Anda di halaman 1dari 34

BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Struktur Modal


Teori struktur modal modern dimulai pada tahun 1958, ketika Profesor Franco
Modigliani dan Merton Miller (selanjutnya disebut MM) menerbitkan apa yang
disebut sebagai artikel keuangan paling berpengaruh yang pernah ditulis. MM
membuktikan, dengan menggunakan sekumpulan asumsi yang patut dipertanyakan,
bahwa nilai perusahaan seharusnya tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya. Atau
dengan kata lain, hasil yang diperoleh MM menunjukkan bahwa bagaimana cara
perusahaan mendanai operasinya tidak memiliki pengaruh, sehingga struktur modal
adalah sesuatu yang tidak relevan. Akan tetapi, asumsi asumsi yang menjadi dasar
studi MM bukanlah asumsi yang realistis, sehingga hasil yang mereka peroleh
menjadi dipertanyakan. Berikut adalah daftar sebagian asumsi yang mereka diambil:
1. Tidak ada biaya pialang.
2. Tidak ada pajak.
3. Tidak ada biaya kebangkurtan.
4. Investor dapat meminjam dengan tingkat yang sama seperti perusahaan.
5. Seluruh investor memiliki informasi yang sama seperti manajemen tentang
peluang investasi perusahaan di masa depan.
6. EBIT tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang.
Walaupun adanya fakta bahwa sebagian asumsi diatas kenyataan tidak
realistis, tetapi hasil tidak relevan yang diperoleh MM memilki arti yang sangat
penting. Dengan menunjukkan persyaratan yang membuat struktur modal menjadi
tidak relevan, maka MM menberikan kita petunjuk tentang apa yang dibutuhkan jika
struktur modal menjadi relevan dan memengaruhi nilai suatu perusahaan. Hasil karya
MM menandai awal penelitian struktur modal modern, dan penelitian berikutnya
dipusatkan pada pelonggaran asumsi asumsi MM agar dapat mengembangkan suatu
teori struktur modal yang lebih realistis.
a. Dampak Pajak
MM mengakui bahwa peraturan perpajakan memperkenankan perusahaan
untuk mengurangi pembayaran bunga sebagai suatu beban, tetapi pembayaran
dividen kepada pemegang saham bukan sebagai pengurang pajak. Perbedaan
perlakuan ini mendorong perusahaan untuk menggunakan utang dalam struktur
modalnya. Dan memang, MM menujukkan bahwa jika seluruh asumsi merek
berlaku, perbedaan perlakuan ini akan mengarah pada suatu struktur modal yang
100 persen terdri atas utang.
Hasil karya MM tahun 1963 beberapa tahun kemudian dimodifikasi oleh
Merton Miller (kali ini tanpa Modigliani), ketika ia memasukkan dampak pajak
pribadi. Miller mencatat bahwa obligasi membayarkan bunga, yang dikenakan
pajak sebagai penghasilan pribadi dengan tarif maksimal sampai 35 persen,
sementara penghasilan dari saham sebagian berasal dari dividen dan sebagian dari
keuntungan modal. Selain itu, keuntungan modal jangka panjang dikenakan pajak
dengan tarif maksimum 15 persen, dan pajak ini dapat ditangguhkan sampai saham
terjual dan keuntungannya direalisasikan. Jika saham dimilki sampai pemiliknya
meninggal dunia, maka tidak ada pajak atas keuntungan modal yang harus dibayar.
Jadi, jika dibandingkan pengembalian atas saham biasa dikenakan pajak dengan
tarif efektif yang lebih rendah dibandingkan pengembalian atas utang.
Oleh karena itu pajak ini, Miller berpendapat bahwa investor bersedia
untuk menerima pengembalian setelah pajak atas saham yang relatif rendah
dibandingkan dengan pengembalian setelah pajak atas obligasi. Misalnya, investor
yang berada dalam rentang pajak 35 persen mungkin meminta pengembalian
sebelum pajak sebesar 10 persen atas obligasi Bigbee, yang akan menghasilkan
pengembalian setelah pajak sebesar 10 %(1 T) = 10%(0,65) = 65%. Saham
Bigbee lebih berisiko dibandingkan dengan obligasi, sehingga investor akan
meminta pengembalian setelah pajak yang lebih tinggi, misalnya, 8,5% atas
saham. Oleh karena pengembalian saham (baik itu dividen maupun keuntungan
modal) akan dikenakan pajak hanya sebesar 15%, pengembalian sebelum pajak
sebesar 8,5% / (1 T) = 85% / 0,85 = 10,0% akan memberikan pengembalian
setelah pajak yang diminta sebesar 8,5%. Dalam contoh ini, tingkat bunga atas
obligasi akan sebesar 10%, sama dengan pengembalian atas saham yang diminta.
Jadi perlakuan atas penghasilan atas saham yang leih menguntungkan akan
menyebabkan investor menerima pengembalian sebelum pajak yang sama dengan
saham dan obligasi.
Seperti yang dikemukakan oleh Miller, (1) bunga sebagai pengurang pajak
menguntungkan penggunaan pendanaan dengan utang, tetapi (2) perlakuan pajak
atas penghasilan dari saham yang lebih menguntungkan menurunkan tingkat
pengembalian yang diminta atas saham dan karenanya menguntungkan
penggunaan pendanaan ekuitas. Sulit untuk menetukan dampak bersih dari kedua
factor diatas. Namun, sebagian besar pengamat percaya bahwa bunga yang dapat
menjadi pengurang pajak akan memiliki dampak yang paling kuat, sehingga
system pajak akan menguntungkan penggunaan utang oleh perusahaan. Meskipun
begitu, damak tersebut sudah pasti akan berkurang oleh pajak atas penghasilan
saham yang lebih rendah.
Professor Duke Universuty John Graham mengestimasikan manfaat pajak
secara keseluruhan dari pendanaan utang. Beliau menyimpulkan bawa manfaat
pajak yang berhubungan dengan pendanaan utang mencerminkan sektar 7% nilai
rata rata suatu perusahaan, sehingga jika perusahaan yang bebas leverage
memutuskan untuk menggunakan jumlah utang rata rata, maka nilainya akan
naik sebesar 7%.
Kita dapat mengamati adanya perubahan dalam pola pendanaan perusahaan
setelah terjadi perubahan besar pada tarif pajak. Misalnya, pada tahun 1993 tarif
pajak tertinggi pajak pribadi atas bunga dan dividen mengalami kenaikan tajam,
tetapi tariff pajak atas keuntungan modal tidak dinaikkan. Hal ini mengakibatkan
ketergantungan yang lebih tinggi pada pendanaan ekuitas, khususnya yang
diperoleh melalui laba ditahan. Pengurangan tarif pajak atsa dividen maupun
keuntungan modal selanjutnya makin menguntungkan ekuitas dibandingkan
dengan utang, yang melanjutkan tren kearah ketergantungan atas pendanaan
ekuitas yang makin tinggi.
B. Pecking Order Theory
Teori Pecking Order (Pecking Order Theory) dalam analisis struktur modal
dikembangkan oleh Myers dan Majlut (1984). Berdasarkan teori ini, sumber utama
modal perusahaan yang pertama kali harus berasal dari hasil usaha perusahaan yang
berupa keuntungan bersih setelah pajak yang tidak dibagikan kepada para pemilik
perusahaan atau pemegang saham (laba ditahan). Laba ditahan ini akan diinvestasikan
kembali dalam usaha atau proyek perusahaan yang menguntungkan. Jika laba ditahan
tidak cukup untuk membiayai proyek investasi yang menguntungkan tersebut, maka
perusahaan dapat meningkatkan modalnya dengan mencari dana dari hutang dan
kemudian dari modal sendiri atau ekuitas (Myers dan Majlut, 1984). Urutan sturktur
modal ini menjelaskan mengapa teori pecking order muncul sebagai salah satu teori
struktur modal yang menjelaskan bagaimana perusahaan membiayai kegiatannya.
Teori struktur modal menjelaskan perimbangan antara hutang jangka panjang
dan modal sendiri (ekuitas). Teori struktur modal tidak relevan dalam kaitannya
dengan nilai perusahan telah diusulkan oleh Modigliani dan Miller (1958). Jika
hutang dapat meningkatkan nilai perusahaan (Modigliani dan Miller, 1963) karena
adanya penghematan dalam model pajak, maka perusahaan harus
mempertimbangkan trade off antara biaya yang ditimbulkan karena kesulitan
keuangan (financial distress), biaya agensi (Jensen dan Meckling,1976) dan manfaat
pajak sehingga tercapai rasio hutang yang optimal. Namun, teori pecking order
menyatakan bahwa adanya target rasio hutang yang diinginkan perusahaan untuk
mencapai nilai perusahaan tertentu (Frank dan Goyal,2005).
Model pecking order berargumen bahwa teori ini muncul karena adanya
asimetri informasi antara perusahaan dan para pemodalnya. Oleh karena itu munculah
hirarki pembiayaan perusahaan yang dimulai dengan laba ditahan yang memiliki
biaya asimetri informasi terendah, diikuti oleh hutang, dan akhirnya ekuitas atau
modal sendiri dari sumber eksternal yang memiliki biaya asimetri informasi tertinggi.
Asimetri informasi merupakan kekuatan yang didorong oleh teori pecking order yang
banyak terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Oleh karena itu,
Indonesia dengan pasar modal yang sudah relatif maju akan menjadi tempat yang
baik untuk menguji secara empiris teori pecking order kaitannya dengan penilaian
kinerja perusahaan.
