Anda di halaman 1dari 13

KEMATIAN AKIBAT BENCANA DAN PENGARUHNYA PADA KONDISI

PSIKOLOGIS SURVIVOR : TINJAUAN TENTANG


ARTI PENTING DEATH EDUCATION

Yulianti Dwi Astuti

Abstrak
Berbagai macam bencana menimbulkan stres psikologis, tetapi stres akan meningkat
apabila banyak orang terbunuh. Reaksi terhadap bencana untuk masing-masing individu
berbeda-beda, tetapi reaksi terhadap kerusakan dapat berupa shock, rasa takut, sedih, dan
marah, yang dapat mengarah terhadap pemungkiran peristiwa kerusakan yang telah terjadi.
Kematian adalah bagian dari kehidupan, yang tiap-tiap individu baik anak maupun orang
dewasa harus terbiasa dan memahaminya. Walaupun demikian, sebagaimana pendidikan
seks, pengenalan terhadap topik kematian di sekolah dan perguruan tinggi kadang-kadang
mengalami perlawanan karena kemungkinan efek kerusakan yang muncul, baik dari segi
bacaan, diskusi dan kegiatan lain yang berhubungan dengan topik ini
Kata kunci: pendidikan tentang kematian, kerusakan, perguruan tinggi, sekolah

Abstract
Any sort of accident creates a certain amount of psychological stress, but the stress
becomes particularly acute when many people are killed. Varying to some extent with the
individual, the immediate reactions to a disaster are shock, fear, sadness, and rage, which may
even lead to a denial that the disastrous event occurred. A persons sense of control over his or
her life and many of the things that make it real and predictable are threatened by an unexpected
disaster. Death is a part of life about which children and adults need to be familiar with and
understand it. Nevertheless, as with sex education, introduction of the topic of death in schools
and colleges has sometimes been met with cries of alarm about the potentially damaging effects
of readings, discussions, and other activities concerning this topic.
Key words: death education, disaster, college, school

Kematian adalah suatu keniscayaan bagi bencana), (3) kematian tidak alami yang
makhluk hidup. Semua orang percaya bahwa disebabkan pembunuhan, atau bunuh diri
pada suatu saat nanti mereka akan meninggal. (Range, Walston,& Pollard, 1992;
Tetapi anehnya, kejadian kematian memberi Silverman, Range, & Overholser, 1994).
efek yang berbeda-beda pada setiap individu. Sebagian ahli menemukan bukti-bukti
Reaksi seseorang terhadap kematian sangat bahwa jenis kematian tidak bertalian
dipengaruhi oleh cara terjadinya kematian. dengan penyembuhan duka (Campbell,
Berdasarkan jenisnya, kematian dapat Swank,& Vincent, 1991), tetapi banyak
dikategorikan menjadi: (1) kematian alami ahli lainnya menyebutkan bahwa jenis
yang dapat diantisipasi (misal, mengidap kematian mempengaruhi pengalaman atau
kanker, AIDS, atau penyakit berat lainnya), (2) reaksi duka seseorang (Drenovsky, 1994;
kematian alami yang tidak dapat diantisipasi Ginzburg et al., 2002; Levy et al., 1994;
(misal, serangan jantung, kecelakaan/ Silverman et al, 1994).

Kematian Akibat Bencana........ (Yulianti Dwi Astuti) \ 41[


[
Duka cita atas kematian seseorang atau Bencana yang melibatkan pesawat udara,
sesuatu yang dicintai adalah masalah kereta api, dan bis pada umumnya lebih sering
kesehatan mental yang paling menantang dan dipublikasikan dibanding kecelakaan mobil,
paling sering dihadapi oleh seorang konselor. walaupun sebenarnya angka kematian
Kematian seseorang yang dicintai mungkin penumpang akibat kecelakaan mobil dan
merupakan pengalaman kehilangan yang motor pertahun secara signifikan lebih tinggi
paling mempengaruhi individu secara fisik, dibanding alat transportasi yang lain.
emosional, dan spiritual (James & Friedman, Bencana apapun pasti menciptakan
1998). Perasaan duka (respon emosional sejumlah tekanan psikologis pada diri
individu atas kehilangan yang dialami) seseorang, tetapi stress yang akut terutama
mencakup seluruh emosi alamiah manusia terjadi bila ada banyak korban jiwa. Reaksi
yang mengiringi kehilangan tersebut. Hampir pertama individu terhadap bencana
semua orang setuju dengan pernyataan Parkes ber macam-macam mulai dari shock/
(1996) bahwa kesedihan akan berakibat pada terguncang, ketakutan, kesedihan, dan
respon emosional, kognitif, fisik, dan perilaku. kemarahan (rage), yang mungkin mendorong ke
Terkait dengan kematian akibat arah suatu pengingkaran atas peristiwa/
bencana, Indonesia, sejak akhir tahun 2004 bencana yang terjadi. Sense of control individu
sampai April 2005 ini mengalami berbagai atas hidupnya dan banyak hal-hal yang
musibah besar yang telah memakan ratusan predictable dan riil terancam oleh datangnya
ribu korban jiwa seperti jatuhnya pesawat Lion bencana yang tak terduga ini.
Air di Surakarta, kecelakaan kereta api, Carson dan Butcher (dalam Aiken,
kecelakaan bis dan yang terbesar adalah 2001) menguraikan bahwa sindrom bencana
tanggal 26 Desember 2004 dengan datangnya terdiri dari tiga tahap. Pertama-tama korban
gempa dan gelombang Tsunami yang memasuki stage of shock (tahap shock/
memakan korban lebih dari 150.000 jiwa di tergoncang), dimana ia bingung, terpaku,
Aceh dan Sumatera Utara. Disusul lagi gempa bersikap apatis, dan mengalami rasa kehilangan
bumi pada bulan Maret-April yang melanda kendali. Tahap berikutnya adalah suggestible
Nias, Padang, dan beberapa daerah lain yang stage , sepanjang tahap ini mereka menganggap
diperkirakan menimbulkan ribuan korban jiwa. diri mereka sebagai suatu massa tak berbentuk
Hal ini tentu memberikan dampak yang berat yang cenderung bertindak pasif dan menurut/
bagi para survivor yang telah menyaksikan compliant. Mereka menunjukkan kelambatan
keluarga maupun orang yang dikenalnya psikomotorik, emosi yang datar, somnolence, dan
meninggal akibat bencana tersebut. dalam beberapa kasus dapat terjadi amnesia
Kecelakaan atau kejadian alam yang (hilangnya memori) tentang data/identifikasi
menyebabkan hilangnya banyak nyawa (lebih pribadi. Mereka tak pedulian dan dengan
dari 25 orang) dikenal sebagai bencana atau mudah dipengaruhi. Yang terakhir adalah
katastropi. Penyebab bencana yang paling recovery stage (tahap kesembuhan), yang terjadi
sering adalah cuaca (gelombang panas, ketika survivor sudah menerima bantuan. Tahap
gelombang dingin, badai salju, taufan salju, ini dimulai dengan berangsur-angsur hilangnya
angin topan, tornado, banjir), api (kebakaran), ketegangan, pengertian, dan kecemasan yang
gempa bumi, jatuhnya pesawat udara; meluas. Pada akhirnya individu yang selamat
kecelakaan kereta, kecelakaan kapal, dan tersebut akan mendapat kembali
kecelakaan lainnya. Selain itu kegagalan keseimbangannya. Pada tahap ini survivor
struktural bangunan (gedung/jembatan/dam biasanya mengalami suatu kebutuhan yang
runtuh) juga memakan banyak korban. mendesak untuk membicarakan tentang

