Anda di halaman 1dari 7

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili


Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal yang terpecah-pecah dan berbatang kasar
dengan tangkai daun tegak yang keluar dari umbinya. Tanaman ini berasal dari Asia Tropika dan
tersebar di Malaysia, Jawa, Filipina, sampai ke kepulauan Pasifik. Menurut Kriswidarti (1980)
seperti yang dikutip oleh Mukhis (2003), tanaman walur dapat tumbuh di daerah dengan
ketinggian mencapai 800 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhannya membutuhkan suhu
antara 25 oC 35 oC dengan curah hujan antara 1000 1500 mm/tahun. Ukuran umbi walur bisa
mencapai diameter lebar 40 cm. Bentuknya bundar agak pipih. Tinggi umbi bisa mencapai 30 cm.
Penelitian oleh Purnomo dan Risfaheri (2010) melaporkan bahwa umbi walur memiliki
kadar air sebesar 74.46%, kadar lemak sebesar 3.68%, kadar abu 1.25%, kadar protein 1.64% dan
kadar karbohidrat sebesar 18.97% (Tabel 1). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan yang dihasilkan
oleh umbi iles-iles (Das et al. 2009), umbi yang satu famili dengan umbi walur, namun sudah
dimanfaatkan secara meluas oleh masyarakat untuk dikonsumsi. Menurut Kriswidarti (1980)
seperti yang dikutip oleh Richana dan Sunarti (2004), terdapat dua varian dari spesies
Amorphopallus campanulatus yaitu varian sylvestris dan varian hortensis. Varian sylvestris lebih
dikenal dengan nama walur sementara varian hortensis lebih dikenal dengan nama suweg. Selama
ini pemanfaatan secara tradisional oleh masyarakat hanya terbatas pada varian hortensis atau
suweg dikarenakan tinginya kandungan oksalat pada varian sylvestris atau walur sehingga
menyebabkan gatal ketika diolah dan dikonsumsi. Adapun perbandingan komposisi umbi walur
dan suweg dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data proksimat umbi walur dan umbi suweg

No. Kadar gizi (%) Walur a Suwegb

1. Kadar air 74.46 78.7


2. Kadar lemak 3.68 0.1
3. Kadar protein 1.64 1.2
4. Kadar abu 1.25 1.6
5. Kadar karbohidrat 18.97 18.4
a
Purnomo et al. (2010)
b
Das et al. (2009)

Komponen lainnya dari umbi walur yang perlu mendapatkan perhatian dalam
penanganannya adalah kalsium oksalat. Kristal kalsium oksalat pada umbi walur dapat
menyebabkan rasa gatal. Rasa gatal yang merangsang rongga mulut dan kulit disebabkan adanya
kristal kecil berbentuk jarum halus yang tersusun oleh kalsium oksalat yang disebut raphide
(Bradbury dan Nixon, 1998). Kristal kalsium oksalat merupakan produk buangan dari metabolism
sel yang sudah tidak digunakan lagi oleh tanaman (Nugroho, 2000).
B. Pati

1. Karakteristik pati
Pati merupakan cadangan energi terbesar pada tanaman seperti serealia, kacang-
kacangan, umbi-umbian, dan tanaman lainnya. Pati ditemukan pada hampir seluruh organ
tanaman seperti biji, buah, dan umbi serta umumnya digunakan sebagai sumber energi bagi
tanaman pada periode dormansi dan pertumbuhan (Jobling, 2004). Beberapa organ tanaman
yang berperan sebagai tempat penyimpanan pati, seperti biji pada tanaman jagung dan padi
atau umbi pada tanaman singkong dan ubi jalar, merupakan makanan pokok yang biasa
dikonsumsi manusia. Oleh karena itu, pati merupakan sumber energi yang sangat penting
karena menyumbangkan sekitar 60-70% energi berupa suplai eksogenous glukosa (Roder et
al., 2005).
Molekul granula pati memiliki sifat birefringent dan sifat maltosecross. Birefringent
adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga membentuk
bidang biru dan kuning ketika dilihat dengan mikroskop polarisasi (Richana dan Sunarti,
2004). Terbentuknya warna biru dan kuning disebabkan adanya perbedaan indeks refraktif
dalam granula pati yang dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa pati. Karakteristik ini juga
mengindikasikan bahwa molekul pati memiliki pola pengaturan kristanilitas.
Granula pati tersusun atas dua tipe polimer glukosa ( glukan) yaitu amilosa dan
amilopektin, yang berjumlah sekitar 98-99% berat kering (Tester et al., 2004). Rasio dari dua
polisakarida ini sangat bervariasi tergantung pada jenis tanaman sumber patinya. Berdasarkan
rasio kandungan amilosa-amilopektin, pati dapat diklasifikasikan sebagai waxy starch yang
mengandung amilosa kurang dari 15%, pati normal yang mengandung amilosa sekitar 20-35%,
dan pati beramilosa tinggi yang mengandung amilosa dengan kadar di atas 40%. Granula pati
dideskripsikan sebagai struktur semikristalin yang terdiri dari struktur kristalin dan amorphous.
Bagian amorphous terdiri dari molekul rantai panjang amilopektin, amilosa, dan percabangan
amilopektin. Sedangkan rantai pendek amilopektin akan membentuk untaian heliks yang
membentuk kristalin (Tester et al., 2004). Secara umum, karakteristik pati alami dari beberapa
jenis pati dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Struktur dan komposisi beberapa granula pati