Salah satu faktor penting dalam membuat keputusan pembiayaan (financing)
adalah hubungan antara struktur modal riil perusahaan dan struktur modal optimal
(Brigham dan Ehrhardt, 2005). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa struktur modal
merupakan gabungan pembiayaan jangka panjang yang terdiri dari hutang jangka
panjang dan modal sendiri yang terdiri dari saham istimewa dan saham biasa.
Struktur modal mempunyai pengaruh penting terhadap keuntungan dan stabilitas
perusahaan. Proporsi hutang yang lebih besar dapat meningkatkan pertumbuhan
keuntungan yang tinggi, tetapi disisi lain hutang yang besar akan memperbesar
kemungkinan kebangkrutan bagi perusahaan, terutama apabila hutang tersebut
menyebabkan pertumbuhan perusahaan tersebut kecil atau bahkan negatif.
Pada model struktur modal, suatu tingkat hutang optimal ditetapkan dengan
mempertimbangan biaya dan manfaat (cost and benefit) yang berkaitan dengan
leverage perusahaan. Dalam analisis struktur kepemilikan hutang, secara teori banyak
model yang digunakan untuk membuat ramalan atas pemilihan sumber hutang di
dalam suatu struktur modal perusahaan. Model pemilihan sumber hutang dengan
asumsi bahwa hutang bank dan hutang bukan bank adalah sama. Namun demikian,
terdapat hasil empirikal yang memisahkan hutang bank dan mengkombinasikannya
dengan hutang bukan bank. Johnson (2003) menemukan bukti adanya perbedaan
antara hutang bank dan hutang swasta bukan bank. Dengan demikian ia membedakan
antara hutang bank, hutang publik dan hutang bukan bank. Yang menjadi masalah
selanjutnya adalah faktor-faktor apakah yang menentukan pemilihan sumber
penggunaan hutang atau struktur kepemilikan hutang.
Struktur modal (capital stucture) adalah perbandingan atau imbangan
pendanaan jangka panjang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang
jangka panjang terhadap modal sendiri. Pemenuhan kebutuhan dana perusahaan dari
sumber modal sendiri berasal dari modal saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika
dalam pendanaan perusahaan yang berasal dari modal sendiri masih mengalami
kekurangan (defisit) maka perlu dipertimbangkan pendanaan perusahaan yang berasal
dari luar, yaitu dari hutang (debt financing). Namun dalam pemenuhan kebutuhan
dana, perusahaan harus mencari alternatif-alternatif pendanaan yang efisien.
Pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang
optimal. Struktur modal yang optimal dapat diartikan sebagai struktur modal yang
dapat meminimalkan biaya penggunaan modal keseluruhan atau biaya modal rata-
rata, sehingga memaksimalkan nilai perusahaan.
Berkaitan dengan struktur modal tersebut di atas, maka sistem keuangan
perusahaan merupakan salah satu pertimbangan yang perlu dianalisis. Setiap
perusahaan memiliki kebijakan sendiri untuk memutuskan kebijakan apa yang
digunakan untuk membiayai bisnisnya dengan tujuan utama untuk memaksimalkan
nilai perusahaan sekaligus mengurangi risiko keuangan perusahaan. Dalam literatur
keuangan perusahaan, teori struktur modal merupakan salah satu masalah yang paling
membingungkan. Seperti telah kita ketahui bahwa strategi perusahaan untuk
membiayai aset mereka adalah melalui kombinasi dari ekuitas, hutang, dan laba
ditahan. Dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi struktur modal,
perusahaan dapat menentukan jenis kebijakan keuangan yang dikeluarkan.
Bentuk dari teori struktur modal seperti dikemukakan oleh Modigliani dan
Miller (1958) mulai menjadi dasar pemikiran modern pada struktur modal. Karena
faktor-faktor penting yang dapat menentukan keputusan struktur modal umumnya
dipandang sebagai hasil murni teoritis. Mereka mencetuskan bahwa struktur modal
tidak relevan kecuali dalam sebuah pasar sempurna, maka ketidaksempurnaan yang
ada di dunia nyata harus menjadi penyebab relevansinya. Teori teori struktur modal
seperti teori pecking order dan teori trade-off mencoba untuk menunjukkan beberapa
ketidaksempurnaan ini dengan asumsi yang dibuat dalam model Modigliani dan
Miller (1958).
Menurut teori yang ada, struktur modal secara signifikan mempengaruhi nilai
perusahaan. Misalnya teori trade off, tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta
bahwa perusahaan biasanya dibiayai sebagian dengan hutang dan sebagian dengan
ekuitas. Hal ini menyatakan bahwa ada keuntungan untuk membiayai dengan hutang,
yaitu adanya penghematan pajak yang harus dibandingkan dengan biaya
kemungkinan kesulitan keuangan termasuk biaya kepailitan hutang. Argumen ini
sesuai dengan pendapat Hovakimian, et al. (2001). Mereka menemukan bahwa lebih
menguntungkan apabila perusahaan menggunakan hutang daripada ekuitas. Di sisi
lain, pendapat ini mendukung penerapan teori pecking order. Pendapat tersebut
didukung adanya keuntungan yang diperoleh perusahaan jika diterapkan teori trade-
off dan juga teori pecking order yang dikaji oleh Frank dan Goyal (2005).
Sesuai dengan kajian sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor penentu keputusan kebijakan hutang perusahaan yang
terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia). Penelitian ini merupakan kelanjutan
penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Taufik dan Harjito (2010). Mereka
menemukan hubungan yang signifikan antara teori fiskal, trade off dan pecking order
dalam menentukan rasio hutang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
bukti empiris mengenai pemahaman teori keuangan khususnya teori trade off dan
pecking order dalam analisis struktur modal.
Pada dasarnya, penelitian ini ingin mengetahui faktor-faktor penentu
kebijakan hutang bagi perusahaan di Indonesia berdasarkan teori trade-off dan teori
pecking order dalam teori struktur modal. Kemudian peneliti akan melakukan
investigasi apakah struktur modal dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan-
perusahaan di Indonesia.
Penelitian mengenai struktur modal perusahaan cukup banyak didiskusikan
oleh para akademisi setelah Miller dan Modligiani (1958) yang mmengemukakan
tentang teori irrelevansi dalam struktur modal perusahaan. Mereka menyatakan
bahwa struktur modal tidak mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan,
akibatnya pembahasan teori keuangan hanya bertumpu pada tiga persoalan yaitu teori
irrelavan, faktor penentu struktur modal dan struktur modal optimal. Perkembangan
teori keuangan mengenai struktur modal terutama berkaitan dengan teori irrelevan
Miller dan Modligiani mendapat tanggapan beragam sehingga melahirkan teori baru
yang dikenal dengan teori trade-off, teori pecking order dan teori agency.
Teori trade-off menyatakan bahwa hubungan antara struktur modal dengan
nilai perusahaan terdapat suatu tingkat leverage yang optimal. Menurut teori ini agar
tercapai struktur modal yang optimal perusahaan perlu menyeimbangkan agency cost
of financial distress dan the tax advantage of debt financing. Menurut teori ini
struktur modal yang optimal dicapai, apabila nilai sekarang dari tax shield hutang
adalah sama dengan nilai sekarang dari biaya kesulitan keuangan hutang. Secara
umum teori ini menegaskan bahwa apabila perusahaan ingin meningkatkan nilai
perusahaan melalui indikator earning per share (EPS), maka pembiayaan investasi
tambahan hurus dibiayai oleh hutang. Hal ini terjadi karena pembiayaan dengan
hutang, perusahaan dapat memperoleh penghematan pajak sekaligus
mempertahankan jumlah saham beredar. Keadaan ini mendorong pendapatan per
lembar saham (EPS) akan lebih tinggi. Sebaliknya apabila perusahaan mengalami
kegagalan dalam mengelola investasi yang berakibat pada ketidakmampuan
membayar bunga dan pokok pinjaman, maka posisi perusahaan berada diambang
kebangkrutan. Apabila semua biaya akibat kesulitan keuangan tersebut sama dengan
jumlah tambahan pendapatan dari penghematan pajak (taxe shield of debt), maka
struktur modal perusahaan dianggap sudah optimal.
Teori pecking order menyatakan bahwa perusahaan melakukan keputusan
pendanaan secara hierarki dari pendanaan internal ke eksternal. Urutan pendanaan
mulai dari dana yang bersumber dari laba ditahan, kemudian hutang dan akhirnya
sampai pada penerbitan ekuitas baru, artinya dimulai dari sumber dana dengan biaya
termurah (Myers dan Majluf, 1984). Teori pecking order ini menganut keputusan
pendanaan dengan urutan preferensi logis investor terhadap prospek perusahaan dan
konsisten pada tujuan, agar manajer mampu memaksimumkan kemakmuran
