah semangat kepatuhan syariah (shariah
hadirnya SBI syariah yang memiliki fitur hampir sa-
compliance) dan stabilitas sistem. Tidak ada yang salah
ma dengan SBI konvensional. SBI syariah terbit ber-
dengan kecenderungan ini. Menjamin terpenuhinya
dasarkan PBI Nomor 10/11/PBI Tahun 2008 pada 31
prinsip-prinsip syariah dan prinsip-prinsip kesehatan
Maret 2008, menggantikan SWBI yang memiliki imbal
bank syariah jelas merupakan hal positif.
hasil jauh lebih rendah dari SBI konvensional. Namun
Permasalahannya adalah UU PS ini sangat minim
ke depan, SBI syariah ini sebenarnya tidak diperlukan
insentif untuk pengembangan dan peningkatan daya
karena kini, seiring dengan kehadiran UU Surat
saing perbankan syariah. Belum terlihat upaya serius
Berharga Syariah Negara, telah ada sukuk pemerintah.
untuk membesarkan size perbankan syariah dalam UU
Instrumen moneter syariah secara bertahap harus
PS ini. Aturan kepemilikan asing di industri perbank-
diarahkan sepenuhnya pada sukuk pemerintah untuk
an syariah nasional sudah diakomodasi namun belum
menggantikan SBI syariah.
memberi insentif yang memadai. Insentif yang mema-
dai bagi bank konvensional yang ingin konversi men- Selain beberapa masalah substantif-ekonomi, UU
jadi BUS atau spin-off UUS menjadi BUS, juga belum PS juga masih menyimpan sejumlah masalah yuridis-
mendapat perhatian. formal. Pertama, terkait ketentuan tentang penye-
Namun memang harus diakui bahwa banyak inisiatif lesaian sengketa perbankan syariah. Pada Bab IX UU
yang dibutuhkan untuk membesarkan size perbankan PS tercantum bahwa penyelesaian sengketa perbankan
syariah, berada di luar cakupan UU PS ini seperti netralitas syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
pajak untuk transaksi keuangan syariah, insentif pajak peradilan agama, namun dimungkinkan penyelesaian
untuk investor syariah, dan instrumen syariah utang dilakukan di pengadilan umum sepanjang sesuai isi
pemerintah untuk pengembangan pasar modal syariah. Akad. Ketentuan ini merupakan hasil kompromi
Sementara itu, aturan yang ekstensif tentang ke- dari rancangan awal dimana penyelesaian sengketa
giatan usaha dan akad syariah yang digunakan, dikha- dilakukan oleh pengadilan umum. Secara yuridis, ke-
watirkan akan memasung inovasi dan kreatifitas per- tentuan kompromi ini tetap bermasalah karena secara
bankan syariah. Di tengah kebutuhan yang tinggi jelas bertabrakan dengan ketentuan yang telah ada di
untuk produk perbankan syariah yang lebih variatif UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama
dan beragam untuk memenuhi kebutuhan bisnis dan dimana peradilan agama berwenang secara penuh
masyarakat, tidak seharusnya perbankan syariah ter- untuk menerima dan menyelesaikan sengketa ekonomi
pasung oleh ketentuan yang tidak perlu. syariah.
Seharusnya yang lebih dibutuhkan disini adalah ketegasan Ketentuan ini juga konflik dengan UU Nomor
tentang kewenangan DSN untuk product development 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
dan shariah approval. DSN seharusnya diperkuat telah memberi legitimasi kompetensi absolut peradilan
dengan kewenangan dan sumberdaya untuk melakukan agama sebagai peradilan yang berwenang menangani
riset dan pengembangan, tidak hanya pasif menerima perkara-perkara dalam ranah hukum Islam, termasuk
permintaan fatwa dari industri. didalamnya ekonomi syariah. Secara metodologis, ma-
Wacana DSN dilebur ke dalam Komite Perbankan suknya aturan penyelesaian sengketa dalam UU PS
Syariah dan berada di bawah BI (usulan DPR) yang merupakan hal tidak lazim dan berpotensi menyalahi
menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya identitas UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pe-
dan independensi DSN, akhirnya dihilangkan, namun raturan Perundang-undangan. Penyelesaian sengketa
memiliki rasionalitas kuat terkait eratnya kaitan antara masuk dalam ranah kekuasaan kehakiman, bukan ra-
fatwa dan regulasi yang berada dibawah otoritas BI. nah bisnis sehingga seharusnya tidak masuk dalam UU
Hal ini kemudian diselesaikan dengan kompromi bah- PS ini.
wa kedudukan DSN dan MUI dikukuhkan dan Ko- Pengalaman negara-negara lain tentang penyele-
112 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 105-115

saian sengketa perbankan syariah menunjukkan ke- tumbuh dan berkembang. Namun kita membutuhkan
simpulan yang ambigu. Di Malaysia, penyelesaian lebih banyak lagi dukungan regulasi yang progresif,
sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan visioner, dan berbasis pasar. Hal ini menjadi semakin
umum. Sedangkan di Qatar, sebelum sistem kehakiman krusial mengingat persaingan global yang semakin
digabung pada Oktober 2004, sengketa perbankan sengit. Berbagai negara telah jauh melangkah mem-
syariah diselesaikan oleh pengadilan syariah. beri dukungan regulasi untuk mengembangkan per-
Kedua, terkait ketentuan kepemilikan asing dalam bankan syariah dan untuk menjadi pusat keuangan
sektor perbankan syariah. UU PS menetapkan bahwa syariah global. Salah satu yang paling progresif dan
BUS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh pihak ambisius adalah Malaysia.
asing secara kemitraan dengan investor domestik. Sebagai misal, untuk pengembangan pasar su-
Sedangkan maksimum kepemilikan asing di BUS di- kuk-nya, Malaysia melibatkan berbagai inisiatif yang
tetapkan oleh BI. Ketentuan ini berpotensi konflik luas dan ekstensif seperti memfasilitasi proses pener-
dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman bitan yang efisien, mendorong proses penetapan har-
Modal yang menetapkan kebebasan berusaha di semua ga, menciptakan benchmark yield, memperluas basis
bidang untuk penanaman modal, baik dalam negeri investor, mempromosikan likuiditas di pasar sekun-
maupun asing. Bidang usaha yang tertutup atau terbuka der, dan memperkuat kerangka hukum, regulasi dan
dengan persyaratan diatur oleh pemerintah melalui syariah. Inisiatif-inisiatif ini juga didukung dengan
Perpres. Perpres Nomor 77 Tahun 2007 sebagai pe- pembangunan infrastruktur finansial yang luas ter-
raturan pelaksana UU Nomor 25 Tahun 2007 yang ber- masuk sistem settlement dan sistem informasi sukuk.
laku selama 3 tahun, telah menetapkan bahwa mak- Untuk menjadikan Malaysia sebagai pusat sukuk
simum kepemilikan asing di sektor perbankan syariah global, sejumlah langkah liberalisasi pasar dilakukan
adalah 99%. untuk mendorong masuknya perusahaan asing guna
Ketiga, tidak terselesaikannya permasalahan hu- menjadikan Malaysia sebagai pusat sukuk global. Hal
kum lembaga keuangan mikro syariah (LKMS). LKMS itu dilakukan untuk menghimpun dana di pasar sukuk
direpresentasikan oleh BPRS, koperasi (KSP, USP, Malaysia dana yang dihimpun dapat digunakan untuk
KJKS, UJKS) syariah, dan BMT. BPRS diakomodasi membiayai investasi di wilayah yurisdiksi lain. Pada
dalam UU PS ini dan kini memiliki dasar hukum yang tahun 2006, sukuk berdenominasi mata uang asing di-
kuat, namun yang lain tidak terakomodasi. Koperasi izinkan diterbitkan di pasar sukuk Malaysia. Pemerin-
syariah belum diakomodasi dalam UU Koperasi dis- tah Malaysia juga memberikan dukungan berupa ne-
amping koperasi itu sendiri bukan merupakan bentuk tralitas pajak untuk mengakomodasi penerbitan sukuk
badan hukum yang ideal untuk LKMS, sedangkan serta pembebasan pajak untuk pendapatan dari sekuri-
BMT sama sekali tidak memiliki payung hukum (infor- tas syariah yang diterbitkan di Malaysia.
mal). Akibatnya, sebagian besar BMT memilih badan Sektor perbankan syariah Malaysia diliberalisasi
hukum koperasi. Ketiadaan regulasi yang memadai pada tahun 2004 dengan penerbitan izin untuk institusi
membuat LKMS informal memiliki banyak kelemahan keuangan Islam asing untuk mendorong keterkaitan
sebagaimana halnya LKM konvensional yaitu high- sektor finansial domestik dengan global. Kepemilikan
risk bagi nasabah deposan, high-cost bagi nasabah pe- asing di institusi keuangan Islam dinaikkan hingga
minjam dan tingkat kesehatan usaha yang rendah. 49% dari total saham. Izin baru juga diperluas untuk
Arah kebijakan ke depan, harus ada dukungan perusahaan yang menjalankan bisnis perbankan sya-
regulasi yang memadai untuk mendorong perkem- riah, takaful, dan retakaful dalam mata uang inter-
bangan LKMS dengan mengakomodasi eksistensi nasional untuk institusi ini kepemilikan asing di-
dan segala karakter yang melekat padanya. Langkah perbolehkan hingga 100%. Keleluasaan operasional
terbaik adalah mengatur LKMS dalam UU terpisah dengan mendirikan kantor cabang atau pembantu, dan
mengingat sifat dasar dan karakteristiknya yang ber- fasilitas tax holiday selama 10 tahun berdasarkan UU
beda dari perbankan syariah. Namun dalam UU PS Pajak Pendapatan Malaysia.
seharusnya ada inisiatif untuk mendorong kemajuan Inisiatif yang paling dibutuhkan perbankan syariah
LKMS, terutama BMT dan koperasi syariah, melalui kini untuk kasus Indonesia adalah upaya atau insentif
insentif bagi BUS/UUS untuk akuisisi LKMS dan dan keberpihakan untuk membesarkan size dan ja-
menjadikannya sebagai unit mikro dari BUS/UUS. Hal ringan perbankan syariah dalam rangka mencapai
ini secara efektif akan mendorong kemajuan LKMS critical mass. Perbankan syariah dengan tercaainya
dengan menghapus permasalahan kesenjangan antara critical mass akan mencapai efisiensi dan menaikkan
besarnya pembiayaan dengan terbatasnya sumber pen- daya saingnya terhadap perbankan konvensional. Ji-
danaan dan meningkatkan tata kelola LKMS. ka hal ini tercapai, maka perbankan syariah dapat
menjadi mainstream, tidak lagi sekadar alternatif.
E. Dukungan yang Diharapkan Hal yang paling mendasar adalah adanya perlakuan
Secara umum, UU PS telah memuat banyak hal yang adil dan non-diskriminatif terhadap perbankan
penting yang dibutuhkan perbankan syariah untuk syariah seperti penghapusan pajak ganda untuk transaksi
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 113