Jenis pati
Karakteristik pati a
Walur Jagung Gandum Kentang Singkong
Umbi Umbi
Tipe Umbi akar Serealia Serealia
batang akar
Bulat, Bulat, Bulat, Oval, Oval,
Bentuk granula
poligonal poligonal bimodal spherical pepat
Ukuran granula (m) 10-22 2-30 1-45 5-100 4-35
Fosfat (% b/b) - 0.02 0.06 0.08 0.01
Protein (% b/b) 1.53 0.35 0.4 0.06 0.1
Lipid (% b/b) 0.51 0.7 0.8 0.05 0.1
Kapasitas produksi dunia
- 39.4 4.1 2.6 2.5
(juta ton/tahun)
Sumber: Fennema (1996); Purnomo dan Risfaheri (2010)

4
Amilosa merupakan sumber polimer linier rantai panjang yang tersusun dari residu
glukan yang dihubungkan oleh ikatan -(1,4) dan ikatan -(1,6) pada setiap 100-3000 residu
glukan. Amilosa memiliki bobot molekul sekitar 5x105-1x106 Da dengan derajat polimerisasi
103-104 (Roder et al., 2005). Molekul amilosa bersifat hidrofilik karena mengandung banyak
gugus hidroksil pada senyawa polimernya. Struktur dan ukuran amilosa sangat bervariasi
tergantung pada sumber patinya. Semakin besar ukurannya, percabangan pada molekul amilosa
akan semakin banyak. Untaian heliks amilosa dapat berikatan dengan iodin menghasilkan
kompleks dengan warna biru gelap yang menjadi dasar dalam penentuan kadar amilosa.
Amilosa juga dapat berikatan dengan molekul lipid internal membentuk kompleks amilosa-
lipid yang dapat membatasi penyerapan air ke dalam granula pati (Putseys et al., 2009).
Amilopektin terdiri dari rantai glukosa yang berbobot molekul lebih besar dan lebih
bercabang. Amilopektin tersusun dari unit molekul anhidroglukosa yang dihubungkan oleh
ikatan -(1,4) dengan percabangan pada ikatan -(1,6) pada setiap residu 20 glukan. Molekul
ini memiliki bobot molekul sekitar 107 Da dengan derajat polimerisasi 5x104-5x105. Rata-rata
molekul amilopektin memiliki panjang 200-400 nm dan lebar 15 nm dengan percabangan
terdistribusi teratur pada interval 7-10 nm (Roder et al., 2005). Adanya titik percabangan pada
molekul amilopektin mengakibatkan kuatnya ikatan linier rantai pendek sehingga membentuk
double helix yang menjadi dasar bagi terbentuknya struktur semikristalin pada granula pati
(Jobling, 2004).
Selain berdasarkan rasio amilosa-amilopektin yang terkandung di dalam granulanya,
pati juga dapat diklasifikasikan berdasarkan profil gelatinisasinya. Berdasarkan klasifikasi
Scoch dan Maywald (1968) seperti yang dikutip oleh Chansri et al. (2005), terdapat empat tipe
profil amilografi pati berdasarkan pengukuran profil gelatinisasi pati oleh brabender. Pati tipe
A memiliki kemampuan pengembangan yang besar dan biasanya terdapat pada pati umbi-
umbian seperti ubi jalar dan singkong ataupun waxy starch. Pati tipe B banyak ditemukan pada
serealia, memiliki kemampuan pengembangan yang besar, dan menunjukkan viskositas pasta
yang rendah. Pati tipe C memiliki kemampuan pengembangan yang terbatas, tidak
menunjukkan viskositas puncak bahkan menunjukkan viskositas konstan ataupun peningkatan
viskositas selama pemasakan. Pati jenis ini banyak terdapat pada jenis Leguminaceae dan pati
cross bonded. Pati tipe D merupakan tipe pati dengan pengembangan sangat terbatas yang
bahkan tidak bisa cukup mengembang untuk memberikan viskositas pasta selama pemasakan.
Jenis pati ini umunya ditemukan pada pati dengan kadar amilosa lebih dari 55%.