\ 42[
[ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 41 - 53
bencana yang dialaminya tersebut, mereka Baarsen et al. 2002) dan pola kebiasaan
menceritakannya berulang-ulang, dengan keluarga dalam menghadapi duka cita (Book,
penekanan dan detil yang serupa. 1996; Mcgoldrick, 1995).
Trauma akibat kejadian mengejutkan Beberapa variabel tertentu mempunyai
yang berlangsung satu sampai tiga bulan masih efek yang berbeda, tergantung dari tahap
dikatakan sebagai reaksi yang normal. Kondisi kesedihannya (Richardson & Balaswamy,
ini disebut Posttraumatic stress disorder (PTSD) 2001). Sebagai contoh, variabel yang
apabila perasaan cemas, mimpi buruk, dan berorientasi pada kehilangan seperti keadaan
bayangan-bayangan peristiwa yang ber- kematian atau jenis kematian menjadi lebih
hubungan dengan bencana, cenderung jadi penting pada tahap awal dari kehilangan,
mudah terkejut, bermasalahan dalam sedangkan variabel restorasi seperti
hubungan sosial dan melakukan penyalah- memberikan aktivitas sosial lebih relevan pada
gunaan obat penenang atau pengalaman lain tahap yang lebih lanjut.
yang stressful masih terjadi lebih dari bulan Berbicara tentang variabel mana yang
ketiga setelah kejadian atau bahkan bertahun- berdampak pada pengalaman duka, tidak
tahun kemudian (Hiew,2005). mengejutkan jika hubungan seseorang dengan
orang yang meninggal sangat mempengaruhi
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Proses tanggapan emosional individu terhadap
Duka Cita kematian (Meshot & Leitner, 1993; Rubin,
Berbagai faktor mempengaruhi 1992). Sebagai contoh, hubungan seseorang
kesedihan yang dialami oleh korban, antara (misal: ikatan kekerabatan) dengan yang
lain bagaimana hubungan individu dengan meninggal mempunyai suatu efek tertentu
orang yang meninggal misalnya: orangtua, pada reaksi seseorang pada kehilangan. Reaksi
anak, mitra, atau teman (Bonanno, 1999; yang terjadi bervariasi, tergantung pada
Leahy, 1993; Meshot & Leitner, 1993), jenis apakah orang tersebut kehilangan orangtua,
kematian (Drenovsky, 1994; Ginzburg, Geron saudara kandung, anak, mitra, rekan kerja,
& Solomon, 2002; Levy, Martinkowski & atau teman; hubungan yang berbeda
Derby, 1994; Stamm, 1999), pengalaman menimbulkan tanggapan yang berbeda pula.
terhadap kesedihan (Leming & Dickinson, Kehilangan pasangan memiliki reaksi yang
1994; Smart, 1993), dukungan masyarakat berbeda dari kehilangan orangtua. Kematian
(Leming & Dickinson, 1994), norma budaya dari saudara kembar juga melibatkan masalah
(Klapper, Moss, Moss, & Rubinstein, 1994; unik tersendiri. Kehilangan seorang teman
Stroebe, 1992), kualitas hubungan dengan yang mungkin sangat berbeda dari kehilangan
ditinggal (Meshot & Leitner, 1993; Rubin, saudara kandung. Kualitas keterikatan
1992), dan umur yang ditinggal (Moss, Moss, emosional (emotional attachment) kepada
Rubinstein, & Resch, 1993). Sebagai individu yang meninggal berperan sebagai
tambahan, berbagai aspek internal dari individu variabel tambahan dalam menentukan respon
yang diting galkan mempengaruhi reaksi seseorang terhadap kematian. Ikatan seseorang
mereka terhadap kehilangan seperti mempengaruhi intensitas duka cita yang
kerentanan kepribadian (Bonanno, 1999; Van dialami dan penyesuaiannya pada musibah
Baarsen, Van Duijn, Smit, Snijders,& tersebut (Levy et al., 1994; Meshot & Leitner;
Knipscheer, 2002), ciri kepribadian Moss, Resch, & Moss, 1997; Rubin, 1992).
(Goodman, Black, & Rubinstein, 1996), umur Peran dari orang yang meninggal (apakah ia
(Gilbar & Dagan, 1995; Levy et al.1994; merupakan pahlawan, pemberi nafkah utama,
Meshot & Leitner, 1993), perilaku sosial (Van atau kambing hitam keluarga), mempunyai