murabahah yang hingga kini masih harus menunggu Hal yang sangat ironis ketika pertumbuhan industri
pembahasan RUU PPn. Perbankan syariah juga tidak dipacu namun ketersediaan SDM sangat minim karena
semestinya secara dini dihadapkan pada persaingan memang tidak pernah dipersiapkan. Kecenderungan
dengan pemerintah di pasar penghimpunan dana ini sangat berbahaya karena perbankan syariah adalah
syariah ritel khususnya melalui sukuk ritel. Sukuk industri yang tidak semata market-driven namun juga
pemerintah semestinya lebih ditujukan untuk investor shariah-driven.
besar dan luar negeri. DSN seharusnya diperkuat dengan sumber daya un-
Selain itu, perbankan syariah membutuhkan ke- tuk riset dan pengembangan. Di saat yang sama, kita
berpihakan yang nyata seperti pelibatan perbankan membutuhkan pendirian institusi setingkat universitas
syariah dalam pengelolaan dana (cash management) sebagai pusat pendidikan keuangan dan perbankan
baik pemerintah pusat maupun daerah. Katakan se- syariah. Perkembangan industri akan berkelanjutan de-
tidaknya 15-20%, pengguliran dana pengembangan ngan keberadaan pusat riset dan pendidikan karena di-
ekonomi kerakyatan dengan skim syariah melalui topang oleh SDM yang mumpuni dan paham syariah.
bank syariah, menunjuk bank syariah sebagai bank
penghimpun setoran penerima negara (BPSPN), dan F. Mengembalikan Paradigma Asli Perbankan
bahkan mengkonversi bank BUMN/BUMD konven- Syariah
sional menjadi bank syariah. Pengalaman terkini di berbagai negara, termasuk
Liberalisasi perbankan syariah domestik oleh Per- Indonesia, menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan
pres Nomor 77 Tahun 2007 telah berada di arah yang yang lebar antara paradigma asli dengan praktek nya-
tepat dilihat dari aspek pengembangan size perbankan ta perbankan syariah, antara lain: [1] seluruh dana na-
syariah. Namun, harus ada upaya agar proses ma- sabah secara implisit dan eksplisit dijamin, termasuk
suknya pemain asing ini selalu melibatkan mitra do- dana di rekening investasi; [2] prinsip-prinsip bagi
mestik sebagai mitra strategis yang sejajar dan dengan hasil belum diterapkan secara ketat; [3] pembiayaan
cara mendirikan bank syariah baru atau membeli bank bank didominasi oleh pembiayaan non bagi hasil; dan
konvensional yang telah ada dan mengkonversinya [4] diskresi yang luas dalam ketentuan jaminan, ter-
menjadi bank syariah, bukan dengan membeli bank masuk dalam pembiayaan bagi hasil.
syariah yang telah ada. BI diharapkan mampu mem- Secara umum terlihat bahwa perbankan syariah,
beri arahan kebijakan yang tepat disini. alih-alih semakin menuju sistem bagi hasil, kini justru
Perbankan syariah juga membutuhkan penegasan semakin bersandar pada sistem debt-like financing
dalam UU PS ini terkait kewajiban transaksi-transaksi seperti murabahah dan ijarah. Sejumlah faktor ber-
yang terkait syariat Islam dan bernilai ibadah agar kontribusi dalam pergeseran perbankan syariah dari
dilakukan secara eksklusif hanya oleh perbankan sya- paradigma aslinya ini, antara lain: [1] kerangka re-
riah, seperti kewajiban setoran haji melalui perban- gulasi dan institusional yang tidak kondusif bagi pe-
kan syariah dan hanya menunjuk bank syariah se- ngembangan perbankan syariah, terutama bagi adopsi
bagai bank penerima setoran haji, serta kewajiban sistem bagi-hasil; [2] pembiayaan bagi-hasil memiliki
pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq, dan sadaqah risiko yang jauh lebih tinggi dan sebaliknya pembiayaan
melalui perbankan syariah. Sebagai contoh, UU No- non bagi-hasil lebih rendah risiko-nya dan lebih mudah
mor 13 Tahun 2008 masih memberi toleransi untuk dikelola; [3] nasabah penyimpan dana telah lama ter-
bank konvensional sebagai bank penerima setoran biasa dengan pola risk-free deposits dari perbankan
dana haji sepanjang memiliki unit usaha syariah. Se- konvensional sehingga tidak siap berbagi kerugian;
lain itu, perlu ada sosialisasi, dorongan, dan insentif dan [4] pada dual banking system, perbankan syariah
untuk pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga harus bersaing juga dengan perbankan konvensional
pendidikan Islam, ormas Islam, dan lembaga-lembaga dimana seluruh dana pihak ketiga dijamin.9
Islam lainnya melalui perbankan syariah. Secara teknis, untuk masuk ke pembiayaan bagi
Selain itu, mendorong pengembangan industri hasil, diperlukan banyak persyaratan yang harus di-
perbankan syariah seharusnya juga diikuti secara si- penuhi perbankan syariah untuk meminimalisir moral
multan dengan pengembangan SDM dan riset. Di sini hazard, menekan risiko pembiayaan, dan sekaligus
hampir tidak ada perhatian sama sekali dari regulator. menghindari masalah mismatch dana, antara lain: [1]

9
Di ranah teori perbankan konvensional, kini muncul proposal bailing-in banks dimana pemegang saham bank dimungkinkan menanggung
kerugian dari kredit. Ketika modal bank tidak mencukupi untuk menutup kerugian yang besar, maka implikasinya bank dimungkinkan gagal
sehingga penyimpan dana juga akan menanggung kerugian ketika jaminan penuh tidak tersedia dari lembaga penjamin simpanan. Lihat Chapra
and Khan. Op. Cit., hal. 8-9.
10
Lihat Shamim Ahmad Siddiqui. An Evaluation of Research on Monetary Policy and Stability of the Islamic Economic System, in the
Proceedings of the 7th International Conference on Islamic Economics, Jeddah, April 1-3, 2008, hal. 235-270.
11
Untuk kajian yang mendalam tentang dukungan regulasi yang dibutuhkan untuk mendorong pembiayaan bagi hasil dan menekan pembiayaan
debt-like financing di Indonesia, lihat Ascarya dan Diana Yumanita. Mencari Solusi Rendahnya Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah
Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 2005.
114 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 105-115

