1
https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/perekonomian/Pages/LapTah%201998%201999.aspx
2
https://www.barrons.com/articles/SB887414521507973500
3
https://www.economist.com/finance-and-economics/1997/10/30/the-abc-of-a-currency-board
4
https://www.barrons.com/articles/SB887414521507973500
5
Ibid
domestik (yang bisa diimplementasikan secara normal jika tidak menggunakan currency board)
pada negara berkembang memberi yield yang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat bunga pada
foreign reserves.
Dengan menerapkan currency board, peran bank sentral dalam otonomi kebijakan moneter
berkurang secara substansial, terutama dalam menentukan tingkat bunga. Board memiliki kuasa
penuh dalam menentukan banyaknya foreign reserve supply, yang mengakibatkan tingkat bunga
menyesuaikan secara otomatis. Hal ini mengakibatkan apabila tingkat inflasi domestik lebih tinggi
dari negara asing yang menjadi pegged dalam menentukan nilai mata uang domestik, maka nilai
mata tukar terhadap mata uang asing pada currency board mengalami overvaluation secara masif
(terutama apabila negara tersebut sedang mengalami krisis ekonomi). Jika investor menarik mata
uang lokal mereka secara masal, tingkat bunga dapat meningkat dengan sangat cepat, sehingga
mengurangi tingkat likuiditas pada bank. Hal ini juga terjadi di Argentina, yang menggunakan
currency board dari tahun 1991, hingga akhirnya berhenti menggunakan currency board pada
tahun 2002 karena mata uang peso mengalami overvaluation secara masif terhadap USD pada saat
krisis keuangan. Selain itu, Board juga tidak dapat bertindak sebagai pemberi pinjaman pada
situasi krisis kepada bank yang bermasalah, karena tingginya utang asing bersih yang di-backing
dengan foreign reserve. Board juga tidak memiliki wewenang untuk mencetak uang untuk
mengatur kebijakan moneter, dan tidak dapat meminjamkan kepada pemerintah. Pemerintah tidak
dapat mencetak uang, dan hanya dapat memperoleh income dari pajak atau pinjaman untuk
melunasi komitmen spending.
Yang terakhir, risiko overvaluation pada krisis ekonomi juga menimbulkan sulitnya
menentukan nilai fixed rate yang benar. Indonesia pada saat itu sedang mengalami krisis, sehingga
penetapan nilai fixed rate yang benar berisiko salah.
Kesimpulannya, sistem nilai tukar tidak ada yang benar dan salah, karena masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan. Bukan berarti negara yang mengadopsi currency board pasti
mengalami kesulitan, karena terdapat negara yang sukses dalam menerapkan currency board, yaitu
China, karena sumber daya yang cukup untuk memenuhi foreign reserve. Selain itu, terdapat
negara yang sukses dalam menerapkan floating system, bahkan secara pure float, yaitu Selandia
Baru (di mana intervensi bank pertama kali baru dilakukan tahun 2007). Penggunaan sistem yang
baik tidak hanya melihat kelebihannya saja, tapi juga kekurangannya, serta situasi ekonomi,
kekuatan dan kelemahan dari negara yang bersangkutan.