Akutansi Untuk Kontrak Bagi Hasil
Akutansi Untuk Kontrak Bagi Hasil
PAJAK LANJUTAN
Dosen Pembimbing : Dr. Salip,Ak,MSc
OLEH :
UNIVERSITAS TRISAKTI
2012
BAB I
Pendahuluan
Minyak dan gas bumi merupakan usaha yang memerlukan teknologi tinggi, padat
modal dan berisiko tinggi, oleh karena itu diperlukan pengelolaan yang benar-benar
profesional. Pencarian (exploration) minyak dan gas bumi merupakan kegiatan untung-
untungan (gambling), karena meskipun telah dipersiapkan secara cermat dengan biaya
yang besar, tidak ada jaminan bahwa kegiatan tersebut akan berakhir dengan penemuan
cadangan minyak.
Berbeda dengan pencarian atau eksplorasi, kegiatan refinery tidak banyak berbeda
dengan kegiatan pengolahan pada industri yang lain. Sedang usaha tanker merupakan
bagian khusus dari usaha perkapalan.
Sumber daya alam ini tidak terbarukan dan mempunyai peranan penting dalam
perekonomian nasional. Sehubungan dengan sifat dan karakteristik industri ini, maka
terdapat beberapa perlakuan akuntansi dan perpajakan yang berbeda dengan industri
lainnya.
Bab 2
Pembahasan
Production Sharing Contract merupakan suatu penggabungan usah (joint venture) antara
Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Pertamina dengan perusahaan lainnya untuk
mengeksploitasi minyak dan gas bumi yang pada dasarnya menguntungkan kedua belah
pihak. Kontrak Bagi hasil (PSC) ini mulai dikenal sejak diberlakukannya Undang-undang
nomor 7 tahun 1971. Dalam pasal 12-1 undang-undang ini dinyatakan bahwa dalam
melakukan kegiatannya, Pertamina diperkenankan untuk bekerja sama dengan pihak lain
dalam bentuk kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract. Dalam kontrak bagi
hasil ini, ditetapkan bahwa wewenang berada ditangan pemerintah Republik Indonesia
(yang diwakili oleh Pertamina). Peranan kontraktor minyak asing hanyalah sebagai
penyandang dana dan melaksanakan kegiatan operasi perminyakan.
Kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) memuat aturan-aturan yang khusus
yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak, terutama pihak yang mendapatkan kontrak
tersebut. Perlakuan akutansi yang khusus ini pada umumnya tidak menginduk pada
metode succesfull effort maupun metode full cost, walaupun klasifikasi biayanya tetap
berdasarkan kedua metode tersebut.
Dalam Production Sharing Contract accounting ini, perusahaan tidaklah diwajibkan untuk
menerbitkan neraca ataupun laporan keuangan. Akan tetapi, untuk kebutuhan manajemen
(intern) terutama untuk masalah pengendalian dan penerapan Responsibility Accounting.
Pertimbangan lainnya akan perlunya menyelenggarakan pencatatan bagi perusahaan yang
bergerak dengan Production Sharing Contract adalah untuk perhitungan perpajakan.
Penyelenggaraan pencatatan yang harus dilakukan adalah yang menyangkut total
produksi, total pendapatan, total cost recovery, dan total bagian kedua belah pihak.
Dalam Production Sharing Contract accounting ini, klasifikasi biaya-biayanya tetap dapat
mengacu pada kedua metode yang sudah exist (Succesfull effort dan Full Cost), akan
tetapi perlakuannya haruslah disesuaikan dengan muatan dalam kontrak yang telah
disepakati bersama.
1. Acquisition Cost (Biaya Akuisi)
Biaya akusisi meliputi biaya-biaya yang terjadi pada usaha-usaha perolehan
properti sampai dengan kontrak dan haknya siap untuk kegiatan/operasi
penambangan, termasuk signature bonus dan educational bonus. Dalam
Production Sharing Contract accounting, segala macam bonus tidak terjadi
apda kegiatan operasional. Dengan demikian, bonus ini tidak dapat
dimasukkan dalam cost recovery.
