PELAYANAN TB
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN HADLIRIN JEPARA
2017
Disusun :
ii
BAB VIII PENINGKATAN MUTU
A. Proporsi Pasien TB BTA + Diantara Suspek......................................................... 18
B. Tercatat/Terobati.................................................................................................... 18
C. Angka Kesembuhan............................................................................................... 18
BAB IX PENUTUP..................................................................................................... 20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 2014 di Indonesia ditemukan jumlah kasus baru BTA+ sebanyak
176.677 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang ditemukan tahun 2013
yang sebesar 196.310 kasus.Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi
dengan jumlah penduduk yangbesar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kasus baru BTA+ di tiga provinsi tersebut sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di
Indonesia.
Menurut jenis kelamin, kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan
yaitu 1,5 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan. Pada masing-masing provinsi
di seluruhIndonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan.Menurut kelompok umur, kasus baru paling banyak ditemukan pada
kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 20,76% diikuti kelompok umur 45-54 tahun
sebesar 19,57% dan pada kelompok umur 35-44 tahun sebesar 19,24%.
Kondisi ini diperparah oleh kejadian HIV yang semakin meningkat dan
bertambahnya jumlah kasus kekebalan ganda kuman TB terhadap OAT atau MDR-TB
bahkan XDR-TB. Keadaan ini akan memicu epidemi TB yang sulit dan terus menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang utama.
Intervensi dengan strategi DOTS kedalam pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas)
telah dilakukan sejak tahun 1995. Khusus untuk institusi pelayanan rumah sakit dan Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM)/Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)
intervensi baru dilakukan secara aktif sejak tahun 2000. Pelaksanaan DOTS di rumah
sakit mempunyai daya ungkit dalam penemuan kasus (Case Detection Rate/CDR), angka
keberhasilan pengobatan (cure rate) dan angka keberhasilan rujukan (succes referal rate).
Strategi DOTS terdiri dari:
1. Komitmen politis.
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang terstandar bagi semua kasus TB, dengan
penatalaksanaan kasus secara tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. Jaminan ketersediaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Untuk menanggulangi masalah TB, strategi DOTS harus diekspansi dan
diakselerasi pada seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbagai institusi terkait termasuk
rumah sakit pemerintah dan swasta, dengan mengikutsertakan secara aktif semua pihak
dalam kemitraan yang bersinergi untuk penanggulangan TB.
1
Data hasil asesmen juga menunjukkan adanya hubungan yang erat antara komitmen
direktur rumah sakit terhadap keberhasilan penyelenggaraan DOTS di RS. Sementara dari
sejumlah 59% rumah sakit yang telah memilki Tim DOTS, hanya 28% tim DOTS yang
dibentuk bekerja optimal. Sementara 72% rumah sakit yang telah memiliki sumber daya
manusia yang terlatih DOTS (dokter umum, dokter spesialis, paramedik, petugas
laboratorium maupun farmasi), namun tidak dimanfaatkan secara baik oleh pihak
manajemen rumah sakit, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain strategi
DOTS belum menjadi komitmen manajemen di rumah sakit disebabkan oleh sosialisasi
yang kurang optimal. Hal ini tercermin hanya 17% RS yang melaksanakan strategi DOTS
secara optimal.
Pelaksanaan program TB DOTS di RumahSakit Islam Sultan HadlirinJepara juga
diharapkan dapat memberikan pelayanan terpadu, sama bagi seluruh pasien, dan
menyeluruh. Tercapainya pelayanan paripurna TB DOTS juga tentunya membutuhkan
komitmen kuat dari direktur rumah sakit, tenaga kesehatan profesional pemberi asuhan,
dan komponen lain yang turut terlibat.
B. TUJUAN PEDOMAN
Meningkatkan mutu pelayanan tuberkulosis di Rumah Sakit Islam Sultan Hadlirin
Jepara melalui penerapan strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan
kesembuhan dan pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan serta memenuhi etika kedokteran.
D. BATASAN OPERASIONAL
1. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang ditimbulkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.
2. DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) adalah pengawasan langsung
pengobatan tuberkulosis jangka pendek dengan tujuan menjamin kesembuhan bagi
penderita, mencegah penularan, mencegah resistensi obat, mencegah putus berobat
2
dan segera mengatasi efek samping obat jika timbul, yang pada akhirnya dapat
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia.
3. OAT adalah Obat Anti Tuberkulosis, obat yang diberikan bagi penderita tuberkulosis
dengan sistem multidrug.
4. TB MDR adalahtuberkulosis resistan obat terhadap minimal 2 (dua) obat
anti tuberkulosis yang paling poten yaitu Isoniazid dan Rifampisin secara bersama
sama atau disertai resisten terhadap obat anti tuberkulosis lini pertama lainnya seperti
etambutol, streptomisin dan pirazinamid.
5. TB-HIV merupakan infeksi oportunistik tuberkulosis pada orang dengan HIV dan
AIDS (ODHA). Kolaborasi TB-HIV adalah upaya pengendalian kedua penyakit
dengan mengintegrasikan kegiatan kedua program secara fungsional, baik pada aspek
menajemen kegiatan program maupun penyediaan pelayanan bagi pasien .
E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang
PraktikKedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 153);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tetang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5589);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
565/Menkes/Per//III/2014tentang Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulsis;
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009
tentangPedoman Penanggulangan Tuberkulosis;
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/Menkes/305/2014 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis;
8. Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Jepara (Lembaran Daerah Kabupaten
JeparaTahun 2010 Nomor 18, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Jepara Nomor
18);
3
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
4
B. PENGATURAN JAGA
Pelayanan klinik TB DOTS dilaksanakan setiap hari SeninSabtu, pukul 08.00
15.00, dilaksanakan oleh satu dokter spesialis paru, dua orang perawat terlatih yang juga
bertugas untuk administrasi dan pencatatan.
5
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. DENAH RUANG
RUANG TB TEMPAT
DOTS PENGAMBILA
N DAHAK
POLIKLINIK
PARU
RUANG
TUNGGU
6
B. STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan
dan fungsi pelayanan DOTS yang optimal bagi pasien TB dengan kriteria:
1. Tersedia ruangan khusus pelayanan TB (Unit DOTS) yang berfungsi sebagai pusat
pelayanan TB di Rumah sakit meliputi kegiatan diagnostik, pengobatan, pencatatan
dan pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal/eksternal DOTS.
2. Ruangan telah memenuhi persyaratan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI-TB)
di Rumah Sakit.
3. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayan medis TB.
4. Tersedia ruangan bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan keluarga.
5. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis
dahak.
6. Daftar Inventaris Ruang DOTS
a. Tempat tidurperiksa.
b. Mejatulis.
c. Kursi.
d. Rakpenyimpananformulir TB.
e. Lampubacarontgen.
f. Stetoskop.
g. Handschoon.
h. Masker.
i. Timbangan.
j. Telepon.
k. Wastafel.
l. Tempatsampahinfeksiusdan non infeksius.
m. Lampu ultra violet.
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN
7
Salah satu unsur penting dalam penerapan DOTS di rumah sakit adalah komitmen
yang kuat antara pimpinan rumah sakit, komite medik dan profesi lain yang terkait
termasuk administrasi dan prasarana penunjang, antara lain :
1. Dibentuk tim DOTS RS yang terdiri dari seluruh komponen yang terkait dalam
penanganan pasien TB (dokter, perawat, petugas laboratorium, petugas farmasi,
rekam medik dan PKRS).
2. Disediakan ruangan untuk kegiatan Tim DOTS yang melakukan pelayanan DOTS.
3. Pendanaan untuk pengadaan sarana, prasarana dan kegiatan.
4. Sumber pendanaan diperoleh dari rumah sakit.
5. Program Nasional Penanggulangan TB memberikan kontribusi dalam hal pelatihan,
OAT, mikroskop dan bahan-bahanlaboratorium.
6. Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan pada penerapan DOTS tb 01, 02,
03 , 04,05,06,09,10 dan buku registrasi pasien TB di rumah sakit.
