Anda di halaman 1dari 33

TEXT BOOK READING

AFASIA

Pembimbing
dr.Tutik Ermawati, Sp. S

Disusun oleh :
Yuliana Dwi JP G1A211050

BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Text Book Review yang berjudul :


AFASIA

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Saraf
RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :
Yuliana Dwi JP G1A211050

Disetujui dan disahkan:


Tanggal:....................................

Mengetahui,
Pembimbing

dr.Tutik Ermawati, Sp. S


BAB I
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sesuatu yang paling kompleks dari perilaku
yang ditunjukkan oleh manusia, karena bahasa melibatkan memori, belajar,
keterampilan penerimaan pesan, proses, dan ekspresi. Bahasa merupakan
instrument dasar bagi komunikasi pada manusia dan merupakan dasar dan
tulang punggung bagi kemampuan kognitif. Bila terdapat defisit pada sistem
berbahasa, penilaian faktor kognitif seperti memori verbal. Interpretasi
pepatah dan berhitung lisan menjadi sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan.
Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa sangat penting.
Pemahaman bicara dan bahasa adalah tugas yang melibatkan sebagian besar
korteks serebri. Karena alasan ini, lesi di berbagai bagian korteks dapat
menyebabkan gangguan pemahaman bicara da bahsa. Bila terdapat gangguan
hal ini akan mengakibatkan hambatan yang berarti bagi pasien (1,2).
Permasalahan bahasa dapat tampak dalam bentuk language delay
atau gangguan dalam berbahasa. Istilah language delay digunakan
berdasarkan kepada perkembangan bahasa secara normal yang terhambat.
Apabila perkembangan bahasa itu mengikuti pola-pola normal, mereka terlihat
adanya kelambatan jika dibandingkan dengan usia yang sama. Gangguan cara
berbahasa dinamakan afasia. Lebih tepat untuk menggunakan istilah disfasia,
karena umumya kemampuan berbahasa tidak hilang secara mutlak. Gangguan
berbahasa tidak mudah di deteksi dengan pemeriksaan yang tergesa-gesa (1,2).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Manusia memahami suatu kata dari pengalamannya atau


imajinasinya. Manusia mendapatkan kosakata dari apa yang dilihat, didengar,
dan dirasakan. Area cerebrum yang mengintegrasi semua stimulus ini
menjadi kemampuan berbahasa adalah area Wernicke. Area wernicke terletak
pada ujung posterosuperior girus temporalis superior. Area wernicke
berdekatan dengan area pendengaran primer dan sekunder. Hubungan antara
area pendengaran dengan area Wernicke memungkinkan adanya interpretasi
bahasa terhadap apa yang didengar. Selain berhubungan dengan area
pendengaran, area wernicke juga berhubungan dengan area asosiasi
penglihatan. Oleh karena itu pemahaman bahasa juga dapat terjadi melalui
membaca (1).
Gambar 1. Area Wernicke
Semua impuls auditorik disampaikan kepada korteks auditorik primer kedua
sisi. Pada hemisferium yang dominan data auditorik itu dikirim ke pusat
wernicke. Pengiriman data dari hemisferium yang tidak dominan ke pusat
wernicke dilaksanakan melalui serabut korpus kalosum. Di pusat wernicke
suara dikenal sebagai simbol bahasa. Kemudian data itu dikirim ke pusat
pengertian bahasa. Di situ simbol bahasa lisan (auditorik) diintegrasikan
dengan simbol bahasa visual dan sifat-sifat lain dari bahasa. Bahasa lisan
dihasilkan oleh kegiatan di pusat pengertian bahasa yang menggalakkan pusat
pengenalan kata (wernicke), yang pada gilirannya mengirimkan pesan kepada
pusat broca (yang menyelenggarakan produksi kata-kata) melalui daerah
motorik primer dan melalui lobus frontalis (area motorik suplementer), yang
ikut mengatur produksi aktivitas motorik yang tangkas dalam bentuk kata-
kata yang jelas. Bahasa visual dikembangkan melalui persepsi visual
bilateral. Dari korteks visual primer kedua sisi data visual disampaikan
kepada korteks visual sekunder di hemisferium yang dominan. Data tersebut
dikirim ke pusat wernicke dan ke pusat pengintegrasian pengertian bahasa.1
Gambar 2. Proses pembentukan bicara setelah stimulus visual
Kata yang didengar Kata yang dibaca

Korteks auditoriks Korteks visual


primer primer

Korteks auditoriks Korteks auditoriks


sekunder (area sekunder
Wernicke)

Area 39

Lobus frontalis
superior anterior

Korteks premotorik
(Area Broca)

