Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak

zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu saja yang ditandai

dengan berdirinya fasilitas diagnostik dan sanatorium di kota-kota besar. Dengan

dukungan dari pemerintah Belanda, diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan

Rontgen, diikuti dengan penanganan TB melalui hospitalisasi.

Studi prevalensi TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di karesidenan

Malang dan Kota Yogyakarta. Lima tahun kemudian (1969), program pengendalian TB

nasional dengan pedoman penatalaksanaan TB secara baku dimulai di Indonesia. Pada

periode 1972-1995 penanganan TB tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi melalui

diagnosis dan pelayanan TB di fasilitasi kesehatan primer, yaitu di Puskesmas.

Pengobatan TB menggunakan dua rejimen pengobatan menggantikan

pengobatan konvensional (2HSZ/10H2S2) dan strategi penemuan kasus secara aktif

secara bertahap. Pada tahun 1993, the Royal Natherlands TB Association (KNCV)

melakukan uji coba strategi DOTS di empat kabupaten di Sulawesi Tahun 1994, NTP

bekerja sama dengan WHO dan KNCV melakukan uji coba implementasi DOTS di

provinsi Jambi dan Jawa Timur.

Setelah keberhaslan uji coba di dua provinsi ini, akhirnya Kementerian

Kesehatan mengadopsi strategi DOTS untuk diterapkan secara nasional pada tahun

1995. Pada tahun 1995-2000, pedoman nasional disusun dan strategi DOTS mulai

diterapkan di Puskesmas. Seperti halnya dalam implementasi sebuah strategi baru,

terdapat berbagai tantangan di lapangan dalam melaksanakan kelima strategi DOTS.

1
Untuk mendorong peningkatan cakupan strategi DOTS dan pencapaian targetnya

dilakukan dua Joint External Monitoring Mission oleh tim pakar Internasional.

Rencana strategi nasional pengendalian TB disusun pertama kali pada periode

tahun 2000-2005 sebagai pedoman bagi provinsi dan kabupaten/kota untuk

merencanakan dan melaksanakan program pengendalian TB. Pencapaian utama selama

periode ini adalah :

1. Pengembangan rencana strategis 2002-2006

2. Penguatan kapasitas manajerial dengan penambahan stad di tingkat pusat dan

provinsi.

3. Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari pengembangan sumber

daya manusia.

4. Kerja sama internasional dalam memberikan dukungan teknis dan pendanaan

(Pemerintah Belanda, WHO, TBCTA-CIDA, USAID, GDF, GFATM, KNCV, UAB,

IUATLD, dll).

5. Pelatihan perencanaan dan anggaran di tingkat daerah.

6. Perbaikan supervise dan monitoring dari tingkat pusat dan provinsi.

7. Keterlibatan BP4 dan rumsah sakit pemerintah dan swasta dalam melaksanakan

strategi DOTS melalui ujicoba HDL di Jogjakarta.

Keberhasilan target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan dapat dicapai

pada periode tahun 2006-2010. Selain itu, berbagai tantangan baru dalam implementasi

strategi DOTS muncul periode ini. Tantangan tersebut antara lain penyebaran ko-infeksi

TB-HIV, peningkatan resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang sangat

beragam, kurangnya pengendalian infeksi TB di fasilitasi kesehatan, serta

penatalaksanaan TB yang bervariasi. Mitra baru yang aktif berperan dalam

2
pengendalian TB pada periode ini antara lain Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan

di Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, dan Kementerian Hukum dan Hak

Asasi Manusia.

Hasil survey prevalensi TB Tahun 2004 menunjukkan bahwa pasien TB juga

menggunakan pelayanan rumah sakit, BP4 dan praktik swasta untuk tempat berobat.

Ujicoba, implementasi dan akselerasi pelibatan FPK selain Puskesmas sebagai bagian

dari inisiatif Public-public Mix telah dimulai pada tahun 1999-2000. Pada tahun 2007

seluruh BP4 dan sekitar 30% rumah sakit telah menerapkan strategi DOTS. Untuk

praktik swasta, strategi DOTS belum diimplementasi secara sistematik, meskipun telah

dilakukan ujicoba model pelibatan praktisi swasta di Palembang pada tahun 2002 serta

di profinsi Yogyakarta dan bali pada tahun 2004-2005.

Untuk akselerasi DOTS di rumah sakit, sekitar 750 dari 1645 RS telah dilatih.

Koordinasi di tingkat pusat dengan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan semakin

intensif. Selain itu Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan juga melakukan penilaian

ke beberapa rumah sakit yang telah menerapkan DOTS. Penguatan aspek regulasi dalam

implementasi strategi DOTS di rumah sakit akan diintegrasikan dengan keigatan

akreditasi rumah sakit.

TUJUAN PELAYANAN TB DENGAN STRATEGI DOTS

Untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di Rumah Sakit Royal

Progress melalui penerapan strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan

kesembuhan dan pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang dapat

dipertanggung jawabkan serta memenuhi etika kedokteran.

3
DASAR HUKUM

Dasar Hukum terbentuknya Tim DOTS di RS Royal Progress adalah :

 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran.

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah.

 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman

Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.

 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SKV/2009 tentang Pedoman

Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar

Pelayanan Rumah Sakit.

 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis

Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.

 Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007 tentang Ekspansi TB

Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai Kesehatan / Pengobatan Penyakit Paru.

 Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Nomor YM.02.08/III/673/07

tentang Penatalaksanaan Tuberkulosisi di Rumah Sakit.

4
BAB II

GAMBARAN UMUM
RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS

SEJARAH RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS

Rumah Sakit Medika Gria didirikan pada tahun 1990, oleh I. Bambang

Sumatri. Pada awal pembangunan, bangunan rumah sakit terdiri dari 2 lantai, berdiri

pada tanah seluas 3.452,4 m2 terletak di Jln. Danau Sunter Utara, Nirwana Sunter Asri.

Pada tanggal 18 Desember 1991, rumah sakit mulai beroperasi dan diresmikan oleh

Menteri Kesehatan RI Bapak Adhiyatma, MPH. Rumah Sakit ini didirikan sebagai

sarana pemeliharaan kesehatan bagi warga dan masyarakat Sunter Paradise khususnya

dan Jakarta Utara pada umumnya.

