Minangkabau
A. PENDAHULUAN
B. PEMBAHASAN
Praktik pagang gadai di Minangkabau, sudah terjadi jauh hari sebelum Islam
datang. Motif apa yang harus dibangun untuk menunjukkan bahwa pagang gadai
sangat diperlukan saat itu. Motif ekonomi mungkin saja bisa digunakan sebagai
alasan diberlakukan pagang gadai. Hanya saja, sesuai konteks kepemilikan
tanah/sawah di Minangkabau yang bercorak komunal (kebesamaan) yang sangat
kental pastinya saat itu, alasan ini jelas sangat sulit diterima karena akan terjadi
penolakan dalam komitmen adat dan kesukuan. Selain itu, masih banyak objek
lainnya yang dapat digunakan sebagai pemenuhan ekonomi mendesak selain tanah
dan sawah yaitu seperti ternak, buah, dan tanaman.
Dari namanya, pagang gadai dimungkinkan kemunculannya justru saat Islam
datang ke ranah Minang ini. Karena bahasa ini merupakan adopsi langsung dari
terjemahan rihnun maqbdhah dalam surat Al-Baqarah 283. Kendati gadai
merupakan budaya banyak bangsa, namun gadai tanah merupakan hal yang baru
dalam peradaban budaya bangsa. Penulis yakin bahwa di Minangkabau ini pada
awalnya tidak pernah berlaku gadai atas tanah atau yang disebut pagang gadai itu.
Pagang gadai hanya berlaku pada barang-barang bergerak (manql). Hal ini
didasarkan pada kepemilikan tanah yang bersifat komunal di negeri ini. Status tanah
di sini mirip seperti milik negara kecil Minangkabau yang tentu proses pemindahan
dan penguasaannya pun harus melalui prosesi adat Minangkabau yang begitu alot dan
rumit.
Dalam adat Minangkabau, Pagang gadai di dilakukan dengan syarat yang
sangat ketat dan dalam rangka menjaga prestise atau menutup malu kesukuan, yaitu
ketika rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki, mayik tabujua di tangah
rumah, dan adaik indak badiri (mambangkik batang tarandam). Perkembangan kini,
pagang gadai telah keluar dari syarat ketat tersebut seperti untuk berobat, makan,
pendidikan, menutupi ketekoran dagang, melamar pekerjaan, dan ongkos naik haji.
Kendati kedua masa itu sangat bersifat konsumtif, namun nuansa tolong-menolong
dalam konteks komunal keadatan masih lebih terasa dalam masa awal karena
orisinalitasnya. Kini, karena keterdesakan ekonomi, biasanya orang akan segera
menggadaikan tanah tanpa melihat perbandingan nilai kesuburan tanah dengan nilai
pinjaman uang yang diberikan, yang penting dapat uang. Bila tidak terdesak,
penyewaan tanah lebih diminati.
Dalam perkembangannya, pagang gadai berubah nama menjadi jual beli yang
merupakan hasil dari proses kesepakatan adat dan syara dalam falsafah adaik basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaik mamakai. Namun, pastinya
ini hanya perubahan nomenklatur alias bungkusnya saja dengan praktek dan isi yang
sama persis dengan pagang gadai sebelumnya. Ini adalah hasil dari proses Islamisasi
pagang gadai. Artinya, ada fase pagang gadai yang sesuai dengan Alquran, yaitu
gadai untuk harta bergerak, fase pagang gadai atas tanah, dan fase Islamisasi pagang
gadai berganti nama jual beli taliq dengan isi yang sama. Pada Fase terakhir ada
yang janggal, yaitu pada kata jual beli taliq (tanah) yang secara adat hampir tidak
ada referensinya karena tanah di Minangkabau pada dasarnya tidak bisa
diperjualbelikan. Oleh karena itu, sampai saat ini yang masih berlaku adalah pagang
gadai dan nyaris tak terdengar jual beli taliq atau apa pun meski prakteknya adalah
itu ke itu juga. Di tempat lain di Minangkabu ini, pagang gadai disebut dengan bahasa
siliah jariah dengan konsep pemegang gadai masih akan tetap memanfaatkan tanah
sampai jariah (upah jerih payah) mengelola tanah tersebut dikembalikan. Upah jariah
yang dimaksud adalah uang yang dipinjam oleh pemberi gadai.
