Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH SUMPITAN

OLEH
SELLY AGUSTINA
X MIA 5

SMAN 1 TAMIANG LAYANG


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha esa, karena atas berkat, rahmat, dan karuniaNya
saya dapat menyelesaikan kliping tentang sejarah sumpitan. Terima kasih juga kepada Pak
Rusmayadi, S.pd yang telah memberikan tugas, sehingga saya bisa menambah pengetahuan dan
wawasan tentang sejarah sumpit.
Saya mohon maaf jika di dalam pembuatan kliping ini terdapat kesalahan. Kritik dan
saran sangat saya perlukan untuk perbaikan yang akan datang. Semoga kliping yang saya buat
bisa bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.

Penulis
Sejarah Sumpitan

Sumpit atau sumpitan (bahasa


Kalimantan Tengah: sipet) adalah
senjata yang digunakan untuk berburu
maupun dalam pertempuran terbuka
atau sebagai senjata rahasia untuk
pembunuhan diam diam. Penggunaan
sumpit yaitu dengan cara ditiup. Dari
segi penggunaannya sumpit atau sipet
ini memiliki keunggulan tersendiri
karena dapat digunakan sebagai senjata
jarak jauh dan tidak merusak alam
karena bahan pembuatannya yang
alami. Dan salah satu kelebihan dari
sumpit atau sipet ini memiliki akurasi
tembak yang dapat mencapai 200 meter.
Banyak masyarakat adat memiliki sumpit misalnya di suku Dayak Indonesia dan suku suku
pribumi di Amerika Selatan . Sumpit biasanya berbentuk tabung yang memungkinkan panah kecil yang
ditembak melesat ke sasaran. Di Jepang, Sumpit disebut fukiya digunakan samurai digunakan sebagai
senjata untuk mematikan musuh yang anak sumpitnya diracuni dengan racun dari ikan buntal.
Hidup di tengah hutan lebat dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi dan dihuni oleh
beragam macam hewan liar dan buas, telah menginspirasi orang-orang Dayak untuk membuat
senjata yang tidak saja mampu melindungi mereka dari ganasnya kehidupan hutan, tetapi juga
mampu menjadi penopang kehidupan mereka baik secara materiil maupun moril. Berdasarkan
kondisi dan tujuan tersebut, orang Dayak membuat senjata khusus, salah satunya adalah senjata
yang cukup unik yang kemudian dikenal dengan nama sumpit atau sumpitan.
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala, serdadu Belanda bersenjatakan
senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya, sementara prajurit Dayak umumnya hanya
mengandalkan sumpit. Akan tetapi, serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak
sumpit ketimbang prajurit Dayak diterjang peluru. Yang membuat pihak penjajah gentar itu
adalah anak sumpit yang beracun. Sebelum berangkat ke medan laga, prajurit Dayak mengolesi
mata anak sumpit dengan getah pohon ipuh atau pohon iren. Dalam kesenyapan, mereka beraksi
melepaskan anak sumpit yang disebut damek.
Sumpit atau sumpitan adalah senjata khas masyarakat Dayak yang terdiri dari tiga bagian,
yaitu batang (pipa) sumpit, damek (anak sumpit), dan sangkoh (mata tombak terbuat dari besi
atau batu gunung yang diikatkan pada ujung pipa sumpit). Senjata yang mengandalkan kekuatan
meniup ini dapat mengenai sasaran dari jarak yang cukup jauh, yaitu sekitar 30 meter untuk
posisi vertikal dan 25 meter untuk posisi horisontal tergantung kemampuan si penyumpitnya.
Dengan senjata ini, orang Dayak dapat melumpuhkan musuh dan hewan-hewan buruan
baik yang berada di atas pohon, seperti burung-burung, maupun hewan-hewan buas yang hidup
di darat dari, jarak yang relatif jauh. Dengan kemampuan melumpuhkan binatang buruan dan
musuh dari jarak jauh, maka orang Dayak telah menciptakan alat proteksi diri yang cukup
canggih. Jika ternyata bidikan pertama tidak mengenai sasaran, dan sebaliknya binatang buas
atau musuh menyerang balik dari jarak yang cukup dekat sehingga damek tidak dapat digunakan
secara efektif atau tidak sempat memasang damek, maka pipa sumpit yang terbuat dari kayu
belian dengan sangkoh di ujungnya menjadi senjata cadangan yang sangat bermanfaat untuk
melindungi diri dari jarak dekat. Keberadaan sangkoh diujung pipa sumpit ibarat sangkur pada
ujung bedil, atau mata tombak yang siap menunggu serangan musuh.
Untuk lebih mengefektifkan fungsi dari senjata ini, khususnya untuk keperluan berburu
atau melawan musuh, orang-orang Dayak melumuri damek (anak sumpitnya) dengan racun yang
terbuat dari getah tumbuhan. Konon, racun pada anak sumpit tidak ada penawarnya, sehingga
orang atau binatang yang terkena senjata ini
walaupun hanya tergores dapat
menyebabkan kematian. Namun yang cukup
unik, binatang apapun yang mati oleh
senjata ini dagingnya tidak beracun dan
cukup aman untuk dikonsumsi (Kompas, 24
Desember 2004). Selain jangkauan dan
racunnya yang cukup mematikan, kelebihan
lain alat ini adalah pada saat digunakan
tidak menimbulkan bunyi. Unsur senyap ini
sangat penting saat mengincar binatang buruan atau musuh yang sedang lengah. Selain untuk
berburu dan berperang, sumpit juga digunakan untuk perlengkapan upacara adat atau sebagai
mas kawin dalam pernikahan adat Dayak (Kompas, 24 Desember 2004).
Perubahan pola pikir dan kondisi alam tempat tinggal orang Dayak ternyata berpengaruh
terhadap eksistensi sumpitan. Alat ini lambat laun mulai ditinggalkan oleh masyarakat dan
sedang menuju kepunahan. Oleh karenanya, perlu segera dilakukan tindakan-tindakan
pelestarian sehingga peralatan tradisional yang merupakan ciri khas Dayak ini tetap terjaga
eksistensinya. Tentu saja, pelestarian harus berlandaskan pada perkembangan zaman. Secara
garis besar, ada dua pola pelestarian yang dapat dilakukan untuk menjaga eksistensi sumpit,
yaitu pelestarian secara pasif dan aktif. Pelestarian secara pasif misalnya dengan melakukan
duplikasi dan replikasi sumpit.
Sedangkan pelestarian secara aktif dapat dilakukan dengan melakukan revitalisasi sumpit
sehingga sumpit dan nilai-nilai yang dikandungnya tetap sesuai dengan gerak langkah
perkembangan zaman. Adapun bentuk pelestarian secara aktif yang dapat dilakukan antara lain:
1. Menjadikan sumpit sebagai cendera hati untuk keperluan wisata. Dengan cara ini, sumpit
tidak saja lestari, tetapi juga dapat menjadi sumber ekonomi masyarakat;
2. Menjadikan sumpit sebagai bagian dari bahan ajar pendidikan, yaitu mata pelajaran
muatan lokal. Dengan cara ini, akan muncul kesadaran dalam diri anak didik untuk
melestarikan sumpit;
3. Menjadikan kegiatan menyumpit sebagai olah raga yang diperlombakan, misalnya dalam
Pekan Olah Raga Daerah (PORDA) dan Pekan Olah Raga Nasional (PON). Dengan cara
diperlombakan, maka sumpit dengan sendirinya akan lestari. Tentu saja, jika digunakan
untuk perlombaan, maka damek tidak perlu dilumuri dengan racun.
Jika pelestarian ini dilakukan, maka generasi mendatang akan mengetahui apa senjata khas
Dayak, dan juga perkembangan indigenous technology yang dicapai oleh masyarakat Dayak.
Adapun bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat sumpit atau sumpitan adalah sebagai
berikut:
Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat sumpit. Saat ini, ada juga yang
membuat sumpit berbahan buluh (bambu).
Bilah bambu, lidi aren, atau sirap. Bahan-bahan ini digunakan untuk membuat anak
sumpit (damek).
Bahan racun. Racun ini digunakan untuk mengolesi ujung damek. Tujuannya agar
sasaran yang dibidik mati walau hanya tergores.
Besi tajam (lonjo atau sangkoh). Bahan ini diikatkan pada pucuk pipa sumpit dengan
menggunakan rotan.
Satu ruas bambu. Bambu ini digunakan untuk membuat telep (tempat damek). Sebuah
telep biasanya mampu memuat sekitar 50-100 anak sumpit.
Rotan. Digunakan untuk mengikat sangkoh pada batang sumpit dan pengikat telep.
Kapuk. Dipasang pada bagian belakang damek. Tujuannya agar damek dapat melayang
dan meluncur ke depan dengan stabil. Selain kapuk, bahan-bahan lain dapat digunakan
dengan syarat dapat memberikan efek melayang dan stabil pada damek ketika
dibidikkan.
alat untuk memotong kayu dan bambu, meraut kayu dan lidi aren, dan alat untuk
melubangi kayu.
Secara garis besar, satu set
sumpit terdiri dari tiga bagian,
yaitu batang (pipa) sumpit, damek
(anak sumpit), dan telep (tempat
damek). Ketiga bagian tersebut
dapat dikerjakan secara bersamaan
ataupun secara terpisah.
Pembuatan sumpit secara garis
besar terdiri dari dua tahapan,
yaitu tahap persiapan dan tahap
pembuatan.
a. Tahap Persiapan
Pada tahap ini, yang harus
dilakukan adalah menyiapkan
bahan-bahan dan peralatan yang
diperlukan untuk membuat satu set sumpit. Adapun bahan-bahan yang perlu dipersiapkan adalah:
Kayu. Kayu yang digunakan sebagai bahan untuk membuat sumpit bukan kayu
sembarangan, tetapi kayu yang kuat dan keras. Adapun kayu yang biasanya digunakan
untuk membuat sumpit adalah kayu ulin, tampang, lanan, berang bungkan, rasak, atau
kayu plepek. Setelah jenis kayu ditentukan, selanjutnya menentukan ukuran panjang
sumpit yang hendak dibuat. Biasanya kayu dipotong dengan panjang sekitar 1,5 hingga
2,1 meter tergantung kepada ukuran tinggi orang yang hendak menggunakan sumpit.
Konon, agar orang yang menggunakan sumpit mempunyai kekuatan dalam bernafas
sehingga mampu melontarkan damek cukup jauh dan dapat membidik sasaran secara
tepat, maka panjang sumpit dibuat sesuai dengan tinggi orang yang menggunakannya.
Setelah itu, kayu dikupas bagian luarnya sehingga membentuk balok dengan ukuran
sekitar 10 X 10 sentimeter.
Bilah bambu, lidi aren, atau sirap. Bahan-bahan ini merupakan bagian yang tidak kalah
pentingnya untuk dipersiapkan. Lidi aren yang digunakan untuk membuat anak sumpit
biasanya dipilih yang lurus dan tebal (besar). Tujuannya, agar ketika dibidikkan
kesasaran dapat melesat dengan cepat, tepat, dan mampu menembus (melukai) sasaran.
Demikian juga dengan sirap dan bilah bambu.
Bahan racun. Pada zaman dahulu, bahan racun merupakan salah satu bahan yang cukup
penting dalam pembuatan sumpit. Keberadaan racun cukup efektif untuk melumpuhkan
atau membunuh sasaran. Racun yang dipersiapkan merupakan campuran dari beberapa
bahan, seperti getah kayu ipuh, kayu siren, atau upas, dicampur dengan getah kayu uwi,
ara, atau getah toba. Masyarakat Dayak juga mempunyai pengetahuan dalam memilih
tumbuhan yang mengandung racun kuat ataukah tidak. Pohon ipuh, misalnya, secara
alami memang mempunyai getah beracun, tetapi tingkat kekuatan racunnya berbeda-beda
tergantung pada kondisi pohon. Pohon yang ipuh yang tumbuh sendiri" (tidak
berkelompok) mempunyai kekuatan racun lebih kuat dari yang berkelompok. Penyadapan
getah pohon biasanya dilakukan pada musim kering. Untuk memperkuat efek racun,
getah pohon itu biasanya dicampur dengan bisa binatang, seperti bisa ular.
Besi tajam (lonjo atau sangkoh). Bahan yang diikatkan pada ujung pipa sumpit ini
merupakan senjata cadangan jika damek tidak dapat melumpuhkan hewan atau musuh
secara langsung, tetapi malah menyerang balik. Dengan adanya lonjo ini, maka si
penyumpit masih mempunyai senjata jika harus bertarung dalam jarak dekat.
Bahan-bahan lain yang harus dipersiapkan adalah tali dari rotan, satu ruas bambu, dan
kapas. Untuk menyediakan bahan-bahan ini tidak harus pada tahap persiapan, tetapi juga
dapat dilakukan di sela-sela pembuatan pipa sumpit dan damek.
b. Tahap Pembuatan
Setelah semua bahan-bahan yang dibutuhkan dipersiapkan, maka pembuatan sumpit dapat