Seiring dengan perubahan waktu dan besarnya serta tuntutan masyarakat

terhadap pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Media Gria melakukan penembangan

sarana fisik bangunan rumah sakit yaitu membangun gedung ang lebih representative

yang terdiri dari 8 lantai dengan luas bangunan 7.868 m2. Seluruh proses pengembangan

ini dapat diselesaikan pada tahun 2003. Untuk melengkapi pelayanan kesehatan, pada

tahun yang sama tepatnya tanggal 8 Agustus, Rumah Sakit Medika Gria menjadi rumah

sakit pusat laktasi dan diresmikan oleh Menteri Kesehatan Bapak dr. Achmad Sujudi,

MPH. Tujuan utama adalah agar bayi-bayi yang baru lahir di Rumah Sakit Medika Gria

memiliki system kekebalan tubuh yang prima serta dapat tumbuh dan berkembang

dengan baik yang dengan memberikan ASI ekslusif sampai dengan usia 6 bulan.

Sebagai wujud nyata dari cinta kasih yang mendalam, pada awal tahun 2005

klinik Medika Gria yang terletak di Sunter Permai Raya yang bernama KITTY

MEDIKA GRIA menjadi pusat pelayanan masalah tumbuh kembang anak.

5
Selain sebagai rumah sakit laktasi, pada tahun 2001 Rumah Sakit Medika Gria

telah mengembangkan pelayanan kesehatan dengan membuka klinik Pusat Dialisis.

Tujuan membuka klinik ini adalah untuk memberikan pelayanan bagi pasien-pasien

gagal ginjal dengan biaya yang lebih murah dengan tetap memberikan pelayanan

terbaik.

Pada bulan Juli 2005 rumah sakit Medika Gria kembali melakukan

pengembangan sarana fisik bangunan rumah sakit. Sampai sekarang ini luas bangunan

rumah sakit telah meningkat menjadi 13.802 m dan berdiri di atas tanah seluas 5.040

m2. Perluasan bangunan rumah sakit ini dengan sendirinya menambah kapasitas tempat

tidur yang menjadi 200 tempat tidur. Selain bangunan rumah sakit, sarana penunjang

kesehatan lainnya senantiasa terus ditingkatkan dengan menyediakan alat-alat canggih.

Selain pengembangan fisik bangunan rumah sakit, Rumah Sakit Medika Gria

juga melakukan pengembangan non fisik yang tujuan utamanya adalah untuk

meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Salah satu pengembangan yang telah

dilakuan oleh penandatanganan kesepakatan kerja sama dengan Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia melalui yayasan Pengembangan Medik Indonesia (YAPMEDI)

dengan No. 001/K/SK/YPM/III/2005 tentang keputusan bersama Ketua Yayasan

Pengembangan Medik Indonesia dan No. 003/YSP/IV/05 tentang kerjasama Yayasan

Medik Indonesia dan Rumah Sakit Medika Gria. Tujuan dan kerja sama ini adalah

untuk meningkatkan kemampuan mutu pelayanan medik serta mewujudkan Rumah

Sakit Medika Gria sebagai rumah sakit pendidikan dengan menyediakan lahan bagi staf

pengajar FKUI untuk berkarya. Kerja sama ini akan meningkatkan pelayanan rumah

sakit yaitu dengan menyediakan tenaga-tenaga professional,

6
Pada tanggal 1 Maret 2007 nama Rumah Sakit Medika Gria berubah menjadi

Royal Progress International Hospital. Kemudian pada tanggal 30 Oktober 2009, Royal

Progress International Hospital berubah menjadi Rumah Sakit Royal Progress sesuai

dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 191/MENKES/KESOS/SK/II/2001

tanggal 28 Februari 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor : 159.b/MENKES/PER/II/1998 Tentang Rumah Sakit.

TUGAS POKOK DAN FUNGSI RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS

Rumah Sakit Royal Progress merupakan rumah sakit umum dengan kapasitas

188 tempat tidur, merupakan milik Yayasan Sejahtera Progress. Royal Progress

mempunyai fungsi memberikan pelayanan kesehatan paripurna dengan motto melayani

dengan penuh cinta kasih.

Dalam mengemban fungsi tersebut di atas, Royal Progress mempunyai tugas

pokok :

1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi.

2. Senantiasa meningkatkan kompetensi sumber daya manusia Royal Progress agar

selalu memberikan pelayanan secara professional, etis dan bermartabat.

3. Menyediakan wahana bagi pendidikan tenaga kesehatan, dalam turut serta

menyumbang upaya mencerdaskan bangsa.

7
BAB III

VISI DAN MISI RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS

VISI :

Meningkatkan kualitas kehidupan lahir batin manusia secara seimbang beserta

lingkungan hidupnya sejalan dengan waktu

MISI :

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna (preventif, promotif, curative dan

rehabilitatif) yang berkualitas tinggi, berstandar international, dan berorientasi pada

kepuasan pelanggan.

FALSAFAH :

Memberikan pelayanan secara professional berlandaskan hati nurani, dengan selalu

berorientasi pada mut dan keselamatan pasien.

NILAI

Tuntutan dan pandangan umum orang yang bekerja di Royal Progress

Nilai Royal Progress secara umum dan PROGRESS

PRO : Proaktif dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan Royal Progress

G : Gigih dalam meningkatkan terus profesionalisme berlandaskan etika profesi

dan berorientasi pada kepuasan pelanggan melalui kerjasama tim

R : Ramah Tamah dan cinta kasih dalam melayani

E : Efektif dan efisien dalam melakukan setiap pekerjaan

S : Saling Asah, Asih, Asuh dan Wangi

S : Saling menguntungkan

8
TUJUAN (GOAL)

1. Tercapainya pelayanan yang bermutu tinggi yang berorientasi pada kepuasan

pelanggan.

2. Pelayanan kesehatan Royal Progress terus meningkat dan berkembang.

3. Tercapainya peningkatan produktifitas pelayanan Royal Progress.

4. Terbentuknya sumber daya manusia yang memiliki kompetensi tinggi, memiliki

integritas, komitmen yang kuat terhadap organisasi melalui upaya pendidikan

dan pelatihan, serta upaya peningkatan kesejahteraan yang adil dan manusiawi.

