PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu saja yang ditandai
Malang dan Kota Yogyakarta. Lima tahun kemudian (1969), program pengendalian TB
periode 1972-1995 penanganan TB tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi melalui
secara bertahap. Pada tahun 1993, the Royal Natherlands TB Association (KNCV)
melakukan uji coba strategi DOTS di empat kabupaten di Sulawesi Tahun 1994, NTP
bekerja sama dengan WHO dan KNCV melakukan uji coba implementasi DOTS di
Kesehatan mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun
1995. Pada tahun 1995-2000, pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai
1
Untuk mendorong peningkatan cakupan strategi DOTS dan pencapaian targetnya
dilakukan dua Joint External Monitoring Mission oleh tim pakar Internasional.
provinsi.
daya manusia.
IUATLD, dll).
7. Keterlibatan BP4 dan rumsah sakit pemerintah dan swasta dalam melaksanakan
Keberhasilan target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan dapat dicapai
pada periode tahun 2006-2010. Selain itu, berbagai tantangan baru dalam implementasi
strategi DOTS muncul periode ini. Tantangan tersebut antara lain penyebaran ko-infeksi
TB-HIV, peningkatan resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang sangat
2
pengendalian TB pada periode ini antara lain Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
menggunakan pelayanan rumah sakit, BP4 dan praktik swasta untuk tempat berobat.
Ujicoba, implementasi dan akselerasi pelibatan FPK selain Puskesmas sebagai bagian
dari inisiatif Public-public Mix telah dimulai pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2007
seluruh BP4 dan sekitar 30% rumah sakit telah menerapkan strategi DOTS. Untuk
praktik swasta, strategi DOTS belum diimplementasi secara sistematik, meskipun telah
dilakukan ujicoba model pelibatan praktisi swasta di Palembang pada tahun 2002 serta
Untuk akselerasi DOTS di rumah sakit, sekitar 750 dari 1645 RS telah dilatih.
Koordinasi di tingkat pusat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan semakin
intensif. Selain itu Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan juga melakukan penilaian
ke beberapa rumah sakit yang telah menerapkan DOTS. Penguatan aspek regulasi dalam
kesembuhan dan pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang dapat
3
DASAR HUKUM
Kedokteran.
Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai Kesehatan / Pengobatan Penyakit Paru.
4
BAB II
GAMBARAN UMUM
RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS
Rumah Sakit Medika Gria didirikan pada tahun 1990, oleh I. Bambang
Sumatri. Pada awal pembangunan, bangunan rumah sakit terdiri dari 2 lantai, berdiri
pada tanah seluas 3.452,4 m2 terletak di Jln. Danau Sunter Utara, Nirwana Sunter Asri.
Pada tanggal 18 Desember 1991, rumah sakit mulai beroperasi dan diresmikan oleh
Menteri Kesehatan RI Bapak Adhiyatma, MPH. Rumah Sakit ini didirikan sebagai
sarana pemeliharaan kesehatan bagi warga dan masyarakat Sunter Paradise khususnya
sarana fisik bangunan rumah sakit yaitu membangun gedung ang lebih representative
yang terdiri dari 8 lantai dengan luas bangunan 7.868 m2. Seluruh proses pengembangan
ini dapat diselesaikan pada tahun 2003. Untuk melengkapi pelayanan kesehatan, pada
tahun yang sama tepatnya tanggal 8 Agustus, Rumah Sakit Medika Gria menjadi rumah
sakit pusat laktasi dan diresmikan oleh Menteri Kesehatan Bapak dr. Achmad Sujudi,
MPH. Tujuan utama adalah agar bayi-bayi yang baru lahir di Rumah Sakit Medika Gria
memiliki system kekebalan tubuh yang prima serta dapat tumbuh dan berkembang
dengan baik yang dengan memberikan ASI ekslusif sampai dengan usia 6 bulan.
Sebagai wujud nyata dari cinta kasih yang mendalam, pada awal tahun 2005
klinik Medika Gria yang terletak di Sunter Permai Raya yang bernama KITTY
5
Selain sebagai rumah sakit laktasi, pada tahun 2001 Rumah Sakit Medika Gria
Tujuan membuka klinik ini adalah untuk memberikan pelayanan bagi pasien-pasien
gagal ginjal dengan biaya yang lebih murah dengan tetap memberikan pelayanan
terbaik.
Pada bulan Juli 2005 rumah sakit Medika Gria kembali melakukan
pengembangan sarana fisik bangunan rumah sakit. Sampai sekarang ini luas bangunan
rumah sakit telah meningkat menjadi 13.802 m dan berdiri di atas tanah seluas 5.040
m2. Perluasan bangunan rumah sakit ini dengan sendirinya menambah kapasitas tempat
tidur yang menjadi 200 tempat tidur. Selain bangunan rumah sakit, sarana penunjang
Selain pengembangan fisik bangunan rumah sakit, Rumah Sakit Medika Gria
juga melakukan pengembangan non fisik yang tujuan utamanya adalah untuk
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Salah satu pengembangan yang telah
Medik Indonesia dan Rumah Sakit Medika Gria. Tujuan dan kerja sama ini adalah
Sakit Medika Gria sebagai rumah sakit pendidikan dengan menyediakan lahan bagi staf
pengajar FKUI untuk berkarya. Kerja sama ini akan meningkatkan pelayanan rumah
6
Pada tanggal 1 Maret 2007 nama Rumah Sakit Medika Gria berubah menjadi
Royal Progress International Hospital. Kemudian pada tanggal 30 Oktober 2009, Royal
Progress International Hospital berubah menjadi Rumah Sakit Royal Progress sesuai
tanggal 28 Februari 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Rumah Sakit Royal Progress merupakan rumah sakit umum dengan kapasitas
188 tempat tidur, merupakan milik Yayasan Sejahtera Progress. Royal Progress
pokok :
7
BAB III
VISI :
MISI :
kepuasan pelanggan.
FALSAFAH :
NILAI
PRO : Proaktif dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan Royal Progress
S : Saling menguntungkan
8
TUJUAN (GOAL)
pelanggan.
dan pelatihan, serta upaya peningkatan kesejahteraan yang adil dan manusiawi.
9
BAB IV
VISI :
Memberikan akses terhadap pelayana yang bermutu bagi setiap pasien TB di Rumah
MISI :
Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan rantai penularan,
FALSAFAH :
Pelayanan TB menggunakan strategi DOTS disediakan dan diberikan kepada pasien
sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir dan standar yang telah disepakati
oleh seluruh organisasi profesi di dunia, serta memanfaatkan fasilitas Rumah Sakit
Royal Progress secara optimal.
TUJUAN :
Untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di Rumah Sakit Royal Progress melalui
penerapan strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan kesembuhan dan
pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan
serta memenuhi etika kedokteran.
SASARAN :
Sasaran program pelayanan tuberculosis dengan strategi DOTS adalah para pasien TB,
keluarga pasien dan tim DOTS RS Royal Progress.
10
BAB V
STANDAR KETENAGAAN
POLA KETENAGAAN
Mengingat pelaksanaan pelayanan TB di rumah sakit sangat rumit dengan
keterlibatan pelbagai bidang disiplin ilmu kedokteran serta penunjang medik, baik di
poliklinik, maupun bangsa bagi pasien rawat jalan dan rawat inap serta rujukan pasien
dan specimen, maka dalam pengelolaan TB di rumah sakit dibutuhkan manajemen
tersendiri dengan dibentuknya Tim DOTS di Rumah Sakit Royal Progress.
URAIAN JABATAN
Ketua Tim adalah seorang dokter spesialis paru dan merangkap sebagai anggota.
DOTS di RS
11
Uraian Tugas :
Wewenang :
Hasil kerja :
Wakil Ketua Tim adalah seorang dokter umum dan merangkap sebagai anggota.
12
Kualifikasi :
Rumah Sakit
ketua berhalangan.
DOTS.
Uraian Tugas :
DOTS.
dan memperbaiki cara kerja dan pedoman kerja yang aman dan efektif.
dan fasilitasinya.
13
Uraian Wewenang :
Hasil Kerja :
1. Analisa DOTS
2. Pelaporan DOTS
Kualifikasi :
Rumah Sakit
Tanggung Jawab :
Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepada Ketua dan Wakil DOTS
Tugas Pokok :
Uraian Tugas :
14
Uraian Wewenang :
Berdiri secara mandiri dan aktif untuk memberikan sarana perencanaan dan
Hasil kerja :
15
BAB VI
STANDAR FASILITAS
Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan
Kriteria :
1. Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB (Unit DOTS) yang berfungsi sebagai
mikroskopis dahak
16
Daftar Inventaris Ruang DOTS
infeksius
16. Lampu Ultra Violet 2 Unit
BAB VII
Salah satu unsur penting dalam penerapan DOTS di rumah sakit adalah komitmen yang
kuat antara pimpinan rumah sakit, komie medik dan profesi lain yang terkait termasuk
adminsitrasi dan operasionalnya. Untuk itu perlu dipenuhi kebutuhan sumber daya
manusia, sarana dan prasarana penunjang, antara lain :
17
Di bentuk tim DOTS RS yang terdiri dari seluruh komponen yang terkait dalam
penanganan pasien tuberculosis (dokter, perawat, petugas laboratorium, petugas
farmasi, rekam medik dan PKRS).