segera dilakukan. Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa satu set sumpit terdiri dari tiga
bagian, maka proses pembuatannya terdiri dari tiga tahap. Adapun prosesnya adalah sebagai
berikut:
Pembuatan pipa sumpit.
Pembuatan sumpit dikerjakan dengan sangat cermat dan teliti. Hal ini bertujuan agar pipa
sumpit yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan. Kayu berbentuk balok berukuran
10 X 10 cm dengan panjang 1,5 2,1 meter yang telah dipersiapkan digantung secara
vertikal. Kemudian bagian bawah balok tersebut dibor ke arah atas. Dengan cara ini, sisa
pengeboran akan langsung jatuh ke tanah dan lubang yang dihasilkan akan lebih lurus.
Selain dengan digantung (vertikal), pembuatan lubang tengah juga terkadang dilakukan
di sungai (horisontal). Tujuannya sama, yaitu sisa pengeboran langsung dibawa air dan
lubang yang dihasilkan lebih lurus. Setelah lubang pada bagian tengah selesai dibuat
dengan diameter sekitar 1 cm, balok tersebut diraut (dibubut) sehingga berbentuk bulat
seperti pipa dengan diameter sekitar 3 cm pada bagian pangkal, dan 2 cm pada bagian
ujung. Setelah itu, baru ditempeli asesoris.Aksesoris paling penting adalah lonjo atau
sangkoh yang panjangnya sekitar 15 cm. Aksesoris ini dipasang pada bagian pucuk pipa
sumpit dengan diikat menggunakan rotan. Seperti telah dipaparkan di atas, tujuan
pemasangan lonjo atau sangkoh sebagai senjata cadangan jika damek tidak berhasil
melumpuhkan sasaran. Pada bagian ujung tetapi pada posisi berseberangan dengan
sangkoh dipasang besi sekitar 2 cm yang berfungsi sebagai alat bantu bidik. Selesainya
pemasangan sangkoh berarti pipa sumpit sudah siap digunakan.
Pembuatan damek
Tahap selanjutnya adalah
pembuatan damek, yaitu
mata sumpit. Bilah bambu,
lidi aren, atau sirap yang
telah dipilih pada tahap
persiapan dipotong dengan
panjang sekitar 15 cm.
Potongan tersebut kemudian
diraut, dihaluskan, dan pada
ujungnya dibuat runcing.
Pada bagian pangkal damek
kemudian dililiti kapas atau benda-benda lainnya yang memungkinkan damek bisa
melayang menuju sasaran. Selesainya tahap ini, maka damek pada dasarnya telah siap
untuk digunakan. Untuk damek jenis ini biasanya digunakan untuk sekedar melatih
keterampilan atau digunakan dalam perlombaan. Namun, jika hendak digunakan untuk
berburu atau berperang, maka damek tersebut biasanya dibakar dan diolesi dengan racun
yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tujuannya, agar sasaran dapat segera dilumpuhkan
walau hanya tergores. Bahkan untuk lebih memperkuat efeknya, anak sumpit untuk
berperang atau berburu biasanya diberikan keratan sepanjang sekitar tiga sentimeter di
ujung anak sumpit dengan maksud ujung tersebut patah dan tertinggal dalam tubuh
buruan hingga racun lebih cepat bekerja. Pada tahap ini, damek telah siap digunakan
untuk berburu atau berperang.
Ketika damek telah diolesi dengan racun, maka keberadaannya harus dijaga agar tuah
racunnya tidak hilang. Menurut kepercayaan orang Dayak, tuah racun damek akan
berkurang atau hilang sama sekali jika terkena bau-bauan yang cukup menyengat seperti
minyak wangi, shampo, dan bawang (Kompas, 24 Desember 2004). Berdasarkan hal
tersebut, biasanya setelah selesai dibuat, damek yang hendak digunakan untuk berburu
atau berperang disimpan di tempat khusus.
Pembuatan telep.
Setelah damek selesai dibuat, maka
tahap terakhir yang harus dilakukan
adalah menyiapkan tempat untuk
menyimpannya (telep). Tempat untuk
menyimpan damek biasanya dibuat
dari seruas bambu. Biasanya, sebuah
telep dapat menyimpan sekitar 50-100
damek. Untuk menambah
keindahannya, telep biasanya diukir
dan dihias. Tahap paling akhir
pembuatan telep adalah membuat
penutupnya dan memberi tali sehingga
dapat digendong.