pemegang saham. Teori pecking order mengasumsikan bahwa perusahaan cenderung
memilih pembiayaan internal untuk mendanai proyek-proyeknya. Perusahaan juga
menyesuaikan target devidend pay-out ratio dengan kesempatan melakukan investasi.
Di samping itu perusahaan menerapkan kebijakan deviden yang kaku, fluktuasi
profitabilitas dan kesempatan berinvestasi yang unpredictable. Keadaan ini
menyebabkan dana yang dihasilkan dari kegiatan internal seringkali tidak digunakan
sesuai dengan kebijakan pengeluaran modal (capital expenditure). Apabila dana
internal lebih besar maka perusahaan akan menggunakannya untuk melunasi hutang
atau berinvestasi pada surat berharga. Sebaliknya apabila perusahaan mengalami
defisit, maka perusahaan akan menurunkan saldo kas atau menjual surat berharga
tersebut. Asumsi lainnya bahwa ketika perusahaan memerlukan sumber dana
tambahan, mereka cenderung memilih hutang lebih dulu kemudian sekuritas (Myers
dan Majluf, 1984). Teori agensi merupakan teori yang berhubungan dengan masalah
agensi. Menurut teori ini potensi konflik antara agen-agen yang terlibat dalam
perusahaan baik itu manajer, bondholder maupun shareholder menentukan struktur
modal optimal yang akan meminimalkan biaya agensi (agency costs). Menurut Myers
dan Majluf (1984), perusahaan yang memiliki peluang pertumbuhan yang tinggi di
masa depan harus menggunakan pembiayaan ekuitas yang lebih besar, karena
penggunaan leverage yang tinggi berarti membiarkan peluang investasi yang
menguntungkan.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa teori trade-off dan teori pecking order
menyatakan adanya tingkat hutang yang optimal yang menyamakan biaya marjinal
atas hutang terhadap manfaat marjinal dari hutang tersebut. Jika ada penyimpangan
dari tingkat hutang yang optimal, maka perusahaan membuat upaya untuk
menyesuaikan kembali ke tingkat hutang yang optimal mereka. Sementara dalam
teori lain, seperti teori keagenan, menyatakan bahwa proporsi peningkatan hutang di
satu sisi dan peningkatkan proporsi ekuitas di sisi lain dapat mencapai struktur modal
yang optimal sehingga akan meminimalkan total biaya agensi. Oleh karena itu, teori
trade-off dan teori pecking order m enekankan manfaat dan biaya hutang, sedangkan
teori keagenan menekankan biaya keagenan ekuitas dan hutang dari suatu struktur
modal yang bersangkutan.
Teori trade-off dan teori keagenan menyatakan bahwa terdapat rasio hutang
yang optimal atau struktur modal yang optimal di dalam keuangan perusahaan.
Namun sebaliknya, perusahaan membuat keputusan struktur modal berdasarkan
sumber modal yang paling mahal biaya modalnya. Itu adalah sumber modal yang
kurang sensitif terhadap masalah asimetri informasi yang mengikuti urutan
srukturnya, yaitu mulai dari laba ditahan; diikuti oleh hutang dan terakhir ekuitas.
Teori pecking order dalam rangka menjabarkan hubungan antara struktur modal,
dividen perusahaan dan kebijakan investasi. Teori ini menunjukkan bahwa
perusahaan lebih suka menggunakan laba ditahan untuk membayar dividen dan
membiayai investasi baru.
Hal ini berarti peringkat laba ditahan di bagian atas urutan kekuasaan, diikuti
oleh hutang dan ekuitas terakhir eksternal. Teori pecking order memprediksi adanya
hubungan negatif antara keuntungan dan rasio hutang. Selanjutnya, teori pecking
order juga menunjukkan bahwa struktur modal perusahaan yang diamati memiliki
hubungan yang positif dengan ukuran, pertumbuhan dan kekayaan atau aset
perusahaan. Bagi perusahaan yang menguntungkan dengan prospek pertumbuhan
yang lambat akan memiliki rasio hutang yang relatif rendah terhadap rata-rata industri
di mana perusahaan tersebut beroperasi. Di sisi lain, perusahaan yang tidak
menguntungkan dalam industri yang sama akan memiliki rasio hutang yang relatif
tinggi dibandingkan dengan rata-rata industri mereka. Dengan demikian, tingkat
keuntungan akan menentukan pilihan perusahaan jika akan memerlukan modal
eksternal. Alasan utama mengapa teori pecking order ditafsirkan memiliki hubungan
negatif antara rasio hutang dan keuntungan adalah bahwa pembayaran dividen
dianggap erat kaitannya dengan keuntungan dan besarnya hutang. Oleh karena itu,
perusahaan akan mempunyai pilihan untuk membayar hutang yang akan
menyebabkan penurunan rasio hutang dengan meningkatnya keuntungan. Artinya
bahwa, apabila keuntungan meningkat maka kemampuan perusahaan untuk
membiayai investasinya dari hasil keuntungan akan meningkat. Di sisi lain,
meningkatnya keuntungan akan meningkatkan pertumbuhan perusahaan.
C. Trade - off theory
Trade Off Theory pertama kali diperkenalkan pada tahun 1963 oleh
Modigliani dan Miller dalam sebuah artikel American Economic Review 53 (1963,
Juni) yang berjudul Corporate Income Taxes on the Cost of Capital: A correction.
Artikel ini merupakan perbaikan model awal mereka yang sebelumnya
memperhitungkan adanya pajak perseroan (akan tetapi tetap mengabaikan pajak
perorangan). Selanjutnya model tersebut dikenal dengan sebutan model MM-2 atau
model MM dengan pajak perseroan (Brigham dan Ehrhardt, 2005). Dalam teori ini
menjelaskan ide bahwa berapa banyak utang perusahaan dan berapa banyak ekuitas
perusahaan sehigga terjadinya keseimbangan antara biaya dan keuntungan.
Dari model MM-2, dapat dipetik dua hal utama yang berbeda dngan model
MM 1 sebelumnya adalah (Brigham dan Ehrhardt,2005):
1) Dalam model pertama, struktur modal tidak mempengaruhi nilau perusahaan.
Dalam kenyataannya, struktur modal mempunyai pengaruh positif terhadap nilai
perusahaan: bertambahnya penggunaan utang akan meningkatkan nilai
perusahaan, dengan kata lain pajak memberi manfaat dalam pendanaan yang
berasal dari utang, sebesar manfaat pajak dari penggunaan utang diperoleh dari
beban biaya bunga utang yang dapat diperhitungkan sebagai elemen biaya yang
mengurangi besaran laba kena pajak, sedangkan pembayaran dividen tidak dapat
diperhitungkan sebagai elemen biaya. Jadi, perusahaan (seperti) menerima subsidi
dari pemerintah atas penggunaan utang untuk menambah modal.
2) Dengan adanya pajak perseroan, diperoleh dua manfaat penggunaan utang yakni:
Utang merupakan sumber modal yang lebih murah daripada ekuitas, dan biaya
bunga menjadi elemen pengurang pajak. Dari model MM-1, diketahui bahwa
penghematan dari penggunaan utang yang lebih murah sepenuhnya digantikan
oleh peningkatkan biaya penggunaan ekuitas. Meskipun demikian,dalam situasi
dengan adanya pajak perseroan, keuntungan yang diperoleh perusahaan dari
penggunaan utang lebih besar daripada peningkatan biaya ekuitas.
Sebelumya trade off theory ini dikenal dengan nama balanced theory.
Husnan (1996), mengatakan bahwa secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
balanced theory menganut pola keseimbangan antara keuntungan penggunaan
dana dari utang dengan tingkat bunga yang tinggi dan biaya kebangkrutan. Teori
keseimbangan (trade-off-theory) merupakan penyeimbang manfaat dan
pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunan utang. Jika manfaat yang
dihasilkan lebih besar, porsi utang dapat ditambah. Berdasarkan teori ini,
perusahaan berusaha mempertahankan struktur modal yang ditargetkan dengan
tujuan memaksimumkan nilai pasar.
Trade off theory adalah teori struktur modal yang menyatakan bahwa
perusahaan menukar manfaat pajak dari pendanaan utang dengan masalah yang
ditimbulkan oleh potensi kebangkrutan (brigham dan Houston,2011). Dari model
ini dapat dinyatakan bahwa perusahaan yang tidak menggunakan pinjaman sama
sekali dan perusahaan yang menggunakan pembiayaan investasinya dengan
pinjaman seluruhnya adalah buruk. Keputusan terbaik adalah keputusan yang
moderat dengan mempertimbangkan kedua instrument pembiayaan. Trade off
theory berasumsi bahwa adanya manfaat pajak akibat penggunaan utang,sehinngga
perusahaan akan menggunakan utang sampai tingkat tertentu untuk
memaksimalkan nilai perusahaan. Esensi trade off theory dalam struktur modal
adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat
penggunaan utang. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan utang masih
diperkenankan. Apabila pengorbanan karena penggunaan utang sudah lebih besar,
maka tambahan utang sudah tidak diperbolehkan. Penggunaan utang 100% sulit
dijumpai dalam praktik dan hal tersebut ditentang oleh trade off theory.
Kenyataannya, semakin banyak utang, semakin tinggi beban yang harus
ditanggung perusahaan, seperti biaya kebangkrutan, biaya keagenan,beban bunga
