Pendahuluan
Kecenderungan masyarakat saat ini dalam hal membangun bangunan baik itu
untuk hunian maupun untuk digunakan secara komersial, adalah membangun bangunan
tersebut secara bertingkat. Gambar 1 memperlihatkan sebagian sisi kota DKI Jakarta
yang mulai dipenuhi oleh bangunan-bangunan tinggi komersial .
Pada umumnya ada beberapa persamaan yang dimiliki oleh bangunan tinggi
komersial, beberapa diantaranya ialah sebagai berikut :
1. Lahan parkir bagi penghuni/pekerja dalam bangunan berada beberapa lantai di
bawah tanah (basement).
2. Bangunan mempunyai fasilitas dan fungsi yang bermacam-macam. Selain untuk
memenuhi kebutuhan penghuni di dalamnya seperti misalnya kantin dan sarana
kebugaran, juga karena lantai-lantai yang tidak dipergunakan oleh pemilik gedung
pada umumnya disewakan pada perusahaan lain.
3. Seluruh lantai ataupun penghuni yang mempunyai fungsi dan kegiatan yang
berbeda-beda tersebut menggunakan fasilitas utilitas gedung secara bersama-
sama. Karena itu desain, konstruksi, operasi, dan perawatan utilitas bangunan
1
harus dapat disesuaikan dengan fungsi yang berbeda-beda tersebut, sehingga
dapat memberikan kesehatan dan keselamatan kerja yang baik.
4. Terdapat operator gedung yang bekerja untuk mengoperasikan dan melakukan
perawatan baik perawatan fisik bangunan atau utilitas bangunan, mengelola
keamanan gedung, dan menjaga bangunan dari bahaya kebakaran.
Hal-hal tersebut diatas sangat berpengaruh pada semakin besarnya tingkat resiko
kecelakaan bagi operator dan pekerja di dalam bangunan tinggi komersial. Meskipun
demikian masih banyak aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja yang tidak
diperhatikan oleh operator dan pekerja di dalam bangunan tersebut.
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan tanggung jawab dari seluruh pekerja
di dalam bangunan. Operator gedung biasanya mempunyai beban tanggung jawab yang
lebih besar terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, karena operator gedung
mengoperasikan hampir seluruh utilitas bangunan.
2
III. Aspek-aspek kesehatan dan keselamatan kerja yang perlu di perhatikan
Pada dasarnya aspek kesehatan dan keseamatan kerja pada gedung tinggi
komersial dibagi menjadi yang beberapa aspek, yakni :
1. Desain, konstruksi, perlengkapan, serta operasi bangunan terhadap bahaya
kebakaran.
2. Jaringan elektrik dan komunikasi
3. Kualitas udara
4. Kualitas pencahayaan
5. Kebisingan
6. Hygiene dan sanitasi
7. Psikososial
8. Pemeliharaan
Jika aspek tersebut diperhatikan dengan baik, maka bukan hanya kesehatan dan
keselamatan kerja yang dapat ditingkatkan akan tetapi juga operasi bangunan dan kinerja
pekerja yang optimal dapat diperoleh.
3
Gambar 2. kebakaran yang terjadi pada bangunan tinggi
Kebakaran pada bangunan tinggi seperti terlihat pada gambar 2 akan menyulitkan
proses evakuasi serta pemadaman oleh dinas kebakaran. Kebakaran yang terjadi pada
lantai menengah dari bangunan tinggi akan menyulitkan evakuasi penghuni-penghuni
yang berada pada lantai di atas lantai tersebut. Keberadaan penghuni di lantai yang lebih
tinggi tersebut mempunyai resiko yang tinggi karena kemungkinan-kemungkinan sebagai
berikut :
1. Menghirup asap dan gas-gas berbahaya yang timbul dari asap hasil pembakaran
bahan bangunan oleh api yang masuk melalui bukaan lantai ataupun sistem
ventilasi.
2. Jika api terus berkembang maka bahaya runtuhnya konstruksi bangunan dapat
terjadi. Baja struktural akan mulai kehilangan kekuatannya pada temperatur
600C, sedangkan suhu udara pada kebakaran yang sudah berkembang penuh
dapat mencapai 1000C.
4
3. Kepanikan dan hilangnya daya nalar dapat mencelakakan penghuni itu sendiri.
Pada beberapa kasus peristiwa timbulnya kematian karena meloncat dari
ketinggian saat kebakaran disebabkan oleh karena kepanikan dan hilangnya daya
nalar karena kekurangan oksigen dan menghirup gas-gas berbahaya.
