Anda di halaman 1dari 2

Weekly Report Pertemuan 2 - International Monetary System

Kelemahan dalam Currency Board


Oleh: Rizki Fatakhi (1606953423)
Tahun 1998 merupakan periode dari puncak krisis keuangan di Asia. Indonesia termasuk
salah satu negara yang terekspos dengan krisis tersebut. Salah satu yang menjadi perhatian pada
saat itu adalah depresiasi kurs rupiah terhadap USD sebesar hampir 800%, dari Rp 2.500 pada
tahun 1997, menjadi berkisar Rp 17.000 pada Juli 19981. Pemerintah saat itu pun
mempertimbangkan untuk mengganti metode sistem nilai tukar dari float rate menjadi fixed rate
dengan menggunakan currency board.
Float rate system secara konsep merupakan sistem nilai tukar yang bergantung pada
kondisi pasar (di mana pada praktiknya, beberapa negara tidak secara utuh membiarkan kondisi
nilai tukar kepada pasar, dan pemerintah melalui Bank Sentral memiliki otonomi untuk melakukan
intervensi kepada pasar), sedangkan fixed rate nilai tukar yang ditetapkan pada nilai tertentu,
dengan melakukan pegging mata uang domestik terhadap mata uang asing. Currency board dapat
menjaga nilai mata uang secara tetap dengan cara menjaga supply mata uang asing.
Secara kasat mata, penggunaan fixed rate lebih menjanjikan karena mengurangi spekulasi
dan ketidakpastian, sehingga memberikan harapan yang tinggi pada kondisi Indonesia yang sedang
terpuruk saat itu. Namun, pada kenyataannya, currency board merupakan bukan sistem nilai tukar
yang sempurna. Secara garis besar, kelemahan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu kebutuhan atas
foreign reserves secara substansial2, hilangnya otonomi bank sentral3, serta ketidakpastian dalam
menentukan nilai tukar tetap secara benar4.
Dalam sistem currency board, supply mata uang asing selalu dijaga dalam jumlah tertentu
yang ditentukan oleh board, biasanya dalam jumlah yang sangat besar agar dapat melunasi
kewajibannya untuk menebus mata uang domestik, yaitu berkisar 90-115%5 dari total utang Bank
Sentral. Hal tersebut sulit dilakukan apabila negara yang bersangkutan tidak memiliki foreign
reserves yang memadai (misalkan ketika negara tersebut menghadapi krisis). Foreign reserves
yang berlebih juga menimbulkan opportunity loss pada negara-negara berkembang, karena aset

1
https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/perekonomian/Pages/LapTah%201998%201999.aspx
2
https://www.barrons.com/articles/SB887414521507973500
3
https://www.economist.com/finance-and-economics/1997/10/30/the-abc-of-a-currency-board
4
https://www.barrons.com/articles/SB887414521507973500
5
Ibid
domestik (yang bisa diimplementasikan secara normal jika tidak menggunakan currency board)
pada negara berkembang memberi yield yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat bunga pada
foreign reserves.
Dengan menerapkan currency board, peran bank sentral dalam otonomi kebijakan moneter
berkurang secara substansial, terutama dalam menentukan tingkat bunga. Board memiliki kuasa
penuh dalam menentukan banyaknya foreign reserve supply, yang mengakibatkan tingkat bunga
menyesuaikan secara otomatis. Hal ini mengakibatkan apabila tingkat inflasi domestik lebih tinggi
dari negara asing yang menjadi pegged dalam menentukan nilai mata uang domestik, maka nilai
mata tukar terhadap mata uang asing pada currency board mengalami overvaluation secara masif
(terutama apabila negara tersebut sedang mengalami krisis ekonomi). Jika investor menarik mata
uang lokal mereka secara masal, tingkat bunga dapat meningkat dengan sangat cepat, sehingga
mengurangi tingkat likuiditas pada bank. Hal ini juga terjadi di Argentina, yang menggunakan
currency board dari tahun 1991, hingga akhirnya berhenti menggunakan currency board pada
tahun 2002 karena mata uang peso mengalami overvaluation secara masif terhadap USD pada saat
krisis keuangan. Selain itu, Board juga tidak dapat bertindak sebagai pemberi pinjaman pada
situasi krisis kepada bank yang bermasalah, karena tingginya utang asing bersih yang di-backing
dengan foreign reserve. Board juga tidak memiliki wewenang untuk mencetak uang untuk
mengatur kebijakan moneter, dan tidak dapat meminjamkan kepada pemerintah. Pemerintah tidak
dapat mencetak uang, dan hanya dapat memperoleh income dari pajak atau pinjaman untuk
melunasi komitmen spending.
Yang terakhir, risiko overvaluation pada krisis ekonomi juga menimbulkan sulitnya
menentukan nilai fixed rate yang benar. Indonesia pada saat itu sedang mengalami krisis, sehingga
penetapan nilai fixed rate yang benar berisiko salah.
Kesimpulannya, sistem nilai tukar tidak ada yang benar dan salah, karena masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Bukan berarti negara yang mengadopsi currency board pasti
mengalami kesulitan, karena terdapat negara yang sukses dalam menerapkan currency board, yaitu
China, karena sumber daya yang cukup untuk memenuhi foreign reserve. Selain itu, terdapat
negara yang sukses dalam menerapkan floating system, bahkan secara pure float, yaitu Selandia
Baru (di mana intervensi bank pertama kali baru dilakukan tahun 2007). Penggunaan sistem yang
baik tidak hanya melihat kelebihannya saja, tapi juga kekurangannya, serta situasi ekonomi,
kekuatan dan kelemahan dari negara yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai