Anda di halaman 1dari 9

Tugas Perbankan Syariah

Essay Tentang Rahn dan Pagang Gadai Dalam Pandangan


Islam dan Adat Minangkabau

Oleh :

Esa Rahmadona (15059009)

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2017
Rahn dan Pagang Gadai Dalam Pandangan Islam Dan Adat
Minangkabau

OLEH : ESA RAHMADONA

A. PENDAHULUAN

Kebiijakan mendasar yang telah dilakukan Pemerintah adalah memberlakukan


Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-
undang No.7 tahun 1992 tentang perbankan. Dimana undang-undang tersebut
membantu Pemerintah untuk mendorong terwujudnya Bank dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Disamping
itu Undang-Undang No. 10 juga memberikan kesempatan yang sangat luas bagi Bank
Konvensional untuk mengembangkan operasional dan memperbanyak pembukaan
cabang nya yang melaksanakan kegiatannya berdasarkan prinsip syariah. Namun
tidak seluruh masyarakat yang dapat menerima dan menjalankan etikad baik
pemerintah tersebut, diamana masih banyaknya Masyarakat yang tetap
mempertahankan untuk menggunakan tradisi adat dalam kegiatan perekonomiannya.
Seperti tradisi Pagang Gadai yang ada pada masyarakat Minangkabau, yang masih
dipertahankan dan dijalankan oleh sebagian besar masyarakat minangkabau.

B. PEMBAHASAN

Praktik pagang gadai di Minangkabau, sudah terjadi jauh hari sebelum Islam
datang. Motif apa yang harus dibangun untuk menunjukkan bahwa pagang gadai
sangat diperlukan saat itu. Motif ekonomi mungkin saja bisa digunakan sebagai
alasan diberlakukan pagang gadai. Hanya saja, sesuai konteks kepemilikan
tanah/sawah di Minangkabau yang bercorak komunal (kebesamaan) yang sangat
kental pastinya saat itu, alasan ini jelas sangat sulit diterima karena akan terjadi
penolakan dalam komitmen adat dan kesukuan. Selain itu, masih banyak objek
lainnya yang dapat digunakan sebagai pemenuhan ekonomi mendesak selain tanah
dan sawah yaitu seperti ternak, buah, dan tanaman.
Dari namanya, pagang gadai dimungkinkan kemunculannya justru saat Islam
datang ke ranah Minang ini. Karena bahasa ini merupakan adopsi langsung dari
terjemahan rihnun maqbdhah dalam surat Al-Baqarah 283. Kendati gadai
merupakan budaya banyak bangsa, namun gadai tanah merupakan hal yang baru
dalam peradaban budaya bangsa. Penulis yakin bahwa di Minangkabau ini pada
awalnya tidak pernah berlaku gadai atas tanah atau yang disebut pagang gadai itu.
Pagang gadai hanya berlaku pada barang-barang bergerak (manql). Hal ini
didasarkan pada kepemilikan tanah yang bersifat komunal di negeri ini. Status tanah
di sini mirip seperti milik negara kecil Minangkabau yang tentu proses pemindahan
dan penguasaannya pun harus melalui prosesi adat Minangkabau yang begitu alot dan
rumit.
Dalam adat Minangkabau, Pagang gadai di dilakukan dengan syarat yang
sangat ketat dan dalam rangka menjaga prestise atau menutup malu kesukuan, yaitu
ketika rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki, mayik tabujua di tangah
rumah, dan adaik indak badiri (mambangkik batang tarandam). Perkembangan kini,
pagang gadai telah keluar dari syarat ketat tersebut seperti untuk berobat, makan,
pendidikan, menutupi ketekoran dagang, melamar pekerjaan, dan ongkos naik haji.
Kendati kedua masa itu sangat bersifat konsumtif, namun nuansa tolong-menolong
dalam konteks komunal keadatan masih lebih terasa dalam masa awal karena
orisinalitasnya. Kini, karena keterdesakan ekonomi, biasanya orang akan segera
menggadaikan tanah tanpa melihat perbandingan nilai kesuburan tanah dengan nilai
pinjaman uang yang diberikan, yang penting dapat uang. Bila tidak terdesak,
penyewaan tanah lebih diminati.
Dalam perkembangannya, pagang gadai berubah nama menjadi jual beli yang
merupakan hasil dari proses kesepakatan adat dan syara dalam falsafah adaik basandi
syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adaik mamakai. Namun, pastinya
ini hanya perubahan nomenklatur alias bungkusnya saja dengan praktek dan isi yang
sama persis dengan pagang gadai sebelumnya. Ini adalah hasil dari proses Islamisasi
pagang gadai. Artinya, ada fase pagang gadai yang sesuai dengan Alquran, yaitu
gadai untuk harta bergerak, fase pagang gadai atas tanah, dan fase Islamisasi pagang
gadai berganti nama jual beli taliq dengan isi yang sama. Pada Fase terakhir ada
yang janggal, yaitu pada kata jual beli taliq (tanah) yang secara adat hampir tidak
ada referensinya karena tanah di Minangkabau pada dasarnya tidak bisa
diperjualbelikan. Oleh karena itu, sampai saat ini yang masih berlaku adalah pagang
gadai dan nyaris tak terdengar jual beli taliq atau apa pun meski prakteknya adalah
itu ke itu juga. Di tempat lain di Minangkabu ini, pagang gadai disebut dengan bahasa
siliah jariah dengan konsep pemegang gadai masih akan tetap memanfaatkan tanah
sampai jariah (upah jerih payah) mengelola tanah tersebut dikembalikan. Upah jariah
yang dimaksud adalah uang yang dipinjam oleh pemberi gadai.
Dalam rangka menghindar dari peraturan UUPA tahun 1960, di mana praktek
gadai tanah yang terlalu lama dan berkepanjangan masa pengembaliaannya harus
diselesaikan dalam masa tujuh tahun setelah UUPA itu diberlakukan, maka
masyarakat Minangkabau menjalankan praktek gadai dengan nama baru tapi
berformat lama yaitu, pinjam meminjam atau salang bapasalang. Satu meminjamkan
uang dan yang lain meminjamkan tanah. Dan ini adalah kepintaran orang
Minangkabau untuk tetap bisa berinteraksi dengan pagang gadai dengan hlah yang
dibangun oleh komunitas adat yang hampir tidak ada rujukannya dalam kitab-kitab
fiqh. Dan setelah lama undang-undang itu diberlakukan, nyatanya pagang gadai
masih saja dipakai secara bulat-bulat hampir tidak mereka rasakan madharatnya.