yang semakin besar dan sebagainya. Trade off theory telah mempertimbangkan
berbagai factor seperti corporate tax, biaya kebangkrutan, dan personal tax dalam
menjelaskan mengapa suatu perusahaan memilih suatu struktur modal tertentu
(husnan,2000). Theory trade off juga menjelaskan bahwa peningkatan rasio utang
pada struktur modal akan meningkatkan nilai total perusahaan sebesar tarif pajak
dikali dengan jumlah utang. Semakin besar akses ke sumber dana, semakin
tersedia potensi dana, maka semakin besar kemungkinan mengambil peluang
investasi yang menguntungkan yang diperoleh semain besar dan kinerja
perusahaan meningkat. Menurut brigham dan Gapenski (1993) dalam Rafikasyari
(2006) teori trade off memberi tiga pertanyaan penggunaan utang yang dapat
digunakan untuk menentukan secara pasti struktur modal optimal setiap
perusahaan, yaitu:
1) Perusahaan dengan risiko lebih tinggi, diukur dengan variabilitas return atas
aktiva perusahaan, harus meminjam lebih sedikit daripada perusahaan dengan
risiko lebih rendah. Semakin tingg variabilitas, semakin tinggi kemungkinan
tekanan finansial, dengan demikian perusahaan dengan risiko bisnis yang lebih
rendah dapat meminjam lebih banyak sebelum biaya tekanan finansial
menyerap habis keuntungan pajak dari utang.
2) Perusahaan yang operasinya menggunakan aktiva berwujud, aktiva yang
memiliki pasar misalnya real estate dapat memijam lebih banyak daripada
perusahaan yang nilainya terutama berasal dari aktiva tak berwujud, misalkan
paten dan goodwill. Aktiva spesifik, aktiva tidak berwujud, dan peluang
pertumbuhan akan kehilangan nilainya jika tekanan finansial terjadi disbanding
dengan aktiva berwujud standar.
3) Perusahaan yang memiliki tarif pajak yang tinggi, yang memungkinkan
berlanjut pada masa yang akan datang dapat meminjam lebih banyak daripada
perusahaan dengan tarif pajak dan atau prospek pajak yang lebih rendah. Tarif
pajak yang tinggi meneyebabkan keuntungan yang lebih besar daripada
pendanaan dengan utang, sehingga perusahan dengan tarif pajak yang lebih
tinggi dapat meminjam lebih banyak, hal lain diangap sama, sebelum
keuntungan pajak diserap oleh biaya tekanan finansial dan biaya keagenan.
Sundjaya dan Berlian (2002) menjelaskan bahwa struktur modal yang optimal
didasarkan atas keseimbangan antara manfaat dan biaya dari pembiayaan
dengan pinjaman. Manfaat terbesar dari suatu pembiayaan dengan pinjaman
adalah pengurangan pajak yang diperoleh dari pemerintah yang mengijinkan
bunga atas pinjaman dapat dikurangi dalam menghitung pendapatan kena
pajak.meskipun trade off theory dalam struktur modal masih memberikan
pandangan baru dalam struktur modal, tetapi teori tersebut tidak memberikan
formula yang pasti bisa memberi petunjuk berapa tingat utang yang optimal.
Dengan demikian, sampai saat ini teori ini belum berhasil memberikan
penjelasan yang memuaskan mengenai tingkat utang yang ideal. Menurut Azazi
(2008), dalam memilih struktur modal optimal, perusahan mempertimbangkan
manfaat dan biaya antara utang dengan ekuitas. Literatur tentang struktur modal
yang optimal berkenaan dengan kontinjensi (persyaratan) yang khusus bagi
setiap sumber pendanaan yang pada gilirannya menentukan manfaat dan biaya
dari masing-masing sumber dana tersebut. Tiga bentuk kontinjensi yang
biasanya dianggap sebagai determinan struktur modal optimal adalah sebagai
berikut:
1) Teori Pajak
Model berdasarkan pajak menghipotesiskan bahwa perusahaan memilih
debt equity-ratio dengan mempertimbangkan manfaat pengurangan pajak
karena pembayaran bunga pinjaman dan biaya financial distress yang
disebabkan oleh akumulasi utang perusahaan. Aliran kas dari utang dan
ekuitas dikenakan pajak yang berbeda oleh pemerintah. Karena bunga dapat
mengurangi pembayaran pajak sedangkan dividen tidak dapat, maka
pembiayaan dengan utang mempunyai keuntungan pajak.
2) Biaya Kepailitan
Perusahaan memang dapat menikmati bertambahnya penghematan
pajak yang diperoleh dari bertambahnya utang, akan tetapi pendanaan yang
berasal dari utang juga dapat meningkatkan kemungkinan perusahaan
mengalami kebangkrutan karena bertambahnya beban bunga. Perusahaan
dapat menangguhkan pembayaran dividen, tetapi pembayaran bunga tetap
harus dipenuhi secara tepat waktu dan jumlahnya. Kegagalan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban pembayaran bunga disebabkan oleh kas yang
dimiliki tidak cukup dan dapat mengakibatkan perusahaan menanggung
beban keuangan. Wujud beban keuangan yang paling berat adalah
kepailitan atau kebangkrutan.
Biaya beban keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: biaya
beban keuangan langsung dan biaya beban keuangan tidak langsung. Biaya
beban keuangan langsung meliputi: biaya pengesahan secara hukum (legal)
dan biaya administrasi yang berkaitan dengan kebangkrutan atau
reorganisasi. Sedangkan biaya beban keuangan tidak langsung biasanya
bersifat implisit yang ditanggung oleh perusahaan dalam situasi yang sangat
berat (tetapi tidak bangkrut), antara lain: biaya modal lebih tinggi,
penurunan penjualan dan hilangnya kepercayaan pelanggan, perusahaan
tidak dapat mempertahankan manajer-manajer dan para pekerja yang
berkualitas.
3) Konflik agen-prinsipal (agency theory)
Konflik ini timbul ketika terdapat moral hazard di dalam perusahaan,
yang disebut dengan biaya keagenan ekuitas. Manajer-manajer perusahaan
ingin mewujudkan keinginan mereka sendiri yang tidak sesuai dengan
keinginan pemegang saham. Masalah keagenan ini dapat diselesaikan jika
kepemilikan saham bagi manajer ditingkatkan, karena kepemilikan manajer
yang tinggal dapat mendekatkan kepentingan manajemen dan pemegang
saham (Jensen dan Meckling, 1976). Kemungkinan lain adalah monitoring
yang dilakukan oleh pemegang saham utama kepada manajemen dan
penggunaan utang untuk mendisiplinkan manajemen. Namun utang
menciptakan masalah keagenan yang lain. Jensen dan Meckling (1976)
memberikan argumen bahwa manajer yang bekerja untuk kepentingan
pemegang saham kemungkinan menyalahgunakan kekayaan dari kreditur
dengan melakukan substitusi aktiva. Artinya, manajer melakukan investasi
pada proyek berisiko, karena jika proyek tersebut gagal, biaya yang
dikeluarkan akan dibagi bersama. Namun, bila proyek berhasil maka
pemegang saham akan memperoleh keuntungan.
Sebaliknya, Myers (1977) mengatakan bahwa perusahaan yang
utangnya tinggi dapat menunda atau membatalkan proyek-proyek
perusahaan yang menguntungkan karena mereka tidak mampu membayar
utang yang sangat besar tersebut. Oleh karena itu, dalam memilih tingkat
debt-equity mereka, perusahaan-perusahaan harus mempertimbangkan
biaya keagenan utang dan biaya keagenan ekuitas.
D. MM argument
1) Modigliani-Miller (MM) Theory Teori MM Dengan Dan Tanpa Pajak
Teori Modigliani dan Miller (teori MM) adalah .teori yang berpandangan
bahwa struktur modal tidak relevan atau tidak mempengaruhi nilai perusahaan.
MM mengajukan beberapa asumsi untuk membangun teori mereka (Brigham dan
Houston, 2001) yaitu:
a. Tidak terdapat agency cost.
b. Tidak ada pajak.
c. Investor dapat berhutang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan
perusahaan.
d. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai
prospek perusahaan di masa depan.
e. Tidak ada biaya kebangkrutan.
f. Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan
dari hutang.
g. Para investor adalah price-takers.
h. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market
value).
1. Model Modigliani Miller (MM) tanpa pajak
Pada tahun 1958 mereka mengajukan suatu teori yang ilmiah tentang
struktur modal perusahaan. Teori mereka menggunakan beberapa asumsi:
a. Risiko bisnis perusahaan diukur dengan EBIT (Standard Deviation Earning
Before Interest and Taxes).
b. Investor memiliki pengharapan yang sama tentang EBIT perusahaan di masa
mendatang.
c. Saham dan obligasi diperjual belikan di suatu pasar modal yang sempurna.
d. Seluruh aliran kas adalah perpetuitas (sama jumlahnya setiap periode hingga
waktu tak terhingga). Dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan adalah nol
atau EBIT selalu sama.
2. Teori MM dengan pajak
Pada tahun 1963, MM menerbitkan artikel sebagai lanjutan teori MM tahun
1958.Asumsi yang diubah adalah adanya pajak terhadap penghasilan perusahaan.
Dengan adanya pajak ini, MM menyimpulkan bahwa penggunaan hutang akan
meningkatkan nilai perusahaan karena biaya bunga hutang adalah biaya yang
mengurangi pembayaran pajak.