2. Exploration Cost (Biaya Eksplorasi)
Biaya-biaya eksplorasi meliputi biaya-biaya untuk melakukan kegiatan dalam
rangka memperoleh informasi mengenai ada atau tidaknya kandungan minyak
dan gas bumi pada suatu kawasan atau areal yang sedang dieksplorasi. Biaya-
biaya ini meliputi juga biaya-biaya kegiatan survey topografi, geologi, dan
geophisik baik gai para ahlinya/karyawan lainnya maupun biaya-biaya
peralatan untuk kegitatan survey tersebut.
3. Development Cost (Biaya Pengembangan)
Biaya pengembangan meliputi biaya-biaya yang terjadi untuk
mengembangkan sumur pengembangan (development well). Kegiatan tersebut
meliputi pencarian minyak dan gas bumi dari cadangan terbukti dengan
mempersiapkan fasilitas untuk extractiong (permurnian), treating
(pengolahan), gathering (pengumpulan), dan storing (penyimpanan) minyak
dan gas bumi. Sama dengan metode succesfull efforet, dalam metode full cost
biaya pengembangan ini juga akan dikapitalisasikan untuk dialokasikan pada
tahun-tahun pemanfaatannya.
4. Production Cost (Biaya Produksi)
Biaya produksi meliputi semua biaya yang dikeluarkan dalam rangka
memindahkan/mengangkat minyak dan gas bumi ke permukaan tanah.
Dengan demikian biaya produksi meliputi biaya extracting (pemurnian),
treating (pengolahan), gathering (pengumpulan), dan storing (penyimpanan)
minyak dan gas bumi di kilang-kilang perusahaan. Biaya-biaya produksi ini
terjadi pada kegiatan operasi perusahaan dan perawatan sumur.
5. Support Facilities (Biaya Peralatan Penunjang)
Peraltan penunjang, seperti kendaraan (truk), gudang, fasilitas camp, dan
fasilitas penunjang lainnya yang umur ekonomisnya lebih dari satu tahun.
Peralatan penunjang ini pada umumnya tidak berhubungan langsung dengan
kegiatan pencarian dan produksi minyak dan gas bumi, namun tetap berperan
untuk terlaksananya industri minyak dan gas bumi serta panas bumi secara
efisien, ekonomis, dan efektif. Dalam Production Sharing Contract accounting
adalah perlu untuk memisahkan biaya-biaya yang tangible dengan intagible,
khususnya dalam perlakuan terhadap biaya-biaya eksplorasi dan biaya-biaya
pengembangan.
Uraian PSC SE FC
Method Method Method
Biaya Produksi
- Konstruksi asset K K K
- Perawatan sumur
TDC K K K
IDC B K K
Peralatan Penunjang K K K
Keterangan :
NCR:Non Cost Recovery K: Kapitalisasikan B: Bebankan
IDC : Intangible Drilling & Development cost
TDC: Tangible Drilling & Development Cost
Laporan-laporan KPS
Pada Kontrak Production Sharing (KPS), manajemen ada di tangan pemerintah dalam hal
ini BPMIGAS. Setiap kali kontraktor mau mengembangkan lapangan dia harus
menyerahkan POD (Plan of Development) atau perencanaan pengembangan, WP&B
(Work Program and Budget) atau program kerja dan pendanaan serta AFE (Authorization
for Expenditure) atau otorisasi pengeluaran supaya pengeluaran bisa dikontrol.
Jadi, WP& B dipersiapkan tahunan. Setiap program atau proyek dalam WP & B harus
dibuat juga detail pelaksanaanya secara rinci dan biayanya untuk disetujui oleh
BPMIGAS, laporan itu disebut AFE. Dalam melakukan pencatatan cost yang actual
setiap kontraktor harus membuat laporan FQR (Financial Quarterly Report), berisi biaya-
biaya yang telah dikeluarkan dan termasuk ke dalam biaya cost recovery.
Cost Recovery
Cost recovery merupakan biaya operasi dalam rangka kegiatan operasi perminyakan yang
meliputi kegiatan eksplorasi, pengembangan dan eksploitasi minyak dan gas bumi yang
dapat dikembalikan dalam rangka kontrak kerja sama. Cost recovery mencakup seluruh
biaya, kecuali bonus-bonus dan biaya-biaya lain diluar persetujuan pemerintah.