Ganglia basalis,
serebelum

Talamus

Korteks motorik

Kata yang
diucapkan

Gambar 3. Mekanisme Pengucapan Kata


B. Definisi
Pengertian tentang aphasia, masing-masing ahli memberikan
batasan yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya sama. Seperti yang
dikemukakan:
1. Wood (1971) mengatakan bahwa aphasia merupakan parsial or
complete loss of ability to speak or to comprehend the spoken word
due to injury, disease. Or maldevelopment of brain. (Kehilangan
kemampuan untuk bicara atau untuk memahami sebagaian atau
keseluruhan dari yang diucapkan oleh orang lain, yang diakibatkan
karena adanya gangguan pada otak) (3,4,5).
2. Wiig dan Semel (1984) bahwa Aphasia as involving those who have
acquired a language disorder because of brain damage resulting in
impairment of language comprehension formulation, and use.
(Mereka yang memiliki gangguan pada perolehan bahasa yang
disebabkan karena kerusakan otak yang mengakibatkan
ketidakmampuan dalam memformulasikan pemahaman bahasa dan
pengguanaan bahasa) (3,4).
Jadi pengertian aphasia secara umum berkaitan dengan disorder of
brain, injury of the brain. Selanjutnya sekarang ini banyak perbedaan dari
tipe-tipe aphasia atau kondisi-kondisi yang dikaitkan dengan aphasia seperti
agnosia, paraphasia dan dysprosody. Gangguan bahasa aphasia
dikelompokkan kepada masalah receptive dan ekspresive (5,6,7).
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh
kerusakan otak. Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa
(disebut juga disfasia), gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan
berbahasa sekunder akibat gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia
(4,5)
.
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh
walaupun biasanya terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada
gangguan lainnya. Tercakup di dalam afasia adalah gangguan yang lebih
selektif, misalnya gangguan membaca (alexia) atau gangguan menulis
(agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia (gangguan belajar atau
ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia), gangguan menghitung
(akalkulias), serta defisit perilaku neurologis seperti demensia dan delirium.
Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan afasia atau muncul sendiri (6,7).

C. Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat
timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal,
temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area
Broa, Area Wernicke, dan jalur yang menghubungkan antara keduanya.
Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan
orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat kemampuan berbahasa diatur
(4,5,6,7,8,9,10)
.
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan
oleh stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya.
Afasia dapat muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia
juga terdaftar sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid
untuk penanganan nyeri kronis (5,6).
D. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Afasia (2)
Kompr Komprehe
Bentuk Ekspre Mena
ehensi Repetisi nsi Menulis Lesi
Afasia si mai
verbal membaca
Ekspresi Tak Relatif Terganggu Terga Bervariasi Terganggu Frontal Inferior
(Broca) lancar terpelih nggu posterior
ara
Reseptif Lancar Tergang Terganggu Terga Terganggu Terganggu Temporal
(Wermic gu nggu Superior
ke) Posterior (Area
Wernicke)
Global Tak Tergang Terganggu Terga Terganggu Terganggu Fronto
lancar gu nggu temporal
Konduksi Lancar Relatif Terganggu Terga Bervariasi Terganggu Fasikulus
terpelih nggu arkualtus, girus
ara supramarginal
Nominal Lancar Relatif Terpelihara Terga Bervariasi Bervariasi Girus angular,
terpelih nggu temporal
ara superior
posterior
Transkort Tak Relatif Terpelihara Terga Bervariasi Terganggu Peri sylvian
ikal lancar terpelih nggu anterior
motor ara
Transkort Lancar Tergang Terpelihara Terga Terganggu Terganggu PerisylvianPos
ikal gu nggu terior
sensorik

Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang


mendasarkan kepada (4,5,6,7,8,9):
1. Manifestasi klinik
a. Afasia tidak lancar atau non-fluent
b. Afasia lancar atau fluent
2. Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
a. Sindrom afasia peri-silvian
1) Afasia Broca (motorik, ekspresif)
2) Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
3) Afasia konduksi
b. Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)
1) Afasia transkortikal motorik
2) Afasia transkortikal sensorik
3) Afasia transkortikal campuran
c. Sindrom afasia subkortikal
1) Afasia talamik
2) Afasia striatal
d. Sindrom afasia non-lokalisasi
1) Afasian anomik
2) Afasia global
3. Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik

E. Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak.
Pada manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer
kiri otak pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60%
orang yang dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia,
sebagian besar lesi terletak pada hemisfer kiri.(2,3,6,7,8)
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak,
atau penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.(2,3)
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas
pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
kersulitan dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan
(2,4,5)
.
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area
sensorik penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan
mengakibatkan penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu
bahasa (2,4,5).
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan
bahasa di atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan
afasia transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus
arkuatus, yaitu penghubung antara area Broca dan area Wernicke (3.4).

