Anda di halaman 1dari 11

BIAYA MODAL DAN STRUKTUR MODAL PERUSAHAAN MULTINASIONAL

Biaya modal (cost of capital) mempunyai dampak yang besar terhadap nilai suatu perusahaan
multinasional (MNC). Untuk mendanai kegiatannya, MNC menggunakan struktur modal
(yaitu proporsi antara hutang dan modal) yang dapat meminimalkan biaya modalnya, dan
dengan demikian memaksimalkan nilai MNC.

BIAYA MODAL: LATAR BELAKANG

Modal dari suatu perusahaan terdiri atas ekuitas dan hutang. Biaya dari laba ditahan
merupakan biaya oprtunitas.Biaya dari saham biasa baru juga menggambarkan suatu biaya
oportunitas. Biaya ini melebihi biaya dari laba ditahan karena mengandung beban-beban yang
berhubungan dengan penerbitan saham baru. Biaya dari hutang perusahaan adalah bunga
yang harus ditanggung perusahaan. Perusahaan berupaya menggunakan suatu struktur modal
yang akan meminimalkan biaya modal mereka. Biaya modal rata-rata tertimbang (yang
disimbolkan dengan kc) dapat diukur dengan persamaan:

D E
kc k d (1 t ) ke
DE DE

Dimana D adalah jumlah hutang perusahaan, kd adalah biaya hutang sebelum pajak, t adalah
tarif pajak korporasi, E adalah jumlah ekuitas perusahaan, dan ke adalah biaya dari ekuitas.

Keuntungan menggunakan hutang karena pembayaran bunga bersifat tax deductible. Akan
tetapi semakin besar penggunaan hutang meningkatkan kemungkinan kebangkrutan.

Trade off antara keunggulan hutang dan kelemahannya diilustrasikan dalam gambar 18.1

GAMBAR 18.1 Mencari Struktur Modal yang Tepat


Biaya modal

x
Rasio hutang
BIAYA MODAL PERUSAHAAN MULTINASIONAL

Karakteristik khusus dari perusahaan multinasional yang membedakannya dengan perusahaan


domestik murni,yaitu:

1. Ukuran perusahaan. MNC yang sering kali meminjam dalam jumlah yang
substansial mungkin memperoleh perlakuan istimewa dari para kreditor, sehingga
mengurangi biaya modal mereka. Di samping itu, kapitalisasi dari penerbitan
saham atau obligasi mereka yang relatif besar memungkinkan mereka untuk
menurunkan biaya emisi sebagai persentase dari nilai emisi. Harus diingat bahwa
hal ini semata-mata diakibatkan oleh ukuran MNC, bukan oleh tingkat
keterlibatan MNC dalam bisnis internasional. Yaitu, perusahaan domestik murni
pun mendapat perlakuan yang sama jika ukurannya besar. Namun pertumbuhan
perusahaan bisa tertahan jika tidak mau berekspansi ke dalam pasar internasional.
Karena perusahaan multinasional bisa meraih pertumbuhan dengan mudah
dibanding perusahaan domestik murni, mereka mungkin lebih mampu meraih
ukuran yang diperlukan untuk meraih perlakuan yang istimewa dari para kreditor.
2. Akses ke dalam pasar modal internasional. Perusahaan multinasional bisa
mendapatkan dana dari pasar-pasar modal internasional. Karena biaya pendanaan
bervariasi antar pasar, akses MNC ke dalam pasar-pasar modal internasional
memungkinkannya untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih murah
dibandingkan perusahaan domestik murni. Di samping itu, perusahaan anak bisa
mendapatkan dana lokal dengan biaya lebih murah daripada perusahaan induknya
sendiri, jika suku bunga yang berlaku di negara tamu relatif rendah. Bentuk pem-
biayaan semacam itu dapat menurunkan biaya modal, dan tidak selalu menaikkan
exposure MNC terhadap risiko nilai tukar, karena pendapatan yang dihasilkan
oleh anak perusahaan kemungkinan besar akan didenominasi dalam valuta yang
sama valuta dari pinjaman. Dalam hal ini, anak perusahaan tidak perlu
mengandalkan kebutuhan pembiayaan dari induk, walaupun tetap membutuhkan
sejumlah bantuan manajerial dari induk.
3. Diversifikasi internasional. Biaya modal sebuah perusahaan berhubungan erat
dengan probabilitas kebangkrutannya (seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
18.1). Jika arus kas masuk sebuah perusahaan berasal dari berbagai sumber di
seluruh dunia, arus kas masuk tersebut mungkin lebih stabil. Penalaran ini
didasarkan pada anggapan bahwa penjualan total tidak akan dipengaruhi secara
signifikan oleh satu perekonomian tunggal. Sejauh negara-negara individual
independen satu sama lain, arus kas neto dari suatu portofolio yang terdiri dari
perusahaan anak akan mengandung variabilitas yang lebih rendah, yang bisa
mengurangi probabilitas kebangkrutan dan dengan demikian menurunkan biaya
modal.
4. Exposure terhadap risiko nilai tukar. Arus kas sebuah perusahaan multi nasional
mungkin lebih bergejolak daripada arus kas perusahaan domestik yang ada dalam
industri yang sama, jika arus kas tersebut sangat terekpos terhadap risiko nilai
tukar. Perusahaan yang lebih terekspos terhadap fluktuasi nilai tukar biasanya
akan memiliki distribusi arus kas yang lebih bergejolak di periode-periode yang
akan datang. Karena kemungkinan kebangkrutan lebih tinggi jika arus kas masa
depan lebih tidak pasti, exposure terhadap nilai tukar bisa mengarah pada biaya
modal yang lebih tinggi.
5. Exposure terhadap country risk. Sebuah perusahaan multinasional yang
mendirikan anak-anak perusahaan di luar negeri menghadapi kemungkinan
disitanya aset-aset aak perusahaan oleh pemerintah tamu. Jika aset disita dan
kompensasi yang wajar tidak disediakan, probabilitas kebangkrutan MNC
meningkat. Semakin tinggi aset MNC yang diinvestasikan di luar negeri semakin
tinggi kemungkinan kebangkrutan (dan semakin tinggi pula biaya modal), ceteris
paribus.
6. Ada bentuk-bentuk country risk lain yang tidak sama bahayanya dengan penyitaan
aset walaupun tetap mempengaruhi arus kas perusahaan multinasional, seperti
perubahan undang-undang pajak oleh pemerintah tamu, dan sebagainya. Sebagai
contoh Exxon Corporation telah memiliki banyak pengalaman dalam menilai
kelayakan dan potensi di luar negeri. Jika Exxon melihat ada tanda-tanda akan
bergantinya pemerintah atau kebijakan pajak di suatu negara, Exxon akan
menambah premium ke dalam required rate of return dari proyek yang
berhubungan.