9
BAB IV

PELAYANAN TUBERKULOSIS DENGAN STRATEGI DOTS


DI RUMAH SAKIT ROYAL PROGRESS

VISI :

Memberikan akses terhadap pelayana yang bermutu bagi setiap pasien TB di Rumah

Sakit Royal Progress.

MISI :

Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB, memutuskan rantai penularan,

serta mencegah terjadinya MDR TB.

FALSAFAH :
Pelayanan TB menggunakan strategi DOTS disediakan dan diberikan kepada pasien
sesuai dengan ilmu pengetahuan kedokteran mutakhir dan standar yang telah disepakati
oleh seluruh organisasi profesi di dunia, serta memanfaatkan fasilitas Rumah Sakit
Royal Progress secara optimal.

TUJUAN :
Untuk meningkatkan mutu pelayanan medis TB di Rumah Sakit Royal Progress melalui
penerapan strategi DOTS secara optimal dengan mengupayakan kesembuhan dan
pemulihan pasien melalui prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan
serta memenuhi etika kedokteran.

SASARAN :
Sasaran program pelayanan tuberculosis dengan strategi DOTS adalah para pasien TB,
keluarga pasien dan tim DOTS RS Royal Progress.

10
BAB V
STANDAR KETENAGAAN

POLA KETENAGAAN
Mengingat pelaksanaan pelayanan TB di rumah sakit sangat rumit dengan
keterlibatan pelbagai bidang disiplin ilmu kedokteran serta penunjang medik, baik di
poliklinik, maupun bangsa bagi pasien rawat jalan dan rawat inap serta rujukan pasien
dan specimen, maka dalam pengelolaan TB di rumah sakit dibutuhkan manajemen
tersendiri dengan dibentuknya Tim DOTS di Rumah Sakit Royal Progress.

NAMA JABATAN PENDIDIKAN PELATIHAN KEBUTUHAN TERSEDIA


Ketua Spesialis Paru Bersertifikat 1 Orang 1 Orang
Pelatihan
DOTS
Wakil Ketua Dokter Umum Bersertifikat 1 Orang 1 Orang
Pelatihan
DOTS
Perawat Pelaksana D3 Keperawatan Bersertifikat 3 Orang 3 Orang
Pelatihan
DOTS
Petugas Farmasi S1 Apoteker Bersertifikat 1 Orang 1 Orang
Pelatihan
DOTS

URAIAN JABATAN

Ketua Tim DOTS

Ketua Tim adalah seorang dokter spesialis paru dan merangkap sebagai anggota.

Tanggung Jawab : Secara administrative dan fungsional bertanggung jawab

seluruhnya terhadap pelaksanaan program DOTS di RS.

Tugas Pokok : Mengkoordinasi semua pelaksanaan kegiatan program

DOTS di RS

11
Uraian Tugas :

a. Menyusun dan merencanakan pelaksanaan kegiatan program kerja DOTS

b. Memimpin, mengkoordinis dan mengevaluasi pelaksanaan operasional DOTS

secara efektif, efisien dan bermutu

c. Bertanggung jawab terhadap koordinasi dengan bagian unit kerja terkait

d. Memberikan pembinaan terhadap anggota DOTS

e. Memimpin pertemuan rutin setiap bulan dengan anggota DOTS untuk

membahas dan menginformasikan hal-hal penting yang berkaitan dengan DOTS.

f. Menghadiri pertemuan manajemen, bila dibutuhkan.

g. Menjalin kerjasama antar unit terkait.

h. Meningkatkan pengetahuan anggota, membuat dan memperbaiki cara kerja dan

pedoman kerja yang aman dan efektif.

Wewenang :

a. Memberikan penilaian kinerja anggota DOTS

b. Membuat prosedur DOTS

Hasil kerja :

a. Daftar kerja untuk anggota DOTS

b. Usulan perencanaan ketenagaan dan fasilitas yang dibutuhkan di DOTS

c. Standar Operating Prosedur DOTS

d. Laporan Program DOTS

Wakil Ketua Tim DOTS

Wakil Ketua Tim adalah seorang dokter umum dan merangkap sebagai anggota.

12
Kualifikasi :

 Memiliki sertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan strategi DOTS di

Rumah Sakit

Tanggung jawab : secara administrative dan fungsional bertanggung jawab

kepada ketua DOTS serta mewakilkan Ketua DOTS apabila

ketua berhalangan.

Tugas Pokok : Ikut berperan serta dalam pelaksanaan kegiatan Program

DOTS.

Uraian Tugas :

a. Menjadi mitra kedua DOTS untuk memimpin, mengkoordinir dan mengevaluasi

pelaksanaan operasional DOTS secara efektif, efisien dan bermutu.

b. Menjadi mitra ketua DOTS untuk bertanggung jawab terhadap koordinasi

dengan bagian unit kerja terkait.

c. Menjadi mitra ketua DOTS untuk memberikan pembinaan terhadap anggota

DOTS.

d. Menjadi mitra ketua DOTS untuk meningkatkan pengetahuan anggota, membuat

dan memperbaiki cara kerja dan pedoman kerja yang aman dan efektif.

e. Memberikan pertimbangan/saran pada perencanaan, pengembangan program

dan fasilitasinya.

f. Membuat analisa kinerja DOTS.

13
Uraian Wewenang :

Menjadi mitra ketua DOTS

Hasil Kerja :

1. Analisa DOTS

2. Pelaporan DOTS

3. Usulan perencanaan ketenagaan dan fasilitas yang dibutuhkan

4. Standar Operasional Prosedur DOTS

5. Laporan Program DOTS

Anggota Tim DOTS

Kualifikasi :

 Memiliki sertifikat Pelatihan Pelayanan Tuberkulosis dengan Strategi DOTS di

Rumah Sakit

Tanggung Jawab :

Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepada Ketua dan Wakil DOTS

dalam pelaksanaan program kerja DOTS di setiap unitnya masing-masing.

Tugas Pokok :

Membantu pelaksanaan semua kegiatan di program DOTS

Uraian Tugas :

a. Mencatat dan melaporkan formulir DOTS 01,02,03,04,05,09,10 dan buku

registrasi pasien tuberculosis di rumah sakit

b. Melakukan program kerja DOTS.