Salah satu kebakaran dengan jumlah korban terbesar di Amerika Serikat adalah
kebakaran MGM Grand Hotel di Las Vegas (gambar 3). Jumlah korban mencapai 84 jiwa
korban meninggal dunia dan 679 mengalami luka-luka. Pada tanggal 21 November 1980
pukul 7.10 pagi pegawai hotel menemukan kebakaran pada ruang tempat berkumpul para
pelayan. Kebakaran ini berusaha untuk dipadamkan oleh pihak keamanan hotel akan
tetapi tidak berhasil. Kemudian pada pukul 7.15 dinas kebakaran dihubungi pihak
keamanan.
5
Api semakin besar dan sulit dipadamkan karena banyak bahan-bahan interior
ruangan yang mudah terbakar. Karena tidak adanya desain kompartemenisasi pada
bangunan tersebut, maka kebakaran ini menyebar ke seluruh ruangan termasuk lantai atas
bangunan. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat alarm kebakaran berbunyi
pertanda sedang terjadi kebakaran. Penghuni segera panik dan berusaha keluar bangunan
setelah melihat ataupun mencium sendiri asap kebakaran yang menjalar ke tempat
mereka berkumpul.
Desain ventilasi dan tata udara bangunan juga tidak dirancang untuk menutup saat
terjadi kebakaran sehingga asap kebakaran menyebar ke seluruh bangunan melalui sistem
tata udara. Tangga kebakaran pada bangunan tidak memenuhi persyaratan yakni tidak
tahan api selama 2 jam sehingga tidak dapat digunakan untuk evakuasi. Banyak penghuni
6
pada lantai atas diselamatkan dengan menggunakan helicopter seperti terlihat pada
gambar 4. Banyaknya korban berjatuhan dikarenakan bayaknya asap yang tersebar ke
seluruh bangunan dan lamanya waktu evakuasi yang memakan waktu 4 jam.
Di Indonesia proteksi kebakaran dihadapkan pada permasalahan terbatasnya
fasilitas umum pemadam kebakaran, akses dinas kebakaran, serta lamanya waktu tiba
dinas kebakaran. Karena itu pemilik gedung berkewajiban untuk memiliki sistem proteksi
kebakan tersendiri. Sistem proteksi kebakaran terpadu terdiri atas tiga komponen utama
sarana proteksi kebakaran, yakni sarana proteksi pasif, sarana proteksi aktif, dan fire
safety management. Gambar 3. memperlihatkan ilustrasi dari ketiga sarana proteksi
kebakaran.
7
Sarana proteksi kebakaran aktif dapat dilakukan dengan memberikan proteksi
kebakaran sebagai berikut :
1. Memasang sistem deteksi dan alarm kebakaran.
2. Menyediakan alat pemadam api ringan.
3. Memasang automatic sprinkler system, hydrant, hose-feel.
4. Memasang pemadam api khusus.
5. Menyediakan sarana bantu yakni sumber air, pompa, dan genset bagi pompa
kebakaran.
Kelemahan yang biasanya terjadi pada sarana proteksi kebakaran aktif ini adalah
kurangnya perawatan dan perbaikan peralatan proteksi kebakaran.
Prinsip dasar yang harus diterapkan dalam sistem proteksi kebakaran pada
bangunan tinggi adalah untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Mencegah timbulnya api, dengan memberikan proteksi khusus pada peralatan
atau bahan yang dapat memicu api dan memilih bahan konstruksi atau furnitur
yang mempunyai beban api yang kecil.
2. Membatasi perambatan api, dengan memasang fire curtain, pintu otomatis yang
selalu menutup, memberikan fire stopper pada celah-celah partisi dinding, dan
sebagainya.
3. Mendeteksi dan memadamkan api sedini mungkin, memasang detektor kebakaran
yang sesuai dengan fungsi ruangan dan memasang alat pemadaman api dini.
4. Mempermudah penyelamatan, memberikan jalur evakuasi yang memadai disertai
dengan tanda jalur evakuasi yang dapat terlihat dengan jelas oleh penghuni
bangunan.
5. Meminimalisasi kerusakan, peralatanperalatan serta proses pemadaman api
diupayakan agar tidak merusak peralatan-peralatan yang lain sehingga operasi
gedung dapat dilakukan tidak lama setelah kebakaran tersebut dapat diatasi.
8
agar keselamatan penghuni dapat terjaga. Di dalam peraturan yang diatur dalam
keputusan menteri pekerjaan umum No.441/KPTS/1998 tentang persyaratan teknis
bangunan gedung terdapat beberapa regulasi yang harus dipenuhi oleh bangunan gedung,
yang diantaranya adalah instalasi elektrik dan komunikasi.
Instalasi elektrik serta komunikasi harus dirancang sesuai dengan buku Peraturan
Umum Instalasi Listrik dan SNI-0225 yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar terhindar
dari tegangan berlebih, hubungan pendek, induksi, arus berlebih, korosif kabel,
kebocoran instalasi, binatang pengerat yang dapat merusak sehingga terjadi hubungan
pendek, dan kelengahan manusia terhadap resiko dan SOP.
Proteksi bangunan terhadap petir juga harus sesuai dengan SNI 03-7015-2004
yang mengatur tentang sistem proteksi petir pada bangunan gedung. Selain melindungi
gedung terhadap bahaya kebakaran dan kerusakan instalasi bangunan juga untuk
melindungi keselamatan personil yang bekerja di dalam bangunan.
Resiko terbesar akibat sambaran petir langsung dapat terjadi pada seseorang yang
bekerja di luar ruangan atau di tempat terbuka. Seseorang dapat mengalami luka yang
fatal akibat sengatan petir atau terbakar akibat sambaran petir. Berikut adalah panduan
umum dari SNI 03-7015-2004 untuk mencegah personel terhadap luka sengatan listrik
atau terbakar akibat sambaran petir :
1. Jangan keluar atau tetap di luar selama ada guruh
2. Mencari tempat berteduh yang dapat melindungi terhadap sambaran petir.
3. Hindari tempat yang hanya sedikit atau tidak diproteksi terhadap sambaran petir
4. Hidari lokasi-lokasi yang mengandung bahaya tinggi selama bunyi guruh
berlangsung, seperti pada lapangan terbuka, tempat parkir, dekat pagar kawat,
dibawah peralatan listrik atau benda lain yang konduktif secara elektris.
5. Bila tidak memungkinkan untuk mencari tempat yang aman terhadap sambaran
petir sebaiknya mencari area yang cekung atau mencari bangunan tempat
berteduh pada area yang rendah.
6. Bila berada pada tempat yang terbuka dan tidak ada harapan untuk mencari
tempat lain dan bila ujung rambut terasa berdiri pertanda petir siap menyambar.
Segera tekuk lutut dan rapatkan kedua kaki. Jangan membaringkan diri diatas
9
permukaan tanah dan jangan meletakkan tangan diatas tanah. Letakan tangan
pada lutut.
Nilai ambang batas suhu ruangan kerja yang tercantum dalam SNI 16-7063-2004 diatur
seperti terlihat pada tabel 1. Pembagian beban kerja pada tabel tersebut adalah sebagai
berikut :
- Beban kerja ringan membutuhkan kalori 100 200 kilo kalori/jam.
- Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih besar 200 350 kilo kalori/jam.
- Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih besar dari 350500 kilo kalori/jam.
10
Tabel 1. Pengaturan waktu kerja serta nilai ambang batas suhu ruangan kerja
Di Indonesia masih terdapat banyak bangunan yang tidak memenuhi nilai ambang
batas suhu ruangan kerja terutama untuk ruangan parkir bawah tanah dan ruangan utilitas
bangunan (plant room).
11
Tabel 2. Kebutuhan laju udara ventilasi
12
Lanjutan Tabel 2. Kebutuhan laju udara ventilasi
13
bawah tanah dan area plant room yang diakibatkan kurangnya supply udara segar dan
serta pembuangan udara kotor (exhaust).
14
Tabel 3. Tingkat pencahayaan minimum pada berbagai ruangan
15
Lanjutan Tabel 3. Tingkat pencahayaan minimum pada berbagai ruangan
16
III.5. Kebisingan
Tingkat kebisingan pada ruangan kerja harus dikondisikan sedemikian rupa
sehingga tidak melebihi 85 db(A). Hal ini mengacu pada SNI 16-7063-2004, yang
mengatur nilai ambang batas iklim kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan
radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja. Kemudian jika pada ruangan tertentu tingkat
kebisingan melebihi batas tersebut maka harus diupayakan isolasi suara pada sumber
bising, dan apabila tidak dapat dilakukan maka pekerja harus mengunakan personal
protective equipment untuk menjaga kesehatan pendengarannya. Lama pemaparan yang
diperbolehkan untuk intensitas kebisingan diatas 85 db(A) dapat dilihat pada tabel 4.