Secara umum, 3 faktor pertama memiliki hubungan positif dengan biaya modal perusahaan
multinasional, sementara risiko nilai tukar dan risiko negara memiliki hubungn negatif.

Perbandingan Biaya Modal Menggunakan CAPM


Untuk menilai bagaimana tingkat pengembalian yang diinginkan perusahaan multinasional
berbeda dari tingkat pengembalian yang diinginkan oleh perusahaan domestik murni, capital
asset pricing model (CAPM) dapat diterapkan. CAPM mendefinisikan tingkat pengembalian
yang diinginkan ( ke ) dari saham sebagai:

ke = Rf+ B(km - Rf)

Di mana:

Rf = Tingkat pengembalian bebas-risiko

km = Tingkat pengembalian pasar

B = Beta dari saham

CAPM menyiratkan bahwa tingkat pengembalian yang diinginkan dari saham sebuah
perusahaan merupakan fungsi positif dari (1) suku bunga bebas-risiko, (2) tingkat
pengembalian pasar, dan (3) beta dari saham. Beta mewakili sensitivitas pengembalian dari
saham terhadap pengembalian pasar (indeks harga saham biasanya digunakan sebagai
pengganti tingkat pengembalian pasar). Sebuah perusahaan multinasional tidak memiliki
kontrol apapun terhadap suku bunga bebas-risiko atau tingkat pengembalian pasar, tetapi
mampu mempengaruhi betanya. Perusahaan multinasional yang mampu menaikkan volume
penjualan di luar negeri akan mampu menurunkan beta dari sahamnya, dengan demikian,
mengurangi tingkat pengembalian yang diinginkan oleh para investor. Jadi biaya modal
perusahaan multinasional akan menurun jika volume penjualannya meningkat.

Pendukung-pendukung CAPM mengemukakan bahwa beta dari proyek dapat digunakan


untuk menentukan required rate of return dari proyek. Beta dari proyek mewakili sensitivitas
dari aliran kas (yang dihasilkan proyek) terhadap kondisi pasar. Sebuah proyek yang aliran
kasnya terisolasi dari kondisi pasar akan memiliki beta yang rendah.