Kematian Akibat Bencana........ (Yulianti Dwi Astuti) \ 43[


[
suatu efek tersendiri pada proses duka cita. mampu untuk membahas duka cita mereka,
Jika individu yang ditinggalkan mempunyai kehidupan berkeluarga menjadi terganggu.
hubungan positif dengan orang yang Alkoholisme, gangguan fungsi seksual,
meninggal, maka individu tersebut akan gang guan tidur dan makan, dan gejala
mengalami rasa berduka yang lebih intens kekacauan emosional lain adalah hal yang
dibandingkan individu yang hubungannya biasa terjadi, menandakan adanya suatu
tidak terlalu positif dengan almarhum kebutuhan konseling psikologis atau
(Bonanno, 1999; Moss, Rubinstein & Moss, psikoterapi. Jika hal ini tidak ditangani, reaksi
1997). yang berkenaan dengan orangtua ini mungkin
mendorong ke arah perpisahan dan perceraian.
Reaksi Keluarga atas Kematian Anak
Schultz (1978) menyatakan bahwa tidak
Kematian seorang anak secara emosional hanya orang tua tetapi semua anggota keluarga
dapat menghancurkan suatu keluarga. Hal ini mungkin terpengaruh oleh kematian anak.
terutama terjadi manakala terjadi kematian Kakek-nenek berduka dengan perasaan lipat
secara tak terduga, seperti kecelakaan, tiga: atas kematian cucunya, untuk kesedihan
bencana alam, bunuh diri, atau penyakit yang putri atau putra mereka, dan untuk diri mereka
mendadak fatal. Rasa kehilangan ini umumnya sendiri. Lebih jauh lagi, orang tua sering sangat
lebih sulit untuk diatasi manakala anak telah terpengaruh oleh perasaan dan pemikiran
mencapai taraf perkembangan dimana ia mereka sendiri atas kematian ini sehingga
sudah dapat berinteraksi dengan orang tuanya. mereka mungkin melalaikan anak-anak lainnya
Jika hal ini terjadi, orang tua mungkin merasa yang masih hidup. Saudara kandung dari anak-
bahwa mereka sudah gagal untuk memenuhi anak yang meninggal tersebut kemudian sering
kewajibannya sebagai orangtua dan dengan merasa cemas, sangat kekurangan, kacau, dan
demikian, secara langsung atau secara tidak diasingkan. Jika saudara kandung tersebut
langsung, menyebabkan kematian anaknya. menyaksikan perubahan fisik dan tingkah laku
Perasaan bersalah ini dapat mempengaruhi yang terjadi pada seorang anak yang sekarat
kemampuan orang tua untuk mengatasi duka hal itu dapat membuat takut saudara yang
citanya (Miles & Demi, 1983-1984). masih muda. Dan manakala anak itu benar-
Menurut Kibler-Ross (1997) seiring benar meninggal dunia, anak-anak yang
dengan rasa bersalah dan depresi yang dialami, selamat nyawanya tidak hanya merasa sedih
orang tua yang anaknya menjadi korban seperti semua orang dalam keluarganya, tetapi
bencana merasakan ketidakberdayaan, mereka mungkin juga merasa berdosa jika
frustrasi, dan marah karena hal ini harus terjadi selama ini ia tidak memperlakukan saudara
dan mereka tidak mampu melakukan apapun kandungnya dengan baik ketika masih hidup
untuk membantu anaknya. Kemarahan atau karena mungkin mereka pernah berharap
mungkin dilampiaskan kepada pihak-pihak agar saudaranya itu mati. Mereka mungkin juga
yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi menunjukkan perilaku regresi dan
tersebut seperti pemerintah, diri mereka sendiri, mengembangkan suatu ketakutan tidak
dan bahkan Tuhan. Perasaan ini menjadi sangat beralasan pada penyebab kematian saudaranya
intens dalam banyak kasus sehingga orang tua tersebut (laut, pesawat, kereta, rumah sakit,
tersebut tidak pernah kembali pulih secara dan lainnya) dan pada kematian. Jika diabaikan
penuh; per masalahan emosional yang oleh orang tua, perasaan ini dapat tetap
berhubungan dengan kematian mungkin tetap bertahan dan mempengaruhi stabilitas mental
ada dalam suatu dekade atau lebih. Ketika dan perilaku emosional anak yang selamat dari
salah satu orangtua atau kedua-duanya tidak bencana di masa yang akan datang.

\ 44[
[ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 41 - 53
Sejumlah penulis (Green & Solnit, orang tua untuk menyelesaikan permasalahan
Pollock, dalam Aiken, 2001) menguraikan mereka sendiri yang berhubungan dengan
tentang kerentanan psikologis dan adanya bencana ini secepat mungkin agar mereka
kecender ungan yang lebih besar untuk dapat membantu anak-anak mereka yang
mempunyai masalah emosional pada diri selamat.
anak-anak yang selamat yang tetap bertahan
sampai masa dewasanya. Persentase masalah Dampak Kematian Orang Tua pada Anak
penyesuaian diri yang tinggi (permasalahan Secara alami biasanya orang tua
dengan sekolah, takut akan kematian dll) telah meninggal terlebih dahulu dibanding anak-
ditemukan dalam diri anak yang selamat dari anak mereka, yang umumnya terjadi setelah
bencana. Anak-anak ini sering bertindak anak-anak tumbuh besar. Bagaimanapun,
defensif pada hal-hal yang berhubungan banyak anak yang mengalami kematian
dengan kematian, menolak membicarakan sedikitnya satu orangtua mereka pada usia 15
atau mendengarkan orang tua memperbicang- tahun karena penyakit, kecelakaan, atau
kan tentang saudaranya yang meninggal (Cook lainnya. Anak-anak muda pada umumnya
& Dworkin,1992). sangat tegar dalam menghadapi situasi yang
Di sisi lain, sikap anak-anak yang menyedihkan, tapi berhadapan dengan
saudara kandungnya meninggal seringkali lebih kematian orangtua bisa menjadi suatu tragedi
baik (sehat) daripada orang tua mereka. Masa untuk seorang anak. Barangkali sebagian
kanak-kanak adalah suatu waktu yang karena mereka mempunyai suatu pemahaman
fleksibilitasnya masih tinggi. Frustrasi dan rasa tentang kematian yang masih sedikit sehingga
kehilangan pada umumnya dapat disesuaikan anak-anak yang lebih muda mempunyai
ke kondisi wajar dengan cepat. Apa yang kesulitan yang lebih besar dibanding orang
nampak sebagai suatu pengalaman traumatis yang lebih tua dalam menyesuaikan diri dengan
untuk orang dewasa secara spesifik tidak kematian dari orangtua. Kematian saudara
menjadi hal yang terlalu mengganggu untuk kandung, sanak keluarga yang lain, teman, atau
seorang anak yang sedang tumbuh karena bahkan binatang kesayangan sudah cukup
mereka masih penuh dengan energi dan mengganggu, tetapi itu pada umumnya tidak
ketertarikan akan kehidupan dan belajar. sebanding dengan reaksi emosional anak dalam
Bagaimanapun, anak-anak perlu ditenangkan menghadapi kematian orang tuanya atau figur
kembali hatinya dan diperhatikan. Mereka yang dianggap sebagai orang tua (Krementz,
harus dibuat untuk merasakan bahwa mereka 1981).
adalah penting dan diperlukan (Wass & Anak-anak yang kehilangan seseorang
Stillion, 1988). Setelah kejadian yang atau sesuatu yang begitu dekat dengannya
melibatkan kematian, anak yang selamat tidak mungkin menunjukkan gejala yang sama
boleh dilarang untuk menghadiri pemakaman dengan orang dewasa seperti denial
atau membicarakan peristiwa tersebut. (pengingkaran), bodily distress (sakit fisik),
Mereka yang berada pada masa middle childhood kemarahan, reaksi ber musuhan kepada
(6-10 tahun) dapat memahami dengan pasti meninggal dan orang lain, rasa bersalah atau
arti kehilangan dan kematian serta arti dari self-blame, depresi, kecemasan, bahkan
suatu pemakaman, maka orang dewasa harus kepanikan. Mereka mungkin berkeberatan
meluangkan waktu untuk menjelaskan kepada untuk menerima kenyataan, mengidealkan
mereka sesuai tingkat pemahaman mereka orang yang meninggal, mengaitkan sikap dan
tentang penyebab kematian saudaranya dan tingkah lakunya dengan kejadian, dan
apa maknanya. Jelaslah bahwa penting bagi mencoba untuk menemukan orang yang bisa