2. Gelatinisasi pati
Pati tersusun atas molekul-molekul yang bersifat hidrofilik, namun granula pati
justru bersifat hidrofobik. Hal ini disebabkan karena struktur semikristalin di dalam granula
dan adanya ikatan hidrogen yang terbentuk di antara gugus hidroksil di dalam polimer pati.
Dalam air dingin, granula pati akan sedikit mengembang tetapi tidak larut air. Jumlah air yang
diserap sangat bervariasi tergantung pada kadar air keseimbangannya. Pati dengan kadar air
keseimbangan lebih tinggi akan menyerap air lebih banyak. Proses pengembangan ini bersifat
dapat balik karena granula akan kembali ke bentuk semula setelah mengalami pengeringan.
Penyerapan air akan bertambah besar jika granula pati disuspensikan dlam air
berlebih dan dipanaskan. Air akan masuk ke dalam daerah amorphous dalam granula pati dan
menyebabkan terjadinya pembengkakan granula. Pembengkakan ini menimbulkan tekanan
pada daerah kristalin yang terdiri dari molekul amilopektin dan merusak susunan double helix
yang ada. Kerusakan double helix amilopektin dapat mengganggu susunan kristalin bahkan

5
dapat menghilangkan kristalinitasnya. Selama pemanasan granula pati akan terus menyerap air
sampai granula pecah dan molekul amilosa akan keluar sehingga mengakibatkan
ketidakteraturan struktur granula, peningkatan viskositas suspensi pati, dan hilangnya sifat
birefringent pati. Perubahan ini dikenal dengan sebutan gelatinisasi pati dan sifatnya tidak
dapat balik (Roder et al., 2005).
Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi pati adalah titik suhu saat sifat
birefringent pati mulai menghilang dan menurut Roder et al. (2005), suhu gelatinisasi pati
adalah suhu saat mulai terjadi perubahan tidak dapat balik. Suhu gelatinisasi tidak selalu tepat
pada satu titik tetapi berupa kisaran suhu karena populasi granula pati memiliki ukuran yang
bervariasi. Gelatinisasi pati terjadi pada kisaran suhu pemanasan tertentu yang sesuai dengan
karakteristik masing-masing pati. Secara umum, kisaran suhu gelatinisasi aneka jenis pati 10-
15 oC. Suhu gelatinisasi dari beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati


Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)
Beras 65-73
Ubi jalar 82-83
Tapioka 59-70
Jagung 61-72
Gandum 53-64
Walur 82.55
Sumber: Fennema (1996); Purnomo dan Risfaheri (2010)