14
Uraian Wewenang :

Berdiri secara mandiri dan aktif untuk memberikan sarana perencanaan dan

pengembangan pelayanan DOTS

Hasil kerja :

a. Pelaksanaan program kerja DOTS

b. Penerapan regulasi DOTS

c. Laporan evaluasi kerja

15
BAB VI

STANDAR FASILITAS

FASILITAS DAN PERALATAN

Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan

dan fungsi pelayanan DOTS yang optimal bagi pasien TB.

Kriteria :

1. Tersedia ruangan khusus pelayanan pasien TB (Unit DOTS) yang berfungsi sebagai

pusat pelayanan TB di RS meliputi kegiatan diagnostik, pengobatan, pencatatan dan

pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal/eksternal DOTS.

2. Ruangan telah memenuhi persyaratan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

(PPI-TB) di rumah sakit.

3. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan medis TB.

4. Tersedia ruangan bagi penyelenggaraan KIE terhadap pasien TB dan keluarga

5. Tersedianya ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan

mikroskopis dahak

Denah Ruangan Tim DOTS

16
Daftar Inventaris Ruang DOTS

Daftar Alat Jumlah


1. Tempat tidur periksa 1 unit
2. Meja Tulis 2 Unit
3. Kursi 6 Unit
4. Rak penyimpanan OAT 1 Unit
5. Rak penyimpanan formulir TB 1 Unit
6. Lampu baca roentgen 1 Unit
7. Stetoskop 1 Unit
8. Handschoen 1 Box
9. Masker 1 Box
10. Timbangan 1 Unit
11. Exhaust Fan 2 Unit
12. Jendela 2 Unit
13. Telepon 1 Unit
14. Wastafel 1 Unit
15 Tempat sampah infeksius dan non 1 Unit

infeksius
16. Lampu Ultra Violet 2 Unit

BAB VII

TATALAKSANA DOTS DI RUMAH SAKIT

Dukungan administrasi dan Operasional Penerapan Strategi DOTS di Rumah


Sakit

Salah satu unsur penting dalam penerapan DOTS di rumah sakit adalah komitmen yang
kuat antara pimpinan rumah sakit, komie medik dan profesi lain yang terkait termasuk
adminsitrasi dan operasionalnya. Untuk itu perlu dipenuhi kebutuhan sumber daya
manusia, sarana dan prasarana penunjang, antara lain :

17
 Di bentuk tim DOTS RS yang terdiri dari seluruh komponen yang terkait dalam
penanganan pasien tuberculosis (dokter, perawat, petugas laboratorium, petugas
farmasi, rekam medik dan PKRS).
 Disediakan ruangan untuk kegiatan tim DOTS yang melakukan pelayanan
DOTS.
 Pendanaan untuk pengadaan sarana, prasarana dan kegiatan disepakati dalam
MOU antara rumah sakit dan dinas kesehatan setempat.
 Sumber pendanaan diperoleh dari rumah sakit.
 Program Nasional Penganggulangan TB memberikan kontribusi dalam hal
pelatihan, OAT, mikroskop dan bahan-bahan laboratorium
 Formulir pencatatan dan pelaporan yang digunakan pada penerapan DOTS
01,02,03 UPK 04,05,06,09,10 dan buku registrasi pasien tuberculosis di rumah
sakit.

STRATEGI DOTS DI RUMAH SAKIT


Untuk menanggulangi masalah TB, strategi DOTS harus diekspansi dan
diakselerasi pada seluruh pelayanan kesehatan dan berbagai institusi terkait termasuk
rumah sakit pemerintah dan swasta, dengan mengikutsertakan secara aktif semua pihak
dalam kemitraan yang bersinergi untuk penanggulangan TB.

LANGKAH –LANGKAH KEMITRAAN


1. Melakukan penilaian dan analisa situasi untuk mendapatkan gambaran kesiapan
rumah sakit dan dinas kesehatan setempat
2. Mendapatkan komitmen yang kuat dari pihak manajemen rumah sakit dan
tenaga medis serta paramedic dan seluruh petugas terkait.
3. Penyusunan nota kesephaman antara rumah sakit dan dinas kesehatan.
4. Menyiapkan tenaga medis, paramedis, laboratorium, rekam medis, farmasi dan
PKRS untuk dilatih DOTS.
5. Membentuk Tim DOTS di rumah sakit yang meliputi unit-unit terkait dalam
penerapan strategi DOTS di rumah sakit.

18
6. Menyediakan tempat untuk tim DOTS di dalam rumah sakit sebagai tempat
koordinasi dan pelayanan terhadpa pasien tuberculosis secara komprehensif
(melibatkan semua unit di rumah sakit yang menangani pasien tuberculosis).
7. Menyediakan tempat / rak penyimpanan OAT di ruang DOTS.
8. Menyiapkan laboratorium untuk pemeriksaan mikrobiologis dahak sesuai
standar.
9. Menggunakan format pencatatan sesuai program tuberculosis nasional untuk
memantau pelaksanaan pasien.
10. Menyediakan biaya operasional.

Pembentukan Jejaring
Rumah sakit memiliki potensi besar dalam penemuan pasien tuberculosis (case finding),
namun memiliki keterbatasan dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan
pengobatan pasien (care holding) jika dibandingkan dengan puskesmas. Karena itu
perlu dikembangkan jejaring rumah sakit baik internal maupun eksternal.