Komposisi cost recovery, disampaikannya meliputi tiga hal yaitu non-capital berupa
exploration & development expenses; capital berupa depresiasi atas investasi aset KKKS;
serta unrecovered cost berupa pengembalian atas biaya operasi tahun-tahun sebelumnya
yang belum dapat diperoleh kembali.
Pada kontrak bagi hasil kontraktor berhak menerima pengembalian biaya selama tidak
melebihi persentase tertentu dari produksi tahunan pada daerah kontrak. Proporsi ini
dikenal sebagai cost oil. Kekurangan yang belum diperoleh di carried forward (bawa ke
depan) untuk recovery pada tahun-tahun berikutnya dengan prinsip yang sama cost oil
diberi nilai dengan menggunakan harga pasar dari minyak mentah sebelum dibandingkan
dengan recoverable cost.
Recoverable cost pada suatu tahun tidak mencerminkan apakah usaha tersebut hemat
biaya atau tidak. Pada awal produksi, sesudah investasi yang besar, recoverable cost
selalu tinggi. Apabila tidak ada royalty atau FTP (First Tranche Petroleum), bisa saja
recoverable cost sama dengan pendapatan. Pada lapangan yang tidak mengeluarkan
investasi lagi, dimana produksinya pasti turun, justru recoverable cost rendah karena dia
hanya mengeluarkan biaya operasi. Royalty (awalnya berasal dari upeti kepada royal
family atau keluarga kerajaan) adalah presentase dari pendapatan yang dibayarkan
kepada pemerintah. Sedangkan FTP adalah royalty yang di share (bagi) antara
pemerintah dan kontraktor. Dengan royalty dan FTP pemerintah mendapat jaminan
pendapatan sejak awal produksi.
Untuk mengetahui suatu pengelolaan suatu daerah kontrak migas efisen atau tidak, tidak
bisa diketahui dari recoverable cost tahunan. Untuk itu diperlukan POD (Plan of
Development) atau paling tidak recoverable cost jangka panjang. Kondisi geografi dan
geologi serta komposisi fluida reservoir yang berbeda menyebabkan lapangan yang satu
bisa lebih mahal biayanya dari yang lain. Optimasi pengembangan, yaitu memaksimalkan
pendapatan atau meminimumkan biaya, berdasarkan kondisi yang ada dilakukan dengan
pengelolaan reservoir, teknologi dan perusahaan yang terbaik. Pengelolaan lapangan tua,
lapangan marginal dan harga minyak yang tinggi menyebabkan biaya per barel lebih
tinggi. Biaya produksi migas jangan hanya diperhitungkan terhadap produksi minyak
saja, tetapi terhadap produksi minyak dan gas. Indikator yang perlu dilihat secara lebih
komprehenship adalah R/C (Revenue to recoverable cost ratio) karena disitu
diperhitungkan revenue (harga kali produksi) dan recoverable cost.
Pemerintah menetapkan 24 jenis biaya operasi minyak dan gas yang tidak dapat
dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan atau "cost recovery."
Kedua, pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan
pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana Hulu
Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan kontraktor dalam rekening bank umum
Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia. Ketiga, harta yang dihibahkan.
Keempat sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan kontraktor
karena kesengajaan atau kealpaan.
Kelima, biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik
negara. Sementara keenam, insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk
kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang
saham.
Ketujuh, biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan
tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA).
Kedelapan, biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi
perminyakan dalam rangka kontrak kerja sama.
Kesepuluh, biaya pemasaran minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya
pemasaran gas bumi yang telah disetujui Kepala BP Migas.
Kesebelas, biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok
wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;
Ke-12, biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi.
Ke-14, biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan "participating interest."
Ke-17, pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan
prinsip kewajaran dan kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai
persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10 persen dari nilai otorisasi pengeluaran.
Ke-18 adalah surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan
pembelian.
Ke-19, nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat
beroperasi lagi akibat kelalaian kontraktor.