C. Modifikasi Pati (Heat-Moisture Treatment)

Setiap jenis pati memiliki karakteristik yang khas serta sifat fungsional yang berbeda.
Oleh karena itu penggunaan pati dalam industri pangan harus disesuaikan dengan karakteristik pati
yang akan digunakan. Produsen pangan olahan berbasis pati umumnya menetapkan beberapa
kualifikasi tertentu terhadap pati yang akan digunakan.
Beberapa persyaratan tersebut antara lain adalah, pati harus tahan terhadap shear yang
tinggi yang terjadi selama proses pengolahan dan tahan terhadap pH rendah. Pati juga harus tahan
terhadap suhu tinggi agar tahan pada proses sterilisasi ataupun pada suhu rendah agar dapat tahan
pada suhu lemari pendingin sehingga dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Namun, pati
alami biasanya tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan karena memiliki sifat fungsional yang
terbatas. Untuk meningkatkan fungsionalitas pati alami maka dilakukan upaya modifikasi. Pati
yang telah termodifikasi adalah pati yang telah diubah sifat aslinya, yaitu kimia atau fisiknya
sehingga mempunyai karakteristik sesuai dengan yang dikehendaki.
Secara garis besar, modifikasi pati dapat dilakukan melalui dua metode yaitu
modifikasi secara fisik dan modifikasi secara kimia. Modifikasi pati dengan perlakuan kimia
antara lain ikatan silang (crosslink), hidrolisis asam, oksidasi, dekstrinasi, dan konversi asam
(Light, 1990). Sedangkan salah satu bentuk modifikasi secara fisik adalah hydrothermal treatment.
Menurut Stute (1992) hydrothermal treatment didefinisikan sebagai bentuk modifikasi pati secara
fisik yang mengkombinasikan kondisi kelembaban serta pemanasan yang dapat mempengaruhi
karakteristik pati tanpa merubah visualisasi granula pati. Perlakuan fisik untuk modifikasi pati
cenderung lebih aman karena tidak merusak granula pati serta lebih alami dibandingkan dengan
perlakuan kimia (Collado et al., 2001).

6
Berdasarkan kondisi perlakuannya, hydrothermal treatment dibedakan menjadi dua
yaitu annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT). Menurut Genkina et al. (2004), annealing
merupakan bentuk modifikasi fisik yang melibatkan proses inkubasi pati pada kadar air berlebih
dengan suhu pemanasan di antara suhu transisi gel dan suhu awal gelatinisasi yaitu sekitar 40-55
o
C. Perlakuan pemanasan pati dengan metode annealing dapat meningkatkan stabilitas granula
(Hoover dan Vasanthan, 1994) serta dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan mempersempit
kisaran suhu gelatinisasi.
Menurut Collado dan Corke (1999), Heat Moisture Treatment (HMT) didefinisikan
sebagai modifikasi fisik yang melibatkan perlakuan pemanasan pati pada kadar air terbatas (<35%
b/b) pada suhu 80-120 oC, di atas suhu gelatinisasi, selama beberapa waktu yang berkisar antara 15
menit sampai 16 jam. Menurut Kulp dan Lorenz (1981) seperti yang disitasi oleh Olayinka et al.
(2006), modifikasi HMT dapat merubah karakteristik pati karena selama proses modifikasi
terbentuk kristal baru atau terjadi proses rekristalisasi dan penyempurnaan struktur kristalin pada
granula pati. Proses HMT juga dapat meningkatkan asosiasi rantai pati antara amilosa-amilosa dan
amilosa-amilopektin pada area amorphous, memisahkan fraksi amilosa dan amilopektin,
meningkatkan kekompakan material di dalam granula akibat adanya tekanan dan interaksi serta
merubah derajat kristalinitas pati.
Perlakuan HMT akan memberikan efek perubahan yang berbeda tergantung pada
sumber pati dan kondisi proses yang diterapkan (Olayinka et al., 2006). Pati ubi jalar hasil
modifikasi HMT memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap pengadukan (shear stable) dengan
kekerasan dan daya adhesi gel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati alaminya (Collado dan
Corke, 1999). Proses HMT dapat meningkatkan freeze-thaw stability, pati singkong (Abraham,
1993), membatasi kapasitas pembengkakan pati dan meningkatkan kualitas gel pada pati beras
sehingga lebih dapat diaplikasikan dalam pembuatan mi berbasis pati (Hormdok dan Noomhorm,
2007).