Preposisi I : nilai dari perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari
perusahaan yang tidak berhutang ditambah dengan penghematan
pajak karena bunga hutang. Implikasi dari preposisi I ini adalah
pembiayaan dengan hutang sangat menguntungkan dan MM
menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan adalah
seratus persen hutang.

Preposisi II : biaya modal saham akan meningkat dengan semakin


meningkatnya hutang, tetapi penghematan pajak akan lebih besar
dibandingkan dengan penurunan nilai karena kenaikan biaya
modal saham. Implikasi dari preposisi II ini adalah penggunaan
hutang yang semakin banyak akan meningkatkan biaya modal
saham. Menggunakan hutang yang lebih banyak, berarti
menggunakan modal yang lebih murah (biaya modal hutang lebih
kecil dibandingkan dengan biaya modal saham), sehingga akan
menurunkan biaya modal rata-rata tertimbangnya (meski biaya
modal saham meningkat).

Teori MM tersebut sangat kontroversial. Implikasi teori tersebut adalah


perusahaan sebaiknya menggunakan hutang sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya,
tidak ada perusahaan yang mempunyai hutang sebesar itu, karena semakin tinggi
tingkat hutang suatu perusahaan, akan semakin tinggi juga kemungkinan
kebangkrutannya. Inilah yang melatarbelakangi teori MM mengatakan agar
perusahaan menggunakan hutang sebanyak-banyaknya, karena MM mengabaikan
biaya kebangkrutan.
E. Dividen controvercy
Pada dasarnya kebijakan dividen menentukan proporsi seberapa besar laba
bersih setelah pajak yang akan dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk
dividen dan yang tidak akan dibagikan dalam bentuk laba ditahan. Sama halnya
dengan Pengertian kebijakan dividen Menurut Bambang Riyanto (2001 ; 265) :
Kebijakan dividen adalah bersangkutan dengan penentuan pembagian pendapatan
(earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada pemegang saham
sebagai dividen atau digunakan didalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut
harus ditahan di dalam perusahaan.
Teori kebijakan dividen sebagian besar menitik beratkan pada masalah
hubungan pada kebijakan dividen dengan nilai perusahaan semua teori itu masih
menjadi perdebatan banyak ahli. Beberapa buku memberikan nama lain terhadap teori
mengenai kebijakan dividen seperti dividend controversy dan dividend puzzle, yang
mengisyaratkan belum tercapainya suatu kesepakatan yang umum tentang kebijakan
dividen dalam kaitannya dengan nilai perusahaan.
Menurut Husnan dan Pudjiasti (2004 : 297) pengertian kebijakan dividen
adalah kebijakan yang menyangkut tentang masalah penggunaan laba yang menjadi
hak para pemegang saham. Pada dasarnya laba tersebut tidak dibagi sehingga dividen
atau laba ditahan untuk diinvestasikan kembali. Menurut Gitman (2006:597)
kebijakan dividen perusahaan adalah A plan of action to be followed wherever on
dividend decision is made. Dengan demikian dapat disimpulkan kebijakan dividen
adalah kebijakan yang mengatur berapa bagian laba bersih yang akan dibagikan
sebagai dividen kepada para pemegang saham dan berapa bagian laba bersih yang
akan digunakan untuk membiayai investasi perusahaan.
a) Teori Kebijakan Dividen
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli keuangan diantaranya :
1. Dividend Irrelevance Theory
Teori ini menyatakan kebijakan dividen perusahaan tidak memiliki
pengaruh, baik terhadap perusahaan (firm`s value) maupun biaya modal (cost
of capital). Teori ini dikemukakan oleh Merton Miller dan franco Modigliani
(MM). M-M menyatakan bahwa nilai dari suatu perusahaan tergantung hanya
pada pendapatan yang dihasilkan assetnya, bukan dengan bagaimana pendapat
itu dibagikan menjadi dividen dan laba ditahan tidak mempengaruhi nilai
perusahaan. M-M membuktikan pendapatnya secara matematis dengan
berbagai asumsi :
a. Tidak ada pajak pendapatan perorangan atau perusahaan
b. Tidak ada flotasi atau biaya transaksi
c. Bahwa financial leverage tidakterpengaruh terhadap biaya modal
d. Bahwa investor dan manajer memiliki informasi yang sama mengenai
prospek perusahaan dimasa yang akan datang
e. Bahwa pembagian pendapatan antara dividend dan laba ditahan (cost of
equity) perusahaan
f. Bahwa anggaran modal perusahaan tidak tergantung pada kebijakan
dividennya.
Asumsi-asumsi diatas pada dunia nyata. Perusahaan dan investor
membayar pajak pendapatan; perusahaan mengalami flotasi biaya; manager
seringkali tahu mengenai prospek perusahaan dimasa yang akan datang
dibandingkan investor. Investor membayar biaya transaksi dapat
menyebabkan biaya kepemilikan dipengaruhi oleh kebijakan dividennya. M-
M menyatakan bahwa kebijakan teori ekonomi didasarkan pada asumsi-
asumsi sederhana dan bahwa validitas dan suatu teori harus diuji secara
empiris, bukan dengan merealisasikan asumsi-asumsinya. Kesimpulan dari
teori yaitu tidak ada kebijakan dividen yang optimal karena kebijakan dividen
tidak mempengaruhi nilai perusahaan, suatu kebijakan dividen sama baiknya
dengan kebijakan dividen lainnya.
2. Bird-in-the Hand Theory
Teori ini menyatakan nilai suatu perusahaan akan maksimal dengan
rasio pembayaran dividen yang tinggi. Pendapat ini dinyatakan oleh Myron
Gordon dan Lintner yang diberi nama bird-in-the hand theory karena menurut
mereka investor lebih merasa aman untuk memeperoleh pendapatan berupa
pembayaran dividen atau menunggu capital gain. Gordon dan Linter
beranggapan bahwa investor memandang satu burung ditangan akan lebih
berharga dari seribu burung diudara. Kesimpulan dari teori ini adalah suatu
perusahaan akan menetapkan rasio pembayaran dividen yang tinggi dan
menawarkan perolehan dividen yang tinggi untuk memaksimalkan harga
sahamnya.
3. Tax Preference Theory
Pertama harus disadari bagi investor yang dikenai pajak pendapatan
perorangan, pendapatan yang relevan baginya adalah pendapatan setelah
pajak. Pendapat yang ketiga setelah pendapat Mondigliani-Miller dan Gordon
lintner adalah pendapatan dari kelompok para akademisi yang cenderung
menyarankan bahwa perusahaan sebaiknya menentukan dividend payout yng
rendah atau bahkan tidak membagikan dividen. Pendapat ketiga ini ternyata
bertentangan dengan pendapat Gordon-Lintner sebelumnya. Kesimpulan dari
teori ini adalah invester lebih memilih laba ditahan daripada dengan dividen
karena keuntungan dari pajak capital gain. Teori ini menyarankan perusahaan
harus menahan pembayaran dividennya pada tingkat yang rendah jika mereka
ingin memaksimalkan harga sahamnya.
b) Jenis-Jenis Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen suatu perusahaan mewaliki rencana dari tindakan yang
diikuti kapanpun keputusan dividen harus dibuat. Kebijakan dividen harus
diformulasikan dengan dua tujuan dasar, yaitu memaksimalkan kemakmuran
pemilik perusahaan dan menyediakan keuangan yang mencukupi. Adapun yang
merupakan tipe-tipe dari kebijakan dividen menurut Gitman (2003, 571; 572)
sebagai berikut:
1. Constant-Payout-ratio dividend policy
Yang dimaksud dengan dividend payout rasio menurut Gitman
(2003:570) yaitu Indicates the percentage of each dollar earned that is
distributed to the owners in the form cash; calculated dividing the firm s cash
dividend per share by its earning per share. Yang artinya mengindikasikan
persentase atas tiap dollar dari pendapatan yang dibagikan kepada pemilik
saham dalam bentuk kas atau tunai perhitungan pembagian dividen tunai
perusahaan perlembar dari pendapatan perlembar sahamnya.
Sedangkan menurut Gitman (2003:507) yang dimaksud dengan constant
payout-ratio itu sendiri adalah A dividend policy based on the payment of a
certainty percentage of earning to owners in each dividend periode. Yang
artinya suatu kebijakan dividen berdasar pada pembayaran dengan persentase
yang tetap dari pendapatan perusahaan. Kebijakan sejenis ini jarang sekali
digunakan perusahaan, dimana perusahaan membayarkan dividen dalam
persentase yang konstan terhadap pendapatan perusahaan. Umumnya jika
pendapatan perusahaan berfluktuasi maka jumlah dividen yang dibayarkan
akan ikut berfluktuasi.
2. Reguler Dividend Policy
Yang dimaksud dengan regular dividen policy menurut Gitman
(2003:571) yaitu A dividend policy based on payment of a fixed dollar
dividend in each periode. Yang artinya kebijakan dividen berdasarkan
pembayaran dengan dividen dalam jumlah dollar yang tetap tiap periode.
Seringkali kebijakan dividen yang regular dibangun diantara target dividend
payout ratio.
Adapun yang dimaksud dengan target dividend payout ratio itu sendiri
menurut Gitman (2003:571) yaitu A policy under which the firm attempt to
payout a certain percentage of earning as a stead dollar dividend, which it
adjust toward a target payout as proven earning in creases occur. Yang artinya
suatu kebijakan dimana perusahaan mencoba untuk membayar persentase
tertentu dari pendapatan sebagai dividen dollar, yang mana kebijakan tersebut