F. Penegakan Diagnosis
Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan
tambahan lainnya dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan otaknya.
1. Afasia yang lancar (Fluent)
Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama baik,
tetapi isi bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya.
Penderita tidak dapat mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara
kembali. Gambaran klinisnya ialah (12,13):
a. Keluaran bicara yang lancar
b. Panjang kalimat normal
c. Artikulasi dan irama bicara baik
d. Terdapat parafasia
e. Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
f. Repetisis terganggu
g. Menulis lancar tadi tidak ada arti
Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan
tidak lancar dan tertegun-tegun: mana rokok beli. Sedangkan
seorang afasia fluen mungkin akan mengatakan dengan lancar: rokok
beli tembakau kemana situ tadi gimana dia toko jalan (10,11,12)
2. Afasia Tidak Lancar
Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas. Penderita
menggunakan kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana.
Sering disertai artikulasi dan irama bicara yang buruk. Gambaran
klinisnya ialah (1,8):
a. Pasien tampak sulit memulai bicara
b. Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
c. Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
d. Artikulasi umumnya terganggu
e. Irama bicara terganggu
f. Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih
kompleks
g. Pengulanan (repetisi) buruk
h. Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk
3. Afasia Wernicke
Disebut juga afasia sensorik atau afasia perseptif. Disebabkan oleh
lesi di daerah antara bagian belakang lobus temporalis, lobus oksipitalis
dan lobus parietalis dari hemisfer kiri (dominan) yaitu area Wernicke.
Pada afasia ini kemampuan untuk mengerti bahasa verbal dan visual
terganggu atau hilang sama sekali. Tetapi kemampuan untuk secara aktif
mengucapkan kata-kata dan menulis kata-kata masih ada, kendatipun
apa yang diucapkan dan ditulis tidak mempunyai arti sama sekali.
Penderita dengan afasia ini tidak mengerti lagi bahasa yang didengarnya
walaupun ia tidak tuli. Ia pun tidak mengerti lagi isi surat yang
dibacanya, walaupun ia tidak buta huruf. Penyimpanan storage berikut
proses coding dari apa yang didengar dan ditulis terjadi di daerah
Wernicke. Jika daerah tersebut rusak, proses decoding tidak akan
menghasilkan apa-apa. Hilangnya pengertian berarti juga hilangnya
gnosis dan kognisio. Oleh karena kata dan tulisan yang masih dapat
diucapkan dan ditulis oleh seorang penderita tidak lagi dikenal dan
diketahui, maka dia akan berbicara dan menulis suatu bahasa yang
tidak dimengerti oleh dirinya sendiri ataupun orang lain. Adakalanya
bahasa baru (neologisme) mengandung kata-kata yang menyerupai
kata-kata yang wajar, tetapi kebanyakan merupakan ocehan yang tidak
mempunyai arti. Ocehan itu dinamakan juga jargon aphasia (1,8).
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah
bahasa bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi
auditif, semakin besar kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari
girus temporal superior. Bila pemahaman kata tunggal terpelihara,
namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung mengenai daerah lobus
parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis Wernicke dapat
juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal
memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal (12,13).
Semacam afasia sensorik yang ringan, yang dikenal sebagai tuli
kata-kata (word-deafness), bisa dijumpai. Dalam hal itu, penderita
sama sekali tidak mengerti bahasa verbal yang didengarnya, tetapi ia
masih bisa mengerti bahasa tertulis dengan baik. Juga afasia sensorik
yang dinamakan buta kata-kata (word-blindness) pada mana bahasa
verbal masih bisa dimengerti, tetapi bahasa visual tidak mempunyai arti
baginya, jarang dijumpai. Tuli kata-kata dan buta kata-kata timbul akibat
lesi kecil di sekitar daerah Wernicke, yang terletak baik di lobus
temporalis ataupun parietalis bahkan lobus oksipitalis (11,12,13).
Sebagai suatu varian dari buta kata-kata ialah agrafia, akalkulia dan
aleksia reseptif. Dalam hal agrafia ekspresif (akibat lesi di sekitar daerah
broca), ekspresi melalui berbahasa ikut terganggu. Jika kemampuan
untuk mengerti bahasa verbal masih utuh tetapi daya untuk mengerti
bahasa tertulis hilang, maka dinamakan gejala tersebut agrafia reseptif.
Demikian juga arti istilah akalkulia reseptif, dimana penderita masih bisa
mengerti mengerti bahasa verbal tetapi ia tidak dapat mengerti soal-soal
yang menyangkut hitung berhitung. Pada aleksia reseptif, hanya
kemampuan untuk mengerti apa yang dibaca terganggu, sedangkan ia
masih mengerti bahasa verbal. Lesi-lesi yang relevan bagi afasia reseptif
fraksional itu terbatas pada girus angularis dan supramarginalis. Girus
yang tersebut pertama terletak di ujung sulkus temporalis superior dan
girus yang tersebut terakhir terletak di ujung fisura serebri lateralis
Sylvii (1,8,11).
Afasia reseptif lesinya terletak di temporo-parietal pasien justru
bicara terlalu banyak, cara mengucapkan baik dan irama kalimat juga
baik, namun didapat gangguan berat pada memformulasi dan menamai
sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti. Bahasa lisan
dan tulisan tidak atau kurang dipahami, dan menulis secara motorik
terpelihara, namun isi tulisan tidak menentu. Pasien tidak begitu sadar
akan kekurangannya (1,5).
Gambaran klinik afasia Wernicke (5):
a. Keluaran afasik yang lancar
b. Panjang kalimat normal
c. Artikulasi baik
d. Prosodi baik
e. Anomia (tidak dapat menamai)
f. Parafasia fonemik dan semantik
g. Komprehensi auditif dan membaca buruk
h. Repetisi terganggu
i. Menulis lancar tapi isinya "kosong"
4. Afasia konduksi
Merupakan ketidakmampuan mengulangi kata atau kalimat lawan
bicara terutama yang multisilabis (bersuku kata banyak). Namun
penderita masih mampu mengeluarkan isi pikiran dan menjawab kalimat
lawan bicaranya meskipun bahasa verbalnya terganggu. Afasia konduksi
merupakan kerusakan pada fasikulus arcuata yang berdampak pada
transmisi informasi dari daerah Wernicke ke daerah Brocca. Lokasi lesi
atau kerusakan tersebut berada pada girus supramarginalis dari hemisfer
yang dominan (area transisional antara lobus temporalis posterior dan
lobus parietalis). Gejala kerusakan ini karena informasi leksikal dari
daerah Wernicke tidak dapat dipindahkan ke daerah Brocca, sehingga
ujarannya secara semantic tidak padu (tidak koheren) (1,8).
Afasia konduksi merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent)
yang ditandai oleh gangguan berat pada repetisi, kesulitan dalam
membaca kuat-kuat (namun pemahaman dalam membaca baik),
gangguan dalam menulis, parafasia yang jelas, namun umumnya
pemahaman bahasa lisan terpelihara. Terputusnya hubungan antara area
wernicke dan broca diduga menyebabkan kelainan ini. Terlibatnya girus
supramarginal, sering lesi di massa alba subkortikal-dalam korteks
parietal inferior dan mengenai fasikulus arkuatus yang menghubungkan
korteks temporal dan frontal (1,8).
5. Afasia anomik
Disebut juga afasia nominatif atau afasia amnestik, merupakan afasia
motorik yang ringan. Penderitanya tidak bisa menemukan simbolik
verbal dari benda yang diperlihatkan kepadanya (tidak mampu menamai
benda yang dihadapkan kepadanya). Berbicara spontan biasanya lancar
dan kaya gramatika, namun sering tertegun mencari kata dan terdapat
parafasia mengenai nama objek. Ia tahu abstraksi dari benda tersebut
dalam pikiran, tetapi lafal dari abstraksi itu tidak bisa dinyatakan.
Misalnya penderita diminta untuk menyebut nama benda yang
disodorkan kepadanya. Ia bisa menjawab sebagai berikut : ituitu,tu,
tulis-tulis. Tetapi ia tidak bisa temukan atau ucapkan kata pensil.
Baru setelah dibantu dengan mengucapkan suku pertama kata pensil,
penderita dapat meneruskannya pensil. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa penyimpanan kata pensil utuh, juga persandian
abstraksi masih utuh. Tetapi decoding dari abstraksi terganggu (1,8).
Afasia jenis ini membuat penderita tidak mampu menyebut nama
benda yang dilihat, angka, huruf, bentuk benda dan kata kerja dari
gambar yang dilihat. Ia juga tidak bisa menyebutkan nama binatang yang
didengar suaranya atau benda yang diraba. Afasia ini merupakan yang
relatif ringan. Letak lesinya tidak tentu, tapi bisa di girus angular dan
temporal superior posterior atau berada antara daerah Brocca dan
Wernicke. Pada penemuan postmortem memperkirakan bahwa tipe
afasia ini disebabkan oleh lesi yang mengganggu serat-serat assosiasi
yang menghubungkan area sensorik bicara dengan region hipokampus.
Lesi biasanya tumor dan kadang-kadang suatu abses otogenus dalam
substansia alba yang lebih dalam dari bagian posterior dan basal lobus
temporalis (kemungkinan area 37) atau suatu proses atrofi, seperti
misalnya versi lobus temporalis dari penyakit Pick. Gambaran klinik
alasia anomik (1,8).
a. Keluaran lancar
b. Komprehensi baik
c. Repetisi baik
d. Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.
6. Afasia transkortikal
Afasia transkortikal secara umum ditandai oleh repetisi bahasa yang
baik (terpelihara), namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Afasia
transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark berbentuk
bulan sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral
mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan
media). Dipercaya bahwa afasia ini disebabkan oleh terpisahnya area
bicara sensorik dari korteks, sisanya karena gangguan sirkulasi dalam
korteks dan substansia alba sepanjang zona batas arterial antara arteri
serebri anterior, media dan posterior. Lesi ini tidak mengenai atau tidak
melibatkan korteks temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44
dan lingkungan sekitar) dan korteks peri sylvian parietal. Korteks peri
sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk kemampuan mengulang yang
baik.Keyakinan ini berasal dari kejadian keadaan tersebut dalam kasus
henti jantung sementara tanpa mempertimbangkan penyebabnya. Dibagi
menjadi (1.8):
a. Afasia transkortikal motorik (masuk afasia non-fluent)
Pasien dengan afasia ini mampu mengulang (repetisi),
memahami dan membaca, namun dalam bicara spontan terbatas,
seperti pasien dengan afasia broca. Gambaran kliniknya yaitu
ekspresi tidak lancar (non-fluent), pemahaman verbal relative
terpelihara, pengulangan baik, menamai terganggu, ungkapan-
ungkapan singkat, parafasia semantik, ekolali, pemahaman
(komprehensi) baik. Biasanya akibat lesi di anterior atau superior
dari area broca. Gambaran klinik afasia motorik transkortikal (1,8):
1) Keluaran tidak lancar (non fluent)
2) Pemahaman (komprehensi) baik
3) Repetisi baik
4) Inisiasi ot/fpunerlambat
5) Ungkapan-ungkapan singkat
6) Parafasia semantik
7) Ekholalia
Untuk jenis afasia ini digunakan juga istilah awam pure word-
dumbness atau bisu kata-kata yang tulen. Jika seorang afasia
motorik masih bisa membeo, namun tidak mampu lagi untuk
mengeluarkan kata-kata sebagai cara ekspresi aktifnya, maka afasia
motorik semacam itu disebabkan oleh suatu lesi kortikal yang agak
besar di antara daerah broca dan wernicke. Afasia motorik berat
dengan masih adanya kemampuan untuk membeo ini dinamakan
afasia motorik transkortikal. Afasia transkortikal motorik terlihat
pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai huruf c terbalik (1,8).
b. Afasia transkortikal sensorik
Ini adalah afasia yang berkaitan dengan hilangnya pemahaman
pendengaran dan penglihatan dan kata-kata dan ketidakmampuan
untuk menulis dan membaca dengan pengertian. Kata-kata yang
diucapkan dapat diulang, tapi artinya tidak dapat dimengerti.
Gambaran klinisnya, yaitu ekspresi lancar (fluent), pemahaman
verbal terganggu, pengulangan baik, menamai terganggu,
pemahaman membaca terganggu, menulis terganggu, defisit motorik
dan sensorik jarang dijumpai, didapatkan defisit lapangan pandang di
sebelah kanan. Biasanya akibat lesi di area informasi dari nonbahasa
area ke cerebrum tidak bisa di transfer ke area wernickes untuk
diubah menjadi suatu bentuk bahasa. Afasia ini dapat mengulang
(repetisi) baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya atau
yang diulanginya. Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal (1.8):
1) Keluaran (output) lancar (fluent)
2) Pemahaman buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia
5) Komprehensi auditif dan membaca terganggu
6) Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai
7) Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.
c. Afasia transkortikal campuran
Gambaran klinisnya, yaitu tidak lancar (non-fluent),
komprehensi buruk, repetisi baik dan ekolali yang mencolok.
Penyebab paling sering dari afasia transkortikal ialah anoksia
sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang
dijumpai pada henti jantung, oklusi atau stenosis berat arteri karotis,
anoksia oleh keracunan karbon monoksida dan demensia. Gambaran
klinik afasia transkortikal campuran (1.8):
1) Tidak lancar (nonfluent)
2) Komprehensi buruk
3) Repetisi baik
4) Ekholalia mencolok