kemampuan memahami bisnis mudharib dan cara mass. Perbankan syariah dengan tercapainya critical
mengawasinya; [2] transparansi usaha mudharib; [3] mass akan mencapai efisiensi dan menaikkan daya
perlindungan hukum yang kuat ketika terjadi dispute; saingnya terhadap perbankan konvensional. Jika hal
[4] ketersediaan data rate of return dari setiap sektor ini tercapai, maka perbankan syariah dapat menjadi
usaha untuk penetapan rasio bagi hasil yang fair dan mainstream, tidak lagi sekadar alternatif.
sekaligus untuk menghindari penggunaan suku bunga Hal yang paling mendasar adalah adanya perlakuan
sebagai benchmarking; dan [5] ketersediaan dana jangka yang adil dan non-diskriminatif terhadap perbankan
panjang yang siap untuk berbagi risiko dalam investasi syariah seperti penghapusan pajak ganda untuk tran-
di sektor riil. saksi murabahah yang hingga kini masih harus me-
Kita membutuhkan dukungan regulasi dalam jang- nunggu pembahasan RUU PPN. Perbankan syariah
ka panjang untuk mendorong penerapan sistem bagi juga tidak semestinya secara dini dihadapkan pada per-
hasil yang lebih luas. Beberapa langkah yang dapat saingan dengan pemerintah di pasar penghimpunan
dipertimbangkan untuk mendorong sistem bagi hasil dana syariah ritel khususnya melalui sukuk ritel. Su-
dan menahan laju sistem murabahah antara lain10: [1] kuk pemerintah semestinya lebih ditujukan untuk in-
perubahan aturan mudharabah yang membuat bank vestor besar dan luar negeri.
dapat terlibat dalam keputusan bisnis mudharib dan Selain itu, perbankan syariah membutuhkan keber-
mendapat akses yang memadai tentang semua informasi pihakan yang nyata seperti pelibatan perbankan sya-
terkait tingkat keuntungan mudharib; [2] pembentukan riah dalam pengelolaan dana (cash management) baik
pengadilan yang cepat untuk menyelesaikan sengketa pemerintah pusat maupun daerah, katakan setidaknya
antara bank dan mudharib; [3] pembentukan departemen 15-20%. Pengguliran dana pengembangan ekonomi
evaluasi mudharib, evaluasi proyek dan monitoring kerakyatan dengan skim syariah melalui bank sya-
bisnis di setiap bank syariah; dan [4] pembentukan riah, menunjuk bank syariah sebagai Bank Penghim-
lembaga keuangan khusus di bawah pemerintah yang pun Setoran Penerima Negara (BPSPN), dan bahkan
menangani pembiayaan konsumer barang tahan lama. mengkonversi bank BUMN/BUMD konvensional
Dibutuhkan banyak dukungan regulasi untuk men- menjadi bank syariah.
dorong pembiayaan dalam kasus Indonesia antara lain11: Liberalisasi perbankan syariah domestik oleh
[1] mencetak SDM yang memahami bisnis perbankan Perpres Nomor 77 Tahun 2007 telah berada di arah
syariah secara utuh dan mendalam; [2] memastikan ke- yang tepat dilihat dari aspek pengembangan size
murnian pembiayaan murabahah, yang disinyalir ban- perbankan syariah. Namun harus ada upaya agar pro-
yak mengalami penyimpangan dalam praktiknya; [3] ses masuknya pemain asing ini selalu melibatkan mi-
memberikan target indikatif pembiayaan murabahah tra domestik sebagai mitra strategis yang sejajar dan
dan memberlakukan margin maksimum pembiayaan dengan cara mendirikan bank syariah baru atau mem-
murabahah; dan [4] memberikan kelonggaran tingkat beli bank konvensional yang telah ada dan meng-
kolektibilitas pembiayaan bagi hasil. konversinya menjadi bank syariah, bukan dengan
Aspek lain yang penting diperhatikan adalah ada- membeli bank syariah yang telah ada. BI diharapkan
nya jaminan eksplisit terhadap semua simpanan di mampu memberi arahan kebijakan yang tepat disini.
perbankan syariah. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2004 Perbankan syariah juga membutuhkan penegasan
dinyatakan bahwa penjaminan simpanan juga berlaku dalam UU PS ini terkait kewajiban transaksi-transaksi
bagi perbankan syariah. Dan dalam PP Nomor 39 Tahun yang terkait syariat Islam dan bernilai ibadah agar
2005 disebutkan bahwa penjaminan ini berlaku baik dilakukan secara eksklusif hanya oleh perbankan
untuk giro dan tabungan dengan akad wadiah maupun syariah, seperti kewajiban setoran haji melalui per-
tabungan dan deposito dengan akad mudharabah. Hal bankan syariah dan hanya menunjuk bank syariah
ini tidak sesuai dengan paradigma asli perbankan sya- sebagai bank penerima setoran haji, serta kewajiban
riah rekening investasi mudharabah tidak dijamin. pengelolaan dana zakat, wakaf, infaq, dan sadaqah
melalui perbankan syariah. Sebagai misal, UU Nomor
KESIMPULAN 13 Tahun 2008 masih memberi toleransi untuk bank
konvensional sebagai bank penerima setoran dana
Secara umum, UU PS telah memuat banyak hal pen- haji sepanjang memiliki unit usaha syariah. Selain
ting yang dibutuhkan perbankan syariah untuk tum- itu perlu ada sosialisasi, dorongan, dan insentif untuk
buh dan berkembang. Namun kita membutuhkan lebih pengelolaan dana masjid, pesantren, lembaga pen-
banyak lagi dukungan regulasi yang progresif, visioner, didikan Islam, ormas Islam, dan lembaga-lembaga
dan berbasis pasar. Hal ini menjadi semakin krusial Islam lainnya melalui perbankan syariah.
mengingat persaingan global yang semakin sengit. Selain itu, mendorong pengembangan industri per-
Inisiatif yang paling dibutuhkan perbankan syariah bankan syariah seharusnya juga diikuti secara simul-
kini untuk kasus Indonesia adalah upaya atau insentif tan dengan pengembangan SDM dan riset. Hampir
dan keberpihakan untuk membesarkan size dan jaringan tidak ada perhatian sama sekali dari regulator. Hal
perbankan syariah dalam rangka mencapai critical yang sangat ironis ketika pertumbuhan industri dipacu
WIBISONO, REGULASI INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH 115

namun ketersediaan SDM sangat minim karena me- 2006. Jakarta: BI.
mang tidak pernah dipersiapkan. Kecenderungan ini ____. 2008. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun
sangat berbahaya karena perbankan syariah adalah 2007. Jakarta: BI.
industri yang tidak semata market-driven namun juga Chapra, M. Umer and Tariqullah Khan.2000. Regulation and
shariah-driven. Supervision of Islamic Banks. Jeddah: IRTI-IDB.
DSN seharusnya diperkuat dengan sumber daya Errico, Luca and Mitra Farahbaksh.1998. Islamic Banking: Issues
untuk riset dan pengembangan. Di saat yang sama, kita in Prudential Regulations and Supervision, IMF Working
membutuhkan pendirian institusi setingkat universitas Paper (March).
sebagai pusat pendidikan keuangan dan perbankan Hasan, M. Kabbir and Mervyn K. Lewis (Eds.).2007. Handbook of
syariah. Perkembangan industri akan berkelanjutan Islamic Banking. Cheltenham: Edward Elgar.
dengan keberadaan pusat riset dan pendidikan karena Lewis, Mervyn and Latifa Algaoud. Islamic Banking (terj.). 2004.
ditopang oleh SDM yang mumpuni dan paham syariah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Naskah Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah, April
2008.
DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Perbankan Syariah, 17 Juni 2008.
Saragih, Ferdinand D. 2006. Menciptakan Pelayanan Publik yang
Ahmad, Ausaf. 2000. Instruments of Regulation and Control of Prima Melalui Metode Benchmarking Praktis. Jurnal Ilmu
Islamic Banks by Central Banks. Jeddah: IRTI-IDB. Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 14. No.
Archer, Simon and Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds.). 2007. Islamic 3 (September).
Finance: The Regulatory Challenge. Singapore: John Wiley & Siddiqui, Shamim Ahmad. 2008. An Evaluation of Research on
Sons (Asia) Pte Ltd. Monetary Policy and Stability of the Islamic Economic System,
Ascarya dan Diana Yumanita. 2005. Mencari Solusi Rendahnya in the Proceedings of the 7th International Conference on
Pembiayaan Bagi Hasil di Perbankan Syariah Indonesia, Islamic Economics, Jeddah (April).
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (Juni). Tarsidin dan Perry Warjiyo. 2006. Perbankan Syariah dan Perbankan
Bank Indonesia. 2008. Statistik Perbankan Syariah Desember 2008. Berdasarkan Bunga: Manakah yang Lebih Optimal? Buletin
Jakarta: BI. Ekonomi Moneter dan Perbankan, (Oktober).
____. 2003. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun The National Bureau of Asian Research. 2008. Islamic Finance:
2005. Jakarta: BI. Global Trends and Challenges, NBR Analysis, Vol. 18, No. 4
____. 2007. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah Tahun (March).
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, MeiAgustus 2009, hlm. 116-121 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Peranan Akuntabilitas Publik dan Partisipasi Masyarakat


dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan
TEGUH KURNIAWAN1*

1
Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Abstract. This article attempts to give the picture concerning the importance of public accountability and citizen
participation as one of the instruments to eradicate bureaucratic corruption, seen from various theories. This
paper provides equal and adequate understanding of the role of public accountability and citizen participation
in the eradication process of corruption and the various efforts that can be done to strengthen it. The results
of this literature review shows that the efforts taken to eradicate corruption in Indonesia is still partial and
tend not to have a clear design strategy so that in many cases is not able to reduce signicantly the level of
corruption that occurred. Besides that, the important role of public accountability and citizen participation
in the eradication of corruption has not received much attention as well as has not been thoroughly studied.
Therefore we need further study of the various aspects of public accountability and citizen participation in the
eradication of corruption in Indonesia.

Keywords: corruption, public accountability, citizen participation

PENDAHULUAN dalam semua tingkatan pemerintahan, tidak hanya


di pusat tetapi juga di daerah-daerah. Bahkan, sejak
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan UU Nomor
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah di ta-hun
Berbagai survei yang dilakukan oleh sejumlah lem- 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di Peme-
baga internasional selalu menempatkan Indonesia da- rintahan Daerah yang semakin meningkat dengan ta-
lam urutan tertinggi dari negara yang paling korup di jam (Rinaldi, Purnomo, dan Damayanti, 2007).
1
dunia. Hasil ini tidak jauh berbeda setiap tahunnya, Terkait dengan upaya pemberantasan korupsi yang
sehingga banyak pihak yang berpendapat bahwa ko- telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat bahwa upaya
rupsi di Indonesia tetap dianggap sebagai endemic, yang dilakukan masih cenderung parsial dan tidak
systemic dan widespread (Lubis, 2005). memiliki desain strategi yang jelas sehingga dalam
Apabila kita melihat dari sejumlah kasus korupsi banyak hal tidak mampu mengurangi secara signikan
yang ada di Indonesia, kasus tindak pidana korupsi tingkat korupsi yang terjadi. Terdapat setidaknya
yang ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi dua kemungkinan dari gagalnya suatu program
(KPK) sebagian besar (77%) adalah kasus tindak pida- anti-korupsi dalam mencapai tujuannya, yaitu akibat
na korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan kesalahan dalam mendesain program anti-korupsi yang
jasa (Hardjowiyono, 2006). Artinya, dalam banyak tidak mempertimbangkan semua faktor yang ber-
hal korupsi yang terjadi di Indonesia adalah korupsi pengaruh serta akibat diagnosa yang salah terhadap
birokrasi atau menurut Mahmood (2005) korupsi di permasalahan korupsi yang dihadapi (Mahmood, 2005).
pemerintahan sipil. Korupsi yang seperti ini terjadi Sementara itu terkait dengan penyusunan strategi anti-

*Korespondensi: +6281 1833 093; teguh1@ui.ac.id


1
Lihat misalnya dari hasil Survey Transparency International Tahun 2008 dimana Indonesia berada di urutan 126 dari 180 Negara yang di
survey dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 2,6. Skor ini hanya naik 0,3 poin dari skor sebelumnya (2007) sebesar 2,3. Pada
tahun 2006 skor IPK Indonesia sebesar 2,4 sementara tahun 2005 sebesar 2,2. Angka-angka ini lebih kecil dibandingkan dengan Negara-Negara
ASEAN lainnya. Untuk Tahun 2008 saja, hanya Filipina, Laos, Kamboja dan Myanmar saja yang skornya berada di bawah Indonesia yakni
masing-masing sebesar 2,3; 2,0; 1,8 dan 1,3, sementara Negara lainnya memiliki skor jauh di atas Indonesia. Bandingkan dengan skor IPK dari
Singapura, Malaysia dan Thailand yang masing-masing memiliki skor IPK sebesar 9,2; 5,1 dan 3,5. Survey lainnya yang dapat menunjukkan
peringkat korupsi di Indonesia dilakukan oleh PERC (Political & Economic Risk Consultancy) Ltd melalui the annual graft ranking serta
World Economic Forum melalui Growth Competitiveness Index (GCI). Dalam survey PERC tahun 2006 Indonesia mendapatkan skor 8,6 yang
menurun apabila dilihat dari skor tahun 2005 (9,10) serta skor tahun 2004 (9,25). Namun demikian angka ini tetap di atas Negara-Negara
ASEAN lainnya, dimana untuk tahun 2006 Singapura mendapatkan Skor 1,30; Malaysia 6,13; Thailand 7,64; Philipina 7,80; dan Vietnam 7,91.
Sementara itu, dalam GCI Index tahun 2008, Indonesia mendapatkan skor 4,25 dan memiliki peringkat 55. Peringkat ini mengalami penurunan
apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2007) meskipun skor-nya mengalami kenaikan dimana Indonesia menempati peringkat 54
dengan skor 4,24. Angka ini juga tetap berada jauh lebih kecil dari Singapura, Malaysia dan Thailand yang memiliki skor di tahun 2008 masing-
masing sebesar 5,53; 5,04 dan 4,60. Dari data-data di atas dapat menunjukkan kepada kita bahwa Indonesia termasuk Negara yang paling korup
di Dunia (Waluyo, 2006, 5-10).
KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI 117

korupsi ini, Klitgaard (1998a; 1998b) berpendapat Namun demikian, mekanisme akuntabilitas sebagaimana
bahwa strategi anti-korupsi juga harus diarahkan pada diatur oleh sejumlah peraturan tersebut belum meme-
penguatan peran masyarakat dalam mengawasi peme- nuhi kriteria akuntabilitas publik sebagaimana di-
rintah serta penguatan akuntabilitas publik. maksud oleh sejumlah pakar seperti Dubnick, Rom-
Pentingnya peran partisipasi masyarakat dan akun- zek, dan Ingraham, Fesler dan Kettl, serta Shafritz
tabilitas publik dalam pemberantasan korupsi ini ter- (Callahan, 2007). Mekanisme akuntabilitas yang
nyata belum begitu mendapat perhatian dan dikaji diatur dalam LAKIP hanya ditujukan secara internal
secara mendalam di Indonesia. Hal ini dapat dili- kepada atasan saja serta hanya mengukur sejauh mana
hat, misalnya dari kesulitan yang penulis dapatkan target yang sudah ditetapkan telah tercapai dalam
dalam upaya pencarian dan penggalian informasi rangka pelaksanaan misi organisasi. Akuntabilitas
mengenai kedua hal tersebut. Namun demikian, ter- publik yang seharusnya dibangun dalam pandangan
dapat pernyataan dari sejumlah pihak yang mene- para pakar sebagaimana dikutip oleh Callahan (2007)
gaskan mengenai pentingnya peran masyarakat dan adalah akuntabilitas publik yang tidak hanya ditujukan
akuntabilitas publik dalam upaya pemberantasan secara internal (pemerintah atasan saja), tetapi ju-
2
korupsi di Indonesia. ga ditujukan kepada para pemangku kepentingan la-
Minimnya perhatian dan kajian terhadap peran innya seperti masyarakat. Selain itu, mekanisme
partisipasi masyarakat maupun akuntabilitas publik akuntabilitas publik juga tidak hanya ditujukan untuk
dalam upaya pemberantasan korupsi telah memberikan mengukur kinerja, tetapi juga dapat memantau pe-
dampak terhadap kualitas yang tidak memadai da- rilaku dari pejabat publik agar sesuai dengan etika
ri partisipasi masyarakat itu sendiri. Hal ini dapat dan aturan hukum yang berlaku. Minimnya kajian
dilihat misalnya dari laporan pengaduan masyarakat yang mendalam terhadap permasalahan akuntabilitas
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No- publik pada akhirnya telah menyebabkan pemahaman
mor 71 Tahun 2000 yang diterima oleh KPK yang se- yang berbeda mengenai akuntabilitas publik serta
bagian besar diantaranya tidak mengindikasikan ada- ketidakmampuan dari sistem akuntabilitas publik yang
nya suatu tindak pidana korupsi. Berdasarkan buku ada untuk dapat mencegah terjadinya tindak pidana
laporan tahunan KPK tahun 2007 diperoleh informasi korupsi di instansi pemerintahan baik di pusat maupun
bahwa pada tahun 2005, 2006, dan 2007 telah di- daerah.
terima laporan pengaduan masyarakat dari seluruh Berangkat dari latar belakang tersebut, maka tulisan
Indonesia masing-masing sejumlah 7.361; 6.938; ini akan berusaha untuk memberikan gambaran men-
dan 6.510. Namun demikian, pengaduan masyarakat genai pentingnya akuntabilitas publik dan partisipasi
yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korup- masyarakat sebagai salah satu instrumen dalam pem-
si untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 tersebut ma- berantasan korupsi di pemerintahan dari berbagai per-
sing-masing hanya berjumlah 2.466 (33,5%); 1.628 spektif teori yang ada.
(23,4%); dan 1.229 (18,8%). Aturan dalam PP Nomor
71 Tahun 2000 sendiri hanya mengatur mengenai tata PEMBAHASAN
cara pelaporan oleh masyarakat ke KPK terhadap suatu
tindak pidana korupsi, padahal, untuk melakukan itu A. Korupsi: Konteks, Denisi, Jenis, dan Penyebab
diperlukan upaya penguatan masyarakat sehingga Korupsi dalam sejarah peradaban manusia meru-
masyarakat bisa berpartisipasi secara lebih baik dan pakan salah satu masalah yang senantiasa menyertai
dapat menghasilkan laporan yang berkualitas. perjalanan kehidupan manusia. Perilaku yang dapat
Sementara itu, terkait akuntabilitas publik, kita digolongkan ke dalam tindakan korupsi seperti pe-
dapat menemukan adanya aturan mengenai Laporan nyuapan dapat ditemukan dalam peradaban kuno ma-
Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), syarakat Yahudi, Cina, Jepang, Yunani, dan Romawi
sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) (Thakur, 1979; Khan, 2000). Bahkan korupsi dengan
Nomor 7 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Lembaga skala besar yang mempengaruhi kehidupan masyara-
Administrasi Negara (LAN) Nomor 589/IX/6/Y/99 kat telah terjadi pada masa peradaban India kuno
juncto Keputusan Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003. (Thakur, 1979, Padhy, 1986; Khan, 2000).
Pada peradaban Indonesia sendiri, korupsi juga
telah berlangsung lama. Hal ini misalnya dapat dilihat
2
Hal ini dapat dilihat misalnya dari pendapat Teten Masduki dalam tulisan Smith (1971). Menurut Smith, korupsi
mengenai Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia dapat ditemukan sejak mulai masuknya
(http://satudunia.oneworld.net/?q=node/2235). Menurut Teten
Masduki, tidak dapat dipungkiri bahwa peran aktif masyarakat dalam Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ke In-
mendorong program pemberantasan korupsi pada tingkat tertentu donesia pada abad ke-18 dan bahkan jauh sebelum itu
relatif besar. Namun demikian, fondasi gerakan sosial anti korupsi apabila dilihat dari perilaku tradisional yang diprak-
belum cukup kuat sehingga pengaruhnya belum terlalu kuat untuk tikkan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara
memotivasi masyarakat luas, bisnis dan pemerintah untuk bersama-
sama melawan korupsi. Lihat pula permasalahan di dalam partisipasi di era sejumlah kerajaan nusantara. Karenanya dapat
itu sendiri, misalnya partisipasi termanipulasi (Muluk, 2006:683). dikatakan bahwa korupsi merupakan endemik yang
118 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 116-121

dapat ditemukan pada semua negara di dunia dengan negara; suap-menyuap; penggelapan dalam jabatan;
berbagai tingkatan aplikasinya. pemerasan; perbuatan curang; benturan kepentingan
Menurut Gillespie dan Okruhlik (1991), terdapat dalam pengadaan; serta gratikasi (KPK, 2006).
lima isu utama dalam literatur mengenai korupsi, yak- Selain denisi, para pakar juga mencoba untuk
ni denisi, penyebab, dampak, konteks, dan tipe ak- membuat kategori dari korupsi. Terkait hal tersebut,
tivitas yang termasuk korupsi. Menyangkut denisi korupsi dapat dibagi ke dalam jumlah kategori ber-
itu sendiri, dalam pandangan Gillespie dan Okruhlik dasarkan besarannya maupun berdasarkan kategori pe-
(1991), (1) sebuah denisi konseptual membutuhkan lakunya. Pembagian korupsi berdasarkan besarannya
dua kualitas yaitu sebuah denisi, (2) harus cukup dapat dilihat misalnya dari pendapat Jayawickrama
umum dan memungkinkan komparasi lintas budaya (1998; Feng, 2004). Menurut Jayawickrama, korupsi
serta harus cukup berguna secara empirik. Dua kriteria dapat dibedakan menjadi dua yakni korupsi kecil (petty
tersebut telah terbukti menimbulkan kontroversi dalam corruption) dan korupsi besar (grand corruption).
upaya sejumlah pakar untuk mencoba mendenisikan Sementara itu, dilihat dari kategori pelakunya,
konsep dari korupsi. Warren (2004) membaginya menjadi enam kategori,
Berbagai denisi yang berbeda dari korupsi ter- yakni korupsi yang dilakukan oleh negara yang terdiri
sebut, pada intinya menurut Desta (2006) dapat di- dari tiga kategori (korupsi eksekutif, korupsi peradilan,
bagi ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu denisi yang dan korupsi legislatif); korupsi yang dilakukan oleh
ber-pusat pada jabatan publik (public ofce centred ranah pubik (media, dan lembaga pembentuk opi-
denitions); denisi yang berpusat pada pasar (market ni publik lainnya); korupsi yang dilakukan oleh ma-
centred denitions); serta denisi yang berpusat pada syarakat sipil; serta korupsi yang dilakukan oleh pasar.
kepentingan publik (public interest centred denitions). Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan
Denisi yang berpusat pada jabatan publik misal-nya korupsi dan jenisnya, aspek selanjutnya yang perlu
denisi yang disampaikan oleh Nye (1967; Desta, 2006), diketahui adalah terkait penyebab dari terjadinya
yaitu perilaku yang menyimpang dari tanggungjawab tindak pidana korupsi. Merujuk berbagai literatur
seharusnya sebagai petugas publik karena kepentingan yang tersedia dapat diketahui sejumlah kondisi yang
pribadi (keluarga, kawan dekat), karena mengharapkan disinyalir menjadi penyebab utama terjadinya korup-
keuntungan uang atau status; atau pelanggaran aturan si. Berdasarkan informasi dari berbagai literatur ter-
dengan memanfaatkan pengaruh pribadi. sebut dapat diketahui bahwa pada intinya, korupsi
Denisi yang berpusat pada pasar dapat dilihat dikarenakan sejumlah faktor baik yang memiliki
dari denisi yang dikemukakan oleh van Klaveren kontribusi secara langsung maupun secara tidak lang-
(1957; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu sung. Selain itu, faktor penyebab korupsi juga dapat
seorang pegawai negeri yang korup menganggap dibedakan antara faktor yang terkait dengan ka-
kantornya sebagai sebuah usaha dan menghasilkan rakteristik individual maupun pengaruh struktural.
pendapatan yang sebanyak-banyaknya bagi dirinya. Pemahaman mengenai penyebab korupsi yang
Kantor kemudian menjadi unit untuk dimaksimalkan. dikarenakan oleh faktor penyebab langsung dan tidak
Sementara itu, denisi yang berpusat pada kepentingan langsung dapat dilihat dalam tulisan Tanzi (1998). Menurut
publik dapat dilihat dari kutipan pernyataan Friederick Tanzi, terdapat setidaknya enam faktor penyebab lang-
(1966; Heidenheimer dkk., 1989; Desta, 2006), yaitu sung dari korupsi, yakni (1) pengaturan dan otorisasi;
pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang (2) perpajakan; (3) kebijakan pengeluaran/anggaran;
kekuasaan yang memiliki tanggungjawab untuk me- (4) penyediaan barang dan jasa dibawah harga pasar;
lakukan sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau (5) kebijakan diskresi lainnya; serta (6) pembiayaan
hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, men- partai politik. Sementara itu, penyebab tidak langsung
dukung atau mengambil tindakan yang sesuai dengan dari korupsi terdiri dari setidaknya enam faktor, yak-ni
keinginan orang yang memberinya hadiah dan karena (1) kualitas birokrasi; (2) besaran gaji di sektor pub-
perbuatannya tersebut merusak kepentingan publik. lik, (3) sistem hukuman; (4) pengawasan institusi; (5)
Berdasarkan tiga denisi tersebut, denisi yang transparansi aturan, hukum dan proses; serta (6) te-
penulis gunakan adalah denisi yang berpusat pada ladan dari pemimpin.
jabatan publik (Nye, 1967). Denisi tersebut dalam Adapun penjelasan mengenai faktor penyebab
pandangan penulis lebih sesuai dengan denisi seba- korupsi yang terkait dengan karakteristik individual
gaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 maupun pengaruh struktural dapat diihat dalam tulisan
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ber- Nas, Price, dan Weber (1986). Menurut Nas dkk.,
dasarkan UU Nomor 20 Tahun 2001, terdapat tiga korupsi dilihat dari karakteristik individual terjadi
puluh bentuk/jenis dari tindak pidana korupsi seba- ketika seorang individu itu serakah atau tidak bisa
gaimana diatur dalam tiga belas buah pasal pada UU menahan godaan, lemah dan tidak memiliki etika se-
tersebut. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana ko- bagai seorang pejabat publik, sementara penyebab
rupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan korupsi dari sisi struktural dikarenakan oleh tiga hal,
menjadi tujuh kelompok, yaitu kerugian keuangan yakni (1) birokrasi atau organisasi yang gagal; (2)
KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI 119

kualitas keterlibatan masyarakat; dan (3) keserasian yang wajar. Kebiasan-kebiasan ini meliputi kebiasaan
sistem hukum dengan permintaan masyarakat. dalam memberikan hadiah kepada penguasa; loyalitas
Pendapat lain mengenai penyebab korupsi dapat kepada keluarga yang lebih kuat dibandingkan kepada
dilihat dari tulisan Bull dan Newell (2003) dalam negara; serta konsep kekuasaan Jawa yang hierarkis,
kaitannya dengan korupsi politik. Mereka membagi tetap dan patrimoni.
penyebab korupsi ke dalam empat faktor yang diang-
gap dapat mewakili faktor-faktor penyebab langsung B. Upaya yang Dapat Dilakukan dalam Mem-
maupun faktor yang memfasilitasi tumbuhnya korupsi berantas Korupsi: Penguatan Akuntabilitas Publik
yakni faktor sejarah, struktur dan budaya. Keempat dan Partisipasi Masyarakat
faktor penyebab korupsi menurut Bull dan Newell Permasalahan korupsi telah ada sejak lama dan
adalah (1) budaya politik; (2) struktur dan institusi memiliki besaran/tingkatan kompleksitas permasala-
politik; (3) sistem kepartaian, partai pemerintah, partai han yang tinggi. Oleh karena itu, upaya pemberan-
politik, dan politisi; serta (4) ekonomi politik antara tasan korupsi akan membutuhkan usaha dan kerja
sektor publik dan sektor privat. keras, serta pendekatan yang komprehensif, efektif,
Sementara itu, dalam pandangan Shah (2007), ter- dan memadai. Penentuan upaya apa yang paling
jadinya korupsi di sektor publik akan sangat tergantung efektif dalam memberantas korupsi juga merupakan
kepada sejumlah faktor yakni (1) kualitas manajemen perdebatan dalam banyak literatur mengenai korupsi
sektor publik; (2) sifat alamiah (kondisi) hubungan (Gillespie dan Okruhlik, 1991). Perdebatan ini pada
akuntabilitas antara pemerintah dan masyarakat; (3) intinya berupaya untuk menawarkan pendekatan
kerangka hukum; serta (4) tingkatan proses sektor multi perspektif/komprehensif yang dianggap dapat
publik dilengkapi dengan transparansi dan diseminasi memberikan hasil yang substansial dan berkelanjutan
informasi. Upaya mengatasi korupsi tanpa memper- dalam mengatasi korupsi. Terdapat setidaknya empat
timbangkan keempat faktor ini menurut Shah akan strategi pemberantasan korupsi yang dapat dilakukan,
menyebabkan hasil yang kurang mendalam dan tidak yakni (1) strategi terkait masyarakat; (2) strategi terkait
berkelanjutan. hukum; (3) strategi terkait pasar; serta (4) strategi
Pada kasus Indonesia sendiri, terdapat sejumlah terkait politik.
analisis yang mencoba untuk menjelaskan mengapa Strategi terkait masyarakat menurut Gillespie dan
korupsi begitu berkembang di Indonesia. Salah satu Okruhlik ditekankan pada tiga hal utama, yakni norma
analisis tersebut adalah sebagaimana diungkapkan etika, pendidikan, dan kewaspadaan publik. Adapun
Snape (1999). Menurut Snape, setidaknya ada tiga strategi terkait dengan hukum adalah berkenaan de-
faktor yang disinyalir menjadi sebab berkembangnya ngan pengenaan aturan hukum terhadap tindak pidana
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia, korupsi. Namun demikian, sanksi hukum terhadap tin-
yakni faktor politik, faktor ekonomi, dan faktor bu- dak pidana korupsi akan lebih efektif jika diperkuat
daya Jawa. oleh strategi pendukung lain seperti keberadaan au-
Berdasarkan pandangan Snape, faktor politik yang ditor dan investigator independen, komisi khusus yang
dicirikan dengan adanya kesenjangan akuntabilitas, dapat melakukan tindakan hukum terhadap pelaku
transparansi, institusi demokrasi, dan pers yang bebas korupsi, serta peningkatan besar hukuman bagi pelaku
merupakan faktor penting yang memberikan kontri- korupsi.
busi terhadap meluasnya korupsi dalam masyarakat Strategi terkait pasar menurut Gillespie dan
Indonesia, khususnya di era Orde Lama dan era Orde Okruhlik (1991) adalah dengan mengurangi intervensi
Baru. Sementara itu, terkait faktor ekonomi, inter- pemerintah dalam perekonomian serta mengurangi
vensi pemerintah yang ekstensif dalam perekonomian regulasi yang kompleks dan berlapis. Sementara stra-
dinilai Snape sebagai penyebab dari korupsi di Indo- tegi terkait politik menekankan pada tiga perhatian,
nesia. Melalui intervensi ini memunculkan sejumlah yakni kewenangan, akses terhadap proses politik, serta
keuntungan secara nansial bagi sejumlah kecil ma- reformasi administrasi/birokrasi.
syarakat Indonesia, khususnya mereka yang memiliki Pendapat lainnya mengenai strategi yang dapat
kekuasaan dan mereka yang memiliki patron politik dilakukan untuk memberantas korupsi adalah seba-
dengan penguasa. gaimana disampaikan oleh Klitgaard (1998b). Me-
Faktor ketiga yang dinilai Snape memberikan kon- nurut Klitgaard, terdapat 4 (empat) komponen uta-
tribusi bagi praktek KKN di Indonesia adalah faktor ma dari strategi anti korupsi, yakni dimulai deng-an
yang terkait dengan penjelasan budaya. Praktek-prak- menggoreng ikan yang besar, melibatkan masyarakat
tek KKN yang terjadi di masa Orde Baru memiliki akar guna menghasilkan kampanye yang berhasil, mem-
pada tradisi budaya masa lalu Indonesia, khususnya perbaiki sistem yang korup, serta meningkatkan peng-
budaya yang berlaku di Jawa (Snape, 1999; Schwartz, hasilan pegawai negeri.
1994). Terkait hal ini, sejumlah praktek KKN menu- Terdapat empat strategi yang dapat dilakukan
rut Snape mengakar pada kebiasaan Jawa kuno se- guna memberikan hasil yang berbeda dalam upaya
hingga untuk kemudian dianggap sebagai sesuatu hal pemberantasan korupsi, yakni memfokuskan pada
120 Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Vol. 16, No. 2, MeiAgust 2009, hlm. 116-121

