OLEH
SELLY AGUSTINA
X MIA 5
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha esa, karena atas berkat, rahmat, dan karuniaNya
saya dapat menyelesaikan kliping tentang sejarah sumpitan. Terima kasih juga kepada Pak
Rusmayadi, S.pd yang telah memberikan tugas, sehingga saya bisa menambah pengetahuan dan
wawasan tentang sejarah sumpit.
Saya mohon maaf jika di dalam pembuatan kliping ini terdapat kesalahan. Kritik dan
saran sangat saya perlukan untuk perbaikan yang akan datang. Semoga kliping yang saya buat
bisa bermanfaat bagi pembaca. Terima kasih.
Penulis
Sejarah Sumpitan
Bagaimana sumpit yang hanya ditiup dapat meluncur sejauh 25-30 meter? Ada beberapa
tekhnik dan keterampilan hal yang harus diperhatikan dan dikuasai oleh orang yang hendak
menggunakan sumpit, yaitu: pertama, cara mengambil nafas. Pernafasan merupakan bagian yang
teramat vital dalam menggunakan sumpit. Kekuatan dan kemampuan mengatur pernafasan
menjadi faktor utama kuat-tidaknya damek meluncur, dan jauh tidaknya sasaran dapat dicapai.
Kedua, posisi badan. Posisi yang lazim untuk menggunakan sumpit adalah berdiri atau dengan
jongkok. Dengan cara ini, tekanan pernafasan akan lebih kuat, sehingga damek akan meluncur
lebih cepat ke sasaran. Ketiga, cara memegang sumpit. Cara yang benar memegang sumpit
adalah kedua telapak tangan harus menghadap ke atas. Kedua telapak tangan itu sebaiknya
berdekatan atau bersentuhan. Keempat,
sering latihan. Sebagus apapun cara
bernafas, posisi badan, dan cara
memegangnya, tetapi tidak pernah
(jarang) latihan, maka hasilnya akan
buruk.
Sumpit tidak sekedar sebatang kayu
yang bagian tengahnya dilubangi,
tetapi ia merupakan indigenous
technology masyarakat Dayak yang
dihasilkan dari proses memahami alam
dan fenomenanya. Dengan kata lain,
sumpit merupakan pengejawantahan
dari pengetahuan dan nilai-nilai lokal
yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat Dayak. Secara garis besar,
ada empat nilai yang terkandung dalam
sumpit, yaitu struggle for survival,
pemahaman terhadap alam, keterampilan, dan sakral.
1. Struggle for survival. Pesan yang sangat jelas dari keberadaan sumpit ini adalah bahwa setiap
orang akan senantiasa membentuk dan menciptakan sesuatu yang mampu menjamin
keberlangsungan hidupnya. Kondisi alam yang berupa hutan dan pohon-pohon tinggi
memaksa orang-orang Dayak untuk membuat senjata yang mampu menjangkau sasaran
yang berada di atas pohon maupun yang berada di balik rerimbunan pepohonan. Oleh karena
mereka menyadari keterbatasan sumpit, maka mereka mengolesi mata sumpitnya dengan
racun yang cukup mematikan. Keberadaan racun pada anak sumpit merupakan antisipasi dari
kemungkinan binatang buruan atau musuh tidak dapat dilumpuhkan karena jarak jangkaunya
cukup jauh maupun faktor alam lainnya seperti kuatnya hembusan angin. Dengan racun ini,
maka cukup dengan tergores saja, sasaran akan mati. Jika binatang buruan atau musuh tidak
terkena bidikan, dan bahkan balik menyerang dengan cukup cepat, maka lonjo atau sangkoh
yang berada pada ujung pipa sumpit yang terbuat dari kayu keras segera berubah menjadi
tombak dan dengan sendirinya menjadi senjata pertahanan diri yang cukup efektif.
2. Pemahaman terhadap alam. Penggunaan sumpit dengan segala keterbatasannya
mengharuskan orang Dayak mengetahui dan memahami kondisi dan potensi alam yang
mereka tempati. Racun yang digunakan untuk mengolesi damek misalnya, merupakan bukti
pemahaman mereka terhadap potensi yang dikandung oleh tumbuh-tumbuhan. Mereka juga
harus pandai menghitung waktu dan membaca arah angin, sehingga pemanfaatan sumpit bisa
berfungsi dengan maksimal. Misalnya, untuk menyumpit maka seseorang tidak boleh
berlawanan atau memotong arah angin, karena bisa menyebabkan bidikan melenceng dari
arah sasaran. Selain itu, dalam berburu mereka tetap mempertimbangkan kelestarian alam
dan segala yang hidup di dalamnya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari aturan tidak tertulis
bahwa berburu hanya boleh dilakukan pada saat tertentu dengan tujuan tertentu, misalnya
untuk lauk-pauk.
3. Keterampilan. Agar sumpit dapat berfungsi secara maksimal, maka diperlukan keterampilan
khusus sejak pembuatan sampai ketika menggunakannya. Pada tahap pembuatan misalnya,
seseorang harus benar-benar ahli untuk membuat lubang lurus pada kayu. Jika lubang yang
dibuat tidak lurus, maka sumpit yang dihasilkan tidak akan berfungsi secara maksimal.
Demikian juga ketika hendak menggunakan sumpit, harus menguasai tehnik-tehnik khusus
yang hanya dapat dilakukan dengan latihan-latihan. Dengan latihan-latihan tersebut, maka
seseorang akan mempunyai keterampilan khusus.
4. Sakral. Ketika sebuah alat menjadi faktor yang diterminan dalam kehidupan masyarakat,
maka biasanya alat itu akan segera dikonstruksi menjadi benda sakral, demikian juga dengan
sumpit. Jika pada awalnya sumpit diciptakan untuk berburu atau berperang, namun karena
posisinya semakin determinan dalam kehidupan orang Dayak, maka ia lambat laun
mempunyai nilai sakral. Hal ini misalnya dapat dilihat dari penggunaan sumpit sebagai
pelengkap upacara dan bahkan mas kawin dalam pernikahan orang Dayak.