Kematian Akibat Bencana........ (Yulianti Dwi Astuti) \ 45[


[
meng gantikan peran orang tuanya. anak perempuan yang cenderung depresif
Bagaimanapun, mereka harus menyusun ketika berduka, anak lelaki cenderung untuk
kembali hidup mereka dan belajar untuk hidup melampiaskan rasa duka mereka dengan cara
tanpa bantuan dan kehadiran orang tuanya yang bersifat merusak (Siegel et.al, Burnell &
yang meninggal( Andrey dalam Aiken, 2001). Burnell, Haig dalam Aiken 2001).
Anak-anak yang salah satu atau kedua
Perasaan Berduka pada Anak-Anak orang tuanya meninggal juga cenderung untuk
Respon duka cita normal dari anak-anak lebih banyak memiliki masalah fisik dan
yang kehilangan orang tua hampir serupa psikologis sebagai orang dewasa dibandingkan
dengan orang yang mengalami masalah berat, anak-anak yang keluarganya tetap utuh.
tetapi duka cita anak-anak tidak sama persis Permasalahan tersebut antara lain adalah
dengan duka orang dewasa. Anak-anak sedikit perilaku antisosial, schizophrenia, depresi, dan
lebih sulit untuk menerima suatu kematian, kecenderungan bunuh diri. Lloyd (1980)
dan mereka kadangkala masih menunjukkan menarik kesimpulan dari berbagai penelitian
duka cita selama beberapa tahun, bahkan bahwa kedukaan karena kematian orang tua
sampai masa remaja.Anak muda yang berduka yang terjadi pada masa kanak-kanak dapat
cita mungkin sulit untuk percaya bahwa meningkatkan resiko terjadinya depresi di
orangtua mereka benar-benar telah meninggal, masa dewasa sekitar 2 atau 3 kali lipat.
memprotes dengan keras, dan mencoba untuk Kadang-kadang depresi menjadi-jadi terutama
menemukan suatu cara untuk mendapatkan pada hari peringatan kematian orangtua
orangtua mereka kembali (Bowlby, dalam mereka sehingga sering disebut dengan istilah
Hiew, 2005). Di samping menekan atau anniversary reaction.
mengingkari rasa duka mereka, anak-anak yang Walaupun pada akhirnya anak akan
ditinggalkan mungkin juga menggunakan menerima kenyataan dan mulai menyusun
mekanisme pertahanan lain seperti identifikasi kembali hidupnya, mengatasi rasa kehilangan
dengan orang yang meninggal atau berangan- atas meninggalnya orangtua tidak pernah
angan tentang orang yang meninggal. Jika mudah (dengan dukungan sosial yang kuat
mekanisme pertahanan gagal, perilaku anak sekalipun). Seperti halnya pada orang dewasa,
menjadi kacau, dan duka cita yang tingkat kerentanan (vulnerability) anak atas
sesungguhnya muncul. kematian orangtua bervariasi tergantung pada
Walaupun beberapa penelitian tingkat dependensi anak pada orang tuanya
menunjukkan bahwa tahap menjelang (Raphael, 1983). Faktor-faktor berikut nampak
kematian orangtua (yang sekarat) adalah masa sangat berhubungan erat dengan permasalahan
kerentanan psikologis yang paling kritis pada psikologis pada anak-anak setelah kematian
anak-anak dibanding periode setelah dari saudara kandung atau orangtuanya
kematian, reaksi setelah kematian juga perlu (Krupnick dalam Aiken, 2001):
diperhatikan. Reaksi fisik yang berhubungan a. Kematian orang tua yang terjadi ketika
dengan kedukaan pada anak-anak pra-sekolah anak masih berumur di bawah 5 tahun
mencakup gangguan makan, tidur, serta atau awal masa remaja.
gangguan kendali buang air besar dan kecil. b. Kematian ibu yang terjadi ketika anak
Anak-anak usia sekolah mungkin juga perempuan berumur di bawah 11 tahun
mengalami gangguan somatik, disamping dan meninggalnya bapak untuk anak lelaki
mengalami kesulitan akademis dan di usia remaja.
menunjukkan sifat mudah tersinggung, agresif, c. Kesulitan psikologis pada diri anak yang
delinkuensi, dan reaksi fobia. Berbeda dengan sudah ada sebelum kematian orangtua