membuat penyesuaian kearah suatu target pembayaran ketika terbukti terjadi
penggandaan dalam pendapatan. Dalam kebijakan dividen ini jumlah dividen
per lembar yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu
tertentu, meskipun pendapatan per lembar sahamnya tiap tahunnya
berfluktuasi. Dividen yang stabil ini dipertahankan untuk beberapa tahun,
kemudian apabila pendapatan perusahaan meningkat dan kenaikan pendapatan
tersebut tampak mantap dan relatif permanen maka barulah dividen per
lembar saham dinaikkan dan dividen yang sudah dinaikkan ini akan
dipertahankan untuk yang relatif panjang.
3. Low-Regural-and-Extra Dividend policy
Menurut Gitman (2003:572) yang dimaksud dengan Low -regural- and
Extra-Dividen Policy yaitu A dividend policy based on paying a low regular
dividend, sumplemented by an additional dividend when earnings want it.
Yang artinya suatu kebijakan dividen yang didasarkan pada pembayaran suatu
dividen regular rendah, ditambah oleh suatu dividen tambahan ketika
pendapatan menjaminnya. Kebijakan ini merupakan kebijakan kombinasi
antara kedua kebijakan diatas. Perusahaan membayarkan dividen tetap yang
rendah, tapi ditambah dengan pembayaran ekstra pada saat-saat tertentu.
Dengan kebijakan semacam ini, perusahaan dapat menghilangkan
ketidakpastian bagi investor mengenai pendapatan dividen yang akan
diterimanya. Kebijakan semacam ini cocok untuk perusahaan yang
pendapatannya berfluktuasi.
c) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen
Dalam menentukan bentuk dividen yang akan dibagikan serta jumlah earning
yang akan dikeluarkan sebagai dikeluarkan sebagai dividen (cash dividend),
perusahaan harus memperhatikan kepentingan banyak pihak baik pihak internal
maupun pihak eksternal yang berhubungan dengan perusahaan, selain itu dividen
yang akan ditetapkan oleh perusahaan sebaiknya melalui pertimbangan atas
faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen itu sendiri.
Menurut Sundjaja dan Barlian (2003:387-390) faktor-faktor yang
mempengaruhi dividen adalah :
1. Peraturan Hukum
a. Mengenai laba bersih menentukan bahwa dividen dapat dibayar dari
laba tahun-tahun yang lalu dan laba tahun berjalan.
b. perturan mengenai tindakan yang merugikan modal. Melindungi para
direktur, dengan melarang pembayaran dividen yang berasal dari
modal( membagikan investasinya bukan membagikan dividennya)
c. peraturan mengenai tidak mampu bayar. Perusahaan tidak boleh
membayar jika tidak mampu (bangkrut).
2. Posisi Likuiditas Laba ditahan biasanya diinvestasikan dalam bentuk aktiva
yang diperlukan untuk menjalankan usaha. Laba ditahan dari tahun ke tahun
terdahulu sudah diinvestasikan dalam bentuk mesi dan peralatan, persediaan,
dan barang- barang lainnya, bukan disimpan dalam bentuk uang tunai. Oleh
karena itu suatu perusahaan yang keuntungannya luar biasa mungkin saja
tidak dapat membayar dividen karena keadaan likuiditasnya. Memang
perusahaan yang sedang tumbuh biasanya betul- betul kurang dana dalam
situasi seperti ini mungkin perusahaan memutuskan untuk tidak membayar
dividen dalam bentuk tunai.
3. Membayar Pinjaman
Jika perusahaan telah melakukan pinjaman untuk memperluas
usahanya atau untuk pembiayaan lainnya maka ia dapa mlunasi pinjaman
nya pada saat jatuh tempo atau ia dapat menyisihkan cadangan- cadangan
untuk melunasi pinjaman itu nantinya. Jika diputusakan bahwa pinjaman itu
akan dilunasi, maka biasanya harus ada laba ditahan.
4. Kontrak pinjaman
Kontrak pinjaman apabila menyangkut pinjaman jangka panjang,
seringkali membatasi kemampuan perusahaan untuk membayar dividen
tunai. Pembatasan yang dimaksudkan untuk melindungi para kreditur yaitu :
dividen yang akan datang hanya akan boleh dibayar dari keuntungan yang
diperoleh sesuai ditandatanganinya kontrak pinjaman (artinya tidak boleh
dibayarkan pada laba tahun yang ditahan).
5. Pengembalian Aktiva
Semakin cepat pertumbuhan perusahaan, semakin besar
kebutuhannya untuk membiayai pengembangan aktiva perusahaan. Semakin
banyak dana yang dibutuhkan dikemudian hari, semakin banyak laba apabila
ingin menambah modal dari luar maka sumber alami yang tersedia adalah
para pemegang saham sekarang yang sudah mengenal perusahaan. Jika
keuntungannya dibayarkan kepada mereka sebagai dividen dan terkena tarif
pajak perorangan yang tinggi, maka hanya sebagian laba saja yang dapat
ditanam kembali.
6. Tingkat Pengembalian
Tingkat pengembalian atas asset menentukan laba pembentukan
dividen yang dapat digunakan oleh pemegang saham baik ditanamkan
kembali didalam perusahaan maupun ditempat lain.
7. Stabilitas Keuntungan
Perusahaan yang keuntungannya relatif teratur seringkali dapat
memperkirakan bagaimana keuntungan dikemudian hari, maka keuntungan
seperti itu kemungkian besar akan membagikan keuntungan dalam bentuk
dividen dengan persentase yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan
yang keuntungannya yang berfluktuasi.
8. Pasar Modal
Perusahaan besar yang sudah mantap, dengan profitabilitas yang tinggi
dan keuntungan yang teratur, dengan mudah dapat masuk kepasar modal atau
memperoleh macam-macam dana dari luar untuk pembiayaannya. Perusahaan
yang sudah mantap akan mempunyai tingkat dividen yang lebih tinggi
dibandingkan perusahaan kecil atau yang masih baru.
9. Kendali Perusahaan
Jika perusahaan hanya memperkuat usahanya dari pembiayaan intern
maka pembiayaan dividen akan berkurang, kebijakan ini dijalankam atas
pertimbangan bahwa menambah modal dengan menjual saham biasanya akan
mengurangi pengendalian atas perusahaanitu oleh golongan pemegang
sahamyang kini sedang berkuasa. Selain itu penjualan saham tambahan akan
memperbesar resiko fluktuasinya keuntungan bagi para pemegang saham.
10. Keputusan Kebijakan dividen
Hampir semua perusahaan ingin mempertahankan dividen pershare
pada tingkat yang konstan. Tetapi naiknya dividen selalu terlambat
dibandingkan dengan naikya keuntungan. artinya dividen itu baru akan
dinaikkan jika sudah jelas bahwa meningkatnya keuntungan itu benar-benar
mantap dan nampak cukup permanen.
d) Prosedur Pembayaran Dividen
Pembayaran dividen tunai kepada pemegang saham perusahaan
diputuskan oleh dewan direksi perusahaan. Direksi umumnya mengadakan
pertemuan yang membatas tentang dividen setiap kuartal atau setengah tahunan
dimana mereka mengevaluasi posisi keuangan periode lalu, menentukan posisi
yang akan datang dalam pembagian dividen, menentukan jumlah dividen yang
harus dibayar, menentukan tanggal-tanggal yang berkaitan dengan pembayaran
dividen tunai. Terdapat beberapa tanggal kunci antara waktu dividen
diumumkan sampai dengan dividen tersebut secara aktual dibayarkan. Menurut
Ross (2003:574) tanggal-tanggal kunci tersebut antara lain :
1. Tanggal pengumuman (Declaration date)
Tanggal pengumuman yaitu tanggal dimana dividen dideklarasikan.
Tanggal ini penting karena dengan mengumumkan maksud perusahaan untuk
meningkatkan, mengurangi, atau memelihara jumlah dividen sebelumnya,
perusahaan menyampaikan informasi pada pasar Dengan begitu , jika
perusahaan merubah dividennya, tanggal ini menjadi tanggal dimana reaksi
pasar terhadap perubahan dividen hampir bisa dipastikan terjadi.
2. Tanggal Pemisahan Dividen (Ex-Dividend Date)
Tanggal pemisahan dividen adalah tanggal pada saat dividen
dipisahkan dari saham. Hak dividen tidak lagi melekat pada saham. Jadi jika
transaksi pemindahtanganan saham tersebut terjadi pada tanggal ex-dividend
dan sesudahnya, maka pemegang saham lama akan menerima dividen.
3. Tanggal Pencatatan Harga Saham (Holder-of-record date)
Daftar pemegang saham per tanggal tersebut.
4. Tanggal Pembayaran (dividend Payment Date)
Pada tanggal itu dividen yang telah diumumkan telah dibayar pada
pemegang saham yang tercatat di perusahaan. Perusahaan akan mengirim cek
pada pemegang saham.
e) Mengukur Tingkat Pembayaran Dividen
Dividend Payout Ratio adalah perbandingan antara dividen yang dibayarkan
dengan laba bersih yang didapat dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase.
Semakin tinggi Dividen Payout Ratio akan menguntungkan para investor tetapi
dari pihak perusahaan akan memperlemah internal financial karena memperkecil
laba ditahan, tetapi sebaliknya Dividen Payout Ratio semakin kecil akan
merugikan para pemegang saham (investor) tetapi internal financial perusahaan
semakin kuat.
Dividend Payout Ratio menurut R. Agus Sartono (2001 ; 73) adalah :
Persentase laba yang dibayarkan dalam bentuk dividen, atau rasio antara laba
yang dibayarkan dalam bentuk dividen dengan total laba yang tersedia bagi
pemegang saham. Artinya bahwa Dividend Payout Ratio mengukur proporsi
pendapatan per lembar saham biasa yang sedang dikeluarkan di dalam dividen-
dividen.
DPR dihitung dengan membagi jumlah dividen tunai perusahaan dengan
laba bersih perusahaan.
DPR = Dividen
Net Profit (Laba Bersih)