17
Setiap pembangunan baru atau perluasan bangunan harus
diperlengkapi dengan sistem plambing, meliputi sistem air bersih,
sistem air kotor dan alat plambing yang memadai. Sistem plambing
harus direncanakan dan dipasang sedemikian rupa sehingga mudah
dalam operasional dan pemeliharaannya, tidak mengganggu
lingkungan, serta diperhitungkan berdasarkan standar, petunjuk
teknik, dan pedoman plambing yang berlaku di Indonesia.
18
III.6.2. Sistem Pembuangan Air Kotor
Pada dasarnya air kotor berasal dari aktivitas manusia, baik
tempat mandi cuci, kakus maupun kegiatan lainnya. Semua air kotor
harus diolah sebelum dibuang ke saluran air kotor umum kota atau
disalurkan ke bangunan pengolahan air kotor komunal bila tersedia.
Sistem air kotor didalam bangunan harus dilengkapi dengan pipa
ven untuk menetralisir tekanan udara didalam saluran tersebut.
Pemeliharaan sistem air kotor dilakukan secara berkala untuk
mencegah terjadinya penyumbatan, karat dan kebocoran.
III.6.3. Persampahan
Setiap bangunan baru dan atau perluasan bangunan harus dilengkapi dengan
fasilitas pewadahan dan atau penampungan sampah sementara yang memadai, sehingga
tidak mengganggu kesehatan dan kenyamanan bagi penghuni, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya. Kapasitas pewadahan sampah atau tempat penampungan
sementara harus dihitung berdasarkan jenis bangunan dan jumlah penghuninya, sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Tempat pewadahan sampah harus terbuat
dari bahan kedap air, tidak mudah rusak, mempunyai tutup dan mudah
diangkut. Bahan tersebut dapat berupa kantong plastik, peti kemas
fiberglass, peti kemas baja, dan pasangan bata atau beton.
Untuk sampah padat yang dikatagorikan sebagai jenis buangan
berbahaya dan beracun (sampah B3), penempatan dan
pembuangannya harus ditangani secara khusus sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
III.7. Psikososial
Untuk mendukung kondisi sehat secara fisik maka perlu juga dibina sistem yang
dapat mendukung kesehatan mental. Kondisi stress akibat pekerjaan dapat
mengakibatkan gangguan pada kesehatan dan menurunnya produktifitas kerja. Termasuk
juga bagi pekerjaan pada bangunan tinggi komersial sarana dan prasarana yang
mendukung harus disediakan. Sarana ibadah bagi umat muslim sebaiknya disediakan
19
pada lantai tertentu . Sarana ini juga sebaiknya harus dapat menampung jumlah populasi
pekerja yang akan melaksanakan shalat Jumat berjamaah. Sarana ini dapat digunakan
untuk melaksanakan pembinaan mental spiritual secara berkala.
Cara lain yang dapat mendukung terciptanya suasana kerja yang baik diantaranya
dengan menggalakan olah raga bersama pada hari-hari tertentu. Acara ini selain dapat
menyehatkan tubuh juga dapat membantu mempererat hubungan antar pekerja dan
mengurangi stress kerja dengan cara yang menyenangkan.
III.8. Operasi dan pemeliharaan bangunan tinggi komersial
Pada setiap hari kerja utilitas bangunan harus beroperasi dengan baik. Dalam
pengoperasian utilitas-utilitas bangunan ada dua sisi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3) yang terkait didalamnya. Pertama pengoperasian utilitas ini terkait dengan K3
pekerja yang menghuni bangunan. Hasil-hasil unit operasi ini harus memberikan
kesehatan dan kenyamanan kerja dengan baik. Kemudian pengoperasian utilitas
bangunan terkait dengan K3 operator yang mengoperasikan utilitas tersebut. Harus
tersedia Standard Operation Procedure (SOP) yang baik yang akan menjadikan proses
produksi menjadi optimal sekaligus menjaga kesehatan dan keselamatan kerja operator
utilitas bangunan tersebut.
Saat ini bangunan tinggi sudah banyak yang menggunakan sistem pengontrolan
unit secara terpusat sehingga resiko terganggunya kesehatan dan terjadinya kecelakaan
dapat diminimalisir. Akan tetapi saat melakukan perawatan utilitas bangunan, para
operator bangunan ini dihadapkan pada resiko kesehatan dan kecelakaan yang signifikan.
Pemeliharaan bangunan tinggi dapat dibagi menjadi dua kategori besar yakni
pemeliharaan utilitas bangunan dan pemeliharaan fisik bangunan. Masing-masing
pemeliharaan tersebut mampunyai resiko kesehatan dan kecelakaannya yang harus
diperhatikan dengan baik.