C. PEMBENTUKAN JEJARING
Rumah sakit memiliki potensi besar dalam penemuan pasien tuberkulosis (case
finding), namun memiliki keterbatasan dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan
pengobatan pasien (case holding) jika dibandingkan dengan Puskesmas. Karena itu perlu
dikembangkan jejaring rumah sakit baik internal maupun eksternal. Suatu system jejaring
dapat dikatakan berfungsi secara baik apabila angka default rate < 5 % pada tiap rumah
sakit.
1. Jejaring internal rumah sakit.
8
Adalah jejaring yang dibuat di dalam rumah sakit yang meliputi seluruh unit
yang menangani pasien tuberkulosis. Koordinasi kegiatan dilaksanakan oleh tim
DOTS rumah sakit. Tim DOTS rumah sakit mempunyai tugas perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, serta evaluasi kegiatan DOTS di rumah sakit.
Di R Jepara pelayanan pasien TB rawat inap dilaksanakan sebagai berikut:
a. Menemukan kasus suspek TB dan mencatat dalam format data pasien TB/suspek
TB.
b. Berkoordinasi dengan DPJP/DU bangsal/perawat ruangan untuk pemeriksaan
dahak SPS (pasien dewasa) dan pemantauan hasilnya.
c. Melakukan pemeriksaan BTA SPS (pasien dewasa).
d. Melaporkan hasil BTA sputum ke DPJP dan mencatat dalam format data pasien
TB/suspek TB.
e. Mengusulkan pengobatan dengan paket FDC.
f. Memantau pengobatan pasien selama dirawat di bangsal.
g. Melaporkan hasil pencatatan ke klinik DOTS tanggal 1 di setiap bulannya,
kecuali hari libur.
h. Pengiriman laporan setiap ada kasus ke klinik DOTS dengan blangko khusus.
2. Jejaring Eksternal
Adalah jejaring yang dibangun antara dinas kesehatan, rumah sakit, puskesmas
dan UPK lainnya dalam penanggulangan TB dengan strategi DOTS. Tujuan jejaring
eksternal :
a. Semua pasien TB mendapatkan akses pelayanan DOTS yang berkualitas, mulai
dari diagnosis, follow up sampai akhir pengobatan.
b. Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien sehingga
mengurangi jumlah pasien yang putus berobat.
c.
D. MEKANISME RUJUKAN DAN PINDAH
Prinsipnya memastikan pasien TB yang dirujuk/pindah akan menyelesaikan
pengobatannya dengan benar ditempat lain.
1. Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit, maka harus dibuatkan
kartu pengobatan TB (TB-01) di rumah sakit.
2. Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit surat pengantar atau formulir (TB-09)
dengan menyertakan TB-01 dan OAT (bila telah dimulai dibuat pengobatan).
3. Formulir TB-09 diberikan kepada pasien beserta sisa OAT untuk diserahkan kepada
UPK yang dituju.
4. Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke koordinator
DOTS tentang pasien yang dirujuk.
5. UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan mengirimkan kembali
TB-09 (lembar bagian bawah) ke UPK asal.
6. Koordinator HDL memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan di
UPK yang dituju (dilakukan konfirmasi melalui telepon atau SMS).
7. Bila pasien tidak ditemukan di UPK yang dituju, peugas TB UPK dituju melacak
sesuai alamat pasien.
9
8. Koordinator HDL memberikan umpan balik kepada UPK asal tentang pasien yang
dirujuk.
BAB V
LOGISTIK
A. PERENCANAAN
1. Perencanaan kebutuhan OAT dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah (bottom
up planning) dan dilakukan terpadu dengan perencanaan obat lainnya. Perencanaan
OAT memperhatikan:
a. Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya.
b. Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan.
c. Sisa stock yang ada.
d. Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi
kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan).
2. Perencanaan kebutuhan medis dan non-medis lain seperti alat tulis kantor, formulir,
alat kesehatan, dilakukan sesuai kebutuhan per bulannya. Logistik penunjang lainnya
(seperti: Buku pedoman TB, Modul Pelatihan, Materi KIE) dihitung berdasarkan
kebutuhan.