Disediakan ruangan untuk kegiatan tim DOTS yang melakukan pelayanan
DOTS.
Pendanaan untuk pengadaan sarana, prasarana dan kegiatan disepakati dalam
MOU antara rumah sakit dan dinas kesehatan setempat.
Sumber pendanaan diperoleh dari rumah sakit.
Program Nasional Penganggulangan TB memberikan kontribusi dalam hal
pelatihan, OAT, mikroskop dan bahan-bahan laboratorium
Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan pada penerapan DOTS
01,02,03 UPK 04,05,06,09,10 dan buku registrasi pasien tuberculosis di rumah
sakit.
18
6. Menyediakan tempat untuk tim DOTS di dalam rumah sakit sebagai tempat
koordinasi dan pelayanan terhadpa pasien tuberculosis secara komprehensif
(melibatkan semua unit di rumah sakit yang menangani pasien tuberculosis).
7. Menyediakan tempat / rak penyimpanan OAT di ruang DOTS.
8. Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai
standar.
9. Menggunakan format pencatatan sesuai program tuberculosis nasional untuk
memantau pelaksanaan pasien.
10. Menyediakan biaya operasional.
Pembentukan Jejaring
Rumah sakit memiliki potensi besar dalam penemuan pasien tuberculosis (case finding),
namun memiliki keterbatasan dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan
pengobatan pasien (care holding) jika dibandingkan dengan puskesmas. Karena itu
perlu dikembangkan jejaring rumah sakit baik internal maupun eksternal.
Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabla angka default rate
<5% pada tiap rumah sakit.
a. Jejaring Internal Rumah Sakit
Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat di dalam rumah sakit yang meliputi
seluruh unit yang menangani pasien tuberculosis. Koordinasi kegiatan
dilaksanakan oleh pelaksanaan, monitoring serta evaluasi kegiatan DOTS di
rumah sakit. Tim DOTS berada dibawah komite medik atau Direktur Pelayanan
Medik Rumah Sakit dan dikukuhkan dengan SK Direktur Rumah Sakit.
Pimpinan RS
Komte Medik
TIM DOTS
UNIT DOTS
Laboratorium
Poli Umum
Radiologi
Poli Spesialis
Farmasi
UGD
19 Rekam Medis
Rawat Inap
PKMRS
Fungsi masing-masing unit dalam jejaring internal RS :
1. Tim DOTS berfungsi sebagai temapt penanganan seluruh pasien TB di
rumah sakit dan pusat informasi tentang TB. Kegiatannya meliputi
konseling, penentuan klasifikasi dan tipe, kategori pengobatan, pemberian
OAT, penentuan PMO, follow up hasil pengobatan dan pencatatan
2. Poli Umum, UGD dan poli spesialis berfungsi menjaring tersangka pasien
TB, menegakkan diagnosis dan mengitim pasien ke Tim DOTS RS.
3. Rawat inap berfungsi sebagai pendukung tim DOTS dalam melakukan
penjaringan tersangka serta perawatan dan pengobatan.
4. Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostik.
5. Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik
6. Farmasi berfungsi sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap
ketersediaan OAT.
7. Rekam medis berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam pencatatan
dan pelaporan.
8. PKRS berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam kegiatan penyuluhan.
Poli Umum Lab mikrobiologi
PASIEN
UMUM Poli Spesialis Radiologi
Alur Penatalaksanaan Pasien Tuberkulosis di Rumah Sakit Royal Progress
UGD Patologi Anatomi/
Patologi Klinik
Unit DOTS
RS
Rekam Medis
PKMRS
20
Rawat Inap
Suspek TB atau pasien TB dapat dating ke poli umum/UGD atau
langsung ke poli spesialis (Penyakit Dalam, Paru, Anak, Syaraf, Kulit,
Bedah, Obsgyn, THT, Mata, Badan Saraf, Urologi).
