Anda di halaman 1dari 8

DARI INDUSTRI GULA HINGGA BATIK PEKALONGAN

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sosial Ekonomi

Dosen pengampu: Prof. Dr. Wasino

Oleh :
GANDES SEKAR PUTRI
16718251003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

1
2017
Wiayah Pekalongan sesuai letak geografis berada di pesisir utara
Jawa. Pada abad ke 17, Pekalongan mulai mengalami perkembangan.
Akibat penguasaan Mataram atas wilayah Pekalongan berpengaruh pada
aspek politik dan juga budaya. Wilayah Pekalongan menjadi basis
penanaman tebu pada masa Tanam Paksa. Pekalongan dikenal sebagai
wilayah Keresidenan pada masa kolonial Belanda. Pertambahan
penduduk di Pekalongan meningkat pada masa Tanam Paksa. Pada awal
abad 18 penanaman tebu dan pendirian industri gula di Pekalongan
dimulai. Pabrik gula milik pengusaha Cina tetap bertahan hingga
pertengahan abad ke 18 di wilayah Pekalongan. Pada masa politik etis,
industri gula di wilayah Pekalongan masih terus berkembang. Gula yang
telah diproduksi oleh pabrik, kemudian diekspor keluar Pekalongan.
Pelabuhan menjadi tempat penting untuk mendistribusikan hasil
perkebunan tebu.
Pada dasarnya perekonomian karesidenan wilayah Pekalongan
dipengaruhi oleh pertanian, perindustrian, dan perikanan. Perekonomian
pertanian menjadi basis perekonomian yang berkembang paling awal
sejak masa Mataram. Pada masa VOC daerah memiliki kewajiban
menyerahkan beras kepada kompeni dalam jumlah tertentu. Cultur Stelsel
dilaksanakan pada tahun 18631870 kemudian dilanjutkan berdasar
sistem undang-undang perkebunan swasta (ondernemingen) tahun 1870
1942. Pada masa itu 17 pabrik gula berdiri di sepanjang daerah pesisir
seperti Pekalongan, Brebes, Sragi, Tegal hingga Cirebon. Di Pekalongan
pabrik gula berdiri di desa Kalimati.
Akibat adanya perkembangan baru dalam cara berpakaian bagi
keluarga asing dengan menggunakan sarung batik dan kebaya sebagai
ganti gaun Eropa, mempengaruhi kemajuan pada produksi batik.
Pemakaian sarung dan kebaya dinilai sesuai dengan kondisi iklim di tanah
Jawa. Peranakan Tionghoa juga mengenakan kain batik berupa sarung

2
untuk melengkapi baju kebaya encim (kebaya sulaman) yang mereka
kenakan. Pemakaian sarung batik dan kebaya yang berenda disebabkan
karena adanya pengaruh dari masyarakat Melayu dan India serta
ditunjang dengan datangnya mesin jahit di Indonesia.
Munculnya pengusaha baru pribumi dan pengusaha kelompok
menengah Tionghoa mengakibatkan industri batik di Pekalongan
berkembangan pesat pada pertengahan abad XIX. Hal tersebut juga
terjadi di kota pedalaman (keraton) seperti Solo dan Yogyakarta.
Perusahaan batik pribumi yang merupakan kelompok pengusaha baru
telah mendapatkan pasarnya di kalangan masyarakat pribumi. Sistem
perdagangan yang digunakan mengikuti pola lama yang sebelumnya
dilakukan oleh para pedagang muslim pada abad XVI-XVII.

Para pengusaha Tionghoa sebagai pengusaha industri batik dan


juga pemasok bahan baku batik, berhasil menguasai pasar yang lebih
luas. Mereka tidak saja menguasai pasar luar daerah, namun juga
menjadi pemasok utama perdagangan batik yang dilakukan penduduk
Belanda. Pada tahun 1830 berdiri industri batik yang diusahakan oleh
seorang Indo-Belanda di Semarang. Perusahaan tersebut menampung
batik yang diproduksi dari Pekalongan oleh para pengusaha pribumi. Pada
saat Batik Pekalongan memasuki pasar dengan konsumen orang-orang
yang menggemari pola-pola buketan (Belanda), maka para pengusaha
Tionghoa di Pekalongan mulai menerapkan ragam hias buketan bagi
produknya sebagai salah satu pola Batik Cina yang mendapat pengaruh
budaya Eropa (Belanda) setelah tahun 1910.

Batik Pekalongan seperti halnya kota-kota lain seperti Tegal,


Indramayu maupun Cirebon hingga penyebaran ke selatan sampai daerah
Pasundan, Ciamis, Tasikmalaya dan Garut pola batik lebih dipengaruhi
oleh ragam hias keraton Cirebon. Batik Pekalongan juga banyak
dipengaruhi oleh ragam hias Cina dan Arab dan pola-pola batik kraton
Mataram selain dipengaruhi ragam hias Cirebon. Jika batik Cirebon

3
memiliki ragam hias dari taman Sunyaragi dan kraton, maka orientasi
batik Pekalongan lebih banyak pada ragam hias dari keramik Cina yang
menghiasi Kraton kasepuhan dan makam Raja-raja Cirebon di Gunungjati.
Para pengrajin batik Pekalongan telah menempatkan hiasan
keramik Cina sebagai manifestasi ikatan kebudayaan leluhur yang dalam
lukisannya memiliki kefasihan dan kelembutan. Pemilihan ragam hias
jenis tumbuhan yang sebagian besar menjadi objek utama dan banyak
terdapat pada lukisan keramik Cina. Ragam hias berbentuk binatang
seperti burung pipit, burung merak, ular naga dan kupu-kupu turut
melengkapi ragam hias tumbuhan. Pola-pola batik untuk kepentingan
peribadatan mengadaptasi ragam-ragam hias bentuk-bentuk manusia
dewa dalam kerajaan langit sesuai kepercayaan agama leluhur. Batik
jenis ini digunakan untuk alas altar persembahyangan. Pengaruh batik
Cirebon pada perkembangan batik Pekalongan juga nampak pada
penghargaan yang diberikan kraton Cirebon terhadap batik Pekalongan
khususnya oleh kalangan ningrat Cina. Penghargaan kraton Cirebon
terhadap batik Pekalongan bukan hanya disebabkan oleh ragam hias dari
keramik dinasti Ming namun disebabkan juga oleh ciri khas batik
Pekalongan yaitu cara pembuatan yang berbeda dengan cara pembuatan
batik di daerah pada masa itu.
Perjalanan sejarah batik Pekalongan memang tidak terlepas dari
pengaruh kerajaan Mataram. Pengaruh batik Kraton terhadap sejarah
perkembangan batik Pekalongan secara nyata terjadi setelah Perang
Diponegoro (1825-1830) di kerajaan Mataram. Terjadinya peperangan
mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya untuk meninggalkan
daerah kerajaan. Kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian
di daerah-daerah baru tersebut para keluarga dan pengikut
mengembangkan batik. Pada arah timur, batik Solo dan Yogyakarta
menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta
Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Pada
arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan

4
Pekalongan. Produksi batik tidak berhenti walaupun mereka telah
tersingkir dari kehidupan kraton sebab batik merupakan sandang yang
dipakai sehari-hari sehingga batik merupakan kebutuhan pokok.
Adanya migrasi, mengakibatkan batik Pekalongan yang telah ada
sebelumnya semakin berkembang. Seiring berjalannya waktu, Batik
Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan
daerah lain. Pada daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai,
yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta
Wonopringgo. Meskipun batik Pekalongan memiliki ciri-ciri motif yang
mirip dengan batik Yogya atau batik Solo namun batik Pekalongan sangat
bebas dan menarik karena dimodifikasi dengan banyak variasi warna.
Banyak dijumpai batik Pekalongan yang memiliki banyak warna yang
berbeda dengan kombinasi yang dinamis. Warna-warna yang mencolok
terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan corak batik pedalaman
seperti batik Solo dan Yogyakarta. Nama-nama batik Solo dan Yogya
sangat berbeda dengan batik Pekalongan yang memiliki beragam warna
sesuai karakter masyarakatnya yang terbuka, bebas dan sangat marjinal.
Batik Pekalongan menggambarkan ciri kehidupan masyarakat pantai yang
mudah mengadaptasi pengaruh budaya luar dan juga mampu
mengadaptasi pengaruh batik pedalaman.
Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa
seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada masa itu
telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik. Dengan
demikian beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara
tersebut kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan. Berbagai
macam Motif antara lain batik Jlamprang, diilhami dari Negeri India dan
Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh peranakan Cina.
Batik Belanda, batik Pagi Sore, dan batik Hokokai, tumbuh pesat sejak
pendudukan Jepang.
Perkembangan batik Pekalongan tidak sepenuhnya dikuasai
pengusaha bermodal besar, akan tetapi bertopang pada ratusan

5
pengusaha kecil dan hampir semua dikerjakan di rumah-rumah. Batik
Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat. Sejarah batik
Pekalongan melibatkan sedikitnya tiga kelompok pelaku-pelaku sejarah
batik Pekalongan yaitu: kelompok penduduk Tionghoa dengan latar
belakang budaya yang mereka miliki, penduduk muslim Arab yang memilki
sifat inklusif dalam pergaulan sehingga cukup menguasai pengaturan
dinamika sosial dan kelompok pribumi.
Penduduk pribumi yang semula merupakan buruh atau pekerja
pada pedagang Cina lambat laun mampu memproduksi batik sendiri
bahkan kemudian berkembang tidak hanya menjadi pembatik rumahan
tetapi sebagian mampu berkembang menjadi pengusaha batik.
Tumbuhnya para pengusaha batik pribumi telah memperkaya ragam hias
batik Pekalongan karena mereka menampilkan pola campuran yang
memperkaya ragam hias batik asli dari masing-masing budaya.
Pertemuan ketiga unsur dari masyarakat pembatikan Pekalongan pada
akhirnya menjadi bagian terbesar dari ciri khas batik Pekalongan dengan
segala ragam warna-warninya.
Sebagai kota pesisir dengan ciri khas masyarakat yang terbuka
menerima budaya telah berhasil mengantarkan kota Pekalongan menjadi
kota yang sangat identik dengan perkembangan batik nusantara.
Pekalongan merupakan kota yang paling dinamis dalam mengembangkan
batik. Industri batik pekalongan mampu menjadi soko guru ekonomi
masyarakat Pekalongan. Adapun yang menunjukan bahwa industri batik
pekalongan menjadi soko guru ekonomi masyarakat Pekalongan yaitu:
kehidupan pembatikan Pekalongan berhasil mengantarkan suatu sejarah
pertumbuhan dan perubahan sosial yang terjadi di Pekalongan dan
dengan melihat sejarah pasang surut industri batik Pekalongan ada
kesulitan tersendiri dalam menjadikan industri batik sebagai industri skala
besar sehingga batik lebih tepat menjadi industri rumahan yang bertumpu
pada kehidupan rakyat banyak.