7. Afasia Brocca
Disebut juga sebagai afasia motorik atau afasia ekspresif.
Disebabkan oleh lesi di bagian posterior daerah girus ketiga frontal dari
hemisfer kiri (dominan) yaitu sekitar area Brocca (area 44). Afasia
Brocca terberat ialah jika penderita sama sekali tidak dapat
mengeluarkan kata-kata. Adakalanya hanya dapat mengucapkan ya
atau he-ng saja, sambil menganggukan kepalanya. Namun demikian ia
masih mengerti bahasa verbal dan visual. Juga perintah-perintah untuk
melakukan sesuatu (praksis) bisa dilaksanakan sesuai dengan makna
perintah. Ketidak mampuan untuk menyatakan pikirannya dengan kata-
kata menjengkelkan penderita. Dan lebih-lebih menekan jiwanya adalah
bahwa ia sadar akan apa yang hendak diucapkan, tetapi ia tidak mampu
mengucapkan kata-kata yang terkandung dalam fikirannya. Jadi bahasa
internalnya masih utuh. Pada afasia motorik umumnya kemampuan
untuk menulis kata-kata masih tidak terganggu, tetapi bisa juga terjadi
adanya agrafia (hilangnya kemampuan untuk ekspresi dengan tulisan).
Pada afasia motorik yang terberat, adakalanya kata-kata yang bersifat
ledakan-ledakan emosional masih bisa diucapkan secara spontan
misalnya da-ilah, asu, G..verdom, dan sebagainya (1,8).
Afasia motorik yang mencerminkan kerusakan terhadap seluruh
korteks daerah Brocca ialah afasia dimana penderita tidak bisa
melakukan ekspresi dengan cara apapun, baik dengan cara verbal
maupun visual (afasia motorik kortikal). Afasia motorik dimana
penderita tidak bisa mengucapkan satu kata apapun, namun masih bisa
mengutarakan pikirannya dengan jalan tulis menulis, bisa timbul akibat
lesi di masa putih area Brocca. Oleh karena itu, afasia motorik ini
dinamakan juga afasia motorik subkortikal (1,8).
Gejala utamanya adalah berbicara spontan yang tidak lancar, non-
fluent dan terbata-bata. Tata bahasanya kurang sempurna, dan biasanya
disertai dengan hemiparesis kanan (1,8). Ciri klinik afasia Broca:
a. bicara tidak lancar
b. tampak sulit memulai bicara
c. kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)
d. pengulangan (repetisi) buruk
e. kemampuan menamai buruk
f. Kesalahan parafasia
g. Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami
kalimat yang sintaktis kompleks)
h. Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks
i. Irama kalimat dan irama bicara terganggu
Tergolong dalam afasia motorik adalah juga akalkulia ekspresif dan
agrafia ekspresif, yang berarti hilangnya kemampuan untuk ekspresi
dengan menggunakan simbolik matematika dan huruf. Pada akalkulia
ekspresif dan agrafia ekspresif, ekspresi dengan cara berbahasa masih
ada, tetapi apabila ekspresi itu diwujudkan dalam bentuk tulisan,
penderita sendiri sadar akan ketidakmampuannya. Lesi berkorelasi
dengan gangguan yang terletak di lobus frontalis yang berdampingan
dengan korteks motorik (1,8).
8. Afasia global
Afasia global adalah bentuk afasia yang paling berat, keadaan ini
ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan
menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotipe (itu-itu
saja, berulang), misalnya : iiya, iiya, iiya, atau : baaah, baaaah,
baaaah. Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya hanya
mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi
(mengulangi) juga sama berat gangguannya seperti bicara spontan.
Membaca dan menulis juga terganggu berat. Afasia global disebabkan
oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa.
Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau
arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan untuk pulih buruk.
Lesi luas terletak di perysilvian atau sebagian dari frontal dan temporal.
Seseorang disebut afasia global bila semua modalitas bahasa, meliputi
kelancaran berbicara, pengertian bahasa lisan, penamaan, pengulangan,
membaca, dan menulis terganggu berat. Pasien yang terkena hanya dapat
menggumamkan beberapa suara atau mengacaukan pembicaraan
selanjutnya dan hanya mengerti beberapa suara atau kata yang segera
akan dilupakan. Mereka tidak dapat mengulang kembali kata-kata yang
diucapkan dan tidak mampu membaca atau menulis. Afasia global ini
disertai oleh hemiplegia, hemianestesia dan hemianopsia. Hal ini terjadi
karena kerusakan otak berupa infark yang luas yang disebabkan oleh
obstruksi arteri serebri media(1,8).