Pemeliharaan fisik bangunan dihadapkan pada berbagai resiko, resiko tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Terganggunya kesehatan karena penggunaan zat kimia berbahaya dalam
melakukan pembersihan fisik bangunan.
2. Kecelakaan akibat terjatuh dari ketinggian.
3. Kecelakaan akibat tertimpa benda berat.
20
Resiko saat melakukan pemeliharaan utilitas bangunan sudah hampir menyerupai
resiko kecelakaan di industri yang mengandung resiko kecelakaan akibat mesin, alat
angkut dan alat berat, instalasi, bahan kimia/radiasi, dan lingkungan kerja.
21
III.8.1. Kecelakaan saat pemeliharaan bangunan
Kecelakaan fatal yang sudah pernah terjadi di Indonesia adalah kecelakaan saat
membersihkan eksterior bangunan dan kecelakaan saat perawatan utilitas bangunan.
Kecelakaan saat membersihkan eksterior bangunan seperti pada gambar 6 sudah banyak
mengakibatkan korban jiwa.
22
Gambar 7. Meledaknya chiller menara batavia mengakibatkan jatuhnya korban jiwa
Peristiwa ini yang dapat dilihat pada gambar 7 telah mengakibatkan dua korban
jiwa dan tiga korban luka-luka. Sampai saat ini belum ada laporan hasil investigasi yang
dipublikasikan kepada masyarakat.
Banyak kecelakaan yang terjadi saat dilakukan perawatan bangunan umumnya
disebabkan karena kesalahan tata cara pengoperasian (SOP) dan tidak digunakannya atau
tidak handalnya personal protective equipment (PPE) yang dikenakan.
IV. Analisis
Upaya penerapan K3 pada bangunan tinggi komersial sangat bergantung pada
pencegahan secara pasif, yakni melalui penerapan desain dan konstruksi bangunan
beserta perlengkapan. Persyaratan bangunan untuk mendukung K3 ini pada beberapa
kasus diabaikan oleh pemilik gedung untuk menghemat biaya. Hal ini membahayakan
kesehatan dan keselamatan penghuni bangunan yang perlu untuk dilindungi. Peraturan
23
yang mengatur persyaratan desain dan konstruksi bangunan beserta perlengkapannya
sudah cukup banyak di Indonesia. Hanya saja peraturan tersebut masih perlu
disempurnakan dengan cara :
1. Menegakkan peraturan tersebut.
2. Mengkoreksi kesalahan terutama kesalahan penulisan yang masih banyak
dijumpai pada standard-standard yang berlaku di Indonesia.
3. Mewajibkan pelaporan hasil investigasi jika terjadi kecelakaan.
4. Mengkoreksi peraturan dan standard yang berlaku jika ada hasil investigasi
yang perlu untuk ditambahkan.
V. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat dituliskan mengenai masalah K3 pada bangunan tinggi
komersial adalah sebagai berikut :
1. K3 pada bangunan tinggi komersial sangat dipengaruhi oleh peraturan serta
pelaksanaan peraturan tentang persyaratan bangunan gedung.
2. Tata cara pengoperasian dan perawatan bangunan oleh pemilik bangunan harus
dapat mendukung upaya K3.
3. Pekerja dalam bangunan tinggi komersial perlu untuk memahami konsep-konsep
K3 yang berlaku dan melaksanakannya dalam pekerjaannya sehari-hari.
24
VI.Daftar Pustaka
1. Benjamin Stein dan John S. Reynolds, Mechanical and electrical equipment for
buildings 8th Edition, John Wiley & Sons, 1992.
2. SNI 16-7063-2004, Nilai ambang batas iklim kerja (panas), kebisingan, getaran
tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja.
3. SNI 03-7015-2004, Sistem proteksi petir pada bangunan gedung.
4. SNI 03-6572-2001, tata cara perancangan sistem ventilasi dan pengkondisian
udara pada bangunan gedung.
5. SNI 19-0232-2005, Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja.
6. SNI 03-6575-2001, Tata cara perancangan sistem pencahayaan buatan pada
bangunan gedung.
7. Keputusan menteri pekerjaan umum No.441/KPTS/1998 tentang persyaratan
teknis bangunan gedung.
8. Keputusan menteri pekerjaan umum No. 10/KPTS/200 tentang ketentuan teknis
pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan.
9. Clark County Fire Department, MGM Grand Hotel Fire Investigation Report,
November 21, 1980
25