1. Pengaruh kadar air


Studi yang dilakukan oleh Adebowale et al. (2005), menunjukaan bahwa modifikasi
dengan teknik heat moisture treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi pati sorgum
merah, yaitu dapat meningkatkan suhu gelatinisasi, meningkatkan viskositas pasta pati,
menurunkan viskositas panas pasta, meningkatkan breakdown, meningkatkan viskositas akhir,
dan meningkatkan kecenderungan pati untuk mengalami retrogradasi (meningkatkan set back).
Selanjutnya menurut Adebowale et al. (2005), perubahan tersebut sangat bergantung pada
pengaturan kadar air modifikasi HMT. Peningkatan kadar air modifikasi tidak memberikan
pola akhir yang khas dalam peningkatan suhu gelatinisasi pati sorgum merah. Peningkatan
kadar air dari 18% menjadi 21% meningkatkan kenaikan yang terjadi pada suhu gelatinisasi,
namun peningkatan kadar air menjadi 24% dan 27% tidak meningkatkan kenaikan suhu
gelatinisasi. Selain tidak memberikan pola yang khas terhadap perubahan suhu gelatinisasi,
peningkatan kadar air juga tidak memberikan pola yang khas pada viskositas puncak,
viskositas pasta panas, breakdown, viskositas akhir, dan set back yang paling rendah bila
dibandingkan dengan kadar air 18%, 21%, dan 24%.
Pengaruh kadar air modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi diperlihatkan
dengan jelas pada modifikasi yang dilakukan terhadap pati biji nangka (Lawal dan Adebowale,
2005). Peningkatan kadar air dari 18% hingga 27% meningkatkan kenaikan suhu gelatinisasi,
meningkatkan penurunan puncak viskositas, meningkatkan penurunan viskositas pasta panas,
meningkatkan penurunan set back, dan meningkatkan penurunan breakdown. Pati

7
termodifikasi dengan profil yang paling mendekati pati dengan tipe C diperoleh dari pati yang
dimodifikasi dengan kadar air 27%.
Sementara itu menurut Vermeylen et al. (2006), modifikasi HMT pada pati kentang
dipengaruhi oleh kadar air dan suhu. Modifikasi yang dilakukan pada kadar air 23% dengan
suhu 130oC menghasilkan pati termodifikasi HMT dengan suhu gelatinisasi tertinggi dan
perubahan pola difraksi sinar-X dari tipe B menjadi tipe A. Tipe A dari struktur granula pati
merupakan tipe difraksi sinar-X yang dimiliki oleh pati serealia alami.

2. Pengaruh sumber pati


Pati dari sumber yang berbeda mempunyai proporsi amilosa/amilopektin yang
berbeda pula. Adanya perbedaan proporsi amilosa/amilopektin kemungkinan akan
mempengaruhi sensitifitasnya terhadap pengaruh modifikasi dengan HMT. Perbedaan panjang
rantai serta perbedaan pengaturan amilosa dan amilopektin di dalam granula pati kemungkinan
akan mempengaruhi kemudahan perubahannya pada saat dipanaskan bersama dengan sejumlah
air. Menurut Manuel (1996), pati polong-polongan termodifikasi HMT dari berbagai sumber
dengan proporsi amilosa/amilopektin yang berbeda mengalami penurunan pelepasan amilosa
(amilose leaching), penurunan faktor pembengkakan granula (swelling factor), dan
peningkatan suhu pelelehan dengan tingkat yang berbeda. Namun demikian, dari perbedaan
yang ada belum terlihat adanya kecenderungan pati dengan proporsi amilosa yang lebih tinggi
mempunyai perubahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang mempunyai
proporsi amilosa yang lebih rendah atau sebaliknya (Hoover dan Manuel, 1996).
Studi yang dilakukan oleh Widaningrum dan Purwani (2006), menunjukkan bahwa
pati jagung dengan kandungan amilopektin lebih tinggi lebih sesitif terhadap perlakuan HMT.
Pati jagung dengan kandungan amilosa rendah (17.69%) mengalami pergeseran profil
gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C. Sementara itu, pati jagung dengan kandungan amilosa
tinggi (46.15%) mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe B menjadi tipe C.
Studi yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006), menunjukkan bahwa teknik HMT
dapat menggeser tipe kurva profil gelatinisasi pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Pada
pergeseran pola gelatinisasi ini terjadi perubahan beberapa parameter profil gelatinisasi
diantaranya peningkatan suhu gelatinisasi, penurunan viskositas breakdown, dan peningkatan
viskositas set back. Besarnya perubahan beberapa parameter gelatinisasi tersebut berbeda
untuk setiap asal sagu. Sagu Ihur yang mempunyai kandungan amilosa paling rendah
mengalami peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan viskositas breakdown yang paling
besar.
Modifikasi HMT yang dilakukan terhadap pati ubi jalar dengan kandungan amilosa
yang berbeda menunjukkan bahwa pati dengan kandungan amilosa lebih rendah lebih mudah
mengalami pergeseran profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C bila dimodifikasi HMT
selama 4 jam dan 8 jam, penambahan waktu modifikasi menjadi 16 jam menghasilkan pati
termodifikasi dengan profil gelatinisasi tipe B.