10
B. PERMINTAAN DAN PENGADAAN
1. Permintaan barang medis
a. Permintaan OAT dilaksanakan dengan cara berkoordinasi dengan DKK
Kabupaten Jepara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
b. Permintaan barang medis lainnya dilakukan ke bagian pembelian medis, dengan
form permintaan barang.
c. Pengadaan barang medis dipesan melalui satu pintu oleh bagian pembelian
medis setelah barang diterima kemudian didistribusikan ke bagian unit kerja
yang membutuhkan.
2. Permintaan barang non medis
a. Permintaan barang dilakukan ke bagian gudang non medis dengan form
permintaan barang
b. Pengadaan barang dipesan melalui satu pintu oleh bagian gudang non medis,
setelah barang diterima kemudian didistribusikan ke unit kerja yang
membutuhkan.
3. Penyimpanandan pendistribusian OAT
OAT disimpan di rakpenyimpanan OAT sesuai persyaratan obat. Penyimpanan
disusun berdasarkan FEFO (First Expired First Out), artinya yang kadaluarsa lebih
awal harus diletakkan di depan agar dapat diberikan lebih awal. Pendistribusian OAT
dengan dokumen yang memuat jenis, jumlah, kemasan, nomor batch dan bulan serta
tahun kadaluarsa.
11
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
12
Bahwa untuk mendapatkan keakuratan informasi dalam proses serah terima pasien,
petugas menggunakan tehnik SBAR dan TBAK.
1. SBAR
Digunakan saat serah terima pasiendan melaporkan kondisi pasien kepada dokter
S : Menyebutkan situasi atau keadaan dari pasien
B : Menyebutkan alatar belakang dari keadaan pasien tersebut
A : Menyebutkan kesimpulan dari keadaan pasien tersebut
R : Meminta rekomendasi ataub instruksi dari dokter atau penerima laporan
2. TBAK
Adalah cara saat petugas menerima instruksi yaitu dengan cara menulis,
kemudian membaca ulang dan konfirmasi.
Hal ini harus dilakukan supaya tidak ada instruksi yang keliru
Setiap pasien yang akan dilakukan tindakan operasi akan dilakukan penandaan pada
lokasi atau sisi yang akan dilakukan operasi oleh dokter dengan menggunakan tanda
lingkaran. Setiap pasien yang akan dilkaukan operasi harus dilakukan identifikasi sesuai
dengan prosedur.
Untuk mengurangi resiko infeksi di ruang rawat inap maka setiap petugas
kesehatan, keluarga maupun pengunjung pasien harus melakukan hand hygiene dengan 6
langkah pada 5 momen, yaitu:
1. Sebelum kontak dengan pasien.
2. Sesudah kontak dengan pasien.
3. Sebelum dan sesudah melakukan tindakan kepada pasien.
4. Sesudah masuk lingkungan pasien.
5. Sesudah terkena darah atau cairan tubuh pasien.
13
2. Asesmen ulang resiko jatuh dilakukan di ruang rawat jalan dan inap atau jika terjadi
perubahan kondisi klinis pasien. Setiap pasien dengan resiko jatuh dipasang gelang
berwarna kuning yang bergambar perawat atau keluarga menurut keadaan pasien.
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
14
Pelindung tangan yang digunakan petugas berfungsi untuk melindungi petugas
dari paparan cairan tubuh pasien.
3. Pelindung pernafasan (respiratory protection ).
Alat pelindung ini digunakan untuk melindungi petugas dari penularan
penyakit via droplet dan juga melindungi pasien dari penularan penyakit. Pada kasus
pasien yang mengidap TBC aktif, Varicella, flu, dll.
4. Pakaianpelindung (protection clothing)
Pakaian pelindung digunakan untuk melindungi petugas dari cairan tubuh
pasien.
15
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang
diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai
diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.
Rumus:
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlalu kecil (< 5%) kemungkinan disebabkan:
1. Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi criteria
suspek, atau;
2. Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negative palsu).
16
B. TERCATAT/DIOBATI
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan penemuan pasien Tuberkulosis
yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
Rumus :
Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu
berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan
pasien yang menular (pasien BTA positif).
Rumus :
17
BAB IX
PENUTUP
DIREKTUR
RUMAH SAKIT ISLAM
SULTAN HADLIRIN JEPARA
18
dr. H.GUNAWAN W.S. DTMH,M.Kes.
19