Falsafah adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah benar-benar telah


memposisikan Sumatera Barat sebagai wilayah yang dipandang sarat dan kental
nuansa keislamannya dan seakan telah merasuk dalam setiap lini kehidupan
sosialnya. Bahkan, predikat wilayah serambi Mekkah juga sudah begitu melekat
dalam berbagai pembicaraan yang seakan tengah mensejajarkannya dengan Aceh
Darussalam. Oleh karena itu, berbagai pengkajian soal Sumatera Barat sulit sekali
untuk dilepaskan dari penglihatan sisi keislamannya. Hampir saja tema sosial yang
lahir dari negeri ini adalah Islam itu sendiri. Tanah sebagai sebagai salah satu
pendukung sosialnya juga tidak terlepas dari pengkajian pakar dalam perspektif
Islam. Muchtar Naim telah mengawalinya pada tahun 1968 dan mendudukkan
masalah ini. Pada masa-masa berikutnya,

Interaksi masyarakat adat Minangkabau dengan tanahnya dalam konteks tanah


sebagai objek bisnis juga tidak luput dari pengkajian orang. Pagang gadai adalah tema
yang paling sering dibahas orang Minangkabau karena sampai kini praktek tersebut
masih tetap eksis diterapkan orang. Fiqh sengaja dijadikan media analisis karena sifat
fleksibilitasnya yang selalu bisa menjangkau praktek dan praksis masyarakat
penggunanya. Dan biasanya, corak keberagamaan sebuah masyarakat salah satunya
diukur dari pelaksanaan fiqh sosialnya. Apalagi, seperti di awal disampaikan bahwa
nuansa keislaman masyarakat ini adalah begitu kental hingga masuk ke wilayah
adatnya. Banyak interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Sumatera Barat yang
dikenal sebagai suku Minangkabau terhadap tanahnya. Interaksi tersebut dimulai dari
sejarah asal suku Minangkabau, batas wilayah yang masuk dalam kategori bersuku
Minangkabau, interaksi penguasaan tanah, interaksi kepemilikan tanah, proses dan
bentuk pewarisan tanah, hingga ke persoalan tanah sebagai pagang gadai.