Suspek TB dikirim untuk dilakukan pemeriksaan penunjang
(Laboratorium Mikrobiologi, PK, PA dan Radiologi)
Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke dokter yang bersangkutan.
Diagnosis dan klasifikasi dilakukan oleh dokter poliklinik masing atau
Tim DOTS.
Setelah diagnosis TB ditegakkan pasien dikirim ke Tim DOTS untuk
registrasi (bila pasien meneruskan pengobatan ke rumah sakit),
penentuan PMO, penyuluhan dan pengambilan obat, pengisian kartu
pengolahan TB (TB-01). Bila pasien tidak menggunakan obat paket,
pencatatan dan pelaporan dilakukan dipoliklinik masing-masing dan
kemudian dilaporkan ke Tim DOTS.
Bila ada pasien TB yang dirawat di rawat inap, petugas rawat inap
menghubungi Tim DOTS untuk registrasi pasien (bila pasien
meneruskan pengobatan di rumah sakit). Paket OAT dapat diambil di
Tim DOTS.
Pasien TB yang dirawat inap, saat akan keluar dari RS harus melalui tim
DOTS untuk konseling dna penanganan lebih lanjut dalam
pengobatannya.
Rujuk (pindah) dari / ke UPK lain, berkoordinasi dengan Tim DOTS
(lihat pada gambar alur rujukan).
21
b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara dinas kesehatan, rumah
sakit, puskesmas dan UPK lainnya dalam penanggulangan TB dengan strategi
DOTS.
22
4. Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke
Koordinator Hospital DOTS Linkage (HDL) tentang pasien yang dirujuk.
5. UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan mengirimkan
kembali TB-09 (lembar bagian bawah) ke UPK asal.
6. Koordinator HDL memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan
pengobatan di UPK yang dituju (dilakukan konfirmasi melalui telepon atau
SMS).
7. Bila pasien tidak ditemukan di UPK yang dituju, petugas TB UPK yang
dituju melacak sesuai alamat pasien.
8. Koordinator HDL memberikan umpan balik kepada UPK asal tentang pasien
yang dirujuk.
Informasi Konfirmasi
Pasien, OAT,
TB 01, surat
Rujukan (TB.09)
Rumah Puskesmas
Sakit
(TB.09)
23
Pelacakan Kasus Mangkir di Rumah Sakit
Pasien dikatakan mangkir berobat bila yang bersangkutan tidak datang untuk
periksa ulang/mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan.
Bila keadaan ini masih berlanjut hingga 2 hari pada fase awal atau 7 hari pada
fase lanjutan, maka Tim DOTS RS segera melakukan tindakan bahwa ini :
1. Menghubungi pasien langsung/PMO
2. Menginformasikan identitas dan alamat lengkap pasien mangkir ke wasor
Kab/Kota atau langsung ke Puskesmas agar segera dilakukan pelacakan.
3. Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas segera
diinformasikan kepada RS. Bila proses ini menemui hambatan, harus
diberitahukan ke koordinator jejaring DOTS RS.
DI RUMAH SAKIT
DI PUSKESMAS
24
Kemampuan RS
BAB VII
LOGISTIK
25
Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau fixed Dose
Combination (FDC) yang dikemas dalam blister, dan tiap blister berisi 28 tablet.
OAT dalam bentuk Kombipak yang dikemas dalam bister untuk satu dosis,
kombipak ini disediakan khusus untuk mengatasi efek samping KDT. Khusus
untuk dewasa terdiri dari kategori 1, kategori 2 dan sisipan.
2. Logistik non OAT
Alat Laboratorium terdiri dari :
Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak pewarna dan pengering,
lampu spiritus, ose, botol plastik bercorong pipet, kertas pembersih lensa
mikroskop, kertas saring, dan lain-lain.
Bahan diagnostic terdiri dari :
Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol, minyak imersi, Iysol, tuberculin PPD RT
23 dan lain-lain.
Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta
bahan KIE.
PENGELOLAAN ANTI TB
Perencanaan Kebutuhan Obat
Perencanaan kebutuhan OAT dilaksanakan dengan pendekatan perencanaan dari
bawah (bottom up planning), dan dilakukan terpadu dengan perencanaan obat
lainnya. Perencanaan kebutuhan OAT memperhatikan :
Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya.
Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan
Buffer-stock (tiap kategori OAT)
Sisa stock OAT yang ada.
Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi
kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan
26
Pengadaan OAT
Dalam pengadaan OAT, RS Royal Progress berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
Jakarta Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pengadaan OAT menjadi tanggung jawab pusat mengingat OAT merupakan obat
yang sangat-sangat esensial (SSE).
27
PENGELOLAAN LOGISTIK NON OAT
Secara umum siklusnya sama dengan manajemen OAT.
BAB IX
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara berkala dan terus
menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan
yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi
dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1
28
tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah
ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan
indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program.
29
Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09)
Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10)
Register Laboratorium TB (TB.04)
30
Rekapitulasi Data Situasi Publik – Private Mix (PPM) dalam pelayanan TB.
Indikator Program TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa
indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu :
Angka Penemuan Pasien batu TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR).
Disamping itu ada beberapa indicator proses untuk mencapai indicator Nasional tersebut
di atas, yaitu :
Angka Penjaringan Suspek
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya
Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
Proporisi Pasien TB anak diantara seluruh pasien
Angka Notifikasi Kasus (CNR)
Angka Konversi
Angka Kesembuhan
Angka Kesalahan Laboratorium
Untuk mempermudah analisis dan diperlukan indicator sebagai alat ukur kemajuan
(marker of progress).
31
Analisa dapat dilakukan dengan :
Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya
perbedaan.
Melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu)
Untuk tiap tingkat administrasi memiliki indikator sebagaimana pada tabel berikut :
Jumah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB. 06) UPK
yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau
dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.
Rumus :
Jumlah pasien TB BTA positif yang ditemui x 100 %
Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa
Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlaku kecil (< 5% ) kemungkinan disebabkan:
Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria
suspek, atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
32
Bila angka terlalu besar (> 15%) kemungkinan disebabkan :
Penjaringan terlalu ketat atau
Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)
Tercatat / Diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkuloasi paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien
Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.
Rumus :
Angka ini sebaimha jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu
berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan
pasien yang menular (pasien BTA positif).
Rumus :
Jumlah pasien TB anak (<15 thn) yg ditemukanx 100 %
Jumlah seluruh suspek TB yg tercatat
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari
15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
Angka penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati
disbanding jumlah pasien BTA positif yang diperkirakan ada adalam wilayah tersebt.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada
wilayah tersebut.
Rumus : Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan dalam TB.07
x 100 %
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA Positif
33
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka
insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case
Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.
Rumus : Jumlah pasien TB (semua tipe) yang dilaporkan dlm TB.07 x 100.000
Jumlah Penduduk
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan
sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak
negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).
34
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari
laporan TB. 11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan ulang dengan
tujuan :
Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi
di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.
Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris
kedua (second-line-drugs).
Menunjukkan prevalens, HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
pada pasien dengan HIV.
Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01 yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9-12 bulan
sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai
pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan TB.08.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk
mengetahui hasil pengobatan.
35
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%. Hasil pengobatan lainnya tetap perlu
diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal,
default, dan pindah.
Angka default tidak boleh lebih dari 10% karena akan menghasilkan proporsi
kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan dating yang disebabkan karena
ketidakefektifan dari pengendalian Tuberkulosis.
Menurunya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan TB akan
menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20% dalam beberapa
tahun sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih
dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh
lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka
pengobatan lengkap.
Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1
36
Selain kesalahan besar dan kesalahan kecil, kesalahan juga dapat berupa tidak
memadainya kualitas sediaan, yaitu : terlalu tebal atau tipisnya sediaan, pewarnaan,
ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas spesimen.
Mengingat sistem penilaian yang berlaku sekarang berbeda dengan yang terbaru,
petugas pemeriksa slide mengikuti cara pembacaan dan pelaporan sesuai buku Panduan
bagi petugas laboratorium mikroskopis TB interpretasi dari suatu laboratorium
berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat kesalahan bila :
o Terdapat PPT atau NPT
o Laboratorum tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil disbanding
periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua UPK di
kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi beberapa kali dalam
jumlah yang signifikan.
o Bila terdapat 3 NPR.
Error Rate
Error Rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium yang
menyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide / sediaan yang dilakukan oleh
laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau
laboratorium rujukan lain.
Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi maksimal 15%.
Apabila error rate < 5% dan positif palsu serta negatif palsu keduanya < 5% berarti
mutu pemeriksaan baik.
Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang (cross check)
relatif sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung masing-masing laboratorium
pemeriksa, di tingkat Kabupaten/Kota.
38