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar
bila bicara spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang
diinginkan. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi
menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus ilnpat
dideteksi masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan iiImii
pada demensia dini. Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes
knlnncaran, menemukan kata yaitu jumlah kata tertentu yang dapat
dlproduksi selama jangka waktu yang terbatas. Misalnya menyebutkan
sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu satu menit, ulnu
menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya huruf S
atau huruf B dalam satu menit (8).
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak
mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta
kesalahan yang ada, misalnya parafasia. Skor : Orang normal umumnya
mampu menyebutkan 18 - 20 nama hewan selama 60 detik, dengan variasi I
5 - 7. Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas
ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan
20 nama hewan dengan simpang baku 4,5. Kemampuan ini menurun menjadi
17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi 15,5 ( 4,8) pada usia 80-an. Bila
skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah usia 70 tahun, perlu
dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. Skor yang
dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah penemuan
kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah(8).
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien
dapat juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf
tertentu, misalnya huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama
kota. Skor: Orang normal umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 - 60
kata, tergantung pada usia, inteligensi dan tingkat pendidikan. Kemampuan
yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk tiap huruf di atas merupakan
petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal. Namun kita harus
hati-hati monginterpretasi tes ini pada pasien dengan tingkat pendidikan
tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama(8).

Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan(8)


Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit
dlnllal Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang
cukup dan dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat
digunakan untuk mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu
dengan cara konversasi, suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat
dinilai kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan
oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu
langkah) sampai pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk
menilai kemampuan pasien memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk
tangan, kemudian tingkatkan kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil,
letakkan di kotak dan taruh kotak di atas kursi (suruhan ini dapat gagal pada
pasien dengan apraksia dan gangguan motorik, walaupun pemahamannya
baik; hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya
kunci, duit, arloji, vulpen, geretan. Suruh pasien menunjukkan salah sntu
benda tersebut, misalnya arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya:
tunjukkan jendela, setelah itu arloji, kemudian vulpen. Pasion tanpa afasia
dengan tingkat inteligensi yang rata-rata mampu menunjukkan 4 atau lebih
objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan Afasia mungkin hanya
mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada pemeriksaan ini
pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang hams ditunjuk, sampai
jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak. Kepada pasien dapat juga diberikan tugas
berbentuk pertanyaan yang dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat
kemungkinan salah ialah 50%, jumlah pertanyaan harus banyak,
paling sedikit 6 pertanyaan, misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan
kemudian meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu",
kemudian "tunjukkan gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang,
kurang mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun
dapat memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya.
Korelasi anatomis dengan komprehensi adalah kompleks.