\ 46[
[ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 41 - 53
(semakin parah penyakit yang sudah dapat membantu untuk mengaktifkan inner
diderita sebelumnya, semakin besar resiko resilience untuk mengatasi kesulitan hidup dan
postbereavement-nya). kembali sehat/normal. Self-Healing Person
d. Memiliki konflik hubungan dengan orang mempunyai kemampuan untuk mengatur
yang meninggal beberapa saat sebelum emosi mereka, bertindaklah secara antusias,
kematiannya. menunjukkan keseimbangan emosional
e. Orangtua (yang selamat) memiliki (Friedman, 2002) dan memiliki kehidupan
kerentanan psikologis sehingga terlalu yang sehat. Hiew (2001) melaporkan bahwa
bergantung pada anaknya. anak, remaja, dan orang dewasa yang resilien
f. Kurangnya dukungan masyarakat atau dapat kembali normal setelah mengalami
keluarga lainnya, atau orang tua tidak bisa trauma karena kemampuan mereka untuk
memanfaatkan sistem pendukung yang dapat mengatur sendiri kondisi kognitif-
tersedia. emosional dan biologi yang seimbang. Orang
g. Lingkungan yang tidak stabil, yang resilien dapat mengatasi tekanan dengan
inkonsistensi, termasuk di dalamnya baik, mereka ramah, menunjukkanlah minat
caretaker yang berganti-ganti, dan yang lebih tinggi untuk berafiliasi pada orang
berubahnya rutinitas keluarga (contoh lain (McClelland, 1984) dan memiliki sikap
yang ekstrin adalah perpindahan anak ke optimis. Mereka menyelesaikan krisis secara
panti asuhan). cepat dengan komitmen dan self-efficacy yang
h. Pernikahan kembali orangtua, jika ada tinggi dan memiliki pemahaman bahwa segala
hubungan negatif antara anak dan figur kesulitan dapat dipahami, dikelola, dan
pengganti orangtua. memiliki makna bagi kehidupan (Antonovsky
i. Kurangnya pengetahuan tentang dalam Hiew 2005).
kematian, kematian yang mendadak Seperti halnya seks, kematian
(unanticipated death). merupakan bagian dari kehidupan sehingga
j. Berhadapan dengan kematian orang tua orang dewasa dan anak-anak perlu familiar
atau saudara kandung yang mengalami dengan kematian dan memahaminya.
pembunuhan atau bunuh diri. Meskipun demikian, seperti juga pendidikan
Proses dalam mengatasi kematian seks, pengenalan tentang topik kematian
orangtua menjadi lebih mudah kalau anak melalui kegiatan membaca, diskusi, dan
memiliki sumber alternatif yang dapat aktivitas lain di perguruan tinggi dan sekolah
memberikan dukungan emosi dan kadang-kadang diangap berpotensi merusak
pemahaman. Pada dasarnya, duka cita dapat individu. Sebagian orang sudah berpendapat
diringankan dengan memberi perasaan nyaman bahwa diskusi tentang kematian dan hal-hal
dan berharga pada diri anak, selain itu yang terkait dengannya dapat membuat kaum
kedukaan yang mendalam juga dapat dicegah muda dan anak-anak menjadi cemas, tertekan,
dengan mempersiapkan individu menjadi lebih dan tak berdaya, di samping itu dapat
tangguh melalui pendidikan tentang kematian meningkatkan pembunuhan, bunuh diri dan
(Pier, 1982). menurunkan kepercayaan religius. Fakta
bahwa ketakutan itu pada umumnya tak
Pendidikan Kematian (Death Education)
beralasan dapat dilihat dari perubahan yang
Sejak tahun 1990-an studi tentang terjadi pada orang dewasa dan anak-anak yang
resiliensi (kemampuan untuk bangkit kembali) telah diberikan pendidikan dan pelatihan yang
dan kesejahteraan/kesehatan psikologis telah berhubungan dengan thanatology. Hasilnya,
banyak dilakukan. Ciri kepribadian tertentu pendidikan dan pelatihan tersebut tidak

Kematian Akibat Bencana........ (Yulianti Dwi Astuti) \ 47[


[
menciptakan malapetaka emosi melainkan contoh, anak pra sekolah tidak memerlukan
menghasilkan peningkatan dalam pengetahuan penjelasan yang rumit seperti anak-anak yang
dan sikap peserta tentang kematian sehingga lebih tua. Kematian dapat diterangkan pada
menjadi lebih resilien ketika berhadapan anak-anak pra sekolah dengan terminologi
dengan kematian seseorang (Aiken, 2001). biologis dan fisik sederhana, tidak terlalu
Pendidikan tentang kematian dan hal- terperinci ataupun abstrak. Sesungguhnya,
hal yang terkait dengannya perlu dirancang kebutuhan anak pra sekolah lebih pada
untuk sekolah, perguruan tinggi, organisasi memberi keyakinan bahwa mereka dicintai dan
kemasyarakatan, dan kelompok-kelompok tidak akan ditelantarkan, bukan penjelasan
khusus. Tujuan pendidikan ini menurut yang sangat akurat tentang kematian itu
Schultz (1978) adalah memberi pengetahuan sendiri. Di sisi lain, anak-anak yang lebih besar
praktis dan teoritis tentang kematian karena harus diberitahu secara lebih detil dan diajak
kurangnya informasi yang akurat tentang berpikir sedikit lebih abstrak tentang arti
kematian dan hal-hal yang terkait, tujuan kehidupan dan kematian (Stein, 1974).
terpenting adalah untuk meningkatkan Orang dewasa harus jujur, sensitif,
pengetahuan mereka tentang kematian, di simpatik, mendorong anak-anak untuk
samping itu perlu juga membiasakan diri menyatakan gagasan dan perasaan mereka
mereka dengan organisasi dan profesi (medis, sendiri tanpa mempedulikan berapapun usia
bidang pemerintahan, pemakaman, dll.) yang mereka. Anak-anak perlu diberitahu jika ada
berhubungan langsung dengan kematian. anggota keluarga atau individu lain yang
Tujuan yang lain adalah untuk membantu mereka kenal tengah sekarat, dan mereka
individu belajar untuk menghadapi (secara harus diijinkan untuk berada di antara mereka
emosional) kematian orang yang dicintai dan pada waktu tersebut. Anak-anak usia sekolah
memiliki hubungan dengannya. Di luar dua harus didukung, tetapi tidak dipaksa untuk
tujuan ini, tujuan yang lebih abstrak adalah menghadiri pemakaman teman dan anggota
membantu memahami masalah sosial dan keluarga, dan jika mereka memutuskan untuk
etika yang terkait dengan kematian. hadir, ceritakan pada mereka apa yang akan
mereka hadapi. Bagaimanapun, melihat mayat,
Death Education untuk Anak-Anak dan mengamati jenasah yang sedang diturunkan ke
Remaja dalam kuburan, dan meninggalkan sahabat
Sebagian besar pengajaran tentang karib atau kerabat dalam kuburan mungkin
kematian pada anak-anak muda bersifat sangat menyedihkan bagi anak pra sekolah.
informal dan spontan (tanpa persiapan terlebih Diperlukan perhatian khusus untuk
dulu), tergantung pada situasi dan pertanyaan menentukan apakah anak-anak sudah siap
yang diajukan oleh anak. Orang tua dan guru untuk pengalaman di pemakaman. Yang
pada umumnya membicarakan tentang terakhir, jika anak-anak mempertanyakan
kematian hanya ketika anak bertanya atau tentang kehidupan setelah kematian, orang
bertepatan dengan kematian seseorang atau dewasa perlu menyatakan kepercayaan mereka
seekor binatang kesayangan sehingga waktu sendiri tetapi juga harus mengakui bahwa
tersebut dianggap sebagai momen yang mereka tidak mengetahui seratus persen
tepat untuk mengajarkan hal tersebut tentang masalah itu.
(Leviton & Forman, 1974). Jawaban atas Tingkat formalitas pendidikan kematian
pertanyaan anak tentang kematian biasanya di sekolah dasar dan sekolah menengah
tergantung pada konteks pertanyaan dan juga bervariasi pada tiap sekolah dan guru, tetapi
pada tingkat kematangan anak. Sebagai sejumlah pendekatan telah diusulkan. Salah

\ 48[
[ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 41 - 53
satu pendekatan yang paling komprehensif kuliah agama. Untuk mahasiswa dan orang
disusun oleh Gordon dan Klass (1979). dewasa, pendidikan tentang kematian tidak
Pendekatan ini didasarkan pada empat tujuan. hanya bertujuan menambah pengetahuan
Tujuan pertama terkait dengan pertanyaan tetapi juga meningkatkan sensitivitas terhadap
tentang apa yang terjadi jika orang meninggal. perasaan dan kebutuhan orang yang menjelang
Tujuan yang kedua terkait dengan bagaimana kematian (Attig, 1996; Corr, 1992)
cara menghadapi kematian secara sehat. Di samping membaca, pemberian kuliah
Tujuan ini tercapai jika siswa sudah dengan instruktur kursus, dan diskusi kelas,
mempelajari cara yang efektif terkait dengan beberapa aktivitas khusus menjadi bagian dari
kematian pribadinya nanti dan kematian orang pendidikan tentang death & dying di perguruan
yang penting dalam hidupnya. Tujuan yang tinggi. Aktivitas ini termasuk menggambarkan
ketiga terkait dengan hal-hal praktis tentang alasan mereka untuk mengambil mata kuliah
bagaimana membuat siswa mengetahui hal-hal tersebut dan apa yang mereka harapkan dari
yang terkait dengan kematian seperti kuliah itu; diskusi, tanya-jawab, rekaman
pelayanan medis dan jasa pemakaman. Tujuan pembicaraan, dan film (yang menggambarkan
keempat dan kelima bersifat paling abstrak, tentang kehidupan seseorang menjelang
yaitu untuk membantu siswa merumuskan
kematiannya), kunjungan ke minimal satu
masalah socioethical yang berhubungan dengan
institusi yang berhubungan dengan kematian
kematian dan untuk menggambarkan nilai
(kuburan, upacara pemakaman, atau
jidment yang diangkat oleh isu ini. Sasaran
krematorium; gambar atau cerita dan syair/
menjadi lebih rumit dan abstrak pada tingkatan
puisi yang menggambarkan gagasan dan
nilai/kelas yang lebih tinggi, sehingga materi
perasaan seseorang tentang kematian;
dan metode khusus perlu digunakan untuk
menuliskan berita kematian dan tulisan di batu
mencapainya. Sebagai contoh, syair/puisi,
nisan sendiri; serta bermain peran dalam drama
cerita, menulis/ menggambar, dan film sering
tentang kematian dan hal-hal terkait.
bermanfaat untuk mencapai sasaran afektif
dari tujuan kedua. Perjalanan ke kamar mayat, Semua orang dewasa sebenarnya tidak
kuburan, atau bangsal rumah sakit untuk memerlukan kursus formal tentang death &
pasien yang sakit parah dapat memberi dying agar menjadi lebih tahu tentang topik
kontribusi penting pada pelajaran anak-anak tersebut. Banyak buku yang menyediakan
tentang kematian dan kondisi menjelang infor masi ber manfaat untuk anak-anak
kematian. Anak-anak yang masih muda jarang maupun orang dewasa tentang topik ini, tapi
menganggap pengalaman ini yang menakutkan bagaimanapun, guru dan orang tua harus
atau tidak disukai, dan jika disiapkan terlebih memastikan bahwa mereka cukup memiliki
dahulu serta ditemani oleh orang dewasa yang pengetahuan seputar kematian, dan kedukaan
banyak tahu banyak serta sensitif, anak-anak sebelum mencoba untuk memberi penjelasan
hampir selalu menganggapnya informatif dan pada orang lain.
menarik.
Memodifikasi Ketakutan akan Kematian
Death Education untuk Mahasiswa dan
Usaha untuk mengurangi ketakutan
Orang Dewasa
terhadap kematian dengan kursus ataupun
Death education di perguruan tinggi pendidikan tentang kematian sebagian telah
Indonesia belum dimasukkan secara resmi memberikan, tetapi sebagian lainnya tidak
pada setiap program studi, biasanya program terlalu memberi hasil yang memuaskan. Death
ini dianggap sebagai tanggung jawab dari mata education yang meng gunakan metode