Suatu sistem jejaring dapat dikatakan berfungsi secara baik apabla angka default rate
<5% pada tiap rumah sakit.
a. Jejaring Internal Rumah Sakit
Jejaring internal adalah jejaring yang dibuat di dalam rumah sakit yang meliputi
seluruh unit yang menangani pasien tuberculosis. Koordinasi kegiatan
dilaksanakan oleh pelaksanaan, monitoring serta evaluasi kegiatan DOTS di
rumah sakit. Tim DOTS berada dibawah komite medik atau Direktur Pelayanan
Medik Rumah Sakit dan dikukuhkan dengan SK Direktur Rumah Sakit.
Pimpinan RS
Komte Medik

TIM DOTS
UNIT DOTS

Laboratorium
Poli Umum
Radiologi
Poli Spesialis
Farmasi
UGD
19 Rekam Medis
Rawat Inap
PKMRS
Fungsi masing-masing unit dalam jejaring internal RS :
1. Tim DOTS berfungsi sebagai temapt penanganan seluruh pasien TB di
rumah sakit dan pusat informasi tentang TB. Kegiatannya meliputi
konseling, penentuan klasifikasi dan tipe, kategori pengobatan, pemberian
OAT, penentuan PMO, follow up hasil pengobatan dan pencatatan
2. Poli Umum, UGD dan poli spesialis berfungsi menjaring tersangka pasien
TB, menegakkan diagnosis dan mengitim pasien ke Tim DOTS RS.
3. Rawat inap berfungsi sebagai pendukung tim DOTS dalam melakukan
penjaringan tersangka serta perawatan dan pengobatan.
4. Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostik.
5. Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostik
6. Farmasi berfungsi sebagai unit yang bertanggung jawab terhadap
ketersediaan OAT.
7. Rekam medis berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam pencatatan
dan pelaporan.
8. PKRS berfungsi sebagai pendukung Tim DOTS dalam kegiatan penyuluhan.
Poli Umum Lab mikrobiologi
PASIEN
UMUM Poli Spesialis Radiologi
Alur Penatalaksanaan Pasien Tuberkulosis di Rumah Sakit Royal Progress
UGD Patologi Anatomi/
Patologi Klinik

Unit DOTS
RS

UPK Lain Farmasi

Rekam Medis

PKMRS
20

Rawat Inap
 Suspek TB atau pasien TB dapat dating ke poli umum/UGD atau
langsung ke poli spesialis (Penyakit Dalam, Paru, Anak, Syaraf, Kulit,
Bedah, Obsgyn, THT, Mata, Badan Saraf, Urologi).
 Suspek TB dikirim untuk dilakukan pemeriksaan penunjang
(Laboratorium Mikrobiologi, PK, PA dan Radiologi)
 Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke dokter yang bersangkutan.
Diagnosis dan klasifikasi dilakukan oleh dokter poliklinik masing atau
Tim DOTS.
 Setelah diagnosis TB ditegakkan pasien dikirim ke Tim DOTS untuk
registrasi (bila pasien meneruskan pengobatan ke rumah sakit),
penentuan PMO, penyuluhan dan pengambilan obat, pengisian kartu
pengolahan TB (TB-01). Bila pasien tidak menggunakan obat paket,
pencatatan dan pelaporan dilakukan dipoliklinik masing-masing dan
kemudian dilaporkan ke Tim DOTS.
 Bila ada pasien TB yang dirawat di rawat inap, petugas rawat inap
menghubungi Tim DOTS untuk registrasi pasien (bila pasien
meneruskan pengobatan di rumah sakit). Paket OAT dapat diambil di
Tim DOTS.
 Pasien TB yang dirawat inap, saat akan keluar dari RS harus melalui tim
DOTS untuk konseling dna penanganan lebih lanjut dalam
pengobatannya.
 Rujuk (pindah) dari / ke UPK lain, berkoordinasi dengan Tim DOTS
(lihat pada gambar alur rujukan).

21
b. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara dinas kesehatan, rumah
sakit, puskesmas dan UPK lainnya dalam penanggulangan TB dengan strategi
DOTS.

Tujuan jejaring eksternal :


 Semua pasien TB mendapatkan akses pelayanan DOTS yang berkualitas,
mulai dari diagnosis, follow up sampai akhir pengobatan.
 Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien sehingga
mengurangi jumah pasien yang putus berobat

Dinas kesehatan berfungsi :


 Koordinasi antara rumah sakit dan UPK lain
 Menyusun protap jejaring penanganan pasien TB
 Koordinasi sistem surveilans
 Menyusun perencanaan, memantau, melakukan supervisi dan mengevaluasi
penerapan strategi DOTS di rumah sakit.
 Menyediakan petugas untuk mengumpulkan laporan.

Mekanisme Rujukan dan Pindah


Prinsip : Memastikan pasien TB yang dirujuk/pindah akan
menyelesaikan pengobatannya dengan benar ditempat lain.

Mekanisme rujukan dan pindah pasien ke UPK lain :


1. Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit, maka harus
dibuatkan kartu pengobatan TB (TB-01) di rumah sakit.
2. Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit surat pengantar atau formulir
(TB-09) dengan menyertakan TB-01
3. Formulir TB-09 diberikan kepada pasien beserta sisa OAT untuk diserahkan
kepada UPK yang dituju.

22
4. Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke
Koordinator Hospital DOTS Linkage (HDL) tentang pasien yang dirujuk.
5. UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan mengirimkan
kembali TB-09 (lembar bagian bawah) ke UPK asal.
6. Koordinator HDL memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan
pengobatan di UPK yang dituju (dilakukan konfirmasi melalui telepon atau
SMS).
7. Bila pasien tidak ditemukan di UPK yang dituju, petugas TB UPK yang
dituju melacak sesuai alamat pasien.
8. Koordinator HDL memberikan umpan balik kepada UPK asal tentang pasien
yang dirujuk.

Alur Rujukan Pasien TB antar UPK dalam Satu Unit Registrasi


( 1 Kab/Kota)

Koordinator Wasor TBC


HDL Kab/Kota Kab/Kota

Informasi Konfirmasi
Pasien, OAT,
TB 01, surat
Rujukan (TB.09)

Rumah Puskesmas
Sakit
(TB.09)

Mekanisme merujuk pasien dari rumah sakit ke UPK Kab/Kota lain :


1. Informasi rujukan diteruskan Kab/Kota yang menerima rujukan, secara
telepon langsung atau SMS.
2. Koordinator HDL propinsi memastikan bahwa pasien yang dirujuk telah
mendapatkan pengobatan ke tempat rujukan yang dituju.
3. Bila pasien tidak ditemukan maka coordinator HDL Propinsi harus
menginformasikan kepada koordinator HDL Kab/Kota untuk melakukan
pelacakan pasien.

23
Pelacakan Kasus Mangkir di Rumah Sakit
Pasien dikatakan mangkir berobat bila yang bersangkutan tidak datang untuk
periksa ulang/mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan.
Bila keadaan ini masih berlanjut hingga 2 hari pada fase awal atau 7 hari pada
fase lanjutan, maka Tim DOTS RS segera melakukan tindakan bahwa ini :
1. Menghubungi pasien langsung/PMO
2. Menginformasikan identitas dan alamat lengkap pasien mangkir ke wasor
Kab/Kota atau langsung ke Puskesmas agar segera dilakukan pelacakan.
3. Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas segera
diinformasikan kepada RS. Bila proses ini menemui hambatan, harus
diberitahukan ke koordinator jejaring DOTS RS.