Dividend Payout Ratio juga dapat dihitung dengan rumus per lembar
saham kembali berdasarkan per saham. Jika dividen per saham dan laba per
saham diketahui, rasio pembayaran dividen dapat dihitung dengan menggunakan
konsep dividen yang sama yang dibayarkan dibagi dengan pendapatan, atau laba
bersih.

Dividen payout ratio= DPS x 100%


EPS
Dimana : DPS = Dividend Per Share
EPS = Earning Per Share
Dividend Payout Ratio juga dapat dihitung dengan menghitung Retention
Ratio (RR) terlebih dahulu. Retention Ratio adalah rasio yang menunjukkan
persentase saldo laba yang ditahan dibandingkan dengan laba bersih perusahaan.

RR = Saldo Laba Ditahan


Net Profit (Laba Bersih)

DPR = 1 Retention Ratio (RR)


Dari rumus di atas diketahui bahwa Retention Ratio atau RR (Rasio
Retensi) dijumlah dengan Dividend Payout Ratio (DPR) sama dengan 1 atau
100% dari laba bersih. Jumlah yang tidak dibayarkan oleh perusahaan sebagai
dividen akan diinvestasikan kembali untuk pengembangan usaha.
Contoh :
Pembagian dividen saham PT Waskita Beton Precast Tbk tahun 2017. Diketahui:
a. Net Profit / Laba bersih sebesar Rp 271.036.798
b. Dividen yang dibagikan sebesar Rp 388.336.709
c. Jumlah lembar saham sebanyak 26.361.157.534 lembar
Dengan informasi yang diketahui tersebut, maka DPR dapat dihitung dalam 3 cara:
Cara 1:
Dividen Payout Ratio (DPR) = Dividen
Net Profit (Laba Bersih)
Dividen Payout Ratio (DPR) = Rp 317.388.336.709
Rp 635.271.036.798
= 49,96 %
Cara 2:
Dividen Per Share (DPS) = Dividen
Lembar Saham
= Rp 317.388.336.709 = 12,04
26.361.157.534
Earning Per Share (EPS) = Net Profit
Lembar Saham
= Rp 635.271.798
26.361.157.534