Kematian Akibat Bencana........ (Yulianti Dwi Astuti) \ 49[


[
pengajaran didaktis dimana siswa diberi Suatu program untuk mengatasi ketakutan
informasi terperinci tentang kematian, tetapi pada kematian dapat dirancang dengan
sangat sedikit atau bahkan tidak ada usaha meng gunakan teknik-teknik seperti
untuk mengurangi dan mengadakan kontak desensitisasi sistematis, self-monitoring, dan
dengan ketakutannya mungkin tidak efektif modeling.
dan tidak menurunkan kecemasan siswa Desensitisasi Sistematis yang
berkenaan dengan topik itu. Sehingga, dikombinasikan dengan relaksasi progresif dan
nampaknya dibutuhkan metode pendamping counterconditioning, telah terbukti efektif dalam
yang tidak bertujuan langsung mengubah treatmen pada fobia (Martin & Pear,1996).
perasaan dan sikap pada kematian agar death Pertama-tama, klien diajari bagaimana
education yang diberikan menjadi lebih efektif melakukan relaksasi otot tubuh. Kemudian
(Rasmussen et al., 1998). Beberapa penelitian klien akan dihadapkan pada serangkaian
telah membuktikan bahwa modifikasi perilaku stimuli penyebab ketakutannya secara
dan psikoterapi (seperti relaksasi dan berjenjang/hierarkis, dimulai dari stimuli yang
manajemen stres) dapat menjadi alat bantu paling sedikit menimbulkan ketakutan sampai
yang efektif dalam mengatasi ketakutan pada stimuli yang yang paling ditakutkan. Pada
kematian tersebut. awalnya, stimuli masih bersifat simbolis (misal,
Seperti halnya dengan fobia yang lain, membayangkan suatu situasi), kemudian pada
ketakutan pada kematian yang ekstrim tahap selanjutnya mereka dihadapkan pada
(thanaphobia) biasanya merupakan generalisasi stimuli yang riil (misal, konfrontasi nyata
dari ketakutan orang akan terpisahnya dia dari dengan obyek peristiwa, atau situasi yang
orang-orang atau hal-hal yang dicintainya, dan ditakutkan). Jika klien telah belajar untuk
ketakutan akan proses menjelang ajal karena mentoleransi stimulus tahap pertama, maka
rasa sakit yang dihubungkan dengan kondisi hirarki stimulus berikutnya diperkenalkan, dan
tersebut. Ketakutan akan kematian mungkin seterusnya sampai semua stimuli dalam hirarki
juga berhubungan dengan objek atau situasi telah menjadi desensitized. Walaupun klien dan
yang spesifik, seperti ketakutan pada terapis pada umumnya bekerja sama dalam
pemakaman, hal-hal religius (ketidaktahuan merancang suatu hirarki desensitisasi yang
akan tuhan, ketidakpastian apakah mereka yang didasarkan pada pengalaman klien, satu
nanti masuk surga atau neraka), hal-hal contoh hirarki yang dapat diterapkan untuk
supranatural dan sebagainya. kasus ketakutan ekstrim pada kematian adalah
Ketakutan akan kematian yang ekstrim sebagai berikut:
biasanya tidak berdiri sendiri sebagai suatu 1. Membaca buku yang menceritakan
gejala, tetapi menjadi bagian dari pola umum tentang kematian seseorang.
perilaku dan kognisi yang terganggu. Dalam 2. Melihat lukisan-lukisan bertema kematian.
kasus tertentu , memusatkan treatment hanya 3. Menonton film yang menggambarkan
pada ketakutan saja tidaklah cukup. tentang kematian seseorang.
Kehidupan dan permasalahan klien harus 4. Berjalan jalan di pemakaman dan melihat-
didalami secara menyeluruh dengan berbagai lihat nisan.
teknik yang dapat digunakan. Dengan melihat 5. Mencoba menuliskan surat wasiat
sejarah pribadi klien, terapis dapat 6. Menghadiri pemakaman seseorang yang
mengungkapkan kondisi-kondisi yang dikenal dengan baik.
mempengaruhi dan mencetuskan ketakutan 7. Membayangkan pemakaman kita sendiri
tersebut, serta konsekuensi dari pikiran dan dan apa yang akan terjadi jika kita
perilaku yang berhubungan dengan hal itu. meninggal.

\ 50[
[ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 41 - 53
Dalam teknik self-monitoring, klien menjurus ke arah gangguan emosi dan masalah
diminta untuk membawa sebuah catatan, diary, keluarga yang lebih serius jika tidak segera
dan sebuah jam terus menerus untuk mencatat terpecahkan. Saudara kandung dari anak-anak
ketakutan yang mereka alami beserta waktu, yang meninggal pada umumnya lebih siap
tempat, dan keadaan ketika hal itu terjadi. melakukan penyesuaian dibanding anggota
Rekaman infor masi tersebut kemudian keluarga yang dewasa, terutama jika orang tua
dilaporkan dan dibahas dengan terapis. tidak melalaikan anak-anak tersebut selagi
Menariknya proses self-monitoring ini ternyata mereka mengawasi anak yang sekarat atau
dapat mengakibatkan terjadinya pengurangan mengurusi anak yang meninggal.Orang tua
munculnya ketakutan. harus melalui sejumlah tahap sebelum dapat
Meniru perilaku orang lain juga telah menerima fakta secara penuh bahwa anak
terbukti efektif untuk menanggulangi fobia. mereka tengah sekarat atau telah meninggal.
Dalam behavior modelling klien mengamati orang Perkabungan sudah dimulai bahkan sebelum
lain yang berinteraksi dengan obyek kematian anak, dan hal ini dipandang sebagai
ditakutkan atau melakukan perilaku yang suatu pertanda positif bahwa tersebut sedang
ditakutkan tanpa menunjukkan suatu berusaha mengatasi masalah emosional mereka
ketakutan. Model dapat berupa seorang yang yang berhubungan dengan kematian.
riil atau seseorang yang diamati dalam sebuah Sebaliknya, kematian orangtua bagi anak yang
film. Klien dapat juga didukung untuk berlatih telah terikat secara emosional, juga dapat
melakukan perilaku ditakutkan dalam sebuah menghasilkan reaksi psikologis yang ekstrim.
role playing sebelum benar-benar menghadapi Jika tidak ditangani dengan baik, hal itu dapat
situasi yang sebenarnya. mendorong ke arah kekacauan emosional
yang menetap di masa dewasanya.
Penutup Pelajaran tentang death and dying telah
dirancang untuk berbagai kelompok informal
Selama ini kematian adalah suatu topik
dan formal, mulai dari masa pra sekolah
yang kurang terkenal dan jarang dibahas secara
sampai orang dewasa. Tujuan dari usaha ini
umum, sehingga kebanyakan manusia kurang
bersifat teoritis dan praktis, kognitif dan
terbiasa dengan masalah seputar kematian. Ada afektif. Tujuan keseluruhan adalah untuk
indikasi, bahwa penolakan akan konsep membantu individu menghadapi kematian
kematian adalah karakteristik dari budaya mereka sendiri dan orang lain yang penting
pertengahan abad 20 yang sekarang mulai bagi mereka secara lebih efektif. Death education
berubah. Kenyataan bahwa kematian adalah dapat dilakukan dengan pemberian informasi
komponen kehidupan untuk orang dewasa dan melalui pendekatan konvensional (ceramah,
anak-anak telah meningkatkan perhatian dan kuliah, diskusi, film, membaca, menulis tugas),
ketertarikan akan topik ini di Indonesia setelah dan juga melalui pengalaman seperti perjalanan
bencana berulang kali terjadi dan merenggut ke rumah sakit, kamar mayat, kuburan, dan
banyak nyawa sekaligus lokasi-lokasi lain yang terkait dengan kematian.
Kematian terbukti menimbulkan Jika ketakutan pada kematian telah terlanjur
dampak yang luas. Kematian seorang anak terbentuk, maka death education perlu disertai
dapat menghancurkan orang tua dan anggota dengan modifikasi perilaku dengan teknik-
keluarga lainnya. Kecemasan, depresi, rasa teknik khusus (desensitisasi sistematik, self
bersalah, dan kemarahan atas kematian monitoring dan modeling) serta psikoterapi agar
anaknya adalah reaksi yang umum terjadi pada lebih efektif untuk mengatasi ketakutan
orangtua dan saudara kandung yang dapat tersebut.