Dalam rangka menghindar dari peraturan UUPA tahun 1960, di mana praktek
gadai tanah yang terlalu lama dan berkepanjangan masa pengembaliaannya harus
diselesaikan dalam masa tujuh tahun setelah UUPA itu diberlakukan, maka
masyarakat Minangkabau menjalankan praktek gadai dengan nama baru tapi
berformat lama yaitu, pinjam meminjam atau salang bapasalang. Satu meminjamkan
uang dan yang lain meminjamkan tanah. Dan ini adalah kepintaran orang
Minangkabau untuk tetap bisa berinteraksi dengan pagang gadai dengan hlah yang
dibangun oleh komunitas adat yang hampir tidak ada rujukannya dalam kitab-kitab
fiqh. Dan setelah lama undang-undang itu diberlakukan, nyatanya pagang gadai
masih saja dipakai secara bulat-bulat hampir tidak mereka rasakan madharatnya.
Pada awal peradaban, tanah lebih dekat sebagai simbol kekuasaan wilayah
daripada symbol kekayaan individual. Alquran sendiri menyitir anak, istri, perhiasan
dari emas dan perak, ternak dan kuda perang sebagai simbol kekayaan serta
memposisikan harta dengan anak sebagai sejajar dalam ayat lainnya. Peradaban
serupa juga terjadi di Minangkabau. Bahkan, seiring munculnya nilai tanah sebagai
harta dengan wujud merebaknya kepemilikan tanah oleh individual melalui
pengaplingan, di Minang dengan sistem adat matrilinelnya, tanah tidak bisa dimiliki
atau dikapling oleh individu tapi dikuasai oleh komunal. Perempuan selain sebagai
punjer keturunan atau nasab kesukuan, mereka juga sebagai pihak yang memiliki
fungsi strategis dan prioritas sebagai pemegang hak milik, hak pakai, waris dalam
tanah ulayat dan limpapeh rumah gadang.Kendati berada dalam kekuasaan
perempuan, tapi tanah tidak bisa diperjual belikan dan bila terjadi, maka akan
menjadi aib bagi suku yang melakukannya.
Tanah seharusnya tidak terjual pada orang asing di luar suku. Jual beli itu pun
akan dilakukan dengan sangat alot sekali karena harus melalui persetujuan semua
pihak baik kaum perempuan maupun laki-laki tanpa terkecuali. Jadi, di saat banyak
bangsa sudah memberlakukan kepemilikan individual atas tanah, dalam masyarakat
Minangkabau masih mempertahankan kepemilikan komunal demi kemaslahatan masa
depan anak-anak dan kemenakan dalam satu suku dan kaum. Pagang gadai diyakini
sebagai gadai biasapada objek-objek harta bergerak (manql) pada awalnya. Namun,
seiring dengan dominasi mamak, munculnya kepemilikan individu, atau penguasaan
dominatif oleh perempuan atas tanah, pagang gadai pun berlaku untuk tanah (uqqr).
Pagang gadai adalah terjemahan langsung dari Rihn Maqbdhah yang dijadikan
dasar dan acuan diperbolehkannya gadai dalam al-Quran Surat Al-Baqarah 283.
Dari pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh pemegang
gadai memanfaatkan barang gadaian seperti sawah, motor, dan lain-lain, dalam
bentuk apapun juga walaupun sudah diijinkan pemiliknya, karena hal itu termasuk
riba yang diharamkan dalam Islam. Kecuali jika barang gadaian tersebut perlu biaya
perawatan sedang pemiliknya tidak mau mengeluarkan biaya perawatan, sehingga
biayanya dibebankan kepada pemegang gadai, dalam keadaan seperti ini, menurut
sebagian kecil ulama, dibolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian
tersebut sebesar biaya perawatan yang dikeluarkan. Tetapi mayoritas ulama tetap
mengharamkannya secara mutlak.