= 24,1
Dividen Payout Ratio (DPR) = DPS x 100%
EPS
= 12,04 x 100%
24,1
= 49,96%
Cara 3:
Saldo Laba Ditahan = Net Profit Dividen
= Rp 635.271.036.798 Rp 317.388.336.709
= Rp 317.882.700.089
Retention Ratio (RR) = Retention
Net Profit (Laba Bersih)
= Rp 317.882.700.089
Rp 635.271.036.798
= 50,04%
Dividen Payout Ratio = 100% - Retention Ratio
= 100% - 50,04%
= 49,96%
F. Agency cost
Permasalahan yang merupakan akibat dari perbedaan kepentingan antara
pihak manajemen dengan pemegang saham yang disebut agency problem. Masalah
keagenan menimbulkan pengeluaran perusahaan untuk mencegah pihak manajemen
perusahaan melakukan penyalahgunaan wewenangnya untuk mengutamakan
kepentingannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme pengawasan atau
pemantauan untuk meminimumkan konflik kepentingan antara manajer dengan
pemegang saham. Dimana biaya yang harus dikeluarkan pemilik untuk mengawasi
dan memonitor kinerja manajemen sehingga mereka bekerja untuk kepentingan
perusahaan disebut sebagai agency cost. Pengurangan agency cost dapat dilakukan
dengan berbagai alternative diantaranya dengan meningkatkan proporsi kepemilikan
manajerial (insider ownership). Dimana perusahaan akan meningkatkan kepemilikan
manajerial untuk mensejajarkan kedudukan manajemen dengan pemegang saham
sehingga terjadi persamaan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Hal
ini menyebabkan manajemen bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham,
maka peningkatan tersebut membuat manajemen termotivasi untuk meningkatkan
kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham, dimana
keputusan yang diambil akan menimbulkan manfaat bagi dirinya,sebaliknya manajer
akan menanggung konsekuensi dari keputusan yang salah.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa struktur kepemilikan
manajerial sebagai sebuah instrument atau alat untuk mengurangi konflik keagenan
diantara berbagai klaim (claim holder) terhadap perusahaan. Oleh karena itu,
perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan kedudukan
manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan
pemegang saham. Kepemilikan manajerial dapat diukur sebagai prosentase saham
biasa atau opsi saham yang dimiliki direktur atau officer. Dengan adanya peningkatan
prosentase kepemilikan akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang
saham, maka manajer termotivasi meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab
meningkatkan kemakmuran pemegang saham.
Sementara itu fama (1980) dalam Widana (2007) mengatakan bahwa ada nya
pemisahan kepemilikan dan pengawasan atas suatu sekuritas kedalam suatu set
perspektif perjanjian diantara gen dan prinsipal merupakan suatu bentuk organisasi
yang efisien. Pernyataan tersebut menekankan bagaimana pentingnya hubungan
keagenan ini. Dalam manajemen keunggulan memaksimalkan kemakmuran
stockholders telah menjadi tujuan perusahaan, kemakmuran stockholders akan
tercermindari nilai perusahan. Namun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit
manager atau insiderini bukan atas nama stackholdermanajemen perusahaan
cenderung lebih mengutamakan pemenuhan kepentingannya melalui asset perusahaan
yang mereka kuasai, perilaku seperti ini biasanya sering disebut dengan keterbatasan
rasional (bouded rational) dan terkait dengan sifat keengganan mennggung resiko
(risk averse).
Menurut Jensen dan Meckling (1976) yang dikutip (Aida, 2004) dalam
perusahaan, agency cost dibagi menjadi tiga jenis, yaitu : Pertama, the monitoring
cost berarti biaya yang harus dikeluarkan dan ditanggung oleh prinsipal (pemilik)
untuk memonitoring perilaku agen. Kedua, the bonding cost merupakan biaya yang
harus ditanggung oleh agen untuk menetapkan dan mematuhi mekanisme yang
menjamin bahwa agen akan bertindak untuk kepentingan prinsipal. Ketiga, the
residual cost merupakan pengorbanan sebagai akibat berkurangnya kemakmuran
prinsipal dari perbedaan keputusan antara prinsipal dan agen. Dari ketiga biaya
tersebut, biaya yang sering dipakai untuk mengukur agency cost adalah monitoring
cost. Adapun rumus monitoring cost adalah:
Monitoring Cost = Operation Expenses
Net Sales
G. Signalling theory
Signalling merupakan kegiatan pendanaan manajer yang dapat dipercaya
dapat merefleksikan nilai dari saham perusahaan. Pada umumnya pendanaan dengan
hutang dianggap sebagai signal positif sehingga manajer percaya bahwa saham
undervalued. Sebagai contoh anggap manajer menemukan adanya kesempatan
investasi yang menguntungkan memerlukan adanya tambahan pendanaan. Manajer
percaya bahwa prospek perusahaan ke depannya sangat bagus yang diindikasikan
dengan harga saham perusahaan sekarang. Dalam hal ini akan menguntungkan bagi
para stockholder untuk menggunakan hutang ini dianggap sebagai signal positif.
Sedangkan adanya penerbitan saham dianggap sebagai signal negatif sehingga
manajemen percaya bahwa saham overvalued. Hal ini mengakibatkan harga saham
akan menurun, underwriting cost (menerbitkan saham) tinggi sehingga pendanaan
dengan penerbitan saham baru sanat mahal dibandingkan dengan penggunaan hutang.
Teori ini dikembangkan oleh Ross (1979). Menyarankan perusahaan dengan
leverage yang besar dapat dipakai manajer sebagai signal yang optimis akan masa
depan perusahaan. Teori signaling ini muncul karena adanya permasalahan asimetris
informasi. Karena kondisi asimetris informasi ada dari waktu ke waktu, perusahaan
harus menjaga kapasitas cadangan ini memungkinkan manajer untuk mengambil
keuntungan dari kesempatan investasi tanpa harus menjual saham pada harga rendah.
Dengan demikian akan mengirimkan signal yang sangat mempengaruhi harga saham.
Adanya asumsi bahwa pasar keuangan tidak merefleksikan semua informasi
khususnya informasi yang belum tersedia di publik, maka memungkinkan bagi
manajer untuk memilih dalam penggunaan kebijakan pendanaan untuk
menyampaikan informasi ke pasar. Manajer sebagai pihak dalam yang memiliki akses
informasi tentang ekspektasi aliran kas perusahaan, akan memilih signal yang tidak
terlalu ambigu tentang masa depan perusahaan jika mereka memiliki insentif yang
tepat. Untuk melihat bagaimana proses bekerja insentif ini, maka kita asumsikan
manajer dilarang untuk memperdagangkan sekuritas dari perusahaan mereka. Hal ini
menjaga mereka dari keuntungan dengan mengeluarkan signal yang salah, seperti
mengumumkan berita buruk dan menjual singkat (short sale) walaupun mereka tahu
perusahaan bagus.
Myers dan Majluf (1984) juga membuat model signaling yang merupakan
kombinasi dari keputusan investasi dan keputusan pendanaan. Manajer lebih baik dari
siapapun, diasumsikan mengetahui nilai sebenarnya perusahaan dimasa depan.
Disamping itu, manajer juga diasumsikan bertindak sesuai dengan perusahaan ketika
keputusan diambil. Pemegang saham lama ini juga diasumsikan pasif atau tidak
melakukan apapun untuk mengubah portofolio mereka. Untuk lebih mudah, maka
kita asumsikan tingkat Bungan adalah nol, dan tidak ada pajak, biaya transaksi, atau
pasar tidak sempurna.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
MM membuktikan, dengan menggunakan sekumpulan asumsi bahwa nilai
perusahaan seharusnya tidak dipengaruhi oleh struktur modalnya. Atau dengan kata
lain, hasil yang diperoleh MM menunjukkan bahwa bagaimana cara perusahaan
mendanai operasinya tidak memiliki pengaruh, sehingga struktur modal adalah
sesuatu yang tidak relevan. Teori Pecking Order (Pecking Order Theory) dalam
analisis struktur modal dikembangkan oleh Myers dan Majlut (1984). Berdasarkan
teori ini, sumber utama modal perusahaan yang pertama kali harus berasal dari hasil
usaha perusahaan yang berupa keuntungan bersih setelah pajak yang tidak dibagikan
kepada para pemilik perusahaan atau pemegang saham (laba ditahan).
Trade off theory adalah teori struktur modal yang menyatakan bahwa
perusahaan menukar manfaat pajak dari pendanaan utang dengan masalah yang
ditimbulkan oleh potensi kebangkrutan (brigham dan Houston,2011).
DAFTAR PUSTAKA

Eugene F. Brigham dan Joel F. Houston.2011.Dasar Dasar Manajemen Keuangan.


Jakarta: Salemba Empat
http://ekonomi.kabo.biz/2010/12/modigliani-miller-mm-theory-teori-mm.html
http://repository.widyatama.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/2490/Bab%202.
pdf?sequence=7
https://www.finansialku.com/definisi-dividend-payout-ratio-adalah/
http://lib.ui.ac.id

Anda mungkin juga menyukai