Ke-20 adalah transaksi yang merugikan negara, tidak melalui proses tender sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal tertentu atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
Pembagian Pendapatan
Ditengah-tengah kebutuhan energy yang sangat besar pada saat ini, membuat negara-
negara yang memiliki sumber daya mineral banyak berusaha menarik investor untuk
melakukan investasi di negaranya masing-masing. Yang jadi permasalahan pada PSC di
Indonesia adalah, bagaimana produksi migas yang tahun demi tahun mengalami
penurunan tetapi cost recovery yang ditangguh pemerintah malah mengalami
peningkatan. Beberapa ahli menyatakan permasalahannya adalah pada gaji expatriate
yang berkali-kali lipat lebih tinggi dibanding dengan gaji karyawan local. Ada yang
berpendapat tidak adanya penghematan oleh KPS dalam melakukan pengembangan dan
pengeboran minyak dan gas. Sebagian lagi berpendapat adanya kelemahan dalam
pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap KPS-KPS. Untuk itu berbagai
penelitian dilakukan dan juga perbandingan dengan PSC-PSC di Negara lain. Di satu sisi
diakui PSC di Indonesia memiliki kelemahan. Masalah relinguishment juga disebut
sebagai suatu kelemahan. Untuk itu BP Migas sedang mendalami hal-hal yang menuntut
perubahan dalam PSC di Indonesia. Berikut adalah bagan pembagian pendapatan antara
Kontraktor dan pemerintah Indonesia:
2.2 Aspek Perpajakan
Berdasarkan Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No 10Tahun 2000, Pasal 33
(3) disebutkan Penghasilan kena pajak yang diterima atau diperoleh dalam bidang
pertambangan migas sehubungan dengan kontrak bagi hasil, dikenakan pajak berdasarkan
Ordonansi PPs 1925 dan PBDR 1970 beserta semua peraturan pelaksanaannya. Dan
dalam Undang-undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang No 10 Tahun 2000, Pasal 33 A ayat (4) UU
Pajak Penghasilan 1994 disebutkan bahwa Wajib Pajak yang menjalankan usaha di
bidang pertambangan migas berdasarkan kontrak bagi hasil yang masih berlaku pada saat
berlakunya undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak
bagi hasil tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak dimaksud.
Maka, ketentuan dalam kontrak Production Sharing Contract merupakan lex specialis
untuk memberikan kepastian hukum dan usaha bagi Kontraktor di bidang hulu Migas.
Terdapat berbagai instrumen perpajakan atas kontrak bagi hasil. Seperti Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Lain-lain.
Aspek Pajak Penghasilan dalam Kontrak Bagi Hasil meliput Pajak Penghasilan Badan
dan withholding tax seperti PPh Pasal 21, 22, 23, dan 26. Kontraktor Production Sharing
harus membayar PPh Badan dan pajak final atas laba setelah pajak (Branch Profit Tax).
Sebagaiman yang tercantum dalam kontrak . Contractor severally be subject to and
pay to the Government of the Republic of Indonesia the income tax including the final
tax on profits after tax deduction imposed on it Kontraktor Production Sharing wajib
mematuhi persyaratan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, terutama
yang berkaitan dengan memasukkan Sura Pemberitahuan Pajak Terutang (SPT),
menghitung dan menyetor pajak, membuat dan menyimpan pembukuan/catatan .
Dengan demikian cost of oil harus sama dengan cost of tax, atau biaya-biaya operasi
yang boleh dibebankan (cost recoverable) menurut kontrak PSC harus sama dengan
biaya-biaya yang boleh dibebankan menurut UU PPh (tax deductible). Dan diperkuat
dengan Surat Edaran Bersama Ditjen Pajak dan Ditjen Moneter No SE-75/PJ/1990.
Ketentuan mengenai pemotongan dan pemungutan untuk Kontraktor KBH secara umum
mengikuti ketentuan perpajakan yang berlaku. Dalam hal ini terkait dengan pemotongan
dan pemungutan PPh Pasal 21, 23 dan 26 diberlakukan sesuai ketentuang perundangan
yang berlaku. Mengingat asset-asset yg diimpor KPS merupakan milik Pemerintah, maka
atas impor tsb tidak dipungut PPh Pasal 22 (SE-34/PJ.24/1985)
Dalam Kontrak production sharing contract terdapat Klausul Pajak yang menyebutkan
Pemerintah Indonesia menanggung dan membebaskan pajak lainnya selain pajak
penghasilan yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea masuk, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), dan lain-lain. Pertamina, except with respect to Contractors obligation
to pay the income tax and the final tax on profits after tax deduction, ASSUME and
DISCHARGE all other Indonesian taxes of Contractor including value added tax, transfer
tax, import and export duties on materials, equipment and supplies brought into Indonesia
by Contractor , its contractors and subcontractors exactions in respect of property,
capital, net worth, operations, remittances or transactions including any tax or levy on or
in connection with operations performed hereunder by Contractor.