Bagaimana sumpit yang hanya ditiup dapat meluncur sejauh 25-30 meter? Ada beberapa
tekhnik dan keterampilan hal yang harus diperhatikan dan dikuasai oleh orang yang hendak
menggunakan sumpit, yaitu: pertama, cara mengambil nafas. Pernafasan merupakan bagian yang
teramat vital dalam menggunakan sumpit. Kekuatan dan kemampuan mengatur pernafasan
menjadi faktor utama kuat-tidaknya damek meluncur, dan jauh tidaknya sasaran dapat dicapai.

Kedua, posisi badan. Posisi yang lazim untuk menggunakan sumpit adalah berdiri atau dengan
jongkok. Dengan cara ini, tekanan pernafasan akan lebih kuat, sehingga damek akan meluncur
lebih cepat ke sasaran. Ketiga, cara memegang sumpit. Cara yang benar memegang sumpit
adalah kedua telapak tangan harus menghadap ke atas. Kedua telapak tangan itu sebaiknya
berdekatan atau bersentuhan. Keempat,
sering latihan. Sebagus apapun cara
bernafas, posisi badan, dan cara
memegangnya, tetapi tidak pernah
(jarang) latihan, maka hasilnya akan
buruk.
Sumpit tidak sekedar sebatang kayu
yang bagian tengahnya dilubangi,
tetapi ia merupakan indigenous
technology masyarakat Dayak yang
dihasilkan dari proses memahami alam
dan fenomenanya. Dengan kata lain,
sumpit merupakan pengejawantahan
dari pengetahuan dan nilai-nilai lokal
yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Dayak. Secara garis besar,
ada empat nilai yang terkandung dalam
sumpit, yaitu struggle for survival,
pemahaman terhadap alam, keterampilan, dan sakral.
1. Struggle for survival. Pesan yang sangat jelas dari keberadaan sumpit ini adalah bahwa setiap
orang akan senantiasa membentuk dan menciptakan sesuatu yang mampu menjamin
keberlangsungan hidupnya. Kondisi alam yang berupa hutan dan pohon-pohon tinggi
memaksa orang-orang Dayak untuk membuat senjata yang mampu menjangkau sasaran
yang berada di atas pohon maupun yang berada di balik rerimbunan pepohonan. Oleh karena
mereka menyadari keterbatasan sumpit, maka mereka mengolesi mata sumpitnya dengan
racun yang cukup mematikan. Keberadaan racun pada anak sumpit merupakan antisipasi dari
kemungkinan binatang buruan atau musuh tidak dapat dilumpuhkan karena jarak jangkaunya
cukup jauh maupun faktor alam lainnya seperti kuatnya hembusan angin. Dengan racun ini,
maka cukup dengan tergores saja, sasaran akan mati. Jika binatang buruan atau musuh tidak
terkena bidikan, dan bahkan balik menyerang dengan cukup cepat, maka lonjo atau sangkoh
yang berada pada ujung pipa sumpit yang terbuat dari kayu keras segera berubah menjadi
tombak dan dengan sendirinya menjadi senjata pertahanan diri yang cukup efektif.
2. Pemahaman terhadap alam. Penggunaan sumpit dengan segala keterbatasannya
mengharuskan orang Dayak mengetahui dan memahami kondisi dan potensi alam yang
mereka tempati. Racun yang digunakan untuk mengolesi damek misalnya, merupakan bukti
pemahaman mereka terhadap potensi yang dikandung oleh tumbuh-tumbuhan. Mereka juga
harus pandai menghitung waktu dan membaca arah angin, sehingga pemanfaatan sumpit bisa
berfungsi dengan maksimal. Misalnya, untuk menyumpit maka seseorang tidak boleh
berlawanan atau memotong arah angin, karena bisa menyebabkan bidikan melenceng dari
arah sasaran. Selain itu, dalam berburu mereka tetap mempertimbangkan kelestarian alam
dan segala yang hidup di dalamnya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari aturan tidak tertulis
bahwa berburu hanya boleh dilakukan pada saat tertentu dengan tujuan tertentu, misalnya
untuk lauk-pauk.
3. Keterampilan. Agar sumpit dapat berfungsi secara maksimal, maka diperlukan keterampilan
khusus sejak pembuatan sampai ketika menggunakannya. Pada tahap pembuatan misalnya,
seseorang harus benar-benar ahli untuk membuat lubang lurus pada kayu. Jika lubang yang
dibuat tidak lurus, maka sumpit yang dihasilkan tidak akan berfungsi secara maksimal.
Demikian juga ketika hendak menggunakan sumpit, harus menguasai tehnik-tehnik khusus
yang hanya dapat dilakukan dengan latihan-latihan. Dengan latihan-latihan tersebut, maka
seseorang akan mempunyai keterampilan khusus.
4. Sakral. Ketika sebuah alat menjadi faktor yang diterminan dalam kehidupan masyarakat,
maka biasanya alat itu akan segera dikonstruksi menjadi benda sakral, demikian juga dengan
sumpit. Jika pada awalnya sumpit diciptakan untuk berburu atau berperang, namun karena
posisinya semakin determinan dalam kehidupan orang Dayak, maka ia lambat laun
mempunyai nilai sakral. Hal ini misalnya dapat dilihat dari penggunaan sumpit sebagai
pelengkap upacara dan bahkan mas kawin dalam pernikahan orang Dayak.