Dalam banyak suku, tanah merupakan inti simbolitas keberadaan komunitas


tersebut. Tanah akan melekat dengan suku yang mendiaminya seperti tanah Jawa,
tanah Sunda, tanah Minang. Ranah Minang salah satunya juga dapat dimaknai
dengan tanah Minang dalam berbagai aspeknya. Istilah bakampung banagari,
bakorong bajurai adalah wujud interaksi orang Minang dengan tanahnya. Interaksi ini
menandakan betapa strategisnya posisi tanah bagi komunitas yang menguasainya.

Pada awal peradaban, tanah lebih dekat sebagai simbol kekuasaan wilayah
daripada symbol kekayaan individual. Alquran sendiri menyitir anak, istri, perhiasan
dari emas dan perak, ternak dan kuda perang sebagai simbol kekayaan serta
memposisikan harta dengan anak sebagai sejajar dalam ayat lainnya. Peradaban
serupa juga terjadi di Minangkabau. Bahkan, seiring munculnya nilai tanah sebagai
harta dengan wujud merebaknya kepemilikan tanah oleh individual melalui
pengaplingan, di Minang dengan sistem adat matrilinelnya, tanah tidak bisa dimiliki
atau dikapling oleh individu tapi dikuasai oleh komunal. Perempuan selain sebagai
punjer keturunan atau nasab kesukuan, mereka juga sebagai pihak yang memiliki
fungsi strategis dan prioritas sebagai pemegang hak milik, hak pakai, waris dalam
tanah ulayat dan limpapeh rumah gadang.Kendati berada dalam kekuasaan
perempuan, tapi tanah tidak bisa diperjual belikan dan bila terjadi, maka akan
menjadi aib bagi suku yang melakukannya.

Tanah seharusnya tidak terjual pada orang asing di luar suku. Jual beli itu pun
akan dilakukan dengan sangat alot sekali karena harus melalui persetujuan semua
pihak baik kaum perempuan maupun laki-laki tanpa terkecuali. Jadi, di saat banyak
bangsa sudah memberlakukan kepemilikan individual atas tanah, dalam masyarakat
Minangkabau masih mempertahankan kepemilikan komunal demi kemaslahatan masa
depan anak-anak dan kemenakan dalam satu suku dan kaum. Pagang gadai diyakini
sebagai gadai biasapada objek-objek harta bergerak (manql) pada awalnya. Namun,
seiring dengan dominasi mamak, munculnya kepemilikan individu, atau penguasaan
dominatif oleh perempuan atas tanah, pagang gadai pun berlaku untuk tanah (uqqr).
Pagang gadai adalah terjemahan langsung dari Rihn Maqbdhah yang dijadikan
dasar dan acuan diperbolehkannya gadai dalam al-Quran Surat Al-Baqarah 283.

