Anda di halaman 1dari 27

PIT DAN FISSURE SEALANT

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu kedokteran gigi anak, salah satu yang dipelajari adalah tentang suatu
metode pencegahan terhadap terjadinya karies pada gigi anak. Berbagai tindakan
pencegahan terjadinya karies telah diupayakan melalui fluoridasi air minum,
topikal aplikasi fluor pada fase perkembangan enamel, dan program kontrol plak
bagi masing-masing individu. Hal ini tidak terbukti efektif mengurangi insiden
karies pada pit dan fisura yang merupakan bagian yang rentan karies, karena
bentukan anatomisnya yang menyempit (Robert G.Craig: 1979: 28).
Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak berpengaruh
terhadap insidensi pada karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan fisura
merupakan daerah cekungan yang terlindung (Gambar 7). Kondisi ini mendukung
terjadinya proses karies. Fluor yang telah diberikan tidak cukup kuat untuk
mencegah karies. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukanlah suatu cara
preventif yang ditujukan khusus untuk mencegah karies pada daerah ini melalui
teknik fissure sealant (R.J Andlaw, 1992: 58).
Fissure sealant merupakan bahan yang diletakkan pada pit dan fisura gigi
yang bertujuan untuk mencegah proses karies gigi (J.H. Nunn et al, 2000). Bentuk
pit dan fisura beragam, akan tetapi bentuk umumnya adalah sempit, melipat dan
tidak teratur. Bakteri dan sisa makanan menumpuk di daerah tersebut. Saliva dan
alat pembersih mekanis sulit menjangkaunya. Dengan diberikannya bahan
penutup pit dan fisura pada awal erupsi gigi, diharapkan dapat mencegah bakteri
sisa makanan berada dalam pit dan fisura (Sari Kervanto, 2009: 12).
Tujuan utama diberikannya sealant adalah agar terjadinya penetrasi bahan
ke dalam pit dan fisura serta berpolimerisai dan menutup daerah tersebut dari
bakteri dan debris (Kenneth J Anusavice, 2004: 260-261). Bahan sealant ideal
mempunyai kemampuan retensi yang tahan lama, kelarutan terhadap cairan mulut
rendah, biokompatibel dengan jaringan rongga mulut, dsn mudah diaplikasikan
(Donna Lesser, 2001).

1
Dua bahan sealant yang sering digunakan adalah sealant berbasis resin dan
sealant semen ionomer kaca (SIK). Bahan sealant berbasis resin dapat melakukan
polimerisasi secara autopolimerisasi dan fotopolimerisasi. Sedangkan sealant SIK
yang sering digunakan bersifat autopolimerisasi (Sari Kervanto, 2009: 20).
Sealant berbasis resin bertahan lebih lama dan kuat karena memiliki
kemampuan penetrasi yang lebih bagus. Hal ini karena adanya proses etsa pada
enamel gigi yang menghasilkan kontak yang lebih baik antara bahan resin dengan
permukaan enamel (Mahadevan Ganesh, 2007).
Etsa menghilangkan mineral enamel gigi dan menghasilkan resin tag dan
secara klinis nampak lebih putih dan pudar. Bahan sealant yang diberikan pada
area yang dietsa akan berpenetrasi ke dalam resin tag. Hal ini dapat meningkatkan
retensi mekanis bahan sealant dengan permukaan enamel gigi (Carline Paarmann,
1991:13).
Sealant ionomer kaca memiliki kemampuan mencegah karies yang hampir
sama dengan sealant berbasis resin. Manipulasi sealant semen ionomer kaca lebih
mudah, dan tidak diperlukan tahapan pengetsaan pada permukaan gigi
(Subramaniam, 2008).
Berbeda dengan sealant berbasis resin, bahan sealant semen ionomer kaca
melakukan interaksi khusus dengan enamel gigi dengan melepaskan kalsium,
strontium dan ion fluor yang bersifat kariostatik dan mengurangi perkembangan
karies pada daerah yang diberi sealant (Laurence J. Walsh, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
perbandingan fissure sealant berbasis resin dengan sealant semen ionomer kaca
sebagai bahan penutup pit dan fisura pada permukaan gigi posterior.

2
1.2 Masalah
Bagaimanakah perbandingan kemampuan retensi sealant berbasis resin
dengan sealant semen ionomer kaca sebagai bahan penutup pit dan fisura?

1.3 Tujuan
Memberikan informasi tentang perbandingan kemampuan retensi sealant
berbasis resin dengan sealant semen ionomer kaca sebagai bahan penutup pit dan
fisura.

1.4 Manfaat
Seorang dokter gigi mampu menentukan pilihan aplikasi bahan sealant
baik berbasis resin maupun berbasis semen ionomer kaca sesuai indikasinya
sebagai bahan penutup pit dan fisura.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pit dan Fisura


Pit adalah titik terdalam berada pada pertemuan antar beberapa groove
atau akhir dari groove. Istilah pit sering berkaitan dengan fisura. Fisura adalah
garis berupa celah yang dalam pada permukaan gigi (Russel C.Wheeler, 1974).
Macam pit dan fisura bervariasi bentuk dan kedalamannya, dapat berupa tipe U
(terbuka cukup lebar); tipe V (terbuka, namun sempit); tipe I (bentuk seperti leher
botol).
Bentuk pit dan fisura bentuk U cenderung dangkal, lebar sehingga mudah
dibersihkan dan lebih tahan karies. Sedangkan bentuk pit dan fisura bentuk V atau
I cenderung dalam, sempit dan berkelok sehingga lebih rentan karies. Bentukan
ini mengakibatkan penumpukan plak, mikroorganisme dan debris.
Morfologi permukaan oklusal gigi bervariasi berbagai individu. Pada
umumnya bentuk oklusal pada premolar nampak dengan tiga atau empat pit. Pada
molar biasanya terdapat sepuluh pit terpisah dengan fisura tambahan (M. John
hick dalam J.R Pinkham, 1994: 454).

2.2 Histopatologi Karies pada Pit dan Fisura


Permukaan oklusal gigi posterior merupakan daerah yang paling rawan
untuk terjadinya karies. Bentuk anatiomis gigi ini yang memungkinkan terjadinya
retensi dan maturasi plak. Aktivitas bakteri dalam plak berakibat terjadinya
fluktuasi pH. Kondisi naiknya pH memberikan keuntungan terjadinya
penambahan mineral (remineralisasi) gigi, sedangkan turunnya pH akan berakibat
hilangnya mineral gigi. Kehilangan mineral ini merupakan suatu proses
demineralisasi jaringan keras yang menjadi tanda dan gejala sebuah penyakit (Sari
Kervanto, 2009: 9).
Gejala dini suatu karies enamel yang terlihat secra makroskopik adalah
berupa bercak putih. Bercak ini memiliki warna yang tampak sangat berbeda
dengan enamel sekitarnya yang masih sehat. Kadang-kadang lesi akan tampak
berwarna coklat disebabkan oleh materi di sekelilingnya yang terserap ke dalam

4
pori-porinya. Baik bercak putih maupun bercak coklat bisa bertahan tahunan
lamanya (Edwina A.M. Kidd, 1992:19).
Istilah karies fisura menggambarkan adanya karies pada pit dan fisura.
Karies berawal dari dinding-dinding fisura. Karies ini membesar ukurannya dan
menyatu pada dasar fisura. Karies enamel akan melebar kearah dentin dibawahnya
sesuai dengan arah prisma enamelnya. Arah perkembangan karies ke lateral
sehingga terbentuk karies yang menggaung (Edwina A.M. Kidd, 1992:25).
Awal pembentukan karies dimulai dari fisura, yaitu bagian terdalam dan
bagian paling dasar dari permukaan gigi. Kemudian karies berlanjut ke arah
lateral dinding fisura dan lereng cusp (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994:
454).
Enamel pada dasar fisura merupakan daerah yang terkena karies paling
awal, karies akan menyebar sepanjang enamel, kemudian karies berlanjut hingga
dentinoenamel junction. Bila dentin terkena karies, maka perkembangan karies
menjadi lebih cepat dibandingkan saat enamel terkena lesi. Pada kavitas fisura
terjadi kehilangan mineral dan struktur pendukung dari enamel dan dentin,
sehingga secara klinis nampak karies (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994:
455).
Karies secara histologi dibagi dalam zona-zona berdasarkan pemeriksaan
dengan mikroskop cahaya,
Zone 1: Zona Translusen
Zona ini tidak terlihat disemua lesi, tetapi jika ada akan terletak pada
bagian depan dan merupakan daerah perubahan awal dari gambaran normal. Zona
ini tampak tidak berstruktur, translusen berbatasan dengan zona gelap di daerah
permukaan dan enamel normal di bawahnya. Dibandingkan dengan enamel
normal, zone ini lebih porus dikarenakan proses demineralisasi.
Zona 2: Zona Gelap
Zona gelap merupakan daerah kedua dari perubahan email normal berada
tepat di atas zona translusen. Zona gelap lebih porus daripada zona translusen.
Pada zona gelap ini terdapat pori-pori kecil. Pori-pori ini merupakan daerah
penyembuhan temapat mineral telah didepositkan kembali.

5
Zona 3: Badan Lesi
Zona ini merupakan daerah yang terbesar. Zona ini terletak di atas zona
gelap dan di bagian dalam permukaan karies. Daerah ini berwarna lebih gelap
karena adanya molekul air yang memasuki pori-pori jaringan dimana indeks
refraksi air berbeda dengan enamel. Volume pori-pori area ini sekitar 5% di
pinggir dan makin membesar ke pusatnya hingga 25%.
Zona 4: Zona Permukaan
Zona ini terlihat paling jelas. Volume pori-pori zona permukaan ini
berkisar 1% tapi jika karies terus berkembang maka area ini akhirnya akan hancur
dan terbentuklah kavitas. Lapisan permukaan yang relatif tidak terserang ini
berhubungan dengan sifat-sifat enamel yang mempunyai derajat remineralisasi
tinggi, kandungan fluor yang banyak, dan kemungkinan jumlah protein yang tidak
larut lebih besar disbanding dengan lapisan di bawahnya (Edwina A.M. Kidd,
1992:21-4).
Setelah enamel terkena karies, diperlukan waktu sekitar 3-4 tahun karies
berkembang hingga mencapai dentin. Perkembangan karies secara klinis
terdeteksi tergantung hilangnya ketebalan enamel dan bentukan morfologis pit dan
fisura (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 456).

2.3 Perawatan Pit dan Fisura


Menurut M. John Hick (dalam J.R Pinkham, 1994: 456), sejumlah pilihan
perawatan bagi para dokter gigi dalam merawat pit dan fisura, meliputi:
a. Melalui pengamatan (observasi), menjaga oral higiene, dan pemberian
fluor
b. Pemberian sealant
Upaya pencegahan terjadinya karies permukaan gigi telah dilakukan
melalui fluoridasi air minum, aplikasi topikal fluor selama perkembangan enamel,
dan program plak kontrol. Namun tindakan ini tidak sepenuhnya efektif
menurunkan insiden karies pada pit dan fisura, dikarenakan adanya sisi anatomi
gigi yang sempit (Robert G.Craig:1979: 29).

6
Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak berpengaruh
terhadap insidensi karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan fisura merupakan
daerah cekungan yang dalam dan sempit. Fluor yang telah diberikan tidak cukup
kuat untuk mencegah karies. (R.J Andlaw, 1992: 58). Pemberian fluor ini terbukti
efektif bila diberikan pada permukaan gigi yang halus, dengan pit dan fisura
minimal (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 455).
Upaya lain dalam pencegahan karies pit dan fisura telah dilakukan pada
ujicoba klinis pada tahun 1965 melalui penggunaan sealant pada pit dan fisura.
Tujuan sealant pada pit dan fisura adalah agar sealant berpenetrasi dan menutup
semua celah, pit dan fisura pada permukaan oklusal baik gigi sulung maupun
permanent. Area tersebut diduga menjadi tempat awal terjadinya karies dan sulit
dilakukan pembersihan secara mekanis (Robert G.Craig :1979: 29).
Indikasi pemberian sealant pada pit dan fisura adalah sebagai berikut:
a. Dalam, pit dan fisura retentif
b. Pit dan fisura dengan dekalsifikasi minimal
c. Karies pada pit dan fisura atau restorasi pada gigi sulung atau permanen
lainnya
d. Tidak adanya karies interproximal
e. Memungkinkan isolasi adekuat terhadap kontaminasi saliva
f. Umur gigi erupsi kurang dari 4 tahun.
Sedangkan kontraindikasi pemberian sealant pada pit dan fisura adalah
a. Self cleansing yang baik pada pit dan fisura
b. Terdapat tanda klinis maupun radiografis adanya karies interproximal yang
memerlukan perawatan
c. Banyaknya karies interproximal dan restorasi
d. Gigi erupsi hanya sebagian dan tidak memungkinkan isolasi dari
kontaminasi saliva
e. Umur erupsi gigi lebih dari 4 tahun.
(M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 459-61)
Pertimbangan lain dalam pemberian sealant juga sebaiknya diperhatikan.
Umur anak berkaitan dengan waktu awal erupsi gigi-gigi tersebut. Umur 3-4

7
tahun merupakan waktu yang berharga untuk pemberian sealant pada geligi susu;
umur 6-7 tahun merupakan saat erupsi gigi permanen molar pertama; umur 11-13
tahun merupakan saatnya molar kedua dan premolar erupsi. Sealant segera dapat
diletakkan pada gigi tersebut secepatnya. Sealant juga seharusnya diberikan pada
gigi dewasa bila terbukti banyak konsumsi gula berlebih atau karena efek obat dan
radiasi yang mengakibatkan xerostomia (Norman O. Harris, 1999: 245-6).

2.4 Etsa Asam


Sejak tahun 1950-an sejumlah laboratorium dan klinik mempelajari tipe
asam, konsentrasi asam, dan lama pengetsaan yang bisa memberikan perlekatan
optimal bahan bonding dengan kehilangan minimal pada permukaan enamel.
Asam fosfor dengan konsentrasi 35-40% dengan aplikasi selama 15-20 detik
untuk gigi permanen dan gigi sulung telah memberikan perlekatan yang bagus,
dengan kehilangan minimal pada permukaan enamel.
Etsa asam pada permukaan enamel menghasilkan sejumlah porositas.
Dengan adanya porositas ini, maka bahan sealant masuk ke dalam porositas yang
telah dibuat. Dengan demikian terjadi retensi mekanis antara enamel yang dietsa
dengan bahan sealant (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994: 470).
Aplikasi asam fosfor selama satu menit menghilangkan kira-kira 10
milimikron email permukaan dan etsa permukaan dibawahnya sampai kedalaman
20 milimikron. Etsa menghasilkan kedalaman 20 milimikron. Etsa menghasilkan
lapisan porus sehingga resin dapat mengalir masuk; porositas ini memberikan
permukaan retensi mekanis yang sangat baik (R.J Andlaw, 1992: 58).
Menurut Carline Paarmann (1991), pemberian etsa asam fosfor selama
satu menit dapat menghilangkan mineral permukaan gigi dengan kedalaman 15-25
milimikron. Dan secara klinis warna nampak pudar, putih seperti kapur atau
seperti warna es. Hasil etsa berupa resin tag yang berperan penting dalam retensi
dan keberhasilan aplikasi sealant.
Tahapan penting dalam aplikasi sealant adalah pada saat pengetsaan
dilakukan. Bila saliva dibiarkan kontak dengan bahan etsa, maka proses etsa akan
terhambat. Karena adanya kontak dengan saliva, proses remineralisasi gigi segera

8
terjadi. Bila kontak saliva terjadi, maka etsa ulang dilakukan selama 20-30 detik.
Bahan etsa yang digunakan adalah asam fosfor dengan konsentrasi 35-37% dan
dilakukan aplikasi selama 30-60 detik.
Dentin kondisioner merupakan bahan yang digunakan untuk
meningkatkan perlekatan bahan glass ionomer dan dentin, dengan cara
menghilangkan smear layer dentin. Bahan yang biasanya digunakan adalah asam
poliakrilat 10 % yang diaplikasikan selama 20 detik (Carline Paarmann, 1991:14).
Bahan material sealant tidak hanya secara sederhana melekat di atas
permukaan enamel, tetapi melalui penetrasi bahan ke dalam mikroporositas yang
terbentuk selama proses pengetsaan. Infiltrasi etsa pada enamel menghasilkan
bentukan resin tag dimana menyediakan retensi mekanis bahan sealant. Resin tag
yang terbentuk selama pengetsaan memiliki kedalaman 25-50 mikrometer.
Resin tag mempunyai sejumlah fungsi. Resin tag menyediakan retensi
mekanis bagi bahan sealant. Bis-GMA adalah bahan material sealant yang tidak
larut asam dan menyediakan proteksi terhadap adanya pembentukan karies selama
adanya ikatan resin dan enamel. Ikatan resin dan enamel merupakan barier
terhadap kolonisasi bakteri, menutupi fisura dan menghalangi terjebaknya sisa
makanan ke dalam fisura (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 471-2).

2.5 Bahan Penutup Pit dan Fisura


Terdapat beberapa bentukan pit dan fisura, seperti telah dijelaskan
sebelumnya. Bahan sealant yang ada diaplikasikan untuk menutupi bentukan
anatomi tersebut, guna mencegah masuknya bakteri, food debris ke dalam pit dan
fisura (Carline Paarmann, 1991:10).
Pencegahan karies pada permukaan gigi terutama, pit dan fisura perlu
perhatian khusus. Hal ini dikarenakan bagian ini merupakan daerah yang paling
rentan karies. Prevalensi karies oklusal pada anak-anak terbanyak ditemukan pada
permukaan pit dan fisura. Area ini sering tidak terjangkau oleh bulu sikat gigi.
Molar pertama merupakan gigi permanen yang memiliki waktu terlama berada
dalam rongga mulut.

9
Sealant diaplikasikan pada pit dan fisura guna menutup dan melindungi
dari karies. Bahan sealant dibedakan menurut bahan dasar yang digunakan,
metode polimerisasi, dan ada tidaknya kandungan fluoride. Meskipun kebanyakan
sealant di pasaran, bahan sealant berbahan dasar dan memiliki komposisi kimia
sama, namun hal ini penting guna mengetahui keefektifan dan kemampuan retensi
masing-masing bahan tersebut.
Kemampuan sealant untuk melepaskan fluoride, pada permukaan pit dan
fisura akan memberikan keuntungan tersendiri pada bahan sealant semen ionomer.
Semen ionomer disarankan sebagai bahan ideal untuk menutup pit dan fisura
karena memiliki kemampuan melepas fluoride dan melekat pada enamel
(Subramaniam, 2008).

2.6 Bahan Sealant Berbasis Resin


a. Bahan matriks resin
Bahan matriksnya adalah bisfenol A-glisidil metakrilat (bis-GMA), suatu
resin dimetakrilat. Karena bis-GMA memiliki berat molekul yang lebih tinggi dari
metal metakrilat, kepadatan gugus metakrilat berikatan ganda adalah lebih rendah
dalam monomer bis-GMA, suatu faktor yang mengurangi pengerutan
polimerisasi. Penggunaan dimetakrilat juga menyebabkan bertambahnya ikatan
silang dan perbaikan sifat polimer (Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Bis-GMA, urethane dimetrakilat (UEDMA), dan trietil glikol dimetakrilat
(TEGDMA) adalah dimetakrilat yang umum digunakan dalam komposit gigi.
Monomer dengan berat molekul tinggi, khususnya bis-GMA amatlah kental pada
temperature ruang. Penggunaan monomer pengental penting untuk memperoleh
tingkat pengisi yang tinggi dan menghasilkan konsistensi pasta yang dapat
digunakan secara klinis. Pengencer bisa berupa monomer metakrilat dan monomer
dimetakrilat (Kenneth J Anusavice, 2004: 230).
Kebanyakan bahan resin saat ini menggunakan molekul bis-GMA, yang
merupakan monomer dimetakrilat yang disintesis oleh reaksi antara bisfenol-A
dan glisidil metakrilat. Reaksi ini dikatalisasi melalui sistem amine-peroksida
(Lloyd Baum, 1997: 254).

10
b. Partikel bahan pengisi
Dimasukkannya partikel bahan pengisi ke dalam suatu matriks secara
nyata meningkatkan sifat bahan matriks bila partikel pengisi benar-benar
berikatan dengan matriks. Penyerapan air dan koefisiensi termal dari komposit
juga lebih kecil dibandingkan dengan resin tanpa bahan pengisi. Sifat mekanis
seperti kekuatan kompresi, kekuatan tarik, dan modulus elastis membaik, begitu
juga ketahanan aus. Semua perbaikan ini terjadi dengan peningkatan volume
fraksi bahan pengisi (Kenneth J Anusavice, 2004: 230-1).
Bis-GMA saat ini merupakan matriks resin pilihan sebagai bahan sealant.
Bisa dengan atau tanpa bahan pengisi. Penambahan bahan pengisi meliputi serpih
kaca mikroskopis, partikel quartz dan bahan pengisi lainnya. Bahan ini membuat
sealant lebih tahan terhadap abrasi (Norman O. Harris, 1999: 246).
Bahan yang digunakan bahan pengisi makro adalah partikel-partikel halus
dari komponen silika, cristalin quartz, atau silikat glass boron. Quartz telah
digunakan secara luas sebagai bahan pengisi. Quartz memiliki keunggulan sebagai
bahan kimia yang kuat. Sementara sifat radiopak bahan pengisi disebabkan oleh
sejumlah kaca dan porselen yang mengandung logam berat seperti barium,
strontium dan zirconium. Penambahan bahan pengisi mengurangi pengerutan
pada saat polimerisasi dan menambah kekerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).
c. Bahan coupling
Bahan pengisi sangatlah penting berikatan dengan matriks resin. Hal ini
memungkinkan matriks polimer lebih fleksibel dalam meneruskan tekanan ke
partikel yang lebih kaku. Ikatan antara 2 fase komposit diperoleh dengan bahan
coupling. Aplikasi bahan coupling yang tepat dapat meningkatan sifat mekanis
dan fisik serta memberikan kestabilan hidrolitik dengan mencegah air menembus
sepanjang antar bahan pengisi dan resin. -metakriloksipropiltrimetoksi silane
adalah bahan yang sering digunakan sebagai bahan coupling (Kenneth J
Anusavice, 2004: 230-1).
d. Penghambat
Untuk mencegah polimerisasi spontan dari monomer, bahan penghambat
ditambahkan pada sistem resin. Penghambat ini mempunyai potensi reaksi kuat

11
dengan radikal bebas. Bila radikal bebas telah terbentuk, bahan penghambat akan
bereaksi dengan radikal bebas kemudian menghambat perpanjangan rantai dengan
mengakhiri kemampuan radikal bebas untuk mengawali proses polimerisasi.
Bahan penghambat yang umum digunakan adalah butylated hydroxytoluene
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
e. Sifat bahan resin
Secara umum resin memiliki sifat mekanis yang baik, kelarutan bahan
resin sangat rendah. Sifat termis bahan resin sebagai isolator termis yang baik.
Bahan resin memiliki koefisien termal yang tinggi. Kebanyakan resin bersifat
radiopaque (E.C Combe, 1992: 176-7).
Resin memiliki karakteristik warna yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan perawatan. Sifat mekanis yang baik sehingga dapat digunakan pada
gigi dengan beban kunyah besar. Terjadinya pengerutan selama proses
polimerisasi yang tinggi menyebabkan kelemahan klinis dan sering menyebabkan
kegagalan. Kebocoran tepi akibat pengerutan dalam proses polimerisasi dapat
menyebabkan karies sekunder. Pemolesan bahan harus bagus karena kekasaran
pada permukaan komposit dapat dijadikan tempat menempelnya plak (Kenneth J
Anusavice, 2004: 247).
f. Indikasi fisure sealant berbasis resin
Penggunaan sealant berbasis resin digukanan pada hal berikut:
a. Digunakan pada geligi permanen
b. Kekuatan kunyah besar
c. Insidensi karies relatif rendah
d. Gigi sudah erupsi sempurna
e. Area bebas kontaminasi atau mudah dikontrol
f. Pasien kooperatif, karena banyaknya tahapan yang membutuhkan waktu
lebih lama.

2.7 Pengerasan Sealant Berbasis Resin


Terdapat dua tipe bis-GMA yaitu yang mengalami polimerisasi setelah
pencampuran komponen katalis dan yang mengalami polimerisasi hanya setelah

12
sumber sinar yang sesuai. Sampai sekarang sinar ultraviolet (panjang gelombang
365 nm) telah digunakan, tetapi telah banyak digantikan oleh sinar tampak (biru)
dengan panjang gelombang 430-490 nm (R.J Andlaw, 1992: 58).
2.7.1 Pengerasan Sealant Berbasis Resin secara Otomatis
Proses ini kadang disebut dengan cold curing, chemical curing, atau self
curing. Bahan yang dipasok dalam 2 pasta, satu mengandung inisiator benzoil
peroksida dan lainnya mengandung amin tersier. Bila kedua pasta diaduk, amin
bereaksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan
polimerisasi tambahan dimulai (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
Sealant bis-GMA dipolimerisasi oleh bahan amina organik akselerator
yang terdiri atas dua sistem komponen. Komponen pertama berisi bis-GMA tipe
monomer dan inisiator benzoil peroksida, dan komponen kedua berisi tipe
monomer bis-GMA dengan akselerator 5% amina organik. Monomer bis-GMA
dilarutkan dengan monomer metal metakrilat. Sebuah bahan sealant komersil
berisi pigmen putih, dimana mengandung 40% bahan partikel quartz dengan
diameter rata-rata 2 mikrometer. Kedua komponen tadi bercampur sebelum
diaplikasikan ke gigi dan berpolimerisasi ikatan silang sebagai reaksi sederhana
(Norman O.Harris, 1979: 30)
Pada bahan ini operator tidak memiliki kemampuan mengendalikan waktu
kerja setelah bahan diaduk. Jadi pembentukan kontur restorasi harus diselesaikan
begitu tahap inisiasi selesai. Jadi proses polimerisasi terus-menerus terganggu
sampai operator telah menyelesaikan proses pembentukan kontur restorasi
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 235).

2.7.2 Pengerasan Sealant Berbasis Resin dengan Sinar


Radikal bebas pemula reaksi polimerisasi terdiri atas foto-inisiator dan
activator amin terdapat dalam satu pasta. Bila tidak terkena sinar, maka kedua
komponen tersebut tidak bereaksi. Pemaparan terhadap sinar dengan panjang
gelombang yang tepat (468 nm) merangsang fotoinisiator berinteraksi dengan
amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali polimerisasi tambahan.

13
Foto-inisiator yang digunakan adalah camphoroquinone. Sumber sinar
modern biasanya berasal dari bohlam tungsten halogen melalui suatu filter sinar
ultra merah dan spectrum sinar tampak dengan panjang gelombang 500 nm
(Gambar10). Waktu polimerisasi sekitar 20-60 detik. Untuk mengimbangi
penurunan intensitas sinar, waktu pemaparan harus diperpanjang 2 atau 3 kali
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 232-5).
Saat ini telah tersedia bahan fissure sealant berbasis resin dalam syringe
yang akan berpolimerisasi setelah diaktivasi dengan sinar (Gambar 9). Sealant bis-
GMA berpolimerisasi dengan sinar ultraviolet (340-400 nm) adalah satu sistem
tanpa diperlukan adanya pencampuran. Tiga bahan kental monomer bis-GMA
dilarutkan dengan 1 bagian monomer metil metakrilat. Dengan aktivator berupa
2% benzoin metil eter (Robert G. Craig, 1979: 30).
2.8 Teknik Aplikasi Fissure Sealant Berbasis Resin
2.8.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure
sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
2.8.2 Pembilasan dengan air
Syarat air:
a. Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c. Air tidak mengandung bahan kontaminan
2.8.3 Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
2.8.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :

14
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan
langsung ke permukaan gigi.
2.8.4 Lakukan pengetsaan pada permukaan gigi
a. Lama etsa tergantung petunjuk pabrik
b. Jika jenis etsa yang digunakan adalah gel, maka etsa bentuk gel tersebut
harus dipertahankan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa
telah cukup.
c. Jika jenis etsa yang digunakan adalah berbentuk cair, maka etsa bentuk
cair tersebut harus terus-menerus diberikan pada permukaan gigi yang
dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
2.8.5 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
2.8.6 Pengeringan dengan udara setelah pengetsaan permukaan pit dan fisura
a. Syarat udara sama dengan point 3.
b. Cek keberhasilan pengetsaan dengan mengeringkannya dengan udara,
permukaan yang teretsa akan tampak lebih putih
c. Jika tidak berhasil, ulangi proses etsa
d. Letakkan cotton roll baru, dan keringkan
e. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
2.8.7 Aplikasi bahan sealant
a. Self curing: campurkan kedua bagian komponen bahan, polimerisasi akan
terjadi selama 60-90 detik.
b. Light curing: aplikasi dengan alat pabrikan (semacam syringe), aplikasi
penyinaran pada bahan, polimerisasi akan terjadi dalam 20-30 detik.
2.8.8 Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Donna Lesser, 2001)

15
2.9 Bahan Sealant Semen Ionomer Kaca
Semen ionomer kaca adalah nama generik dari sekelompok bahan yang
menggunakan bubuk kaca silikat dan larutan asam poliakrilat. Bahan ini
mendapatkan namanya dari formulanya yaitu suatu bubuk kaca dan asam ionomer
yang mengandung gugus karboksil. Juga disebut sebagai semen polialkenoat.
Bahan dalam semen ionomer kaca terdiri atas bubuk dan cairan.
a. Bubuk semen ionomer kaca
Bubuk adalah kaca kalsium fluoroaluminosilikat yang larut dalam asam.
Komposisi dari bubuk semen ionomer kaca adalah silica, alumina, aluminium
fluoride, calsium fluoride, sodium fluoride, dan aluminium phosphate. Bahan-
bahan mentah digabung sehingga membentuk kaca yang seragam dengan
memanaskannya samapi temperature 1100-1500 C. Lanthanum, strontium,
barium, atau oksida seng ditambahkan untuk menimbulkan sifat radiopak
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 449).
b. Cairan semen ionomer kaca
Cairan yang digunakan untuk semen ini adalah larutan asam poliakrilat
dengan konsentrasi 50%. Cairannya cukup kental dan cenderung membentuk gel
setelah beberapa waktu. Pada sebagian besar semen, asam poliakrilat dalam cairan
adalah dalam bentuk kopolimer dengan asam itikonik, maleik atau trikarbalik.
Asam-asam ini cenderung menambah reaktivitas dari cairan, mengurangi
kekentalan, dan mengurangi kecenderungan membentuk gel. Selain itu,
memperbaiki karakteristik manipulasi dan meningkatkan waktu kerja dan
memperpendek waktu pengerasan (Lloyd Baum, 1997: 254).
c. Pengerasan
Ketika bubuk dan cairan dicampur untuk membentuk suatu pasta (gambar
2), permukan partikel kaca akan terpajan asam. Ion-ion kalsium, aluminium,
natrium dan fluorin dilepaskan ke dalam media yang bersifat cair. Rantai asam
poliakrilat akan berikatan silang dengan ion-ion kalsium dan membentuk masa
yang padat.

16
Selama 24 jam berikutnya, terbentuk fase baru dimana ion-ion aluminium
menjadi terikat dalam campuran semen. Ini membuat semen menjadi lebih kaku.
Ion natrium dan fluorin tidak berperan serta di dalam ikatan silang dari semen.
Beberapa ion natrium dapat menngantikan ion-ion hidrogen dari gugus karboksil,
sementara sisanya bergabung dengan ion-ion fluorin membentuk natrium fluoride
yang menyebar merata di dalam semen yang mengeras (Kenneth J. Anusavice,
2004: 451).
Mekanisme pengikatan ionomer kaca dengan struktur gigi belum dapat
diterangkan dengan jelas. Meskipun demikian, perekatan ini diduga terutama
melibatkan proses kelasi dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di
kristal apatit pada enamel dan dentin. Ikatan antara semen dengan enamel selalu
lebih besar daripada ikatannya dengan dentin, mungkin karena kandungan
anorganiknya enamel yang lebih banyak dan homogenitasnya lebih besar
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 452).
d. Sifat semen ionomer kaca
Semen ini memiliki sifat kekerasan yang baik, namun jauh inferior
dibanding kekerasan bahan resin. Kemampuan adhesi melibatkan proses kelasi
dari gugus karboksil dari poliasam dengan kalsium di kristal apatit enamel dan
dentin. Semen ini memiliki sifat anti karies karena kemampuannya melepaskan
fluor. Dalam proses pengerasan harus dihindarkan dari saliva karena mudah larut
dalam cairan dan menurunkan kemampuan adhesi. Ikatan fisiko kimiawi antara
bahan dan permukaan gigi sangat baik sehingga mengurangi kebocoran tepi
tumpatan (Kenneth J. Anusavice, 2004: 453).
e. Indikasi fisure sealant semen ionomer kaca
Indikasi penggunaan Fissure sealant dengan semen ionomer kaca sebagai berikut:
a. Digunakan pada geligi sulung
b. Kekuatan kunyah relatif tidak besar
c. Pada insidensi karies tinggi
d. Gigi yang belum erupsi sempurna
e. Area yang kontaminasi sulit dihindari
f. Pasien kurang kooperatif

17
2.10 Teknik Aplikasi Fissure Sealant dengan Sealant Semen Ionomer Kaca
2.10.1 Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure
sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
2.10.2 Pembilasan dengan air
Syarat air:
a. Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c. Air tidak mengandung bahan kontaminan
2.10.3 Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
2.10.4 Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan
langsung ke permukaan gigi.
2.10.5 Aplikasi bahan dentin kondisioner selama 10-20 detik (tergantung instruksi
pabrik). Hal ini akan menghilangkan plak dan pelikel dan mempersiapkan
semen beradaptasi dengan baik dengan permukaan gigi dan memberikan
perlekatan yang bagus (Gambar 3).
2.10.6 Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.

18
2.10.7 Pengeringan dengan udara setelah aplikasi dentin kondisioner permukaan
pit dan fisura dilakukan pembilasan
a. Syarat udara sama dengan point 3.
b. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
2.10.8 Aplikasikan bahan SIK pada pit dan fisura (Gambar 4).
2.10.9 Segera aplikasi bahan varnish setelah aplikasi fissure sealant dilakukan
(Gambar 5).
2.10.10 Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Departemen Kesehatan North Sidney, 2008)

19
III. PEMBAHASAN

Sealant pada gigi telah terbukti memiliki keefektifan tinggi dalam


pencegahan karies oleh bahan sealant didasarkan penutupan pit dan fisura
sehingga mikroflora dalam pit dan fisura tdak dapat menjangkau nutrisi yang
dibutuhkan. Retensi adekuat sealant diperlukan untuk menutupi permukaan gigi
terutama pada area yang dalam, pit dan fisura yang tidak teratur, dan aplikasinya
dilakukan pada daerah yang bersih dan kering saat prosedur dilakukan.
Kebanyakan sealant yang tersedia di pasaran adalah berbasis resin.
Pemberian sealant berbasis resin memerlukan teknik khusus dan dipengaruhi
banyak faktor. Seperti kekooperatifan pasien, ketrampilan operator dan
kontaminasi area tindakan. Perlunya etsa pada prosedur sealant resin membuat
sulit dilakukannya etsa pada molar yang erupsinya sebagian (Subramaniam,
2008).
Menurut cara lama, etsa pada gigi sulung dilakukan selama 1 menit dan
1,5 menit pada gigi permanent. Pada studi klinis lain, diperoleh hasil bahwa lama
etsa dengan bahan etsa yang serupa selama 20 detik memiliki kemampuan yang
sama dengan etsa selam 1 dan 1,5 menit. selama 10 detik pada permukaan yang
dietsa. Pastikan aliran air benar-benar mengenai bahan etsa dan tidak teserap dulu
oleh cotton roll. Setelah dilakukan aliran air, dilakukan pengeringan dengan
semprot udara untuk menghilangkan air (Norman O. Harris, 1999: 247).
Menghindari kontaminasi saliva selama prosedur sealant sangat penting,
proteksi saliva saat melakukan etsa merupakan kunci sukses dalam perawatan.
Pada umumnya, isolasi dapat dilakukan melalui dua metode yaitu melalui
penggunaan rubber dam dan isolasi dengan cotton roll (M John Hick dalam J.R
Pinkham, 1994: 474).
Bentukan hasil etsa menghasilkan struktur yang memungkinkan
penetrasinya ke dalam enamel dan membentuk ikatan mekanikal yang efektif.
Kerugian dari bahan resin adalah retensi pada struktur gigi hanya tergantung pada
jumlah perlekatan mekanisnya. 15-20 detik pengetsaan memberikan retensi yang
cukup bagi perlekatan sealant.

20
Beberapa penelitian menunjukkan semen ionomer kaca memiliki
kemampuan mencegah karies, dengan manipulasi lebih mudah, dan aplikasinya
tidak memerlukan proses etsa terlebih dahulu. Semen ionomer kaca lebih
memungkinkan dilakukannya sealant pada kondisi-kondisi sulit. Sulitnya kontrol
terhadap kondisi lembab pada gigi yang belum erupsi sempurna, dan sulitnya
manajemen pasien anak adalah beberapa kesulitan aplikasi sealant. Aplikasi yang
mudah sangat mengurangi waktu tindakan. Bahan yang kompatibel dan
mempunyai koefisien termal yang lebih rendah dari struktur gigi. Keuntungan
glass ionomer lainnya adalah kemudahan penggunaan dalam program
kemasyarakatan karena waktunya cepat dan efektif.
Penambahan warna pada sealant meningkatkan persepsi saat aplikasi dan
saat control berikutnya. Sebagai sealant yang terlihat, memberikan keuntungan
untuk melihat adanya kehilangan sealant. Warna putih lebih estetis dan lebih
diterima pasien.
Pada studi yang dilakukan pada aplikasi berbahan resin setelah 1 tahun
diperoleh 14,6% retensi utuh, 39,9% retensi sebagian, dan 46% sealant telah
hilang. HampIr setengah apliaksi sealant pada anak-anak menghilang.
Pertimbangan kegagalan sealant resin mungkin karena buruknya teknik
penempatan, control kelembaban, tidak adekuatnya saat pembersihan dan
pengeringan.
Pada studi yang sama, sealant dilakukan dengan semen ionomer kaca
diperoleh hasil 13,1% retensi utuh, 49% retensi sebagian dan 37,9% retensi selant
telah hilang. Lebih dari setengah aplikasi sealant pada anak-anak menghilang.
Kegagalan retensi semen ionomer kaca dikarenakan jeleknya retensi bahan
sealant. Semen ionomer kaca tidak melekat adekuat pada gigi. Mungkin kontak
dengan saliva sebelum proses setting glass ionomer mengakibatkan degenerasi
bahan sealant dan kehilangan awal bahan sealant tersebut.
Pemberian sealant pada awal-awal erupsi memerlukan frekuensi lebih
sering untuk reaplikasi ulang pemberian fissure sealant. Resin melekat pada
enamel melalui etsa asam yang menyediakan perlekatan mekanis yang lebih kuat
dibandingkan perlekatan pada semen ionomer kaca. Dengan alasan ini, semen

21
ionomer kaca sebagai fissure sealant sering tidak berhasil diletakkan pada fisura
yang tidak dalam. Bagaimanapun aplikasinya, dengan segera akan hilang oleh
abrasi atau erosi.
Efek pencegahan karies dari sealant semen ionomer kaca tergantung pada
retensi dan kemampuan melepaskan fluoridenya. Fluoride yang dilepaskan
mencegah perkembangan karies setelah bahan sealant nampak menghilang. Secara
mikroskopis, kemampuan ion fluoride yang menyebar pada enamel memberikan
daya tahan terhadap proses demineralisasi (Subramaniam, 2008).

22
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
a. Sealant berbasis resin memiliki kemampuan retensi yang lebih baik
daripada glass ionomer
b. Bahan sealant berbasis resin digunakan pada gigi dengan beban
kunyah besar, dan mahkota gigi telah erupsi sempurna.
c. Bahan sealant semen ionomer kaca digunakan pada gigi dengan
beban kunyah ringan, dan mahkota gigi belum erupsi sempurna

4.2 Saran
a. Pada gigi permanen sebaiknya digunakan bahan sealant berbasis
resin karena mampu nenahan beban kunyah yang besar pada gigi
pemanen. Aplikasi bahan ini membutuhkan waktu yang lama sehingga
sebaiknya dilakukan pada pasien yang kooperatif.
a. Pada anak-anak dengan kemampuan memelihara oral hygiene
rendah sebaiknya digunakan bahan sealant semen ionomer kaca. Bahan ini
memiliki kemampuan melepaskan fluor sehingga memiliki sifat anti
karies.