Keempat nilai di atas secara jelas


menunjukkan bahwa sumpit mempunyai
posisi penting dalam struktur pengetahuan
lokal masyarakat Dayak. Oleh karenanya,
perlu dilakukan langkah-langkah serius
untuk menjaga dan merevitalisasi sumpit
sehingga tetap sesuai dengan
perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA

Darmayanti Amri.Berburu ala Suku Dayak.


http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=6355, diakses tanggal 22 September
2014

Ful/Thy.Bagi Suku Dayak, Senjata merupakan Kehormatan Diri.Kompas, 22 September 2014

Hartono.Sumpit, Senjata Tradisional yang Hampir Punah.


http://sempitak.blogspot.com/2008/05/sumpit-senjata-tradisional-yang-hampir.html,
diakses tanggal 22 September 2014

Prasetyo Eko P.Sumpit.Kebanggaan Suku Dayak.Kompas, 22 September 2014

Sumpit alat tradisonal berburu di lombakan. http://www.kipde-


ketapang.go.id/baru/modules.php?name=News&file=article&sid=583, diakses tanggal 22
September 2014

Supark.Cerita untuk cucu (21)-dongeng dari Tanjung.


http://aki2005.multiply.com/tag/dongeng%20lapangan, diakses tanggal 22 September
2014

Anda mungkin juga menyukai