penegakkan hukum dan penghukuman terhadap tindak pidana korupsi baik yang terjadi sebagai akibat
pelaku, melibatkan masyarakat dalam mencegah dari faktor-faktor yang bersifat langsung dan tidak
dan mendeteksi korupsi, melakukan upaya reformasi langsung maupun akibat dari faktor-faktor yang ber-
sektor publik yang utama, termasuk di dalamnya asal dari karakteristik individual dan struktural. Akun-
kegiatan penguatan akuntabilitas, transparansi, dan tabilitas publik dan partisipasi masyarakat juga dapat
pengawasan, serta memperkuat aturan hukum, me- sejalan dilakukan sebagai strategi yang berfokus baik
ningkatkan kualitas UU anti korupsi, penanganan terhadap masyarakat, hukum, pasar, maupun politik.
tindakan pencucian uang, dan mempromosikan tata Karenanya, dalam upaya pemberantasan korupsi yang
kelola pemerintahan yang baik (Widjajabrata dan lebih efektif, esien dan tepat sasaran di masa mendatang,
Zaechea, 1991). Sistem politik diharapkan membantu perlulah kiranya dilakukan berbagai ka-jian yang
proses recruitment maupun pengembangan anggota mendalam terhadap berbagai aspek dari akuntabilitas
parlemen menadi wakil rakyat yang tangguh (Isworo, publik dan partisipasi masyarakat ini.
2007).
Menyangkut korupsi di pemerintahan daerah, DAFTAR PUSTAKA
menurut de Asis (2006) terdapat lima strategi yang
dapat dilakukan untuk memberantas korupsi, yakni Bull, Martin J and James L. Newell eds. 2003. Corruption in Con-
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, peni- temporary Politics, New York: Palgrave Macmillan.
laian keinginan politik dan titik masuk untuk memulai, Callahan, Kathe. 2007. Elements of Effective Governance: Measure-
mendorong partisipasi masyarakat, mendiagnosa ma- ment, Accountability and Participation. Florida: CRC Taylor &
salah yang ada, serta melakukan reformasi dengan Francis Group.
menggunakan pendekatan yang holistik. De Asis, Maria Gonzales. 2006. Reducing Corruption at the Local
Sejalan dengan pendapat de Asis (2006) khususnya Level. Washington: World Bank Institute.
menyangkut poin mengenai diagnosa terhadap per- Desta, Yemane. 2006. Designing Anti-Corruption Strategies for
masalahan yang ada, Shah (2007) berpendapat bahwa Developing Countries: A Country Study of Eritrea. Journal of
pemberantasan korupsi membutuhkan pemahaman Developing societies, Vol. 22 No. 4.
terhadap penyebab dari munculnya masalah korupsi Feng, Kenny. 2004. The Human Rights Implications of Corruption:
tersebut pada sebuah negara/daerah. Karenanya, perlu An Alien Tort Claims-Act Based Analysis, Wharton Research
dipertimbangkan pula kondisi pengaruh dari korupsi Scholars Journal, WH-299-301 (April).
atau kualitas dari tata kelola pemerintahan yang ada Gillespie, Kate and Gwenn Okruhlik. 1991. The Political Dimen-
di masing-masing negara/daerah tersebut. Pemilihan sions of Corruption Cleanups: A Framework for Analysis. Com-
prioritas anti korupsi pada suatu negara/daerah harus parative Politics, Vol. 24, No. 1.
disesuaikan dengan kondisi pengaruh dari korupsi atau Hardjowiyono, Budihardjo. 2006. Pengadaan Barang dan Jasa yang
kualitas dari tata kelola pemerintahan yang ada seb- Bersih dari Korupsi. Bahan Presentasi dalam Rapat Regional
agaimana. Pemprov, Pemkab, Pemkot Sumatera dalam rangka Kormonev
Inpres 5 Tahun 2004, Batam, 22-23 November.
KESIMPULAN Isworo, Waluyo Iman.2007. Akuntabilitas, Responsibilitas, dan
Etika dalam Administrasi Publik. Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol. 15, No. 1 (Januari).
Berdasarkan paparan di atas dapat diambil Khan, Mohammad Mohabbat. 2000. Problems of Democracy: Ad-
kesimpulan bahwa upaya yang dilakukan dalam pem- ministrative Reform and Corruption, paper presented at the
berantasan korupsi di Indonesia masih cenderung Norwegian Association for Development Research Annual
Conference on the State under Pressure, Bergen, Norway 5-6
parsial dan tidak memiliki desain strategi yang jelas October 2000.
sehingga dalam banyak hal tidak mampu mengurangi Klitgaard, Robert. 1998a. International Cooperation Against Cor-
secara signikan tingkat korupsi yang terjadi dalam ruption. Finance & Development, Vol. 35, No. 1.
penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun _____. 1998b. Combating Corruption. United Nations Chronicle,
daerah. Strategi antikorupsi yang baik adalah strategi Vol. 35, No. 1.
yang telah mempertimbangkan semua faktor yang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 2006. Memahami untuk
berpengaruh dan dengan melakukan diagnosa yang Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Ko-
benar terhadap permasalahan korupsi yang dihadapi. rupsi. Jakarta: KPK.
Selain itu, strategi anti-korupsi juga harus diarahkan _____. 2007. Laporan Tahunan 2007: Pemberdayaan Penegakan
pada penguatan peran masyarakat dalam mengawasi Hukum. Jakarta: KPK.
pemerintah serta penguatan akuntabilitas publik. Pen- Lubis, Todung Mulya. 2005. Index Persepsi Korupsi Indonesia. Ba-
tingnya peran akuntabilitas publik dan partisipasi han Presentasi. Jakarta: Transparency International Indonesia.
masyarakat dalam pemberantasan korupsi ini ternyata Mahmood, Mabroor. 2005. Corruption in Civil Administration:
belum begitu mendapat perhatian dan dikaji secara Causes and Cures. Humanomics, Vol. 21, No. 3 / 4.
mendalam di Indonesia. Muluk, M.R. Khairul. 2006. Menggagas Tangga Partisipasi
Akuntabilitas publik dan partisipasi masyarakat me- Baru dalam Pemerintah Daerah di Indonesia. Jurnal Ilmu
rupakan instrumen yang dianggap mampu mengatasi Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Vol.14, No.4
KURNIAWAN, PEMBERANTASAN KORUPSI 121

(Desember). donesia, Vol. 11.