Bagi sebuah perusahaan multinasional yang sangat terdiversifikasi, yang menerima arus kas
yang dihasilkan oleh beberapa proyek, tiap proyek mengandung dua tipe risiko: (1) gejolak
arus kas non-sistematis yang unik bagi perusahaan, dan (2) risiko sistematis. Teori CAPM
menyatakan bahwa risiko non-sistematis dari proyek dapat diabaikan, karena dapat
didiversifikasikan. Tetapi, risiko sistematis tidak dapat didiversifikasikan, karena
mempengaruhi semua proyek dengan cara yang sama. Semakin rendah beta dari proyek,
semakin rendah risiko sistematis dari proyek, dan semakin rendah tingkat pengembalian yang
diinginkan dari proyek semacam itu. Jika proyek perusahaan multinasional memperlihatkan
beta yang lebih rendah daripada proyek perusahaan domestik murni, maka tingkat
pengembalian yang diinginkan dari proyek MNC seharusnya lebih rendah. Jika tingkat
pengembalian yang diinginkan rendah, berarti biaya modal juga rendah.

Teori capital asset pricing (CAP) dengan demikian mendukung anggapan bahwa biaya modal
dari perusahaan multinasional secara umum lebih rendah daripada biaya modal perusahaan
domestik, karena alasan-alasan yang telah disajikan. Meskipun begitu, harus ditekankan di
sini bahwa risiko non sistematis dari proyek tetap dipandang relevan oleh sejumlah
perusahaan multinasional. Dan jika risiko ini juga diperhitungkan dalam menilai risiko dari
proyek, tingkat pengembalian yang diinginkan dari proyek MNC belum tentu lebih rendah
daripada tingkat pengembalian yang diinginkan proyek perusahaan domestik murni. Bahkan,
sebuah proyek berskala besar dalam negara berkembang yang kondisi politiknya sangat labil
dan memiliki country risk yang tinggi akan dianggap sangat berisiko oleh banyak perusahaan
multinasional, sekalipun arus kas yang akan dihasilkan oleh proyek ini tidak merniliki
korelasi dengan pasar AS. Hal ini menyiratkan bahwa perusahaan multinasional mungkin
memandang risiko non-sistematis sebagai faktor yang penting pada saat menentukan tingkat
pengembalian yang diinginkan dari proyek luar negeri.

Jika diasumsikan bahwa pasar-pasar tersegmentasi satu sama lain, bisa dibenarkan untuk
menggunakan pasar AS saat mengukur beta dari proyek milik MNC AS. Jika investor-
investor AS menginvestasikan sebagian dari mereka di AS, investasi mereka secara sistematis
dipengaruhi oleh pasar AS. Perusahaan multinasional yang mengimplementasikan proyek
ber-beta rendah mungkin mampu menurunkan beta mereka sendiri (yaitu, sensitivitas dari
harga saham mereka terhadap indeks pasar). Perusahaan yang memiliki beta yang rendah
akan lebih menarik di mata investor AS karena menawarkan banyak manfaat diversifikasi.

Karena pasar-pasar semakin terintegrasi dari waktu ke waktu, seseorangmungkin berpendapat


bahwa pasar global merupakan pasar yang lebih tetap daripada pasar AS bagi perusahaan
multinasional AS. Yaitu, jika investor membeli saham dari banyak negara, nilai investasi
mereka akan sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar global, tidak hanya kondisi pasar AS.
Konsekuensinya, mereka lebih suka berinvestasi dalam perusahaan yang memiliki sensitivitas
yang rendah terhadap kondisi pasar global untuk mendapatkan lebih banyak manfaat
diversifikasi. Perusahaan multinasinasional yang mampu mengimplementasikan proyek yang
agak terisolasi dari kondisi pasar global akan dianggap sebagai wahana investasi yang lebih
menarik oleh para investor.

Meskipun pasar-pasar semakin terintegrasi, investor AS masih cenderung berfokus pada


saham-saham AS, mungkin karena rendahnya biaya transaksi dan biaya pengumpulan
informasi. Jadi, investasi mereka dipengaruhi secara sistematis oleh kondisi pasar AS; hal ini
menyebabkan mereka sangat memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pasar AS.

Kesimpulannya, kita tidak dapat menyatakan secara pasti bahwa perusahaan multinasional
akan merniliki biaya modal yang lebih rendah daripada perusahaan domestik murni yang
beroperasi dalam industri yang sama. Tetapi, kita dapat menggunakan pembahasan ini untuk
memahami mengapa sebuah perusahaan multinasional berusaha mengambil keuntungan
penuh dari aspek-aspektertentu yang akan menurunkan biaya modalnya dan sebaliknya,
meminimisasi exposure terhadap aspek-aspek yang akan menaikkan biaya modalnya.