Pajak Pertambahan Nilai dan Bea Masuk Disebabkan Crude Oil (minyak mentah) adalah
bukan merupakan Barang Kena Pajak (BKP), maka Kontraktor Production Sharing bukan
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masukan yang harus dibayar oleh Kontraktor
Production Sharing akan dikembalikan (direimburse) oleh Pertamina / BP Migas. Hal ini
memiliki dasar Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 64/Pmk.02/2005
Tentang Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah Atas Perolehan Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak Yang
Digunakan Oleh Badan Usaha Atau Bentuk Usaha Tetap Dalam Pengusahaan Minyak
Dan Gas Bumi.
Demikian juga halnya dengan impor barang modal oleh Kontraktor Production Sharing
tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) impor. Mengingat barang modal tsb
adalah milik Pemerintah (Pasal 15d UU 8/1971). Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 97/Pmk.010/2006 Tentang Pembebasan Bea
Masuk Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi, bahwa
atas barang modal yang diimpor oleh Kontraktor Production Sharing dikenakan tarif Bea
Masuk sebesar 0% (nol per serartus). PBB dan Pajak / Retribusi Daerah Sama halnya
dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka Kontraktor Production Sharing tidak akan
dibebani dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan
sebagainya. Pertamina atau BP Migas akan membayar pajak-pajak tersebut yang diambil
dari bagian pemerintah (Government share) sesuai dengan tagihan yang diterima oleh
Kontraktor Production Sharing.
Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan di bidang usaha hulu minyak dan/atau gas bumi adalah sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ./2010 tentang
Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang
Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya, dan perubahannya.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dilampiri dengan keterangan
dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
termasuk Financial Quarterly Report untuk periode terakhir Tahun Pajak yang
bersangkutan dan Bukti penyetoran Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang usaha hulu minyak dan/atau gas bumi
wajib mengisi Lampiran Khusus Penghitungan Pajak Penghasilan bagi Kontraktor
Kontrak Kerja Sama Migas, Lampiran Khusus Rincian Biaya dalam rangka Kontrak
Kerja Sama Migas, dan Lampiran Khusus Daftar Penyusutan dalam Rangka Kontrak
Kerja Sama Migas.
Bentuk Lampiran Khusus serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Bab 3
3.1. Kesimpulan
PSC di Indonesia memang dinilai tidak luwes. Kita harus menerima kenyataan
dilematis bahwa di satu sisi kita masih sangat tergantung pada sumber daya asing dalam
mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya migas, dan di sisi lain kita memang
belum mampu mandiri dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam kegiatan usaha
hulu migas. Sehingga bagaimanapun kita harus tetap bersikap sebagai tuan rumah yang
ramah bagi investor asing. Apalagi kegiatan usaha hulu migas kita terus dikejar-kejar
target APBN di tengah-tengah level produksi yang belum mampu mencapai target dan
jumlah cadangan terbukti yang kian menipis. Untungnya, dari sisi finansial, kemungkinan
target pendapatan dapat dicapai karena terbantu oleh indeks ICP yang dalam periode
Januari-Oktober 2011 rata-rata US$ 111,49 per barel (www.esdm.go.id) di atas asumsi
ICP dalam APBN-P 2011 yang dipatok US$ 95 per barel.
Berbagai wacana perubahan termin PSC tersebut di atas tentunya sangat mungkin
dapat diberlakukan terhadap kontrak-kontrak baru baik terhadap wilayah kerja baru
atau wilayah kerja yang sudah habis masa kontraknya. Terhadap kontrak yang sudah
berjalan (existing) harus esktra hati-hati sebab menyangkut contract sanctity dan reputasi
Indonesia di dunia internasional. Langkah radikal yang dilakukan negara-negara Amerika
Latin dalam menasionalisasi pengelolaan migasnya belum tentu cocok dan belum tentu
benar jika dilakukan di Indonesia.
3.2. Saran