3. Pengaruh suhu dan kadar air


Perubahan yang terjadi pada pati yang dimodifikasi HMT disebabkan oleh adanya
interaksi antara amilosa dan amilopektin di dalam granula pati dengan air. Inhibisi air ke dalam
granula pati dimungkinkan oleh adanya suhu tinggi yang dapat memutuskan ikatan hidrogen
antara molekul amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, maupun amilopektin-amilopektin.
Ikatan hidrogen antara molekul tersebut kemudian digantikan oleh ikatan hidrogen dengan air.

8
Oleh karena itu, kadar air dan suhu yang diterapkan selama modifikasi kemungkinan akan
saling berinteraksi dalam mempengaruhi karakteristik pati termodifikasi yang dihasilkan.
Studi yang dilakukan dilakukan oleh Vermeylen et al. (2006) menunjukkan bahwa
pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang lebih tinggi mempunyai suhu gelatinisasi
yang lebih tinggi, kisaran suhu gelatinisasi yang lebih lebar, dan energi entalpi gelatinisasi
yang lebih rendah dibendingkan dengan pati termodifikasi HMT pada kadar air dan suhu yang
lebih rendah. Selain itu, pati termodifikasi pada suhu dan kadar air yang lebih tinggi
mempunyai ukuran lubang (kekosongan) di pusat granula yang lebih besar dan integritas
granula pati termodifikasi pada suhu 130oC telah hilang sebagian.

4. Pengaruh waktu dan suhu


Adanya pengaruh interaksi waktu dan suhu modifikasi HMT terhadap karakteristik
pati termodifikasi jagung dilaporkan oleh Ahmad (2009). Modifikasi yang dilakukan pada suhu
pemanasan 110oC selama 6 jam dapat menghasilkan pati termodifikasi dengan karakteristik
gelatinisasi tipe C, pati tersebut juga mempunyai kelarutan yang lebih rendah dan kekuatan gel
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada waktu dan suhu yang
berbeda.
Studi yang dilakukan oleh Lestari (2009), menunjukkan bahwa tepung jagung yang
dimodifikasi HMT pada berbagai modifikasi suhu dan waktu yang berbeda menghasilkan
tepung jagung dengan karakteristik gelatinisasi yang berbeda. Tepung jagung termodifikasi
dengan tipe C yaitu tepung yang mempunyai stabilitas panas dan pengadukan tinggi diperoleh
dengan kombinasi suhu 110oC dan waktu 6 jam. Selain itu, tepung tersebut juga mempunyai
swelling volume dan amylose leaching yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tepung
yang dimodifikasi pada perlakuan lainnya.
Studi yang dilakukan oleh Ahmad (2009) tidak menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan stabilitas pati dengan meningkatnya waktu dan suhu modifikasi HMT. Stabilitas
panas pasta pati meningkat dengan meningkatnya waktu modifikasi dari 12 jam menjadi 16
jam, namun stabilitas panas tersebut menurun dengan meningkatnya suhu modifikasi dari
110oC menjadi 120oC.

5. Pengaruh pH dan waktu


Menurut Collado dan Corke (1999), pH dan waktu modifikasi HMT mempengaruhi
profil gelatinisasi pari ubi jalar termodifikasi yang dihasilkan. Pati ubi jalar (kandungan
amilosa 15.2%) yang dimodifikasi HMT pada pH asal (6.5-6.7) mempunyai viskositas puncak
dan viskositas breakdown yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi
pada pH basa (pH 10) pada berbagai waktu modifikasi (4 jam, 8 jam, dan 16 jam). Hal ini
menunjukkan bahwa kestabilan pati yang dimodifikasi pada pH asal terhadap pemanasan dan
pengadukan lebih tinggi bila dibandingkan dengan pati yang dimodifikasi pada pH basa.
Peningkatan waktu modifikasi dari 4 jam menjadi 8 jam dan 16 jam cenderung meningkatkan
viskositas breakdown pati ubi jalar termodifikasi baik yang termodifikasi pada pH asal maupun
pH basa atau dapat dikatakan bahwa peningkatan waktu modifikasi cenderung menurunkan
kestabilan pati terhadap pemanasan dan pengadukan.

Anda mungkin juga menyukai