BIAYA MODAL DI BERBAGAI NEGARA

Pemahaman tentang mengapa biaya modal bervariasi antar negara penting untuk tiga alasan.
Pertama, hal ini dapat menjelaskan mengapa perusahaan multinasional yang berbasis di
sejumlah negara memiliki keunggulan kompetitif atas MNC yang lain. Seperti halnya
perbedaan dalam teknologi atau sumber daya, biaya modal antar negara juga berbeda. Hal ini
memungkinkan sejumlah perusahaan multinasional untuk menaikkan pangsa pasar global
mereka dengan mudah. Kedua, perbedaan biaya modal antar negara memungkinkan
perusahaan multinasional untuk menyesuaikan operasi internasional dan sumber dana mereka
dalam rangka mengambil keuntungan dari perbedaan tersebut. Ketiga, pemahaman mengenai
perbedaan-perbedaan dalam biaya dari masing-masing komponen modal (hutang dan ekuitas)
dapat membantu menjelaskan mengapa perusahaan multinasional yang berbasis di sejumlah
negara cenderung memiliki struktur modal yang lebih padat-hutang daripada perusahaan
multinasional yang berbasis di negara-negara yang lain. Perbedaan-perbedaan dalam biaya
hutang antar negara akan dijelaskan terlebih dahulu, yang diikuti dengan penjelasan tentang
perbedaan-perbedaan dalam biaya ekuitas.

Perbedaan dalam Biaya Hutang


Biaya dari hutang (cost of debt) bagi sebuah perusahaan sangat ditentukan oleh suku bunga
bebas-risiko dari valuta yang dipinjam dan premium risiko yang diminta oleh kreditor. Biaya
hutang mungkin lebih tinggi di sejumlah negara dibanding negara-negara lain karena
tingginya suku bunga bebas risiko, atau karena premium risiko yang diminta lebih tinggi.
Berikut adalah penjelasan mengenai perbedaan dalam suku bunga bebas-risiko dan premium
risiko.

Perbedaan dalam Suku Bunga Bebas-Risiko. Suku bunga bebas-risiko ditentukan oleh
interaksi antara permintaan dan penawaran dana. Setiap faktor yang mempengaruhi
permintaan atau penawaran akan mempengaruhi suku bunga bebas-risiko. Sejumlah faktor
yang memiliki pengaruh semacam itu (meskipun bervariasi antar negara) adalah ketentuan-
ketentuan perpajakan, aspek-aspek demografis, kebijakan-kebijakan moneter, dan kondisi
ekonomi. Ketentuan-ketentuan perpajakan di sejumlah negara dirancang untuk mendorong
orang agar lebih banyak menabung, yang bisa mempengaruhi penawaran tabungan, dan
dengan demikian, suku bunga. Peraturan-peraturan pajak sebuah negara yang berhubungan
dengan penyusutan dan kredit pajak investasi (investment tax credit) dapat juga
mempengaruhi suku bunga melalui pengaruhnya atas permintaan dana oleh korporasi.

Kondisi demografis (jumlah populasi dan sebagainya) dari sebuah negara mempengaruhi
penawaran tabungan dan permintaan terhadap dana pinjaman. Karena kondisi-kondisi
demografis berbeda antar negara, begitu juga kondisi permintaan dan penawaran, dan dengan
demikian, suku bunga nominal. Negara-negara yang sebagian besar populasinya berusia
muda cenderung memiliki suku bunga yang tinggi karena rumah tangga berusia muda
biasanya menabung sedikit dan banyak meminjam.

Kebijakan moneter yang diimplementasikan tiap bank sentral mempengaruhi penawaran


dana, dan tentu saja, suku bunga. Negara-negara yang menerapkan kebijakan moneter yang
longgar (sehingga pertumbuhan uang beredar menjadi tinggi) bisa meraih suku bunga
nominal yang rendah jika mereka dapat mengendalikan laju inflasi. Namun, sejumlah pakar
menyatakan bahwa kebijakan moneter longgar akan menimbulkan peningkatan suku bunga
dengan menaikkan ekspektasi inflasi dan permintaan dana. Poin yang relevan di sini adalah
bahwa terlepas dari bagaimana suatu kebijakan moneter mempengaruhi suku bunga, tiap
bank sentral mengimplementasikan kebijakan moneter yang berbeda, dan hasilnya adalah
suku bunga yang berbeda di tiap negara.
Karena kondisi ekonomi mempengaruhi suku bunga, suku bunga juga akan berbeda antar
negara. Biaya dari hutang di banyak negara berkembang jauh lebih tinggi daripada biaya
hutang di negara industri, terutama disebabkan oleh kondisi ekonomi. Ekspektasi inflasi yang
tinggi di negara-negara berkembang menyebabkan para kreditor meminta suku bunga bebas
risiko yang tinggi pula.