Pemeriksaan repetisi (mengulang) (8)


Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien
mengulang, mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian
ditingkatkan menjadi banyak (satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau
angka, dan kemudian pasien disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula
sederhana kemudian lebih sulit. Contoh:
Map
Bola
Kereta
Rumah Sakit
Sungai Barito
Lapangan Latihan
Kereta api malam
Besok aku pergi dinas
Rumah ini selalu rapi
Sukur anak itu naik kelas
Seandainya si Amat tidak kena influensa
Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini
didapatkan parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang
mengandung 19 suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang
(repetisi), namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam
hal mengulang, dan sering lebih baik daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan
kemampuan mengulang mempunyai kelainan patologis yang melibatkan
daerah peri-sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah -
sylvian bebas dari kelainan patologis.
Umumnya daerah ekstra-sylvian yang terlibat dalam kasus
afasia tanpa defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area
water-shed).

Pemeriksaan menamai dan menemukan kata(8)


Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa.
Hal ini sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan
demikian, semua tes yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian
terhadap kemampuan ini. Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan
kemampuan menyebut nama (menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek,
bagian dari objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik,
simbol matematik atau nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan
aitem yang sering digunakan (misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui
atau digunakan (misalnya pedang). Banyak penderita afasia yang masih
mampu menamai objek yang sering ditemui atau digunakan dengan cepat dan
tepat, namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi (misalnya,
melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek yang jarang dijumpainya.
Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan
memberikan suku kata pemula atau dengan menggunakan
kalimat
penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu dengan suku kata pi
Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan ". Yang penting kita
nilai ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya
(memberi nama objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu
melukiskan kegunaannya (sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya.
Misalnya bila ditunjukkan kunci ia mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk
rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh
menyebutkan nama beberapa objek juga warna dan bagian dari objek
tersebut. Kita dapat menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin,
kaca mata, kemudian bagian dari arloji (jarum menit, detik), lensa kaca
mata. Objek atau gambar objek berikut dapat digunakan: Objek yang ada di
ruangan: meja, kursi, lampu, pintu, jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung,
gigi, ibu jari, lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek: jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat
pinggang, bingkai kaca mata.
Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat
atau lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia,
neologisme dan apakah ada perseverasi. Disamping menggunakan objek,
dapat pula digunakan gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih
nama objek tersebut dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan
gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami
bahasa lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum
ada kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa.
Area Brodmann 44 merupakan area Broca.
Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme
glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini.
Namun demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada
jenisnya, didapat pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri.
Penelitian ini memberi kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara
anatomi-fisiologi, dan bukan merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal
dengan tugas-tugas terbatas atau terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.

Pemeriksaan sistem bahasa(8)


Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan
bagaimana pasien berbicara spontan, komprehensi (pemahaman), repetisi
(mengulang) dan menamai (naming).
Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain
itu, perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat
penggunaan tangan (kidal atau kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang
singkat dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia
selalu agrafia dan sering aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan
menulis dapat dipersingkat. Namun demikian, pada pasien yang tidak afasia,
pemeriksaan membaca dan menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena
aleksa atau agrafia atau keduanya dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).

Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal) (8)


Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat
Sebelum menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan,
dengan melihat penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepadn p irsion
apakah ia kandal (right handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah illnjarkan
sejak kecil untuk menulis dengan tangan kanan. Dengan ilcmikian,
mengobservasi cara menulis saja tidak cukup untuk menentukan npakah
seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien memperagakan tangan mana yang
digunakannya untuk memegang pisau, melempar bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang
lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan
sedikit lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang
kuat. Ada individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama
(ambi-dextrous)

Pemeriksaan berbicara - spontan(8)


Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana
pasien berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien
berbicara spontan atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat
berharga mengenai kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah
pentingnya dari tes-tes bahasa yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui
pertanyaan berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah
sakit. Coba ceritakan mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu). Pada afasia sering ada gangguan ritme dan
irama (disprosodi).
2. Apakah ada afasia, kesalahan sintaks, salah menggunakan kata
(parafasia, neologisme), dan perseverasi. Perseverasi sering dijumpai
pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia,
yaitu parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia
semantik ialah mensubstitusi satu kata dengan kata yang lain misalnya:
"kucing" dengan "anjing". Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu
bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya
sangat terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa,
ayaa, aaai, Hi".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan
bicaranya, namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang
cara mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang
disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer
otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola
abnormalitas yang dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta
melakukan beberapa tes sederhana.