Nas, Tevk F, Albert C Price, and Charles T Weber. 1986. A Policy- Snape, Fiona Robertson. 1999. Corruption, Collution and Nepotism
Oriented Theory of Corruption. The American Political Science in Indonesia. Third World Quarterly, Vol. 20, No. 3.
Review, Vol. 80, No. 1. Tanzi, Vito. 1998. Corruption Around The World: Causes, Conse-
Rinaldi, Tauk, Marini Purnomo dan Dewi Damayanti. 2007. quences, Scope, and Cures. IMF Staff Papers, Vol. 45, No. 4.
Memerangi Korupsi di Indonesia yang Terdesentralisasi: Studi Waluyo. 2006. Sambutan Pimpinan KPK di Rapat Koordinasi
Kasus Penanganan Korupsi Pemerintahan Daerah, Bank Regional Kormonev Inpres 5/2006. Bahan Presentasi dalam
Dunia: Justice for the Poor Project. Rapat Regional Kormonev, Bali 8-9 November.
Senior, Ian. 2006. Corruption - the Worlds Big C: Cases, Causes, Warren, Mark E. 2004. What Does Corruption Mean in a Democracy.
Consequences, Cures. London: The Institute of Economic Af- American Journal of Political Science, Vol. 48, No. 2
fairs. Widjajabrata, Safaat and Nicholas M Zacchea. 2004. International
Shah, Anwar, (Editor). 2007. Performance Accountability and Com- Corruption: The Republic of Indonesia is Strengthening the
bating Corruption. Washington DC: The World Bank. Ability of Its Auditors to Battle Corruption. The Journal of
Smith, Theodore M. 1971. Corruption, Tradition and Change. In- Government Financial Management, Vol. 53, No. 3.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Mei--Agus 2009 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

Index Penulis
Volume 16, Nomor 2
Fitriati, Rachma, 59. Rahardja, Samun Jaja, 82.
Harinurdin, Erwin, 96. Salomo, Roy Valiant, 74.
Jafar , Rozy Afrial, 87. Soedibjo, Sugeng, 59.
Kurniawan, Teguh, 116. Sunardi, Guido Benny, 68.
Wibisono, Yusuf, 105.

Index Subyek
Volume 16, Nomor 2
Administrasi Publik, 74. Perangkat Daerah, 89.
Akuntabilitas Publik, 116. Perbankan Syariah, 105.
Consumer Perception, 68. Perilaku Kepatuhan, 105.
Fungsi Camat, 96. Perubahan Kedudukan, 87.
Governance, 82. Perspektif Teoritis, 120.
Indonesia Consumer, 68. Politik ekonomi, 99.
Kecamatan Dramaga Kabupaten Premi Asuransi, 59
Bogor, 92. Profit Testing, 60.
Kecamatan Ketapang Kabupaten PT. Asuransi Jiwa Bringin Jiwa
Bandung, 92. Sejahtera, 59.
Label and Brands, 74. Regulasi Industri, 105.
Manajemen Kebijakan, 86. Scenario Indonesia, 74.
Partisipasi Masyarakat, 120. Sektor Publik, 82.
Pelayanan Publik, 91. Tantangan, 99.
Peluang, 99. Titik Impas, 59.
Pemberantasan Korupsi, 120. Wajib Pajak, 105.
Pengelolaan Sungai, 82.
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, MeiAgus 2009 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

PERSANTUNAN

Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi mengucapkan terima kasih kepada Dewan Editor dan Mitra Bestari
yang telah berpartisipasi pada Volume 16 Nomor 2, Mei - Agustus 2009

Amy S. Rahayu, Pakar Kualitas Pelayanan Publik, Pengajar Departemen Ilmu Administrasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Azhar Kasim, Pakar Pembuatan Keputusan dan Teori Organisasi, Departemen Ilmu Administrasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Indonesia
Dewa Made Budiarta, Pakar Pemeriksaan Transaksi Khusus Perpajakan, Kasubdit Pemeriksaan Transaksi Khusus
Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan RI
Eko Prasojo, Pakar Pemerintahan Daerah, Departemen Ilmu Administrasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Endang Wirjatmi Trilestari, Pakar Ilmu Administrasi, Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi,
Lembaga Administrasi Negara Bandung
Gunadi, Pakar Perpajakan Internasional, Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Haryah Widiawati, Konsultan Bahasa dan Editor Ahli, Program Studi Sastra Inggris,
Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran
Liberty P Sihombing, Penulis Buku , Pakar Linguistik, dan Konsultan Bahasa dari Antar Bahasa Language Service
Lisman Manurung, Pakar Kebijakan Publik, Departemen Ilmu Administrasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Martani Huseini, Pakar Pemasaran Internasional, Departemen Ilmu Administrasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
M.R. Khairul Muluk, Pakar Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Ngadisah, Pakar Otonomi Daerah, Staf Ahli Menteri Departemen Dalam Negeri
Ningky Sasanti Munir, Pakar Manajemen Pengetahuan, Sekolah Tinggi Manajemen PPM
Sadu Wasistiono, Pakar Manajemen Pemerintahan, Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Safri Nugraha, Pakar Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Salim Al-Bakry, Pakar Asuransi Syariah, Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti, Jakarta
Sigit Pramono, Pakar Ekonomi Syariah, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) SEBI, Jakarta
Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, MeiAgust 2009 Volume 16, Nomor 2
ISSN 0854-3844

PEDOMAN PENULISAN NASKAH


JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI,
BISNIS & BIROKRASI
Penulis diharapkan berpedoman kepada ketentuan yang Naskah dikirim dalam tiga hard copy, satu soft copy dalam
dibuat ketika menyiapkan naskahnya. Semua naskah yang bentuk CD atau melalui email jbbfisip@ui.ac.id dan bisnis.
dikirim akan ditelaah oleh satu editor dan paling sedikit dua birokrasi_fisipui@yahoo.co.id.
reviewer. Penulis bisa mengajukan nama-nama calon reviewer.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi III. FORMAT NASKAH
memegang prinsip anonymous (tanpa nama) ketika dilakukan 1. Naskah dapat berupa hasil pemikiran maupun hasil
review terhadap naskah dimana identitas baik penulis maupun penelitian. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan
reviewer akan dijaga kerahasiaannya. gaya naratif. Pembabakan dibuat sederhana sedapat
mungkin menghindari pembabakan bertingkat. Tabel dan
I. BENTUK NASKAH gambar harus mencantumkan sumber. Tabel dan gambar
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi diberi nomor secara berurut sesuai dengan kemunculannya.
menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian (research Semua kutipan dan referensi dalam naskah harus tercantum
article), ulasan (review), baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam daftar pustaka dan sebaliknya, sumber bacaan yang
dalam Bahasa Inggris. tercantum dalam daftar pustaka harus ada dalm naskah.
1. Hasil Penelitian (Research Article), ide penting dan asli 2. Nomor halaman diletakkan di ujung kanan atas. Bagian
(original) dalam ilmu administrasi yang memiliki ruang pertama tulisan tidak perlu diberi halaman.
lingkup penelitian yang luas, serta pembahasan temuan 3. Nomor baris diletakkan di sebelah kiri tiap kalimat
yang mendalam, baik dalam bentuk field research maupun 4. Halaman cover harus menunjukkan judul tulisan, nama
desk research. penulis, institusinya, dan korespondensi berupa nomor
2. Ulasan (Review) dapat berupa telepon dan e-mail (diharapkan e-mail institusi).
perkembangan keilmuan terkini, 5. Angka dilafalkan dari satu sampai sepuluh, kecuali jika
ringkasan hasil beberapa penelitian dengan penekanan digunakan dalam tabel atau daftar dan ketika digunakan
pada ide penelitian selanjutnya (what next research dalam unit atau kuantitas matematika, statistik, atau teknis,
idea), misalnya empat hari, 5 kilometer, 25 tahun. Semua angka
perkembangan kebijakan di tingkat nasional dan lainnya disajikan secara numerik.
internasional, 6. Persentase dan desimal untuk penggunaan teknis dapat
pemikiran mendalam peneliti, menggunakan simbol (%) dan (,).
perkembangan telaah buku-buku yang menjadi pokok 7. Tabel dan gambar diletakkan pada halaman yang terpisah
ilmu. dan diletakkan pada akhir teks. Masing-masing tabel atau
gambar diberi nomor dan judul lengkap yang menunjukkan
Catatan: isi tabel atau gambar.
Kepioniran isi tulisan ditentukan oleh kemutakhiran state-of 8. Acuan ke masing-masing tabel atau gambar harus ada dalam
the art ilmu dan teknologi yang dikandung, kecanggihan teks.
sudut pandang dan pendekatan, kebaruan temuan bagi
ilmu (novelties, new to science) yang disajikan, ketuntasan IV. URUTAN NASKAH
penggarapan (tidak hanya mengulang penelitian sejenis Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut :
sebelumnya, tidak memermutasikan metodologi dan objek, 1. Judul dalam Bahasa Indonesia dan Inggris untuk naskah
tidak memecah satu persoalan penelitian dalam serangkaian Bahasa Indonesia, Judul dalam Bahasa Inggris untuk
tulisan), dan kehebatan teori serta keluasan perampatan setiap naskah bahasa Inggris (judul maksimum 14 kata)
artikel yang dimuatnya. 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar
(Sumber: Keputusan Dirjen DIKTI No. 11/DIKTI/Kep./2006 3. Nama, telepon, dan email penulis untuk korespondensi
tentang Paduan Akreditasi Berkala Ilmiah, Dirjen DIKTI, 4. Abstrak dalam bahasa Inggris (diutamakan di bawah
Depdiknas, 2006, hal. 9) 200 kata). Abstrak diharapkan mencakup latar belakang
masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
II. PENGIRIMAN NASKAH kontribusi penelitian
Naskah dikirim ke 5. Kata kunci (keywords) dalam Bahasa Inggris paling
Ruang Redaksi Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Bisnis banyak 3-5 kata kunci yang akan memudahkan pemberian
& Birokrasi, Gedung B Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi Lantai 2 indeks. Kata pertama menjadi kata yang paling penting,
Kampus FISIP Universitas Indonesia, Depok 16424 dan diurut seterusnya
Atau kirim email ke: jbbfisip@ui.ac.id, bisnis.birokrasi_ 6. Korespondensi penulis pada catatan kaki halaman pertama
fisipui@yahoo.co.id, atau telp/faks +6221 78849145 7. Bentuk naskah terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu
(1) Hasil Penelitian (Research Article). Naskah dibuat
Penulis diharap menyebutkan bentuk naskah yang dikirim: menggunakan Microsoft Office Word. Seluruh bagian
Hasil Penelitian (Research Article), atau Ulasan (Review) dalam naskah diketik dengan huruf times new roman.
di POJOK KANAN ATAS HALAMAN JUDUL ARTIKEL. Ukuran 12 pt, spasi 1, ukuran kertas A4, dan margin
PEDOMAN PENULISAN