Perbedaan dalam Premium Risiko. Premium risiko dari hutang harus cukup besar demi
menyediakan kompensasi kepada kreditor terhadap risiko ketidakmampuan peminjam
melunasi kewajiban-kewajibannya. Risiko ini bisa bervariasi antar negara karena perbedaan
kondisi ekonomi, hubungan antara korporasi dengan kreditor, intervensi pemerintah, dan
tingkat ungkitan keuangan.

Jika kondisi ekonomi dalam suatu negara lebih stabil, risiko munculnya resesi relatif rendah.
Jadi, probabilitas sebuah perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya
menjadi lebih rendah pula, dan premium risiko yang diminta kreditor juga akan rendah.

Hubungan antara korporasi dengan kreditor di sejumlah negara lebih erat daripada di negara-
negara yang lain. Di Jepang, para kreditor selalu siap mengucurkan kredit jika sebuah
korporasi mengalami masalah keuangan sehingga menurunkan risiko illiquidity. Biaya dari
masalah-masalah keuangan pada sebuah perusahaan Jepang ditanggung dengan beragam cara
oleh manajemen perusahaan, kreditor dan pelanggan. Karena masalah-masalah keuangan
tidak ditanggung sepenuhnya oleh kreditor, semua pihak yang terlibat memiliki lebih banyak
motivasi untuk menyelesaikan masalah. Jadi kecil kemungkinan (untuk suatu jumlah hutang
tertentu) perusahaan Jepang akan pailit, sehingga kreditor di sana juga meminta premium
risiko yang lebih rendah.

Pemerintah di sejumlah negara sering melakukan intervensi untuk menyelamatkan


perusahaan yang mau bangkrut. Sebagai contoh, di Inggris banyak perusahaan yang sebagian
sahamnya dimiliki pemerintah. Pemerintah tentu akan menyelamatkan perusahaan miliknya.
Bahkan, sekalipun tidak emiliki saham selembarpun, pemerintah mungkin menyediakan
subsidi langsung atau kredit kepada perusahaan yang pailit. Di AS, bantuan dari pemerintah
tidak se ring terjadi, karena pembayar pajak tidak mau menanggung biaya dari corporate
mismanagement. Walaupun pemerintah telah beberapa kali melakukan intervensi untuk
melindungi industri-industri tertentu, tetapi kemungkinan pemerintah AS akan turun tangan
menyelamatkan perusahaan yang pailit lebih rendah dibandingkan pemerintah-pemerintah
lain. Dengan demikian, premium risiko (untuk jumlah hutang tertentu) yang diminta para
kreditor di AS lebih tinggi dibandingkan kreditor-kreditor negara lain.

Perusahaan di sejumlah negara memiliki kapasitas peminjaman yang lebih besar karena
kreditor-kreditor mereka mau mentolerir tingkat ungkitan keuangan yang lebih tinggi.
Sebagai contoh, perusahaan di Jepang dan Jerrnan memiliki tingkat ungkitan keuangan yang
lebih tinggi daripada perusahaan AS. Jika semua faktor lain diasumsikan sama, perusahaan
yang memiliki ungkitan keuangan tinggi harus membayar premium risiko yang lebih tinggi.
Tetapi, faktor-faktor lain yang dimaksud tentu saja tidak sama. Bahkan, perusahaan ini
dibolehkan untuk menggunakan tingkat ungkitan keuangan yang lebih tinggi karena memiliki
hubungan unik dengan kreditor dan pemerintah.

Perbandingan Biaya Hutang di Berbagai Negara. Biaya dari hutang sebelum pajak (yang
diukur menggunakan yield dari obligasi korporasi) untuk berbagai negara ditampilkan dalam
Gambar 18.2. Biaya hutang di berbagai negara secara umum memiliki korelasi positif dari
waktu ke waktu. Biaya hutang nominal bagi perusahaan dalam masing-masing negara
mencapai puncaknya pada tahun 1980, menurun tajam selama awal tahun 1980-an, mendatar
selama akhir tahun 1980-an, dan kembali menurun se lama awal tahun 1990-an. Perbedaan
biaya hutang antar negara terutama disebabkan oleh perbedaan dalam suku bunga bebas
risiko.