23
DAFTAR PUSTAKA

Andlaw, RJ and Rock. 1992. Perawatan Gigi Anak. Alih bahasa: Agus Djaya dari
A Manual of Pedodontics. Jakarta: EGC
Anusavice, Kenneth J. 1994. Ilmu Bahan Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC
Baum, Lloyd. 1997. Buku Ajar Ilmu Konservasi Gigi. Alih bahasa oleh Prof. Dr.
drg Rasinta Tarigan. Jakarta: EGC
Combe, E.C. 1992. Sari Dental Material. Diterjemahkan drg. Slamet Tarigan, MS,
PhD. Jakarta: Balai Pustaka
Craig, Robert G. 1979. Dental Materials. London: Mosby Company
Departement of Health North Sidney. 2008. Pit and Fissure Sealants: Use of in
Oral Health Service NSW. Diakses dari
http://www.health.nsw.gov.au/policies/pd/2008/pdf/PD2008_028.pdf
pada 8 Juni 2009
Ganesh, Mahadevan MDS, et al. 2007. Comparative Evaluation of The Marginal
Sealing Ability of Fuji VII and Concise as Pit and Fissure Sealants. The
Journal Contemporary Dental Practice, diakses dari
http://www.thejcdp.com/issue033/ganesh/ganesh.pdf pada 8 Juni 2009.
Harris, O Norman. 1999. Primary Preventive Dentistry Fifth Edition. USA:
Appleton & Lange
Kervanto, Sari. 2009. Arresting Occlusal Enamel Caries Lesions with Pit and
Fisura Sealants. Academic Dissertation Faculty of Medicine, University of
Helsinki. Diakses dari
https://oa.doria.fi/bitstream/handle/10024/43707/arrestin.pdf?sequence=1
pada 8 Juni 2009
Kidd, Edwina A. M dan Bechal, Sally Joyston.1992. Dasar-Dasar Karies
Penyakit dan Penanggulangannya. Terjemahan Narlan Sumawinata dan
Safrida Faruk dari Essential of Dental Caries (1992). Jakarta: EGC
Lesser, Donna, RDH, BS. 2001. An Overview of Dental Sealants. Diakses dari
http://www.adha.org/downloads/sup_sealant.pdf pada 8 Juni 2009
Lucas, J, Dr . 2008. Fuji VII Pink or White. Diakses dari
http://www.gcasia.info/australia/brochures/pdfs/7704_FUJI%20VII_NEW
%20FORMAT.pdf pada 8 Juni 2009
Nunn, J.H. 2000. British Society of Paediatric Dentistry: A Policy Document on
Fissure Sealants in Paediatric Dentistry. International Journal of Paediatric
Dentistry diakses dari http://www.bspd.co.uk/publication-19.pdf pada 8 Juni
2009
Paarmann, Carline, RDH, MEd. 1991. Application of Pit and Fissure Sealants.
Diakses dari
http://www.pte.idaho.gov/Forms_Publications/Health/Curriculum/DentalAp
plicationOfPitAndFissureSealants.pdf pada 6 juni 2009.
Pinkham, J.R. 1994. Pediatryc Dentistry, Infancy Trough Adolescence second
edition. Philadelphia: W.B Saunders Co

24
Subramaniam P. 2008. Retention of Resin Based Sealant and Glass Ionomer used
as a Fissure Sealant: a Comparative Study. Jurnal Indian Soc. Pedodontics
Prevent Departemen diakses dari
http://www.jisppd.com/temp/JIndianSocPedodPrevDent263114-
3280171_090641.pdf pada 8 Juni 2009
Walsh, Laurence J, Prof. 2006. Pit and Fissure Sealant: Current Evidence and
Concepts. Dental Practice Journal. Diakses dari
https://espace.library.uq.edu.au/eserv/UQ:13804/Sealants_2006.pdf pada
8 Juni 2009
Wheeler, Russel C, DDS, FACD. 1974. Dental Anatomy, Physiology and
Occlusion. Philadelphia : W.B Saunders Company

25
TAHAPAN APLIKASI FISSURE SEALANT BERBASIS SEMEN
IONOMER KACA (Gambar 1-6)
(Dr J. Lucas dalam www. gcasia.info, 2008)
Gambar 1. Gigi molar yang baru erupsi
setelah dilakukan penyikatan guna
menghilangkan plak dan debris.

Gambar 2. Pencampuran bahan fissure


sealant hingga merata.

Gambar 3. Pemberian kondisioner setelah


gigi dibersihkan dan dikeringkan.

Gambar 4. Aplikasi bahan pada pit dan


fisura.

Gambar 5. Aplikasi bahan varnish segera


setelah aplikasi bahan selesai.

Gambar 6. gigi molar yang telah dilakukan


fissure sealant.

26
TAHAPAN APLIKASI FISSURE SEALANT BERBASIS RESIN
(Gambar 7-12)
(Dr. Crist Bryant dalam Donna Lesser, RDH, BS. 2001)
Gambar 7. Pit dan fisura pada gigi.

Gambar 8. Gigi molar yang telah dilakukan fissure


sealant dengan fissure sealant berbasis resin.

Gambar 9. Bahan fissure sealant berbasis resin


(light cure).

Gambar 10. Aplikasi sinar tampak untuk


membantu proses polimerisasi fissure sealant
berbasis resin

Gambar 11. Gigi-gigi yang telah dilakukan fissure


sealant berbasis resin berwarna pink sebelum
polimerisasi.

Gambar 12. Gigi-gigi yang telah dilakukan fissure


sealant berbasis resin sewarna gigi setelah
polimerisasi.

27

Anda mungkin juga menyukai