Pilihan Penanganan Pasien Berdasarkan Kesepakatan Antara Pasien dan


Dokter
Rumah sakit mempunyai beberapa pilihan dalam penanganan pasien TB sesuai
dengan kemampuan masing-masing seperti terlihat di bawah ini :
MULAI KONSULTASI PENCATATAN
PILIHAN DIAGNOSIS KLASIFIKASI PENGOBATAN
PENGOBATAN KLINIS PELAPORAN
1
2
3
4

DI RUMAH SAKIT

DI PUSKESMAS

Semua unit pelayanan yang menemukan suspek TB, memberikan informasi


kepada yang bersangkuta untuk membantu menentukan pilihan dalam
mendapatkan pelayanan (diagnosis dan pengobatan), serta menawarkan pilihan
yang sesuai dengan beberapa pertimbangan :
 Tingkat sosial ekonomi pasien
 Biaya konsultasi
 Lokasi tempat tinggal
 Biaya transportasi

24
 Kemampuan RS

Pilihan 1 : RS menjaring suspek TB, menentukan diagnosis dan klasifikasi


pasien serta melakukan pengobatan, kemudian merujuk ke puskesmas / UPK
lain untuk melanjutkan pengobatan tetapi pasien kembali ke RS untuk konsultasi
keadaan klinis / periksa ulang.

Pilihan 2 : RS menjaring suspek TB dan menentukan diagnosis dan klasifikasi,


kemudian merujuk ke Puskesmas.

Pilihan 3 : RS menjaring suspek TB dan menentukan diagnosis dan klasifikasi


pasien serta memulai pengobatan, kemudian merujuk ke puskesmas.

Pilihan 4 : RS melakukan seluruh kegiatan pelayanan DOTS.

BAB VII
LOGISTIK

Pengelolaan logistik penanggulangan TB merupakan serangkaian kegiatan yang


meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, monitoring
dan evaluasi. Logistik penanggulangan TB terdiri dari 2 bagian besar yaitu logistik Obat
Anti TB (OAT) dan logistik lainnya.
1. Logistik OAT

25
Paket OAT anak dan dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
 OAT dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) atau fixed Dose
Combination (FDC) yang dikemas dalam blister, dan tiap blister berisi 28 tablet.
 OAT dalam bentuk Kombipak yang dikemas dalam bister untuk satu dosis,
kombipak ini disediakan khusus untuk mengatasi efek samping KDT. Khusus
untuk dewasa terdiri dari kategori 1, kategori 2 dan sisipan.
2. Logistik non OAT
Alat Laboratorium terdiri dari :
 Mikroskop, slide box, pot sputum, kaca sediaan, rak pewarna dan pengering,
lampu spiritus, ose, botol plastik bercorong pipet, kertas pembersih lensa
mikroskop, kertas saring, dan lain-lain.
 Bahan diagnostic terdiri dari :
Reagensia Ziehl Neelsen, eter alkohol, minyak imersi, Iysol, tuberculin PPD RT
23 dan lain-lain.
 Barang cetakan seperti buku pedoman, formulir pencatatan dan pelaporan serta
bahan KIE.

PENGELOLAAN ANTI TB
Perencanaan Kebutuhan Obat
Perencanaan kebutuhan OAT dilaksanakan dengan pendekatan perencanaan dari
bawah (bottom up planning), dan dilakukan terpadu dengan perencanaan obat
lainnya. Perencanaan kebutuhan OAT memperhatikan :
 Jumlah penemuan pasien pada tahun sebelumnya.
 Perkiraan jumlah penemuan pasien yang direncanakan
 Buffer-stock (tiap kategori OAT)
 Sisa stock OAT yang ada.
 Perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi (untuk mengetahui estimasi
kebutuhan dalam kurun waktu perencanaan

Tingkat Rumah Sakit


Rumah sakit menghitung kebutuhan tahunan, triwulan dan bulanan sebagai dasars
permintaan ke Kab/Kota.

26
Pengadaan OAT
Dalam pengadaan OAT, RS Royal Progress berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
Jakarta Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Pengadaan OAT menjadi tanggung jawab pusat mengingat OAT merupakan obat
yang sangat-sangat esensial (SSE).

Penyimpanan dan Pendistribusian OAT


OAT di simpan di rak penyimpanan OAT sesuai persyaratan penyimpanan obat.
Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First Expired First Out),
artinya obat yang kadaluarsanya lebih awal harus diletakkan di depan agar dapat
diberikan lebih awal.
Pendistribusian OAT disertai dengan dokumen yang memuat jenis, jumlah,
kemasan, nomor batch dan bulan serta tahun kadaluarsa.

Monitoring dan Evaluasi


Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar
Permintaan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk menggambarkan dinamika
logistik dan merupakan alat pencatatan / pelaporan.

Pemantauan Mutu OAT


Mutu OAT diperiksa melalui pemeriksaan pengamatan fisik obat yang meliputi :
 Penandaan/label termasuk persyaratan penyimpanan
 Leaflet dalam bahasa Indonesia
 Keutuhan kemasan dan wadah
 Nomor batch dan tanggal kadaluarsa baik di kemasan terkecil seperti vial,
box dan master box
 Mencantumkan nomor registrasi pada kemasan.

27
PENGELOLAAN LOGISTIK NON OAT
Secara umum siklusnya sama dengan manajemen OAT.

Kebutuhan logistik Non OAT


Bahan laboratorium dan formulir pencatatan dan pelaporan :
 Perhitungan berdasarkan pada perkiraan pasien BTA positif yang akan
diobati dalam 1 tahun
 Logistik penunjang lainnya (seperti: buku pedoman TB, Modul
Pelatihan, Materi KIE) dihitung berdasarkan kebutuhan.

BAB IX

PEMANTAUAN DAN EVALUASI PROGRAM

Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program. Pemantauan dilaksanakan secara berkala dan terus
menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan
yang telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi
dilakukan setelah suatu jarak-waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1

28
tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah
ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan
indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program.

Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi, dan


Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya
masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input),
proses, maupun keluaran (ouput). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah
laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun
dengan masyarakat sasaran.

Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan


dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar.

PENCATATAN DAN PELAPORAN PROGRAM NASIONAL


PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS
Salah satu komponen penting dari survailans yaitu pencatatan dan pelaporan
dengan maksud mendapatkan data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan
disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan pada kegiatan survailans
harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan
dan analisis. Data program Tuberkulosis dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit
pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang baku.

Formulir-Formulir Yang Dipergunakan Dalam Pencatatan TB di :


Pencatatan di Unit Pelayanan Kesehatan
UPK (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll) dalam
melaksanakan pencatatan menggunakan formulir :
 Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06).
 Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05)
 Kartu pengobatan pasien TB (TB.01)
 Kartu identitas pasien TB (TB.02)
 Register TB UPK (TB.03 UPK)

29
 Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09)
 Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10)
 Register Laboratorium TB (TB.04)

Khusus untuk dokter praktek swasta, penggunaan formulir pencatatan TB dapat


disesuaikan selama informasi survailans yang dibutuhkan tersedia.

Pencatatan dan Pelaporan di Kabupaten/Kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan


sebagai berikut :
 Register TB Kabupaten (TB.03)
 Laporan Triwulan Penemuan dan Pengobatan Pasien TB (TB.07)
 Laporan Triwulan Hasil Pengobatan (TB.08)
 Laporan Triwulan Hasil Konversi Dahak Akhir Tahap Insentif (TB. 11)
 Formulir Pemeriksaan Sediaan untuk Uji Silang dan Analisis Hasil Uji silang
Kabupaten (TB.12)
 Laporan OAT (TB.13)
 Data Situasi Ketenagaan Program TB
 Data Situasi Private Mix (PPM) dalam pelayanan TB

Pencatatan dan Pelaporan di Propinsi


Propinsi menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan sebagai berikut :
 Rekapitulasi Penemuan dan Pengobatan Pasien TB per Kabupaten/Kota
 Rekapitulasi Hasil Pengobatan per Kabupaten/Kota
 Rekapitulasi Hasil Konversi Dahak per Kabupaten/Kota
 Rekapitulasi Analisis Hasil Uji silang Propinsi per Kabupaten/Kota
 Rekapitulasi Laporan OAT per kabupaten/kota
 Rekapitulasi Data Situasi Ketenagaan Program TB.

30
 Rekapitulasi Data Situasi Publik – Private Mix (PPM) dalam pelayanan TB.

Indikator Program TB
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB digunakan beberapa
indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional ada 2 yaitu :
 Angka Penemuan Pasien batu TB BTA positif (Case Detection Rate = CDR)
 Angka keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR).

Disamping itu ada beberapa indicator proses untuk mencapai indicator Nasional tersebut
di atas, yaitu :
 Angka Penjaringan Suspek
 Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara Suspek yang diperiksa dahaknya
 Proporsi Pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru
 Proporisi Pasien TB anak diantara seluruh pasien
 Angka Notifikasi Kasus (CNR)
 Angka Konversi
 Angka Kesembuhan
 Angka Kesalahan Laboratorium

Untuk mempermudah analisis dan diperlukan indicator sebagai alat ukur kemajuan
(marker of progress).

Indikator yang baik harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti :


 Sahih (valid)
 Sensitif dan Spesifik (sensitive and specifici)
 Dapat dipercaya (realiable)
 Dapat diukur (measureable)
 Dapat dicapai (achievable)

31
Analisa dapat dilakukan dengan :
 Membandingkan data antara satu dengan yang lain untuk melihat besarnya
perbedaan.
 Melihat kecenderungan (trend) dari waktu ke waktu)

Untuk tiap tingkat administrasi memiliki indikator sebagaimana pada tabel berikut :

Cara Menghitung Dan Analisa Indikator


Angka Penjaringan Suspek
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahak diantara 100.000 penduduk pada satu
wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui upaya
penermuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan
kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan)

Jumlah suspek yang diperiksa x 100.000


Jumlah Penduduk

Jumah suspek yang diperiksa bisa didapatkan dari buku daftar suspek (TB. 06) UPK
yang tidak mempunyai wilayah cakupan penduduk, misalnya rumah sakit, BP4 atau
dokter praktek swasta, indikator ini tidak dapat dihitung.

Proporsi Pasien TB BTA Positif diantara Suspek


Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang
diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai
diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

Rumus :
Jumlah pasien TB BTA positif yang ditemui x 100 %
Jumlah seluruh suspek TB yang diperiksa

Angka ini sekitar 5-15%. Bila angka ini terlaku kecil (< 5% ) kemungkinan disebabkan:
 Penjaringan suspek terlalu longgar. Banyak orang yang tidak memenuhi kriteria
suspek, atau
 Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).

32
Bila angka terlalu besar (> 15%) kemungkinan disebabkan :
 Penjaringan terlalu ketat atau
 Ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu)

Tercatat / Diobati
Adalah prosentase pasien Tuberkuloasi paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien
Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.

Rumus :

Jumlah pasien TB BTA positif (baru+kambuh) x 100 %


Jumlah seluruh suspek TB (semua tipe)

Angka ini sebaimha jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih rendah, itu
berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk menemukan
pasien yang menular (pasien BTA positif).

Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB


Adalah prosentase pasien TB anak (< 15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat.

Rumus :
Jumlah pasien TB anak (<15 thn) yg ditemukanx 100 %
Jumlah seluruh suspek TB yg tercatat

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari
15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
Angka penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah prosentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati
disbanding jumlah pasien BTA positif yang diperkirakan ada adalam wilayah tersebt.
Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada
wilayah tersebut.

Rumus : Jumlah pasien baru TB BTA Positif yang dilaporkan dalam TB.07
x 100 %
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA Positif

33
Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif diperoleh berdasarkan perhitungan angka
insidens kasus TB paru BTA positif dikali dengan jumlah penduduk. Target Case
Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 70%.

Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate – CNR)


Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditermuakn dan tercatat
diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan
serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di
wilayah tersebut.