Sebagian ulama mensyaratkan gadai/rahn boleh bila dalam keadaan


bepergian, tapi secara umum ulama membolehkan praktik Ar-Rahn ini tanpa
memandang keadaan, dan nyatanya gadai yang dilakukan Nabi Saw sendiri dalam
posisi tidak dalam bepergian. Ar-Rahn pada dasarnya adalah akad tabarrulit-tawun
(tanpa pamrih dengan motif tolong menolong) sebagai jaminan adanya hutang
piutang. Karena prinsipnya adalah tolong menolong, maka tidak boleh mengambil
keuntungan sedikitpun dari akad tersebut, termasuk upaya pemanfaatannya.
Penambahan keuntungan darin akad tersebut termasuk dalam kategori riba. Ini adalah
logika yang dikembangkan dari konsep tabarru. Hanya saja, ada hadis yang
menjelaskan bahwa ketika rahn itu berupa binatang, maka boleh saja pemegang rahn
memanfaatkannya untuk dikendarai atau diambil susunya sejauh si pemegang rahn
menjalankan fungsi pemeliharaan dan perawatan). Dalam penjelasannya, hukum
Islam melarang pemilik barang gadai untuk memanfaatkan barang gadai kecuali ada
izin dari pemegang gadai karena hak menahan barang gadai itu selamanya ada pada
pemegang gadai. Bahkan, Malikiyyah lebih tegas lagi melarang pemanfaatan tersebut
oleh pemilik meski ada izin dari pemegang gadai dan memandang bahwa izin
tersebut akan membatalkan akad gadai. Dalam konteks lain, ada hadis yang
menjelaskan bahwa kendati penguasaan objek rahn ada pada pemberi piutang, namun
orang yang berhutang tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan objek rahn
tersebut. Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil pemahaman bahwa menurut
fikih muamalah aqad rahn merupakan aqad yang mengikut kepada aqad hutang
piutang. Objek yang dijadikan jaminan berfungsi sebagai dasar kepercayaan yang
diberikan oleh yang berhutang kepada yang berpiutang. Seandainya pada waktu yang
ditentukan, yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka jaminan itu
dapat di jual untuk membayar hutang itu dengan sebahagian atau seluruh harga jual
barang jaminan tersebut. Aqad hutang yang disertai dengan jaminan perbolehkan
bahkan dianjurkan didalam Islam.
Pelaksanaan gadai menurut hukum adat adalah timbul dari suatu perjanjian
yang bersifat tolong menolong, berfungsi sosial, sebab kebanyakan orang yang
mengadaikan dan si pemegang gadai adalah orang yang masih sekaum, sesuku, dan
sejauh- jauhnya adalah senagari. Terjadinya gadai ini yaitu seseorang anggota kaum
yang sangat memerlukan uang. Sedangkan dalam kaum itu sendiri dia tidak dapat
mengusahakannya, maka anak kemenakan itu dapat mengadaikan harta pusaka
tersebut kepada orang lain atas kesepakatan anggota kaum dan penghulunya.
Sedangkan pelaksanaan pagang gadai menurut tinjauan Islam diperbolehkan untuk
melakukan pagang gadai. Dengan syarat tidak menyalahi dan tidak melanggar
perjanjian selaku terjadinya aqad. Hanya saja agama berdasarkan pendapat jumhur
berpendapat bahwa jika praktek pagang gadai yang dilaksanakan dengan kebebasan
bagi yang pihak penerima gadai untuk memanfaatkan barang gadaian maka agama
mengganggap sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan agama.
Pada prinsipnya, Jumhur ulama dan hukum Islam melarang pemilik barang
gadai untuk memanfaatkan barang gadai kecuali ada izin dari pemegang gadai karena
hak menahan barang gadai itu selamanya ada pada pemegang gadai. Namun untuk
menyikapi perbedaan ini perlu ditekankan sebuah paradigm bahwa, ketika nilainilai
Islam memberikan perubahan dalam masalah muamalah, adakalanya memberikan
perubahan total, jika hal itu benar-benar bertentangan dengan prinsip mashlahah
(tujuan kebaikan dan kedamaian ditengah masyarakat). Seperti diharamkannya jual
beli garar (ketidakpastia) karena jual beli itu akan menimbulkan penzaliman kepada
salah satu pihak. Tetapi dalam masalah muamalah tersebut jika didalamya
mengandung kemaslahatan, maka Islam hanya memberi warna agar ia sesuai dengan
prinsip- prinsip syariah. Dalam bidang muaamalah syariat Islam lebih bayak
memberikan pola-pola, prinsip dan kaedah umum, dibanding memberikan jenis dan
bentuk muamalah secara rinci. Atas dasar itu bentuk muamalah dan
pengembanganya diserahkan sepenuhnya kepada para ahli dibidangnya. Bidang-
bidang seperti inilah yang menurut kalangan ahli ushul fiqh dengan persoalan
taaqquliyat (yang dapat dialar) atau maqul mana (yang dapatdimasuki logika.
Artinya yang terpenting dalam masalah dalam masalah muamalah adalah substansi
makna yang terkandung dalam suatu bentuk muamalah serta sasaran yang akan
dicapainya yaitu mengandung prinsip dan kaidah yang ditetapka syara dan bertujuan
untuk kemaslahatan serta langkah menghindarkan kemudharatan dari mereka, maka
jenis muamalah seperti itu dapat diterima.
C. PENUTUP

Dari pembahasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa tidak boleh pemegang
gadai memanfaatkan barang gadaian seperti sawah, motor, dan lain-lain, dalam
bentuk apapun juga walaupun sudah diijinkan pemiliknya, karena hal itu termasuk
riba yang diharamkan dalam Islam. Kecuali jika barang gadaian tersebut perlu biaya
perawatan sedang pemiliknya tidak mau mengeluarkan biaya perawatan, sehingga
biayanya dibebankan kepada pemegang gadai, dalam keadaan seperti ini, menurut
sebagian kecil ulama, dibolehkan pemegang gadai memanfaatkan barang gadaian
tersebut sebesar biaya perawatan yang dikeluarkan. Tetapi mayoritas ulama tetap
mengharamkannya secara mutlak.

Anda mungkin juga menyukai