Kematian Akibat Bencana........ (Yulianti Dwi Astuti) \ 51[


[
Daftar Pustaka Goodman, M., Black, H. K., & Rubinstein, R.
L. (1996). Paternal Bereavement In
Aiken, L.R. (2001). Dying , Death and Older Men. Omega, 33, 303-22.
Bereavement. Mahwah: Lawrence
Erlbaum Associates Hiew, C.C. (2001). Trauma and Resilience. In
Husain, A (Ed). Practical Guide of
Attig, T. (1996). How We Grieve: Relearning The Trauma Psychology. University of
World. New York: Oxford University Missouri-Columbia. ICPT
Press.
Hiew, C.C, (2005). Trauma Healing &
Bonanno, G. A. (1999). Factors Associated Resilience. At Tsunami Trauma Training
With Effective Loss Accommodation. Conference. Jakarta: Universitas
In C. R. Figley (Ed.), Traumatology Of Tarumanegara
Grieving: Conceptual, Theoretical, And
Treatment Foundations (pp. 37-51). James, J. W., & Friedman, R. (1998). The Grief
Philadelphia: Taylor & Francis. Recovery Handbook: The Action Program
For Moving Beyond Death, Divorce, And
Book, P. L. (1996). How Does The Family Other Losses. (Rev. ed.). New York:
Narrative Influence The Individuals Harper Collins.
Ability To Communicate About
Death? Omega, 33, 323-341. Kilbler-Ross E. ( 1997). On Children And
Death: How Children And Their Parents
Campbell, J., Swank, P., & Vincent, K. (1991). Can And Do Cope With Death. New
The Role Of Hardiness In The York: Touchstone/Simon & Schuster.
Resolution Of Grief. Omega, 23, 53-65.
Klapper, J., Moss, S., Moss, M., & Rubinstein,
Cook, A. S., & Dworkin, D. S. (1992). Helping R. L. (1994). The Social Context Of
The Bereaved. New York: Basic Books. Grief Among Daughters Who Have
Corr, C. A. (1992). A Task-Based Approach Lost A Parent. Journal of Aging Studies,
To Coping With Dying. Omega, 24, 81- 8, 29-13.
94. Krementz, J. (1981). How It Feels When A
Drenovsky, C. K. (1994). Anger And The Parent Dies. New York: Knopf.
Desire For Retribution Among Leahy, J. M. (1993). A Comparison Of
Bereaved Parents. Omega, 29, 303-312. Depression In Women Bereaved Of A
Friedman, H.S. (2002). Health Psychology. New Spouse, Child Or A Parent. Omega, 26,
Jersey: Prentice-Hall. Inc 207-217.
Gilbar, O., & Dagan, A. (1995). Coping With Leming, M. R., & Dickinson, G. E. (1994).
Loss: Differences Between Widows Understanding Dying , Death, And
And Widowers Of Deceased Cancer Bereavement (3rd ed.). New York: Holt,
Patients. Omega, 31, 207-220. Rinehart & Winston.
Ginzburg, K., Geron, Y., & Solomon, Z. Levy, L. H., Martinkowski, K. S., & Derby, J.
(2002). Patterns of Complicated Grief E (1994). Differences In Patterns Of
Among Bereaved Parents. Omega, 45, Adaptation In Conjugal Bereavement:
119-132. Their Sources And Potential
Significance. Omega, 29, 71-87.

\ 52[
[ Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 2 No.1 Januari 2005 : 41 - 53
Martin, G., Pear, J. (1996). Behavior Modification: Rubin, S. S. (1992). Adult Child Loss And The
What It Is anf How To Do It. New Jersey: Two-Track Model Of Bereavement.
Prentice-Hall. Inc Omega, 24, 183-202.
McGoldrick, M. (1995). You Can Go Home Schultz, R. (1978). The Psychology of Death,
Again: Reconnecting With Your Family. Dying , and Bereavement. Pittburgh:
New York: W. W. Norton. Addison-Wesley Publishing Co.Inc
Meshot, C. M., & Leitner, L. M. (1993). Silverman, E., Range, L., & Overholser, J.
Adolescent Mourning And Parental (1994). Bereavement From Suicide As
Death. Omega, 26, 287-299. Compared To Other For ms Of
Moss, M. S., Moss, S. Z., Rubinstein, R., & Bereavement. Omega, 30, 41-51.
Resch, N. (1993). Impact Of Elderly Smart, L. S. (1993). Parental Bereavement In
Mothers Death On Middle Age Anglo-American History. Omega, 28,
Daughters. International Journal of Aging 49-61.
and Human Development, 37, 1-22. Stamm, B. H. (1999). Empirical Perspectives
Moss, M. S., Resch, N., & Moss, S. Z. On Contextualizing Death And
(1997).The Role Of Gender In Middle- Trauma. In C. R. Figley (Ed.),
Age Childrens Responses To Parent Traumatology Of Grieving: Conceptual,
Death. Omega, 35, 43-65. Theoretical, And Treatment Foundations
Moss, S. Z., Rubinstein, R. L., & Moss, M. S. (pp. 37-51). Philadelphia: Taylor &
(1997). Middle-Aged Sons Reactions Francis.
To Fathers Death. Omega, 34, 259-277. Stroebe, M. S. (1992). Coping With
Parkes, C. M. (1996). Bereavement: Studies Of Bereavement: A Review Of The Grief
Grief In Adult Life (3rd ed.). London: Work Hypothesis. Omega, 26, 19-42.
Routledge. Van Baarsen, B., Van Duijn, M. A. J., Smit, J.
Range, L. M., Walston, A. S., & Pollard, P. M. H., Snijders, T. A. B., & Knipscheer,
(1992). Helpful And Unhelpful K. P M. (2002). Patterns Of
Comments After Suicide, Homicide, Adjustment To Partner Loss In Old
Accident, Or Natural Death. Omega, Age: The Widowhood Adaptation
25, 25-31. Longitudinal Study. Omega, 44, 5-36.

Richardson, V. E., & Balaswamy, S. (2001).


Coping With Bereavement Among
Elderly Widowers. Omega, 43, 129-144.

Kematian Akibat Bencana........ (Yulianti Dwi Astuti) \ 53[


[

Anda mungkin juga menyukai