Rumus : Jumlah pasien TB (semua tipe) yang dilaporkan dlm TB.07 x 100.000
Jumlah Penduduk

Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan (trend) meningkat atau


menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.

Angka Konversi (Conversion Rate)


Angka konversi adalah prosesntase pasien baru TB paru BTA positif yang mengalami
perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Indikator
ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk mengetahui
apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Contoh perhitungan angka konversi untuk pasien baru TB paru BTA positif:

Jumlah pasien baru TB paru BTA positif yang konversi x 100 %


Jumlah Pasien baru TB paru BTA positif yang diobati

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01, yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif yang mulai berobat dalam 3-6 bulan
sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak
negatif, setelah pengobatan intensif (2 bulan).

34
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dengan mudah dapat dihitung dari
laporan TB. 11. Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

Angka Kesembuhan (Cure Rate)


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru
BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien baru TB paru
BTA positif yang tercatat.

Angka kesembuhan dihitung juga untuk pasien BTA positif pengobatan ulang dengan
tujuan :
 Untuk mengetahui seberapa besar kemungkinan kekebalan terhadap obat terjadi
di komunitas, hal ini harus dipastikan dengan surveilans kekebalan obat.
 Untuk mengambil keputusan program pada pengobatan menggunakan obat baris
kedua (second-line-drugs).
 Menunjukkan prevalens, HIV, karena biasanya kasus pengobatan ulang terjadi
pada pasien dengan HIV.

Cara menghitung angka kesembuhan untuk pasien baru BTA positif.

Jumlah pasien baru TB BTA positif yang sembuh x 100 %


Jumlah Pasien baru TB BTA positif yang diobati

Di UPK, indikator ini dapat dihitung dari kartu pasien TB.01 yaitu dengan cara
mereview seluruh kartu pasien baru BTA Positif yang mulai berobat dalam 9-12 bulan
sebelumnya, kemudian dihitung berapa diantaranya yang sembuh setelah selesai
pengobatan.
Di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat, angka ini dapat dihitung dari laporan TB.08.
Angka minimal yang harus dicapai adalah 85%. Angka kesembuhan digunakan untuk
mengetahui hasil pengobatan.

35
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%. Hasil pengobatan lainnya tetap perlu
diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, meninggal, gagal,
default, dan pindah.
 Angka default tidak boleh lebih dari 10% karena akan menghasilkan proporsi
kasus retreatment yang tinggi dimasa yang akan dating yang disebabkan karena
ketidakefektifan dari pengendalian Tuberkulosis.
 Menurunya angka default karena peningkatan kualitas penanggulangan TB akan
menurunkan proporsi kasus pengobatan ulang antara 10-20% dalam beberapa
tahun sedangkan angka gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh lebih
dari 4% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh
lebih besar dari 10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.

Angka Keberhasilan Pengobatan


Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien baru TB paru
BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan
lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat).

Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka
pengobatan lengkap.

Cara perhitungan untuk pasien baru BTA positif dengan pengobatan kategori 1

Jumlah pasien baru TB BTA positif (sembuh + pengobatan lengkap x 100 %


Jumlah Pasien baru TB BTA positif yang diobati

Angka Kesalahan Laboratorium


Pada saat ini Penanggulangan Tb sedang dalam uji coba untuk penerapan uji silang
pemeriksaan dahak (cross check) dengan metode Lot Sampling Quality Assessment
(LQAS) di beberapa propinsi. Untuk masa yang akan datang akan diterapkan metode
LQAS di seluruh UPK.
Metode LQAS
Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode ini digunakan oleh propinsi-propinsi
uji coba.

36
Selain kesalahan besar dan kesalahan kecil, kesalahan juga dapat berupa tidak
memadainya kualitas sediaan, yaitu : terlalu tebal atau tipisnya sediaan, pewarnaan,
ukuran, kerataan, kebersihan dan kualitas spesimen.

Mengingat sistem penilaian yang berlaku sekarang berbeda dengan yang terbaru,
petugas pemeriksa slide mengikuti cara pembacaan dan pelaporan sesuai buku Panduan
bagi petugas laboratorium mikroskopis TB interpretasi dari suatu laboratorium
berdasarkan hasil uji silang dinyatakan terdapat kesalahan bila :
o Terdapat PPT atau NPT
o Laboratorum tersebut menunjukkan tren peningkatan kesalahan kecil disbanding
periode sebelumnya atau kesalahannya lebih tinggi dari rata-rata semua UPK di
kabupaten/kota tersebut, atau bila kesalahan kecil terjadi beberapa kali dalam
jumlah yang signifikan.
o Bila terdapat 3 NPR.

Penampilan setiap laboratorium harus terus dimonitor sampai diketemukan penyebab


kesalahan setiap UPK agar dapat menilai dirinya sendiri dengan memantau tren hasil
interpretasi setiap triwulan.

Metode 100% BTA positif & 10% BTA Negatif


Sebagian besar propinsi masih menerapkan metode uji silang perhitungan sebagai
berikut :

Error Rate
Error Rate atau angka kesalahan baca adalah angka kesalahan laboratorium yang
menyatakan prosentase kesalahan pembacaan slide / sediaan yang dilakukan oleh
laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji silang (cross check) oleh BLK atau
laboratorium rujukan lain.

Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan slide secara mikroskopis langsung


laboratorium pemeriksa pertama.

Jumlah sediaan yang dibaca salah x 100 %


Jumlah seluruh sediaan yang
diperiksa
37
Rumus :

Angka kesalahan baca sediaan (error rate) ini hanya bisa ditoleransi maksimal 15%.
Apabila error rate < 5% dan positif palsu serta negatif palsu keduanya < 5% berarti
mutu pemeriksaan baik.
Error rate ini menjadi kurang berarti bila jumlah slide yang di uji silang (cross check)
relatif sedikit. Pada dasarnya error rate dihitung masing-masing laboratorium
pemeriksa, di tingkat Kabupaten/Kota.

Kabupaten/Kota harus menganalisa berapa pasien laboratorium pemeriksa yang ada di


wilayahnya melaksanakan cross check, disamping menganalisa error rate per
PRM/PPM/RS/BP4, supaya dapat mengetahui kualitas pemeriksaan slide dahak secara
mikroskopis langsung.

38

Anda mungkin juga menyukai