2 cm untuk semua sisi serta jumlah halaman tidak Catatan Kaki


melebihi 25 halaman termasuk daftar pustaka. Untuk Catatan kaki tidak digunakan untuk acuan. Catatan kaki
kepentingan penyuntingan naskah seluruh bagian digunakan hanya untuk perluasan informasi yang jika
naskah (termasuk tabel, gambar, dan persamaan dimasukkan ke dalam teks bisa mengganggu kontinuitas
matematika) dibuat dalam format yang dapat disunting bacaan. Catatan kaki diketik dalam spasi 1 dan ditempatkan
oleh editor. Editor dapat meminta data yang digunakan pada akhir teks.
dalam gambar untuk kepentingan penyuntingan.
Struktur artikel ini meliputi Daftar Acuan (Daftar Pustaka)
1. Judul Setiap naskah harus mencantumkan daftar Acuan (Daftar
2. Nama penulis Pustaka) yang isinya hanya karya yang diacu. Hal-hal yang
3. Jabatan institusi harus diperhatikan dalam penulisan daftar pustaka adalah
4. Abstrak dan Keywords 1. nama penulis didahului dengan penulisan nama belakang
5. Pendahuluan (termasuk kerangka teori dan tujuan atau nama keluarga,
penelitian) 2. disusun secara urut berdasarkan abjad,
6. Metode Penelitian 3. tidak menyebutkan nomor halaman,
7. Hasil dan Pembahasan 4. penulisan dilakukan dengan sistem paragraf menggantung.
8. Kesimpulan
9. Daftar Pustaka, dengan mempertimbangkan Contoh :
a. derajat kemutakhiran bahan yang diacu dengan Buku:
melihat proporsi, diharapkan mencakup Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interests and Institutions,
minimal 60% terbitan sepuluh tahun terakhir, the Conceptual Foundations of Public Policy. New York:
b. semakin tinggi pustaka primer yang diacu, Basil Blackwell.
semakin tulisan bermutu, Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline Fieldbook: the Art
c. keseringan pengarang mengacu pada diri and Practice of the Learning Organization. New York:
sendiri (self citation) dapat mengurangi nilai Currency-Doubleday.
jurnal. ____. 1994. The Fifth Discipline Fieldbook: Strategies and
7. Ucapan terima kasih jika ada. Tools for Building a Learning Organization. New York:
Currency-Doubleday.
(2) Ulasan (Review). Naskah dibuat menggunakan Keterangan: jika ada lebih dari satu buku yang dikarang oleh
Microsoft Office Word. Seluruh bagian dalam naskah seorang penulis, tidak perlu menulis nama lagi, hanya membuat
diketik dengan huruf times new roman. Ukuran 12 garis sepanjang empat ketukan.
pt, spasi 1, ukuran kertas A4, dan margin 2 cm untuk
semua sisi serta jumlah halam tidak melebihi 20 Peraturan Perundang-Undangan:
halaman termasuk daftar pustaka. Republik Indonesia. Ketetapan MPR No. II/MPR/1998 tentang
Struktur artikel ini meliputi Garis-Garis Besar Haluan Negara.
1. Abstrak dan Keywords ____. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
2. Pendahuluan (termasuk kerangka teori) Air. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 32.
3. Pembahasan
4. Kesimpulan Jurnal :
5. Daftar Pustaka, dengan mempertimbangkan Chotim, Erna E dan Yulia I. Sari. 1999. Krisis: Peluang
a. derajat kemutakhiran bahan yang diacu dengan bagi Usaha Kecil?. Jurnal Analisis Sosial. Vol. 4 No. 1
melihat proporsi, diharapkan mencakup minimal (Januari).
60% terbitan sepuluh tahun terakhir, Hardjosoekarto, Sudarsono. 1993. Perubahan Kelembagaan:
b. keseringan pengarang mengacu pada diri sendiri Teori, Implikasi, dan Kebijakan Publik. Jurnal Ilmu
(self citation) dapat mengurangi nilai jurnal. Administrasi dan Organisasi, Bisnis & Birokrasi, Volume
6. Ucapan terima kasih jika ada. 1, Nomor 1 (Januari).

V. DOKUMENTASI Internet :
Acuan Depdiknas Libatkan Elemen Masyarakat Dalam Berantas Buta
Karya yang diacu harus menggunakan format penulis-tahun. Huruf. 2005. www.kompas.com. 27 Januari.
yang mengacu pada karya pada daftar acuan. Kramadibrata, Ade Moetangad. 2004. Pengelolaan Sampah
Dalam teks, karya diacu dengan cara berikut : nama akhir/ Terpadu. www.detik.com. 13 Mei.
keluarga penulis dan tahun dalam tanda kurung. Contoh
(Andi, 1984), dua penulis (Andi dan Clark, 1984), lebih dari SUMBER :
dua penulis (Andi dkk., 1984), lebih dari dua sumber diacu Keputusan Dirjen DIKTI No. 11/DIKTI/Kep./2006 tentang
bersamaan (Andi, 1984; Cipta, 1990), dua tulisan atau lebih Paduan Akreditasi Berkala Ilmiah, Dirjen DIKTI, Depdiknas,
oleh satu penulis (Andi, 1984; 1990). 2006.
Acuan penulisan yang merupakan karya institusional HAYATI Journal of Biosciences, Penerbit: Perhimpunan
sedapat mungkin harus menggunakan akronim atau Biologi Indonesia dan Departemen Biologi FMIPA IPB, ISSN
singkatan sependek mungkin. Contoh: (Komite SAK-IAI, 0854-8587
PSAK28, 1984)
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi
BISNIS & BIROKRASI

Naskah yag diserahkan penulis haruslah sebuah karya yang tidak melanggar hak cipta (copyright)
yang ada. NAskah yang dimasukkan harus yang belum pernah diterbitkan dan tidak dikirimkan pada
waktu yang bersamaan kepada penerbit lain. Hak cipta atas semua material termasuk yang
berbentuk cetak, elektronik dan bentuk lainnya dipegang oleh Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi
BISNIS dan BIROKRASI. Untuk itu penulis perlu menyetujui pengalihan hak cipta dengan mengisi
dan menandatangani Pernyataan Pengalihan Hak Cipta dibawah ini untuk diserahkan bersamaan
dengan penyerahan naskah. Pernyataan Pengalihan Hak Cipta dalam bentuk softcopy (hasil
pemindaian/scan). Setelah naskah telah melewati proses penyuntingan substansi dan positif diterima,
penulis mengirimkan berkas Pernyataan Hak Cipta dalam bentuk hardcopy asli ke alamat redaksi
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi BISNIS & BIROKRASI.

Pernyataan Pengalihan Hak Cipta Tulisan

Hak Cipta dari tulisan yang tertera dibawah ini dialihkan kepada Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi BISNIS & BIROKRASI dan berlaku efektif sejak tulisan diterima dan dipublikasikan.
Pengalihan Hak Cipta mencakup hak ekslusif untuk mencetak kembali dan mendistribusikan tulisan,
termasuk menerjemahkan, reproduksi fotografi, microform, bntuk elektronik atau bentuk reproduksi
lainnya.

Penulis menjamin tulisan ini adalah hasil karya asli dan penulis mempunyai wewenang penuh untuk
mengalihkan hak cipta. Penulis menandatangani dan menerima tanggung jawab untuk memberikan
Tulisan ini atas nama penulis yang lain.

Judul Tulisan :

Penulis (sebutkan semua) :

.
Tanda Tangan Penulis (atas nama) Tanggal

Untuk diisi oleh Ketua Dewan Editor:

Diterbitkan pada Volume.., Nomor , Tahun ..

FORMULIR INI DAPAT DIFOTOKOPI


Kepada yth : Redaksi Jurnal Bisnis dan Birokrasi Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI
Kampus Baru FISIP UI Gedung B Lt.2 Ruang Jurnal Bisnis & Birokrasi
Telp/fax : (021)78849145
E-mail : jbbfisip@ui.ac.id, bisnis.birokrasi_fisipui@yahoo.co.id

FORMULIR BERLANGGANAN
JURNAL ILMU ADMINISTRASI DAN ORGANISASI
BISNIS & BIROKRASI

Mohon dicatat sebagai pelanggan Jurnal Bisnis & Birokrasi

Nama Lengkap :

Pekerjaan :

Alamat Rumah :

Telepon/Hp :

Nama Institusi :

Alamat :

Telepon :

Bersama ini kami mohon dikirimkan Jurnal Bisnis & Birokrasi untuk :

1 kali 6 bulan sebanyak..expl. @ Rp.30.000,- = Rp. .

1 tahun sebanyakexpl. @ Rp.30.000,- = Rp. ..

Pembayaran di muka melalui :

Tunai Rp.

Terbilang :

Transfer ke : BNI Cab UI Depok a/n : FISIP UI Non BP No. Rek . 127 3000 295

Hormat kami, , 20.....

( )
Nama Pelanggan

Anda mungkin juga menyukai