Perusahaan multinasional yang beroperasi dalam negara-negara yang memiliki biaya modal
tinggi barangkali akan dipaksa untuk menolak proyek yang mungkin layak diterapkan oleh
MNC yang beroperasi di negara-negara yang memiliki biaya modal rendah. Di samping itu,
perusahaan multinasional yang beroperasi di negara-negara yang memiliki biaya modal tinggi
mungkin bakal menjual proyek berjalan mereka jika biaya pendanaan dianggap mulai
meninggi. Sebagai contoh, Lloyd Bank dari Inggris memutuskan untuk menjual operasi-
operasi perbankan mereka yang ada di AS pada tahun 1989. Alasan Lloyd adalah rendahnya
tingkat pengembalian, dan perusahaan dapat mendapatkan pengembalian yang setara jika
mengalihkan investasi ke dalam pasar uang Inggris. Seandainya biaya modal nominal bagi
perusahaan Inggris lebih rendah, Lloyd Bank mungkin tidak akan menjual opera si mereka
yang ada di AS.

Perbedaan dalam Biaya Ekuitas


Biaya dari ekuitas dalam sebuah negara merefleksikan biaya oportunitas: apa yang bisa
dihasilkan pemegang-pemegang saham dari investasi yang memiliki risiko yang setara
seandainya ekuitas didistribusikan kepada mereka. Pengembalian dari ekuitas ini dapat
disetarakan dengan suku bunga bebas-risiko yang seharusnya bisa dihasilkan oleh pemegang
saham, ditambah premium yang mencerminkan risiko dari perusahaan. Karena suku bunga
bebas-risiko bervariasi antar negara, biaya dari ekuitas dengan demikian juga bervariasi dari
satu negara ke negara lain.

Biaya dari ekuitas juga didasarkan pada peluang investasi di negara yang bersangkutan.
Dalam sebuah negara yang menyediakan banyak peluang investasi, pengembalian
potensialnya relatif tinggi, sehingga biaya oportunitas juga tinggi, dan selanjutnya, biaya
modal juga akan tinggi. Menurut McCauley dan Zimmer, biaya ekuitas dalam sebuah negara
dapat diestimasikan memakai rasio harga/laba.

Rasio harga/laba berhubungan dengan biaya modal karena rasio ini mencerminkan proporsi
harga saham perusahaan terhadap kinerja perusahaan (yaitu, laba). Rasio harga/laba yang
tinggi menyiratkan bahwa perusahaan menerima harga yang tinggi dari penjualan saham baru
untuk tingkat laba tertentu. Artinya, biaya dari pembiayaan memakai ekuitas adalah rendah.
Tetapi, rasio harga/laba harus disesuaikan untuk memperhitungkan dampak dari inflasi, laju
pertumbuhan laba, dan faktor-faktor lain.

Menggabungkan Biaya Hutang dan Biaya Ekuitas

Biaya dari hutang dan biaya dari ekuitas dapat digabungkan untuk menghitung biaya modal.
Proporsi hutang dan ekuitas yang digunakan oleh perusahaan dalam tiap negara menentukan
besamya biaya modal ini. Karena biaya hutang dan biaya ekuitas berbeda antar negara, dapat
dimengerti mengapa biaya modal bagi perusahaan yang berbasis di negara-negara tertentu
lebih rendah. Jepang sering disebutkan sebagai negara yang memiliki biaya modal rendah.
Jepang biasanya memiliki suku bunga bebas-risiko rendah, yang tidak hanya mempengaruhi
biaya dari hutang, tetapi secara tidak langsung juga mempengaruhi biaya dari ekuitas. Di
samping itu, rasio harga/laba dari perusahaan Jepang umumnya tinggi, yang memungkinkan
mereka untuk mendapatkan pembiayaan ekuitas dengan biaya yang relatif murah. Perusahaan
multinasional dapat berupaya mengakses modal dari negara-negara yang biaya modalnya
rendah. Tetapi jika modal tersebut kemudian digunakan untuk mendukung operasi-operasi
yang berlokasi di negara yang lain, perusahaan multinasional harus menanggung risiko nilai
tukar. Jadi, biaya dari modal mungkin pada akhirnya ternyata lebih tinggi dari yang
diperkirakan.

Anda mungkin juga menyukai