6
Selain memiliki nilai ekonomis Batik Pekalongan juga memiliki nilai
filosofis. Memiliki nilai ekonomis sebab batik merupakan produk kerajinan
yang diperjualbelikan dan mendatangkan keuntungan ekonomis.
Dianggap memiliki nilai filosofis sebab batik merupakan produk kerajinan
yang diawali oleh kepentingan keagamaan dan merupakan suatu produk
yang spesifik sebab diawali oleh peradaban manusia dalam membangun
citra keindahan. Perjalanan panjang sejarah batik Pekalongan telah
mengantarkan kota Pekalongan sebagai sentra industri batik terbesar di
Indonesia.
Para pengusaha Tionghoa yang terkenal jeli dalam membaca
situasi pasar dirasakan cukup tepat. Penerapan ragam hias buketan
mereka lakukan pada saat Batik Belanda pada tahun 1840 yang dipelopori
oleh Carolina Josephine van Franquemont dan Catherina Carolina van
Oosterom, berada dalam puncak pemasaran. Pola buketan pertama kali
diproduksi oleh Christina van Zuylen yang merupakan salah seorang
pengusaha batik keturunan Belanda kelas menengah di Pekalongan.
Pada tahun 1880, Christina van Zuylen telah mengubah tradisi karya batik
yang semula sebagai karya anonim (tanpa diketahui identitas
pembuatnya) dan bersifat massal, menjadi karya individual. Identitas
nama Christina van Zuylen dituliskan di sudut bagian dalam kain dalam
bentuk tanda tangan yang berbunyi T. van Zuylen (kependekan dari Tina
van Zuylen), pada setiap batik karyanya.

Batik buketan yang terkenal adalah karya van Zuylen bersaudara


yaitu Christina van Zuylen dan Lies van Zuylen. Batik tersebut sangat laku
sehingga pengusaha-pengusaha menengah Tionghoa yang semula
menerapkan pola-pola dengan ragam hias mitos Cina maupun keramik
Cina, mulai membuat batik buketan setelah tahun 1910 sebagaimana
diuraikan di muka. Para pengusaha tersebut antara lain Hock-Tjan dari
Tegal, Oey-Soe-Tjoen dari Kedung Wuni, dan Nyonya Tan-Ting-Hu yang
mulai tahun 1925 telah memproduksi batik dengan format pagi-sore.

7
Selain itu, di Kampung Kwijan (tempat tinggal Kepala Daerah Pekalongan
Tan-Kwi-Jan) juga terdapat dua orang pengusaha batik buketan dari
golongan Tionghoa yang cukup terkenal yaitu Tjoa-Sing-Kwat dan Mook-
Bing-Liat.

Kebagkitan para pengusaha kelas menengah Tionghoa di


Pekalongan untuk memproduksi batik dengan pola buketan ternyata
mampu memberikan nilai tambah bagi karya seni batik dan tidak hanya
menjadi barang dagangan semata. Selain jumlah produksinya yang
meningkat, batik karya pengusaha Tionghoa tersebut juga memiliki nilai
seni yang tinggi bahkan bisa disejajarkan dengan karya lukisan seperti
yang terjadi pada karya para pelukis di Eropa (Belanda), terutama batik
yang memiliki pola dengan ragam hias mitos Cina. Namun demikian, batik
yang diusahakan oleh pengusaha pribumi tetap tidak mengalami
perubahan karena batik hanya dianggap sebagai barang kerajinan atau
dagangan saja. Oleh karena itu, batik dibiarkan seperti adanya karena
dipandang sebagai milik pasar. Hal tersebut membedakan kedua
golongan pengusaha yaitu Tionghoa dan pribumi dalam mengelola industri
batik. Adanya persaingan antara pengusaha pribumi dan pengusaha kelas
menengah Tionghoa dalam industri pembatikan telah membawa berbagai
ketegangan, sehingga menimbulkan konflik yang sangat memprihatinkan.

Anda mungkin juga menyukai