H. Terapi
Penatalaksanaan gangguan bahasa terlebih dahulu didasarkan
mengatasi penyebabnya seperti stroke, perdarahan akut, tumor otak dan
sebagainya. Penanganan yang paling efektif adalah dengan rehabilitasi
berupa terapi bicara(12,13,14).
Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang tidak
rusak menggantikan sel-sel yang telah rusak. Salah satu rehabilitasi untuk
mengatasi gangguan berbicara dan berbahasa adalah dengan speech therapy
merupakan penyediaan pelayanan yang diberikan oleh health care
profesional untuk membantu seseorang dalam memperbaiki komunikasi.
Didalamnya meliputi bagaimana membuat suara dan bahasa, termasuk
pengertian dan pemilihan kata yang digunakan (12,13,14).
Menurut hsdc (2006), terapi ini dimulai dari 24 jam pasien stroke
masuk rumah sakit (bila kondisi fisiknya telah memungkinkan), dan
kemudian dilakukan secara berkelanjutan sampai 1 2 tahun post stroke.
Rehabilitasi secara dini akan mempercepat proses penyembuhan, rehabilitasi
ini harus rutin sehingga otak mampu untuk mengingatnya. Rehabilitasi pasien
dengan gangguan bahasa umumnya perlu :
1. menimbulkan motivasi agar pasien mau belajar berbicara lagi,
2. memberikan banyak stimulasi verbal dan tulisan.
3. melakukan repetisi secara kontinu.
Sedangkan, latihan pada pasien afasia berupa bina wicara dapat
diberikan oleh seorang yang profesional dan oleh keluarga yang telah
mendapat petunjuk-petunjuk mengenai terapi di rumah, karena pasien
membutuhkan latihan terus menerus. Prinsip bina wicara ialah motivasi,
stimulasi dan repetisi. Pasien perlu mendapat motivasi untuk melatih
bicaranya. Jangan dibiarkan menggunakan bahasa isyarat dalam percakapan
sehari-hari, juga di rumahnya. Keluarga diberi tahukan untuk tidak
membiarkan pasien memakai bahasa isyarat. Pasien harus dipaksakan
mengucapkan kata disamping isyarat yang dipakainya. Terapis akan
membuat program latihan bagi pasien yang disesuaikan dengan latar
belakang pendidikan dan berat-ringan afasianya. Program ini ditujukan untuk
memberikan stimulasi yang kontinu secara auditif atau tertulis. Pengulangan
atau repetisi perlu dilakukan secara teratur. Stimulasi taktil juga dapat dipakai
bila diperlukan. Bina wicara (speech therapy) pada afasia didasarkan
pada(12,13,14) :
1. Dimulai seawal mungkin. Segera diberikan bila keadaan umum pasien
sudah memungkinkan pada fase akut penyakitnya.
2. Dikatakan bahwa bina wicara yang diberikan pada bulan pertama sejak
mula sakit mempunyai hasil yang paling baik.
3. Hindarkan penggunaan komunikasi non-linguistik (seperti isyarat).
4. Program terapi yang dibuat oleh terapis sangat individual dan
tergantung dari latar belakang pendidikan, status sosial dan kebiasaan
pasien.
5. Program terapi berlandaskan pada penumbuhan motivasi pasien untuk
mau belajar (re-learning) bahasanya yang hilang. Memberikan stimulasi
supaya pasien memberikan tanggapan verbal. Stimuli dapat berupa verbal,
tulisan ataupun taktil. Materi yang telah dikuasai pasien perlu
diulangulang (repetisi).
6. Terapi dapat diberikan secara pribadi dan diseling dengan terapi
kelompok dengan pasien afasi yang lain.
7. Penyertaan keluarga dalam terapi sangat mutlak.
BAB III
KESIMPULAN

1. Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan


otak. Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga
disfasia), gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa
sekunder akibat gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia.
2. Afasia dapat timbul akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus
frontal, temporal atau parietal yang mengatur kemampuan berbahasa
3. Afasia diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis, Distribusi anatomi dari
lesi yang bertanggung jawab bagi defek, Gabungan pendekatan manifestasi
klinik dengan lesi anatomik
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahar mardjono, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. 2008. Dian


Rakyat. Jakarta
2. Stefan Silbernagl, Florian Lang. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
2007. EGC. Jakarta.
3. Adult Aphasia. American Speech Language Hearing Association.2012
4. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia
Sebagai Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
5. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia.
2009.
6. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010
Available at: http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm
7. National Institute On Deafness and Other Communication Disorders.
Aphasia, Voice, Speech and Language Health Info. 2010. Available at:
http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/aphasia.html
8. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab
XI: Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008

9. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak;
dan Proses Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997.

10. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan
Neurologis, Evaluasi Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995
11. Stroke and aphasia. American Stroke Association.2012
12. Aphasia Assesment.
http://www.neuropsychologycentral.com/interface/content/resources/page
_material/resources_general_materials_pages/resources_document_pages/
aphasia_assessment.pdf. 2002
13. Speech and Language Therapy for aphasia following stroke. The Cochrane
Collaboration. 2010.
14. Ninds. 2006. Aphasia. Available from : http://www.ninds.nih.gov.

Anda mungkin juga menyukai